MANUSIA DALAM PENCIPTAAN Oleh: Nurcahyo Teguh Prasetyo

advertisement
MANUSIA DALAM PENCIPTAAN
Oleh: Nurcahyo Teguh Prasetyo, M.Div.
Pada hari keenam, ketika semua sudah tersedia, tiba waktunya untuk Allah
menciptakan mahkota ciptaan; puncak dari semua ciptaanNya. Dan Allah
melakukannya bukan sekadar “berharap”, namun Ia “merencanakan”; Seperti kata
seorang wartawan televisi bernama, Andreas Cooper, dalam Oprah Winfrey Show, ”A
hope is not a plan.” Dan tidak berhenti hanya sampai “merencanakan”, TUHAN Allah
juga “bertindak”!!!
Itu sebabnya kita dapat melihat keunikan berikut ini antara Kejadian 1:26 dengan
Kejadian 1:27 – 28: Dalam Kejadian 1:26 ada tertulis…
”Baiklah kita….”
”…menjadikan manusia….”
”…menurut gambar dan rupa kita…”
”…supaya mereka…”
”…berkuasa atas….”
Diwujudkan dalam Kejadian 1:27 – 28:
”Maka Allah….”
”…menciptakan manusia….”
”…itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia…”
”…laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka…”
”Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka…berkuasalah….”
Jadi Anda lihat, bukan? TUHAN kita bukan TUHAN yang “omdo” (omong, doank!). Dia
adalah Allah yang bertindak!!! Dia memiliki kerinduan; Dia berencana; tapi Dia juga
membuktikannya dengan tindakan!
Manusia ini ditempatkan Allah di Taman Eden. Dari bumi yang seluas ini, Allah
memberikan rumah tinggal kepada Adam. Allah memerintahkan Adam mengelola
rumah tinggalnya itu, dan memerintahkan Adam untuk menikmati semua berkat rumah
tangga, kecuali apa yang dilarang Allah (Kejadian 2:8 – 17).
Allah pun membentuk binatang darat pada hari keenam ini. Namun setelah
mengklasifikasi hewan-hewan, Adam tidak menemukan pasangan yang sepadan dengan
dia. Dalam hal ini, kerja Adam untuk mengklasifikasi itu mendahului pekerjaan Carl
Linnaeus alias Carl von Linné alias Linnaeus (1707 – 1778), seorang ilmuwan Swedia
yang mempercayai Alkitab dan dijuluki sebagai Bapak Taksonomi karena telah
1
membuat sistem penamaan, ranking, dan pengklasifikasian mahluk hidup yang masih
secara luas digunakan sampai sekarang ini (dengan banyak modifikasi tentunya).
Kembali kepada Adam. Dia melihat kerbau, dan ia menemukan bahwa kaki kerbau ada
empat, sangat berbeda dengan dirinya. Dia melihat ayam, memang, sih, sama-sama
berkaki dua, tapi kok, paruhnya berbeda. Dia melihat ada yang agak mirip, bangsa kera,
tapi kok sukanya manjat pohon terus dan nggak bisa nyambung di ajak curhat, ya?
Istilahnye orang Jakarte: “Jaka Sembung mau bobo; ’Gak Nyambung Boo!”
Demikianlah setelah Adam sadar bahwa ia butuh pasangan, Allah memberikan
kepadanya seorang perempuan.
Kejadian 2:21 – 22 mencatat, ”Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak;
ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup
tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu,
dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.” Demikian,
mereka berdua (Adam dan Hawa) diciptakan pada hari keenam, sebagai puncak
ciptaan.
Anda lihat betapa baiknya Allah bukan? Sebelum manusia, mahkota ciptaanNya itu,
“ada” di dunia ini, Ia telah lebih dahulu mempersiapkan segala sesuatunya untuk
memungkinkan kita hidup dengan “sungguh amat baik”. Yang Allah lakukan mirip
sekali dengan yang dilakukan oleh sepasang suami-isteri yang sedang mempersiapkan
kelahiran sang jabang bayi dengan membeli popok, gurita, perlengkapan bayi, dsb.
Semua hanya demi agar sang buah hati dapat memulai harinya di luar perut ibu dengan
nyaman dan baik.
Selanjutnya, Kitab Kejadian 1:27 mencatat bahwa Allah menciptakan manusia sesuai
”gambar dan rupaNya”. W. Gary Crampton (dalam bukunya Verbum Dei dan dalam
salah satunya artikelnya di sebuat situs internet) menjelaskan bahwa Perjanjian Lama
menyatakan manusia telah diciptakan di dalam gambar dan rupa Allah sendiri. Selain
Kejadian 1:27, pernyataan ini juga dapat dibaca dalam Kejadian 1:26,27; 5:1-3; dan
9:6,3. Perjanjian Baru juga menyatakan hal yang sama dalam Kolose 3:10; Efesus 4:24;
Yakobus 3:9; dan 1 Korintus 11:7. Dan Alkitab menegaskan bahwa manusia bukan
sekadar “memiliki” gambar dan rupa Allah, melainkan bahwa manusia “adalah” gambar
dan rupa Allah.
Kata “gambar/image” (tselem) and “rupa/likeness” (demuth), dalam Kejadian 1:26,27,
digunakan secara sinonim alias bisa dipakai bergantian dan bermakna sama. Kalau
Anda memperhatikan Kejadian 1:26, 27 dengan 5:1 akan nyata bahwa kedua istilah ini
digunakan bergantian. Seorang tokoh Kristen bernama Douglas Kelly menulis bahwa
2
kata Ibrani “tselem” memiliki pengertian “to carve out/mengukir menjadikan (sesuatu)”
atau “to pattern after/untuk mengikuti pola (sesuatu).”
Mengacu dari pemaparan W. Gary Crampton, saya akan mencoba menggambarkan
”manusia sebagai gambar dan rupa Allah” seperti berikut ini:
Manusia dalam Penciptaan
Crampton menjelaskan bahwa secara umum ada dua aspek gambar dan rupa Allah:
a. Aspek luas: Manusia adalah mahluk yang berpribadi, rasional, bebas berkehendak,
kekal, mahluk rohani.
Di dalam Kejadian 2:7 kita membaca bahwa “Tuhan Allah membentuk manusia dari
debu tanah, dan menghembuskan ke dalam hidungnya nafas hidup; dan manusia
menjadi satu jiwa yang hidup/a living soul.” Alkitab menggambarkan manusia sebagai
“a living soul/satu jiwa yang hidup,” dan ini mencangkup sebuah elemen fisik dan nonfisik. Binatang juga memiliki satu elemen non-fisik, sebagaimana juga elemen fisiknya
(Pengkotbah 3:19-21; Mazmur 104:29,30; Kejadian 1:20, 21, 24. Secara literal, “living
souls/jiwa-jiwa hidup”), namun keberadaan non-fisik mereka berbeda dengan yang ada
pada manusia, karena manusia adalah satu “jiwa rasional”. Manusia dapat
berperkara/berasio/berpikir (Yesaya 1:18), sedangkan mahluk-mahluk bumi lainnya,
tidak! (baca Mazmur 32:9; Yudas 10; 2 Petrus 2:12). Gambar dan rupa Allah dalam
pengertian yang luas membedakan manusia dari semua mahluk lainnya, sehingga
manusia adalah bukan malaikat, atau binatang, atau tumbuhan.
3
Pandangan di atas menghantar kita untuk melihat bahwa manusia di dalam pandangan
dikotomis (manusia adalah mahluk tubuh dan jiwa/roh). Pandangan dikotomis
berlawanan dengan pandangan monisme (tidak memandang adanya pembedaan tubuh
dan jiwa) dan trikotomi (berpandangan bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan
roh).
Pandangan monisme mengajarkan bahwa manusia itu pada akarnya adalah kesatuan,
dan bukannya kesatuan yang tersusun dari dua elemen. Sedangkan pandangan
Trikotomi bersandar utamanya dari 1 Tesalonika 5:23 dan Ibrani 4:12. Penyelidikan
yang lebih teliti atas kedua ayat ini akan menunjukkan bahwa keduanya tidak sedang
mengajarkan Trikotomi. Dalam 1 Tesalonika 5:23, Paulus tidak sedang mengajarkan
tentang susunan manusia. Dalam ayat ini, ia sedang berdoa bahwa Allah akan
menyucikan keseluruhan kemanusiaan kita (Yesus membuat pernyataan yang mirip
dalam Matius 22:37). Sedangkan dalam Ibrani 4:12, si pengarang sedang menggunakan
hiperbola (gaya bahasa yang melebih-lebihkan), ketika ia menyatakan bahwa Firman
Allah begitu berkuasa sehingga mampu memisahkan apa yang tak terpisahkan, yaitu
jiwa dan roh. Firman Allah, demikian menurut penulis Surat Ibrani, cukup berkuasa
untuk menerobos ke dalam bagian terdalam dari manusia.
Lebih lanjut, Alkitab juga sering menggunakan kata roh dan jiwa secara sinonim.
Sebagai contoh: di dalam Matius 6:25 dan 10:28, manusia dikatakan terdiri dari tubuh
dan roh.Demikian juga dalam Kejadian 35:18 dan 1 Raja-raja 17:21, kematian
digambarkan sebagai satu penyerahan jiwa. Namun di dalam Mazmur 31:5 dan Lukas
23:46, dinyatakan sebagai penyerahan roh. Bukti pendukung yang sangat kuat untuk
pandangan dikotomi dapat ditemukan dalam Filipi 1:27, dimana Paulus dengan jelas
menggunakan kata roh (pneuma) dan jiwa atau pikiran/mind (psuche) secara sinonim.
Dan bukti kuat lain dapat dilihat dalam Lukas 1:46, 47, dimana Maria, menggunakan
istilah roh dan jiwa dalam pengertian yang sama. Demikian Kejadian 2:7 bermaksud
menunjukkan dua bagian dari kemanusiaan kita: tubuh yang terbuat dari debu, dan roh
yang dinafaskan Allah.
Sebagai mahluk rohani, manusia memiliki sensus divinitatis (kesadaran akan adanya
Yang Ilahi) atau semen religionum (benih agama) dalam dirinya. Jadi tidak hanya
“hembusan nafas” Ilahi saja yang memberi hidup kepada Adam (dan semua manusia
yang setelah dia, Ayub 33:4), namun juga kapasitas dari manusia (sebelum jatuh dalam
dosa) untuk berelasi secara rohani dengan Allah (Ayub 32:8). Terkait dengan hal ini,
John Eldredge menuliskan satu pernyataan yang mencerahkan saya. Ia menulis bahwa
Allah “memberi kita kekayaan terbesar [melebihi] semua ciptaan [yaitu]: hati. Karena
Dia ingin bahwa kita menjadi sekutuNya yang intim.” Menurut Eldredge, “Anda tidak
bisa hidup atau mencintai atau tertawa atau menangis seandainya Allah tidak memberi
kita hati.” Dan hukum Allah terukir di dalam hati manusia (Romans 2:14, 15);
4
karenanya manusia (bahkan manusia sesudah kejatuhan), menurut Roma 2:14, 15,
memiliki satu kesadaran/hati nurani (Amsal 20:27), yang membedakannya dari
binatang. Adanya hati yang berkemampuan untuk mencintai inilah, yang kemudian
menunjukkan kepada kita bahwa Allah memberikan kepada kita martabat kebebasan,
untuk memilih atau menolakNya.
Aspek luas ini dirusakkan ketika ada kejatuhan, namun tidak lenyap. Seorang tokoh
bernama Abraham Kuyper, Jr. menulis bahwa gambar dan rupa Allah dalam aspek luas
ini tidak dapat hilang, karena jika benar hilang, maka pada detik itu juga, manusia
berhenti ada. Kenyataannya, manusia tidak berhenti menjadi manusia setelah peristiwa
kejatuhan dalam dosa, itu semua terjadi karena gambar dan rupa Allah dalam
pengertian luas ini tidak lenyap (meskipun rusak). Itu sebabnya, kita masih bisa melihat
ada orang-orang tertentu, bahkan yang non-Kristen, yang dapat mencapai tingkat
keunggulan tertentu di dalam bidang hukum, pengobatan, filsafat, keagamaan, dan
banyak lagi.
Manusia dalam Kejatuhan
b. Aspek sempit: Manusia adalah mahluk yang diciptakan dengan standar etika dimana
mereka memiliki kebenaran dan kekudusan dan pengetahuan (secara etis) yang sejati
(Efesus 4:24; Kolose 3:10).
Dikatakan “yang sejati” adalah karena kebenaran, kekudusan, dan pengetahuan (etis)
yang ada pada manusia SEKARANG INI, senantiasa mencondongkannya untuk
menjauh dari Allah; berpusat kepada dirinya sendiri; dan mencondongkannya kepada
allah-allah yang keliru. Gambar dan rupa Allah dalam pengertian sempit ini hilang
5
ketika kejatuhan terjadi; meninggalkan manusia dalam kondisi “total
depravity/kerusakan total,” misalnya: Manusia tidak mampu lagi melakukan yang
menyenangkan Allah (Roma 3:1-18; 8:7,8).
Menurut Kuyper, gambar dan rupa Allah dalam pengertian sempit ini hilang, dan
digantikan dengan kebutaan rohani, perasaan bersalah, dan keberdosaan. Memang
manusia secara umum (Kristen maupun non-Kristen) tidak pernah berhenti menjadi
gambar dan rupa Allah, namun aspek etis (aspek sempit yang hilang) itulah yang
dipulihkan, melalui karya penebusan Tuhan Yesus Kristus. Hanya orang-orang yang
telah ditebuslah yang dapat melakukan “pekerjaan baik” (Efesus 2:8-10), yaitu
pekerjaan yang motivasinya adalah kasih kepada Allah (Matius 22:37-39), bertujuan
untuk kemuliaan Allah (1 Korintus 10:31), dan Firman Allah menjadi standarnya (Yoh.
14:15, 21). Pekerjaan baik (good work) yang Alkitabiah adalah Pekerjaan Allah (God’s
works) juga.
Selain itu, tentang gambar dan rupa Allah ini, saya juga hendak memberikan sebuah
penggambaran dari praktek – kebiasaan raja-raja dunia ini. Pada zaman dahulu, ketika
seorang raja (penguasa) hendak menunjukkan kekuasaannya di sebuah wilayah, dia
akan mendirikan patung-patungnya di alun-alun kota, atau lukisan wajahnya di tembok
kota, atau ukiran wajahnya di koin-koin uang. Semua “image” itu menjadi simbol
kekuasaannya atas suatu wilayah. Bahkan hal tersebut kadang masih dimaknai
demikian di abad modern.
Ketika pada tahun 2003, Pasukan Koalisi yang dimotori Amerika Serikat, menyerbu
Irak untuk menggulingkan Sadam Hussein, pertempuran demi pertempuran terjadi.
Dalam momen perang itu, akhirnya pasukan koalisi berhasil merebut ibukota Irak,
yakni Kota Baghdad. Dan salah satu simbol kemenangan mereka adalah dengan
merubuhkan patung Saddam Hussein yang ada di kota-kota di Irak. Berikut ini kutipan
berita dari www.Gatra.com, 10 April 2003, “Pada hari Rabu, tidak ada perlawanan dari
pasukan Garda Republik saat pasukan AS dengan didukung tank-tank mereka
berlenggang memasuki pusat kota Baghdad dan menyerbu simbol-simbol kekuasaan
rejim Saddam Hussein, termasuk diruntuhkannya patung-patung Saddam Hussein.”
Meskipun setelah itu masih terjadi pertempuran-pertempuran kecil, namun secara
umum, perang telah dimenangkan oleh pasukan koalisi, ditandai dengan
digulingkannya patung Saddam Hussein.
Penggambaran di atas sebetulnya dapat membantu kita untuk memahami konsep
gambar dan rupa Allah. Sinclair B. Ferguson dalam bukunya The Christian Life menulis,
“Gambar Allah kemungkinan berarti bahwa Allah awalnya menjadikan manusia untuk:
1. Mencerminkan karakterNya yang kudus dan
6
2. Posisinya itu memberikan manusia hak untuk memerintah/mengatur seluruh ciptaan
Allah lainnya. Di dalam perkara itulah, manusia itu mirip Allah.”
Mari kita lihat kedua poin di atas secara lebih mendetil:
1. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah: Mencerminkan karakterNya yang kudus.
Secara sederhana saya hendak mengatakan bahwa gambar dan rupa Allah berarti bahwa
manusia diciptakan untuk merepresentasikan (re = kembali; presentation =
menghadirkan / menampilkan / menyajikan) Allah sendiri, dimana pun manusia ada di
penjuru alam semesta ini.
Kita merepresentasikan Allah, bukan lagi sebagai patung yang mati, melainkan sebagai
“debu – tanah” yang kepadanya TUHAN hembuskan nafas kehidupan. Seorang Kristen
bernama G.K. Chesterton – sebagaimana dikutip oleh Eldredge – pernah mengatakan
bahwa manusia adalah ”patung-patung Allah yang berjalan-jalan di sebuah Taman.”
Kalau manusia itu merepresentasikan Allah. Lalu apa yang direpresentasikan? Apa yang
ditampilkan kembali dari Allah itu? Yang harus kita presentasikan
(hadirkan/tampilkan) kembali adalah semua sifat dan kebaikan Allah.
Itu berarti juga mencangkup tubuh jasmani kita! Menurut Grudem, meskipun Allah
adalah Roh (Yohanes 4:24) dan tidak boleh dipikirkan sebagai Keberadaan yang
memiliki ”tubuh fisik”seperti kita, namun dengan cara tertentu, tubuh fisik kita
mencerminkan/memantulkan sesuatu dari karakter Allah sendiri, misalnya:
a. Tubuh fisik kita memberikan kepada kita kemampuan untuk melihat dengan mata
jasmani kita. Nah, ”melihat” adalah kualitas seperti Allah (Godlike quality), karena
Allah sendiri melihat, bahkan melampaui apa yang sanggup kita lihat, meskipun Allah
tidak memiliki mata fisik seperti kita.
b. Telinga kita memberikan kepada kita kemampuan untuk mendengar, dan ini adalah
kemampuan seperti Allah (Godlike ability), meskipun Allah tidak memiliki telinga
secara fisik.
c. Mulut kita memberikan kepada kita kemampuan untuk berbicara, mencerminkan
fakta bahwa Allah kita adalah Allah yang berbicara.
d. Indera pengecap dan peraba dan penciuman memberikan kepada kita kemampuan
untuk memahami dan menikmati ciptaan Allah, mencerminkan fakta bahwa Allah
sendiri memahami dan menikmati ciptaanNya, meskipun di dalam satu pengertian yang
melampaui yang ada pada kita.
Selain itu juga, tubuh fisik kita memperlihatkan karakter Allah yang kreatif; suatu
kreatifitas Allah yang sangat ajaib. Dan apapun keterbatasannya sekarang ini, tubuhmu
tetap mengandung dan menunjukkan keajaiban kreatifitas Allah dan menuntutmu
untuk mengucap syukur atasnya. Syukur kita atas yang Allah telah buat, mungkin dapat
7
terwakili dari ungkapan Eldredge berikut, “Siapa yang punya ide untuk menciptakan
bentuk manusia sedemikian rupa, sehingga ciuman bisa sedemikian nikmat? Dan ia
tidak berhenti di sini, sebagai mana yang diketahui dua orang kekasih.”
Begitu kreatifnya TUHAN membentuk tubuh manusia untuk menunjukkan
karakterNya, dan ini tidak boleh disalahgunakan, misalnya dalam wujud perilaku seks
bebas (free-sex). Larry Richards dalam bukunya “Berpacaran sampai dimana
Batasnya?” (terbitan BPK Gunung Mulia) menyatakan bahwa seks sebagai tindakan
biologis, memberi kelepasan, sebagaimana halnya pada kambing dan kuda jantan. Seks
yang iseng tidak menjadi masalah bagi seekor kambing. Namun seks semacam itu jika
dipraktekkan oleh manusia, akan melahirkan rasa saling tidak menghargai. Kita adalah
manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan dengan demikian diberi
kebebasan besar serta tanggungjawab untuk menjadi lebih daripada seekor binatang.
Itu berarti hidup bertanggungjawab dan saling menghargai sebagai manusia. Allah
sama sekali tidak menghendaki Anda merendahkan martabatmu dan martabat
oranglain hingga menjadi setingkat kambing.
Masih berkaitan dengan seksualitas manusia, Pdt. Yakub Susabda dalam bukunya
Konseling Pranikah menulis, “karena manusia sebagai peta dan gambar Allah adalah
mahluk yang kreatif dan inovatif, sama dengan Khaliknya (Pencipta-Nya – Nur).
Manusia dapat “mencipta” manusia lain dengan melahirkan anak-anak, tetapi potensi
ini tidak mungkin direalisasikan tanpa perempuan sebagai istri penolongnya yang
sepadan.” Jadi karakter Allah yang kreatif (karena dia Creator = Pencipta) dan inovatif
(Roma 11:34, “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang
pernah menjadi penasihat-Nya?”), tercermin juga dari dirimu sebagai gambar dan rupa
Allah, yaitu ketika manusia – di dalam seksualitas yang Allah karuniakan kepadanya –
beranak cucu/pro-kreasi (walaupun setelah manusia jatuh dalam dosa, akan ada
masalah dalam hal ini). Pro-kreasi artinya, manusia menjadi partner Allah dalam
“mencipta”, secara khusus turut berperan untuk “menciptakan” manusia-manusia yang
lain.
Demikianlah, dimana pun manusia hidup di dunia ini, semua SIFAT dan KEBAIKAN
Allah itu harus dipresentasikan! Manusia harus menampilkannya kembali, untuk
menunjukkan bahwa ”di bumi yang aku injak ini, Allah hadir, dan aku
merepresentasikan kehadiranNya!!!” Manusia bukan mahluk ciptaan seperti kambing
yang hidup untuk pemenuhan instink saja.
2. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah: Manusia mirip Allah dalam arti,
mendapatkan hak dari TUHAN untuk memerintah/mengatur seluruh ciptaan Allah
lainnya.
8
Mazmur 8:5 menyatakan bahwa manusia diciptakan ”hampir sama seperti Allah” alias
”mirip Allah”, dan dimahkotai Allah dengan kemuliaan dan hormat. Dan seperti halnya
Allah yang berkuasa atas segala sesuatu di bawahnya, demikian juga manusia diberi
kuasa oleh Allah untuk menguasai ciptaan lainnya. Dan ketika Allah memerintahkan
manusia untuk “penuhilah bumi”, Allah bermaksud mengatakan, “Kamu adalah
wakilKu di semesta yang kuciptakan ini! Penuhilah bumi, dan di ujung bumi mana pun
Kamu berada, nyatakan kekuasaan/kedaulatanKu! Dimanapun Kamu berada,
nyatakanlah pemerintahanKu!”
Namun kalimat ”hampir sama seperti Allah” atau ”mirip Allah” juga menekankan
bahwa ada batas yang tegas, yang membedakan antara Allah, Sang Pencipta, dengan
manusia, mahluk ciptaan. Jadi manusia dan ciptaan lain, bukanlah Allah, dan Allah pun
bukan ciptaan! Ini berbeda dengan pandangan Panteisme yang menyatakan bahwa
semua hal ADALAH allah, atau pandangan Panenteisme yang menyatakan bahwa allah
ada DI DALAM semua.
Makna kata ”menaklukkan” dan ”menguasai” bumi dalam Kejadian 1:28 adalah bahwa
kita menjadi representasi yang mewakili Sang Raja di atas Segala Raja. Sebagai
representasi Allah yang memerintah, maka siapakah yang kita perintah? Bukan
manusia lain, melainkan seluruh ciptaan lain yang ada di alam semesta. Kita harus
menaklukkannya dan menguasainya demi kemuliaan Allah.
Dan sebagai representasi Allah, kita harus ingat, bahwa kita berada di bawah
pemerintahan Raja Besar yang adil itu. Jadi, kita tidak boleh menyalahgunakan
wewenang yang Allah berikan kepada kita atas dunia ini; kita tidak boleh merusak dunia
milik Allah. Belajarlah dari sebuah lagu bagus berjudul, ”This is My Father’s World” (Ini
Dunia Bapak-ku), karya Maltbie D. Babcock (1858-1901) dan Franklin L. Sheppard.
Jadi, manusia ada untuk mengelola segala aspek ciptaan (melalui talenta dan
panggilannya masing-masing), dan membawa segala bidang ciptaan untuk memuliakan
Sang Pencipta (dampaknya tentu kesejahteraan manusia sendiri pula).
Selain itu, pada hari keenam ini pula, Allah memasuki satu relasi kovenantal
(Perjanjian) yang unik dengan Adam (Kejadian 2:16,17; Hosea 6:7). Kovenan yang
secara khusus dijalin dengan Adam ini disebut Kovenan Kerja. Kovenan Kerja adalah
ketetapan hukum antara Allah dan Manusia pertama di Taman Eden, dimana (kerja)
ketaatan Adam dan Hawa terhadap perintah-perintah Allah, akan membawa berkat.
Demikianlah keadaan manusia dalam penciptaan. Pelajaran di atas mendorong kita
untuk melakukan beberapa hal:
1. Berlari kepada Sang Pencipta untuk mendapatkan makna hidup kita, sebagai ciptaan.
9
Setiap hal diciptakan ada tujuannya. Bahkan bagian tubuh yang disebut usus buntu
sekalipun, meskipun pihak medis belum menemukan apa kegunaannya, namun diyakini
bahwa keberadaannya pasti ada tujuannya. Ketika kita menciptakan sesuatu pun, kita
pasti memiliki tujuan untuk apa benda itu dibuat. Hanya dengan berfungsi sebagaimana
tujuan penciptaannya, maka keberadaan sesuatu itu baru punya makna. Demikian juga
manusia. Manusia ada karena diciptakan oleh Sang Pencipta, dan Sang Pencipta
menciptakan manusia pun ada tujuannya. Jadi, kalau manusia ingin memahami apa
makna hidupnya; alasan keberadaannya di dunia ini, manusia harus mencari tahu dari
Penciptanya. Dalam hal ini, kita mendapatkan pengetahuan yang benar dari Alkitab.
Kita tahu untuk apa kita hidup, adalah dari Alkitab. Alkitab seperti sebuah buku
manual, yang memberikan petunjuk tentang arti sebuah benda dan bagaimana benda
itu harus berfungsi.
2. Bersyukur karena kita diciptakan sebagai (gambar – rupa) representasinya Allah di
tengah-tengah dunia ini.
Kekuasaan Allah di atas semesta; juga keberadaan dan sifat-sifatNya, semua diwakilkan
kepada kita. Kita diperintahkan untuk menghadirkan “Allah”, dimana pun manusia
berada. Demikian Allah rindu agar dimana pun kita ditempatkan, kita menunjukkan:
(1). Kekudusan yang sesungguhnya; (2). Kebenaran yang sesungguhnya; dan (3).
Pengetahuan yang sesungguhnya. Dan kita bersyukur atas kehormatan itu. Alkitab
mengatakan bahwa salah satu cara kita memuliakan Allah adalah dengan sujud syukur
kepada Allah (Mazmur 50:23).
3. Mengakui bahwa kondisi kemanusiaan kita sekarang ini, tidak sebagaimana yang
diciptakan mula-mula; mengakui bahwa kita adalah manusia berdosa, dan pengakuan
ini menuntun kita kepada Kristus.
Kejadian 3 menyatakan bahwa manusia telah jatuh dalam dosa. Di dalam kejatuhannya,
manusia kehilangan aspek gambar Allah yang sempit ini: kekudusan, kebenaran, dan
pengetahuan yang sesungguhnya. Meskipun aspek luas gambar Allah masih ada pada
kita, namun aspek sempit sudah hilang! Apapun yang manusia lakukan, tidak bisa
tidak, pasti tercemar dosa. Hanya Yesus Kristus, Allah sejati dan manusia sejati, yang
telah berhasil menghidupi kemanusiaannya tanpa dosa. Ia adalah manusia suci yang
memiliki kekudusan, kebenaran, dan pengetahuan yang sesungguhnya, dan ketiga hal
ini dipulihkan kembali di dalam kita, ketika kita kembali kepada Allah, melalui Yesus
Kristus. Hidup Yesus yang benar itu, diperhitungkan kepada kita, sehingga Allah pun
memandang kita sebagai orang benar, meskipun masih bergulat dengan dosa.
10
Download