BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggalan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
“Streets and their sidewalks, the main public places of a city, are its most
vital organs. Think of a city and what comes to mind? Its streets. If a
city’s streets look interesting, the city looks interesting; if they look dull,
the city looks dull.”
–Jane Jacobs, The Death and Life of Great American Cities
A. Latar Belakang
“Kualitas ruang publik di Yogyakarta 5 tahun terakhir menapaki jalan turun.
Realitas sosial menggambarkan ruang publik Yogyakarta telah diprivatisasi
merk dagang tertentu. Sebentar lagi ruang publik Yogyakarta diprivatisasi
dan diserahkan secara sukarela oleh penguasa Yogyakarta kepada seluruh
partai politik peserta Pemilu 2014. Tanda-tanda zaman atas penurunan
kualitas ruang publik semakin kentara, saat secara visual ruang publik
Yogyakarta menjadi tempat sampah yang menampung ratusan sampah visual
iklan komersial maupun iklan politik. Pada titik ini, ruang publik menjadi
tidak ramah lingkungan dan ramah visual bagi warga. Ekstremnya, ruang
publik Yogyakarta menjadi ruang terbuka yang tidak manusiawi. Dikatakan
demikian, karena ruang publik yang terdiri dari ruang terbuka hijau, taman
kota dan trotoar untuk pejalan kaki dilabeli merek dagang produk barang dan
jasa. Sementara itu, beberapa penggal jalan lainnya, dikuasai partai politik
tertentu. Simaklah penggal jalan: Sudirman, Senopati, Urip Sumoharjo,
Diponegoro, AM Sangaji, Cokroaminoto, Wirobrajan, Timoho, Badran, dan
Abubakar Ali. Tidak ketinggalan Kleringan, Jembatan Kewek, seputaran
Kridosono dan Mandala Krida serta tempat lainnya. Di sana dapat disaksikan
betapa kumuhnya ruang publik yang diprivatisasi merek dagang atau partai
politik…” (Kedaulatan Rakyat, Rabu, 6/3/2013, hlm. 12.)1
Penggalan artikel di atas menunjukkan gambaran tentang persoalan ruang
publik yang dihadapi masyarakat Yogyakarta dalam beberapa tahun belakangan.
Persoalan ini disebabkan oleh kehadiran iklan luar ruang. Ruang publik di
Yogyakarta—tanpa disadari oleh warganya—ditengarai telah hilang. Iklan luar
ruang telah menginvasi ruang publik dan keseharian warga kotanya. Ruang kota
1
Sumbo Tinarbuko dalam Rubrik Opini: Sampah Visual di Ruang Publik, Harian Kedaulatan
Rakyat Edisi Rabu Wage 6/3/2013, hlm. 12
1
Yogyakarta secara halus direbut dari warga kota oleh hingar-bingar visualitas
iklan luar ruang, atau biasa juga dikenal dengan reklame.
Reklame yang hadir dalam berbagai bentuk (poster, spanduk, baliho,
billboard, grafiti dan sejenisnya)-secara perlahan tapi pasti—mengambil alih
fungsi ruang publik. Beragam bentuk reklame tersebut tidak hanya hadir
memadati trotoardan perempatan jalan raya, melainkan juga berhamburan tersebar
di berbagai ruang kota seanteroYogyakarta. Kondisi ini disamping membawa
persoalan visualitas ruang kota, juga menciptakan masalah lingkungan, yaitu
sampah visual. Wajah kota yang dikenal sebagai kota budaya ini menjadi tidak
estetis lagi, estetika ruang kota tergantikan dengan visualitas reklame yang
dipasang berlomba-lomba untuk merebut perhatian warga kota.
Lebih kompleks lagi, fenomena menjamurnya reklame—secara langsung
maupun tidak—merepresentasikan upaya logika ekonomi (kapitalisme) untuk
merebut keseharian warga di ruang kota. Visualitas yang memenuhi pandangan
mata didorong oleh gerak kapitalisme dengan warga kota sebagai konsumen dari
iklan-iklan tersebut. Keseharian warga kota dikonstruksi untuk melakukan
praktik-praktik konsumerisme. Dialektika yang dibangun di dalamnya adalah
dialektika konsumsi, dan bukanlah dialektika demokratis. Ruang publik tidak lagi
menjadi ruang bagi masyarakat untuk bertindak sebagai warga (act of citizenship),
melainkan menjadi ruang bagi masyarakat untuk bertindak sebagai konsumen,
serta sebagai ruang bagi penguasa untuk melakukan akumulasi kapital.
Kehadiran reklame memang bukan sesuatu yang baruterjadi di wilayah
urban seperti Yogyakarta. Seperti halnya di kota-kota besar lain, kehadiran
2
reklame merupakan konsekuensi logis dari peningkatan ekonomi di suatu kota.
Peningkatan ekonomi akan diiringi dengan pertumbuhan media-media promosi
untuk mengenalkan produk barang dan jasa yang dihasilkannya kepada
masyarakat. Kondisi ini terjadi karena para pengusaha—produsen produk barang
dan jasa—masihmenganggap bahwa iklan merupakan ujung tombak pemasaran
yang sangat penting. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mendorong
keberhasilan
pemasaran
dan
aktivitas
konsumsi—setelah
masyarakat
menanggapinya dengan cara membeli—dibutuhkanmedia promosi (iklan) yang
besar.
Reklame kemudian menjadi opsidengan tingkat feasibilityyang tinggi untuk
dijadikan media beriklan karena dianggap paling mampu mencuri perhatian
konsumen (masyarakat) dalam keseharian mereka. Hal ini dikarenakan hampir
setiap hari, keseharian mereka sebagai masyarakat urban dihabiskan di luar ruangruang privat mereka. Maka jika ditinjau dari sudut sasaran iklan, reklame mampu
menjangkau audience yang sifatnya heterogen—berasal dari segala golongan usia,
pekerjaan, bahkan kelas—secara simultan dan dalam jangka waktu lama. Dan
dengan karakteristik media luar ruang seperti ini, keterlihatan reklame menjadi
faktor penting bagi para produsen iklan. Dalam perspektif produsen iklan,
persoalan keterlihatan berorientasi pada tersampaikannya muatan iklan kepada
konsumen.
Oleh karena itu, reklame tidak hanya sekedar ditempatkan di luar ruangan
atau outdoor, melainkan harus ditempatkan pada lokasi yang mampu dijangkau
oleh banyak mata warga (konsumen). Bisa juga berarti secara simultan reklame
3
harus dipasang dalam jumlah banyak di berbagai tempat agar sering terlihat oleh
orang. Pemasangannya juga tak tanggung-tanggung kerap dijumpai dalam ukuran
besar dengan tiang pancang yang menjulang tinggi-tinggi, bahkan—bila perlu—
menutupi detail bangunan-bangunan kota. Berdasarkan itu semua, perburuan titiktitik strategis lokasi pemasangan reklame pun dimulai. Selain di pusat-pusat
industri komersial (pertokoan), perempatan jalan juga merupakan titik strategis
dalam ruang kota untuk penempatan reklame.
Namun, keberadaan ruang publik di kota seperti taman kota, taman bermain,
dan pedestrian (trotoar) menjadi terancam seiring dengan pertumbuhan reklame
yang begitu pesat. Taman-taman kota, taman bermain dan trotoar jadi sasaran
tempat pemasangan reklame karena dianggap sebagai lokasi strategis. Hingga
akhirnya ruang-ruang publik di kota terlihat penuh dan sesak dipadati beragam
iklan. Pertumbuhan reklame pun menjadi tidak terarah. Kondisi ini, selain
berdampak pada distorsi visual, akhirnya ikut memberikan tekanan pada ruang
publik di kota Yogyakarta. Keberadaan ruang-ruang publik di kota menjadi
semakin tergerus oleh deru kapitalisme.
Pertumbuhan reklame yang terjadi di Yogyakarta juga tidak diiringi dengan
kontrol dari pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap penyelenggaraan reklame
terbukti sangat minim dengan kebijakan pemerintah yang sangat rentan terhadap
pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran yang seringkali terjadi, antara lain: banyak
reklame yang terpasang ternyata belum memiliki izin, bagi reklame yang sudah
mengantongi izin pun banyak yang melanggar aturan pemasangannya. Reklame
dalam berbagai bentuk dipasang berjajar dengan jarak berdekatan di trotoar, tiang
4
listrik, tiang telepon, tiang lampu jalan, tiang rambu lalu lintas, tiang lampu lalu
lintas (traffic light), bahkan dipakukan di pohon-pohon perindang jalan.
Akibatnya, kondisi ini mengganggu aktivitas warga (publik) karena mengambil
alih fungsi trotoar dan mempersempit luas jalan.
Pemasangan reklame yang tidak beraturan dan berhamburan di ruang kota
pada akhirnya menghasilkan persoalan lingkungan baru di perkotaan, yaitu
sampah visual. Sampah visual didefinisikan sebagai iklan luar ruang yang
dipasang tidak sesuai dengan peruntukkannya (Arifin dan Nisa, 2014:13).Artinya,
reklame yang dipasang di ruang-ruang kota tidak pada tempatnya, seperti pada
fasilitas-fasilitas publik, misal tiang listrik, tiang penerangan jalan umum (PJU),
tiang rambu pendahulu penunjuk jalan (RPPJ), tiang rambu lalu lintas (seperti
traffic light, rambu U-turn dan sejenisnya), pohon perindang, atau ruang-ruang
publik, seperti trotoar, taman kota, dan taman bermain ini adalah sampah visual.
Selain mencemari keindahan lingkungan, sampah visual juga mencemari kondisi
visual ruang kota.
Sampah visual yang tersebar di ruang kota Yogyakarta pun tak berhenti
pada sampah visual yang dihasilkan oleh iklan komersial. Kehadiran iklan politik
pada masa kampanye menjelang pemilihan umum lima tahunan turut menyerbu
ruang-ruang publik. Invasi iklan politik bahkan masuk ke ruang-ruang publik
dengan lingkup yang lebih kecil, seperti jalanan perkampungan sekitar lokasi
pemukiman
warga,
lapangan-lapangan
bola
dan
ruang-ruang
tempat
berkumpulnya warga. Kondisi ini terjadi karena praktik kampanye konvensional
dengan menggunakan Alat Peraga Kampanye (APK) masih secara masif
5
dilakukan oleh partai politik dan para peserta pemilu, baik calon anggota
legislative (caleg), kandidat kepala daerah, maupun kandidat presiden dan wakil
presiden.
Hakikat iklan politik pun hampir sama dengan iklan komersial,
kehadirannya tanpa mempertimbangkan visualisasi dan estetika.
Dalam
penyelenggaraannya, praktik iklan politik juga tercatat diwarnai banyak
pelanggaran. Dari data Bawaslu DIY per akhir bulan Februari 2014 tercatat
sebanyak 12.020 jenis pelanggaran Alat Peraga Kampanye (APK). Jumlah
tersebut tersebar di lima Kabupaten dan Kota, sedangkan terbanyak ditemukan di
Kota Yogyakarta mencapai 6.492 APK.2 Jenis pelanggarannya juga masih sama
seperti
yang
sebelumnya—periode
pemilu
sebelumnya—daripara
caleg,
yaitudalam bentuk baliho, spanduk dan rontek. Dan pemasangannya tidak pada
zona yang ditentukan.
Pada saat yang sama, di tengah kekacauan visual yang terjadi di ruang kota
itu, pemerintah sebagai penentu kebijakan kota melihat peluang untuk
meningkatkan pemasukan daerahnya dengan kehadiran reklame. Reklame
menjadi salah satu sumber penyumbang terbesar bagi pemasukan asli daerah
(PAD) Kota Yogyakarta. Dalam kondisi tersebut, iklan luar ruang atau reklame
hanya dipandang sebagai salah satu aspek ekonomi yang perlu diatur oleh Negara.
Pengaturannya hanya berorentasi pada kontrol Negara terhadap persoalan
keterlihatan yang menyangkut titik-titik (lokasi) pemasangan reklame dengan
logika ekonomi. Persoalan keterlihatan dalam pengaturan tersebut tidak
2
Lihat berita Kota Yogya Terbanyak Ditemukan Pelanggaran Pemasangan APK pada
situshttp://jogja.tribunnews.com/2014/03/08/kota-yogya-terbanyak-ditemukan-pelanggaranpemasangan-apk/
6
membicarakan sama sekali apakah pemasangan reklame nyaman bagi mereka
yang melihatnya (warga kota). Padahal, semestinya persoalan keterlihatan
reklame di ruang kota harus dilihat lebih dari sekedar persoalan mengenai pajak—
harga sewa dan besaran pemasukan—yang dihasilkan dari penyelenggaraan
reklame.
Persoalan keterlihatan reklame di ruang kota seharusnya dilihat sebagai
persoalan perlawanan terhadap dominasi narasi kapitalisme telah merebut ruang
publik dari warga kota itu sendiri. Ketika pemerintah tak mampu melakukan
perlawanan itu dan juga tak mampu melindungi warga kota dari gencatan
dominasi kapitalisme di ruang kota, maka warga kotalah yang harus melakukan
perlawanan untuk melindungi diri mereka sendiri.Menjelang tahun 2012, muncul
kampanye ‘anti sampah visual’ melalui media jejaring sosial yang diunggah oleh
Sumbo Tinarbuko, seorang dosen pengampu mata kuliah Desain Komunikasi
Visual (DKV) pada Jurusan Desain Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia
(ISI) Yogyakarta. Kampanye ‘anti sampah visual’ ini kemudian berkembang
menjadi sebuah gerakan sosial berbasis masyarakat. Gerakan ini mendorong
warga kota untuk lebih peka terhadap persoalan visualitas kota yang kian
memprihatinkan akibat ekspansi sampah visual di ruang-ruang kota.
Gerakan yang diinisiasi oleh Sumbo Tinarbuko ini kemudian diwadahi ke
dalam sebuah komunitas yang dikenal dengan nama Komunitas Reresik Sampah
Visual. Gerakan ini selain melakukan kampanye ‘anti sampah visual’ juga
melakukan protes yang ditujukan kepada pemerintah dengan aksi mencabuti
sampah visual di ruang-ruang kota Yogyakarta, yang kini dikenal dengan nama
7
gerakan reresik3 sampah visual.Hal yang menarik dari adanya gerakan ini adalah
gerakan ini sebenarnya bisa dilihat sebagai respon warga kota terhadap ancaman
ruang publik kota mereka dari dominasi kepentingan sektor privat yang
mengkerutkan ruang publik dengan serbuan sampah visual di ruang publik
kota.Berdasarkan itu semua, dengan mengambil kasus Gerakan Reresik Sampah
Visual, penelitian ini bermaksud melihat upaya perlawanan oleh warga kota
Yogyakarta terhadap dominasi kapitalisme untuk merebut kembali ruang publik
mereka.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana GerakanReresik Sampah Visual dalam
upayanya merebut kembali ruang publik di Yogyakarta dilihat dalam konsep
gerakan sosial baru?”
C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui upaya-upayayang dilakukan gerakanreresik sampah
visualuntuk merebut kembali ruang publik di kota Yogyakarta.
b. Untuk mengetahui dinamika gerakan dalam upaya merebut kembali ruang
publik di kota Yogyakarta.
c. Untuk mengetahui upaya gerakan reresik sampah visual untuk merebut
kembali ruang publik di kota Yogyakarta dalam konsep gerakan sosial
baru.
3
Dalam bahasa Jawa, reresik memiliki arti membersihkan. Terminologi ini digunakan agar nama
aksi bisa menjadi familiar di tengah masyarakat Yogyakarta, tempat lahirnya gerakan tersebut.
8
D. Kerangka Teori
Penelitian ini akan dilandasi dengan beberapa landasan berpikir yang akan
menjadi pembatas bagi penulis dalam mengumpulkan data dan menuangkannya
ke dalam tulisan. Diawali dengan pendefinisian ruang publik yang akan
mempengaruhi pendekatan konsep antara ruang publik yang akan digunakan
dalam tulisan ini. Kemudian, komersialisasi ruang publik yang melatarbelakangi
penelitian ini juga perlu dikerangkai dengan teorisasi mengenai minimalisme
ruang publik guna menjelaskan tentang bagaimana kemunculan sampah visual
dapat menyebabkan hilangnya ruang publik bagi masyarakat kota di Yogyakarta.
Sedangkan, Gerakan Reresik Sampah Visualdalam penelitian ini akan dilihat
dengan pendekatan gerakan sosial baru (GSB) untuk dapat mengetahui peran
gerakan ini dalam ranah politik di area perkotaan terkait persoalan komersialisasi
ruang publik, sekaligus untuk menjelaskan apakah strategi ini cukup efektif dalam
upaya merebut kembali ruang publik yang hilang dari masyarakat kota.
D.1.
Ruang Publik
Sejak awal kemunculannya, setiap pembicaraan tentang ruang publik selalu
harus berhadapan dengan persoalan keberagaman definisi yang tidak mudah
diselesaikan. Istilah “ruang publik” memiliki beragam maknatergantung dari
konteks penggunaannya. Misalnya, ruang publik bagi para pemikir geografi dan
arsitektur, merujuk pada Lefebvre (1996: 67), yakni “jaringan keterlibatan dan
ruang sosial tertentu yang menyangga kerjasama dan koordinasi civitas, terutama
dalam interaksi antara kota besar dan ekonomi global”. Bagi para ekonom
mainstream, istilah ruang publik (public domain) merujuk sebagai sesuatu yang
9
muncul karena kegagalan mekanisme pasar bebas (market failure) dalam
menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan semua warga masyarakat. Pada
umumnya ruang publik dilihat sebagai bidang-bidang seperti lingkungan hidup,
kesehatan masyarakat, pendidikan masal, keamanan dan semacamnya yang
pengadaannya dianggap sebagai tugas pemerintah (B. Herry-Priyono, 2005: 153).
Ruang publik bagi berbagai refleksi budaya, merujuk ke Eagleton (2003:
74-102), mengacu pada gugus-gugus keyakinan, pandangan dan praktik yang
menyangkut sikap, wacana, cara berpikir dan merasa kolektif, selera, corak
keberadaban (civility) yang berlangsung dalam interaksi sosial. Sedangkan bagi
berbagai refleksi sosiologis, ruang publik mengacu pada jaringan trust dan
resiprositas yang menentukan ada-tidaknya kohesi suatu masyarakat atau dapat
dikatakan konsepsi yang bersifat Durkheimian, yakni konsepsi yang mengacu
pada ciri dan kadar sosial (the social) suatu masyarakat (Durkheim, 1964).
Selanjutnya, ruang publik dalam refleksi filsafat politik, konsepsi ruang publik
banyak mengacu pada konsepsi Habermas, yakni “ruang publik merupakan arus
keterlibatan kolektif yang selalu dinegosiasikan, bersifat tidak stabil, lentur dan
terbuka” (Habermas, 1989: 37). Dari beberapa contoh keberagaman definisi ruang
publik seperti yang diuraikan tersebut bisa dilihat dengan lebih jelas melalui
skema berikut:
10
RUANG PUBLIK
Social Capital:
Public Services:
Jaringan trust&
resiprositas
Keamanan, pendidikan,
Kebutuhan umum
kesehatan, jalan,
(market failure)
tanaman, lingkungan
hidup, dsb
Public Culture:
Public Space:
Public Goods:
Bahasa, sikap, selera,
cara pikir-rasa
kolektif, civility
Ruang/tempat
bertemu untuk
debat-diskusi
Interelasi antara ranah
pasar, keluarga, pemerintah,
dan kelompok independen
yang membentuk the social
suatu masyarakat
Skema 1. Keragaman Definisi Ruang Publik4
Berdasarkan skema keragaman definisi ruang publik tersebut, secara positif
kita dapat menunjuk arti ruang publik dalam rumusan berikut: ruang publik adalah
arena maupun aset, barang, jasa, ruang, dan gugus infrastruktur lain yang
kinerjanya menjadi penyangga watak sosial suatu masyarakat, sehingga
masyarakat tersebut berevolusi dari sekedar ‘kerumunan’ (crowd)menjadi
‘komunitas’ (community) (B. Herry-Priyono, 2005: 158). Jika disimak dari
rumusan tersebut, maka ruang publik merupakan sebuah arena dimana keseharian
kita berkecimpung di dalamnya.Ruang publik baik dalam arti fisik maupun non
fisik tidak hanya merupakan sebuah arena sebagai tempat bagi kita beraktivitas,
tetapi juga sebuah ruang bagi berkembangnya ide, pikiran, dan artikulasi
4
Gambar dipinjam dari Daniel Drache, “The Return of the Public Domain…” dalam Sunaryo Hadi
Wibowo (Ed.), Republik Tanpa Ruang Publik, Yogyakarta: IRE Press, 2005, hlm. 156
11
kepentingan kita. Dengan demikian, ruang publik bukan hanya sekedar sebuah
taman kota, jalan raya, maupun tempat-tempat yang berkaitan dengan tata kota
tetapi juga mencakup kehidupan kita dalam berdemokrasi melakukan praktik
sosial, politik dan ekonomi. Untuk itu, ruang publik bukanlah hak prerogatif
pemerintah dan keberadaannya pun tidak untuk diperjual-belikan melalui
mekanisme pasar-bebas.
Dalam tulisan ini, istilah ‘ruang publik’ mengacu pada dua arti: pertama,
istilah ruang publik dalam arti deskriptif, yakni sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan distingsi antara publik dan privat. Istilah ini mengacu pada suatu ruang
yang dapat diakses semua orang, maka juga membatasi dirinya secara spasial dari
adanya ruang lain, yaitu ruang privat. Dalam arti ini, ruang publik—berbeda dari
ruang privat yang merupakan locus intimitas, seperti keluarga dan rumah—
merupakan locus kewarganegaraan dan keadaban publik, karena ruang publik
dibentuk oleh para warga yang saling respek terhadap hak mereka masing-masing.
Kedua, istilah ruang publik dalam arti normatif, yakni mengacu pada peranan
masyarakat warga dalam demokrasi. Ruang publik dalam arti normatif itu—yang
juga disebut “ruang publik politis”—adalah suatu ruang komunikasi para
warganegara untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan (Hardiman, 2010:1011).
D.2.
Minimalisme Ruang Publik5
Jika ruang publik dijelaskan dengan analogi sebuah wadah, maka wadah
tersebut dapat dikatakan mempunyai kualitas kepublikan (publicity) sejauh ia
5
Meminjam istilah Yasraf A. Piliang, “Minimalisme Ruang Publik: Budaya Publik di dalam Abad
Informasi” dalam Sunaryo Hadi Wibowo (Ed.), Republik Tanpa Ruang Publik, Yogyakarta: IRE
Press, 2005.
12
dapatmenampung di dalam dirinya berbagai entitas dengan beragam kepentingan
(interest). Dengan analogi yang sama pula, ruang publik juga dapat dibedakan
dalam ruang publik ideal (ideal public sphere) dan ruang publik riil (real public
space). Ruang publik ideal menjelaskan sebuah ruang teoritis yang didalamnya
terdapat berbagai elemen publik dengan berbagai kepentingan, dimana
kepentingan mereka secara maksimal dapat ditampung dan direalisasikan di
dalam ruang publik. Ruang publik riil menjelaskan ruang publik ‘nyata’ dalam
realitas sehari-hari, yang berdasarkan perannya, menampung kepentingan publik
dibedakan di dalam semacam spektrum kepublikan (the spectrum of publicness)
(Wibowo, 2005:1-3).
Selanjutnya, apabila ruang publik dinilai berdasarkan ‘kapasitas’ dan
‘kualitasnya’ dalam menampung dan memberi tempat berbagai kelompok dan
kepentingan, maka sebenarnya ada semacam ‘derajat kepublikan’ (a degree of
publicness) sebuah ruang publik (Piliang, 2005: 12). Ruang publik dapat
dibedakan dalam dua titik ekstrem berdasarkan derajat kepublikan tersebut, yakni
ruang publik yang ‘minimalis’ dan ruang publik yang ‘maksimalis’. Ruang publik
minimalis, yaitu ruang publik yang minimal tingkat kepublikannya, dan ruang
publik maksimalis, yaitu ruang publik yang tinggi kualitas kepublikannya.
Ruang publik dengan tingkat kepublikan yang minimalis rentan mengalami
apa yang disebut sebagai ‘minimalisme’. Merujuk pada Piliang (2005), istilah
‘minimalisme’ ini berkaitan dengan keadaan psikis pada diri seseorang atau
kelompok sosial, yang mengalami keadaan diri minimal (minimal self)
(Piliang,2005:13). Dalam konteks ruang publik, minimalisme terjadi dalam
13
berbagai unsur yang membangun ruang publik itu sendiri, yang meliputi aktor,
institusi, sarana, ide dan gagasan yang terlibat di dalamnya. Minimalisme ruang
publik dalam konteks masyarakat Indonesia dapat dijelaskan melalui berbagai
fenomena minimalisme sebagai berikut (Piliang,2005:15):
a. Pendangkalan ruang publik, yaitu ketika ruang publik cenderung
dibangun oleh representasi atau tindakan (action) yang dilandasi oleh
berbagai strategi populer yang memanfaatkan model-model psikologi
massa populer dalam rangka menguasai ruang publik melalui ‘kekuatan
popularitas’ di dalamnya, meskipun popularitas ini tidak didukung oleh
pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan yang sebenarnya.
b. Komodifikasi ruang publik, yaitu didominasinya ruang publik oleh
kaum borjuis-kapitalis yang menanamkan pengaruhnya tidak saja pada
sektor ekonomi akan tetapi pada sektor-sektor kehidupan lainnya.
Minimalisme ruang publik dalam hal ini adalah ketika ruang publik
dikerutkan atau diredusir ke dalam wujud komoditi.
c. Banalitas ruang publik, yaitu marjinalisasi dan minimalisasi berbagai hal
yang esensial dalam rangka memaksimalkan berbagai hal yang takesensial,
semata
dalam
rangka
mengikuti
mekanisme
hasrat
kapitalisme—minimalisme yang esensial, maksimalisme yang takesensial.
d. Virtualitas ruang publik, yaitu didominasinya relasi di dalam ruang
publik oleh model-model relasi virtual. Minimalisme ruang publik
dalam hal ini terbentuk ketika—lewat kemampuan teknologi digital dan
14
virtual dalam memanipulasi dan merekayasa citra realitas—ruang publik
didominasi oleh berbagai bentuk kepalsuan, kesemuan dan distorsi
realitas.
e. Transparansi ruang publik, dalam pengertian runtuhnya batas-batas yang
selama ini memisahkan antara ruang publik (public sphere) dengan apa
yang disebut ruang pribadi (private sphere). Minimalisme ruang publik
dalam hal ini terjadi ketika ruang tersebut didominasi oleh elemenelemen private space, yang sebelumnya dianggap rahasia kini dapat
disebarluaskan ke dalam berbagai jaringan global sebagai pengetahuan
publik.
f. Imortalitas ruang publik, yaitu kecenderungan tergusurnya berbagai
prinsip moral di dalam ruang publik, yang diambilalih oleh berbagai
kecenderungan permutarbalikan atau permainan moral (immortality).
Dengan kata lain, immortalitas ruang publik adalah proses ke arah
‘minimalisme moral’, yaitu diredusirnya makna moralitas itu sendiri ke
dalam bentuk yang paling rendah.
g. Mitologisasi dan mistifikasi ruang publik, yaitu didominasinya ruang
publik oleh berbagai mitor dan mistik dengan meminggrikan dunia
realitas yang sesungguhnya.
Minimalisme ruang publik tidak akan mampu menciptakan sebuah ruang
yang di dalamnya dapat dimaksimalkan debat publik secara demokratis. Maka,
jika Jurgen Habermas mengajukan ruang publik ideal (ideal public sphere)
sebagai syarat mutlak bagi sebuah proses demokratisasi, dengan melihat berbagai
15
kecenderungan minimalisme di atas, kemungkinan yang terbentuk justru
sebaliknya, yakni ‘ruang publik minimalis’ atau dengan kata lain, ruang publik
yang sangat tidak ideal bagi sebuah proses demokrasi.
Dalam tulisan ini minimalisme ruang publik mengacu secara spesifik dalam
konteks komodifikasi ruang publik. Pada kasus dominasi ruang publik oleh
sampah visual, ruang publik di kota Yogyakarta mengalami komersialisasi. Dan
bentuk komersialisasi ruang publik yang paling nyata terjadi adalah ketika
pemanfaatan ruang publik di kota berorientasi pada akumulasi kapital yang
ditunjukkan dengan pertumbuhan sampah visual yang justru dijadikan peluang
oleh pemerintah kota Yogyakarta untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
D.3.
Konsep Gerakan Sosial
Seiring dengan perkembangan kisah–kisah gerakan sosial, tidak ada
definisi tunggal mengenai konsep gerakan sosial sebagai suatu gejala sosial. Oleh
Gidden (1993: 642) misalnya, gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu upaya
kolektif untuk mengejar kepentingan bersama, mencapai tujuan bersama melalui
tindakan kolektif (collective action) di luar lembaga yang mapan. Definisi yang
lebih komprehensif dirumuskan oleh Van Klinken (2007: 11), gerakan sosial
sebagai kolektivitas-kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu
bertindak di luar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan
menggugat atau mempertahankan otoritas, baik yang didasarkan secara
institusional atau kultural dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat,
kebudayaan atau tatanan dunia di mana merekamerupakan salah satu bagiannya.
16
Dari definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa gerakan sosial merupakan
suatu gerakan kolektif yang bersifat menentang dengan tujuan mencapai
kepentingan atau tujuan kolektif.Definisi ini bersifat luas karena gerakan sosial
memiliki ragam yang sangat variatif.
Konseptualisasi ini melibatkan 5 (lima) hal untuk bisa dikatakan sebagai
gerakan sosial (Haryanto, Hairini, Abu Bakar: 2013, 189), yakni: tindakan
kolektif atau gabungan, bersifat ekstra-institusional atau non institusional, tujuan
atau klaim-klaim yang berorientasi pada perubahan, organisasi sampai tingkat
tertentu (relasi), dan keberlanjutan dalam hal waktu sampai tingkat tertentu.
Gerakan sosial bisa memiliki partisipan yang sedikit, tetapi bisa juga memiliki
partisipan dalam jumlah ribuan bahkan jutaan orang. Gerakan sosial bisa
beroperasi dalam batas-batas legalitas suatu masyarakat, namun bisa juga
bergerak secara illegal atau sebagai kelompok ‘bawah tanah’ (underground
groups) (Suharko, 2006: 3). Tarrow (1998) menempatkan gerakan sosial dalam
kategori yang lebih umum, yaitu tentang politik perlawanan (contentious politics).
Politik perlawanan terjadi ketika rakyat biasa sering bergabung dengan
para warga yang lebih berpengaruh untuk menggalang kekuatan melawan para
elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Politik perlawanan bisa
mencakup gerakan sosial, siklus penentangan (cyclus of contention) dan
revolusi.Perlawanan seperti ini biasanya muncul ketika kesempatan dan hambatan
politik tengah berubah sehingga menciptakan dorongan bagi aktor-aktor sosial
yang kurang memiliki sumber daya pada dirinya sendiri. Ketika perlawanan
didukung oleh jaringan sosial yang kuat dan digaungkan oleh resonansi kultural
17
dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang
berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, sehingga menghasilkan suatu gerakan
sosial.
Tindakan yang mendasari politik perlawanan menurut Tarrow (1998)
adalah aksi kolektif yang melawan (contentious collective action). Tindakan atau
aksi kolektif ini bisa dilihat dalam banyak bentuk, yakni singkat atau
berkelanjutan, terlembagakan atau cepat bubar, membosankan atau dramatis. Aksi
kolektif memiliki semangat perlawanan apabila aksi dilakukan oleh orang-orang
yang kurang memiliki akses ke institusi-institusi untuk mengajukan klaim baru
atau klaim yang tidak diterima oleh pemegang otoritas atau pihak lain yang
ditentang. Aksi kolektif yang sifatnya melawan merupakan basis dari gerakan
sosial, karena aksi tersebut seringkali menjadi satu-satunya sumberdaya yang
dimiliki untuk menentang pihak-pihak yang lebih kuat, seperti negara.
Akan tetapi, tidak semua bentuk perlawanan politik bisa disebut sebagai
gerakan sosial. Tarrow (1998: 4-7) merumuskan bahwa gerakan sosial harus
memiliki empat hal yang mendasar, yakni:
a.
Tantangan kolektif (collective challenge)
Hal yang membedakan gerakan sosial dari tindakan-tindakan kolektif lain
adalah bahwa gerakan sosial selalu ditandai oleh tantangan-tantangan untuk
melawan melalui aksi langsung yang mengganggu terhadap para elit, pemegang
otoritas, kelompok-kelompok lain, atau aturan-aturan kultural tertentu. Tantangan
kolektif seringkali ditandai oleh tindakan mengganggu, menghalangi atau
membuat ketidakpastian terhadap kegiatan-kegiatan pihak lain, dan biasanya
18
disimbolisasikan lewat slogan, corak pakaian dan musik, atau penanaman baru
objek-objek yang familiar dengan simbol yang berbeda atau baru.
Tantangan kolektif merupakan karakteristik paling umum dari gerakan
sosial. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa gerakan sosial biasanya kurang
memiliki sumberdaya yang stabil (dana, organisasi, akses terhadap negara).
Dalam menghampiri konstituen baru dan menegaskan klaim-klaim mereka,
penentangan (contention)mungkin hanya satu-satunya sumberdaya gerakan yang
bisa dikuasai. Itulah mengapa, gerakan mempergunakan tantangan kolektif untuk
menjadi titik fokus bagi para pendukung untuk memperoleh perhatian dari kubu
yang dilawan.
b.
Tujuan bersama (common purpose)
Jika ada alasan yang paling jelas mengapa orang terikat bersama dalam
gerakan adalah untuk menyusun klaim bersama menentang pihal lawan,
pemegang otoritas, atau para elit. Meskipun tidak semua konflik semacam itu
muncul dari kepentingan kelas, tetapi nilai dan kepentingan bersama dan tumpang
tindih merupakan basis dari tindakan-tindakan bersama (Suharko: 2006, 6)
c.
Solidaritas dan Identitas Kolektif
Sesuatu yang menggerakan secara bersama-sama dari gerakan sosial
adalah pertimbangan tentang kepentingan bersama yang kemudian mengantarai
perubahan dari sekedar potensi gerakan menjadi aksi nyata (Suharko: 2006, 6).
Perancang gerakan memainkan peran penting dalam merangsang munculnya
konsesus semacam itu. Akan tetapi, pemimpin gerakan hanya dapat menciptakan
19
suatu gerakan sosial ketika mereka menggali lebih dalam perasaan-perasaan
solidaritas atau identitas.
d.
Memelihara Politik Perlawanan
Memelihara aksi kolektif melawan pihak musuh merupakan cara yang
paling efektif untuk bisa membawa suatu cerita perlawanan menjadi gerakan
sosial. Politik perlawanan ini bisa dipelihara gerakan dengan bantuan tujuan
kolektif, identitas bersama dan tantangan yang teridentifikasi. Namun, hal
sebaliknya akan terjadi jika gerakan tidak mampu memelihara tantangan bersama.
Gerakan akan menguap menjadi semacam kebencian atau kemarahan individual,
atau merubah menjadi sekte religious, atau bahkan mungkin menarik diri ke
dalam isolasi. Oleh karena itu, memelihara aksi kolektif dalam interaksi dengan
pihak lawan yang kuat dapat menandai titik pergeseran suatu penentangan
(contention) berubah menjadi suatu gerakan sosial (social movement).
D.4.
Gerakan Sosial Baru
Wacana tentang Gerakan Sosial Baru (GSB) bermula di negara-negara
maju sebagai bagian dari konteks perkembangan peradabannya. Istilah “gerakan
sosial baru” digunakan secara luas untuk merujuk pada fenomena gerakan sosial
yang muncul sekitar tahun 1960-an – 1970-an di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat dan Eropa Barat yang pada masa itu telah memasuki era ekonomi
pasca-industrial (post-industrial economy). Para ilmuwan sosial yang mengamati
fenomena gerakan sosial ini sejak awal kemunculannya mendapati bahwa GSB
merupakan tambahan baru untuk teori gerakan sosial yang menekankan baik pada
elemen makrohistoris maupun mikrohistoris pada gerakan social (Pichardo, 1997:
20
411).Pada tingkat makro, GSB menekankan hubungan antara kemunculan gerakan
sosial kontemporer dan struktur ekonomi yang lebih besar, serta peran budaya
dalam gerakan tersebut. Sedangkan, pada tingkat mikro, GSB menekankan
bagaimana isu-isu identitas dan perilaku pribadi terikat dalam gerakan sosial
(Pichardo, 1997: 411).
Seiring dengan perubahan tata sosial dan peradaban Barat, para ilmuwan
sosial melihat gerakan-gerakan sosial di sana memiliki tampilan watak yang
berubah dari gerakan-gerakan sosial sebelumnya (gerakan sosial ‘lama’ atau
klasik atau tradisional) (Suharko, 2006:8). Gerakan sosial lama (klasik) seperti
dalam teori-teori Marxis, dicirikan secara kuat dengan tujuan ekonomis-material
sebagaimana tercermin dari gerakan-gerakan kelas pekerja atau kaum buruh,
sedangkan GSB lebih menekankan pada tujuan-tujuan yang bersifat non-material.
Kemudian dalam perkembangannya, para ilmuwan sosial memperluas kajiannya
ke berbagai negara yang sedang berkembang. Hasilnya adalah temuan gerakan
sosial yang memiliki tipe kurang lebih sama, meskipun latar dan konteks
perkembangan masyarakat pasca-industrial belum terjadi di negara-negara
tersebut. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Singh (2001), GSB bukan hanya
terjadi di negara-negara Barat, akan tetapi juga berlangsung di negara-negara
berkembang.
Gerakan sosial baru sendiri bisa dipahami dalam dua hal. Pertama, GSB
sebagai suatu tipe gerakan sosial yang memiliki karakter unik dan berbeda jauh
dari gerakan-gerakan sosial pada era industri atau gerakan sosial lama. Kedua,
akumulasi pengetahuan yang dihasilkan dari riset-riset tentang GSB telah
21
membawanya pada status sebagai suatu cara pandang terhadap suatu
permasalahan (paradigma) dalam memahami kenyataan sosial itu sendiri
(Pichardo, 1997; Singh, 2001). Perbedaan-perbedaan karakter gerakan yang
membentuk keunikan dari gerakan sosial baru tampak dalam tujuan dan ideologi,
taktik, struktur dan partisipan atau aktor gerakannya.
Karakteristik utama GSB adalah pandangan ideologisnya yang berbeda
(Dalton et al, 1990). Perjuangan-perjuangan GSB lebih menekankan pada
permasalahan gaya hidup dan kualitas hidup daripada berfokus pada redistribusi
ekonomi seperti yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan kelas pekerja. Gerakan
sosial baru tidak lagi tertarik dengan isu-isu seperti kenaikan upah buruh dalam
industri, perjuangan terhadap ketimpangan ekonomi dan eksploitasi kelas yang
diakibatkan oleh bekerjanya sistem kapitalisme (Suharko, 2006: 9). Secara
bersamaan, nilai-nilai GSB berpusat pada otonomi dan identitas (Offe, 1995;
Pichardo, 1997: 414). Fokus pada identitas juga dianggap unik karena “politik
identitas juga mengungkapkan keyakinan bahwa identitas itu sendiri—dengan
elaborasi, ekspresi atau penegasannya—harus menjadi fokus fundamental dari
kerja politik. Dengan cara ini, politik identitas telah menghasilkan sebuah
politisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dari medan nonpolitik”
(Kauffman, 1990: 67).
Hal ini diungkapkan dalam gagasan bahwa “pribadi
adalah politik” (Picardo, 1997: 414).
GSB pada dasarnya hadir sebagai bentuk respon terhadap menguatnya
kehadiran dua institusi, yakni negara (the state) dan pasar (the market) terhadap
masyarakat sipil (Singh, 2001), dimana ruang sosial warga mengalami penciutan
22
dikarenakan kontrol negara yang berlebihan dan pasar yang menerobos masuk
hampir ke dalam semua aspek kehidupan warga. Oleh karena itu, GSB
membangkitkan isu ‘pertahanan diri’ komunitas dan masyarakat untuk melawan
ekspansi aparat negara dan pasar yang makin meningkat. Ekspresinya mewujud
dalam lahirnya agen-agen yang memperjuangkan pengawasan dan kontrol sosial,
seperti kaum urban marginal, aktivis lingkungan, kelompok anti otoritarian, kaum
anti rasisme dan juga para feminis. GSB melawan tata sosial dan kondisi yang
didominasi oleh negara dan pasar, serta menyerukan sebuah kondisi yang lebih
adil dan bermartabat (Suharko,2006: 10).
Taktik-taktik yang digunakan GSB mencerminkan orientasi ideologinya.
Keyakinan pada karakter demokrasi modern yang tidak representatif konsisten
dengan orientasi taktik yang anti-institusional. GSB lebih memilih saluran-saluran
di luar politik formal. Dalam tujuannya untuk mendapatkan daya tawar politik,
para aktivis GSB menerapkan taktik yang bersifat mengganggu (disruptive)
dengan melakukan mobilisasi wacana atau opini publik dan menggunakan bentukbentuk demonstrasi yang sangat dramatis lengkap dengan representasirepresentasi simbolik (Tarrow, 1994). Namun, tidak berarti GSB tidak melibatkan
diri dalam politik atau menghindari menjadi terlembaga sendiri. Beberapa gerakan
sosial baru telah berintegrasi ke dalam sistem kepartaian dan mendapatkan akses
pada pengaturan, pelaksanaan dan lembaga pengambil keputusan, sedangkan
beberapa lainnya telah membentuk partai politik yang secara rutin berkompetisi
dalam pemilihan perwakilan, seperti sejumlah partai Hijau (Green parties) yang
23
terkenal di Eropa dengan beberapa yang memiliki perwujudan local di Amerika
Serikat.
Pada umumnya, GSB membidik isu-isu yang bersumber dari masyarakat
sipil (civil society) daripada perekonomian dan negara. Dalam sasaran
perjuangannya, GSB membatasi pada empat hal, yakni: tidak berjuang untuk
kembalinya komunitas-komunitas utopia yang tidak terjangkau di masa lalu;
berjuang untuk otonomi, pluralitas dan perbedaan; melakukan upaya sadar untuk
belajar dari pengalaman masa lalu untuk merelatifkan nilai-nilai mereka melalui
penalaran; mempertimbangkan keberadaan formal negara dan ekonomi pasar
(Cohen: 1985). Dengan demikian, Cohen berpandangan bahwa tujuan GSB adalah
menata kembali hubungan negara, masyarakat dan perekonomian, serta untuk
menciptakan ruang publik yang di dalamnya wacana demokratis tentang otonomi
dan kebebasan individual, kolektivitas, serta identitas dan orientasi mereka bisa
didiskusikan.
Sikap anti-institusional GSB juga meluas terhadap cara mereka mengatur
diri. GSB mencoba untuk meniru jenis pemerintahan representatif yang mereka
inginkan ke dalam struktur mereka sendiri. Artinya, mereka mengorganisir diri
dalam gaya cair dan tidak kaku agar terhindar dari bahaya oligarkisasi. Mereka
juga mendukung sikap anti-birokrasi untuk melawan apa yang mereka anggap
sebagai karakter dehumanisasi birokrasi modern (karakter birokrasi yang
merendahkan martabat) (Kitschelt, 1993: 15). Jadi, mereka menuntut sekaligus
menciptakan struktur yang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan
24
individu-individu, yakni struktur yang terbuka, terdesentralisasi dan tidak bersifat
hirarkis.
Para aktor-aktor atau partisipan GSB berasal dari berbagai basis sosial.
Mereka tidak bisa dibedakan berdasarkan kelas, gender, suku, umur, lokalitas,
pendidikan, pekerjaan
dan seterusnya. Mereka tidak terkotakkan pada
penggolongan tertentu seperti kaum proletar, petani dan buruh, sebagaimana
aktor-aktor gerakan sosial lama yang biasanya melibatkan kaum marjinal dan
teralienasi (Suharko, 2006: 11). Meskipun ada anggapan bahwa partisipan GSB
umumnya berasal dari kalangan kelas menengah baru (the new middle class):
strata sosial yang baru-baru ini muncul yang bekerja di sektor-sektor ekonomi
non-produktif, akan tetapi strata sosial ini justru mampu menghasilkan partisipanpartisipan utama atau pemimpin-pemimpin gerakan. Hal ini disebabkan karena
mereka yang termasuk dalam kalangan ini umumnya tidak terikat oleh motifmotif keuntungan korporasi dan juga tidak bergantung pada korporasi untuk
kelangsungan hidup mereka. Sebaliknya, mereka umumnya bekerja di sektorsektor yang sangat bergantung pada belanja negara seperti kaum akademia,
seniman, dan agen-agen pelayanan kemanusiaan, dan mereka pun umumnya
merupakan kaum terdidik (Pichardo, 1997: 416-417)
Para aktor GSB tidak dibedakan berdasarkan batasan-batasan kelas,
melainkan ditandai berdasarkan keprihatinan bersama atas isu-isu sosial, karena
ini bukanlah komunitas berbasis suku, agama ataupun kelas, melainkan berbasis
ideologi dan nilai yang sama. Offe (1985) menawarkan pandangan yang sedikit
berbeda terkait siapa aktor-aktor dalam GSB. Ia berpandangan bahwa aktor atau
25
partisipan GSB berasal dari tiga sektor, yakni: kelas menengah baru, unsur-unsur
kelas menengah lama (petani, pemilik toko dan penghasil karya seni), dan
populasi pinggiran yang terdiri dari orang-orang yang tidak terlalu terlibat dalam
pasar kerja (mahasiswa, ibu rumah tangga dan para pensiunan).
Berdasarkan uraian karakteristik tersebut, GSB menampakkan wajah
sebagai gerakan sosial yang plural. Pluralitas itu terpantul jelas dari bentuk-bentuk
aksi GSB yang menapaki banyak jalur, mencita-citakan beragam tujuan, dan
menyuarakan aneka kepentingan (Suharko,2006: 12). Isu-isu yang menjadi
perhatian GSB melintasi batasan-batasan bangsa dan masyarakat, bahkan
melintasi dunia melintasi dunia manusia menuju dunia alami. Artinya, dalam
konteks ini GSB menampakkan wajah trans-manusia dengan mendukung
kelestarian alam dimana manusia merupakan salah satu bagiannya, diantaranya
seperti pada gerakan-gerakan ekologi atau lingkungan, anti nuklir, perdamaian
dan sejenisnya, yang menghamparkan kebersamaan warga dari beragam
nasionalitas, kebudayaan dan sistem politik (Singh, 2001).
Berdasarkan teorisasi GSB tersebut, tulisan tentang Gerakan Reresik
Sampah Visualini akan dilihat dengan perspektif GSB. Asumsinya bahwa ide-ide
dasar gerakan didasarkan pada isu seputar ruang publik dan lingkungannya, dan
perhatian terhadap budaya dan gaya hidup sosial warga kota. Mobilisasi wacana
publik tentang bencana sosial berupa sampah visual yang dilakukan oleh gerakan
ini menciptakan berbagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan Peraturan Daerah
(Perda) tentang penyelenggaraan iklan luar ruang (reklame) juga merupakan
alasan mendasar penggunaan konsep GSB dalam tulisan ini.
26
E. Metode Penelitian
E.1.
Jenis Penelitian
Banyak metode penelitian yang dapat digunakan sebagai referensi untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian mengenai gerakan reresik sampah
visualini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, metode
penelitian kualitatif digunakan karena dianggap mampu mendeskripsikan suatu
fenomena secara lebih mendalam. Penelitian kualitatif juga memberikan jawaban
atau rincian lebih kompleks yang mungkin tidak bisa diungkapkan dengan
menggunakan metode kuantitatif (Yin,2006).
Secara lebih spesifik, dalam upaya untuk menjawab pertanyaan penelitian,
penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Hal ini didasarkan pada kasus
yang ingin diungkapkan merupakan sebuah kasus spesifik dan cenderung tidak
mampu digeneralisir dalam mencari jawabannya. Studi kasus merupakan tipe
pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya hanya kepada satu kasus yang
dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Studi kasus
juga merupakan sebuah penelitian dimana hal yang diteliti adalah hal yang
bersifat kontemporer. Dengan kata lain, kasus tersebut sedang atau telah selesai
terjadi namun masih memiliki dampak yang dapat dirasakan pada saat penelitian
dilaksanakan, atau yang dapat menunjukkan perbedaan fenomena yang biasa
terjadi.
Sebagai sebuah metode yang cukup tua dalam mahzab kualitatif, studi kasus
senantiasa mengalami perkembangan dalam perjalanannya. Menurut Mooney
(1998) ada empat sudut pandang dalam melihat studi kasus. Dalam penelitian ini,
27
penulis mengacu pada studi kasus tunggal dengan Single Level Analysis, yakni
studi kasus yang menyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan satu
masalah penting. Lebih dalam lagi studi kasus ini berada pada tahap explanation
yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang diteliti.Penggunaan studi kasus
tunggal dalam penelitian ini, dirasa penulis paling pas untuk dalam menjelaskan
fenomena yang ingin diteliti, yaitu proses gerakan reresik sampah visualmerebut
kembali ruang publik di wilayah perkotaan Yogyakarta. Ini masuk ke dalam kasus
tunggal karena memang yang menjadi target penelitian adalah satu masalah yang
bersifat kontemporer dan didalamnya terdapat keterlibatan individu atau
kelompok individu dalam merespon suatu fenomena.
Studi kasussebenarnya memiliki beberapa kelemahan, yakni terkait
intepretasi dan objektivitas. Dalam penelitian dengan studi kasus sendiri, peneliti
diharapkan dapat menjadi bagian dari kelompok individu atau komunitas
tujuannya agar data yang didapatkan bisa lebih mendalam. Akan tetapi, hal inilah
yang menyebabkan objektivitas akan sedikit terganggu. Kedekatan peneliti
dengan respondententu akan berimplikasi pada intepretasi saat menganalisis
data.Di samping itu, studi kasus sebagai sebuah metode kerap bersifat permisif
terhadap bukti yang samar-samar atau pandangan bias. Padahal hal ini praktis
akan sangat berkaitan dengan arah temuan-temuan dan konklusi. Studi kasus pun
tidak menyarankan peneliti untuk membatasi waktu dalam berinteraksi dalam
pencarian data. Padahal hal tersebut akan sangat terkait dengan fokus penggalian
data.
28
E.2.
Unit Analisis Data
Penelitian ini memilih locus tempat di kota Yogyakarta. Secara lebih
spesifik di wilayah perkotaan, yaitu wilayah yang notabene cukup mewakili
fenomena maraknya reklame—baik iklan komersial maupun iklan politik—
memenuhi ruang publik. Ruang publik perkotaan ini mengacu pada taman kota,
trotoar, jalan protokoler, persimpangan ataupun perempatan jalan raya, jalan
tempat lokasi pertokoan dst.
Menjelang tahun 2012, muncul kampanye anti sampah visual melalui
jejaring media sosial yang diunggah oleh Sumbo Tinarbuko, seorang dosen
pengampu mata kuliah Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta yang juga merupakan seorang pengamat ruang publik. Diawali
dengan kampanye ‘anti sampah visual’ melalui media jejaring sosial, Sumbo
mulai memperkenalkan Komunitas Reresik Sampah Visual lewat dunia maya.
Akhirnya, pada pertengahan tahun 2012 cikal aksi komunitas ini diluncurkan dan
perjuangan komunitas ini hingga kinipun terus berkembang. Kampanye ‘anti
sampah visual’ dan aksi-aksi mencabuti sampah visual yang dilakukan oleh
komunitas ini kini dikenal dengan nama gerakan reresiksampah visual.
E.3.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian tentangGerakan Reresik Sampah Visual ini, penulis
menggunakan dua sumber data penelitian yaitusumber data primer dan sekunder.
Penggunaan data primer yang diperoleh dari interaksi langsung dengan aktor
pelakuGerakan Reresik Sampah Visual mencakup hasil interview atauwawancara,
dan obeservasi non partisipan. Data primer kemudian digunakan sebagai bahan
29
acuan analisis untuk mengetahui bagaimana strategi Gerakan Reresik Sampah
Visual dalam upayanya merebut kembali ruang publik di Yogyakarta dan
dinamika yang menyertainya, serta bagaimana peran Gerakan Reresik Sampah
Visual dalam merespon komersialisasi ruang publik yang terjadi akibat fenomena
sampah visual.
Wawancara (interview) dilakukan guna mendapat data yang mendalam
terkait individu maupun kelompok sebagai aktor gerakan itu sendiri dan juga
aktor-aktor lain yang mempengaruhi gerakan. Wawancara untuk memperoleh data
mendalam dalam penelitian ini dilakukan kepada penggerak Komunitas Reresik
Sampah Visual sebagai aktor gerakan, dan beberapa aktor lain di luar gerakan,
baik yang ikut mempengaruhi gerakan maupun terpengaruh dari gerakan tersebut,
di antaranya adalah Sekretaris Jendral Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia
Cabang Yogyakarta dan koordinator aksi Komunitas Warga Peduli Pohon
Perindang. Dalam melakukan wawancara, peneliti membekali diri dengan
interview guide yang berfungsi sebagai panduan dalam kapasitasnya untuk
membuka kunci potensi informasi-informasi yang diperlukan. Kemampuan untuk
mengelaborasi lebih dalam dari pertanyaan awal yang sudah dirumuskan guna
mengeksplorasi temuan informasi yang lebih komperhensif.
Metode selanjutnya yaitu observasi non partisipan, mengharuskan peneliti
untuk masuk dan mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh kelompok atau
komunitas. Dalam hal ini peneliti hanya menjadi penonton tanpa memiliki hak
suara dalam kegiatan komunitas. Dari metode ini diharapkan peneliti dapat
melihat secara langsung strategi gerakan yang dituangkan dalam agenda aksi
30
Gerakan Reresik Sampah Visual beserta dinamika di dalamnya yang tidak bisa
dilihat ketika wawancara individu.
Data sekunder diperoleh dari studi literatur mencakup buku, artikel, film
dokumenter maupun dokumentasi data dari komunitas yang terkait dengan tema
penelitian. Penggunakan data sekunder berperan sebagai referensi tambahan yang
memperkuat data dari lapangan. Selain sebagai referensi tambahan, data sekunder
juga berfungsi untuk mendukung intepretasi data dari hasil interaksi langsung dan
observasi non partisipan.
E.4.
Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis data model
alir. Artinya, awalnya penulis akan membaca hasil catatan lapangan pada saat
observasi, yaitu pada saat mengamati sebaran reklame di kota Yogyakarta dan
pengamatan terhadap wacana yang disebarkan melalui media, seperti surat kabar,
portal berita online, dan media jejaring sosial. Kemudian penulis mendengarkan
kembali rekaman wawancara dan membaca transkrip wawancara untuk
mendapatkan pemahaman mendalam tentang kasus yang dikaji. Pada tahapan ini,
penulis umumnya mendapat penambahan beberapa catatan yang bisa digunakan
dalam mengkaji kasus. Pada tahapan selanjutnya, penulis menyusun kata-kata
kunci yang muncul dan mengelaborasinya sehingga kasus yang dikaji dapat
“menuturkan kisahnya”.
31
F. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini akan dituangkan ke dalam empat bab. Bab
pertama merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dari penulisan dan landasan teori yang digunakan dalam penulisan, serta
metode penelitian yang mengiringi penulisan ini. Bab keduamenjelaskan
kehadiran sampah visual sebagai fenomena minimalisme ruang publik di kota
Yogyakarta, mulai banalitas ruang publik yang terbentuk dari praktik beriklan dan
penataan iklan luar ruang (reklame) di ruang kota; kemunculan sampah visual
yang mengdekonstruksi kota secara visual; dan terakhir komersialisasi ruang
publik yang menyebabkan hilangnya ruang publik di kota Yogyakarta.
Bab ketiga menceritakan tentang gerakan reresik sampah visualyang
melakukan upaya penyelamatan ruang publik dari invasi sampah visual di kota
Yogyakarta, dimulai dari profil gerakan yang mencakup sejarah kemunculan dan
perkembangan gerakan; strategi gerakan dan dinamika yang mengiringinya. Bab
keempat berisi tentang refleksi atas keberadaan gerakan reresik sampah
visualsebagai gerakan sosial baru. Bab kelima berisi kesimpulan penelitian yang
merupakan inti dari jawaban dari rumusan masalah dalam penelitian ini.
32
Download