PROSIDINGS

advertisement
 PROSIDINGS Observatorium Bosscha, FMIPA–ITB, Lembang – Jawa Barat 19 Desember 2009 / 2 Muharram 1431 H Editor: B. Dermawan, N. Sopwan, M. Raharto Seminar Nasional Hilal 2009 PROSIDINGS Observatorium Bosscha, FMIPA–ITB, Lembang – Jawa Barat 19 Desember 2009 / 2 Muharram 1431 H Website: http://seminarhilal2009.wordpress.com/ Editor: B. Dermawan, N. Sopwan, M. Raharto Diterbitkan oleh Kelompok Keilmuan Astronomi dan Observatorium Bosscha, FMIPA–ITB, 2010 Mendapat dukungan Hibah Penelitian Ikatan Alumni ITB 2009/2010
i Seminar Nasional Hilal 2009 SUSUNAN PANITIA Ketua Panitia : Moedji Raharto Kesekretariatan : Salim Rusli, Eka Puspita A., Novi Sopwan Bendahara : Zanzabila Avia Mexsida Logistik + Dokumentasi : Rhorom Priyatikanto, Irfan Habibie, Muhamad Zuwanda Publikasi : Rika Rahida Konsumsi : Ni’mah Lidinillah Acara : Fitri Nuraeni, Ardani Reswari ii Seminar Nasional Hilal 2009 DAFTAR ISI Kata Pengantar v Sambutan Menteri Agama RI vii Sambutan Dekan Fakultas MIPA – ITB ix Sambutan Ketua Kelompok Keahlian Astronomi, FMIPA – ITB x Sambutan/Laporan Ketua Panitia xi Daftar Peserta xii Susunan Acara xiv PRESENTASI & DISKUSI I SESI 1 Studi Visibilitas Hilal dalam Periode 10 Tahun Hijriyah Pertama (0622 ‐ 0632 CE) sebagai Kriteria Baru untuk Penetapan Awal Bulan‐bulan Islam Hijriyah Suwandojo Siddiq Faktor Penting dalam Penentuan Kriteria Hisab Rukyat Thomas Djamaluddin Purnama: Parameter Baru Penentuan Awal Bulan Qamariyah Agus Purwanto Tanya‐Jawab & Diskusi 1 3 27 31 36 SESI 2 Takwim Hijriah Menurut Kitab Nur al‐Anwar: Sistem Penanggalan Islam Berdasarkan Hisab Hakiki bi at‐Tahqiqi Jayusman Kalendar Islam: Sebuah Kebutuhan dan Harapan Moedji Raharto Kalender Umm Al‐Qura dengan Kriteria Baru Sebagai Sistem Penanggalan Islam Universal: Sebuah Studi atas Pemikiran Zakki Al‐Mustafa Nur Aris Tanya‐Jawab & Diskusi 2 iii 39 49 61 69 Seminar Nasional Hilal 2009 PRESENTASI & DISKUSI II SESI 3 Sistem Informasi Hisab‐Rukyat Taufiq Hidayat Peran Serta BMKG dalam Kegiatan Hisab dan Rukyat di Indonesia Muhammad Husni Observasi Hilaal 1427–1430 H (2007–2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas di Indonesia M. Ma’rufin Sudibyo Tanya‐Jawab & Diskusi 3 73 79 84 105 SESI 4 Prosedur Sederhana Pengolahan Citra untuk Pengamatan Hilal Dhani Herdiwijaya Garis Batas Bulan Baru yang Dinamis beserta Konsekuensinya Cecep Nurwendaya Mobile Observatory: Sarana Rukyat Multi Fungsi Hendro Setyanto Tanya‐Jawab & Diskusi 4 109 112 124 128 PRESENTASI & DISKUSI III SESI 5 Seputar Awal Ramadhan, Awal Syawal, dan Idul Adha A. Nuradnan Pramudita Menelusuri Pemikiran Mohammad Shawkat Odeh Muh. Nashirudin Tanya‐Jawab & Diskusi 5 Visibilitas Hilal Metonik Moedji Raharto POSTER 133 148 164 165 195 DOKUMENTASI 201 iv Seminar Nasional Hilal 2009 KATA PENGANTAR Alhamdullilah, segala puji bagi Allah pencipta dan pemelihara alam semesta, pada akhirnya tim editor menyelesaikan bentuk digital proceedings SEMINAR NASIONAL: MENCARI SOLUSI KRITERIA VISIBILITAS HILAL DAN PENYATUAN KALENDAR ISLAM DALAM PERSPEKTIF SAINS DAN SYARIAH. Pada versi ini kami menyajikan “makalah atau informasi dari pemakalah/peserta apa adanya, yaitu dengan revisi seminal mungkin dari makalah asli” atau dalam bentuk “Power Point”, kami masih mempunyai harapan berkesempatan menyajikan dalam versi “buku” yang memuat tulisan dan gambar – gambar lebih akurat. SEMINAR NASIONAL sehari tersebut telah diselenggarakan pada hari Sabtu, 19 Desember 2009 / 2 Muharram 1431 H, bertempat di Observatorium Bosscha ‐ Lembang Jawa Barat. Penyelenggara adalah, Institut Teknologi Bandung, diselenggarakan oleh KK Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB dan KPPI, secara singkat dinamakan Seminar Nasional Hilal 2009. Seminar tersebut dihadiri sekitar 120 peserta dari berbagai komponen masyarakat Praktisi, Pemikir dan Peneliti Hisab – Rukyat di lingkungan DepAg, DepKominfo, BMKG, LAPAN, MUI, Ormas Islam, Universitas/Institut/Perguruan Tinggi dan Mahasiswa Universitas/Institut/Perguruan Tinggi dan Individu Peminat Hisab – Rukyat . Seminar dibuka oleh Dekan FMIPA ITB, diawali dengan laporan ketua panitia Seminar, sambutan dari Menteri Agama RI, Ketua KK Astronomi, dan Ketua Ikatan Alumni ITB. “Perlunya penyatuan kalendar Islam” diuraikan secara umum dalam makalah KALENDAR ISLAM: SEBUAH KEBUTUHAN DAN HARAPAN, makalah tersebut tidak dibacakan/dibahas, tapi dibagikan sebagai bahan untuk memfokuskan perhatian dalam penyatuan kalendar Islam. Semua peserta sepakat bahwa waktu seminar sehari nampaknya tidak/kurang memadai untuk membahas berbagai masalah dengan lebih fokus dan mencari rumusan solusi, dan merekomendasikan agar Departemen Agama RI menindak lanjuti seminar yang lebih fokus dan waktu yang cukup untuk merumuskan kriteria visibilitas hilal dan masalah – masalah lain yang belum tuntas dibahas. • Elemen masalah yang menjadi dasar timbulnya perbedaan dalam perspektif syariah dan sains. Sains: (1) Kriteria visibilitas hilal: “Rukyatul Hilal” sebenarnya merupakan pemersatu dalam membangun sosok kalendar Islam, karena akan mengkonvergen persoalan mencari kriteria visibilitas hilal. Ukuran sabit hilal yang menjadi acuan menjadi jelas, yaitu sabit bulan yang bisa dilihat dengan mata manusia. Ukuran mata manusia mempunyai kesamaan di semua penjuru dunia. (a) pemaparan Prof. Dr. Suwandojo Siddiq mengusulkan “visibilitas hilal di masa Rasullulah menjadi acuan kriteria visibilitas hilal universal”. (b) Prof. Dr. Thomas Djamaluddin mengusulkan kriteria visibilitas hilal dengan basis data dari Indonesia (c) Dr Agus Purwanto mengusulkan metode evaluasi atas penetapan awal bulan dengan fasa purnama. Purnama: Parameter Baru Penentuan Awal Bulan Qamariyah (d) Muh. Ma’rufin Sudibyo, Mutoha Arkanuddin, dan AR Sugeng Riyadi dari RHI mengusulkan kriteria berbasis pengamatan tim RHI, (e) Raharto memaparkan pendekatan metode baru “ Metonik” yaitu dengan cara mengelompokkan “hilal” (235 lunasi) untuk memahami “visibilitas hilal” yang lebih presisi, (f) dll eksplorasi tentang capaian untuk mengetahui “kriteria visibilitas hilal yang presisi” Diskusi tentang berbagai kriteria masih belum dilakukan dengan analisa yang dalam dan luas, karena keterbatasan waktu. (2) Selain itu ada pertanyaan bahwa seminar nasional ini “melompat” pada pandangan bahwa hilal sebagai penentu awal Bulan Islam, sebaiknya juga dibahas tentang apakah “hilal” merupakan satu – satunya cara untuk merekonstruksi kalendar Islam? (3) Masalah gagasan hilal global dipandang dari sisi syariah juga dipaparkan dan didiskusikan. v Seminar Nasional Hilal 2009 Beberapa point yang belum sempat dirumuskan antara lain: 1. Merumuskan rekomendasi untuk agenda dialog nasional dalam rangka mewujudkan “taqwim persatuan”. 2. Merumuskan kontribusi awal pemikiran ahli hisab/rukyat umat Islam Indonesia dalam mewujudkan “taqwim persatuan”. 3. Merumuskan sosialisasi kepada masyarakat tentang “taqwim persatuan” hasil pemikiran ahli hisab/rukyat umat Islam Indonesia. Ketiga point tersebut praktis belum sempat dirumuskan dengan baik, selain perlunya acara yang sama dengan waktu yang lebih lama agar bisa menuntaskan dan merumuskan dengan baik. Memperkuat pendidikan dalam bidang Hisab dan Rukyat merupakan langkah strategis. Walaupun demikian material seminar hilal 2009 yang diselenggarakan pada beberapa bulan yang lalu, selengkap mungkin kami himpun yang akhirnya bisa diterbitkan dalam bentuk digital dan material tersebut dapat di download atau diunduh melalui website panitia. Kami mohon maaf atas keterbatasan ini, semoga bermanfaat. Selain itu rekaman selama kegiatan seminar berlangsung juga tersedia dalam bentuk DVD yang di‐kompres. Ada beberapa sesi yang tak sempat direkam karena masalah teknis panitia, dan untuk itu kami mohon maaf sebesar – sebesarnya. DVD dapat diperoleh dari panitia dengan mengirimkan alamat peserta. Kami berterimakasih atas bantuan banyak fihak yang telah mensukseskan kegiatan ini, yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Semoga Allah swt yang Maha Mengetahui dan Maha Adil membalas kebaikan panitia, peserta, undangan, IA – ITB dan semua fihak yang telah berkontribusi mensukseskan acara ini dengan kebaikan berlipat ganda. Sekali lagi kami mohon maaf, bila terdapat kekurangan dalam proceedings ini, mohon disampaikan kepada tim editor melalui alamat website http://seminarhilal2009.wordpress.com Bandung, April 2010 / Jumadil Awal 1431 H Tim Editor
vi Seminar Nasional Hilal 2009 SAMBUTAN MENTERI AGAMA RI Assalamu ‘alaikum Warahmatullah i Wabarakatuh. Yth. Kepala Observatorium Bosscha ITB; Yth. Para peserta dan tamu undangan yang berbahagia. Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia‐Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Hadirin yang saya muliakan, Mengawali kesempatan yang baik ini, saya sangat mengapresiasi betapa pentingnya forum semacam ini yang mencoba mengurai berbagai kendala untuk menyatukan perbedaan penentuan kalender Islam yang sering terjadi. Bergeloranya semangat dan keinginan yang kuat dan tokoh agama dan lapisan masyarakat untuk menyatukan penentuan kalender hijriyah merupakan modal yang sangat bagus. Saya atas nama pribadi dan pemerintah sangat menghargai peran Observatorium Bosscha ITB yang memiliki komitmen untuk terus berupaya menyatukan umat Islam. Terselenggaranya seminar nasional ini yang bertema “Mencari Solusi Kriteria Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalender Islam dalam Perspektif Sains dan Syariah: Langkah‐langkah Menuju Penyatuan Penanggalan Islam” ini diharapkan dapat menjadi wahana ukhuwwah dan media bagi terwujudnya kesepakatan antar organisasi massa Islam, sehingga pada tahun‐
tahun mendatang umat Islam Indonesia dapat melaksanakan ibadah puasa, Idul Fitri, Idul Adha pada hari yang sama. Disadari, bahwa penentuan awal dan akhir bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah selalu mendapat perhatian khusus masyarakat Islam, sejak masa Rasulullah SAW hingga saat ini, karena terkait dengan kegiatan ibadah, ekonomi, social, maupun politik masyarakat. Pengalaman‐pengalaman sebelumnya membuktikan bahwa setiap penentuan kalender Islam, khususnya awal dan akhir bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah sangat mempengaruhi terhadap stabilitas, ketenteraman, dan kerukunan kehidupan beragama masyarakat kita. Perbedaan standar penentuan kalender Islam sesungguhnya terletak antara lain pada perbedaan antara pihak yang menggunakan metode hisab versus metode rukyat, bahkan antar mazhab hisab dan mazhab rukyat itu sendiri. Oleh karena itu, upaya terus untuk memahami dan mendudukkan akar permasalahan yang tepat akan dapat membantu dalam menentukan sikap dan kebersamaan dalam menjalankan prinsip‐prinsip dasar yang digariskan oleh Islam. Dalam pandangan masyarakat awam, pendekatan hisab dan rukyat yang dijadikan dasar penentuan kalender Islam dianggap sebagai dua metode yang saling bertentangan atau bertolak belakang. Keduanya seperti berada pada posisi berhadapan yang tidak mungkin dipertemukan dalam kerangka konsep yang menyatu. Padahal, dilihat dan sudut pandang ilmu astronomi, hisab dan rukyat seperti dua mata uang yang tidak dapat saling menafikan dan dinafikan. Hisab dalam arti luas dapat diartikan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dan penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan rukyat dapat diartikan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas fakta yang ada. Hadirin yang berbahagia, Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba‐tiba. Sebab, adanya hisab diawali dan rukyat yang panjang. Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Sebagus dan sebaik apa pun sebuah metode hisab, jika tidak sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar. Demikian juga halnya dengan rukyat. Pelaksanaan rukyat yang tidak pemah menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia‐sia. Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu falak di Indonesia dapat berkembang. Perbedaan‐perbedaan yang timbul karena perbedaan sistem perhitungan dan pengambilan data hisab dan rukyat secara bertahap dengan pendekatan ilmiah astronomis hendaknya dapat dihilangkan. Koordinasi yang baik antara Badan Hisab Rukyat Departemen Agama dengan lembaga‐
lembaga falakiyah dan berbagai organisasi keagamaan Islam, lembaga astronomi, dan instansi‐instansi vii Seminar Nasional Hilal 2009 terkait sangatlah berarti untuk menghilangkan perbedaan tersebut, sehingga, ilmu falak yang nota bene merupakan bagian dari ilmu astronomi modern menjadi observational science. Karena observational science merupakan sains yang berkembang atas dasar pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dan jasad. Penggunaan metode hisab dan metode rukyat dalam penentuan awal dan akhir bulan Hijriyyah hendaknya dapat dikombinasi secara harmonis, sehingga kemungkinan penyatuan dalam penentuan kalender Islam dapat diwujudkan. Jika kita cermati proses penentuan kalender Islam di negara‐negara Islam, tidak ada satupun negara yang penetapan awal bulan Hijriyahnya ditetapkan secara perorangan atau kelompok. Hadirin yang berbahagia, Di negara yang mayoritas penduduknya muslim, penetapannya dilakukan oleh otoritas negara seperti Menteri Agama, Mufti, Dewan Mahkamah Tinggi, atau Raja. Hanya di negara‐negara yang muslimnya minoritas, otoritas penetapannya diserahkan kepada organisasi masyarakat Islam setempat. Di Indonesia, otoritas negara ada pada pemerintah, yaitu Menteri Agama dengan perangkat sidang itsbat. Bahkan sistem hisab tadqiqy sistem ephemeris yang digunakan pemerintab telah terbukti akurasinya dibandingkan dengan hisab taqriby. Namun kenyataannya, kondisi tersebut belum menjadi rujukan final bagi ormas‐ormas Islam, yang pada akhirnya mereka menempuh jalur masing‐masing yang menimbulkan perbedaan hasil. Di berbagai pertemuan dan seminar telah dilakukan upaya penyamaan persepsi, khususnya menyangkut standar awal penghitungan, namun di lapangan menemui banyak hambatan. Hambatan yang paling utama adalah kuatnya keyakinan dan keengganan para pihak beranjak dan keyakinan lama masing‐
masing, sementara ilmu falak merupakan bagian dari ilmu astronomi yang mungkin saja berkembang sebagai bagian dan karakteristik ilmu pengetahuan dan sains modern. Hadirin yang berbahagia, Saya menyambut baik keinginan ahli hisab dan rukyat di Indonesia yang memunculkan pemikiran untuk mengkaji ulang semua kriteria visibiltas hilal dan penyatuan kalender Islam dalam perspektif sains dan syariah. Apalagi pada kesempatan kali ini telah hadir para ahli hisab, rukyat, dan astronomi yang berkaliber internasional yang dapat menyumbangkan pemikiran dan gagasannya demi bersatunya kalender Islam di Indonesia. Hal mi akan menjadi starting point pencarian titik temu bagi penyatuan kalenden Islam Indonesia. Mari kita bangun ilmu falak berdasarkan sendi‐sendi ilmu pengetahuan yang dapat ditelusuri secara empirik‐objektif, untuk mencari kesatuan persepsi demi kemaslahatan umat. Ilmu falak yang nota bene bagian dari ilmu pengetahun pada tataran operasional menupakan ranah ijtihadiyah yang mungkin berubah dengan penemuan‐penemuan baru. Dalam ilmu pengetahuan, tidak ada pendapat yang dianggap benar secana mutlak, karena bisa jadi, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pemahaman manusia, pendapat yang semula dianggap benar tidak lagi tepat untuk zaman sekarang. Perlu ada pembaruan. Harus ada upaya semua pihak untuk mengkaji ulang kriteria masing‐masing menuju titik temu kriteria yang disepakati bersama. Oleh karena itu, melalui Lokakarya Nasional ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang konkrit bagi langkah‐langkah penyatuan kalender Islam yang juga menjadi perhatian pemerintah, demi terwujudnya kemaslahatan umat. Akhirnya dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim“, Lokakarya Nasional: “Mencari Solusi Kriteria Visibilitas Hilal dan Penyatuan kalender Islam dalam Perspektif Sains dan Syariah” resmi saya buka. Demikian, semoga Allah SWT menyertai kita semua. Amin. Wassalamu ‘alaikum Warahmatullah i Wabarakatuh. Bandung, 2 Muharram 1431 H 19 Desember 2009 M Menteri Agama RI, Drs. H. Suryadharma Ali viii Seminar Nasional Hilal 2009 SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS MIPA – ITB Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pertama‐tama perkenankan kami menyampaikan permohonan maaf Bapak Dekan FMIPA ITB yang tidak dapat menghadiri kegiatan seminar pagi ini dikarenakan ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkannya. Hadirin sekalian, kami atas nama Dekan FMIPA ITB mengucapkan selamat datang di Observatorium Bosscha ITB. Observatorium atau tempat peneropongan bintang ini tidak hanya berfungsi sebagai laboratorium pendidikan formal dan penelitian untuk pengembangan sains astronomi terutama bagi mahasiswa dan staf akademik Program Studi (Prodi) Astronomi FMIPA ITB, akan tetapi juga untuk pendidikan sains bagi masyarakat luas. Pendidikan astronomi atau Program Studi (Prodi) Astronomi merupakan satu di antara beberapa Prodi yang dikelola Fakultas MIPA ITB, dalam Prodi Astronomi mata kuliah yang diajarkan tidak hanya bersifat teoritis akan tetapi juga ada juga yang bersifat praktis, dalam arti berkaitan atau dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari‐hari. Salah satu aspek praktis astronomi adalah menelaah sistem kalender/penanggalan, yang digunakan oleh segenap lapisan masyarakat. Salah satu jenis kalender adalah kalender lunar/Bulan, yang digunakan umat Islam sebagai kalender Hijriyah atau juga disebut dengan kalendar Islam. Seminar hari ini akan banyak membahas aspek‐aspek sains dalam astronomi praktis yang berkaitan dengan posisi Bulan dan Matahari, khususnya fase‐fase Bulan dan hilal untuk penentuan awal bulan Islam. Pembahasan semacam ini penting untuk menemukan solusi kriteria penanggalan yang unik dan valid secara syariah (syariah = ajaran/peraturan/hukum Islam yang termaktub dalam al Qur’an dan al Hadist) maupun ilmiah atau sains. Dengan solusi tersebut, diharapkan perbedaan hari raya sebagai implikasi dari perbedaan kriteria penanggalan, akan dapat terselesaikan. Kita telah sama mengetahui, bahwa perbedaan hari raya adalah salah satu permasalahan klasik umat Islam, umat yang terbesar bagian komponen bangsa Indonesia, yang juga berarti permasalahan bangsa ini atau permasalahan Nasional. Oleh karena itu, kami menyambut baik kegiatan ini sebagai wadah dialog dan kontribusi para komponen penting bangsa Indonesia antara lain para ulama dan ilmuwan atau saintis dalam menyelesaikan satu lagi permasalahan bangsa. Akhir kata, harapan dan doa kami semoga kegiatan ini sukses dan menghasilkan kesimpulan dan saran‐saran yang berarti dalam penyatuan kalendar Islam dalam lingkup Nasional maupun Internasional. Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, seminar Nasional “MENCARI SOLUSI KRITERIA VISIBILITAS HILAL DAN PENYATUAN KALENDER ISLAM DALAM PERSPEKTIF SAINS DAN SYARIAH” pada Sabtu, 19 Desember 2009 (02 Muharram 1431 H), di Observatorium BOSSCHA ITB secara resmi saya buka. Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Lembang, 19 Desember 2009/ 2 Muharram 1431 H a/n Dekan FMIPA ITB, Dr. Pudji Astuti ix Seminar Nasional Hilal 2009 SAMBUTAN KETUA KELOMPOK KEAHLIAN ASTRONOMI, FMIPA – ITB Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pertama‐tama saya ucapkan selamat datang di Observatorium Bosscha ITB yang berlokasi perbukitan gunung Tangguban Perahu, di Kota Lembang, di kawasan Bandung – Utara dengan ketinggian 1310 m dari permukaan laut. Observatorium ini tempat anggota Kelompok Keahlian Astronomi FMIPA ITB melakukan penelitian dan pengembangan astronomi, pendidikan astronomi dan pengabdian pada masyarakat dalam bentuk memperkenalkan astronomi sebagai bagian (kecil) proses mencerdaskan kehidupan Bangsa atau dikenal dengan tridharma pendidikan tinggi. Oleh karena itu selain digunakan oleh dosen maupun mahasiswa astronomi untuk penelitian, observatorium ini juga kami buka untuk umum sehingga pagi ini juga nampak beberapa pengunjung yang ikut memadati lokasi Observatorium Bosscha. Kebijakan ini adalah bagian dari usaha kami agar masyarakat menyadari bahwa astronomi (walaupun rumit dalam pandangan awam) namun juga sangat dekat dengan kehidupan sehari‐hari. Pada kenyataanya memang astronomi sangat dekat dengan kehidupan sehari‐hari. Salah satu buktinya adalah masalah penanggalan atau kalender yang akan didiskusikan hari ini. Berbagai kriteria penanggalan yang digunakan saat ini tentunya harus dikaji validitas ilmiahnya. Yang mana untuk mengkajinya mau tidak mau harus menggunakan disiplin dalam keilmuan astronomi. Partisipasi kegiatan pengamatan hilal Nasional bersama DepKomInfo selama 2 atau 3 tahun terakhir juga merupakan sebuah kontribusi kegiatan yang dilakukan oleh para anggota kelompok keahlian Astronomi, Dr. Taufiq Hidayat dkk dalam proses penyatuan kalendar Islam. Tentu saja, sebagai sebuah permasalahan yang komprehensif, astronomi saja tidak cukup. Disiplin‐
disiplin ilmu lain terutama fikih, sangat diperlukan. Pada kesempatan ini kami bekerjasama dengan KPPI (Komitee Penyatuan Penanggalan Islam) yang digagas dan didukung oleh keluarga para alumni (tidak hanya astronomi) dan Yayasan Pembina Masjid Salman ITB untuk mensukseskan kegiatan seminar yang didorong atas dasar kepedulian dan keprihatinan pada masalah penentuan awal bulan Islam. Karena itu kami sangat bangga dapat berkontribusi dan memfasilitasi dialog ilmiah hari ini yang diikuti para pakar dari berbagai disiplin ilmu yang merupakan komponen penting bangsa Indonesia. Akhir kata, harapan kami semoga kegiatan ini sukses dan mampu mendorong penyatuan perbedaan hari raya umat Islam di Indonesia dan di dunia Internasional. Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Lembang, 19 Desember 2009/ 2 Muharram 1431 H Ketua Kelompok Keahlian Astronomi FMIPA ITB, Dr. Suhardja D. Wiramihardja x Seminar Nasional Hilal 2009 SAMBUTAN/LAPORAN KETUA PANITIA Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pertama – tama marilah kita sampaikan puji dan syukur kehadirat Allah swt atas perkenannya kita berkesempatan hadir dalam acara seminar pagi ini dalam keadaan sehat dan semangat, siap untuk memberikan sumbangan yang terbaik. Kami atas nama panitia penyelenggara Seminar Nasional: “MENCARI SOLUSI KRITERIA VISIBILITAS HILAL DAN PENYATUAN KALENDER ISLAM DALAM PERSPEKTIF SAINS DAN SYARIAH” mengucapkan selamat datang pada hadirin yang terhormat dan terima kasih atas usaha dan waktu yang diluangkan dalam berpartisi pasi dalam kegiatan ini. Kegiatan seminar ini kami berinama seminar Nasional, mengingat masalah yang akan dibahas dalam seminar ini merupakan masalah Nasional, masalah awal bulan Islam yang merupakan masalah yang dihadapi umat Islam yang merupakan komponen terbesar bangsa Indonesia. Permasalahan Nasional itu diharapkan mengundang dan memfokuskan perhatian dan curahan fikiran ulama dan ilmuwan muslim, para pakar dengan beragam latar belakang disiplin ilmu, para Praktisi, Pemikir dan Peneliti Hisab – Rukyat di lingkungan DepAg, DepKominfo, Planetarium DKI, Bakosurtanal, BMKG, LAPAN, MUI, Ormas Islam, Universitas/Institut/Perguruan Tinggi, BHR dan Lembaga lain yang terkait. Bentuk keinginan memberi kontribusi perhatian dan pemikiran dalam bentuk kehadiran, serta dalam bentuk makalah atau peran serta aktif dalam diskusi dan saran – saran diharapkan dapat diwadahi dalam waktu yang terbatas dalam seminar ini. Selain itu peserta Mahasiswa Universitas/Institut/Perguruan Tinggi dan Individu Peminat Hisab – Rukyat yang akan berperan serta aktif dalam seminar tersebut diharapkan bisa melahirkan cara pandang baru terhadap permasalahan ini. Hingga sekarang telah terdaftar 108 peserta seminar di luar panitia . Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dan berbagai bantuan dalam melaksanakan kegiatan ini, pertama kepada IA ITB, YPM Salman ITB, Kepala Observatorium Bosscha, Dekan FMIPA, ITB atas dukungan berbagai fasilitasnya. Dalam pelaksanaan ini kami dibantu staf dan karyawan Observatorium Bosscha, Mahasiswa Muslim Astronomi An‐Najm, mahasiswa/mahasiswi beasiswa kerja Masjid Salman ITB. Kami atas panitia mohon maaf atas berbagai kekurangan dalam penerimaan Saudara – saudara. Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Lembang, 19 Desember 2009/ 2 Muharram 1431 H Ketua Pelaksana, Dr. Moedji Raharto xi Seminar Nasional Hilal 2009 DAFTAR PESERTA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
Andri Kuswandi
Abdul Mufid
Abdul Rachman
Abdurrahman
Abrari Noor Hasmi
Aby Bakar Shebly
Aditya Putra Utama
Adurrahman KS
Aep Saepuloh
Agus Purwanto
Ahmad Haris Muhtar
Ahmad Nizar
Ahmad Sidik
Akhmad Muhaini
Akhmad Syaikhu
Albi Fitransyah
Alma Nuradnan Pramudita
Amin Nurjamin
AR Sugeng Riyadi
Arne Huzaimah
Arya Bima Cahyaatmaja
Asep Faqih Ahmad
Badruzzaman M Yunus
Bustan Nasution
Cecep Nurwenda
Chatief Kunjaya
Dadang Syarifuddin
Dani Hidayat
Dede Wahyudin
Dhani Herdiwijaya
Dindin Syawaludin
Djamhur Effendi
Encup Supriatna
Euis Rohanah
Faiz Faricha
Fauziah Ferry M. Simatupang
Freddy P Zen
G. Marwati
H.Khaeruddin Khasbullah
Haetamimi
Hakim L Malasan
Haryono
Hasiqin
Hasni
Hedro Setyanto
Hopipah
Hyang Iman
Imro’atul Munfaridah
Imron Isma'il
Intan Yulia Antasari
Ismail Mufti
Jayusman
Judhistira Aria Utama
Juwartin
Al Bayyinah Bandung
IAIN Walisongo Semarang
LAPAN
Umum
Mahasiswa
Umum
Mahasiswa
PERSIS
ICMI Jabar
Fisika ITS
Mahasiswa
DEPAG Jabar
Mahasiswa
IAIN Walisongo Semarang
IAIN Walisongo Semarang
ITB
Umum
Batic ICM
Rukyatul Hilal Indonesia
IAIN Raden Fatah Palembang
Mahasiswa
DMI Jabar
MUI Jabar
DEPAG Jabar
Planetarium Jakarta
Astronomi ITB
Muhammadiyah Bandung
PERSIS
IAIN Walisongo Semarang
Astronomi ITB
Umum
LFNU
DEPAG Jabar
BKSWI Jabar
IAIN Walisongo Semarang
IAIN Raden Fatah Palembang
Astronomi ITB
IA ITB
Dep. PU
Umum
Umum
Astronomi ITB
IAIN Walisongo Semarang
Umum
IAIN Walisongo Semarang
Bosscha
BKSWI Jabar
ITB
IAIN Walisongo Semarang
Umum
Bakosurtanal
Mahasiswa
Mahasiswa S3 IAIN Semarang
Fisika UPI
IAIN Walisongo Semarang
xii [email protected]
[email protected][email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
Khalilurrahman
Khozin Alfani
Komarudin
M said jamhari
M Teguh Shobri
M. Azhar
M. Ikbal Arifyanto
M. Iqbal Santoso
Mahrus
Markaz MI
Ma'rufin Sudibyo
Masduqi
Miftahul Ulum
Misbahus Surur
Muh. Arif Royyani
Muh. Nashirudin
Muhajir
Muhammad Irfan
Muhammad Thobary Syadzily
Muhammad Husni
Muhyidin Khazin
Muthmainnah
Mutoha Arkanuddin
Nihayatur Rohmah
Nur Aris
Nurul Laila
Pudji Astuti
R. Agam
Rashif Imany
Ratna Satyaningsih
Rukman Nugraha
Sevti Viqa Haiyqal
Shofwatul Aini
Sirril Wafa
Siti Khodijah
Sonni Setiawan
Sugeng Muhartono
Suhardja D Wiramihardja
Suradi
Suwandojo Siddiq
T. Djamaluddin
Taufiq Hidayat
Tri Deni Rachman
Umaroh
Uruqul Nadhif Dzakiy
Vivit Fitriyanti
Yhonny F. H. Siregar
Yorga R
Yunus Darmadinata
Yustiara Ulil Albab Pestalozzi
Yusup Arqom Rido
MAHIR
IAIN Walisongo Semarang
DEPAG Jabar
IAIN Raden Intan Lampung
IAIN Raden Fatah Palembang
IA ITB
Astronomi ITB
Umum
NU
PERSIS
Rukyatul Hilal Indonesia
NU Lampung
IAIN Walisongo Semarang
IAIN Walisongo Semarang
IAIN Walisongo Semarang
STAIN Surakarta
IAIN Walisongo Semarang
Mahasiswa
Umum
BMKG
DEPAG
IAIN Walisongo Semarang
Rukyatul Hilal Indonesia
IAIN Walisongo Semarang
STAIN Kudus
IAIN Walisongo Semarang
FMIPA ITB
GALURA
IAIN Walisongo Semarang
BMKG
BMKG
BMKG/ITB
IAIN Walisongo Semarang
NU
Umum
Umum
Umum
Astronomi ITB
BMKG/ITB
ICOP
LAPAN
Astronomi ITB
BMKG/ITB
BMKG/ITB
Mahasiswa
IAIN Walisongo Semarang
Umum
Umum
Umum
Mahasiswa
Muhammadiyah
xiii Seminar Nasional Hilal 2009 [email protected],id
[email protected]
[email protected]
[email protected]
misbah_yahoo.com
[email protected]
[email protected] [email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected][email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected][email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Seminar Nasional Hilal 2009 SUSUNAN ACARA
Waktu (WIB)
07:00 – 08:00 08:05 – 08:10 08:00 – 08:30 08:30 – 09:00 09:00 – 09:15 09:15 – 09:30 09:30 – 09:45 09:45 – 10:15 10:15 – 10:30 10:30 – 10:45 10:45 – 11:00 11:00 – 11:30 11:30 – 12:30 12:30 – 12:45 12:45 – 13:00 13:00 – 13:15 13:15 – 13:45 13:45 – 14:00 14:00 – 14:15 14:15 – 14:30 14:30 – 15:00 15:00 – 15:30 15.30 – 15:45 15.45 – 16:00 16:00 – 16:45 16:45 – 17:00 Kegiatan
Pendaftaran
Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an
Sambutan dan Pembukaan Resmi
Plenary: Departemen Agama Republik Indonesia Presentasi & Diskusi I
Sesi 1 1. Suwandojo Siddiq
2. Thomas Djamaluddin
3. Agus Purwanto
Tanya Jawab & Diskusi 1
Sesi 2 4. Jayusman
5. Moedji Raharto
6. Nur Aris Tanya Jawab & Diskusi 2
Sesi Poster, Ishoma, Foto Bersama
Presentasi & Diskusi II
Sesi 3 7. Taufiq Hidayat
8. Muhammad Husni
9. M. Ma’rufin Sudibyo
Tanya Jawab & Diskusi 3
Sesi 4 10. Dhani Herdiwijaya
11. Cecep Nurwendaya 12. Hendro Setyanto Tanya Jawab & Diskusi 4 Sesi Poster, Sholat, Break
Presentasi & Diskusi III
Sesi 5 13. A. Nuradnan Pramudita
14. Muh. Nashirudin
Tanya Jawab & Diskusi 5 Penutupan
xiv Seminar Nasional Hilal 2009 PRESENTASI & DISKUSI I SESI 1 1. Suwandojo Siddiq 2. Thomas Djamaluddin 3. Agus Purwanto Tanya‐Jawab & Diskusi 1 1
Seminar Nasional Hilal 2009 2 Seminar Nasional Hilal 2009 STUDI VISIBILITAS HILAL DALAM PERIODE 10 TAHUN HIJRIYAH
PERTAMA (0622 - 0632 CE) SEBAGAI KRITERIA BARU UNTUK
PENETAPAN AWAL BULAN-BULAN ISLAM HIJRIYAH
Oleh: Prof. H. Suwandojo Siddiq, DE Eng. APU.*)
*)Anggota Asosiasi Observasi Hilal-Islam Internasional ICOP
*)Peneliti Ahli Bidang Struktur Bangunan Tahan Gempa & Tsunami (Earthquake Engineering for Building Structures)
Email:
[email protected]
dan/atau
[email protected]
00- ABSTRAK
Menentukan hari dan tanggal awal Bulan Islam Qamariyah, tidak dapat dilepaskan dari kaidah dan
tuntunan Al -Quran dan as-Sunnah Rasulullah saw. Al-Quran memberikan informasi tentang apa dan
bagaimana perilaku serta manfaat benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan) yang dapat dijadikan
sebagai pedoman menentukan waktu-waktu ibadah. Dan Al-Hadits memberikan tuntunan bagaimana
cara menentukan awal dan akhir waktu-ibadah. Kedua tuntunan tersebut harus dikaji dan diterjamahkan
ke dalam bahasa ilmu Astronomi Islam, sehingga ummat Islam dapat menentukan waktu ibadah secara
mudah tetapi benar (dari sudut syar’iy maupun science).
Di abad ke-21 ini sudah berkembang maju ilmu astronomi (khususnya astronomi Islam) yang didukung oleh
ilmu matematik dan alat hitung yang cepat dan akurat. Dengan menggunakan perangkat tersebut, kita
dapat menghitung dengan akurasi tinggi, posisi bulan dan matahari untuk menentukan waktu, kapan
visibilitas hilal akan terjadi, sebagai penentu awal-bulan qamariyah (awal-bulan-Islam).
Paper ini akan menunjukkan ka’idah astronomi Islam dan kriteria yang dipakai untuk menentukan awal
tanggal bulan Islam, (seperti tinggi-hilal, phase-hilal (illuminasi) dan tebal-hilal). Kemudian dilakukan
perhitungan data astronomi untuk bulan suci Ramadhan dan Syawwal yang pernah terjadi di zaman
Rasulullah saw. di Madinah, yaitu dari tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-10 Hijriyah (tahun 622 s/d 632
CE).
Dari hasil perhitungan data-astronomi tersebut dapat ditentukan hal-hal penting seperti: berapa drajat
tinggi hilal minimum yang dapat terlihat di Madinah, dan berapa umur bulan-bulan Ramadhan selama
rentang waktu 10 tahun Hijriyah pertama tersebut. Dari perhitungan data-astronomi didapat data bahwa
tinggi minimum hilal yang dapat diru’yat (visible) untuk bulan Ramadhan adalah 7,884 drajat, dan bahwa
bulan-bulan Ramadhan berumur 29-hari lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan Ramadhan
berumur 30-hari, yaitu 7 berbanding 3.
Kata kunci: Hilal (menurut Al-Quran dan Hadits)’, kriteria visibilitas hilal, record bulan termuda, batas Danjon,
altitude (irtifa’) minimum hilal di zaman Rasulullah, Umur bulan-bulan Ramadhan.
01- PENDAHULUAN
Di dalam al-Hadits shahih Bukhary dan Muslim, Agama Islam secara tegas dan jelas telah memberikan
tuntunan bahwa untuk menentukan awal-bulan boleh dilakukan bila hilal sudah dapat dilihat (tampak)
pertama kali di horizon-barat, dengan mata biasa tanpa alat-optik, segera setelah terjadi konjungsi
(ijtima’). Ketampakan hilal (visibilitas-hilal) di ufuk barat pada saat sunset (maghrib) di akhir bulan qamariyah,
menjadi penentu bergantinya tanggal menjadi awal-bulan yang baru. Hari-tanggal Qamariyah (lunar
dates), dimulai di saat hilal-dapat diru’yah (visible, sighted) di waktu maghrib sampai dengan maghrib hari
berikutnya.
Al-Quran pada Dalil 1-01 smpai dengan 1-08, (pada halaman berikutnya), memberikan petunjuk tentang hilal
dan perilaku benda langit serta manfaat peredaran benda langit (matahari dan bulan) digunakan manusia
untuk menghitung waktu dan menentukan waktu-waktu ibadah.
Al-Hadits shahih Bukhary, Hadits no. 1906 dan 1909, serta al-Hadits Shahih Muslim, Hadits nomor
H(1080)-03 dan H(1081)-17, pada Dalil 1-09 s/d 1 -12, (masih ada 14 hadits lagi yang senada), telah
memberikan tuntunan bagaimana dan kapan awal bulan itu dimulai, yaitu dengan cara melihat hila
(hilal-sighting), ya’ni: bilal hilal sudah dapat dilihat pertama kali setelah ijtima’, dengan mata biasa.
Masalah yang perlu diketahui oleh ummat Islam, khususnya para astronomer muslim, adalah:
1) Berapa drajatkah tinggi (altitude)-minimum hilal yang dapat dilihat oleh Rasulullah saw. dan
shahabat dalam menentukan AWAL dan AKHIR bulan Ramadhan?
2) Dalam rentang-waktu 10 tahun periode Madinah, tahun ke-1 s/d ke-10 Hijriyah, berapa harikah
umur bulan Ramadhan (29 atau 30 hari) yang sering terjadi? Uraian dan bahasan berikut akan
mencari dan/atau mencoba menemukan jawaban dari sudut astronomi-Islam ilmiyah
(Scientifical-Islamic Astronomy) yang berlandaskan syari’ah.
3 Seminar Nasional Hilal 2009
01-1 PETUNJUK DAN TUNTUNAN AL-QURAN SERTA AS-SUNNAH [Kepust (1) – (5)]
Benda-benda langit yang terdekat dengan bumi, yaitu matahari dan bulan, dibicarakan di dalam
beberapa ayat, berkenaan dengan penjelasan tentang waktu-waktu ibadah. Demikian juga pergantian
siang dan malam yang berkaitan dengan rotasi bumi pada sumbunya dengan teratur dan dalam durasi
waktu yang akurat serta matahari yang bersinar (dengan energinya sendiri) dan bulan bercahaya (dengan
memantulkan sinar matahari ke bumi), dijelaskan dalam ayat ayat berikut. Semua benda langit selalu dalam
keadaan bergerak pada garis edarnya dalam takaran waktu yang teratur dan akurat sejak awal
diciptakannya, itu semua untuk menunjukkan kebesaran kekuasaan Allah swt. sebagai penciptanya,
yang wajib diyakini kebenarannya sebagai aqidah Islam.
Firman Allah swt tentang Benda Langit (Matahari, Bulan dan Bintang ciptaan-NYA) sebagai Pengukur Waktu
Dalil 1-01 : QS Al-Baqarah (02):189
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: "Hilal (Bulan sabit)
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (juga untuk menentukan waktu ibadah) haji”.
Dalil 1-02 : QS Ar-Rahman (55):05
”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (akurat)”.
Dalil 1-03 : QS Al-Anbiyaa’ (21):33
”Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari
keduanya itu beredar di dalam garis edarnya (orbitnya)”.
Dalil 1-04 : QS Ya Sin
(36):40
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang.
Dan masing-masing (matahari dan bulan) beredar pada orbitnya”
Dalil 1-05 : QS Yunus (10):05
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat, posisi di orbitnya yaitu moon-phase) bagi perjalanan bulan itu, supaya
kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”.
Dalil 1-06 : QS Al-A’raf (7):54
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan
cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
4 Seminar Nasional Hilal 2009 Dalil 1-07: QS An-Nahl (16):12
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu
ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya),
Dalil 1-08 : QS Luqman (31):29
Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan
memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan
sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Keterangan:
• Kata “manazil”, bentuk jama’ dari manzilah, yaitu moon-phase, posisi bulan pada garis edarnya, yang
selalu berubah terlihat dari bumi, (hilal, first quarter, fullmoon, second quarter, lalu hilal lagi dst.) lihat gambar
1-01 berikut.
•
Dalil-1 dan 5 menjelaskan, bahwa: perjalan bulan pada orbitnya, dan bentuknya yang
berubah-ubah (dari bulan-sabit sampai purnama lalu menjadi bulan sabit lagi dst.) disebut manzilah, adalah
sebagai “alat” pengukur waktu, khususnya waktu-ibadah (hajji);
•
Dalil-2 dan 3, menjelaskan bahwa peredaran benda-benda langit itu mengikuti perhitungan
waktu yang sangat akurat;
•
Dalil 4, 6, 7 dan 8 menjelaskan bahwa seluruh benda-benda langit beredar pada orbitnya
mengikuti perhitungan waktu yang sangat akurat, yang telah ditentukan oleh penciptanya, yaitu
Allah swt.
•
BAHASAN RINGKAS AYAT-AYAT QUR ÃN
Dalil 1-01: QS Al-Baqarah (02):189
Pertanyaan mereka (sahabat Rasul saw) adalah: “Mengapa bulan berubah-ubah bentuknya.
Mula-mula tipis seperti sabit, kemudian berangsur-angsur bertambah besar, sehingga mencapai
purnama (full moon) bersinar terang. Kemudian berangsur-angsur mengecil dan menipis kembali,
lalu menghilang, tidak tampak selama 1 – 2 malam, (yaitu di saat konjungsi, ijtima’)?”.
Katakanlah (Wahai Muhammad saw) bahwa ”bulan-sabit (hilal) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia”.
Proses phase bulan mulai dari konjungsi, terbentuknya hilal sampai dengan bulan purnama,
kemudian kembali menjadi bulan sabit-tua, ditunjukkan dalam gambar 1-01 di samping.
Al-Hadits Shahih (Al-Bukhary & Muslim)
Beberapa Hadits shahih berikut, menunjukkan sabda Rasulullah saw. yang mewajibkan agar
melihat hilal (bulan-sabit yang tampak pertama kalisetelah terjadinya ijtima’) untuk memulai ibadah shaum
Ramadhan. Juga sabda beliau saw yang melarang memulai ibadah shaum sebelum hilal terlihat
(sebelum tampak, sebelum dapat dilihat dengan mata manusia normal, tanpa-alat optik). Bila hilal tidak tampak
pada tanggal 29, atau terhalang awan atau mendung, Rasulullah saw. memberi petunjuk agar
hitungan bulan Sya’ban dilengkapkan 30 hari.
5 Seminar Nasional Hilal 2009
Gambar 1-01, Tahap ketampakan hilal: Manazil (posisi, phase) bulan, ijtima’ (konjungsi), awal
terbentuknya hilal, kwartir-I (tarbi’ awwal), purnama (full- moon, badar) kwartir-II (tarbi’ tsani, 2nd
quarter), kemudian kembali lagi ijtima’, dan seterusnya.
•
Shahih Bukhary[kepustakaan (6) – (10)]
Memulai dan mengakhiri shaum (bulan Ramadhan) itu, bila hilal telah tampak (dapat dilihat pertama kali
dengan mata tanpa alat di horizan barat, setelah ijitima’).
Dalil 1-09: Shahih Al-Bukhary, Jilid-I (I dari IV), page 470, Hadits no.1906
Hadits no.1906 – Telah mengabarkan Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Nafi’, dari Abdillah ibn Umar r.a.:
‘Sesunguhnya Rasulullah saw sedang membicarakan Ramadhan, maka beliau bersabda’ :
“Janganlah kalian (kamu semua) memulai shaum, sehingga kamu sudah melihat hilal, Dan
janganlah kamu berbuka (futhur, mengakhiri shaum Ramadhan) sehingga kamu telah melihatnya
(hilal).Dan jika (pandanganmu) terhalang, maka perhitungkanlah” .
Dalil 1-10: Shahih Al-Bukhary, Jilid-I (I dari IV), page 470, Hadits no.1909
Hadits no. 1909 – Telah mengabarkan Adam, mengabarkan kepada kami Syu’bah: mengabarkan kepada kami
Muhammad ibn Ziyad, dia berkata: saya mendengar Abu Hurairah r.a. berkata, Nabi saw atau Abul-Qasim
saw (nama panggilan akrab Rasulullah saw) bersabda: “Berpuasalah (laksanakan ibadah shaum) kalian
(kamu semua) bila telah melihat hilal dan ber-futhur-lah ( mengakhiri shaum) jika kamu telah
melihatnya (hilal). Jika terhalang (penglihatanmu terhadap hilal, karena mendung atau hujan, misalnya)
maka sempurnakanlah hitungan (hari bulan) Sya’ban tiga puluh hari”.
Catatan: “berpuasalah” = memulai berpuasa berarti masuk tanggal 01-Ramadhan.
“berfuthurlah” berarti mengakhiri ibadah shaum, berarti masuk tanggal 01-Syawal.
6 Seminar Nasional Hilal 2009 •
Shahih Muslim
Dalil 1-11 : Shahih Muslim page-390, H(1080)-03
Hadits (1080) -03 Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Yahya, dia berkata saya bacakan kepada
Malik, dari Nafi’, dari Ibn Umar r.a. dari Nabi saw. sesungguhnya beliau membicarakan tentang ramadhan, lalu
beliau bersabda: “Jangan kalian (kamu semua memulai) berpuasa (masuk tanggal 1-Ramadhan)
sehingga kamu melihat hilal, dan janganlah kalian mengakhiri puasa (masuk tanggal 1-Syawwal)
sehingga kamu melihatnya (hilal lagi). Jika kamu terhalang maka perhitungkanlah”.
Dalil 1-12 : Shahih Muslim page-392, H(1081)-17
Hadits (1081)- 17 Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami
Ibrahim ibn Sa’id, dari Ibn Syihab, dari Sa’id Ibn Al-Musayyab, dari Abu Hurairah r.a. dia berkata, Rasulullah saw
bersabda: “Jika kalian telah melihat hilal maka berpuasalah (masuk awal-Ramadhan), dan jika
kalian melihatnya lagi maka ber -futurlah (mengakhiri puasa, masuk 1-Syawwal) . Jika kamu
terhalang (karena mendung atau hujan) maka laksanakan puasamu tiga puluh hari (di-istikmal-kan,
disempurnakan 30 hari)”.
Catatan: Masih ada 12 hadits lagi yang senada.
Keterangan:
“Melihat Hilal”, maknanya: Crescent sighting, ya’ni: bila posisi bulan terhadap matahari (Nilai ARCV dan/atau
ARCL) sudah memungkinkan terbentuk hilal (ada bagian permukaan bulan yang memantulkan sinar matahari ke bumi,
sehingga dapat diamati dari muka bumi), sehingga sudah waktunya dapat diru’yat dengan mata biasa, yaitu bila
telah memenuhi kriteria visibilitas hilal, seperti: moon-altitude ≥ 10,5°, cresent width ≥ 0,25 ArcM,
Illumination ≥ 1,0% dst. [Kepust (11) s/d (17)] Lihat Bab-03 paper ini.
01-2 Pedoman (Guidelines).
Didalam proses menganalisa hasil perhitungan, dua hadits berikut juga dijadikan acuan dan pedoman,
yaitu:
•
Sabda Rasul saw.: “SATU BULAN ITU 29 HARI”.
Dalil 1-10: Shahih Muslim, Darul Ilmiyah, Edisi 2005, page-393, H(1085)-25
7 Seminar Nasional Hilal 2009
H(1085)- 25 Telah mengabari kepada saya Harun ibn Abdillah: mengabarkan kepada kami Hajjaj ibn Muhammad.
Ibnu Juraij berkata : Telah mengabarkan kepada saya ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Shaify; Bahwa Ikrimah ibn
Abdurrahman ibn Al-Harits mengabarkannya; bahwa Ummu Salamah r.a. mengabarkan; Bahwa Nabi saw. pernah
bersumpah tidak akan menemui sebagian iateri-isterinya selama satu bulan. Ketika lewat hari ke-29, beliau saw. pergi
(menemui isterinya). Kemudian beliau ditanya: “Wahai Nabiyallah, anda telah bersumpah bahwa tidak akan menemui
kami selama satu bulan”. Beliau saw bersabda: “Sesungguhnya satu bulan itu dua puluh sembilan hari”.
Juga dlm shahih Bukhary H-1910.
Catatan: Masih ada 7 hadits lagi yang isi-kandungannya sama.
•
Di Zaman Rasulullah saw, bulan Ramadhan yang berumur 29-hari lebih banyak (lebih
sering terjadi) dari pada bulan Ramadhan yang berumur 30-hari
Dalil 1-12: Shahih Sunan At Turmudzy, Darul Fikri, Edisi 2003, page-159, Bab-6 H-689
H-689 Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Mani’, mengabarkan Yahya ibn Zakariya ibn Zaidah,
mengabarkan kepada saya Isa ibn Dinar, dari bapaknya dari Amr ibn Al-Harits ibn Abi Dhirar dari Ibn Mas’ud, dia
berkata: “Kami berpuasa bersama Nabi saw. dua-puluh-sembilan hari lebih sering dari pada puasa
kami tiga-puluh hari”.
Catatan: Hadits yang sama matan-nya, juga tertulis dalam Shahih Ibn Majah Jld-2, halaman 82 Hadits no.1353.
01-3
INTI PELAJARAN DARI AL-QUR ÃN DAN AL-HADITS
Dari Firman Allah swt dan Al-Hadits di atas dapat difahami hal-hal berikut:
1. Al-Quran menjelaskan: Seluruh benda langit, khususnya matahari dan bulan, senantiasa
bergerak di garis edarnya, mengikuti aturan yang pasti, sempurna, tepat dan mengikuti
perhitungan yang amat-akurat, sejak awal diciptakannya oleh Allah swt, sebagai Maha-Pencipta
alam-semesta, sampai sekarang dan sampai waktu yang akan datang (qiamat). Keakuratan
peredaran Bulan dan Matahari dapat dijadikan sebagai pengukur waktu untuk ummat manusia di
bumi.
2. Al-Hadits Shahih menjelaskan, bahwa Rasul saw. memerintahkan (artinya wajib ditaati oleh
ummatnya), agar memulai dan mengakhiri ibadah shaum-Ramadhan itu dilakukan bila hilal (bulan
sabit, anak-bulan, moon-crescent) telah dapat dilihat (tampak pertama kali, first visible, dapat diru’yat ter-awal
dengan mata manusia normal di ufuk barat di saat maghrib).
3. Al-Hadits Shahih juga menjelaskan, bahwa Rasul saw. melarang (artinya wajib dihindari oleh
ummatnya), memulai dan/atau mengakhiri ibadah shaum itu sehingga hilal (bulan sabit, anak-bulan,
moon-crescent) telah dapat dilihat (tampak, visible, dapat diru’yat di ufuk barat di saat maghrib). Artinya :
Rasul saw. melarang memulai-shaum Ramadhan dan menghakhirinya, sebelum hilal sudah
tampak (visible) pertama kali di horizon barat, disaat sunset (maghrib).
4. Hadits-hadits tentang: “shaum dan ru’yatul-hilal”, Dalil 1-09 s/d Dalil 1-12 tersebut di muka, dapat
dijadikan dalil-kuat sebagai acuan atau kriteria (visibilitas hilal), dalam penetapan awal-bulan-bulan
Islam (Kalendar qomariyah-Islam, Islamic Lunar calendar), yaitu: berdasarkan ru’yatul hilal ter-awal (first
crescent visibility), baik dilakukan dengan mata-telanjang tanpa alat, maupun menggunakan
perhitungan astronomi ilmiah yang berdasarkan kriteria ketampakan hilal, (hasil research para
peneliti-ahli bidang astronomi Islam yang reliable, di abad 20 dan 21).
8 Seminar Nasional Hilal 2009 02- BATASAN CAKUPAN
Dalam studi ini berlaku batasan-batasan berikut:
(1) Cakupan Wilayah: Madinah (Al-Munawarah), dengan koordinat 39°:36’:41’’ E, 24°:28’:03’’ N.
(2) Wilayah waktu, Local Time = GMT + 3 jam;
(3) Rentang waktu 10 tahun, yaitu : tahun 0001 sampai dengan 0010 Hijriyah, yang bersamaan
dengan tahun 0622 s/d 0632 CE.
(4) Kriteria Visibilitas Hilal yang dipakai adalah:
Kriteria-baru Odeh (2007), f(ARCV-W) atau (Arc of Vision – Crescent Width) [Kepust (25)],
sebagai kriteria-utama;
Kriteria pelengkap untuk pembanding dan priksa-silang adalah: Kriteria Bruin, Schaefer, Maunder,
Yallop, SAAO dan Ilyas-C (1988).
(5) Software yang digunakan adalah : AccuT v5.1.13 (Odeh, 2007, ICOP), Mooncal v-60 (Monzoor Ahmed,
London), Astronom v-10.3 (RC Ott, 2008, The Netherland ).
03-KRITERIA VISIBILITAS HILAL
03-1 Variabel Kriteria Visibilitas [Kepust (25)]
Untuk memprediksi (menghitung ketampakan hilal), parameter berikut sering digunakan, yaitu:
Umur-Bulan (Moon’s Age), yaitu waktu interval antara ijtima’ (konjungsi) dan waktu pengamatan (time of
observation), biasanya pada saat maghrib (sunset);
Lag, Moon’s lag time (selisih waktu terbenam), yaitu waktu interval antara terbenamnya matahari dan
terbenamnya bulan;
Moon’s Altitude (irtifa’ bulan, tinggi bulan), yaitu jarak sudut bulan di atas horizon;
Arc of Light (ARCL), elongation, yaitu sudut-pisah antara titik pusat-matahari dan pusat-bulan;
Arc of Vision (ARCV), yaitu Selisih (besaran) sudut dalam altitude arah verikal antara titik pusat
matahari dan titik pusat bulan;
DAZ (Delta Azimuth, Relative Azimuth), yaitu Selisih (sudut) azimuth antara matahari dan bulan;
Width, W (Crescent Width), yaitu tebal hilal (bagian bulan yang bercahaya, atau memantulkan sinar matahari ke
bumi), diukur pada garis tengah bulan.
Lihat gambar 3.1 berikut.
Gambar 3.1 Geometrik dasar dari variabel untuk prediksi Visibilitas Hilal
Visibilitas hilal (ketampakan hilal), tidak dapat diprediksi secara meyakinkan bila hanya menggunakan satu
dari parameter tersebut di atas (menggunakan parameter tunggal). Khususnya bila hanya menggunakan
Moon’s Age atau Lag saja, seperti yang sering dilakukan orang, tidak akan memberikan nilai-prediksi sama
sekali, seperti dinyatakan oleh peneliti-astronomi: Schaefer (1996). [Kepust (27) – (29)]
9 Seminar Nasional Hilal 2009
Paling sedikit dua parameter harus digunakan secara bersama untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat, yang kesatu berhubungan dengan kecerlangan hakiki (brightness) dari hilal, dan yang kedua
berhubungan dengan jarak ke horizon, (juga erat hubungannya dengan peredupan cahaya oleh atmosfir).
Agak berbeda dengan asumsi yang umum, umur-bulan (Moon’s Age), tidak berhubungan langsung dengan
kecerlangan hakiki. Sebagai contoh, bulan yang berumur 10 jam yang terletak di ecliptika mempunyai
kecerlangan yang hampir sama dengan bulan berumur 0-jam yang letaknya 5 drajat jauhnya dari
ecliptika. Karena itu penggunaan ARCL lebih memberikan hasil prediksi jauh lebih baik, karena
tebal-hilal (W), akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya nilai elongation (ARCL, jarak sudut antara
bulan ke matahari).
Walaupun demikian masih ada ketidak-tepatannya, yaitu untuk ARCL yang sama, nilai W akan
maksimum bila bulan sedang pada posisi perigee (bulan dekat ke bumi), dan minimum bila bulan pada
posisi apogee (bulan jauh dari bumi). Maka parameter terbaik yang berhubungan dengan kecerlangan
(cahaya-bulan) hakiki adalah langsung kepada tebal-hilal (W). [Kepustakaan (25)]
Parameter ke-2 yaitu ARCV, menunjukkan langsung nilai jarak-sudut bulan di atas horizon, seharusnya
digunakan bersaman dengan tebal-hilal (W).
Berikut hasil penelitian dari Maunder, Indian dan Bruin tentang Kriteria Visibilitas Hilal [Kepust (30)]
Tabel 3-1 Kriteria Maunder (Hubungan DAZ – ARCV)
DAZ
0°
5°
10°
15°
11,0°
10,0°
9,5°
8,0°
ARCV
20°
6,0°
Kriteria Maunder:
Jika ARCV > f(DAZ), Hilal tampak, the crescent/HILAL is visible.
Jika ARCV < f(DAZ), Hilal tidak tampak, the crescent/HILAL is NOT visible.
Tingkat ketampakan Hilal tergantung dari nilai q.
q = ARCV - f(DAZ),
Kriteria: Hilal dapat dilihat bila memenuhi persyaratan berikut :
ARCV > 11 − |DAZ|/20 − [ DAZ/10 ]
2
(Pers-3.1)
Tabel 3-2 Kriteria Indian (Hubungan ARCV - DAZ)
DAZ
0°
5°
10°
11,4°
10,0°
9,3°
ARCV
15°
8,0°
20°
6,2°
Kriteria Indian: Hilal akan tampak bila dipenuhi persamaan berikut:
ARCV > 10.3743 − 0.0137|DAZ| − 0.0097 DAZ
2
(Pers-3.2)
ARCV sebagai fungsi dari DAZ
ARCV dapat dinyatakan dalam persamaan fungsi dalam DAZ: ARCV = f (DAZ)
Tabel 3-3 Kriteria Bruin, (Hubungan Alt - Lebar Hilal, Crescent width)
W
(ArcM)
ARCV
0.3’
10,0°
0.5’
0.7’
8,4°
7,5°
1’
2’
3’
6,4°
4,7°
4,3°
Kriteria Bruin: Hilal akan tampak bila dipenuhi persamaan berikut:
ARCV > 12.4023 − 9.4878 W + 3.9512W
2
3
− 0.5632 W
(Pers-3.3)
Lebar badan Hilal W (dalam ArcM), ditentukan dengan persamaan berikut:
W = 15 (1 − Cos ARCL) = 15 (1−Cos ARCV. Cos DAZ)
W = Tebal badan Hilal (Crescent Width), dalam ArcM.
Semi Diameter- Bulan adalah konstan = 15', dan W = f (ARCV, DAZ).
10 (Pers-3.4)
Seminar Nasional Hilal 2009 Penjelasan
ARCV sebagai fungsi dari W
Kriteria Maunder dan India dapat diekspresikan dalam satu fungsi ARV dan W, sebagai berikut:
2
3
ARCV > 13.1783 − 9.0812 W + 2.0709 W − 0.3360 W
(Pers-3.5)
ARCV > 11.8371 − 6.3226 W + 0.7319 W
Lebar (Badan) Hilal
2
− 0.1018 W
3
(Pers-3.6)
= W
Diameter Bulan ≅ 30 ArcM
Semi Diameter SD = 15 ArcM (= 0.2724 π)
SD' = SD ( 1 + sin h. sin π)
(Pers-3.7)
(Pers-3.8)
Lebar Hilal (Topo) W', dapat dihitung sebagai berikut:
(Pers-3.9)
W' = SD' (1- cos ARCL)
Dimana:
h = Altitude (geo) dari Bulan,
π = Parallax dari Bulan
SD = Semi Diameter Bulan
Tabel 3-4 berikut menunjukkan kriteria SAAO (Observatorium Astronomi Afrika Selatan), di mana DALT
menunjukkan tinggi hilal yang tampak (apparent altitude dalam drajat di atas horizon), diukur dari sisi bawah
lingkaran bulan pada saat maghrib (sunset).
Jika hilal di bawah DALT2, maka visibilitas hilal dengan mata biasa menjadi tidak mungkin (hilal tidak
akan tampak dengan mata biasa tanpa alat optik, tetapi masih mungkin tampak bila menggunakan alat
optik, telescope). [Cadwell & Lancy 2001]
Di bawah DALT1, hilal tidak mungkin tampak, walaupun menggunakan teleskop.
Tabel 3-4 Kriteria SAAO Observatorium Astronomi Afrika Selatan,
DAZ
0°
5°
10°
15°
20°
DALT1
6,3°
5,9°
4,9°
3,8°
2,6°
DALT2
8,2°
7,8°
6,8°
5,7°
4,5°
(Hubungan DAZ – DALT)
Keterangan
Hilal mustahil tampak, jika di bawah
(nilai kurang dari) DALT1
Jika nilai kurang dari DALT2, Hilal tidak
tampak dgn mata biasa, tetapi mungkin
tampak bila menggunakan teleskop,
Kriteria Ilyas-C 1988
Merupakan kriteria visibilitas hilal komposit, gabungan antara beda azimuth (DAZ) dan tinggi (altitude)
hilal. Pada nilai DAZ kecil (mendekati nol) maka nilai altitude besar (≅ 10,5°), lalu menurun mengikuti
bertambah besarnya nilai DAZ. Pada DAZ = 20° Altitude = 6,4°. Bila nilai DAZ lebih besar dari 30° maka
nilai Altitude mendekati tetap (asimtutis) sekitar 4,0°. Selengkapnya dapat dipelajari dalam Tabel 3-5
berikut.
Tabel 3.5 tersebut dapat ditunjukkan dalam bentuk grafik (kurva), pada gambar di sampingnya. Bila
altitude hilal (hasil perhitungan) terletak di atas garis kurva, maka hilal visible. Bila altitude hilal di bawah
garis kurva, maka hilal tidak tampak.
Table 3-5
Ilyas-C 1988 Kriteria komposit, (Hubungan DAZ – Altitude) [Ref.-11 to 17]
DAZ
0°
10°
20°
30°
40°
60°
Altitude
10,5°
9,2°
6,4°
4,5°
4,2°
4,0°
11 Seminar Nasional Hilal 2009
Gambar berikut adalah visualisasi dari Tabel 3-5
Gambar 3.2
03-2
Kurva visibilitas Hilal menurut Kriteria Ilyas-C (1988), merupakan penyempurnaan
dari kurva Ilyas-1984 dan Maunder. Sumbu datar adalah nilai DAZ dan sumbu
vertikal nilai altitude hilal. Hilal akan tampak bila altitude terletak di atas garis
kurva. Hilal tidak tampak bila altitude hilal terletak di bawah kurva.
Kriteria Yallop (Sebagai Kriteria Pelengkap, pembanding) [NAO Technical Note No. 69, Kepustakaan 30]
Penetapan awal bulan qomariyah, dengan first sightings of new crescent, atau Ru'yatul Hilal berdasarkan
hasil Penelitian Yallop, merupakan hasil studi sistematis, rasional-ilmiah, dengan menganalisa hasil 295
data-observasi ru'yatul Hilal, meliputi selang waktu antara tahun 1859 sampai 1996, selama 137 tahun.
Garis besar Teori Yallop, dikembangkan berdasarkan hubungan fungsi antara Arc of Light (ARCL), Arc of
Vision (ARCV) dan selisih nilai azimuth (relative azimuth) antara azimuth Bulan dan Matahari
(DAZ), yang dikenal dengan harga "q".
Gambar 3-2 Posisi bulan (hilal) setelah sunset (maghrib),
dengan berbagai sudut lengkung langit: ARCL (Arc of
Light), aL, adalah sudut pisah antara titik pusat bulan dan
titik pusat matahari; ARCV (Arc of Vision atau Arc of
ARCV
Descent), aD, adalah jarak vertikal antara titik pusat bulan
dan titik pusat matahari (h + s atau ΔA); DAZ, ΔAz, adalah
beda azimuth antara pusat bulan dan pusat matahari.
Hubungan ARCL, ARCV and DAZ
Cos ARCL = Cos ARCV . Cos DAZ
2
2
(Pers-3.12)
2
(Pers-3.13)
ARCL = ARCV + DAZ
12 Seminar Nasional Hilal 2009 Parameter Ketampakan Hilal
Kriteria -Yallop: q
Setelah meneliti data Ru’yatul-Hilal sebanyak 295 yang dikompilasikan selama 137 tahun (1859-1996),
Yallop berhasil mengembangkan “Kriteria-Yallop”, yaitu metoda Penentuan Ketampakan Hilal dengan
menggunakan nilai q sebagai instrumen-uji, yang hasilnya dikategorikan menjadi 6 kriteria berikut, yaitu:
Kriteria A, B, C, D, E dan F, yang menunjukkan tingkat ketampakan Hilal, yaitu: mudah terlihat sampai
dengan mustahil dapat dilihat, seperti ditunjukkan dalam Tabel 3-6.
Ketampakan Hilal dapat diuji (dibuktikan) dengan persamaan q berikut:
q = [ ARCV – {11.8371 – 6.3226(W') + 0.7319(W')
2
3
– 0.1018(W') } ] /10
(Pers-3.14)
Dimana:
W' , adalah lebar bulan topocentrik (dalam ArcM)
q telah di-skala-kan dengan factor 10, untuk membatasi agar nilai q terletak di antara -1 dan +1.
Enam Kategori Ketampakan Hilal menurut Kriteria-Yallop, yaitu: (A) mudah terlihat, (B) terlihat pada
kondisi perfek (langit bersih), (C) memerlukan alat bantu mata, (D) memerlukan alat bantu optik untuk
mencari Hilal, (E) tidak tampak dengan telescope, dan (F) tidak mungkin tampak, yang selengkapnya
dijelaskan dalam Tabel 3.6 berikut.
Tabel 3.6
Krite
ria
Nilai q untuk Uji ketampakan Hilal (Untuk Menentukan Dapat/Tidaknya Hilal dilihat)
Catatan
Nilai
ARCL
≥ 12°
Range Nilai
q
> + 0.216
Kode
Ketampakan
A
Hilal Mudah terlihat
B
Terlihat pada kondisi perfek
11° s/d 12° − 0.014 s/d +0.216
V (V)
C
D
Memerlukan alat bantu mata (binocular)
Memerlukan alat bantu optik untuk
mencari Hilal
10° s/d 11° − 0.160 s/d − 0.014
9° s/d 10° − 0.232 s/d −0.160
V (F)
I (V)
E
Tidak terlihat dgn telescope
≤ 8.5°
− 0.293 s/d − 0.232
V
I(I)
≤ − 0.293
F
Tidak tampak, dibawah Batas Danjon, ≤ 8°
I
Catatan: V = visible, dapat dilihat, I = Invisible, tidak dapat dilihat. F = perlu alat bantu optik utk mencari Hilal.
Ketampakan Hilal menurut Kriteria Yallop, dapat diperiksa/dibuktikan dengan menggunakan
Yallop Crescent Visibility Curves Gambar 3.3 berikut. Dengan penjelasan bahwa hubungan parameter
“Moon Altitude (geo)” dan “Crescent-Width W”, memberikan ma’na sebagai berikut.: [Kepust (30)]
a) Bila terletak di atas garis A, berarti Hilal dapat dipastikan akan terlihat (dapat diru’yat dengan mata tanpa
alat), terlihat dengan mudah.
b) Bila terletak di antara garis A dan B, berarti Hilal hanya dapat dilihat pada kondisi yang
mendukung, seperti: langit bersih, posisi pengamat dan waktunya tepat, serta pengamat cukup
berpengalaman.
c) Bila terletak di antara B dan C, maka diperlukan alat bantu optik (seperti binocular) untuk
menemukan posisi Hilal.
d) Bila terletak di antara C dan D, maka diperlukan telescope yang kuat untuk menemukan posisi
Hilal.
e) Di bawah D, Hilal tidak akan tampak, atau mustahil tampak.
13 Seminar Nasional Hilal 2009
Gambar 3.3 Kurva Batas ketampakan Hilal, Kriteria Yallop, sesuai katagori dalam Tabel 3.6.
Zone-A = Hilal mudah terlihat; B = Hilal terlihat pada kondisi perfek; C = Hilal sulit dilihat, hanya dapat
dilihat dengan bantuan alat optik; D = memerlukan alat bantu optik (teropong, telescope) untuk mencari
hilal.
03-3 Kriterian Baru Visibilitas Hilal (Odeh Criterion) [Kepustakaan (25)]
Peneliti-Astronomi Islam, Muhammad Shaukat Audah (dipanggil Odéh), telah berhasil menurunkan
kriteria baru, berdasarkan database besar, yaitu gabungan data observation records lama dan baru,
yaitu : Lihat Apendix Bab-8.
• 294 records dari Daftar Schaefer (Schaefer 1988, 1996; Doggett dan Schaefer 1994);
• 6
records dari Daftar (Catatan hasil observasi) Jim Stamm;
• 42 records dari Daftar SAAO (Caldwll dan Laney);
• 15 records dari Mohsen Mirseed;
• 57 records dari Alireza Mehrani (Iran);
• 323 records dari ICOP (Islamic Crescent Observation Project).
Dengan menggunakan 2 variabel Topocentric ARCV dan Topocentriv Crescent Width (W), maka
sejumlah 737 records tersebut dianalisa menggunakan AccuT (versi terakhir 5.1.13), pada kondisi
best-time Tb. Nilai Tb (menurut Yallop, 1997) adalah sebagai berikut:
Tb
= Ts + (4/9) x (Lag)
(pers. 3-10)
Dimana Tb = Best Time (Waktu terbaik untuk mengobservasi hilal, meru’yah);
Ts
= Waktu terbenam matahari (sunset);
Lag = Moon’s lag time, selisih waktu terbenamnya bulan dan matahari.
Kriteria baru (Odeh Criterion) ditunjukkan dalam tabel 3-6 berikut:
Tabel 3-6 Kriteria Baru (Odeh 2007)
VISIBILITAS
0.1’
0.2’
0.3’
0.4’
0.5’
0.6’
0.7’
0.8’
0.9’
ARCV1
dgn teleskop saja
5.6°
5.0°
4.4°
3.8°
3.2°
2.7°
2.1°
1.6°
1.0°
ARCV2
dg teleskop, juga mata
8.5°
7.9°
7.3°
6.7°
6.2°
5.6°
5.1°
4.5°
4.0°
ARCV3
mudah dilihat dg mata
12.2°
11.6°
11.0°
10.4°
9.8°
9.3°
8.7°
8.2°
7.6°
W (ArcM)
Visibilitas hilal:
Hilal tampak dengan mata biasa (tanpa alat optik), Zone-A,
Hilal tampak dgn alat optik, dan bisa dilihat dgn mata biasa, Zone-B,
Hilal hanya bisa dilihat dengan alat optik saja, Zone-C,
Hilal tidak akan tampak walaupun dengan alat optik, Zone-D,
14 jika ARCV ≥ ARCV3;
jika ARCV ≥ ARCV2;
jika ARCV ≥ ARCV1;
jika ARCV < ARCV1.
Seminar Nasional Hilal 2009 Catatan:
(1) ARCV1, ARCV2 dan ARCV3 adalah airless dan topocentric, karena itu ARCV yang terhitung
harus sama, airless juga;
(2) Ketampakan hilal (visibility) pada permulaan setiap zone, sangat tergantung pada kondisi
atmosfir, pengalaman dari pengamat (petugas ru’yah), dan posisi dan lokasi titik-observasi.
(3) Hilal tidak mungkin bisa dilihat (tidak mungkin bisa diru’yat, invisible), walaupun menggunakan alat
optik (teleskop), jika nilai ARCV berada di bawah Zone-C dan/atau kondisi atmosfir tidak
menguntungkan (hujan, mendung atau berkabut).
Prediksi visibilitas hilal, dapat juga dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut:
3
2
V = ARCV – (– 0,1018 W + 0,7319 W – 6,3226 W + 7,1651) (pers. 3-11)
Di mana :
adalah airless dan topocentric arc of vision, dalam drajat;
adalah tebal-hilal topocentric, dalam arc minutes (ArcM);
ARCV
W
V ≥
2≤V
– 0,96
V <
5,65
< 5,65
≤V <2
–0,96
untuk Zone-A;
untuk Zone-B;
untuk Zone-C;
untuk Zone-D.
04- HASIL OBSERVASI dan RECORD VISIBILITAS HILAL TERMUDA
Dari 737 data observasi (737 data ru’yatul-hilal, Odeh) yang dianalisa, terdapat 3 hilal-termuda yang dapat
dilihat dengan menggunakan alat-optik (teleskop), yaitu:
Tabel 4-1 Hasil Observasi Bulan termuda
Nama observer, (# detection data base)
No.
Conjuction & Age
(Ijtima’ dan Umur)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Geo Conjuction (UT)
Topo Conjunction (UT)
Pertama kali tampak (UT)
Geocentric Age (Umur)
Topocentric Age (Umur)
Stamm (#310)
Mirsaeed (#549)
29-01-1996, 12:50
29-01-1996, 11:43
21-01-1996, 00:57
12j:07m (12,11 jam)
13j:14m (13,23 jam)
07-09-2002, 03:10
07-09-2002, 01:29
07-09-2002, 14:47
11j:37m (11,62 jam)
13j:18m (13,30 jam)
Piece
(#274)
25-02-1990, 08:54
25-02-1990, 08:22
25-02-1990, 23:55
15j : 01m (15,01 jam)
15 j: 33m (15,55 jam)
Dalam Jurnal Royal Astronomy Society, yang diterbitkan oleh NASA Astrophysics Data System, Bradley
E. Schaefer (NASA/Godard Space Flight Center, Code 661, Greenbelt, MD 20771), Imad A. Ahmad
(Imad-ad-Dean Inc., 4323 Rosedale Ave, Bethesd, MD 20814) dan LeRoy Doggett (Nautical Almanac
Office, U.S. Naval Observatory, Washington D.C. 20390), melaporkan records hilal termuda, setelah
menyaring 12 data observasi yang masuk, maka terdapat 5 data yang dapat dipercaya (reliable), yaitu:
Tabel 4-2 Records Bulan termuda yang dapat diamati (dilihat, diru’yah)
Tanggal
Laporan
Umur
Bulan
Nama
Observer
Lokasi
Reference
Schaefer 1988
di Cicco 1989
05-05-1989
15,40 jam Athena Obs. Yunani
Schmidt
Lansing, Victor
East
13,47 jam
Michigan
Grand
Rapids, Hunafeld
13,67 jam
05-05-1989
13,79 jam
Lake Travis, Texas
di Cicco 1989
24-05-1990
15,53 jam Mount
california
14-09-1871
05-05-1989
di Cicco 1989
Michigan
Pearce
Wilson, O’Meara
15 Komunikasi
pribadi (Odeh)
Tangguh
laporan
--tanpa
tunda
tanpa
tunda
tanpa
tunda
tanpa
tunda
Catatan
Obs. tanpa alat-optik
hanya terlihat melalui
binoculars saja
mula2 terlihat dg binocular,
kemudian dengan mata
biasa
Seminar Nasional Hilal 2009
Kesimpulan dari data dalam Tabel 4-1 dan 4-2 di atas:
(1) Umur Hilal termuda yang dapat dilihat melalui teleskop adalah 13,23 jam s/d 15,55 jam;
(2) Umur Hilal termuda yang dapat dilihat dengan binocular adalah antara 13,47 s/d 13,79 jam;
(3) Umur Hilal termuda yang dapat dilihat dengan binocular dan mata-biasa adalah 15,53 jam.
Batas Danjon (The Danjon Limit) Visibilitas Hilal Ter-awal [Kepustakaan (20)]
Seorang astronomer Prancis, André Danjon, adalah direktur dari Observatorium Strasburg, dia peneliti
astronomi yang tertarik kepada penentuan kurva cahaya dari bulan. Di tahun 1936 dia menemukan
bahwa tidak ada hilal yang dapat dilihat jika jarak bulan ke matahari (elongation) kurang dari 7 (tujuh) drajat,
karena panjang lengkungan (the arc length) hilal menjadi sama dengan nol. Dia menghubungkan adanya
pengaruh bayangan yang diakibatkan oleh permukaan bulan yang tidak rata, tetapi berbukit dan
berlembah, sehingga cahaya matahari tidak langsung terpantul ke bumi.
McNally (1983) berpendapat bahwa Batas Danjon (Danjon Limit) adalah sebesar 5 drajat dan
menjelaskannya akibat pengaruh dari turbulensi atmosfir (atmosphiric seeing) maka hilal menjadi tidak
tampak, yaitu ukuran sudut (angular size) dari bulatan bulan yang terlihat itu lebih besar dari lebar badan
bulan (Crescent Width), sehingga illuminasi dari hilal akan terpencar ke bidang yang lebih luas, sehingga
intensitas cahaya (illuminasi per satuan luas) menjadi menurun (meredup). Dia menyarankan bahwa batas
Danjon itu 5 drajat, sebagai pengganti 7 drajat. Dia menambahkan bahwa observasi Hilal dengan mata
tanpa alat bantu optik, minimum elongation sebesar 9,4 drajat [kepust (20) pg-118].
Schaefer (1991) sangat setuju (membenarkan, confirmed) bahwa Danjon Limit adalah sebesar 7 (tujuh) drajat
dan kecerlangan bulan, per-satuan luas, sebenarnya terletak di batas ambang kemampuan mata manusia
untuk menditeksinya.
Dari database pengamatan tersebut dalam (Sub-Bab 03-02)
[Kepust (25)]
(Danjon Limit) adalah 6,4 drajat, dari data observasi #697.
didapatkan
bahwa
Batas
Danjon
05- BASIS PERHITUNGAN DATA ASTRONOMI DAN TAHAPANNYA
05-1. Titik Observasi
Titik Observasi yang digunakan adalah Madinah (Al-Munawwarah), Longitude 39°:36’:41’’ E, Latitude
24°:28’:03’’ N. Karena Kawasan (kota) Madinah merupakan dataran yang luas, maka pengaruh
ketinggian permukaan tanah (yaitu = +603 m AMSL, above mean sea level) diabaikan.
05-2. Waktu Perhitungan
Perhitungan data astronomis berdasarkan saat sunset (maghrib), di mana Waktu Madinah (LT, Local
Time) = GMT + 3 jam,
05-3. Penetapan tanggal awal tahun Hijriyah (tanggal 01-Muharram-0001 H)
Perhitungan ke-1:
•
•
•
•
•
Topo Conjunction terjadi pada tgl. 14-07-0622 CE jam 06:52 LT.
Kondisi sunset hari Rabu tanggal 14-07-0622 CE.
Sunset jam 19:14 LT, Moonset jam 19:30, Moonset Lag = 15 menit.
Moon Age = 12 jam : 23 menit (=12,383 jam). Tinggi Hilal = 01°:27’:34’’ (kurang dari 10,5°),
tebal hilal = 0,06 ArcM (kurang dari 0,25 ArcM), Maka Hilal tidak akan tampak walaupun dengan
telescope. Jadi belum masuk tanggal 1-Muharram-0001H.
Perhitungan ke-2:
•
•
•
•
•
•
•
Sunset hari Kamis, tanggal 15-07-0622 CE.
Sunset jam 19:14 LT, Moonset jam 20:21, Moonset Lag = 67 menit.
Moon Age = 36 jam : 22 menit (= 36,367 jam). Tinggi Hilal = 12°:28’:07’’ (lebih dari 10,5°),
tebal hilal = 2,43 ArcM (lebih besar dari 0,25 ArcM), Maka Hilal visible, tampak dengan mudah,
dapat diru’yat dengan mata biasa.
Jadi pada sunset tanggal 15-07-0622 CE, sudah masuk tanggal 01-01-0001H.
Jadi esoknya (siang) Jum’at tanggal 16-Juli-0622 CE adalah = tgl. 01-01-0001H siang.
Tanggal 01-Muharram-0001H (tahun ke-1 Hijriyah) = Jum’at 16-07-0622 CE.
16 Seminar Nasional Hilal 2009 05-4.
Software
Untuk perhitungan digunakan Software: AccuT 5.1.13 (Odeh). Untuk crosscheck-1 digunakan
Mooncal 6.0 (Monzoor Ahmed), dan crosscheck-2 digunakan Astronom v10.3 (Reinier Ott, 2008).
05-5.
Kriteria Visibilitas Hilal
Kriteria-utama adalah Kriteria-Baru (2007): Odeh. Untuk pembanding dan pemeriksaan digunakan
kriteria Ilyas-C, Yallop, juga kriteria Bruin, Schaefer, Maunder dan SAAO.
Probabilitas Ketampakan Hilal terjadi, bila kriteria berikut dipenuhi, ya’ni:
Tinggi hilal (at sunset) ≥ 10,5°; tebal hilal W ≥ 0,25 ArcM; Phase (illumination) ≥ 1,0%; Moon Age
sekitar 25 s/d 35 jam; Moonset Lag ≥ 35 menit. [Kepust (11)-(17) dan (25)]
05-6. Contoh Tahapan Hasil Perhitungan (Tabel 5-1)
Misal: Untuk bulan Ramadhan tahun ke-02 Hijriyah.
•
Kolom (1) dan (2), menunjukkan tanggal terjadinya ijtima’: Jum’at tgl. 24-02-0624 CE jam 10:52
Waktu Madinah.
•
Kolom (3), (4), (5) dan (6), menunjukkan tanggal yang sama dengan tanggal ijtima’, yaitu tanggal
24-02-0624 CE, maghrib jam 18:24 dan Bulan terbenam jam 18:36, maka selisih waktu
terbenam Lag = 13 menit.
•
Kolom (7) menunjukkan tinggi hilal pada saat maghrib (sunset), yaitu Altitude = 01,858°. Nilai ini
jauh lebih kecil dari persyaratan tinggi hilal yang tampak, yaitu = 10,5°. Jadi Hilal tidak akan
tampak walaupun menggunakan teleskop yang kuat (besar).
•
Esoknya, kolom (4) tanggal 25-02-0624 CE, kolom (5) dan (6), masing-masing menunjukkan
waktu tenggelam bulan jam 19:35 dan tenggelam matahari jam 18:24, selisih waktu tenggelam
Lag = 71 menit (melebihi 35 menit).
•
Tinggi Hilal di kolom (8) = 14,455° (melebihi 10,5°) dan phase di kolom (11) = 2,03% (melebihi 1,0%)
dan tebal Width = 0,65 (melebihi 0,25 ArcM), Maka hilal akan visible (tampak). Maka awal malam
1-Rmd-02H = 25-02-0624 CE.
•
Jadi shaum 1-Ramadhan-0002H bersamaan dengan siang hari Ahad 26-02-0624 CE.
Hasil perhitungan selengkapnya, dapat dipelajari dalam Tabel 5-1 berikut.
17 Seminar Nasional Hilal 2009
Table 5.1
TAHN
HIJRH
(01)
Hasil perhitungan Data Astronomi untuk Bulan Ramadhan dan Syawwal 10 Tahun
Hijriyah Pertama (623 sampai dengan 632 CE)
T-CONJUCTION
DATE
hr:mnt
(02)
(03)
SUNSET
Date
(04)
-set
Lag
(mnt)
M-Alt
Time
Moon
(deg)
DAZ
(deg)
M-Age
(hrs)
Phase
(%)
Width
(ArcM)
Odeh
V-
Visiblt
Hilal
Umur
Bln H
Catatan
Hij-Date
(05)
(06)
(07)
(08)
(09)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
---
30-Sbn-01
29
01-Rmd-01
---
Ke-1 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0001 or 623 CE)
Rmd0001
07030623
(Mon)
03:09
Swl0001
05040623
(Tue)
21:03
07030623
18:29
18:56
08030623
18:29
19:47
05040623
18:39
18:33
06040623
18:40
19:23
27
78
05.089°
18.338°
-4.58
-5.42
15.33
39.33
0.43
2.45
0.13
0.75
-0.34
14.67
VwO
EV
-07
43
-2.239°
08.359°
-4.952
-5.450
-2.38
21.62
0.20
0.92
0.06
0.28
-8.24
4.15
NVO
VO-V
--29
01-Swl-01
Ke-2 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0002 or 624 CE)
Rmd0002
Swl0002
24020624
(Fri)
24030624
(Sat)
10:52
23:55
24020624
18:24
18:24
18:36
19:35
13
71
01,858°
14,456°
-4,77
-5,85
07,53
31,53
0,23
2,03
0,07
0,65
-3,97
12,33
NVO
EV
---
29-Sbn-02
25020624
29
01-Rmd-02
24030624
18:35
18:20
- 16
- 4,241°
-4,96
- 5,32
0,28
0,09
10,11
NVO
---
29-Rmd-02
25030624
18:36
19:15
39
7,771°
-5,11
18,76
0,76
0,24
03,01
VO-V
29
01-Swl-02
Ke-3 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0003 or 625 CE)
Rmd-3
Swl0003
13020625
(Wed)
14030625
(Thu)
00:51
09:38
1302625
18:19
19:01
42
07,974°
-5,83
17,47
0,85
0,29
3,67
VO-V
30
01-Rmd-03
14030625
18:32
18:32
18:48
19:49
16
77
02,735°
16,081°
-4,881
-4,770
08,90
32,90
0,28
2,33
0,09
0,78
-2,97
--29
30-Rmd-03
14,54
NVO
EV
15030625
01-Swl-03
Ke-4 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0004 or 626 CE)
Rmd0004
Swl0004
02020626
(Sun)
04030626
(Tue)
18:34
01:46
02020626
29-Sbn-04
03020626
18:08
18:13
18:12
19:18
04
65
-2,519°
12,419°
-4,981
-7,045
- 0,37
23,65
0,20
1,70
0,07
0,59
-7,60
10,07
NVO
EV
--29
01-Rmd-04
04030626
18:28
19:08
40
07,862°
-4,615
16,68
0,74
0,25
3,33
VO-V
29
01-Swl-04
-2,03
--29
29-Sbn-05
---
29 Rmd-05
Ke-5 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0005 or 627 CE)
Rmd0005
Swl0005
23010627
(Fri)
21020627
23010627
05:21
19:36
(Sat)
24010627
18:05
18:06
18:26
19:32
21
86
03,311°
16,374°
-6,112
-8,659
12,73
36,75
0,42
2,79
0,14
0,93
16,16
NVO
EV
21020627
18:23
18:18
- 05
-1,782°
-4,424
-73,0
0,16
0,05
-7,84
NVO
22020627
18:23
19:23
-4,434
22,78
1,41
0,48
8,92
EV
30
01-Swl-05
NVO
EV
--30
29-Sbn-06
NVO
--29
60
12,064°
01-Rmd-05
Ke-6 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0006 or 628 CE)
Rmd0006
Swl0006
12010628
(Tue)
11020628
(Thu)
15:49
04:23
12010628
17:57
17:58
17:54
18:54
- 03
56
-1,381°
9,971°
-5,225
-8,205
02,13
26,15
0,21
1,39
0,06
0,44
-7,35
13010628
11020628
18:17
18:42
13,90
19:41
-4,543
37,91
0,35
2,56
0,11
18:18
04,420°
17,809°
-4,242
12020628
25
84
0,84
-1,10
15,92
-4,979
-8,473
-11,99
-8,27
NVO
0,34
4,29
VO-V
49,05
0,21
1,15
3,87
0,06
25,05
1,18
19,98
EV
6,78
EV
01-Rmd-06
30-Rmd-06
01-Swl-06
Ke-7 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0007 or 629 CE)
Rmd0007
Swl0007
31120628
17:41
17:49
- 08
01010629
17:50
18:37
47
(Thu)
02010629
17:50
19:32
102
-2,239°
8,080°
18,514°
30010629
30010629
18:10
18:22
12
1,583°
-3,875
9,500
0,16
0,05
-4,40
NVO
31010629
18:11
19:16
65
12,791°
-4,664
33,51
1,57
0,48
9,77
EV
1,47
0,20
1,22
0,06
---
29-Sbn-08
0,37
-8,52
4,23
NVO
25,49
VO-V
29
01-Rmd-08
10,18
34,18
0,14
1,51
0,04
0,46
-4,49
9,12
NVO
EV
--30
01-Swl-08
31120628
(Mon)
16:47
08:40
1,10
---
30
29
29 Sbn-07
01-Rmd-07
01-Rmd-07
01-Swl-07
Ke-8 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0008 or 630 CE)
Rmd0008
Swl0008
20120629
17:42
17:33
- 09
-2,480°
(Wed)
21120629
17:43
18:29
47
7,844°
-4,819
-9,212
19010630
(Fri)
19010630
18:03
18:03
18:14
19:08
12
65
1,526°
12,331°
-3,628
-5,056
20120629
16:14
07:52
20010630
18 Seminar Nasional Hilal 2009 Table 5.1
TAHN
HIJRH
(01)
Hasil perhitungan Data Astronomi untuk Bulan Ramadhan dan Syawwal 10 Tahun
Hijriyah Pertama (623 sampai dengan 632 CE) Lanjutan.
T-CONJUCTION
DATE
hr:mnt
(02)
(03)
Time
-set
Lag
(mnt)
M-Alt
Date
SUNSET
Moon
(deg)
DAZ
(deg)
M-Age
(hrs)
Phase
(%)
Width
(ArcM)
Odeh
V-
Visiblt
Hilal
Umur
Bln H
Catatan
Hij-Date
(04)
(05)
(06)
(07)
(08)
(09)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
Ke-9 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0009 or 631 CE)
Rmd0009
Swl0009
09120630
(Sun)
08010631
(Tue)
21:21
10:45
09120630
17:37
17:14
- 23
- 5,244°
-3,225
-3,73
0,23
0,07
-11,27
NVO
---
29-Sbn-09
10120630
17:38
18:14
36
05,893°
16,823°
-8,951
-14,71
20,35
0,96
3,94
0,31
1,92
VwO
---
30-Sbn-09
1,25
18,92
EV
29
01-Rmd-09
0,638°
12,099°
-3,205
-5,609
7,150
0,03
-5,49
NVO
---
31,17
0,09
1,51
0,47
9,04
EV
30
-6,125
10,70
0,30
0,10
-5,37
NVO
---
29 Sbn-10
-13,28
34,70
2,60
0,87
11,85
EV
29
01-Rmd-10
0,09
0,03
-10,24
NVO
---
0,90
0,30
4,55
VO-V
29
11120630
17:38
19:15
97
08010631
17:54
18:02
07
09010631
17:55
19:00
65
44,28
01-Swl-09
Ke-10 TAHUN HIJRIYAH (HIJRIYAH YEAR OF 0010 or 632CE)
Rmd0010
29110631
29110631
17:41
17:35
(Fri)
30110631
18:46
17:35
Swl0010
28120631
28120631
17:30
17:47
-17
-4,001°
-1,445
-3,81
29120631
18:37
17:47
49
8,696°
-5,238
20,20
(Sat)
06:53
21:36
6
71
0,314°
12,969°
01-Swl-10
Keterangan:
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
T-Conjunction = Topographic Conjunction = Ijtima’ dilihat dari permukaan bumi (Madinah);
Tgl CE = Tanggal menurut Common Era (Miladiyah, Masehi);
M-Set = Moon set = Bulan tenggelam; S-set = Sun set = Matahari tenggelam (maghrib);
Lag = selisih waktu terbenam matahari dan terbenam bulan (dalam menit);
M-Alt = Moon altitude = irtifa’ bulan (drajat);
DAZ = Delta Azimuth = Selisih nilai azimuth Bulan dan azimuth Matahari (dalam drajat);
M-Age = Moon Age = Umur Hilal terhitung saat terjadi ijtima’ (topo) s/d maghrib (dalam jam);
Phase = Illumination= rasio luas bagian bulan yang tercahayai matahari dan luas seluruh luas bulan (dalam %);
W-Hilal = Tebal bagian tengah hilal (dalam sudut menit, ArcM);
NVO = Not Visible even with Optical Aid = Tidak tampak walaupun dengan alat bantu optik (telescope);
Rmd = Ramadhan; Swl = Syawal.
EV = Easily Visible = Mudah dapat dilihat mata;
VwO = Visible with optical aid Only = Hanya dapat dilihat dengan alat telescop saja.
VO-V = Visible only with Optical Aid and could be seen by naked eye = Hanya dapat dilihat dengan alat telescop dan
masih mungkin dapat dilihat dengan mata biasa.
V-Odeh = Nilai faktor visibilitas Hilal, kriteria Odeh, yaitu:
V ≥ 5,65 utk. Zone-A (Mudah di ru’yah);
2 ≤ V ≤ 5,65 utk Zone-B (dapat diru’yah dg telescope);
-0,95 ≤ V ≤ 2,0 utk Zone-C (sulit dilihat walaupun dgn telescope);
V ≤ -0,95 mustahil dapat diru’yah.
06- PEMBAHASAN
Dari data astronomis, hasil perhitungan terdapat dalam Tabel 5-1, didapat temuan-temuan
penting sebagai berikut:
• Umur Bulan Ramadhan yang sering terjadi pada masa Rasulullah saw. di Madinah
• Tinggi Hilal minimum yang dapat diamati (dapat dilihat mata biasa);
• Tinggi Hilal maksimum dan faktor yang mempengaruhinya
19 Seminar Nasional Hilal 2009
Umur Bulan Ramadhan
Di dalam periode 10 tahun, dari tahun ke-1 sampai dengan ke-10 Hijriyah, bulan Ramadhan yang
berumur 30 hari, terjadi 3 kali, yaitu pada tahun ke-3, ke-6 dan ke-7. Di tahun-tahun lainnya, Ramadhan
berumur 29 hari, terjadi 7 kali. Sehingga dalam periode tersebut, maka bulan “Ramadhan 29-hari” lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan “Ramadhan 30-hari”. Hal ini sesuai dengan Hadits Dalil 1-12 dan
1-13.
Tabel 6-01 Umur Bulan Ramadhan antara Tahun ke-1 s/d tahun ke-10 Hijriyah
Tahun Hijriyah Yang ke:
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
Umur Bulan Ramadhan (hari)
29
29
30
29
29
30
30
29
29
29
Altitude-minimum (Tinggi terendah) Hilal untuk Bulan Ramadhan
Tinggi Hilal terendah untuk Awal Bulan Ramadhan yang bisa diamati di Madinah pada Zaman
Rasulullah saw., adalah 7,844°, seperti ditunjukkan dalam Tabel 6-02 berikut.
Tabel 6-2 Tinggi Hilal (yang visible) Minimum untuk Bulan Ramadhan th. 01 s/d 10H.
Ramadhan
tahun ke
0003 H
Sunset pd tanggal yg
sama dgn tgl. ijtima’
Tgl. CE
Alt. Hilal
13-02-0625
0006 H
12-01-0628
0007 H
31-12-0628
7,974°
- 1,381°
- 2,239°
Sunset setelah satu hari
tgl. ijtima’
Tgl CE
Alt. Hilal
14-02-0625
21,770°
13-01-0628
9,971°
01-01-0629
8,080°
Komentar, Catatan, Keterangan
Awal-Rmd-03H = sunset 13-02-625 CE.
Awal Shaum tgl. 14-02-0625 CE.
Awal-Rmd-06H = sunset 13-01-628 CE.
Awal Shaum tgl. 14-01-0628 CE.
Awal-Rmd-07H = sunset 01-01-629 CE.
Awal Shaum tgl. 02-01-0629 CE.
Awal-Rmd-08H = sunset 21-12-629 CE.
Awal Shaum tgl. 22-12-0629 CE.
20-12-0629
21-12-0629
7,844°9
0008 H
- 2,480°
Kesimpulan: Tinggi Hilal minimum untuk bulan Ramadhan yang dapat diamati di Madinah pada
zaman Rasulullah saw dan sahabat adalah Altitude = 7,844°, yang terjadi pada
maghrib (sunset) tanggal 21-12-0629 CE. (Awal Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah).
Tinggi minimum (terendah) untuk Hilal
Bulan Syawwal
Tinggi Hilal terendah untuk Awal Bulan Syawwal yang dapat diamati di Madinah pada Zaman Rasulullah
saw., adalah 7,771°, seperti ditunjukkan dalam Tabel 6-3 berikut. Data tingi bulan Syawwal adalah
penting, untuk menentukan awal bulan Syawwal. Dengan mengetahui awal bulan Syawwal, maka akhir
bulan Ramadhan dapat ditetapkan, sehingga umur bulan Ramadhan dapat ditentukan di setiap tahun.
Data selengkapnya ditunjukkan dalam Tabel 6-3 berikut.
20 Seminar Nasional Hilal 2009 Tabel 6-03
Syawwal
tahun ke
Tinggi Hilal Minimum (yang visible) untuk Bulan Syawwal th. 01-10H.
Sunset pd tganggal yg sama
dgn tgl. ijtima’
Tgl. CE
Sunset pada tanggal satu hari
setelah ijtima’
Alt. Hilal
Tgl CE
Komentar, Catatan,
Keterangan
Alt. Hilal
0001 H
05-04-0623
-2,239°
06-04-0623
7,844° (VO-V)
Awal Syawal 01 H = 06-04-0623
0002 H
24-03-0624
- 4,241°
25-03-0624
7,771° (VO-V)
Awal Syawal 02 H = 25-03-0624 9
0004 H
04-03-0626
7,862° (VO-V)
05-03-0626
22,097° (EV)
Awal Syawal 04 H = 04-03-0626
0010 H
28-12-0631
- 4,001°
29-12-0631
8,696° (VO-V)
Awal Syawal 10 H = 29-12-0631
Kesimpulan:
•
•
•
Tinggi Hilal minimum untuk bulan Syawwal yang dapat diamati di Madinah pada zaman
Rasulullah saw adalah Altitude = 7,771°, yang terjadi pada maghrib (sunset) tgl. 25-03-0624
CE. bulan Syawwal tahun ke-2 Hijriyah.
Kode VO-V, bermakna : Visible with Optic Aid, but could be seen (Visible) by naked eyes,
Hanya dapat dilihat dengan alat optik (teleskop), tetapi masih dapat dilihat dengan mata biasa.
Karena atmosfir di Jazirah Arab relatif lebih bersih, dengan RH (Relative Humidity) rendah,
sekitar 20-30%, maka hilal lebih mungkin dapat dilihat oleh mata pada kondisi VO-V
dibandingkan dengan kawasan khattul-istiwa (katulistiwa) yang lebih lembab.
Tinggi Hilal maksimum
Tinggi (irtifa’) hilal di saat sunset yang melebihi kriteria Visibilitas (yaitu Alt = 10,5°), terjadi 6 kali untuk
bulan-Ramadhan (Alt maks = 17,809°) dan 5 kali untuk Syawal (Alt maks = 16,081°). Dalam hal ini hilal sangat
mudah terlihat dengan mata biasa (katagori EV, Easily Visible). Hal ini terjadi karena pada sunset sehari
sebelumnya, bulan sudah tenggelam sebelum matahari dan/atau tinggi hilal terlalu rendah, sehingga
mustahil atau tidak mungkin dapat diamati (diru’yat).
Hasil selengkapnya lihat Tabel 6-04 dan 6-05 berikut.
Tabel 6-04
Tinggi Hilal Maksimum untuk Bulan Ramadhan
Altitude (Irtifa’) tertinggi Hilal (lebih dari 10.5°), yang terlihat di Madinah antara Tahun ke-1 dan ke-10 H.
Ramadhan
tahun ke
(1)
Tanggal saat Sunset dan Altitude
(tinggi) Hilal
Tgl. CE dan Jam
(2)
Alt Hilal
(3)
Faktor Penyebab
Tgl. CE dan Jam
(4)
Alt. Hilal
(5)
Catatan
Keterangan
0001 H
08-03-0623, 18:29
16,338°
07-03-0623,
18:29
5,089°
(6)
Tinggi Hilal lebih kecil dari
batas Danjon (7°) dan
0002 H
25-02-0624, 18:24
14,456°
24-02-0624,
18:24
1,858°
batas Zone-B = 8,5° - 7 ,3°
0004 H
03-02-0626, 18:13
12,419°
02-02-0626, 18:13
- 2,519°
Bulan tenggelam sebelum
sunset (matahari terbenam)
0005 H
24-01-0627, 18:06
16,374°
23-01-0627, 18:05
3,311°
0006 H
12-02-0628, 18:18
17,809°9
11-02-0628, 18:18
4,420°
0009 H
11-12-0630, 17:38
16,823°
10-12-0630, 17:38
5,898°
21 Tinggi Hilal lebih kecil dari
batas Danjon (7°) dan lebih
kecil dari batas Zone-B =
8,5° - 7,3°
Seminar Nasional Hilal 2009
Ramadha
n tahun
ke
(1)
Tabel 6-05 Tinggi Hilal Maksimum untuk Bulan Syawwal
Altitude (Irtifa’) tertinggi Hilal yang terlihat di Madinah antara thn ke-1 dan ke-10 H.,
serta Faktor Penyebabnya dari Sudut Astronomi
Tanggal saat Sunset dan
Faktor Penyebab
Altitude (tinggi) Hilal
Tgl. CE dan Jam
Alt Hilal
Tgl. CE dan Jam
Alt. Hilal
(2)
(3)
(4)
(5)
0003 H
15-03-0625, 18:32
16,081° 9
14-03-0625, 18:32
2,735
0005H
22-02-0627, 18:23
12,064
21-02-0627, 18:23
-1,782
0007 H
0008 H
31-01-0628, 18:11
20-01-0630, 18:03
12,791
12,331
30-01-0628, 18:10
19-01-0630, 18:03
1,583
1,526
0009 H
09-01-0631, 17:55
12,969
08-01-0631, 17:54
-0,314
Catatan
Keterangan
(6)
Tinggi Hilal lebih kecil dari batas
Zone-B = 8,5° - 7,3°
Bulan tenggelam sebelum
sunset (matahari terbenam)
Tinggi Hilal lebih kecil dari batas
Danjon (7°) dan lebih kecil dari
batas Zone-B = 8,5° - 7,3°
Bulan tenggelam sebelum
sunset (matahari terbenam)
07- KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan:
(1) Al-Quran telah menerangkan tentang benda-benda langit (bintang, matahari, bumi dan bulan),
pergerakannya pada orbit mengikuti aturan (sunnatullah) yang pasti, kuat dan akurat, yang
diantaranya dapat dijadikan petunjuk pengukur waktu, khususnya untuk ibadah, seperti
waktu ibadah hajji, shalat dan shaum. Lihat Dalil 1-01 s/d 1-06.
(2) Al-Hadits (Shahih Bukhary dan Muslim), Rasulullah saw. juga telah memberikan tuntunan
cara menentukan awal-bulan (khususnya Bulan Ramadhan dan Syawwal), yang isinya adalah:
• memerintahkan (wajib) agar memulai ibadah shaum dan mengakhirinya (menentukan
awal dan akhir bulan Ramadhan) harus dengan memperhatikan fenomena-alam, yaitu
terlihatnya fisik-hilal (bukan dengan ”wujud”-nya hilal yang tidak tampak).
• Rasul saw melarang (haram) memulai dan mengakhiri shaum (menentukan awal dan akhir
Ramadhan), bila fisik hilal belum tampak.
(3) Untuk memenuhi tuntunan (sunnah) Rasul saw [point-(2)] di atas, sejak abad 10 sampai
abad-21, para astronomer Muslim telah berusaha, meneliti, mengkaji dan merumuskan
hasil pengamatan (data) HILAL selama lebih dari 150 tahun (di tahun 2007 sudah masuk ke
dalam database ICOP, sebanyak 737 data astronomi, hasil pengamatan hilal di 4 benua), yang hasil
rumusannya, berupa kriteria visibilitas hilal, ditunjukkan dalam Bab-3.
(4) Kriteria Visibilitas yang penting seperti; Kriteria Maunder (ARCV-DAZ) Tabel 03-1, Indian
(ARCV-DAZ) Tabel 03-2, Bruin (ARCV-W) Tabel 03-3, SAAO (DALT-DAZ) Tabel 3-04, Ilyas-C (Alt-DAZ)
Tabel 3-05, dan Odeh (ARCV-W) Tabel 3-06, semuanya dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hilal hanya visible (tampak dengan mata biasa) bila memenuhi kriteria berikut:
• ARCV ≥ (tidak kurang dari) 11° atau Altitude ≥ (tidak kurang dari) 10,5°;
• Tebal Hilal W ≥ 0,25 ArcM, Illumination ≥ 1,0%, Lag ≥ 35 menit,
• Moon Age ≥ 25 jam.
Dari hasil perhitungan (data astronomi) untuk bulan Ramadhan dan Syawal, di Bab-05,
antara tahun ke-1 s/d ke-10 Hijriyah di Madinah pada zaman Rasulullah saw., didapat
temuan penting (findings) sebagai berikut. Lihat hasil perjitungan di Tabel 5-01 s/d 5-04:
22 Seminar Nasional Hilal 2009 a) Bulan Ramadhan berumur 29 hari, lebih banyak (sering) dibandingkan dengan Ramadhan
berumur 30 hari, dengan perbandingan 6(29 hari) berbanding 3(30 hari).
b) Tinggi Hilal minimum (terendah), untuk bulan Ramadhan, dimana hilal masih visible, di Madinah,
adalah 7,844 drajat, DAZ = - 9,212°.
c) Tinggi Hilal minimum (terendah), untuk bulan Syawwal di Madinah, dimana hilal masih visible,
adalah 7,771 drajat, DAZ = - 5,11°.
d) Bila digabungkan kesimpulan b) dan c), dan dibulatkan maka tinggi Hilal minimum di
zaman Rasulullah saw (di Madinah) adalah 7,8 drajat.
e) Tinggi maksimum (tertinggi) untuk bulan Ramadhan dan Syawal, masing-masing adalah
17,809 dan 16,081 drajat, di mana di saat sunset sehari sebelumnya, bulan sudah
tenggelam sebelum matahari dan/atau tinggi hilal kurang dari 6 drajat.
Saran
(1) Agar supaya penetapan tanggal-awal bulan-bulan Islam, sesuai dan mengikuti Sunnah Rasulullah
saw., maka perhitungan hendaknya diarahkan kepada perhitungan vibilitas-hilal (tampaknya-hilal, hilal
yang dapat dilihat dengan mata), dan tidak mengarah kepada hanya sekedar wujudnya hilal setelah ijtima’,
yang tidak menjamin visibilitas (tampaknya)-hilal, agar sesuai dengan tauladan dan perintah Rasulullah
saw.
(2) Perhitungan ketampakan Hilal, supaya mengikuti kaidah sain, atau landasan ilmiah yang terpercaya,
yaitu hasil penelitian sistematis, yang didukung data-data nyata dan falid, yang dirumuskan dengan
metoda reserch yang benar.
(3) Bila Tinggi Hilal kurang dari 7,0 drajat, maka hilal tidak mungkin tampak, seperti diijelaskan oleh Danjon
Limit dan hasil-penelitian di Bab-03.
(4) Kriteria yang perlu diperhatikan untuk penetapan awal bulan, khususnya bulan ibadah seperti
Ramadhan, Syawwal dan Dzul-Hijjah, adalah tinggi-minimum hilal yang terjadi di zaman Rasul di
Madinah, yaitu antara 7,771 dan 7,844 drajat, misalnya dapat diambil angka alitude = 7,8 atau 8,0
drajat.
(5) Maka untuk penetapan awal-bulan-bulan Islam (kalendar qomariyah, lunar calendar) disarankan
menggunakan batas minimum tinggi-minimum hilal = 7,8 drajat, (seperti yang terjadi di Zaman
Rasulullah di Madinah, lihat Tabel 5.1).
(6) Semoga para pemikir, ulama’ dan khususnya para peneliti atau astromer-muslim yang bertanggung
jawab dalam menentukan jadwal waktu ibadah untuk ummat Islam, dapat mengambil manfaat dari
yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. (yaitu mengawali bulan-bulan Islam itu, bila Hilal sudah dapat dilihat mata),
seperti tersebut di Bab-03.
PENUTUP
Semoga Allah swt. senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita, serta menuntun kita
kepada jalan yang diridhai-Nya. Amin.
Wallahu a’lam bish-shawab,
Prof. H. Suwandojo Siddiq, DE Eng. APU.
23 Seminar Nasional Hilal 2009
08 Apendixes
Contoh sebagian hasil observasi (pengamatan) Visibilitas Hilal Untuk 2 Zone
(Tabel ini merupakan sebagian dari 737 data observasi, dalam 17 lembar Tabel, New Odeh Criterion 2007)
Grup D dan C
Grup A
Arti nomor kolom-kolom dalam Tabel di atas:
1 Nomor record, disortis secara urutan (chronologically),
2 Sumber acuan, dimana: A (Schaefer list), B (Stamm list), C (SAAO list), D (Mirsaeed List) F(Mihrani list) dan I (ICOP),
3 Waktu observasi (Pengamatan, ru’yah-hilal): (M) morning, pagi, (E) petang (evening),
24 Seminar Nasional Hilal 2009 4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Tanggal Lokal observasi, dalam format dd-mm-yyyy (hari-bulan-tahun),
Nama observer atau lokasi observasi.
Bujur timur (east longitude) dari lokasi observasi,
Lintang (Latitude) dari lokasi observasi,
Elevasi, tinggi lokasi observasi dikur dari mula laut, dalam meter,
Visibilitas hilal dengan mata telanjang (N = naked); tidak tampak Invisible) I, visible (V), atau kosong bila tidak dicoba,
Visible (tampak) dengan Binocular; Invisible (I), visible (V) atau kosong bila tidak dicoba,
Visible (tampak) dengan Teleskop, Invisible (I), visible (V) atau kosong bila tidak dicoba,
Julian date pada saat dilakukan perhitungan (Best Time),
Umur toposentrik (Topocentric Age), dalam jam, pada best time,
Lag time dari bulan (Lag) dalam menit,
16 dan 17, topocentric arc of vision (ARCV) topocentric relative azimuth (DAZ), dan topocentric arc of light (ARCL), semuanya
dalam drajat pada beset time dan tidak dikoreksi terhadap refraksi,
18 Tebal Hilal toposentrik (width W) dalam arc second at best time,
19 Nilai Prediksi Visibilitas Hilal (V), sudah dijelaskan dalam bab yang lalu.
Catatan:
Berhubung dengan terbatasnya halam dalam majalah ini, maka data observasi sebanyak 17 Tabel (737 data observasi),
hanya dapat dapat ditampilkan 1 (satu) tabel, sebagai contoh.
09- KEPUSTAKAAN
Al-Quran dan Al-hadits
(1)
(2)
(3)
AL-QUR’ANUL KARIEM, Bir Rasmil ‘Utsmany, Cetakan Darul Fajri al Islami, Damsyiq (Damaskus), Bairut, 1404 H
Sayyid Quthb, 2003, TAFSIR FI ZHILALIL-QUR’AN, Jilid I – XIII (30-Juz), Darus-Syuruq, Kairo, Mesir, 1402H/1982 CE.,
Muhammad Musthafa Al-Maraghi, TAFSIR AL-MARAGHI, Juz I – XXX, Mesir, Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1294H/1974 CE, Tarjamah
Anwar Rasyidi dkk., Cetakan I, Januari 1989, Toha Putra, Semarang.
(4) Quraish Shihab M, DR, Prof, 2002, TAFSIR AL MISHBAH, Volume 01 s/d 15, Penerbit Lentera Hati, Jakarta.
(5) Muhammad Taqiud-Din Al Hilali, DR. and Muhammad Muhsin Khan DR, 1417H, (1996CE), “AL-QUR’ANUL KARIEM (THE NOBLE
QUR’AN)”, English Translation of the Meaning and Commentary, King Fahd Complex, For the Printing Of The Holy Qur’an, Madinah,
KSA.
(6) Al Imam Abiy Al-Husain MUSLIM ibn Al Hajjaj al Qusyairy Al Nisyaburi, 1414H (1993CE), SHAHIH-MUSLIM, th. 206 – 261 CE, Juz I
s/d III, Darul-Fikri, Birut, Libanon.
(7) Al Imam Abiy Al-Husain MUSLIM ibn Al Hajjaj al Qusyairy Al Nisyaburi, SHAHIH-MUSLIM, Edisi 2005, Darul-Kutub
Al-Ilmiyah, Beyrout-Liban.
(8) Abi Abdil-Lahi Muhammad bin Ismail Al-Bukhary, 194 – 256 H, (809 – 869 CE) Samarkand, SHAHIH BUKHARY, Juz I s/d IV,
Darul-Fikri, Bairut-Lebanon
(9) Al-Imam Abiy Abdul-Lah Muhammad ibn Isma’il Ibn Ibrahim Ibn Al-Mughirah, SHAHIH AL-BUKHARY, Juzu’ I s/d IV, Edisi 2005,
Darul-Kutub Al-Ilmiyah, Beyrout-Lubnan (Lebanon).
(10) Darul-Fikr, 2003, SUNAN AT-TIRMIDZY, jilid 1 – 5, Terbitan pertama tahun 1424H/2003CE, Beirut Lebanon.
Astronomi
(11) Ilyas M, 1984: "A Modern Guide to Astronomical Calculation of Islamic Calendar, Times & Qibla", Berita Publ Sdn Bhd; K L,
Malaysia.
(12) Ilyas M, 1997: "Astronomy of Islamic Calendar", A.S. Noordeen Publishers; K L, Malaysia.
(13) Ilyas M, 1994: "Lunar Crescent Visibility and Islamic Calendar", Q.J.R. Ast. Soc. 35: 425 - 461.
(14) Ilyas M, 1999, : "Astronomy of Islamic Times for the Twenty-first Century", Published by A.S. Noordeen, KL Malaysia,
(15) Ilyas Muhammad, 1994, “Lunar Crescent Visibility Criterion and Islamic Calendar”, Q.J.R astr. Soc. (1994), 35, 425-461. Royal
Astronomical Society, Provided by NASA Astrophysics Data System
(16) Ilyas M., 1988, “Limiting Altitude Separation in the Nes Moon’s Visibnility Criterion”, Astronomy and ASTROPHISICS, Scholl of
Phisics, Univ of Science of Malaysia, Penang, VMalaysia.
(17) Ilyas M., 1986, “Age As a Criterion of Moon’s Earliest Visibility”, Scholl of Phisics, Univ of Science of Malaysia, Penang, Vo. 103
(18) Caldwell J, June 1999, "Approximate Position of the Sun (Altitude and Azimuth) From Any Location at Any Time (for Low
Accuracy Calculation)", Based on Yallop, SAAO, South Africa.
(19) Dogget LE, Schaefer BE, 1994: "Lunar Crescent Visibility", Icarus, Vol. 107 pp388-403.
(20) Fatoochi, L.J., Stephenson, F.R., Al-Dargazelli, S.S., 1998, "The Danjon limit of First Visibility of the Lunar Crescent”, The
Observatory, Provided by the NASA Astrophysics Data System, vol. 118, p 65-72.
(21) Jean Meeus, 1988: "Astronomical Formulae for Calculator", 4th Edition, Williem-Bell Inc; Virginia, USA. M., 1986, “Lunar Calendars:
The Missing Date Lines”, J. Roy. Astron. Soc. Can. Vol. 80. No. 6, 1986.
(22) Jean Meeus, 1998: "Astronomical Algorithms", Willmann-Bell Inc., 2nd Edition, (1998). Richmond, Virginia, USA.
25 Seminar Nasional Hilal 2009
(23) Mill Valley, University Science Books, California, 1992, "Explanatory Supplement to the Astronomical Almanac".
(24) Mohammad Shaukat Odeh, June-2007, "Accurate Shalat Times – 5.1.13", JAS-ICOP, Jordan, Amman.
(25) Muhammad Sahukat Odeh, 2006, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, [Arab Union for Astronomy and Space Science (AUASS)],
Proceeding of The First Emirat Astronomical Conference 22-23 Dzul Qaidah-1427H (13-14 December 2006CE),
(26) Richard Holdaway, 2000. "THE ASTRONOMICAL ALMANAC FOR THE YEAR 2001 and 2002", March-2000, Space Science and Technology
Dept, USA.
(27) Bradley E Schaefer, 1988, "Visibility of Lunar Crescent", Quarterly Journal of the Royal Astrono-mical Society, Vol. 29, pp 511-523.
(28) Bradley E Schaefer, 1993, "Records for Young Moon Sighting", Quarterly Journal of the Royal Astronomical Society, Vol. 35 pp 425-461.
(29) Bradley E Schaefer, 1996, "Lunar Crescent Visibility", Qoaterly Journal of the Royal Astrono-mical Society, vol. 37, pp 756-768.
(30) Yallop B.D. 1997, "A Method for Predicting the First Sighting of New Moon", NAO Technical Note No. 69; HM Nautical Almanac Office,
Royal Greenwich Observatory, Cambridge, UK, First released June 1997, revised 1998.
(31) SIDDIQ Suwandojo, July 2000, "Kriteria dan Metoda Penentuan Awal Bulan Hijriyah Berdasarkan Astronomi-Islam Masa Kini", Makalah
Pertemuan Orientasi Peningkatan dan Pelaksanaan Hisab dan Ru'yah, Jawa-Barat, Tanggal 1-3 Agustus-2000, Pengadilan Tinggi Agama
Jawa Barat, Bandung.
(32) SIDDIQ Suwandojo, Sept-2007, “IMKANUR RUKYAH SEBAGAI BASIS TERWUJUDNYA KALENDAR ISLAM INTERNASIONAL”,
Makalah Simposium Internasional Upaya Penyatuan kalendar Islam Internasional, Mjelis tarjih & Tajdid P.P-Muhammadiyah, di Jakarta.
(33) Suwandojo Siddiq, “The Study of Crescent Visibility in the Period of the first Ten Hijric Years, (0622 to 0632 CE) as a New Criterion of Islamic
Lunar Crescent Visibility”, Paper presented on the Conference of The Indonesian Astronomical Siciety (HAI), ITB, Bandung, 29 to 30 October
2009.
26 Seminar Nasional Hilal 2009
€
T. Djamaluddin
Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN), Bandung
Anggota Badan Hisab Rukyat Prov. Jabar
Anggota Badan Hisab Rukyat Depag RI
€
€
http://t-djamaluddin.spaces.live.com/
€
Seandainya kriteria yang saat ini berlaku (wujudul hilal
dan ketinggian minmal 2 derajat) tetap berlaku dan
menjadi acuan Ormas-ormas Islam, maka
Idul Adha 1431/2010 berpotensi terjadi perbedaan
karena tinggi bulan hanya sekitar 1,7o.
Idul Fitri 1432/2011 berpotensi terjadi perbedaan
karena tinggi bulan hanya sekitar 2o.
Awal Ramadhan 1433/2012 dan 1434/2013 berpotensi
terjadi perbedaan karena tinggi bulan hanya sekitar 2o
dan 0,7o.
Awal Ramadhan dan Idul Fitri 1434/2014 berpotensi
terjadi perbedaan karena tinggi bulan hanya sekitar
0,8o.
€Titik
temu faktor dalil syar’i
€Titik temu faktor hilal
€Titik temu faktor atmosfer
Garis Tanggal Syawal 1427 H: kriteria imkan rukyat, h=2, wujudul hilal
23 Oktober 2006
(--- maghrib saat ijtima')
22 Oktober 2006
Garis Tanggal Syawal 1428 H: kriteria imkan rukyat, h=2, wujudul hilal
12 Oktober 2007
(--- maghrib saat ijtima')
11 Oktober 2007
Tiga faktor Kriteria Hisab Rukyat
harus ditinjau secara objektif
berdasarkan dalil yang kuat serta
data hisab dan rukyat yang akurat.
"Berpuasalah bila melihatnya dan beridul fitri-lah bila
melihatnya, bila tertutup awan sempurnakan bulan Sya’ban
30 hari" (HR Bukhari-Muslim).
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat mendahului siang (QS 36:40)
"Bila
Bila tertutup awan perkirakan
perkirakan" (HR Muslim).
Muslim)
Walau pun berdasarkan dalil ini ditafsirkan penentuan awal
bulan bisa dengan kriteria wujudul hilal, pendapat ini tetap
Tanpa memperdebatkan makna rukyat atau boleh tidaknya
Rasulullah SAW
memberi contoh penentuan awal bulan saat
maghrib dengan melihat hilal.
hisab, kita semua sepakat bahwa
menerima praktek rukyat yang dilakukan
Rasulullah SAW dengan melihat hilal.
27
Seminar Nasional Hilal 2009
Indikasi terlihatnya hilal tergantung pada kondisi
hilalnya. Ukuran dan kecerlangan hilal sangat
dipengaruhi oleh umur hilal, yang terkait dengan tebal
sabit dan jarak bulan-matahari.
bulan-matahari
Faktor dalil syar’i yang kita sepakati adalah
Kriteria Hisab Rukyat tidak boleh
bertentangan dengan praktek rukyat
Rasulullah SAW:
Faktor hilal yang kita sepakati adalah
1.Mencari indikasi terlihatnya hilal
Kriteria Hisab Rukyat harus memuat salah satu
dari parameter hilal (umur hilal, tebal hilal,
atau jarak bulan-matahari)
2.Waktunya maghrib sesudah maghrib
Bulan berumur 21 jam
MELIHAT HILAL SANGAT SULIT
Hilal berumur muda, sangat tipis dan redup.
Bentuk lengkungan paling jelas, termuda berumur 13 jam
Hilal Ramadhan 1427
umur 13 jam 15 menit
Dipotret dg
teleskop &
kamera CCD
Di Jerman
€
€
14,5 jam
B l berumur
Bulan
b
29 jam
j
Indikasi terlihatnya hilal tergantung juga pada
transparansi atmosfer dan kontras akibat
hamburan cahaya. Atmosfer ke arah horizon
semakin tebal, transparansinya semakin
rendah, dan hamburan cahaya matahari oleh
atmosfer
mengurangii
t
f semakin
ki kuat
k t sehingga
hi
kontras hilal.
Faktor hilal yang kita sepakati adalah
Kriteria Hisab Rukyat harus memuat
parameter atmosfer, yaitu ketingggian
hilal dari horizon dan beda azimut (atau
jarak bulan-matahari)
28
Seminar Nasional Hilal 2009
DATA RUKYAT DI INDONESIA
(Djamaluddin, 2002)
21
19
Umur > 8 jam
17
15
10
13
9
11
9
7
4
5
6
7
8
9
10
Jarak bulan-m atahari (derajat)
Tinggi bulan minimal
tergantung beda azimut
11
Beda Tinggi (deraja
at)
wujudul Hilal [Ditinjau dari segi
faktor dalil syar’i, kriteria ini cenderung
mengabaikan fakta bahwa Rasulullah
mementingkan indikasi terlihatnya hilal]
€ Kriteria tinggi hilal 2 derajat [Hanya
mementingkan faktor atmosfer, tidak
didukung data pengamatan yang akurat]
€ Kriteria MABIMS (tinggi hilal > 2o, jarak
bulan-matahari > 3o, umur bulan > 8 jam)
[Tidak didukung data yang akurat] Î
Disempurnakan dengan Kriteria LAPAN
Umur Hilal (jam)
€ Kriteria
8
7
6
5
4
3
0
1
2
3
4
5
6
7
Beda Azim ut (derajat)
Odeh (2004) di
“Experimental
Astronomy”, Vol.
18, pp. 39-64: using
737 observations,,
almost half of them
obtained by the
Islamic Crescent
Observation Project
(ICOP). From the
database we found a
Danjon limit of 6.4
degrees.
KRITERIA IMKANUR RUKYAT INTERNASIONAL
(di Cicco, 1989)
29
8
9
Seminar Nasional Hilal 2009
Visibilitas hilal ditentukan oleh
1.kecerlangan hilal yang terkait dengan fraksi sabit atau umur hilal saat maghrib.
2.Kecerlangan langit latar depan yang dipengaruhi jarak dari matahari (efek
hamburan sekitar matahari) dan ketinggian dari horizon (efek cahaya senja –
twilight)
Kriteria yang diusulkan
€
Dua kriteria
berikut
digunakan
bersama-sama:
1. Jarak matahari –
bulan > 6,4o
2. Beda tinggi
bulan –
matahari > 4
derajat
€
€
30
Seandainya ada kesaksian rukyat yang meragukan, di
bawah kritria tersebut, maka kesaksian tersebut harus
ditolak.
Bila ada kesaksian rukyat yang meyakinkan (lebih dari
satu tempat dan tidak ada objek yang menggangu atau
ada rekaman citranya), maka kesaksian harus diterima
dan menjadi bahan untuk mengoreksi kriteria hisab
rukyat yang baru.
Bila tidak ada kesaksian rukyatul hilal karena
mendung, padahal bulan telah memenuhi kriteria,
maka data tersebut dapat dijadikan dasar pengambilan
keputusan, karena pada dasarnya kriteria hiasb rukyat
telah didasarkan pada data rukyat terdahulu.
Seminar Nasional Hilal 2009 Purnama: Parameter Baru Penentuan Awal Bulan Qamariyah
Agus Purwanto
Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam, Jurusan Fisika
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS Jl Arief Rahman Hakim Keputih Sukolilo Surabaya 60111
Email: [email protected]
Abstrak
Hisab telah diterima sebagai metoda penentuan awal bulan qamariyah. Masalahnya, di
kalangan penganut hisab terdapat perbedaan kriteria tinggi hilal yang ditetapkan sebagai batas masuk
tanggal atau bulan baru. Akibatnya, metoda hisab yang persis sama sekalipun masih tetap akan
memunculkan perbedaan awal bulan. Di dalam makalah ini, metoda alternatif waktu purnama diajukan
untuk mendamaikan perbedaan tersebut. Penampakan bulan bundar dan hampir bundar yang secara
umum dikenal sebagai purnama terjadi pada tanggal 13, 14, 15, 16 dan 17. Dari lima penampakan
bundar tiga di antaranya yaitu tanggal 13, 14 dan 15 oleh Rasul saw disebut sebagai ayyamu al-bidh,
hari-hari putih atau hari-hari terang benderang. Hari-hari putih dapat ditafsirkan sebagai hari yang
terang terus tanpa jeda gelap ketika siang berganti malam. Artinya, ketika matahari tenggelam di ufuk
barat bulan bundar sebundar matahari telah berada di atas ufuk timur. Pada tanggal 16 dan 17 bulan di
bawah ufuk ketika matahari tenggelam. Kriteria visibilitas yang memberi tanggal 15 dengan posisi bulan
di atas ufuk ketika maghrib adalah kriteria batasan tanggal satu yang seharusnya diterima.
Keywords : Hisab, Purnama dan Hari-hari putih
I. Pendahuluan
Bulan Ramadhan merupakan bulan suci umat Islam yang mempunyai banyak nilai keutamaan.
Pada bulan Ramadhan, umat Islam diwajibkan melakukan ibadah puasa selama satu bulan penuh.
Dengan ibadah puasa itu, keimanan dan ketaqwaan setiap muslim diuji. Jika berhasil maka seorang
muslim akan keluar dari bulan Ramadhan seperti halnya seorang bayi yang baru dilahirkan dari rahim
seorang ibu. Ia memasuki bulan Syawal dalam keadaan suci dari aneka noda dan dosa.
Pada tanggal 1 Syawal, seluruh umat Islam di seluruh dunia merayakan hari kemenangan dari
berbagai ujian dan godaan setan yang dialami selama satu bulan. Umat islam telah menjalani latihan
spiritual yang membawanya kepada kesucian hati dan kelapangan jiwa. Hasil lain dari kemenangannya
adalah dihapusnya seluruh dosa yang melekat pada dirinya. Dengan kesucian ini umat Islam kembali
membuka lembaran baru untuk melangkah pada hari-hari berikutnya. Hari tersebut benar-benar
merupakan hari kebahagiaan bagi setiap muslim yang telah berhasil menjalani berbagai ujian dan
cobaan serta latihan spiritual selama bulan Ramadhan.
Kenyataannya, meski semua sepakat bahwa bulan Ramadhan adalah bulan puasa bagi
seluruh umat Islam, dan tanggal 1 Syawal merupakan hari yang diharamkan berpuasa, namun umat
Islam masih berbeda pendapat dalam mengawali kedua bulan Ramadhan dan Syawal tersebut. Tidak
jarang dalam satu negara, satu kampung, bahkan satu keluarga memulai dan atau mengakhiri
Ramadhan di hari yang berbeda.
Perbedaan itu muncul sesungguhnya dari perbedaan para ulama dalam menggunakan sarana
untuk menentukan awal dari bulan Ramadhan dan Syawal. Sebagian ulama memilih rukyah, sebagian
lagi memilih hisab[1,2], dan ada pula yang menggabungkan antara rukyat dan hisab. Dalam rukyah
sendiri masih terbagi menjadi beberapa aliran, sebagaimana dalam hisab juga terdapat beberapa aliran.
Di dalam artikel ini penulis mengusulkan pendekatan baru dalam menentukan kriteria awal bulan
yakni melibatkan penampakan atau fase lain dari bulan yaitu purnama (fullmoon). Selama ini kita hanya
menggunakan nash hilal bagi penentuan awal bulan [3]. Tetapi ternyata Rasulullah SAW pernah
memberi kritreia definit bagi tiga tanggal di pertengahan bulan dan sayangnya hal ini tidak pernah
dijadikan dasar oleh para ulama dalam penetapan kriteria awal bulan. Kajian difokuskan pada
penyelesaian perbedaan awal bulan yang ditimbulkan oleh perbedaan kriteria awal bulan dalam hisab
yaitu kriteria imkanur rukyat dan wujudul hilal.
Artikel ini ditata dengan urutan sebagai berikut. Bagian II. membahas secara singkat
perkembangan aliran rukyat dan hisab. Bagian III menguraikan solusi alternatip purnama bagi
perbedaan yang timbul di kalangan pengikut aliran hisab dengan. Diskusi dan kesimpulan diberikan
pada Bagian IV.
31
Seminar Nasional Hilal 2009
II. Hilal atau Bulan Sabit Tipis
Sandaran utama dalam mengawali bulan Ramadhan adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari
‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْﻗ ُﺪرُوا َﻟ ُﻪ‬
َ ‫ﻏﻢﱠ‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﺗ َﺮ ْو ُﻩ َﻓِﺈ‬
َ ‫ﻄﺮُوا‬
ِ ‫ل َوﻟَﺎ ُﺗ ْﻔ‬
َ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﺗ َﺮوْا ا ْﻟ ِﻬﻠَﺎ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻟَﺎ َﺗﺼُﻮﻣُﻮا‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬
َ ‫ل َرﺳُﻮ‬
َ ‫َﻗَﺎ‬
Rasulullah saw. bersabda: "Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal, dan janganlah
kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal. Jika hilal tertutup awan, maka hitunglah bulan itu". (HR.
Bukhari) .
Hadits di atas dapat dipahami bahwa puasa dilarang sebelum hilal benar-benar dapat dilihat.
Dalam hadits di atas menggunakan huruf lâm al-nahiy yang berarti larangan. Sementara dalam kaidah
ushuliyyah dikatakan:
‫اﻟﻨﻬﻲ ﻳﻔﻴﺪ اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ إﻻ إذا ﺻﺮﻓﺘﻪ ﻗﺮﻳﻨﺔ‬
ِArtinya: Larangan menunjukkan makna haram, kecuali jika terdapat indikasi.
Imam al-Sindi memberikan catatan bahwa dengan hadits ini menerangkan haramnya puasa
sebelum melihat hilal dan tidak ada kewajiban puasa sebelum hadirnya hilal.
Nash dan pemahaman di atas melahirkan aliran rukyat dalam penentuan awal bulan Ramadhan
dan Syawal dan merupakan satu-satunya aliran sampai abad ketiga hijriyah. Selanjutnya, pemahaman
orang Islam terhadap astronomi mulai berkembang dan pemahaman ini diterapkan di dalam penentuan
awal bulan Ramadhan dan Syawal yang kemudian dikenal sebagai aliran hisab. Selain itu, di dalam
perjalanannya rukyat dipermasalahkan karena dua alasan. Pertama, banyak faktor yang harus dipenuhi
dalam rukyat seperti keadaan cuaca saat merukyat, posisi rukyat, keadaan fisik dan mental perukyat.
Sebagai misal, apakah perukyat menggunakan kacamata, jujur dan adil merupakan faktor yang
menentukan apakah kesaksian perukyat tersebut dapat diterima. Kedua, rukyat tidak dapat diandalkan
untuk membuat sistem waktu dalam hal ini sistem kalender qamariyah.
Ulama kontemporer Yusuf al-Qaradhawi setelah mempelajari dan menimbang nash-nash bagi
awal bulan serta keakurasian hisab dalam memprediksi posisi serta penampakan bulan berkesimpulan
bahwa hisab sebagai alternatif penentuan awal bulan tidak melanggar syar’i dan bahkan qath’i.[1,2].
Dalil untuk hisab adalah firman Allah:
‫ﺞ‬
‫ﺤﱢ‬
َ ‫س وَا ْﻟ‬
ِ ‫ﺖ ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬
ُ ‫ﻲ َﻣﻮَاﻗِﻴ‬
َ ‫ﻞ ِه‬
ْ ‫ﻦ اﻷ ِهﱠﻠ ِﺔ ُﻗ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻚ‬
َ ‫ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ‬
ْ ‫َﻳ‬
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah :"Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji". (QS. Al-Baqarah:189)
Ayat di atas menunjukkan bahwa perputaran bulan merupakan petunjuk bagi waktu ibadah haji dan
ibadah lainnya. Ayat lain yang dijadikan sandaran kalangan hisab adalah
‫ﻖ‬
‫ﺤﱢ‬
َ ‫ﻻ ﺑِﺎ ْﻟ‬
‫ﻚ ِإ ﱠ‬
َ ‫ﻖ اﻟﻠّ ُﻪ َذِﻟ‬
َ ‫ﺧَﻠ‬
َ ‫ب ﻣَﺎ‬
َ ‫ﺤﺴَﺎ‬
ِ ‫ﻦ وَا ْﻟ‬
َ ‫ﺴﻨِﻴ‬
‫ﻋ َﺪ َد اﻟ ﱢ‬
َ ‫ل ِﻟ َﺘ ْﻌَﻠﻤُﻮ ْا‬
َ ‫ﺿﻴَﺎء وَا ْﻟ َﻘ َﻤ َﺮ ﻧُﻮرًا َو َﻗ ﱠﺪ َر ُﻩ َﻣﻨَﺎ ِز‬
ِ ‫ﺲ‬
َ ‫ﺸ ْﻤ‬
‫ﻞ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺟ َﻌ‬
َ ‫ُه َﻮ اﱠﻟﺬِي‬
‫ن‬
َ ‫ت ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
ِ ‫ﻞ اﻵﻳَﺎ‬
ُ ‫ُﻳ َﻔﺼﱢ‬
Artinya: "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui ." (QS. (10) Yunûs: 5)
Ayat di atas menyatakan bahwa peredaran Matahari dan Bulan dapat dijadikan pedoman bagi umat
manusia untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Saat ini hisab diterima secara luas dan awal bulan Ramadhan dan Syawal dapat diketahui dan
diumumkan jauh sebelumnya sehingga masyarakat dapat menyusun kegiatan terkait juga jauh
sebelumnya. Meskipun demikian, sebagai hisab masih menyisakan masalah yang belum juga
terselesaikan. Masalah bukan disebabkan oleh banyaknya metoda atau sistem hisab [4] yang
dikembangkan oleh para ahli falak sehingga menimbulkan hasil yang juga berbeda.
Masalah tetap terjadi meski telah digunakan sistem hisab yang sama dan bahkan diakui paling
akurat sekalipun. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kesepakatan atas kriteria ketinggian hilal bagi
bulan baru. Sebagai contoh, ketinggian hilal pada akhir 29 Ramadhan 1428 yang bertepatan dengan
tanggal 11 Oktober 2007 untuk daerah Jawa dan sekitarnya adalah sekitar setengah derajat. Angka hilal
yang sama ini memberikan awal Syawal 1428 yang berbeda. Pengguna kriteria wujudul hilal beridhul fitri
hari Jumat 12 Oktober 2007 sedangkan pengguna kriteria imkanurrukyat 2 derajat mengawali Syawal
1428 pada hari Sabtu 13 Oktober 2007.
32
Seminar Nasional Hilal 2009 Berbagai upaya dilakukan untuk mempertemukan dua aliran hisab di atas, wujudul hilal dan
imkanur rukyat di antaranya dengan melakukan pengamatan hilal secara masif dan berkelanjutan. Dari
data yang terkumpul kemudian dicoba untuk ditetapkan visibilitas hilal. Di dalam artikel ini, sekali lagi
penulis mencoba menawarkan parameter baru yang juga berangkat dari nash dan pengamatan.
Parameter tersebut adalah bulan purnama.
III. Purnama
Di dalam penentuan awal bulan qamariyah khususnya Ramadhan dan Syawal bulan menjadi
obyek utama, tepatnya fase bulan. Di dalam astronomi, Bulan diketahui mempunyai delapan fase. Bulan
sabit hanya salah satu dari fase Bulan, fase lain yang akan kita diskusikan di dalam artikel ini adalah
fase purnama (full moon).
Di dalam al-Qur’an, bulan sabit (crescent) selain disebut dengan istilah ahillah (QS 2: 189) juga
disebut urjunu al-qadim (tandan tua; QS 36:39) [4]. Ahillah dan urjunu al-qadim berbeda posisi dan
waktu kemunculannya. Hilal (dengan bentuk jamaknya ahillah) menandai awal bulan dan muncul
setelah maghrib di ufuk barat. Sebaliknya, urjun al-qadim menandai akhir bulan dan muncul menjelang
subuh di langit timur. Pertemuan antara ahillah dan urjunu al-qadim adalah konjungsi atau ijtimak.
Secara teoritis, tanpa memperhitungkan faktor visibilitas hilal maka waktu hilal adalah sesaat
setelah konjungsi. Kriteria hilal seperti ini sebenarnya akan lebih memudahkan penetapan awal bulan.
Karena hari di dalam Islam dimulai ketika maghrib maka tinggal menambahkan batasan konjungsi
sebelum maghrib bagi awal bulan. Kriteria ini dikenal sebagai kriteria awal bulan yang disebut ijtimak
qablal ghurub.
Hisab yang mulai diterima luas adalah hisab dengan kriteria imkanur rukyat, yaitu kriteria hilal
yang masih mengadopsi batas minimum yang memungkinkan hilal dapat diamati. Kriteria ini merupakan
kriteria yang harus diterima oleh umat Islam setelah ditetapkan visibilitas hilal melalui pengamatan
panjang dan diperoleh data yang cukup banyak. Masalahnya, angka bagi imkanur rukyat secara global
ternyata tidak sama.
Di Indonesia sendiri, di dalam perjalanan menentukan kriteria visibilitas sempat terjadi lompatan
yang memunculkan kriteria wujudul hilal, imkanur rukyat dengan visibilitas nol. Artinya, hilal telah eksis
jika ketinggian telah positip meskipun mungkin tidak dapat dilihat. Akibatnya, perbedaan awal bulan
dapat terjadi dan diketahui jauh hari sebelumnya akibat adanya perbedaan di kalangan kelompok hisab
seperti telah dicontohkan di depan.
Kriteria wujudul hilal dan imkanur rukyat merupakan produk dari tafsir atau pemahaman atas
nash awal bulan. Karenanya dapat dan perlu diuji kebenarannya. Kajian lebih lanjut memperlihatkan
bahwa hilal bukan merupakan satu-satunya informasi tentang waktu dalam bulan. Masalahnya ternyata
tidak demikian. Karena subyek kajian adalah awal waktu bulan yang terkait dengan peribadatan maka
kajian harus mencakup dua hal, nash berupa al-Qur’an dan hadits-hadits nabi saw, dan fakta alam.
Fase lain Bulan yang disebut oleh al-Qur’an adalah purnama[5]
Artinya:”Dan demi bulan jik purnama” (QS al-Insyiqaq: 18)
Ayat di atas sangat pendek dan umum, tanpa rincian atau keterangan spesifik yang dapat menuntun kita untuk
mengaitkannya dengan penentuan waktu sebagaimana disinggung dalam ayat hilal. Meskipun demikian, satu
hal yang juga tidak dapat kita sangkal bahwa redaksional ayat tersebut adalah redaksional sumpah. Para
mufasirin sepakat bahwa ayat seperti ini mempunyai urgensi yang lebih.
Penjelasan tentang urgensi Bulan purnama dapat kita temukan di dalam beberapa hadits. Sebagai
contoh di dalam sunan Nasai hadits nomor 2379 [6]
‫ﺲ‬
َ ‫ﺧ ْﻤ‬
َ ‫ﺸ َﺮ َة َو‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﺸ َﺮ َة َوَأ ْر َﺑ َﻊ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ث‬
َ ‫ﺾ َﺛﻠَﺎ‬
َ ‫ﺸ ْﻬ ِﺮ َﺛﻠَﺎ َﺛ َﺔ َأﻳﱠﺎ ٍم ا ْﻟﺒِﻴ‬
‫ﻦ اﻟ ﱠ‬
ْ ‫ن َﻧﺼُﻮ َم ِﻣ‬
ْ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َأ‬
َ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ ‫َأ َﻣ َﺮﻧَﺎ َرﺳُﻮ ُل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬
‫ﺸ َﺮ َة‬
ْ ‫ﻋ‬
َ
Artinya:”Rasulullah saw telah memerintahkan kepada kami agar berpuasa tiga hari putih setiap bulan yaitu
pada tanggal 13, 14 dan 15”
Hadits ini dengan jelas menyebut tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan sebagai hari-hari putih (ayyamu
al-bidh) dan umat Islam dianjurkan berpuasa. Tanggal satu yang benar harus memberi tanggal 13, 14 dan 15
yang sesuai dengan kriteria yang disebut oleh hadits di depan. Hal yang menjadi masalah adalah pengertian
hari-hari putih itu sendiri.
Kita diskusikan kembali fase bulan yang disebut al-Qur’an yaitu bulan sabit ahillah dan urjunu
al-qadim. Pertemuan antara ahillah dan urjunu al-qadim adalah konjungsi atau ijtimak, dan di ujung lain dari
konjungsi adalah purnama. Secara teoritis, konjungsi merupakan keadaan ketika semua permukaan bulan
yang terkena sinar matahari membelakangi bumi. Sebaliknya, purnama adalah keadaan bulan ketika semua
bagian bulan yang terkena matahari menghadap bumi. Akibatnya, ketika purnama Bulan terlihat bundar
33
Seminar Nasional Hilal 2009
sebagaimana Matahari. Secara empirik, diameter Bulan ketika purnama hampir sama dengan diameter
Matahari yaitu setengah derajat. Karena seluruh bagian Bulan yang terkena sinar Matahari menghadap Bumi
maka permukaan Bumi terkait tampak terang benderang meskipun di malam hari. Bulan seolah-olah
menggantikan peran Matahari dalam menerangi Bumi.
Bila orang awam mengamati Bulan pada lima malam berturut-turut setiap bulan maka akan ada
penampakan ketika Bulan terlihat bundar dan hampir bundar. Kelima malam tersebut adalam malam 13, 14,
15, 16, dan 17. Pada tanggal-tanggal tersebut malam harinya cukup terang oleh sinar Bulan. Kenyataan ini
kita harapkan dapat menuntun kita untuk memahami arti hari-hari putih.
Pengamatan lebih seksama pada Bulan purnama akan memberikan hasil sebagai berikut. Pada saat
ghurub atau Matahari tenggelam di hari (masuk) ke-13 Bulan berada di atas ufuk langit timur seperti Gambar
1. Artinya, ketika Matahari yang menerangi Bumi tenggelam maka peran menerangi diganti oleh Bulan yang
bundar seperti Matahari. Bila merujuk keadaan ini maka hari-hari putih dapat dimaknai sebagai hari yang
terang terus tanpa jeda gelap dari waktu siang ke malam harinya. Karena Rasul saw menyebut tanggal 13, 14
dan 15 maka keadaan Bulan di atas ufuk timur juga harus berlaku untuk tanggal 14 dan 15.
bola langit
bulan:
13,14,15
ufuk barat
ufuk timur
b
matahari
:16,17
Gambar 1. Lima Maghrib
Hari ke 16 dan 17 tidak dikelompokkan sebagai hari-hari putih karena ketika maghrib Bulan berada di
bawah ufuk. Akibatnya ada selang waktu gelap antara siang yang terang dan malam yang juga terang.
Selang waktu gelap ini terjadi karena Matahari telah tenggelam sedangkan Bulan yang bundar belum muncul
menggantikan perannya.
Dengan demikian, tanggal 15 merupakan akhir dari posisi Bulan bundar di atas ufuk, sedangkan
tanggal 16 adalah hari pertama Bulan di bawah ufuk ketika maghrib. Tanggal satu yang salah akan
menghasilkan tanggal 15 dengan posisi Bulan di bawah ufuk atau Bulan di atas ufuk tetapi bukan yang
terakhir. Artinya, tanggal 15 yang salah akibat tanggal satu yang salah sebenarnya tanggal 16 atau 14.
bln
x
29
x-1
Bbaru
siang
hilal
٩
١٠
١١
١٢
١
٢
٣
٤
٥
٦
٧
٨
11/09
11/10
11/10
09/11
08/01
07/02
07/03
06/06
05/05
04/06
03/07
01/08
13/9
12/10
11/11
11/12
10/01
08/02
09/03
07/04
07/05
05/06
04/07
03/08
bu
0o29
٩
31/08
01/09
15
bu
2o34
0o14
bu
6o40
3o41
⎯
0o37
5o48
purnama
16
6o38′
12o26′
3o36′
−5o3′
−10o11′
−1o59′
−3o50′
7o39′
−0o52′
4o46′
10o49′
o
6 7′
−6o25′
−1o20′
−10o36′
−18o16′
12o52′
1o8′
−11o52′
−13o3′
−6o33′
−11o14′
−6o12′
−0o21′
−5o15′
Tabel 1. Data Hilal Ramadhan (1428-1429)
Pengamatan telah kami lakukan di pantai timur Surabaya, pantai Kenjeran sejak Ramadhan 1428 sampai
dengan Ramadhan 1429 untuk menguji data awal kami seperti Tabel 1. Tujuan awal pengamatan adalah
menetapkan tanggal 1 Syawal 1428 mana yang benar, 12 atau 13 Oktober. Namun pengamatan kemudian
kami lakukan selama satu tahun dengan data seperti Tabel 1. Data ini diperoleh dari perhitungan awal bulan
sistem ephemeris dari WINHISAB 2001 dengan posisi lokasi pengamatan (112° 45' BT, 7° 15' LS) dan
ketinggian 7 meter. Tidak setiap pengamatan dapat kami lakukan dengan baik karena mendung atau hujan.
Kolom kiri pertama Tabel 1 menyatakan bulan yaitu sejak bulan Ramadhan 1428 sampai dengan
Ramadhan 1429. kolom kedua adalah tanggal 29 Sya’ban 1428 sampai dengan 29 Sya’ban 1429. Kolom
34
Seminar Nasional Hilal 2009 ketiga merupakan awal bulan baru dengan kriteria wujudul hilal, dari kolom pertama, yang diawali di pagi
harinya dengan ketinggian hilal diberikan pada kolom empat. Kolom kelima dan keenam merupakan
ketinggian bulan di ufuk timur pada tanggal 15 dan 16.
IV. Diskusi dan Kesimpulan
Pengamatan kami, hanya bulan Syawal 1428 yang kami rekam dengan videocamera, dan hasilnya
mendukung awal bulan Syawal 12 Oktober. Pengamatan memperlihatkan bahwa tanggal 25 Oktober maghrib
Bulan telah di atas ufuk sedangkan pada 26 Oktober maghrib bulan di bawah ufuk. Ini berarti, 1 Syawal
bersesuaian dengan kriteria wujudul hilal bukan imkanur rukyat.
Meskipun demikian ada beberapa masalah yang dapat dicatat dan perlu didiskusikan lebih lanjut
ketika hipotesis tanggal 15 ditandai oleh keberadaan Bulan di atas ufuk untuk terakhir kalinya sedangkan
tanggal 16 adalah hari pertama Bulan di bawah ufuk.
Pertama, ada kasus beberapa tanggal 15 dengan posisi bulan di bawah ufuk yang secara teoritis
mestinya menyatakan tanggal 16. Tetapi ketika keadaan ini terjadi seperti Dzulhijjah 1428 dan Muharram 1429
tidak mengalami perbedaan di awal bulannya antara kriteria imkanur rukyat dan wujudul hilal. Awal Muharram
1429 tidak berbeda dan diperoleh dari istikmal Dzulhijjah 1428 menjadi 30 hari karena pada tanggal 29
Dzulhijjah telah ijtimak berdekatan dengan saat maghrib. Kedua, kasus yang tanggal 16 bulan di atas ufuk
seperti Ramadhan 1429 tetapi sekali lagi tanggal 1 Ramadhan 1429 tidak berbeda antara imkanur rukyat dan
wujudul hilal.
Hasil pengamatan purnama Syawal 1428 membenarkan kriteria wujudul hilal.bukan imkanur rukyat
Pada tangga 15 beberapa bulan yang Bulan di bawah ufuk timur (ketinggian negatip) menyangkal kriteria
wujudul hilal maupun imkanur rukyat. Masalah ini bisa diatasi jika awal bulan pada beberapa bulan tersebut
tidak terjadi akibat istikmal. Jika awal Muharram 1429 terjadi pada 9 Januari bukan 10 Januari maka 23
Januari bukan 15 Muharram melainkan 16 Muharram. Tetapi 9 Januari merupakan tanggal 1 Muharam jika
kriteria wal bulan bukan wujudul hilal apalagi imkanur rukyat, melainkan ijtimak qablal ghurub.
Dari analisis dan kesimpulan di atas, muncul dugaan baru yang perlu diuji apakah benar kriteria awal
bulan adalah ijtimak qablal ghurub. Bila ini yang benar maka hilal di sini berarti hilal astronomis yang terjadi
sesaat setelah ijtimak, asal ijtimak terjadi sebelum maghrib. Hilal itu terlihat, karena keterlihatan hilal
merupakan keniscayaan ketika rukyat merupakan satu-satunya cara menentukan hilal seperti halnya pada
jaman nabi saw. Pada kasus Syawal 1428 wujudul hilal benar bukan imkanur rukyat karena ijtimak qablal
ghurub lebih dekat dengan wujudul hilal daripada dengan imkanur rukyat.
V. Pustaka
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
Y. Qaradhawi, (1993), Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, terjemah. Karisma, Bandung.
Y. Qaradhawi, (2007), Pengantar Studi Hadis, Pustaka Setia, Bandung.
M. Ilyas (2000), The Quest for a Unified Islamic Calendar, USM, Penang, Malaysia.
S. Azhari, (2008), Ensiklopedi Hisab Rukyat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
A. Purwanto, (2008), Ayat-Ayat Semesta: Sisi-sisi al-Qur’an yang terlupakan, Mizan, Bandung,
Sunan Nasai di dalam Maktubatusy Syamilah.
35
Seminar Nasional Hilal 2009 TANYA-JAWAB & DISKUSI 1
Pemateri Sesi 1:
1. Bapak Suwandojo Siddiq
2. Bapak Thomas Djamaluddin
3. Bapak Agus Purwanto
Pertanyaan :
- (Albi, IF-ITB) :
1. Haruskah kita mengkonversikan tanggal Syamsiah ke Qomariah?
2. Haruskah konsisten dalam penanggalan tersebut?
3. Apakah fase bulan bersifat global? Jika global bagaimana konsepnya?
-
(Misbhahussurur, IAIN Semarang).
1. Setiap pembicara mempunyai kriteria yang berbeda dalam visibilitas, maka Hilal
yang bagaimana yang cocok dengan visibilitas? (dijawab oleh Bpk. Suwandoyo
dan Bpk. Agus)
Jawaban dari Bapak Suwandojo Siddiq
Ibadah harian itu diatur dari peredaran Matahari sedang Ibadah tahunan seperti Ibadah
haji, Ramadhan, dll diatur oleh peredaran Bulan. Ikhtilaful Matali’ (hilal yang dilihat di satu
tempat maka dapat berlaku secara global) ini berlaku sesuai dengan dalil hadist.
Tampakan hilal dengan mata, telekop atau apa? Ya pastinya dengan mata, mata telanjang
dapat dilihat dari muka Bumi seperti zaman Rasullulah (itiba’ Rasul).
Jawaban dari Bapak Thomas Djamaluddin
Penentuan waktu Ibadah bisa diatur dalam garis tangga Qomariah. Jika kita sepakat
secara global maka kita dapat membuat garis tanggal tersebut dan kita akan buat web
date qomariah line. Tapi kita harus sadari bahwa ibadah itu bersifat lokal sesuai posisi
geografis daerah tertentu maka jika kita buat globalisasi akan menyusahkan umat. Terkait
dengan definisi Hilal (apa harus dilihat dengan mata telanjang atau teleskop???)
Kesaksian kemarin dari masjid agung Semarang menjadi pembelajaran bahwa
pengamatan rukyat Hilal dengan menggunakan teleskop pun dapat diterima. Jadi tidak
apa-apa karena untuk pengamatan hilal itu dipengaruhi banyak hal yang tidak bisa kita
atur maka tampakan hilal atau pengamatan hilal dengan teleskop tidak menjadi masalah.
Jawaban dari Bapak Agus Purwanto
Dalil hilal ternyata bukan dalil satu-satunya yang terdapat dalam Al-Quran, tapi dijadikan
acuan sebagai satu-satunya ayat untuk penanggalan hijriah. Allah telah mendefinisikan
ayat yang lain yaitu ayat yang menyuruh berpuasa Ayyamul Bidh (hari-hari putih). Dalam
hal ini yang diterima adalah wujudul hilal bukan imkanur rukyat. Karena keterbatasan
situasi pada zaman Rasulullah caranya adalah melihat (imkanurrukyat) tapi itu bukanlah
harga mati. Ayat tentang Ayyamul Bidh yaitu pada saat bulan purnama yang seharusnya
ditinjau jauh. Jangan sampai ayat ini menjadi ayat yang mubazir. Seharusnya ayat ini juga
dapat menjadi acuan.
36 Seminar Nasional Hilal 2009 PRESENTASI & DISKUSI I SESI 2 4. Jayusman 5. Moedji Raharto 6. Nur Aris Tanya‐Jawab & Diskusi 2 37
Seminar Nasional Hilal 2009 38 Seminar Nasional Hilal 2009 Takwim Hijriah Menurut Kitab Nur al-Anwar:
Sistem Penanggalan Islam Berdasarkan Hisab Hakiki bi at-Tahqiqi
Jayusman
Lektor Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
Abstrak
Konsep kitab Nur al-Anwar tentang penanggalan Islam, dapat kita telusuri melalui rumusannya tentang
penentuan permulaan hari, umur bulan Kamariah setiap bulannya, hilal, serta penetapan awal bulan.
Permulaan hari di mulai dari terbenamnya Matahari. Sebagai kitab yang berdasarkan perhitungan Hakiki
bi at-Tahqiqi; jumlah hari setiap bulannya tidak bersifat tetap atau konstan tetapi tergantung posisi hilal
yang sebenarnya pada akhir suatu bulan itu. Dalam penentuan awal bulan, kitab Nur al-Anwar hanya
sebagai alat atau metode perhitungan. Ia tidak menetapkan telah masuk atau belumnya new month.
Setelah dilakukan perhitungan oleh hasib, selanjutnya hasiblah yang menentukan tentu saja
berdasarkan kriteria yang diyakininya.
Key word: Takwim, Penanggalan Islam, KH Noor Ahmad SS, Nur al-Anwar
1. Pendahuluan
Selama ini sering mengemuka permasalahan seputar penetapan awal dan akhir Ramadan dan
awal Zulhijah. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan yang terkait dengan penetapan bulan-bulan
itu saja yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Tapi juga misalnya perhitungan haul yang terkait
dengan kewajiban berzakat bagi mereka yang berada serta ibadah puasa-puasa sunnah yang
dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu. “Kejelasan” tentang penentuan waktu-waktu tersebut sangat
penting artinya dalam kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal
pelaksanaan ibadah mahdhah.
Makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang penetapan kalender Islam atau Hijriah menurut
kitab Nur al-Anwar1. Sebagai magnum opusnya KH Noor Ahmad SS, kitab Nur al-Anwar tidak membahas
secara mendetail dan sistematis persoalan kalender Islam ini.
Selain menelaah kitab Nur al-Anwar, penulis mencoba menelusuri pemikiran KH Noor Ahmad SS
tentang kalender Islam lebih lanjut pada lembaran kertas kerja perhitungan awal bulan yang
dilakukannya dan juga dari makalah-makalah yang ditulisnya. Dalam penelusuran ini akan dilihat lebih
lanjut tentang rumusannya tentang penentuan permulaan hari, umur bulan Kamariah setiap bulannya,
hilal ,serta penetapan awal bulan.
2. Penanggalan Hijriah
Sistem penanggalan dan ukuran waktu dibutuhkan dalam kehidupan kita untuk mendata,
mencatat; proses dokumentasi dan merencanakan peristiwa dan kegiatan penting dalam kehidupan
secara pribadi maupun sosial dalam arti yang lebih luas. Dalam pengertian yang praktis dan sederhana
kita membutuhkan kalender untuk penentuan hari dan tanggal.2 Adapun pada awalnya kalender
merupakan sebuah tabel astronomi yang menggambarkan pergerakan matahari dan bulan untuk
kepentingan ibadah dan bercocok tanam saja. Sehingga satuan tahun bukanlah hal yang penting. Tahun
seringkali/diawali dengan peristiwa bersejarah ataupun pergantian kekuasaan.3
Sistem kalender Islam; kalender hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah
kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab hakiki. Hisab hakiki adalah sistem hisab yang
didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah
konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi
umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan
itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada
peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut. 4
Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena
didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan kalender masehi
yang hanya didasarkan pada aturan numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga
disebut juga dengan aritmathical calendar. 5
Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya.
Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah
terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah:
39
Seminar Nasional Hilal 2009 “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS 2. Al-Baqarah: 189)
Penanggalan hijriah yang berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat.
Inilah penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan/ hisab hakiki, yang dapat
dijadikan panduan dalam menjalankan ibadah dalam Islam. Dan ini dibedakan dengan kalender yang
didasarkan pada perhitungan/ hisab urfi.
Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender
Kamariah secara urfi (bukan secara hakiki) yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi
dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Kalender ini terdiri
12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21
jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tahunnya. Masa satu tahun sama
dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu
tahun itu sama dengan 354 11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang
berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya
berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basithah yang berumur 354 hari.
Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang
diistilahkan dengan satu daur. 6
Di masa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal dan dapati pada
masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti tahun Fil/Gajah
(tahun lahirnya nabi Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan
bergajah yang dipimpin raja Abrahah yang berasal dari Yaman Selatan, sebagaimana diabadikan dalam
QS. al-Fil/105. Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman nabi;
Abu Thalib dengan tahun Huzn (tahun penuh duka cita), tahun pertama hijrahnya Nabi sebagai tahun
Idzn/Izin yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun Amr/perintah yaitu tahun
diperintahkannya untuk berperang, tahun kesepuluh disebut tahun Wada' (haji Wada'/Perpisahan).
Penamaan suatu tahun itu terkait dengan peristiwa monumental yang terjadi pada tahun tersebut
sehingga melalui peristiwa penting itu namanya diabadikan.7
Terhadap penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan nama-nama bulan
seperti yang kita dapati hingga saat ini yang juga selalu dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu:
Muharam, Safar, Rabiul awal, Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan,
Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. 8
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam terbentuk dengan
nama kalender hijriah. Dengan berbagai usulan dan pendapat akhirnya rapat memutuskan dan memilih
awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang
merupakan usulan dari Ali ra. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah nabi sebagai tahun satu, 1 Muharram
1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu langsung ditetapkan
sebagai tahun 17 H. 9 Dengan demikian maka perhitungan tahun Hijriah itu diberlakukan mundur
sebanyak tujuh belas tahun.
Karakteristik Kalender Hijriah adalah kalender berdasarkan peredaran bulan (qamar) atau
disebut juga dengan Lunar calendar yang terdiri 12 bulan. Bulan yang pertama adalah Muharam dan
bulan terakhir adalah Zulhijah. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu
Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram” (QS 9. At-Taubah: 36)
Selain untuk keperluan ibadah, fungsi lain dari kalender adalah merekonstruksi peristiwa atau
sejarah di masa lampau. Banyak peristiwa yang terjadi sebelum dimulainya penanggalan Islam pada
masa kekhalifahan Umar ibn Khattab yang dapat dihitung ulang, seperti tentang kelahiran nabi
Muhammad saw. Alat uji atau mengecek ulang kebenaran perhitungan penanggalan tersebut adalah
riwayat yang menggambarkan peristiwa tersebut. Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah menyatakan
tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya.
40
Seminar Nasional Hilal 2009 Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan
melakukan konversi sistem kalender hijriah ke sistem kalender masehi. Program komputer sederhana
konversi kalender hijriah-masehi dapat digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam
merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah.11
Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan
tentang kelahiran Nabi Muhammad saw saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir
pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rajab, atau
Ramadan tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau bahkan 70
tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah saw dilahirkan pada
hari Senin 12 Rabiul awal tahun Gajah. Peristiwa itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara
matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran nabi tersebut
bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M.12
3. Sekilas tentang Kitab Nur al-Anwar
1. Biografi Intelektual KH Noor Ahmad SS
KH Noor Ahmad SS lahir di Jepara pada hari kamis Kliwon 14 Desember 1932 M/ 19 Rajab 1351
H. Ia adalah satu di antara ulama ahli ilmu Falak yang disegani di Indonesia yang masih hidup hingga
saat ini. Pendidikan pesantren yang pernah ditempuh antara lain di Tebu Ireng Jombang, Langitan Babat
Lamongan, dan Lasem. 13
Guru-gurunya adalah KH Rif’an Kudus, KH Turaichan Adjhuri (Menara Kudus), KH Abdul Jalil
(guru dari KH Turaikhan Adjhuri), KH Zubaer Umar al-Jailani (pengarang kitab al-Khulashah al-Wafiyah),
H. Abdur Rachim (Murid Sa’adoeddin Djambek), dan KH Misbahul Munir Magelang.14
Menurut penulis pengertian guru di sini adalah tidak semata-mata guru dengan pengertian
belajar secara langsung atau formal kepada yang bersangkutan. Namun dapat juga berarti berguru
secara “tidak langsung”, sebagai teman berdiskusi dalam masalah ilmu Falak atau bahkan sebagai suatu
penghormatan kepada seseorang yang diakui ketinggian dan kedalaman ilmunya dengan
menganggapnya sebagai guru. Misalnya ada pendapat yang menyatakan KH Noor Ahmad SS berguru
kepada H. Abdur Rachim, pada hal menurut penuturannya, ia pernah bertemu dengan H. Abdur Rachim
dan sempat berbincang-bincang dengannya.15 Namun tidak ada pernyataan pernah berguru kepadanya.
Sebagai seorang ahli ilmu Falak yang mumpuni, ia mentransfer ilmunya melalui pelajaran
tentang ilmu Falak di pondok pesantren Setinggil, Jepara. Di samping itu, di usianya yang sudah senja, ia
masih tetap aktif dalam seminar dan lokakarya ilmu Falak baik pada tingkat lokal dan nasional. Ia adalah
“contoh hidup” sebagai seorang yang mendarmabaktikan sepanjang hidupnya untuk pengembangan
ilmu Falak.
Di antara bentuk pengakuan atas ketinggian ilmunya di bidang ilmu Falak, ia tercatat sebagai
anggota Badan Hisab Rukyah (BHR) Departemen Agama RI dan Penasehat Lajnah Falakiyah PBNU. 16
2. Karya-Karyanya
Kitab-kitab ilmu Falak yang pernah ditulis adalah: Taufiq ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, Syams
al-Hilal, dan Nur al-Anwar. Kitab yang terakhir inilah yang merupakan masterpiece pemikiran ilmu
Falaknya. Kitab ini banyak digunakan oleh kalangan pesantren di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dan merupakan salah satu sistem perhitungan ilmu Falak yang dijadikan rujukan Depag RI dalam sidang
Muker BHR dan penetapan; itsbat awal dan akhir Ramadan dan awal bulan Zulhijah. Dalam kitab-kitab
yang dikarangnya, ia menggunakan nama Abu Sayf al-Mujab Noor Ahmad ibn Shiddiq ibn Saryani. 17
Selain itu ia juga menulis artikel atau tulisan yang dipresentasikan pada seminar atau pertemuan yang
pernah diikutinya seperti: Cara Rukyat yang Akurat, Efektifitas Rukyatul Hilal dengan Hisab Hakiki Taqribi,
Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqqat,
dan Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar.
Ia merupakan ahli ilmu Falak yang mempelopori perubahan sistem buruj sebagai basis
perhitungan Falak para ulama tradisional Indonesia kepada sistem derajat.18 Perubahan kecil ini
membuat suatu loncatan besar dalam pembelajaran ilmu Falak yang berbasis kitab-kitab ilmu Falak
karangan para ulama tradisional sehingga menjadi lebih mudah dalam proses perhitungannya dan lebih
sesuai dengan model perhitungan ilmu Falak yang berbasis ilmu Astronomi modern.
3. Kitab Nur al-Anwar
Kitab Nur al-Anwar selesai disusun pada tanggal 10 Rabiul akhir 1407 H bertepatan dengan 12
Desember 1986 dan diterbitkan oleh penerbit Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah (TBS), Kudus. Ia
merupakan hasil pengembaraan intelektual KH Noor Ahmad SS. Karya-karya sebelumnya (Taufiq
ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, dan Syams al-Hilal) berbasiskan perhitungan atau hisab Hakiki
Taqribi. 19 Sesuai dengan perkembangan pengetahuan dalam ilmu Falak akibat persentuhannya dengan
41
Seminar Nasional Hilal 2009 ilmu pengetahuan modern, maka ilmu Falakpun menapaki perhitungan atau hisab berbasiskan hakiki bi
at-tahqiqi. Ia pun kemudian mereformulasi ulang pemikirannya dalam ilmu Falak sehingga melahirkan
kitab Nur al-Anwar.
Menurut M. Taufik bahwa Falak yang ditulis oleh ulama Falak nusantara yang berbasiskan
hisab hakiki bi at-tahqiq ini diduga merupakan cangkokan dari kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah
al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid yang merupakan karya ulama Mesir, Zaid Nafi’. Seperti kitab al-Khulashah
al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, Badi’ah al-Mitsal
karya Ma’shum Jombang, dan Almanak Menara Kudus karya Turaican Adjhuri.20
Kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia pada priode selanjutnya, selain menjadikan
al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya
ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi
Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid)--yang merupakan guru mereka sendiri di antaranya adalah kitab
Nur al-Anwar.
Kitab ini terdiri dari dua jilid; Risalah al-Falak Nur al-Anwar dan Jadwal al-Falak Nur al-Anwar.
Adapun judul lengkapnya adalah Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab
as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid
dan Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa
al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid. Dari judul kedua jilid
kitab tersebut diketahui bahwasanya kitab Nur al-Anwar dapat digunakan untuk perhitungan awal bulan,
gerhana Bulan dan gerhana Matahari.
Kitab Jadwal al-Falak Nur al-Anwar berisikan:
1. Data tahun hijriah 149 tahun sebelum hijriah s/d 3000 H
2. Data tahun Majmu’ah (pertiga puluh tahuan), yakni 1320 H- 1710 H.
3. Data tahun Mabsuthah atau pertahun (1 s/d 30 tahun)
4. Data astronomis Setiap hari (1 s/d 30 hari)
5. Data astronomis Setiap jam (1 s/d 24 jam)
6. Data astronomis Setiap menit (1 s/d 60 menit)
7. Data koreksian-koreksian (penta’dilan) seputar Matahari dan Bulan
8. Data tentang kemungkinan terjadinya gerhana Matahari dan Bulan
9. Data hisab urfi tentang perhitungan hari dan pasaran
10. Data waktu salat
11. Data bujur dan lintang tempat dan panduan tentang arah kiblatnya
Adapun Kitab Risalah al-Falak Nur al-Anwar berisikan contoh-contoh beserta langkah-langkah
perhitungannya tentang hisab awal bulan Kamariah, gerhana Bulan, gerhana Matahari, perhitungan
waktu salat lima waktu dan arah kiblat. Dalam kitab ini dicontohkan perhitungan hari-hari penting dalam
catatan sejarah umat Islam seperti kelahiran nabi Muhammad, hijrah, haji Wada’, dan wafatnya.
KH Noor Ahmad SS menyebutkan bahwa hisab Nur al-Anwar adalah hisab Qath’i yang disebut
juga Hisab hakiki bi at-tahqiq. Sistem perhitungannya dapat dibantu dengan perangkat pendukung
modern sesuai dengan kemajuan IPTEK. Hasilnya akurat sesuai dengan perhitungan nautika. Dalam
proses perhitungannya didukung oleh data tahun, bulan hari, jam, menit, detik, garis lintang, garis bujur
dan lain-lainnya sehingga hasil hisab ini dapat dibuat grafik posisi Matahari dan Bulan secara tepat kapan
saja dan di mana saja. Hisab ini praktis digunakan dalam kegiatan rukyatul hilal.21
Bahkan sekarang telah dibuat oleh salah seorang anak dari KH Noor Ahmad SS software Nur
al-Anwar. Dengan demikian proses perhitungan dengan software ini akan semakin mudah karena
usernya hanya tinggal memasukkan data-data yang diminta, maka hasil perhitungannya dengan segera
dapat diperoleh.
Keterangan KH Noor Ahmad SS (2000: 3) tentang kitab Nur al-Anwar:
1. Data perhitungan dalam kitab Nur al-Anwar menggunakan data hisab Kamariah. Hasil
perhitungannya digunakan sebagai dasar pelaksanaan ibadah.
2. Tabel yang digunakan diambil dari kitab Badi’ah al-Mitsal, Khulashah al-Wafiyah, Hisab Haqiqi,
Mathla’ as-Sa’id, dan Bulugh al-Wathar.
3. Hasil perhitungan awal bulan merupakan “jalan tengah” dari kitab Badi’ah al-Mitsal dan
Khulashah al-Wafiyah.
4. Perhitungan Gerhana Bulan hasilnya sangat mendekati kitab Mathla’ as-Sa’id.
5. Perhitungan Gerhana Matahari hampir mendekati dengan kenyataan.22
Kitab Nur al-Anwar menggunakan markaz Jepara 6° 36´ LS (‘urdh al-balad) dan 110° 40´ BT (thul
al-balad). Apabila ingin melakukan perhitungan untuk kota-kota lainnya selain Jepara maka harus
dilakukan koreksi data terlebih dahulu senilai selisih waktu antara Jepara dengan kota yang akan
dilakukan perhitungannya tersebut. Koreksian untuk daerah di sebelah Barat Jepara ditambahkan
42
Seminar Nasional Hilal 2009 sedang untuk daerah di sebelah Timurnya dikurangkan.23
Dalam penetapan waktu yang digunakan, kitab Nur al-Anwar menggunakan perhitungan jam
Zawaliyah (perhitungan waktunya dimulai semenjak zawal; tergelincirnya matahari, jam 00.00 dihitung
dari jam 12.00 siang). Maka permulaan hari, yang dihitung saat terbenamnya Matahari adalah pukul
06.00 atau pukul 18.00 WIB.
4. Takwim; Penanggalan Menurut Kitab Nur al-Anwar
Untuk mengetahui takwim, penanggalan hijriah menurut kitab Nur al-Anwar, maka kita akan
menelusurinya melalui beberapa konsep berikut ini:
1. Umur Bulan Kamariah
Sistem hisab kitab Nur al-Anwar adalah hisab Qath’i yang disebut juga Hisab hakiki bi at-tahqiq.
Sebagai Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang
sebenarnya. Umur bulan Kamariah tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi
bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh
sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau
berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya;
posisi hilal pada awal bulan tersebut.24 Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara
urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran
Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya.
Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh
sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan
berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu. Sehingga perhitungan
secara urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan
ibadah .25
2. Permulaan Hari
Kitab Nur al-Anwar dalam masalah penentuan permulaan hari yang baru dimulai dari waktu
Magrib, saat terbenamnya Matahari. Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang
baru; terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.
Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari
berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam
kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau
permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat
terbenamnya Matahari. 26 Mengenai penentuan permulaan hari yang baru ini, kitab Nur al-Anwar pada
prinsipnya mengikuti atau sama dengan permulaan hari dalam kalender Islam.
3. Hilal
Definisi hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling
melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan
sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal
adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak
sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa
tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data
rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat
bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta
fraksi iluminasi sekian prosen27. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi
hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new moon). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria
sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu
rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.
4. New Month (Bulan Baru)
Kitab Nur al-Anwar hanya digunakan untuk melakukan perhitungan awal bulan Kamariah. Dalam
kitab Nur al-Anwar tidak dijelaskan atau ditentukan standar penetapan yang dijadikan patokan telah
masuk atau belumnya awal bulan baru. Semua itu tergantung hasib (orang yang melakukan perhitungan).
Standar atau patokan yang digunakan untuk menentukan telah masuknya bulan baru atau pergantian
bulan bergantung pada pilihan yang diambil hasib. Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau
awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan
baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya atau posisi hilal.
KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman yaitu apabila Matahari
dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah
konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal
juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain. 28
43
Seminar Nasional Hilal 2009 Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari
terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari
terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi
sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
2. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah
3. Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah. 29
Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari
terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama
sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari
terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan
baru dimulai. 30
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari
terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak
qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk
pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan
apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud
berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. 31
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok
yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di
sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan
awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi.
Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang
berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari
mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal
bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di
atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan
masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu
hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal
berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas
ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkan ar-rukyah
menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini
pun dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan
untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung
seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap Matahari,
jangka waktu antara
ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya. 32
KH Noor Ahmad SS sendiri dalam hasil perhitungannya terkadang menggunakan pedoman
wujudul hilal dalam perhitungan awal bulan Kamariahnya. Ini pernah dipraktikkan ketika ia melakukan
perhitungan awal dan akhir bulan Ramadan di masa Rasulullah. Selanjutnya perhatikan tabel berikut.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tahun
Tinggi Hilal Awal
Ramadan
Tinggi Hilal Akhir
Ramadan
Lama
Ramadan
2H
3H
4H
5H
6H
7H
8H
9H
10 H
3
9,4
14,2
4,7
11,8
9,9
9,8
7,7
1,7
9
3,9
9,1
13,4
5,7
2,7
2,7
1,8
10,3
30
29
29
29
30
29
29
29
30
Keterangan:
Sebagai perbandingan disajikan juga data Ramadan di zaman Rasulullah, dihisab menggunakan
program Accurate Times dari Muhammad Odeh.34
44
Seminar Nasional Hilal 2009 Sehingga dari kedua data di atas yang sama-sama berpedoman pada wujud al-hilal menghasilkan data
ketinggian hilal yang berbeda. Ini dimungkinkan karena menggunakan data yang mungkin berbeda,
rumus-rumus perhitungan yang berbeda pula ataupun perbedaan lainnya.
Dari penelusuran penulis, pada perhitungan bulan Kamariah seperti awal dan akhir Ramadan
serta awal Zulhijah, KH Noor Ahmad SS menggunakan pedoman imkanu rukyah karena menyatakan
bahwa ketinggian hilal kurang 2° dan ijtimak terjadi sesudah zawal maka hari diundur satu hari. Hal ini
karena menurut Nur al-Anwar ketinggian minimal hilal untuk dapat dirukyat adalah 2°. Dan ijtimak yang
terjadi setelah zawal; dengan pengertian umur hilal kurang dari enam jam sehingga kemungkinan hilal
masih di bawah ufuk dan tidak mungkin untuk dirukyah35.
5. Catatan Akhir
Ada beberapa catatan yang dialamatkan untuk kitab Nur al-Anwar yang perlu kiranya dicermati:
1. Kitab Nur al-Anwar menggunakan markaz Jepara 6° 36´ LS (‘urdh al-balad) dan 110° 40´
BT (thul al-balad). Data bujur yang digunakan 110° 40´ BT yang digunakan oleh kitab Nur
al-Anwar mungkin perlu dilakukan pengamatan dan penelitian secara lebih komprehensif.
Karena menurut almanak Hisab Rukyat Depag RI yang datanya diambil dari Atlas Der
Gehele Aarde oleh PR Bos Jf Niermeyer, JB Wolter-Groningen, Jakarta, 1951 data bujur
Jepara adalah 110° 39´ BT. Di mana terdapat perbedaan sebesar 1´ dengan data yang
terdapat dalam kitab Nur al-Anwar. Hal ini sangat erat dengan epoch yang digunakan. 36
2. Penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah harus menunggu penetapan
Pemerintah RI. Dengan pemikiran wewenang untuk mengumumkan penetapan itu
adalah di tangan Pemerintah. Ini sejalan dengan pemikiran gurunya Turaichan Adjhuri
yang menyatakan selaku orang awam sebaiknya mengikuti penentuan (itsbat) tanggal
yang dilakukan Pemerintah. Dan disesalkan sikap sebagian ahli Falak yang mendahului
Pemerintah dalam menentukan tanggal 1 Syawal dengan mengumumkan dan
memerintahkan sebagian umat Islam untuk merayakan Idul Fitri berbeda dengan
Pemerintah. Padahal yang berhak mengumumkan dan memerintahkan adalah
Pemerintah.37
3. Dalam perhitungan awal bulan Kamariah, kitab Nur al-Anwar hanya sebagai sebuah
metode perhitungan. Ia tidak terkait dengan kriteria tertentu dalam penentuan awal bulan.
Setelah menghitung tentang perhitungan awal bulan tertentu, maka yang menentukan
awal bulan telah masuk atau belumnya bulan baru tersebut adalah hasib (orang yang
melakukan perhitungan). Dari hasil perhitungan yang dilakukan boleh jadi menurut
pedoman wujudul hilal telah masih bulan baru tapi mungkin saja menurut pedoman
imkanu rukyah visibilitas hilal belum memungkinkan untuk dirukyat sehingga besok masih
merupakan hari terakhir dari bulan berjalan.
4. Dalam pembuatan kalender hijriah yang berlandaskan metode perhitungan/hisab kitab
Nur al-Anwar juga tentu saja bergantung pada kriteria yang digunakan oleh hasib atau
pembuat kalender tersebut. Karena kalender merupakan sebuah konsekuensi dari
kriteria yang dijadikan acuan. Dengan demikian penentuan masuknya awal bulan tertentu
termasuk awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah merupakan konsekuensi kriteria
penanggalan yang digunakan. 38
6. Penutup
Sistem penanggalan Islam yang diramu dari kitab Nur al-Anwar karangan KH Noor Ahmad SS
tergolong hisab hakiki bi at-tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang. Kalender yang dihasilkannya dapat
dijadikan acuan dalam penetapan masalah ibadah. Sebagai sebuah sistem perhitungan kitab Nur
al-Anwar dapat digunakan oleh semua pihak karena ia tidak menetapkan kriteria tertentu. Dalam
penggunaannya untuk pembuatan kalender hasiblah yang menentukan kriterianya. Wa Allah a’lamu bi
ash-shawab.
45
Seminar Nasional Hilal 2009 Daftar Pustaka
Ahmad SS, Noor, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret
1998.
____________, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan
1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000.
____________, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa
Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000.
____________, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan
1422H/2001M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2001.
____________, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada
Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang:
PPM IAIN Wali Songo, 2003.
____________, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa
Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2006.
____________, Risalah Syam al-Hilal al-Juz al-Awal fi Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ,
Kudus: madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1995.
____________, Risalah Syam al-Hilal al-Juz ats-Tsani fi Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ,
Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1995.
____________, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa
al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab
Salafiyah, 1986.
____________, Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa
al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab
Salafiyah, 1986.
Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak
Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, 2001.
____________, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan
Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.
____________, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. Ke-1, 2007.
____________, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2,
2007.
____________, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, 2008.
____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal
Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
Depag RI, Ditjen Binbaga Islam, Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1990.
Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1981.
____________, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.
___________, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992.
___________, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.
___________,Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.
___________, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.
Djambek, Sa’adoeddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas, 1976.
Fathurohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.
___________, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya,
Jakarta: Depag RI, 2004.
Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri
dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007.
___________, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala
Grafika, 2006.
___________, Problematika Hisab Rukyat di Indonesia, Makalah pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah,
Semarang 28-30 November 2008.
___________, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi),
Puslit IAIN Wali Songo, 2004.
Hambali, Slamet, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1429H/2008M se
Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2008.
Karim MS, Abdul, Mengenal Ilmu Falak, Semarang: Intra Pustaka Utama, Cet.ke-1, 2006
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, 2008.
____________, Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan
Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.
Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Ilmu Falak, hhtp://islamic-center.or.id.
Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, cet.ke1.
Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983, Cet.ke-1.
____________, Penyerasian Metode dan Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia, Makalah pada
Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998.
Saksono, Toto, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic
Studies, 2007.
46
Seminar Nasional Hilal 2009 Samarani, as-, Abah Zacky, Data ketinggian hilal masa nabi Muhammad SAW, http://blogcasa.wordpress.com.
Setyanto, Hendro, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba, 2008, Cet.ke-1.
Shadiq, Sriyatin, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil,
Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H.
Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com.
T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah,
http: //t-djamaluddin.space.live.com
____________, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com.
Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008.
1
Pemakalah dalam hal ini menggunakan istilah kalender Islam atau Hijriah secara bersamaan atau salah satunya
secara bergantian. Ini untuk membedakan sistim kalender ini dengan kalender yang juga menggunakan dasar
peredaran bulan tetapi perhitungannya secara ‘urfi. Adapun kalender Islam atau Hijriah perhitungannya secara hakiki.
Pembahasan lebih lanjut diulas di dalam makalah ini.
2 Kalender adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu dengan tujuan untuk penandaan serta perhitungan
waktu dalam jangka panjang. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hidab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Cet.ke-2, hlm. 115
3 Hendro Setyanto, Membaca Langit, (Jakarta: al-Ghuraba, 2008), Cet.ke-1, hlm. 40
4 Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat
dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 30-31
5 Hendro, Membaca Langit, hlm. 46
6 Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com
7 T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender
Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com
8 Menurut al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Musa bahwa nama- nama bulan dalam Kalender Kamariah
mulai dikenalkan sejak tahun 412 M. Nama-nama bulan Kamariah tersebut berubah-ubah selama empat kali sampai
yang kini dipakai oleh umat Islam. Dalam uraiannya, Ali Hasan Musa menyatakan bahwa nama-nama bulan kamariah
yang berkembang sekarang mulai digunakan sejak akhir abad V Masehi. Selengkapnya baca Ali Hasan Musa,
At-Tauqit wa at-Taqawim, cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 186. dapat dibaca dalam Susiknan Azhari dan Ibnor Azli
Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008,
hlm. 136. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
9 Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com
10 maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan
ihram.
11 T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi , http: //t-djamaluddin.space.live.com
12 Ibid
13 Susiknan, Ensiklopedi Hisab , hlm. 161-162. Konversi tanggal kelahirannya dari masehi ke hijriah, hari, dan
pasarannya dihitung sendiri oleh pemakalah.
14 Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS di Kriyan, Kalinyamatan Jepara tanggal 27 Desember 2008
15 Ibid
16 Ibid
17 Ibid dan Noor Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa
al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, (Kudus: Madrasah Tasywiq
ath-Thullab Salafiyah,1986), hlm. i
18 Susiknan, Ensiklopedi Hisab , hlm. 161-162
19 Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama Indonesia terkait
dengan perhitungan penetapan awal bulan Kamariah tersebut ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat
akurasi penghitunganya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan
Hakiki. Kemudian hisab hakiki yang didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi menjadi tiga
tingkatan. Pertama, hisab hakiki taqribi, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. Kedua, hisab hakiki bi
at-tahqiqi, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang dan ketiga, hakiki kontemporer, kitab yang tingkat
akurasi penghitungannya tinggi. Pemilahan ini dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu,
Bogor, Jawa Barat. Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya),
(Semarang: Komala Grafika, 2006), hlm. 135-136
20 Moh Murtadho, Ilmu Falak Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), cet.ke-1, hlm. 36
21 Noor Ahmad SS Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada
Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta, (Semarang: PPM
IAIN Wali Songo, 2003), hlm. 2
22 Noor Ahmad SS, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah
Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta, (Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000),
hlm. 3. pernyataan-pernyataannya di atas perlu dibuktikan lebih lanjut melalui penelitian-penelitian yang intensif.
23 Muhyiddin Khazin, Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan
Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 126
24 Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan
Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 30-31
25 Syamsul Awar, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak
Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, hlm. 8
26 Oman Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan
Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 114-115
47
Seminar Nasional Hilal 2009 27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
T Djamaluddin, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyah, http://t-djamaluddin.space.live.com
Noor Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar, hlm. 6
Ibid, hlm. 33
Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Depag RI, 1981), hlm. 99
Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2007), Cet. Ke-2, hlm. 109
Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan,
yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal
dengan “wujudul-hilal”.Kata “hilal” pada kata “wujudul-hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual
sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan
Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah
terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurrohman
SW, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta,
29-30 Juli 2006
Samarani, as-, Abah Zacky, Data ketinggian hilal masa nabi Muhammad SAW, http://blogcasa.wordpress.com dan
Noor Ahmad SS, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada
Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM
IAIN Wali Songo, 2003, hlm. lampiran
Toto Saksono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, (Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for
Islamic Studies, 2007), hlm. 196
Catatan KH Noor Ahmad SS pada setiap hasil hisab awal bulan Qamariyah yang dilakukannya:
1. Penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah menunggu penetapan Pemerintah RI.
2. Bila ketinggian hilal kurang 2° dan ijtimak terjadi sesudah zawal maka hari diundur satu hari.
3. Ijtimak sesudah matahari terbenam, maka bulan masih di bawah ufuk.
4. Permulaan hari dimulai dari Matahari terbenam. Lihat lebih lanjut contih hasil perhitungan awal bulan dalam Noor
Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar
Muhyiddin, Hisab Awal Bulan, hlm. 126
Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2007), Cet. Ke-2, hlm. 124-125
Hendro, Membaca Langit, hlm. 55
48
Seminar Nasional Hilal 2009 KALENDAR ISLAM: SEBUAH KEBUTUHAN DAN HARAPAN Moedji Raharto Kelompok Keahlian Astronomi FMIPA ITB dan KPPI I.
PENDAHULUAN Ada harapan atau impian umat Islam tentang Kalendar/ Penanggalan Islam yaitu terwujudnya sebuah kalendar Islam yang unik berlandaskan syariah (syariah = ajaran/peraturan/hukum Islam yang termaktub dalam al Qur’an dan al Hadist) dan sains astronomi yang presisi, sebuah kalendar Islam yang diterima dan dipergunakan oleh pemerintah, masyarakat, terutama masyarakat Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia. Kalendar/ Penanggalan Islam yang unik tersebut mempunyai kepastian lebih baik untuk keperluan jadual ibadah umat Islam yang lebih tertib dan untuk keperluan administrasi atau transaksi lainnya. Secara umum hikmah atau keuntungan yang akan diperoleh dari sebuah kalendar Islam yang unik antara lain: (1) Penanggalan Islam yang unik berlandaskan syariah dan sains astronomi yang presisi akan memberikan ketenangan (menghilangkan keragu‐raguan) dan memberikan kekhusu’an masyarakat Islam dalam beribadah, misalnya dalam mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhan, pelaksanaan shaum sunnah pertengahan bulan dan shaum Arafah, pelaksanaan Haji. Selain itu penanggalan Islam yang unik akan memberikan kepastian perencanaan panitia dalam pembagian zakat fitrah. (2) Implikasi kalendar/penanggalan Islam yang unik berlandaskan syariah dan sains astronomi yang presisi mengandung jadual ibadah yang unik sehingga menciptakan suasana bermasyarakat menjadi lebih tertib, menjadi lebih nyaman tidak terjadi perdebatan/ketegangan yang tidak diperlukan dalam kehidupan bertetangga dan berkeluarga maupun antar ormas Islam. (3) Kalendar/Penanggalan Islam yang unik berlandaskan syariah dan sains astronomi yang presisi akan memberi kepastian Jadual hari – hari libur nasional, penetapan jadual cuti bersama. Pimpinan negara sangat memerlukan sebuah taqwim standart/nasional untuk merencanakan dan menjalankan program – program pemerintahan. (4) Penanggalan Islam yang unik berlandaskan syariah dan sains astronomi yang presisi diperlukan untuk kepastian transaksi dalam per‐Bank‐an syariah dengan basis kalendar/penanggalan Islam yang secara hukum dapat dipertanggung jawabkan dalam kesatuan wilayah hukum negara. Bagaimana mewujudkan impian tersebut? Apa yang hendak disatukan? Pemahaman tentang sains astronomi tentang hilal yang presisi dan pemahaman syariahnya? Apakah hanya persoalan sosialisasi pemahaman ? Masih adanya perbedaan dalam penetapan awal bulan Islam berarti juga masih terdapat perbedaan waktu penyelenggaraan ibadah misalnya mengawali shaum Ramadlan dan shalat tarawih, mengakhiri shaum Ramadlan dan shalat tarawih, pembagian zakat fitrah dan pelaksanaan shalat Idul Fitri, pelaksanaan shaum sunnah Arafah dan pelaksanaan shalat Idul Adha umat Islam di Indonesia. Perbedaan waktu penyelenggaraan ibadah itu melahirkan sebuah harapan adanya penyatuan kalendar Islam. Untuk mendapatkan kalendar Islam yang unik di Indonesia perlu proses Penyatuan Kalendar/Penanggalan Islam yang melibatkan praktisi, pemikir, peneliti hisab rukyat di berbagai lingkungan antara lain Departemen Agama, DepKominfo, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Lembaga Penerbangan Nasional (LAPAN), Planetarium DKI, Bakosurtanal, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ormas Islam, Pesantren, Universitas/Institut/Perguruan Tinggi dan Individu – individu Peminat Hisab – Rukyat dan juga lembaga – lembaga lain. Penyatuan Kalendar/Penanggalan Islam makin dirasakan perlu dan merupakan sebuah kebutuhan umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia untuk kehidupan individu maupun bernegara. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya proses atau upaya – upaya untuk menyelesaikan sumber – sumber penyebab keberagaman kalendar/penanggalan Islam. Proses penyatuan Kalendar/Penanggalan meliputi kawasan luas dalam negeri atau nasional, regional maupun internasional, oleh karena itu memerlukan sebuah proses yang cukup panjang dan partisipasi aktif dari komponen masyarakat Islam. Dalam koridor sebagai katalisator untuk “mempercepat” proses penyatuan kalendar /penanggalan Islam tersebut Kelompok Keahlian ASTRONOMI FMIPA ITB BEKERJASAMA DENGAN Komitte Penyatuan Penanggalan Islam YPM & KALAM SALMAN maka pada hari Sabtu, 2 Muharram 1431 H/ 19 Desember 2009 bertempat di Observatorium Bosscha MENYELENGGARAKAN SEMINAR NASIONAL DENGAN TEMA : “MENCARI SOLUSI KRITERIA VISIBILITAS HILAL DAN PENYATUAN KALENDAR ISLAM DALAM PERSPEKTIF SAINS DAN SYARIAH” 49
Seminar Nasional Hilal 2009 TUJUAN SEMINAR TERSEBUT ANTARA LAIN ADALAH • Merumuskan elemen masalah yang menjadi dasar timbulnya perbedaan dalam perspektif syariah (ajaran/peraturan/hukum Islam yang termaktub dalam al Qur’an dan al Hadist) dan sains tentang visibilitas hilal. • Merumuskan rekomendasi untuk agenda dialog nasional dalam rangka mewujudkan “taqwim persatuan”. • Merumuskan kontribusi awal pemikiran ahli hisab/rukyat umat Islam Indonesia dalam mewujudkan “taqwim persatuan”. • Merumuskan sosialisasi kepada masyarakat tentang “taqwim persatuan” hasil pemikiran ahli hisab/rukyat umat Islam Indonesia. Harapan panitia dengan mengundang para Praktisi, Pemikir dan Peneliti Hisab – Rukyat di lingkungan DepAg, Planetarium DKI, Bakosurtanal, DepKominfo, BMKG, LAPAN, MUI, Ormas Islam, Universitas/ Institut/ Perguruan Tinggi dan Lembaga terkait dapat memberi kontribusi pemikiran dalam bentuk makalah atau peran serta aktif dalam diskusi dan saran – saran. Selain itu panitia juga membuka kesempatan bagi Mahasiswa Universitas/ Institut/ Perguruan Tinggi dan Individu Peminat Hisab – Rukyat untuk berperan serta aktif dalam seminar tersebut yang dimungkinkan lahir cara pandang baru. II.
BEBERAPA PEMIKIRAN Umat Islam perlu menyepakati defenisi fisik hilal dalam perspektif sains dan syariah. Dalam perspektif astronomi, hilal difahami merupakan sabit bulan dengan ukuran tertentu sehingga bisa dikenali oleh mata bugil manusia, fisik hilal merupakan bagian dari fasa Bulan dan Bulan merupakan satu – satunya satelit alam planet Bumi. Eksistensi Bulan sebagai satelit alam planet Bumi sudah relatif sangat lama kemungkinan bersamaan atau sedikit lebih muda dari eksistensi Bumi (4.5 milyar tahun) bergantung teori pembentukan Bulan. Pengetahuan tentang Bumi diperlukan untuk memulai memahami sistem Bumi – Bulan dan Matahari, Bumi tempat tinggal mahluk cerdas manusia, sebagai wahana antariksa yang tertambat bintang induk Matahari dilengkapi dengan sebuah satelit alam, Bulan. Studi tentang Bulan semula hanya dengan mata dan teleskop kini telah dicapai dengan wahana ruang angkasa sejak zaman abad ruang angkasa ketika Sputnik diluncurkan tahun 1957. Wahana berawak maupun tak berawak telah didaratkan di Bulan pada abad 20 Masehi. Pendaratan di Bulan itu membawa bahan batuan Bulan ke Bumi untuk mencari petunjuk kesamaan dan perbedaan antara Bulan dan Bumi. Adanya pemikiran bahwa Bulan berasal dari tempat yang jauh dari planet Bumi dan pernah mengalami pemanasan yang dahsyat di dekat Matahari kemudian terperangkap oleh gaya tarik Bumi dan akhirnya mengorbit Bumi. Bila skenario tersebut merupakan skenario pembentukan Bulan maka kemungkinan unsur batuan Bulan akan sangat berbeda dengan planet Bumi. Pemikiran lainnya adalah Bulan dan Bumi sebagai planet kembar keduanya terbentuk dari materi protoplanet yang sama melalui sebuah proses pembentukan yang normal. Pemikiran lainnya adalah Bulan sebagai fosil planet Bumi, Bulan hasil pencabikan dari planet Bumi, pemikiran ini kini juga berkembang menjadi wacana ilmiah sebagai working hipotesis. Bola karang Bumi mempunyai pasangan sebuah bongkah bola karang yang tandus, Bulan. Bulan dikenal sebagai satu–satunya satelit alam planet Bumi. Bulan merupakan satelit alam planet dalam tatasurya yang paling dekat dengan Matahari. Bulan juga dikenal sebagai salah satu satelit alam yang terbesar dan Bulan sebagai satelit alam yang bermassa besar bila dibandingkan dengan planet induknya. Sistem Pluto‐Charon mungkin juga merupakan sebuah sistem yang mirip dengan sistem Bumi‐Bulan. Charon mempunyai radius hampir 0,5 radius Pluto dan massanya 0,1 massa Pluto. Sedang Bulan mempunyai radius 1738 km (0,272 radius Bumi) dan massanya adalah 7,35 x 1022 kg (0,0123 massa Bumi) sistem lain yang paling dekat adalah sistem Neptunus dan Triton (0,090 radius Neptunus dan massanya 0,0013 massa Neptunus) dan sistem Saturnus Titan (radius Titan 0,040 radius Saturnus dan massanya 0,00025 massa Saturnus). Jarak Bumi dan Bulan 384405 km dan jarak itu sekitar 60,3 radius Bumi. Pusat massa sistem (Barycenter) terletak di [ MBulan x aBulan / (MBumi + MBulan)] = [ (0,0123) (384405) / (1,0123) ] = 4671 km dari pusat Bumi, atau berada 1707 km di bawah permukaan Bumi, Bumi dan Bulan beredar mengelilingi titik pusat massa ini sekali dalam sebulan. Massa Bumi (MBumi) bisa diestimasi dengan 50
Seminar Nasional Hilal 2009 menganggap Bulan mempunyai massa yang relatif sangat kecil terhadap Bumi dan dengan menggunakan hukum Kepler ketiga, MBumi = 4 π2 (aBulan)3 / G PBulan2 dan MBumi = 5,98 x 1024 kg, G = konstanta gravitasi = 6.67 x 10–11 m3/kg det–2= 6.67 x 10–11 Nm2/kg. [N = satuan gaya Newton, m = meter, det = detik, kg = kilogram = 1000 gram, km = kilometer = 1000 meter ]. Bulan merupakan benda langit yang tidak berbahaya untuk ditatap dengan mata bugil, Bulan yang terletak pada jarak rata‐ rata 384400 km mudah terlihat featurenya, ada bagian hitam yang tak memantulkan cahaya sekuat seperti bagian sekitarnya. Pola dasar dari purnama ke purnama yang berikutnya sama saja, hanya satu wajah yang nampak ke penghuni planet Bumi. Berbagai bangsa mendiskripsikan wajah Bulan purnama itu dengan beragam gambar. Fase Bulan mendiskripsikan pola bagian gelap dan terang Bulan yang teratur dan cukup membuat bingung para pengamat di masa silam, Bulan disangka sebuah obyek yang mempunyai dua muka, gelap dan terang dan berotasi. Pengetahuan manusia sekarang, Bulan merupakan satu‐satunya satelit alam planet Bumi. Bulan berdiameter 3476 km atau 0,272499216 kali diameter planet Bumi, hampir 1/3 kali diameter Bumi atau diameter Bumi 3,67 kali lebih besar dibanding dengan diameter Bulan. Volume Bumi (6378 / 1738)3 = 49,42 lebih besar, jadi bola Bumi hampir muat 50 bola Bulan. Jarak Bumi‐Bulan maksimum 406767 km, minimum 356395 km dan rata‐rata 384460 km. Bulan mengorbit Bumi dengan bentuk orbit ellips, bidang orbit Bulan mengelilingi Bumi membentuk sudut kemiringan sekitar 5o terhadap bidang ekliptika, bidang orbit Bumi mengelilingi Matahari. Selain itu bidang orbit Bulan relatif tidak konstan di langit, sehingga titik potong lingkaran orbit Bulan dengan lingkaran ekliptika tidak tetap melainkan bergeser ke arah yang berlawanan arah perubahan posisi Matahari di ekliptika. Kedua titik potong itu dinamakan titik simpul naik (ascending node) dan titik simpul turun (descending node). Oleh karena itu deklinasi Bulan bisa mencapai +28°,5 dan ‐28°,5. Kedudukan ini akan dicapai bila titik simpul berada di titik ekuinoks vernal atau ekuinoks autumnal. Implikasinya adalah fenomena bulan Purnama dan hilal yang tak mungkin bisa disaksikan oleh penduduk kutub Selatan Bumi kalau mereka melihat hilal bulan Desember dan sebaliknya fenomena bulan Purnama dan hilal yang tak mungkin bisa disaksikan oleh penduduk kutub Utara Bumi kalau mereka melihat hilal bulan Juni. Sudut kemiringan atau sudut inklinasi sumbu rotasi Bulan terhadap sumbu ekliptika sebesar 1o32’. Iklinasi sumbu rotasi Bulan yang kecil menunjukkan arah kutub Utara Langit juga merupakan indikasi arah kutub Utara Bulan dan juga arah kutub Selatan langit merupakan indikasi arah kutub Selatan Bulan. Periode rotasi Bulan sama dengan periode revolusi Bulan yaitu 27,321 hari berakibat bahwa permukaan Bulan yang menghadap ke Bumi selalu sama. Periode revolusi Bulan juga dinamakan periode sideris, yaitu selang waktu yang diperlukan Bulan berada pada arah bintang yang sama dua kali berurutan. Periode rotasi Bulan juga mengacu pada bintang, selang waktu yang diperlukan meridian pengamat di Bulan melewati bintang yang sama sebanyak dua kali secara berurutan. Namun karena orbit Bulan mengelilingi Bumi berbentuk elips maka kecepatan edar Bulan tidak seragam sehingga bisa terjadi peristiwa librasi, bagian wajah bulan yang tersembunyi dapat dilihat dari Bumi pada saat Bulan di perigee atau di apogee. Periode sinodis Bulan merupakan selang waktu yang diperlukan Bulan menempuh satu fase Bulan tertentu dua kali secara berurutan. Periode sinodis Bulan mensaratkan konfigurasi yang sama antara Bulan, Bumi dan Matahari, kalau waktu momen ijtimak atau konjungsi sebagai acuan maka secara operasional setiap kedudukan Bulan dan Matahari mempunyai bujur ekliptika sama merupakan momen‐momen yang penting. Bila waktu momen Bulan Purnama atau momen oposisi Bulan sebagai acuan maka setiap kedudukan Bulan dan Matahari mempunyai beda bujur ekliptika 180o merupakan momen‐momen yang penting. Data Fisik Bulan: Diameter Bulan: 3476 km, Jarak maksimum Bumi‐Bulan: 406767 km, Jarak minimum Bumi‐Bulan: 356395 km, Jarak rata‐rata Bumi‐Bulan: 384460 km, Kemiringan sudut Inklinasi sumbu rotasi: 1o32’, Periode rotasi: 27,321 hari (27h7j43m), Periode revolusi mengelilingi Bumi : 27,321 hari (27h7j43m), Periode sinodis rata‐rata: 29h12j44m, Kecepatan lepas dari Bulan: 2,38 km/detik, Kecepatan orbit rata‐rata: 0,96 km/detik, Massa Bulan relatif terhadap massa Bumi: 1/81, Volume Bulan terhadap volume Bumi: 0,020, Gravitasi permukaan relatif terhadap gravitasi Bumi: 0,165, Kerapatan batuan Bulan rata‐rata terhadap relatif air : 3,342, Diameter maksimum sudut Bulan: 33’31”, Diameter minimum sudut Bulan: 29’22”, Diameter rata‐rata sudut Bulan: 31’5”. Secara logika Bulan sebagai satu – satunya satelit alam planet Bumi, dan hilal merupakan sabit Bulan jadi sosok hilal cuma satu – satunya , sosok sabit Bulan satelit alam planet Bumi. Jadi penampakan hilal di suatu 51
Seminar Nasional Hilal 2009 tempat sebenarnya cuma satu, tapi praktek di lapangan bisa menjadi banyak akibat tercampurnya dengan hilal halusinasi. Sebagai gambaran “definisi hilal” dalam praktek penentuan awal bulan Hijriah di Indonesia dari kacamata astronom dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) Semua sabit Bulan setelah ijtimak atau konjungsi dan pada saat Matahari terbenam yang terdekat setelah ijtimak, posisi Bulan masih di atas horizon. Dalam hal ini fraksi luas sabit Bulan yang disebut sebagai Hilal adalah F > 0% dan tinggi Bulan hBulan > 0° pada saat t = waktu Matahari terbenam. (2) Sabit Bulan yang bisa diamati mata bugil manusia pertama kali setelah ijtimak. Secara implisit pada saat Matahari terbenam yang terdekat setelah ijtimak. Dalam hal ini fraksi luas sabit Bulan yang disebut sebagai Hilal adalah F > Fkritis ( F > 0.7%−1%) dan tinggi Bulan hBulan > hKritis dan hKritis > 0° pada saat t = t0 + Δt . t = waktu melihat Hilal, t0 = waktu Matahari terbenam dan Δt = selang waktu antara penampakan Hilal dengan waktu Matahari terbenam. (3) Sabit Bulan dengan kriteria kesepakatan, misalnya sabit Bulan setelah ijtimak mempunyai ketinggian 2° pada saat Matahari terbenam yang terdekat setelah ijtimak. (dsb). Dalam hal ini fraksi luas sabit Bulan yang disebut sebagai Hilal adalah F > 0% (??) dan tinggi Bulan hBulan > 2° pada saat Matahari terbenam. (4) Sabit Bulan Halusinasi: (a) Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan kondisi langit di arah horizon barat tempat Matahari dan Bulan terbenam mendung, berawan tebal sehingga tak memungkinkan bisa melihat Matahari yang akan terbenam serta Hilal. (b) Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan Bulan telah terbenam lebih dahulu dari Matahari atau Bulan telah terbenam. (c) Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal ijtimak belum berlangsung. Masalah kriteria visibilitas sosok fisik hilal yang menjadi dasar penetapan awal bulan Islam: 1. Dalam perspektif astronomi kriteria visibilitas hilal tidak bisa eksak hanya terdiri dari kriteria „tinggi Bulan“ saat Matahari terbenam, kriteria visibilitas hilal yang presisi perlu dicari dan disepakati. 2. Perlu menyepakati kriteria visilitas fisik hilal yang lebih presisi atau yang mendekati realitas visibilitas hilal menurut hasil penelitian dan sains hilal yang telah ada hingga saat ini. 3. Gagasan baru tentang hilal global misalnya perlu dikaji dalam perspektif konsistensi struktur kalendar Islam yang bila difahami sebagai fenomena lokal telah serasi antara konsep pergantian hari dalam Islam adalah maghrib dan penampakan hilal antara waktu Maghrib dan Isya. Jadi pergantian awal Bulan dan pergantian hari berjalan serasi atau seirama. Fenomena visibilitas hilal yang kompleks tersebut menjadi seirama konsisten dengan konsep perubahan hari. [Fenomena semacam ini di kawasan ekuator nampak sangat baik] 4. Melanjutkan sosialisasi implikasi penggunaan kalendar Hijriah dalam skala regional dan internasional. Apakah jumlah hari dalam satu bulan Islam harus selalu sama? Kemungkinan dalam satu Bulan Islam yang sama, di suatu tempat bisa 29 hari dan ditempat lain 30 hari walaupun kriteria visibilitas hilalnya sama. 5. Melanjutkan secara konsisten pengamatan hilal dengan meningkatkan profesionalisme. Posisi pengamatan hilal untuk memperbanyak data hilal dan mengklarifikasi hilal yang relatif sulit, hilal dalam batas ambang visible atau tidak. 6. Melanjutkan penelitian tentang sains visibilitas hilal, memahami karakteristik hilal dalam skala waktu yang panjang dan dalam berbagai lokasi di permukaan Bumi. 7. Melanjutkan kaderisasi pemikir dalam penyatuan kalendar Islam di Indonesia dan dunia Internasional. Kalendar Hijriah merupakan kalendar sistem Bumi, Bulan dan Matahari dan dampak atau perannya dalam evolusi iklim di planet Bumi. Tradisi tersebut perlu dikembangkan sehingga pemanfaatannya dalam bidang lain misalnya dalam evolusi lingkungan planet Bumi. III.
PROSES PENYATUAN KALENDAR ISLAM DALAM PERSPEKTIF SAINS DAN SYARIAH SAINS HILAL, HISAB & RUKYAT Posisi sains atau ilmu pengetahuan tentang hilal adalah untuk kepentingan operasional dalam melaksanakan syariat tentang penetapan awal Islam. Esensi rukyatul (pengamatan) hilal bisa diambil 52
Seminar Nasional Hilal 2009 menjadi jiwa dalam hisab (perhitungan) untuk memprediksi visibilitas hilal. Dalam dunia ilmu pengetahuan hisab dan rukyat merupakan satu kesatuan saling bersinergi satu dengan lainnya. Hisab atau model perhitungan posisi Bulan dan Matahari yang presisi (tepat) yang memasukkan koreksi tidak mungkin dibangun tanpa ada data hasil rukyatul/merukyat atau mengamati posisi Bulan dan Matahari dengan presisi. Hisab untuk penentuan awal bulan Islam, selain menghitung posisi Bulan dan Matahari juga menggunakan kriteria visibilitas hilal yang benar dan cermat. Rukyatul hilal juga dipergunakan untuk menguji hasil prediksi hisab tentang visibilitas hilal, proses pengujian yang berulang dan pemahaman teoritis pembentukan hilal akan melahirkan sains tentang hilal . Membangun model kalendar Islam dasarnya adalah hisab yang dijiwai rukyat dan sains tentang hilal, model kalendar Islam tersebut merupakan tujuan untuk memenuhi kehidupan modern umat Islam, berisi jadual ibadah sepanjang tahun dan kehidupan dengan perencanaan kegiatan berjangka panjang. Oleh karena itu dalam proses penyatuan kalendar/penanggalan Islam perlu penyatuan visi dan misi umat Islam tentang konsep yang integral dalam syariah (ajaran/aturan/hukum Islam yang termaktub dalam al Qur’an dan al Hadist) dan ilmiah atau sains tentang hilal. Pandangan hubungan dikhotomis “hisab dan rukyat” perlu diubah menjadi hubungan sinergi “hisab dan rukyat” begitupula dalam memaknai ayat al Qur’an dan sabda Rasulllulah dalam al Hadist yang berkaitan dengan penetapan awal bulan Islam menjadi hubungan yang bersinergi dan bermuara pada penyempurnaan operasionalisasi pelaksanaan ibadah. Definisi Hilal: QS 2:189 Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda‐tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah‐rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah‐rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. QS 6:77 Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang‐orang yang sesat". QS 6:96 Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. QS 7:54 Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan‐Nya pula) Matahari, Bulan dan bintang‐bintang (masing‐masing) tunduk kepada perintah‐Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. QS 10:5 Dia‐lah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan‐Nya manzilah‐manzilah (tempat‐tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda‐tanda (kebesaran‐Nya) kepada orang‐orang yang mengetahui. QS 14:33 Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu Matahari dan Bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. QS 31:29 Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan Matahari dan Bulan masing‐masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS 36:39 Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah‐manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. QS 36:40 Tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing‐masing beredar pada garis edarnya. QS 71:16 Dan Allah menciptakan padanya Bulan sebagai cahaya dan menjadikan Matahari sebagai pelita? QS 55:5 Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan. QS 84:18 dan dengan bulan apabila jadi purnama. Al Qur’an mengajarkan bahwa hilal dipergunakan untuk menentukan waktu dan ibadah haji. Hadist Nabi mengajarkan mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhan dengan melihat hilal melalui mata bugil. Awal Bulan 53
Seminar Nasional Hilal 2009 Islam ditentukan dengan visibilitas hilal. Tradisi umat Islam dalam beberapa abad mengamati hilal memperkuat keyakinan bahwa hilal merupakan fisik obyek langit yang dapat dilihat sesuai dengan kemampuan mata bugil manusia. Misalnya bagi kita yang tinggal di Indonesia kata hilal sering kita dengar saat komunitas umat Islam di Indonesia menantikan pengumuman awal Ramadhan dan awal Syawal yang didahului dengan laporan pengamatan hilal. Tradisi umat Islam melakukan pengamatan fisik hilal menjelang awal Bulan Ramadlan dan Syawal pada arah ufuq barat di dekat Matahari terbenam dapat disimpulkan bahwa fisik hilal sesuatu yang mungkin bisa dilihat dan bila belum terlihat tidak bisa disebut hilal. Obyek langit yang dikenal sebagai hilal dapat dipastikan sebuah obyek langit bagian dari fenomena fasa Bulan. Bulan satu – satunya satelit alam planet Bumi. Bulan mengorbit Bumi dan Bumi mengorbit Matahari sebagai sumber cahaya. Hilal merupakan fisik sabit Bulan yang tipis tapi masih bisa diamati oleh mata bugil manusia. Visibilitas hilal melalui fasa bulan mati atau ijtimak atau konjungsi yaitu ketika bujur ekliptika Bulan dan Matahari sama. „ Perbedaan metode Hisab dan Rukyat tidak perlu lagi dipertentangkan, sebab keduanya saling melengkapi satu sama lain; sebaiknya bersinergi dan saling memperkuat satu terhadap lainnya. „ Hisab dan Rukyat telah digunakan bersama‐sama, dan perbedaan penentuan awal bulan Islam yang ada saat ini terletak pada kriteria Hisab – Rukyat; „ Perbedaan kriteria Hisab – Rukyat masih ada yang disebabkan oleh perbedaan penafsiran dalil, dan belum kokohnya landasan ilmiah yang digunakan dalam kriteria‐kriteria visibilitas hilal yang ada; „ Perbedaan dalam menafsirkan dalil akan selalu terjadi, namun pada prakteknya, penafsiran yang dapat digunakan adalah yang tidak bertentangan dengan kaidah ilmu pengetahuan dan dapat diaplikasikan secara praktis; „ Dengan demikian, solusi untuk menyatukan perbedaan adalah bersama‐sama merumuskan kriteria penanggalan yang memenuhi kaidah syariah, ilmu pengetahuan dan kebutuhan praktis. III.1 PEMAHAMAN SAINS/ APA YANG DIMAKSUD DENGAN SAINS? Salah satu aktivitas akal manusia menjelajah ke dalam dunia alam semesta yang luas dan kompleks tersebut melalui metodologi sains. Sebagian mengenal kata lain dari sains adalah ilmu pengetahuan. Bila dilihat dari berbagai kegiatan dalam bidang fisika, kimia, biologi dan astronomi dapat dinamakan sains dan kegiatan lain dalam bidang musik, teologi, seni dan sebagainya dinamakan/dikelompokkan sebagai humaniora bukan sains. Sebagian mengelompokkan kegiatan sains menjadi sains terapan dan sains murni atau sains modern dan sains klasik dan sebagainya. Apa yang dimaksud dengan sains? Walaupun bidang yang dipelajari berbeda namun identitas apa yang menjadi sebab sebuah bidang kegiatan dinamakan sains dan bukan sains. Sains bertujuan untuk memahami atau mengerti, menjelaskan dan memprediksi fenomena dalam dunia tempat kita menjalani kehidupan fana ini. Agama juga mengandung tujuan yang mirip dengan tujuan sains memahami dan menjelaskan fenomena kehidupan dan bahkan awal dan akhir alam semesta, namun agama tidak dikatakan atau dikelompokkan sebagai sains. Astrologi atau ilmu nujum yang juga memanfaatkan posisi bintang dan planet untuk meramal atau memprediksi masa depan nasib seseorang juga tidak dikelompokkan sebagai sains. Selain itu kegiatan sejarahwan yang memahami perspektif masa silam lebih dikelompokkan ke dalam kegiatan seni bukan dikelompokkan ke dalam sains. Mengapa? Perbedaan antara sains dan non‐sains terletak pada metodologi. Ada sebuah metodologi atau cara dalam sains yang tidak dijumpai dalam bidang lainnya. Dalam metodologi sains dikenal dengan eksperimen atau percobaan, tapi dalam bidang astronomi, astronom tidak bisa melakukan eksperimen di langit, namun astronom menggantikan kegiatan eksperimen dengan pengamatan astronomi terhadap kurir informasi dengan sangat cermat. Hal yang mirip juga berlaku bagi ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang sosial, eksperimen dalam masyarakat bisa sangat mahal bagi kemanusiaan. Kekhasan “sains” yang lain adalah cara membangun sebuah teori, eksperimen merupakan bagian dari proses membangun sebuah teori, menjelaskan hasil ekperimen dalam konteks teori yang lebih umum. Dengan cara memahami teknik eksperimen dan pengamatan (empiris) serta merekonstruksi sebuah teori maka rahasia atau misteri dalam alam semesta termasuk visibilitas hilal dapat diungkapkan satu persatu. Manusia dapat mengambil manfaat dari pemahaman manusia terhadap alam semesta dan fenomena yang ada di dalamnya. III.2 METODOLOGI ILMU DAN AL QUR’AN Pengetahuan shaum Ramadhan yang dijalani umat Islam tak terlepas dari adanya wahyu Allah swt (QS2:183‐184). Allah sebagai Tuhan alam semesta menurunkan dan memelihara al Qur’an. (QS 15: 9 dan QS 56:75‐80). 54
Seminar Nasional Hilal 2009 Ayat al Quran itu menegaskan peran Allah swt dalam mengembangkan ilmu pengetahuan bagi manusia. Ada sesuatu inisiasi yang tidak harus didiskusikan mengapa harus berpuasa pada bulan Ramadlan, sebuah instruksi dari Pencipta alam semesta yang harus dijalankan dengan benar dan ikhlas, agar tahu manfaatnya. Ada batas‐batas kemampuan manusia, masih ada sesuatu pengetahuan yang sangat sedikit diketahui manusia. Sains yang sekarang kita kenal merupakan bagian al‐ilm di zaman Islam, yang diturunkan melalui wahyu. Berbagai ilmu di dalam al Qur’an tidak hanya dibatasi pada sains empiris yang sekarang kita kenal sebagai “ilmu pengetahuan” dasarnya adalah eksperimen, pendeteksian informasi dan pengukuran informasi, sesuatu yang tidak bisa diamati dan diukur, tapi juga tetap tercakup sebagai ilmu misalnya “ilmu” untuk mengenal Allah, “ilmu” untuk mengenal alam gaib dan berbagai kemungkinan “ilmu” terhimpun dalam kitab Allah tersebut. Oleh karena itu kitab Allah itu memiliki otoritas tertinggi dan penting, penafsiran atas ayat‐ayat Allah itulah yang meluaskan ilmu mahluk cerdas/mahluk berakal, manusia. Sayangnya sebagian manusia mengenal dan mengamalkan ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi sebatas “sains barat sekuler” (SBS) mereduksi pemahaman al‐ilm di zaman Islam. Pandangan yang memisahkan antara sains dan agama merupakan pandangan yang mereduksi pandangan al ilm. Wahyu merupakan sebuah kebenaran yang dihadirkan dalam kehidupan manusia dengan metodologi penyampaian oleh Yang Maha Pencipta manusia dan alam semesta yaitu melalui proses dan perantara terpercaya malaekat jibril dan manusia pilihan, Muhammad Rasullullah. Sebagai kelanjutan sains sekuler ada sains dengan orientasi meng‐Esa‐kan Allah, sains tauhidullah yang pernah digagas oleh Prof Dr. H Herman Soewardi (alm), guru besar UNPAD. Perbedaan pandangan antara sains barat sekuler (SBS) dan sains tauhidullah dikontraskan antara pandangan pendapat Karl Popper: “Science is purely human in origin” dengan pandangan Islam, Ilmu atau sains adalah suatu ciptaan Tuhan, yang dengan perintahNya, perlu diungkapkan oleh manusia, untuk kesejahteraan hidup manusia, baik di dunia maupun di akherat. Maka manusia tidak menciptakan ilmu, manusia hanya menemukan ilmu. Islamisasi sains bukan mengIslamkan sains, akan tetapi mencari kelanjutan SBS yang pada penghujung abad 20 menimbulkan produk keresahan, merenggut dan merusak alam dan biosfer dalam skala besar dan dengan proses lebih cepat. Sains tauhidullah membawa rasionalitas manusia selain berperan dalam “pengembangan“ ilmu juga membawa qalbu manusia pada tuntunan lebih dekat kepada Allah, mensinergikan akal dan qalbu dalam mencari dan mengamalkan ilmu. Apa yang menyebabkan atau membuat kelompok aktivitas ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi itu dinamakan sebagai sains? Mungkin sains suatu aktivitas yang bertujuan memahami, menjelaskan dan memprediksi fenomena tentang dunia (fana) tempat kita hidup. Dalam al Qur’an terdapat ayat penjelasan tentang penciptaan langit dan Bumi dan juga tentang masa depannya, namun mengapa tidak dikelompokkan sebagai sains? Astrologi atau ilmu nujum yang meramal nasib masa depan seseorang mengapa tidak dikelompokkan sebagai sains? Sekali lagi ditegaskan bahwa perbedaan antara sains dan nonsains terletak pada metodologi yang dipergunakan oleh ilmuwan untuk menemukan sebuah pandangan tentang dunia (fana). Kelompok sains menggunakan metodologi yang berbeda dengan metodologi di bidang disiplin ilmu nonsains. Misalnya metodologi sains menggunakan eksperimen (percobaan) yang dipergunakan dalam sains‐modern. Tidak semua sains dapat melakukan ekperimen misalnya astronomi, eksperimen tidak bisa dilakukan dalam jagat raya yang sangat luas dan proses yang sangat panjang. Sebagai gantinya adalah pengamatan informasi dari langit pada masa sekarang, namun informasinya mengandung berbagai macam usia, karena jarak berbeda dan kecepatan cahaya konstan (sekitar 300 000 km perdetik). Salah satu yang penting dalam sains adalah membangun sebuah teori. Ilmuwan tidak berhenti dalam tataran mencatat hasil eksperimen, berlanjut menjelaskan hasil‐hasil itu dalam sebuah teori. Metodologi dalam sains seperti eksperimen, pengamatan dan merekonstruksi teori memungkinkan para ilmuwan menjelaskan berbagai fenomena alam semesta. Posisi benda langit, planit, Bulan, Matahari dan rasi bintang dipergunakan untuk meramal nasib manusia, pengetahuan itu dikenal dengan Astrologi. QS Ali Imran : ayat 190‐191 mengubah pandangan Astrologi menjadi Astronomi di zaman Islam, mengajak manusia untuk senantiasa berdzikir dalam memikirkan penciptaan alam semesta. Posisi benda langit merupakan sains namun keterkaitan atau korelasinya dengan nasib manusia mungkin dikategorikan sebagai pseudo sains. Telaah benda langit dalam astronomi meliputi mekanika dan fisik benda langit serta keterkaitan satu dengan lainnya dalam skenario besar alam semesta. Dengan demikian dalam pandangan Islam, “ilmu” tidak sekedar dibatasi dengan sebuah metodologi yang sangat khusus seperti sains tersebut, karena dengan metodologi sains tersebut tidak mungkin memasukkan hal – hal yang gaib, tidak ada hasil ekperimen yang bisa diukur dari sesuatu yang gaib. Metodologi wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasullulah melalui malaekat Jibril merupakan sebuah “metodologi universal” yang relatif 55
Seminar Nasional Hilal 2009 lengkap mencakup pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan di alam semesta yang fana dan di akherat. Manusia bisa melakukan eksplorasi dengan berbagai rambu – rambu yang terdapat dalam al Qur’an sendiri, misalnya dalam hal pengetahuan manusia tentang yang gaib hanya sedikit. III.3 QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN Kehadiran bulan suci Ramadlan mengingatkan kembali makna diturunkannya ayat‐ayat al Qur’an, diantaranya lima surat pertama surat Al Alaq (Segumpal Darah), QS 96 ayat 1‐5 (19 ayat). Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan al Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia, mahluk cerdas/ mahluk berakal yang diciptakanNya melalui segumpal darah. Al Qur’an menjadi petunjuk mahluk cerdas yang lemah dalam mencapai prestasi hidup yaitu selamat dan berbahagia di dunia dan di akherat. Kesempatan hidup di planet Bumi ini relatif sangat singkat bila dibanding dengan usia Bumi yang mencapai 4.5 milyar tahun apalagi alam semesta yang berusia sekitar 15 milyar tahun. Melalui ayat al Qur’an manusia dikenalkan ada Ar Rahman dan Ar Rahim pengatur alam semesta, berbagai nama terbaik melekat pada zat Allah pencipta manusia dan alam semesta. Allah mengajarkan manusia tentang apa yang tidak diketahuinya melalui baca dan tulis dengan memanfaatkan anugerah semua fasilitas ditubuhnya diantaranya indera telinga untuk mendengar dan indera mata untuk membaca. Mengawali kegiatan belajar dengan mengingat dan menyebut asma Allah. Akal dan qalbu manusia mampu melihat kedalaman informasi yang diperoleh lewat kegiatan membaca. Manusia mengembangkan metodologi untuk melihat sesuatu pengetahuan dan hikmah dari sebuah fenomena, menulis dan memikirkannya, kemudian mengkomunikasikan kepada manusia lain sehingga terjadi pemindahan pesan antar generasi. Al Qur’an mengajarkan sebuah kesadaran bahwa pengetahuan merupakan sebuah karunia dari Allah yang Maha Pencipta yang telah menciptakan manusia dan alam semesta. Karunia ilmu pengetahuan merupakan bagian dari cobaan atau ujian bagi manusia karena bisa menimbulkan perasaan sombong atau arogan. Arogansi manusia menjadi salah satu penyebab sebagian manusia tidak lagi melihat adanya Yang Maha Pencipta, manusia tidak melihat pesanNya lewat al Qur’an, manusia tidak lagi sujud pada Yang Maha Tinggi, Yang Maha Berilmu, Yang Maha Cendekia. Manusia tidak lagi bersyukur atas berbagai nikmatNya antara lain terbukanya sebuah jalan ilmu pengetahuan manusia yang luas, yang tidak diketahui sebelumnya. Tuntunan al Qur’an menjaga agar perasaan manusia yang sering melampaui batas (misalnya perasaan paling shaleh, kaya, pandai, hebat dsb) perlu diluruskan kembali, menerima dengan ikhlas mendeklarasikan Maha Suci Allah, segala puja dan puji hanya untukNya, dan hanya Allah Yang Maha Besar, Tuhan pencipta dan pemelihara alam semesta dan isinya. Al Qur’an diturunkan dalam bulan suci Ramadhan, saat manusia berlatih mengendalikan dan membersihkan diri melalui ibadah shaum, sebuah jalan untuk meningkatkan ketaqwaannya, mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pencipta alam semesta. Manusia perlu membersihkan atau mensucikan diri, mengendalikan nafsunya, manusia perlu berkontemplasi untuk bisa menerima dan merenungkan makna ayat‐ayat al Qur’an yang menjelajah kedalam dunia fana dan akherat, alam gaib maupun alam materi. Al Qur’an berfungsi menuntun manusia mengenal keluasan ciptaanNya dan mengajak manusia meningkatkan ketaqwaannya, mendekatkan diri sedekat‐dekatnya dan memohon ampunanNya, memohon taufiq dan hidayahNya untuk mencapai kehidupan prestatif di dunia dan di akherat. QS 96 ayat 1‐5 (19 ayat) ini juga bermakna memberi peringatan bagi dua golongan manusia yang pertama adalah manusia yang menekuni ilmu pengetahuan dan tenggelam dalam metodologinya (mereduksi hal yang gaib), berakibat manusia menjauh, tak mengenal atau lupa akan Pencipta Alam Semesta, Allah Rabbul alamin, dan bahkan menyisihkan atau meninggalkan agama. Golongan lainnya adalah manusia yang malas menggunakan akalnya sehingga tak sempat melihat makna penciptaan alam semesta yang besar dan megah ini sehingga ciptaan Allah terabaikan dan tak menyentuh kehidupan dalam mencapai derajat ketaqwaan yang lebih tinggi. Oleh karena itu dalam pandangan Islam tidak ada dikhotomi antara sains dan agama, agama dan sains tidak dibenturkan satu dengan lainnya tapi disinergikan melalui akal manusia. Hasil pemahaman melalui metodologi sains dan ayat – ayat quraniah bertujuan menjadikan manusia lebih bertaqwa, lebih dekat pada pencipta segalanya, penguasa pada hari akhir dan pemelihara. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk‐Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan‐Nya apa yang di langit dan di Bumi (lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardhi). Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin‐Nya. Allah mengetahui apa‐apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa‐apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki‐Nya. Kursi Allah meliputi langit dan Bumi (wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardha). Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha 56
Seminar Nasional Hilal 2009 Tinggi lagi Maha Besar. (QS 2:255) Berbagai proses yang kita saksikan seperti Matahari bercahaya memproduksi energi yang seolah tanpa batas dan tak mungkin diganti dengan kekayaan manusia dan dikendalikan manusia, sebuah ukuran yang sangat besar bila dibandingkan dengan ukuran kebutuhan energi untuk aktivitas hidup manusia. Manusia bisa memahami hukum – hukum alam dan takjub akan kehebatannya, tapi Allah sebagai pemelihara, maha suci Allah yang telah menciptakan dan memelihara ini semua. Dan di Bumi ini terdapat bagian‐bagian yang berdampingan, dan kebun‐kebun anggur, tanaman‐tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam‐tanaman itu atas seba‐hagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda‐tanda bagi kaum yang menggunakan akal (la aayaatil li qaumiy ya’qiluun) Q.S. (13) ar‐Ra’d ayat 4. QS 2:164 menegaskan tentang penciptaan langit dan Bumi (inna fii khalqis samaawaati wal ardhi), serta fenomena yang ada di planet Bumi, proses terbentuknya kehidupan di planet Bumi merupakan ayat – ayat atau tanda – tanda kaum yang berakal. QS 13:4 menceritakan tentang keaneka ragaman tanaman yang juga sebagai indikator sebagai ayat – ayat atau tanda – tanda kaum yang berakal. (la aayaatil li qaumiy ya’qiluun) Allah SWT mengajarkan manusia agar menggunakan akal. Sebagai tambahan perlengkapan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan dan tuntutan pada akal manusia, juga harus dilibatkan komponen yang lain yaitu indera dan hati manusia; sejumlah perangkat lunak yang memiliki fungsi dan kekuatan tersendiri. Secara umumnya pemanfaatan indera dan hati manusia dimaksudkan dan ditujukan sebagai pelengkap bagi pola pemberdayaan perangkat‐perangkat internal pada diri manusia. Sebagaimana dijelaskan pada salah satu ayat al‐Qur’an (Q.S. (22) al‐Hajj ayat 46) sebagai berikut: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka Bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan hati itu mereka dapat menggunakan akal atau mempunyai telinga yang dengan hati itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. Q.S. (22) al‐Hajj ayat 46. Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang‐orang yang tidak mempergunakan akalnya. Q.S. (10) Yunus ayat 100. Ada sebuah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt melalui perantaraan/ wasilah akal, penggunaan akal juga berarti menghindari kemarahan Allah swt. Ayat al‐Qur’an di atas memberi peringatan keras, hendaknya akal yang merupakan salah satu anugerah internal pada diri manusia dari Allah swt, haruslah dipergunakan sebaik‐baiknya dengan cara yang benar, kemampuan akal mengintegrasikan pemikiran rasionalitas meniadakan dikhotomi antara sains dan . Akal bagi manusia, menjadi jalan ihtiar untuk mendapatkan hidayah agar menjadi orang yang beriman dan juga memelihara dan meningkatkan keimanannya. Akal menjadi jalan mengenal Allah swt, mempertegas posisi manusia sebagai hamba‐Nya yang senantiasa mengesakan‐Nya dan menyembah‐Nya. Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal niscaya tidaklah kami termasuk penghuni‐penghuni neraka yang menyala‐nyala". Q.S. (67) al‐Mulk ayat 10 Q.S. (67) al‐Mulk ayat 10 menceritakan tentang sebuah penyesalan atas tidak dipergunakannya akal, sebuah karunia fasilitas yang melekat pada diri manusia. Tidak dipergunakannya akal tidak hanya menerima murka Allah swt., bahkan bisa berakibat manusia bisa mendapatkan siksaan menjadi penghuni neraka. Al Qur’an, kumpulan dari wahyu Allah yang disampaikan lewat Muhammad Rasullullah memperjelas posisi alam semesta dan Manusia, yaitu ada yang Maha Pencipta dan Maha Pemelihara, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, pencipta alam semesta juga pencipta manusia dan mahluk lainnya. Anugerah kemampuan akal manusia, intuisi atau naluri intelektualitas manusia dan instruksi ayat – ayat al Qur’an mengantar manusia untuk mendapatkan jalan mengenal dan memberi makna kehidupan yang dijalaninya dalam pagelaran alam semesta, alam ruang dan waktu yang diciptakan Allah swt dalam waktu yang telah ditentukan. Alam semesta merupakan laboratorium tempat eksperimen dalam skala yang sangat besar di luar kapasitas kemampuan manusia di planet Bumi, manusia tidak bisa mencampuri sedikitpun apa yang sedang berlangsung di laboratorium alam semesta. Misalnya manusia tidak bisa menghentikan sebuah proses reaksi termonuklir di Matahari atau di bintang – bintang yang sangat jauh lokasinya. Ukuran massa Matahari dan bintang – bintang jauh lebih besar sekitar 100000 kali bahkan lebih besar lagi dari ukuran massa planet Bumi, ukuran ruang tempat reaksi termonuklir jutaan kali ruang di planet Bumi, waktu reaksinya bermilyar tahun bahkan bisa lebih tua dari usia Bumi dan kehidupan di Bumi. Pendek kata ukuran ruang alam semesta seolah tidak terbatas bila dibandingkan dengan ukuran benda – benda yang pernah dilihat manusia, manusia tidak lagi sanggup membayangkan luasnya dan besarnya alam semesta. Begitu pula kandungan isi materi alam semesta merentang dari yang sangat renggang, atom/ molekul dalam ruang antar galaksi atau ruang antar bintang, atau di kawasan 57
Seminar Nasional Hilal 2009 lubang hitam akan ditemukan materi yang sangat padat bahkan bisa menjadi kawasan singularitas akibat medan gravitasinya yang sangat kuat. Bentuk dan ukuran materi sangat beragam, berbentuk nebula, berbentuk bongkah batu, berbentuk bola, berbentuk galaksi spiral, galaksi tak beraturan, galaksi ellips sehingga alam semesta melahirkan sifat dan karakter yang penuh dengan misteri bagi kehidupan fana manusia. Misteri – misteri fenomena di alam semesta itu banyak yang belalu tanpa rekaman dan komentar manusia atau berlalu hanya dalam ingatan sekilas tanpa penjelasan sains. Walaupun demikian pada akhirnya manusia menapak perkembangannya dalam sains dan teknologi, misteri itu bukan saja menggugah rasa keingintahuan manusia atau rasa penasaran, tetapi juga mendorong untuk mengamati dan meneliti, mendorong manusia menjelajah ke dunia yang sangat jauh di alam semesta. Dalam proses penelitian itu manusia mengerahkan semua fasilitas internal akal yang dikaruniakan padanya, manusia menggali potensi dan kemampuannya untuk dapat memenuhi rasa keingintahuannya yang terus datang mengalir seolah tidak pernah henti. IV.
MENUJU PROFESIONALISME RUKYATUL HILAL Secara ideal Kalendar/Penanggalan Islam menjadi acuan yang pasti jadual ibadah umat Islam. Misalnya dalam memulai dan mengakhiri shaum Ramadlan, ibadah Haji, shaum Sunnah pada pertengahan bulan Islam dan penetapan hari – hari besar Islam, hari libur kenegaraan. Akibat kekurang pastian pada criteria visibilitas hilal yang dipergunakan dalam menyusun calendar Islam maka fungsi ideal calendar Islam berkurang, terutama dalam hal penentuan waktu ibadah. Pengamatan Hilal untuk menentukan awal bulan Islam tetap menduduki posisi penting, yang pertama untuk menjustifikasi awal Bulan Islam dalam calendar Islam dan sekaligus melegitimasi awal bulan untuk mengawali dan mengakhiri shaum Ramadlan, menentukan awal Dzulhijjah untuk menentukan 10 Dzulhijjah, rukyatul hilal untuk semua bulan Islam juga perlu dilakukan agar terjadi konsistensi. [masalahnya: bagaimana menentukan waktu rukyatul hilal? Berapa kali istikmal bisa dilakukan secara berurutan?] Bagaimana melakukan standartisasi pengamatan hilal? (1) Waktu Pengamatan Hilal: Bagaimana menentukan waktu rukyatul hilal? Waktu ijtimak sebagai acuan mengingat hilal tidak akan terjadi sebelum ijtimak/konjungsi? Atau tanggal 29 dalam taqwim standard atau taqwim persatuan? (2) Waktu Pengamatan Hilal dan Sidang Itsbat/Penetapan awal Bulan Islam: Apakah waktunya harus bersamaan atau harus sejalan? Untuk penetapan Awal Ramadlan dan awal Syawal harus dilakukan segera, bersamaan dengan laporan rukyat Nusantara? Bagaimana dengan awal Dzulhijjah? Bagaimana dengan awal bulan Islam lainnya? (3) Individu Pengamat Hilal: Sertifikasi ahli rukyat, proses dilakukan oleh masing – masing ormas ? (4) Koordinasi Laporan Pengamatan Hilal: Pengamatan hilal perlu tersebar di seluruh Indonesia, pos pengamatan yang menjadi prioritas perlu ditetapkan dengan pertimbangan cuaca dan kontras? Pengamatan atau rukyatul hilal terintegrasi, melalui siaran langsung? (5) Pengawasan hasil pengamatan hilal: Perlunya proses check dan recheck sebelum pengambilan sumpah bagi yang berhasil atau tidak berhasil mengamati hilal di suatu lokasi yang telah ditetapkan oleh hakim di lapangan? (6) Lokasi yang terbaik dan tersebar: Apakah perlu penetapan lokasi rukyat? Apakah perlu penetapan persaratan lokasi pengamatan hilal? (7) SOP Hilal : Apakah perlu sebuah SOP rukyatul hilal persiapan hingga pelaporan yang standart (mudah tapi cermat dan mempunyai nilai hukum)? (8) Databased pengamatan hilal Indonesia. Semua hasil pengamatan hilal perlu dicatat dan didata dengan baik. V.
SEPUTAR PENYATUAN KALENDER/PENANGGALAN HIJRIAH/ISLAM Syariah dan sains, Penyatuan kalendar Islam/Hijriah dalam pandangan astronomi sangat dimungkinkan, karena gagasan awal komponen penyusun struktur kalendar Islam telah mapan. Awal tahun Hijriah telah disepakati yaitu pada waktu tahun Hijriah Rasullullah yaitu 15 atau 16 Juli tahun 622 M. Jumlah bulan dalam setahun telah disepakati yaitu setahun 12 bulan, jumlah hari dalam sebulan dalam kalendar Islam antara 29 atau 30 hari telah disepakati dan tidak ada masalah atau kontradiksi dengan ilmu pengetahuan astronomi. Umat Islam menggunakan hilal sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Islam. Awal bulan Islam ditandai dengan keberhasilan melihat hilal. Kini umat Islam telah berada pada tanggal 2 Muharram tahun 1431 58
Seminar Nasional Hilal 2009 H, berarti telah ada 17161 kali hilal pernah ada di langit. Namun belum banyak umat Islam yang pernah menyaksikan sosok hilal dengan mata kepala sendiri. Secara umum telah disepakati bahwa keberadaan hilal mempunyai waktu setelah ijtimak, dan hilal bisa diamati setelah Matahari terbenam. Pengamatan sistematis di beberapa tempat yang tersebar luas di bola Bumi sangat diperlukan untuk membangun sains dan pengetahuan tentang hilal. Dalam pandangan astronomi, hilal merupakan bagian dari proses pembentukan dan perubahan sabit Bulan yang kontinu dalam fenomena fasa Bulan. Fenomena terbentuknya sabit Bulan itu sangat berkaitan erat dengan geometri kedudukan Bumi, Bulan dan Matahari. Orbit Bulan mengelilingi Bumi berbentuk ellips, bidang orbitnya juga beregresi dan berotasi, cukup kompleks. Kompleksitas orbit Bulan mengelilingi Bumi itu akibat berbagai gangguan benda lain dalam tatasurya misalnya Matahari, gaya tarik gravitasi mengganggu Bulan. Kompleksitas ini yang menyebabkan diskripsi posisi Bulan yang presisi melalui perhitungan tidak mudah dilakukan dimasa silam. Berbagai cara dan model perhitungan telah berkembang dan dikembangkan sejak zaman keemasan Islam hingga sekarang. Fenomena visibilitas hilal secara alamiah merupakan sabit Bulan yang dihasilkan oleh geometri atau kedudukan Bumi, Bulan dan Matahari. Kombinasinya cukup banyak tidak sederhana dan oleh karena itu sebenarnya kriteria visibilitas hilal tidak sederhana, misalnya tinggi bulan di atas 2 derajat dsb. Hingga saat ini masih terdapat perbedaan dalam penetapan awal bulan Islam oleh ormas Islam di Indonesia. Kesepakatan bahwa pada hari menurut penanggalan Islam (dari maghrib ke maghrib berikutnya) terjadi ijtimak dan tinggi Bulan pada saat Matahari terbenam atau pergantian hari itu mempunyai tinggi > 2 derajat sudah dianggap ada hilal di Indonesia merupakan kriteria kesepakatan yang mengorbankan realitas hilal bila dipandang dari ilmu astronomi. Sabit bulan yang terbentuk masih sangat tipis dan masih sangat lemah cahayanya dibanding dengan cahaya senja sehingga mustahil bisa menyaksikan hilal dengan mata bugil, menerima hasil rukyat pada ketinggian bulan yang belum memenuhi ukuran sebuah hilal berarti menerima kekeliruan pengamatan realitas hilal. Penyederhanaan kriteria hilal semacam itu berarti membuat kriteria hilal yang berlainan dengan hilal yang dimaksud dengan hilal yang diperoleh dengan cara rukyatul hilal di zaman Rasullulah. Hasil rukyatul hilal yang melaporkan melihat hilal padahal langit mendung atau hujan juga berarti membuat kriteria hilal yang berlainan dengan hilal yang dimaksud dengan hilal yang diperoleh dengan cara rukyatul hilal di zaman Rasullulah. Awan dan debu sebagai penghalang dalam visibilitas hilal adalah realitas angkasa Bumi yang telah ditegaskan dalam hadist. Sebaiknya penyatuan kalendar Islam dilakukan melalui pemahaman tentang fisik hilal dan sains tentang fisik hilal. Pemikiran penyatuan kalendar Islam adalah mencari kriteria visibilitas hilal dengan menggunakan pengetahuan tentang hilal yang lebih presisi (berdasar pengalaman rukyat dan hisab) dan menggunakan/mengamalkan pengetahuan tentang hilal itu sebagai kriteria yang disepakati dalam pengamalan al Qur’an dan al Hadist, hilal sebagai penentu awal dan akhir bulan Islam. Kriteria tentang hilal yang lebih presisi itu merupakan sebuah sinergi antara pengamalan ayat al Qur’an, al Hadist dan ilmu pengetahuan atau sains tentang fisik Hilal. Masyarakat Islam di seluruh dunia telah terbiasa hidup dalam berbagai sitem kalendar Bulan dan Matahari, atau Luni‐Solar yang sebagian juga mempergunakan fasa Bulan atau ijtimak sebagai acuan pergantian bulan, oleh karena itu penting adanya program sosialisasi secara lisan maupun tulisan melalui pelatihan atau bagian dari kurikulum di sekolah umum/madarasah. Pengetahuan tentang kalendar Hijriah dalam berbagai aspek sains maupun historis dan implikasinya bagi umat Islam tersebut akan menjadi pilar tradisi masyarakat luas dalam menerima konsekuensi sistem kalendar Hijriah yang mengatur sebagian ritme aktivitas kehidupannya. VI.
PENUTUP: BEBERAPA ALASAN PENYATUAN KALENDAR ISLAM 1. Penyatuan Kalendar Islam merupakan sebuah kebutuhan untuk agenda dan aktivitas rutin ibadah maupun transaksi lainnya. Aktivitas ibadah shaum Ramadhan, shaum sunnah pertengahan bulan Islam, perhitungan zakat memerlukan kepastian jadual dan kepastian awal Bulan Islam. Fokus pada penentuan awal bulan Islam? Apakah bisa dicapai? Berapa lama bisa dicapai? 2. Ada semangat dan keinginan masyarakat Islam untuk mempunyai kalendar Islam yang unik dalam lingkup nasional, regional maupun global. Ada contoh di zaman Rasullulah (dan zaman sahabat, hisab Urfi di zaman Umar bin Khattab misalnya) umat Islam bisa bersatu dan tertib dalam penentuan jadual ibadah shaum Ramadhan maupun Haji. Namun pada saat itu masih terbatas pada kawasan yang relatif kecil belum mendunia? 59
Seminar Nasional Hilal 2009 3. Banyak hal yang diperlukan dalam sebuah struktur penanggalan Islam telah menjadi kesepakatan umat Islam di seluruh dunia. Antara lain (a) setahun terdiri dari 12 bulan Islam, (b) tiap bulan Islam bisa terdiri paling sedikit 29 hari atau paling banyak 30 hari (c) awal Bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah secara eksplisit ditentukan dengan adanya hilal, hal ini dapat dipergunakan sebagai dasar menggunakan aturan yang sama bagi penetapan semua awal bulan Islam lainnya mengingat dalam tiap Bulan Islam terdapat jadual ibadah (sunnah) yang waktunya bergantung pada penetapan awal Bulan, (d) tradisi merukyat hilal oleh umat Islam sejak zaman Rasullullah hingga sekarang di suatu tempat pada permukaan Bumi (di bukit, di menara masjid atau di tepi pantai) menunjukkan bahwa hilal yang dimaksud adalah sabit Bulan yang paling tipis dan masih bisa di amati atau dikenali melalui mata bugil manusia, (e) awal tahun Islam telah ditetapkan pada tahun peristiwa sejarah Islam, Hijriah Rasullullah dari Mekah ke Medinah. 4. Tradisi merukyat hilal menunjukkan bahwa hilal yang dimaksud dalam teks Hadist maupun Qur’an adalah Hilal yang merupakan bagian dari fenomena fasa bulan, hilal yang dapat disaksikan oleh mata. Pernyataan adanya awan dan debu penghalang yang bisa menghapus penglihatan adanya hilal menunjukkan bahwa fisik hilal yang diamati memang sabit bulan yang tipis diamati dari permukaan Bumi yang mempunyai lapisan angkasa. 5. Terdapat batas tempat yang memungkinkan melihat hilal dan tempat yang tidak memungkinkan melihat hilal. Batas itu merupakan garis batas tanggal, visibilitas hilal merupakan acuan untuk menentukan awal bulan Hijriah. 6. Perhitungan yang akurat bisa mendiskripsikan posisi Bulan dan Matahari setiap saat dengan baik, sesuai dengan prediksi perhitungan. Perhitungan yang akurat itu telah menjadi pengetahuan manusia dewasa ini. Bahkan telah banyak software yang dibuat dan memudahkan untuk telaah atau studi dalam jangka panjang melalui bantuan komputer. Begitupula pembandingan hasil perhitungan di Indonesia dapat dilakukan dengan masyarakat Islam di belahan Bumi lainnya melalui internet. 60
Seminar Nasional Hilal 2009 Kalender Umm Al­Qura dengan Kriteria Baru Sebagai Sistem Penanggalan Islam Universal: Sebuah Studi atas Pemikiran Zakki Al­Mustafa Nur Aris Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus Mahasiswa Program Doktor Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang Jl. Conge Ngembalrejo, Bae, Kudus e­mail address: [email protected] Abstract Tulisan ini adalah tulisan awal tentang pemikiran seorang tokoh ilmu falak dari Saudi Arabia kontemporer, yaitu Dr. Zakki ‘Abd al­Rahman al­Mustafa. Makalah ini pada dasarnya merupakan pengenalan awal terhadap pemikiran tokoh tersebut tentang Penanggalan Hijriyyah, seperti bagaimana menentukan hari pertama dalam bulan­bulan Qamariyyah, kriteria apa yang dipakai untuk menentukan awal bulan, dan bagaimana posisi filosofis pemikiran beliau, bagaimana implementasinya di lapangan dan dapatkah Penanggalan Umm al­Qura menjadi sistem penanggalan Universal untuk umat Islam. Sistem penanggalan Umm al­Qura didasarkan pada 2 kriteria utama, yaitu moonset after sunset di Mekah dan telah terjadi konjungsi sebelumnya. Dengan dua kriteria ini Zakki menawarkan ide Universalitas sistem kalender Umm al­Qura sehingga bisa sejajar dengan Kalender Masehi. Makalah ini aka mencoba mengelaborasi dasar­dasar argumentasi yang mendasari tawaran tersebut. Keywords : New Criterion, Ijtima’ Qabl al-Gurub, Moonset After Sunset,
I. Pendahuluan Umat Islam menaruh perhatian yang serius terhadap masalah penanggalan Islam (Penanggalan Hijriyyah yang
didasarkan pada peredaran Bulan yang disebut pula dengan penanggalan Qamariyyah) sejak kemunculannya. Masalah
penanggalan sebenarnya sudah melalui berbagai tingkat perkembangan sejak masa Babilonia sampai masa sekarang ini.
Selama perkembangan itu pula muncul berbagai kriteria penentuan awal bulan Qomariyyah, masing-masing kriteria silih
berganti dan ada juga kriteria yang menyempurnakan kriteria sebelumnya1.
Sudah beberapa dekade Saudi Arabia menggunakan sistem penghitungan kalender yang sering disebut sebagai
“Kalender Umm al-Qura”. Sistem penangalan ini juga diikuti oleh negara-negara tetangga di Jazirah Arabia seperti
Bahrain, Qatar dan juga Mesir. Beberapa masyarakat muslim di beberapa Negara yang non-muslim juga mengikuti
Kalender Umm al-Qura sebagaimana halnya yang dipakai oleh masjid-masjid yang didanai pembangunannya oleh Saudi
Arabia dan juga di software komputer modern.2
Meskipun demikian Kalender Umm al-Qura sering juga dikritik oleh beberapa komunitas umat Islam yang
dalam penanggalannya berdasar pada ru’yah empiris terhadap hilal terutama berkaitan dengan Bulan Puasa (Ramadan),
idul fitri (shawal) dan Bulan Haji (Dhulhijjah), dianggap sering membingungkan ketika tanggal hasil observasi yang
dilakukan oleh kaum muslim yang berbeda untuk bulan-bulan tersebut berbeda satu, dua atau bahkan tiga hari3.
Pada masa yang lalu, sulit untuk mengetahui secara detail bagaimana penanggalan di Saudi Arabia diregulasi,
tetapi hampir-hampir para ahli di bidang penagnggalan bersepakat bahwa penanggalan yang dilakukan tidak didasarkan
pada ru’yah empiris terhadap hilal. Bagaimana dengan Kalender Umm al-Qura sekarang ini? Bagaimana regulasi yang
dipegangi dan bagaimana implementasi di lapangan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas makalah ini akan
difokuskan kajiannya pada seorang tokoh yang cukup penting di dalam Kalender Umm al-Qura terkini, yaitu Dr. Zakki
‘Abd al-Rahman al-Mustafa dari Lembaga Penelitian Astronomi dan Geofisika pada King Abdul Aziz City for Science
and Technology (KACST). Zakki saat ini menjabat sebagai Asisten Supervisor pada Institute of Astrological dan
Geophysical Research. Beliau dilahirkan di Saudi Arabia dan sekarang berdomisili di Kota Riyad4.
II. Biografi Zaki Al­Mustafa Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang sistem logika yang dipakai Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa
dalam membangun system penanggalan Umm al-Qura, akan dibahas terlebih dulu tentang latar belakang pendidikan dan
pekerjaan yang dimilikinya. Pembahasan ini penting untuk memosisikan pemikiran-pemikirannya dalam konteks yang
lebih akurat. Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa dilahirkan di Al-Hassa, Saudi Arabia pada tanggal 30 Oktober 1966, atau
ia sekarang (ketika artikel ini ditulis) berumur 43 tahun. Ia adalah seorang yang berkebangsaan Saudi Arabia. Ia telah
menikah dan memiliki 5 orang anak5.
3 4 5 1
2
Zakki al‐Mustafa, Lunar Calendars: The new Saudi Arabian Criterion. (email) p. 1. http://www.phys.uu.nl/~vgent/islam/ummal qura.htm, 2009 http://www.phys.uu.nl/~vgent/islam/ummal qura.htm, 2009 Zakki al‐Mustafa, Curriculum Vitae, (email), p.1 Zakki al‐Mustafa, Curriculum Vitae, (email), p.1 61 Seminar Nasional Hilal 2009
Ia pernah bekerja sebagai Asisten Peneliti pada KACST (King Abdul Aziz City for Science and Technology
sejak tahun 1991 s/d 1992. Kemudian pada tahun 1994 – 1996 bekerja peneliti di lembaga yang sama. Sejak tahun 199
sampai sekarang ia bekerja sebagai Asisten Professor Peneliti di KACST tersebut6.
Background pendidikan yang banyak mempengaruhi pemikiran dan profesinya adalah sejak di perguruan tinggi.
Ia menekuni Astronomi sejak pendidikan sarjananya, ia mengambil bidang tersebut di King Saud University Riyadh
Saudi Arabia antara tahun 1985-1990. Kemudian melanjutkan studinya pada tahun 1992 di St Andrews University
Skotlandia, United Kingdom. Di Universitas ini ia mengambil Magisternya, dengan spesialisasi di bidang Astrofisika
Teoritis. Ia menyelesaikan pendidikan S2 pada tahun 1994. Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1996 ia melanjutkan
studinya di The University of Manchester, Inggris, United Kingdom. Di Universitas ini ia mengambil spesialisasi di
bidang Astrofisika Teoritis dan Observasional sebagai disertasi doktornya. Dari latar belakang ini tampak bahwa Zakki
‘Abd al-Rahman al-Mustafa memiliki dasar Astronomi modern yang sangat kuat. Karena S1, S2 dan S3 mengambil
bidang studi yang sama.7
Zakki juga menempati jabatan yang sangat strategis misalnya sejak tahun 1991 s/d 1992 ia menjabat sebagai
Acting Manager of Saudi Arabian Laser Ranging Observatory di KACST, dan jabatan ini didudukinya lagi pada tahun
1994-1995. Pada tahun 2001-2006 ia menjabat sebagai Assistant Director of the Astronomy and Geophysics Research
Institute. Dan sejak 2001 s/d 13 Mei 2009 menjabat sebagai Kepala Departemen Astronomi di KACST. Sejak 13 Mei
2009, penulis belum tahu ia menjabat sebagai apa yang jelas sampai sekarang ia masih menjadi anggota supervisor untuk
kalender Umm al-Qura dan sebagai dosen Astronomi8.
Karya-karya yang telah dihasilkan oleh Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa banyak yang berkaitan dengan
Astronomi Modern karena hal ini sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Beberapa karya yang telah diterbitkan
antara lain adalah9:
1. Astronomical Photometry: Distance Determination of Galactic Cluster and Their Distributions in the Galaxy, B.Sc.
Dissertation, King Saud University, 1990.
2. STELLAR PULSATION: A Study of the Influence of Opacity on Numerical Models, M.Phil. Thesis, St. Andrews
University, 1994.
3. “Astrophysical Dynamics”, Berry, D., Breitschwerdt, D., da Costa, A. & Dyson, J.E. (eds.), Kluwer: Dordrecht,
1999.
4. Emission Line Regions in the Large Magellanic Cloud, Ph.D. Thesis, The University of Manchester, 1999.
5. The Saudi Arabian’s Sky II: The Turbidity post the second Gulf Ware. ISES 2001 Solar World Congress, Adelaide,
Australia, Vol. 4, pp. 2013-2018, 2001,.
6. The Saudi Arabian’s Sky III: The Clear sky Emissivity over Saudi Arabia, ISES 2001 Solar World Congress,
Adelaide, Australia Vol. 4, pp. 2019-2024, 2001,.
7. Cosmic Ray in Saudi Arabia and future vision, SCI2002, Orlando, USA, XVII, 53, 2002.
8. The Observatory, Lunar Calendars: The New Saudi Arabian Criterion, 125, 25, 2005.
9. J. KAAU Science, Variations of Temperature over Jeddah During Recent Solar Cycle, Accepted, 2005.
10. Journal of the Association of Arab Universities for Basic and Applied Sciences “JAAUBAS”, Calculation of Sky
Turbidity in the Kingdom of Saudi Arabia, 1, 1-11, 2005.
11. Memorie della Società Astronomica Italian, Solar variability and Earth's climate, Editors: I.Ermolli, J. Pap and P.
Fox, MontePorzio Catone, June 27-July 1, 2005, Temperature increasing trend due to solar activity at Western Saudi,
76 n. 4, 923-924, 2005. (Poster)
12. “Martian’s Fan-shaped scattering of light Observed on Earth”. In International Conference in Defense of the Quality
of the Night Skyand the Right to Observe the Stars, La Palma, Spain, April 2007. (Poster)
13. Flash floods Mecca El Mukaramah 1985-2005 in relation to solar Forcing, IAU233, Cairo, 2006. (Poster)
14. New World Rrecord for Observing New Moon in The Kingdom of Saudi Arabia, JAAUBAS, 5, 73-77, 2008.
15. Estimating the surface albedo over Saudi Arabia, Renewable Energy, 34, 1607–1610, 2009.
16. Evaluation of global solar radiation models for Riyadh, Saudi Arabia, To be submitted to Energy Renewable energy
Oct 2008.
17. Estimate of the clear sky emissivity using bulk formulae in Riyadh, Saudi Arabia, Accepted as a peer reviewed paper
in the 1st Arab Conf. on Astronomy and Geophysics, 20-23 Oct. 2008.
18. Assessment of Eight Sunshine-Based Global Radiation Models With Measured Data in Riyadh, Saudi Arabia,
Accepted as a peer reviewed paper in the 1st Arab Conf. on Astronomy and Geophysics, 20-23 Oct. 2008.
19. Correlation of global radiation with some meteorological parameters for Jeddah Saudi Arabia, Accepted as a peer
reviewed paper in the 3rd International Solar Energy Society- Asia Pacific Conf. 25-28 Nov 2008, Sedeny,
Australia.( WC0160).
20. Determination of the Hubble Constat Using Cepheid Variable Stars, Romanian Astronomical Journal,Vol. 19, No. 1,
2009.
8 9 6
7
Zakki al‐Mustafa, Curriculum …., p.1 Zakki al‐Mustafa, Curriculum …., p.2 Zakki al‐Mustafa, Curriculum …., p.3 Zakki al‐Mustafa, Curriculum …., pp.3‐4 62 Seminar Nasional Hilal 2009 III. Kalender Umm Al­Qura: Kriteria Awal Bulan Qamariyyah Dalam Sistem Kalender Hijriyyah A. Perkembangan Penanggalan Umm Al­Qura Sebelum masa Islam tidak ada sistem penanggalan yang secara umum permanen diterima di daerah Arabia.
Menurut Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa, bahwa sistem penanggalan Saudi Arabia telah melalui empat masa
perkembangan. Empat masa perkembangan tersebut dibuat berdasar pada kriteria yang digunakan pada tahun-tahun
tertentu. Empat masa perkembangan tersebut adalah10:
1. I
= 1370 H – 1392 H
2. II = 1393 H – 1419 H
3. III = 1420 H – 1422 H
4. IV = 1423 H
Perkembangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Masa I
Masa perkembangan yang pertama ini dimulai dari tahun 1370 H sampai Tahun 1392 H. Dasar penetapan awal
bulan Qamariyyah pada masa ini didasarkan pada kriteria apabila tinggi bulan mencapai 9o di atas ufuk setelah
terbenamnya matahari. Pada masa ini problem yang muncul adalah kemungkinan bisa melihat hilal pada ketinggian di
bawah 9o apabila cuaca sangat mendukung. Hal ini sering menimbulkan perbedaan awal bulan antara ru’yah dengan
hisab.11
Masa II
Masa perkembanga yang kedua ini dimulai dari tahun 1393 H s/d 1419 H. Pada perkembagan yang ke dua ini
kriteria awal bulan Hijriyyah dalam sistem Penanggalan Umm al-Qura didasarkan pada terjadinya konjungsi (al-iqtiran
atau dalam istilah Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa disebut dengan wiladat al-hilal falakiyyan) sebelum tengah malam
atau pukul 00.00 di Greenwich (United Kingdom). Problem yang muncul adalah perbedaan zona waktu antara Mekah
dengan Greenwich adalah 3 jam. Hal ini menyebabkan secara astromomis awal bulan dimulai sebelum wila>dat al-hila>l
di Mekah. Maka seanadainya konjungsi terjadi pada pukul 11 waktu Greenwich (jam 8 waktu Mekah) maka bulan baru
masuk pada saat di Mekah bulan terbenam sebelum Matahari. Apabila demikian maka masuknya awal bulan ini tidak
sesuai dengan shar’ dan tidak ilmiyah, di mana beberapa syarat harus terpenuhi sebelum masuk bulan baru.12
Masa III
Masa yang ketiga dimulai dari tahun 1420 H (17 April 1999) s/d 1422 H. Pada masa yang ketiga ini penanggalan
Umm al-Qura didasarkan pada Kriteria apabila bulan terbenam setelah terbenamnya matahari. Pada hari ke 29 pada suatu
bulan Qamariyyah, jika matahari di Mekah terbenam sebelum terbenamnya Bulan, maka hari berikutnya masuk tanggal 1
bulan berikutnya. Namun jika bulan terbenam sebelum terbenam matahari maka hari berikutnya adalah hari terakhir yaitu
tanggal 30 pada bulan tersebut. Problem yang muncul dengan kriteria seperti ini adalah bisa jadi terbenamnya bulan
setelah matahari tetapi belum terjadi konjungsi. Seperti yang terjadi pada tanggal 27 Agustus 2003 M. Di Mekah pada
tanggal tersebut matahari terbenam pada pukul 18:41, sedangkan Bulan terbenam pada pukul 18.39. dan diketahui bahwa
konjungsi terjadi pada pukul 20:27 atau setelah matahari terbenam13.
Di samping itu, apabila kriteria ini yang dipakai maka bulan baru dimulai pada sore hari di saat bulan terbenam
setelah matahari di Mekah. Pada kebanyakan kasus (hampir 85 %) pada saat seperti itu hilal masih sangat muda untuk
dapt dilihat dengan mata telanjang.
Ada anomali yang terjadi pada tahun 1421 H dan 1422 H di mana matahari dan bulan tidak terbenam secara
tegak lurus pada lintang Mekah. Jika bulan berada di dekat lintang paling utara, maka terbenamnya bulan akan terjadi jika
sebelumnya telah terjadi konjungsi.
Sebagaimana dicontohkan oleh Muhammad Odeh bahwa 7 Desember 1999 (28 Sha’ban) Matahari akan
terbenam di Mekah pukul 17:38, dan Bulan akan terbenam pada pukul 17:29. Lalu ketika Bulan terbenam sebelum
Matahari, maka 8 Desember belum masuk 1 Ramadan. Konsekwensinya 1 Ramadhan akan jatuh pada tanggal 09
Desember. Lihat perbandingan penanggalan Saudi Arabia antara sebelum perubahan kriteria dengan setelah adanya
kriteria yang baru14.
10 Zakki al‐Mustafa, Taqwim Umm al­Qura: al­Taqwim al­Mu’tamad fi al­Mamlakah al­‘Arabiyyah al­Su’udiyyah, (email), pp. 1‐3. Lihat pula “al­Asbab al­‘Ilmiyah li ‘Alamiyyati Taqwim al­Umm al­Qura” dalam Majalah “al‐Ulum‐(King Sa’ud University: Riyad, 2003), pp.4‐5. 11 Zakki al‐Mustafa, Taqwim Umm al­Qura: al­Taqwim al­Mu’tamad fi al­Mamlakah al­‘Arabiyyah al­Su’udiyyah, (email), p. 2. 12 Zakki al‐Mustafa, Taqwi>m ....., p. 2. 13 Zakki al‐Mustafa, Taqwi>m ....., p. 2. 14 Muhhammad Shauka>t Odeh, The Actual Saudi Dating Sistem, ICOP, Jordania, 1998‐2006. 63 Seminar Nasional Hilal 2009
.
Perhatikan gambar kalender di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan awal Ramadan, yang di atas yaitu
sebelum ada perubahan kriteria awal Ramadan bertepatan dengan Hari Kamis tanggal 9 Desember 1999, sedangkan pada
kalender yang kedua yaitu setelah adanya perubahan kriteria, awal Ramadan bertepatan dengan Hari Rabu tanggal 8
Desember 1999.
Masa IV
Masa keempat ini dimulai sejak tahun 1423 H sampai sekarang. Penanggalan Umm al-Qura sejak tahun itu
sampai sekarang didasarkan pada Kriteria bahwa masuknya awal bulan tidak hanya ketika bulan terbenam setelah
terbenamnya Matahari, tetapi juga apabila konjungsi terjadi (wiladatul hilal) sebelum matahari terbenam. Menurut Zakki
‘Abd al-Rahman al-Mustafa kriteria ini dalam beberapa kasus adanya persamaan dalam hal masuknya awal suatu bulan
antara yang menggunakan hisab dan ru’yah dengan mata telanjang dalam cuaca yang jernih atau ru’yah dengan alat. Dan
apabila dalam keadaan ketidakmungkinan ru’yat al-hilal maka jumlah hari pada bulan tersebut disempurnakan menjadi 30
hari15.
Untuk lebih jelasnya lihat tabel ringkasan fase perkembangan Penanggalan Umm al-Qura berikut ini:
FASE MASA/TAHUN KRITERIA
I 1370 H – 1392 H Apabila tinggi bulan mencapai 9o di atas ufuk setelah terbenamnya matahari II 1393 H – 1419 H Terjadinya konjungsi (al­iqtiran atau dalam istilah Zakki ‘Abd al‐Rahman al‐Mustafa disebut dengan wiladat al­hilal falakiyyan) sebelum tengah malam atau pukul 00.00 di Greenwich (United Kingdom) III 1420 H – 1422 H Terbenamnya bulan setelah terbenamnya matahari IV 1423 H 1. Terbenamnya Bulan setelah terbenamnya matahari 2. Terjadinya Konjungsi (wila>dat al­hila>l) sebelum matahari terbenam. B. Kriteria Baru Penanggalan Umm Al­Qura. Sebagimana telah diuraikan di atas bahwa sistem penanggalan Umm al-Qura didasarkan pada kriteria yang
dipakai sejak tahun 1423 H. Menurut Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa penaggalan Umm al-Qura dengan kriteria baru
telah mampu mereduksi kemungkinan kesalahan dalam penentuan awal bulan Qamariyyah sampai mendekati pada
tingkat 0%.16 Secara singkat kriteria baru ini adalah sebagai berikut:
Pertama, pada akhir bulan Qamariyyah, Bulan terbenam sebelum Matahari, dan waktu terbenamnya secara
progressif akan berkurang atau melambat dari satu hari ke hari berikutnya. Ketika Bulan terbenam setelah Matahari, dan
jika terlihat dengan kesaksian maka ru’yat al-hilal ini sesuai dengan syari’ah17.
Kedua, ketika ru’yat al-hilal merupakan suatu kejadian yang tidak diketahui pada masa yang akan datang, karena
tergantung pada faktor-faktor yang tidak dapat diprediksi seperti cuaca, ada tidaknya saksi-saksi dan factor-faktor lain,
maka menemukan tanggal baru dengan dasar seperti ini adalah tidak mungkin. Bagaimanapun juga, ketika membuat
15 Zakki al‐Mustafa, Taqwi>m ....., p. 2. Hal ini khusus untuk bulan‐bulan yang berkaitan dengan ibadah, seperti Ramad{a>n, Shawwa>l dan Dhulh}ijjah. 16 Sampai tulisan ini selesai, belum ada konfirmasi dari Zakki argumentasi yang mendasari pernyataan ini. 17 Zakki al‐Mustafa, Lunar Calendars: The new Saudi Arabian Criterion. (email) p. 7. 64 Seminar Nasional Hilal 2009 sebuah penanggalan untuk beberapa daerah yang tergantung pada terbenamnya Bulan setelah matahari pada hari terakhir
bulan tersebut, maka beberapa penghitungan lebih dekat atau sesuai dengan ajaran Rasulullah untuk Umat Islam. Oleh
karenanya mulai tahun 1420 H (1999-2000 M), kriteria ini dipakai untuk menghitung Penanggalan Umm al-Qura yang
baru dengan mempertimbangkan koordinat Mekah18.
Ketiga, jarang sekali terjadi dalam penanggalan yang dihitung berdasarkan kriteria sebelumnya (pada masa
perkembangan III), bulan Qamariyyah bisa jadi dimulai sebelum konjungsi. Melihat kesulitan ru’yah untuk bulan baru,
maka perlu ditambah persyaratan lain untuk menentukan bulan baru Qamariyyah, yaitu bahwa bulan baru telah dilahirkan
(wila>dat al-hilal/konjungsi) terjadi sebelum Matahari terbenam pada posisi koordinat Ka’bah. Kriteria ini telah
diimplementasikan mulai tahun 1413 H (2003)19.
Di Saudi Arabia, masyarakat diminta untuk melihat hilal pada hari ke-29 dari setiap bulan Qamariyyah.
Biasanya hanya sedikit orang yang mengaku bahwa mereka tekah melihat hilal, bahkan adakalanya tidak seorangpun
mengaku telah melihat hilal, meskipun Bulan sudah berada di atas ufuk setelah Matahari terbenam. Menurut Zakki
dengan mengutip Fotheringham bahwa hal seperti ini merupakan observasi yang negatif, dan sebagai contoh sebuah
kejadian pada 25 Oktober 2003. Probabilitas ru’yat al-hilal bertambah dengan bertambahnya apa yang dinamakan arc of
light (lengkungan cahaya) dan perbedaan sudut antara Bulan dan Matahari. Sebagai contoh mengamati hilal selama bulan
September dan Oktober lebih mudah bagi pengamat yang ada di Selatan, dan bagi yang ada di sebelah Utara akan lebih
mudah apabila pada bulan Maret dan April20.
Menurut Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa, sangat sulit untuk menolak klaim bahwa hilal yang sulit (difficult
crescent) tampak/terlihat (di atas ufuk). Penolakan yang jelas hanya jika Bulan secara aktual berada di bawah ufuk atau
sebelum konjungsi. Menurut Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa memang terdapat beberapa kriteria/metode dalam
menentukan awal bulan Qamariyyah 21.
C. UNIVERSALITAS PENANGGALAN UMM AL­QURA Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa dan juga beberapa ahli penanggalan Islam mencita-citakan adanya
penanggalan universal untuk Umat Islam di dunia. Penanggalan yang ia cita-citakan tersebut adalah penanggalan Umm
al-Qura dengan kriteria yang baru, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Menurut Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa berdasar pada studi yang dilakukan Kurdi bahwa antara tahun 1400
H sampai 1422 H tingkat kesalahan dalam penanggalan Umm al-Qura mencapai 14%, dengan mengacu pada Kriteria
awal bulan baru berdasar pada wuju>d al-hilal setelah Matahari terbenam dan terjadinya konjungsi sebelum terbenamnya
Matahari. Dari 46 hanya 27 yang sesuai antara ru’yah dan hisab, dimana sisanya 18 keadaan tidak sesuai antara hisab dan
ru’yah. Sedangkan studi Belani di Syiria antara tahun 1950 s/d 2000 dan menemukan tingkat kesalahan sistem
poenanggalan di sana yang sangat tinggi. Pada bulan Muharram mencapai sebesar 75%, bulan Ramadan 76%, bulan
Shawwa>l 88% dan Bulan Dhulh}ijjah sebesar 76%. Tingkat kesalahan ini disimpulkan oleh Belani dengan
menggunanakan dasar kriteria seperti tingkat illuminasi, posisi Bulan terhdap Matahari serta umur Bulan. Sedangkan
apabila menggunakan Kriteria Penanggalan Umm al-Qura, menurut Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa tingkat
kesalahannya menurun, yaitu 43% untuk Muh}arram, 59% untuk Ramadan, 61% untuk Shawwal dan 43% untuk bulan
Dhulhijjah22.
Menurut Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa para ahli hisab memang memiliki kriteria yang berbeda dalam hal
imka>nu al-ru’yah, ada yang berdasarkan mukuts hilal, ketinggian hilal di atas ufuk, elongasi Bulan-Matahari, dan umur
hilal, akan tetapi semua sepakat bahwa tidak mungkin melihat hilal ketika pada posisi di bawah ufuk. Sekarang ini ahli
hisab menentukan tingkat ketinggian di atas ufuk yang memungkinkan hilal dilihat (imkan al-ru’yah) seperti Odeh dan
Syeikh membatasi ketinggian Hilal dengan 7o, namun seperti Jarad menentukan 3o.23
Adapun tim penanggalan Umm al-Qura tidak membatasi dalam hisabnya berapa derajat hilal bisa dilihat, Umm
al-Qura mencukupkan diri pada kriteria yang menurutnya sesuai dengan syara’ yang telah ditetapkan oleh Dewan Menteri
di Kerajaan Saudi Arabia (Ketetapan No. 143 Tanggal 22/8/1418H), yang didasarkan pada Ketetapan Majlis Syura Saudi
Arabia (No.11/5/85 tanggal 3/2/1418 H) yang mengatakan bahwa penaggalan Umm al-Qura dalam penghitungan awal
bulan Qamariyyah didasarkan pada terbenamnya Matahari setelah Bulan sesuai Waktu Mekah. Dan juga disandarkan
pada syarat terjadinya konjungsi sebelum terbenamnya Matahari.24
Argumentasi ini didukung oleh data terbaru hasil observasi terhadap Hilal di Makkah dengan koordinat
39o.49’.31” BT dan 21o.25’.22” LU yang dilakukan oleh Zakki dan Kurdi pada 14 September 2004 yang mencatat
bahwa hilal terlihat pada ketinggian kurang dari 2o, tepatnya 01o.00’.27”.25
Berdasarkan kriteria terbenamnya Bulan setelah Matahari maka niscaya pula berdasar pada terjadinya konjungsi
sebelum Matahari terbenam. Misalnya adalah awal bulan Sha’ba>n 1422 H (29 Rajab 1422 H) pada saat tesebut belum
Zakki al‐Mustafa, Lunar Calendars: ....., p. 7. Koordinat Mekah yang dipakai Zakki adalah 39o.49’.31” BT dan 21o.25’.22” LU. Zakki al‐Mustafa, Lunar Calendars: ....., p. 7. 20 Zakki al‐Mustafa, Lunar Calendars: ....., p. 8. 21 Zakki al‐Mustafa, Lunar Calendars: ....., p. 9. 22 Zakki al‐Mustafa, “al­Asbab al­‘Ilmiyah li ‘Alamiyyati Taqwim al­Umm al­Qura” dalam Majalah “al‐Ulum‐(King Sa’ud University: Riyad, 2003), p.3. 23 Zakki al‐Mustafa, “al­Asbab al­‘Ilmiyah ......, p.3. 24 Zakki al‐Mustafa, “al­Asbab al­‘Ilmiyah ..... , p.3. 25 Zakki al‐Mustafa, Younger Moon in Saudi Arabia (email), p.5. 18
19
65 Seminar Nasional Hilal 2009
terjadi konjungsi (lihat tabel 1). Atau yang hanya berdasar pada wila>dat al-hila>l (konjungsi) saja sebagaimana awal
masuknya bulan Dhulqa’dah (29 Syawal 1422 H). Karena itulah dibutuhkan syarat lain yaitu bahwa terjadinya konnjungsi
(wiladatul hilal) sebelum terbenamnya Matahari. Lihat tabel di bawah ini.
Kondisi Bulan terbenam setelah Matahari sebelum terjadi konjungsi Bulan terbenam sebelum Matahari setelah terjadi konjungsi Terbenam Bulan Terbenam Matahari Terjadinya Konjungsi 17:57 17.55 22:24 17:54 17:57 16:30 Tanggal 29 Rajab 1422 16 Oktober 2001 29 Shawwa>l 1422 13 Januari 2002 Menurut Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa, berdasarkan argumentasi dan bukti-bukti di atas, Kriteria
Penanggalan Umm al-Qura ini bisa dijadikan sebagai sistem kalender universal yang bisa dipakai oleh seluruh umat
muslim sebagaimana halnya kelender Masehi. Apalagi menurutnya kriteria sudah berdasar pada ketetapan dari segi
syari’ah islamiyah26. Kriteria yang kedua sudah mengadopsi dari sisi aspek shar’ dan yang pertama sudah sesuai dengan
kriteria ilmiyah. Inlah yang mendasari pemikiran Zakki bahwa sistem Kalender Umm al-Qura memiliki potensi
universalitas untuk menjadi siste kalender universal.
Dengan sistem yang diikuti Umm al-Qura Zaki mencoba melacak kejadian-kejadian bersejarah pada masa
Rasulullah, seperti Perang Badr yang menurut mayoritas ahli sejarah terjadi pada Senin, 17 Ramadan Tahun 2 H yang
bertepatan dengan 12 Maret 624 M. Kejadian Haji Wada’ terjadi pada Jum’at 9 Dhulhijjah 10 H yang bertepatan dengan
6 Maret 632 M. Kemudian wafat Rasulullah, menurut para ahli sejarah bahwa Rasul wafat pada hari Senin14 Rabi’ul
Awwal 11 H bertepatan dengan 8 Juni 632 M. Berdasarkan studi hisab yang dilakukannya bahwa dengan kriteria Umm
al-Qura, bahwa posisi keadaan Hilal baik pada bulan-bulan sebelumnya ataupun pada bulan-bulan tersebut diperoleh
kesimpulan bahwa tanggal-tanggal tersebut akurat.27
Namun persoalan akan muncul berkaitan dengan perbedaan mat}la’. (ufuk). Di mana dengan perbedaan ini tidak
setiap tempat di bumi ini bisa melihat hilal untuk mendeklasrasikan awal bulan Qamariyyah. Yang kedua adalah ini
membutuhkan semacam International Date Line (IDL) atau kalau di kalender Masehi ada Greenwich Mean Time (GMT)
sebagai titik konvensional darinya analisis masalah penanggalan dimulai. Selanjutnya Kriteria yang diajukan Zakki ‘Abd
al-Rahman al-Mustafa masih mengabaikan visibilitas hilal.28
Kalau diterapkan dalam penanggalan di lapangan, maka sebagai contoh dapat dilihat tabel awal Bulan
Qamariyyah versi Penanggalan Umm al-Qura dan konversinya dalam Kelender Masehi pada lampiran paper ini. Tabel
dalam lampiran tersebut diambil dari http://www.phys.uu.nl/~vgent/islam/ummalqura.htm. Tabel tersebut sekaligus juga
sebagai perbandingan antara Kalender Hijriyyah dengan sistem Umm al-Qura dengan Sistem criteria Odeh.
IV. Simpulan Demikian pembahasan tentang pemikiran Zakki ‘Abd al-Rahman al-Mustafa tentang Penanggalan Umm
al-Qura. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Kriteria yang dipakai adalah Kriteria rasionalisme dengan
logika deduktifism yang mengabaikan sisi empiritas hilal. Kriteria ini memang ideal untuk dijadikan sebagai standar
international, mengingat logika yang dipakai dengan mengabaikan empirisitas maka perbedaan ufuk dan matla’ tidak
menjadi persoalan lagi.
Wallahu a’lam bi al-Shawab
V. Daftar Bacaan [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
http://www.phys.uu.nl/~vgent/islam/ummalqura.htm (2009), The Umm al­Qura Calendar of Saudi Arabia. Muhammad Shaukat Odeh (1998‐2006), The Actual Saudi Dating Sistem, ICOP, Jordania, Zaki Al‐Mustafa (2004), Majalah Jami’ah al‐Muluk Saudi, Al­Asbab al­Ilmiyah li ‘Ala>miyat Taqwim Umm al­Qura, 63‐70,.(email) Zaki Al‐Mustafa (2005), The Observatory, NASA Astrophisic Data Sistem, Lunar Calendars: The New Saudi Arabian Criterion, 2005. (email) Zaki Al‐Mustafa (t.th.), Taqwim Umm al­Qura: al­Taqwim al­Mu’tamad fi al­Mamlakah al­Arabiyah al­Su’udiyyah, T.th.(email) Zaki Al‐Must}afa, Younger Moon in Saudi Arabia, King Abdulaziz City for Science and Technology, Astronomy and Geophysics Research Institute, Riyadh. (email) Zaki Al‐Mustafa, Curricuum Vitae Zaki Abdurrahman al­Mustafa, T.th. (email) Zaki Al‐Mustafa (2004), al­Adillah ‘Ala Wujubi Taharri al­Ru’yah la Imkaniyat al­Ru’yah, KACST. (email) Zakki al‐Mustafa, “al­Asbab al­‘Ilmiyah li ..... , p.5. Zakki al‐Mustafa, al­Adillah ‘ala Wujub al­Taharri al­Ru’yah la Imkaniyyat al­Ru’yah, dalam Majalah al­Darrah, (Darrat al‐Mulk Abdul Aziz: Riya, 2004), pp.4‐9. 28 Muhhammad Shauka>t Odeh, The Actual Saudi Dating Sistem, (ICOP: Jordania, 1998‐2006). 26
27
66 Seminar Nasional Hilal 2009 LAMPIRAN PAPER KALENDER UMMUL QURA MODEL PENANGGALAN SISTEM UMMULQURA DENGAN DENGAN KRITERIA BARU BERDASARKANKRITERIA ODEH First day of the Islamic month according to the Umm al­Qura calendar (1420 AH to 1424 AH) Month 1420 1421 1422 1423 1424 Muharram 17 Apr 1999 Sa 6 Apr 2000
Th 26 Mar 2001
Mo 15 Mar 2002 Fr 4 Mar 2003
Tu Safar 16 May 1999 Su 5 May 2000
Fr 25 Apr 2001
We 14 Apr 2002 Su 3 Apr 2003
Th Rabī‘ al‐Awwal 15 Jun 1999 Tu 3 Jun 2000
Sa 24 May 2001
Th 13 May 2002 Mo 2 May 2003
Fr Rabī‘ al‐Ākhir 14 Jul 1999 We 3 Jul 2000
Mo 22 Jun 2001
Fr 12 Jun 2002 We 1 Jun 2003
Su Jumādā ’l‐Ūlā 12 Aug 1999 Th 1 Aug 2000
Tu 22 Jul 2001
Su 11 Jul 2002 Th 1 Jul 2003
Tu Jumādā ’l‐Ākhira 11 Sep 1999 Sa 30 Aug 2000
We 20 Aug 2001
Mo 10 Aug 2002 Sa 30 Jul 2003
We Rajab 10 Oct 1999 Su 28 Sep 2000
Th 18 Sep 2001
Tu 8 Sep 2002 Su 29 Aug 2003
Fr Sha‘bān 9 Nov 1999 Tu 28 Oct 2000
Sa 17 Oct 2001
We 7 Oct 2002 Mo 27 Sep 2003
Sa Ramadān 9 Dec 1999 Th 27 Nov 2000
Mo 16 Nov 2001
Fr 6 Nov 2002 We 26 Oct 2003
Su Shawwāl 8 Jan 2000 Sa 27 Dec 2000
We 16 Dec 2001
Su 5 Dec 2002 Th 25 Nov 2003
Tu Dhū ’l‐Qa‘da 7 Feb 2000 Mo 26 Jan 2001
Fr 15 Jan 2002
Tu 4 Jan 2003 Sa 24 Dec 2003
We Dhū ’l‐Hijja 7 Mar 2000 24 Feb 2001
Sa 13 Feb 2002
We 2 Feb 2003 Su 23 Jan 2004
Fr Tu First day of the Islamic month according to the Umm al­Qura calendar (1425 AH to 1429 AH) Month 1425 1426 1427 1428 1429 Muharram 21 Feb 2004 Sa 10 Feb 2005
Th 31 Jan 2006
Tu 20 Jan 2007 Sa 10 Jan 2008
Th Safar 22 Mar 2004 Mo 11 Mar 2005
Fr 1 Mar 2006
We 19 Feb 2007 Mo 8 Feb 2008
Fr Rabī‘ al‐Awwal 20 Apr 2004 Tu 10 Apr 2005
Su 30 Mar 2006
Th 20 Mar 2007 Tu 9 Mar 2008
Su Rabī‘ al‐Ākhir 20 May 2004 Th 9 May 2005
Mo 29 Apr 2006
Sa 18 Apr 2007 We 7 Apr 2008
Mo Jumādā ’l‐Ūlā 19 Jun 2004 Sa 8 Jun 2005
We 28 May 2006
Su 18 May 2007 Fr 6 May 2008
Tu Jumādā ’l‐Ākhira 18 Jul 2004 Su 7 Jul 2005
Th 26 Jun 2006
Mo 16 Jun 2007 Sa 5 Jun 2008
Th Rajab 17 Aug 2004 Tu 6 Aug 2005
Sa 26 Jul 2006
We 15 Jul 2007 Su 4 Jul 2008
Fr Sha‘bān 15 Sep 2004 We 5 Sep 2005
Mo 25 Aug 2006
Fr 14 Aug 2007 Tu 2 Aug 2008
Sa Ramadān 15 Oct 2004 Fr 4 Oct 2005
Tu 24 Sep 2006
Su 13 Sep 2007 Th 1 Sep 2008
Mo Shawwāl 14 Nov 2004 Su 3 Nov 2005
Th 23 Oct 2006
Mo 13 Oct 2007 Sa 1 Oct 2008
We Dhū ’l‐Qa‘da 13 Dec 2004 Mo 3 Dec 2005
Sa 22 Nov 2006
We 11 Nov 2007 Su 30 Oct 2008
Th Dhū ’l‐Hijja 12 Jan 2005 We 1 Jan 2006
Su 22 Dec 2006
Fr 11 Dec 2007 Tu 29 Nov 2008
Sa 67 Seminar Nasional Hilal 2009
First day of the Islamic month according to the Umm al­Qura calendar (1430 AH to 1434 AH) Month 1430 1431 1432 1433 1434 Muharram 29 Dec 2008 Mo 18 Dec 2009
Fr 7 Dec 2010
Tu 26 Nov 2011
Sa 15 Nov 2012 Th Safar 27 Jan 2009 Tu 16 Jan 2010
Sa 5 Jan 2011
We 26 Dec 2011
Mo 14 Dec 2012 Fr Rabī‘ al‐Awwal 26 Feb 2009 Th 15 Feb 2010
Mo 4 Feb 2011
Fr 24 Jan 2012
Tu 13 Jan 2013 Su Rabī‘ al‐Ākhir 28 Mar 2009 Sa 17 Mar 2010
We 6 Mar 2011
Su 23 Feb 2012
Th 11 Feb 2013 Mo
Jumādā ’l‐Ūlā 26 Apr 2009 Su 15 Apr 2010
Th 5 Apr 2011
Tu 24 Mar 2012
Sa 13 Mar 2013 We
Jumādā ’l‐Ākhira 25 May 2009 Mo 15 May 2010
Sa 4 May 2011
We 22 Apr 2012
Su 11 Apr 2013 Th Rajab 24 Jun 2009 We 13 Jun 2010
Su 3 Jun 2011
Fr 22 May 2012
Tu 11 May 2013 Sa Sha‘bān 23 Jul 2009 Th 13 Jul 2010
Tu 2 Jul 2011
Sa 21 Jun 2012
Th Ramadān 22 Aug 2009 Sa 11 Aug 2010
We 1 Aug 2011
Mo 20 Jul 2012
Fr 9 Jul 2013 Tu Shawwāl 20 Sep 2009 Su 10 Sep 2010
Fr 30 Aug 2011
Tu 19 Aug 2012
Su 8 Aug 2013 Th Dhū ’l‐Qa‘da 20 Oct 2009 Tu 9 Oct 2010
Sa 29 Sep 2011
Th 17 Sep 2012
Mo 7 Sep 2013 Sa Dhū ’l‐Hijja 18 Nov 2009 We 7 Nov 2010
Su 28 Oct 2011
Fr 17 Oct 2012
We 6 Oct 2013 Su 10 Jun 2013 Mo
Keterangan: (Mo = Monday, Tu = Tuesday, We = Wednesday, Th = Thursday, Fr = Friday, Sa = Saturday, Su = Sunday). Warna biru menunjukkan bulan pendek (29 days) dan warna pink untuk menunjukkan bulan panjang (30 days)). Keterangan visibilitas hilal berdasarkan kriteria Odeh pada masing‐masing awal bulan di atas dapat dilihat pada tabel berikut ini. Warna Keterangan Hilal pada sore hari dapat dilihat dengan mata telanjang. Hilal dapat dilihat pada sore hari apabila menggunakan teropong Hilal tidak dapat dilihat pada sore hari, pada kondisi demikian maka menururt Odeh Harus Istikmal. Bulan Qamariyyah mulai sebelum terjadinya ijtima’ (konjungsi) 68 Seminar Nasional Hilal 2009 TANYA-JAWAB & DISKUSI 2
Pemateri Sesi 2:
4. Bapak Jayusman
5. Bapak Moedji Raharto
6. Bapak Nur Aris
Pertanyaan :
- (Dadang Syarifudin Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat)
1. Pernyataan Æ Titik awal pemberangkatannya bukan pada hilal tetapi pada
pemahaman dalil syari. Dengan metode pendekatan yang berbeda dapat
menimbulkan hukum yang berbeda. Muhammadiyah melihat adalah satu cara
bukan sebuah substansi. Esensi nya adalah hilal sudah diyakini ada. Sababul
hukmi, yaitu sesuatu ada maka hukum akan ada dan sesuatu tidak ada maka
tidak ada hukumnyasebaliknya. Yang dijadikan sebab hukum adalah
keberadaannya hilalnya.
- (Haerudin dari Karawang pemerhati dan pecinta ilmu falak)
1. Dari semua pemakalah, dilihat beberapa hal : tentang penentuan awal dengan
bulan purnama secara akliyah dapat diterima tetai secara syar’i sangat jauh.
Dilihat juga bahwa jika dari pak Aris dan pak Suwandoyo digabung maka akan
punya nilai lebih. Saya menawarkan bagaimana jika menyatukan Shirah
Nabawiyah dari bapak Suwandoyo dan dari bapak Aris dengan teorinya?
Jawaban dari Bapak Jayusman
Interpretasi tentang masalah syariah bukan masalah tafsir tapi dzonni. Hilal itu telah ada
walau tidak terlihat. Berbeda dengan Rukyat, definisinya memang dapat terlihat dengan
kriteria minimal 4 derajat jika jaraknya jauh dari Matahari. Perlu penelitian lebih lanjut ke
masa Rasulullah tentang bulan Ramadhan 29 hari dan 30 hari yang merupakan 29 hari
yang disempurnakan (isti’mal).
Jawaban dari Bapak Moedji Raharto
Sederhana saja, dari sains, untuk menjaga satu kosistensi agar tidak bersikap generate
karena jika melihat sikap bulan dan matahari pastilah tidak akan sama,akan ada banyak
sekali kalendar yang harus kita buat. Jika kita mau kosisten, ya bisa saja kita sepakati
bersama, jika rukyat ya rukyat saja. Mungkin kita terpengaruhi dengan kondisi kalendar
syamsiah yang begitu konsisten.
Jawaban dari Bapak Nur Aris
Persoalan ideologis memang harus diselesaikan terlebih dahulu karena walaupun dengan
hadist yang sama tetapi jika dilihat dengan pandangan berbeda maka akan menghasilkan
suatu hal berbeda. Usul saya dapat kita atur dengan aturan teknis, kapan bulan itu masuk
dan mulai, maksud saya ada unsur universalitas yang berlaku untuk hal tersebut. Sekian
begitu saja.
69
Seminar Nasional Hilal 2009
70 Seminar Nasional Hilal 2009 PRESENTASI & DISKUSI II SESI 3 7. Taufiq Hidayat 8. Muhammad Husni 9. M. Ma’rufin Sudibyo Tanya‐Jawab & Diskusi 3 71
Seminar Nasional Hilal 2009 72 Seminar Nasional Hilal 2009
Latar Belakang
• Salah satu item program dalam Proposal
Space Science Center 2006 –
Observatorium Bosscha FMIPA-ITB
• Inisiatif Menkominfo; Kunjungan ke ITB 29
Juli 2007
Sistem Informasi
Hisab-Rukyat
Taufiq Hidayat
Tim Observatorium Bosscha
FMIPA - ITB
Latar Belakang
Latar Belakang
• Persiapan teknis (awal Agustus 2008)
Latar Belakang
• Kunjungan Menkominfo ke Observatorium
Bosscha, 6 Agustus 2007
73
Seminar Nasional Hilal 2009
Latar Belakang
Latar Belakang
• Pengamatan hilal 1 Sya’ban
• Siaran langsung Gerhana Bulan Total 28
Agustus 2007 dengan TVRI
Lembaga yang Terlibat
•
•
•
•
•
•
•
Sistem Informasi
Observatorium Bosscha – ITB
Depkominfo
Depag
Telkom
Telkomsel
TVRI
Perguruan Tinggi Mitra (2007: ITS, 2008:
…)
Konsep
• Memanfaatkan media web dan televisi
• Web server di ITB dengan mirror di
Telkom
• Informasi
I f
i ilmiah
il i h secara sederhana
d h
• Menggunakan software open source
• Memanfaatkan teknologi informasi bagi
pembelajaran pengamatan hilal
• Menggunakan metodologi astronomi
properly: observationally and
computationally
• Menggunakan peralatan yang sederhana,
low-cost, dan mudah didapat di manamana
74
Seminar Nasional Hilal 2009
• Memberikan data, masukan bagi sidang
Istbat di Jakarta
• Dengan pengamatan reguler, membangun
basis data hilal
• Telah dilakukan: Soe, Kupang, Makasar,
Condrodipo, Tanjung Kodok, Semarang,
Bosscha, Lhoknga
• Semakin baik jika semakin banyak lokasi
berpartisipasi
http://bosscha.itb.ac.id/hilal
Cuaca
Simulasi: Stellarium
Siaran Langsung…
75
Seminar Nasional Hilal 2009
Relay Depkominfo
Arsip
Salah satu hasil…
TERIMA KASIH
76
Seminar Nasional Hilal 2009 PERAN SERTA BMKG DALAM KEGIATAN HISAB DAN RUKYAT DI INDONESIA Muhammad Husni1 dan Rukman Nugraha1 1Bidang Geofisika Potensial dan Tanda Waktu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jl. Angkasa I No. 2, Kemayoran, Jakarta Pusat ­ Indonesia e­mail: [email protected], [email protected] Abstrak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) adalah salah satu lembaga pemerintah yang terlibat aktif dalam kegiatan hisab dan rukyat di Indonesia sebagai anggota Badan Hisab dan Rukyat (BHR). Sejak awal berdirinya BHR, BMKG menyampaikan data terbit terbenam Matahari dan Bulan, fase­fase Bulan, peta ketinggian Hilal 0o untuk seluruh dunia, dan data ketinggian Hilal di kota­kota provinsi khusus untuk bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Selain itu, BMKG juga menginformasikan cuaca lokasi rukyat. Mulai tahun ini, peran serta BMKG dalam kegiatan hisab dan rukyat di Indonesia bertambah, yaitu mulai melakukan rukyat Hilal dan gerhana secara mandiri. BMKG juga turut serta dalam kegiatan pengamatan Hilal awal Ramadhan dan awal Syawal 1430 H berbasis teknologi informasi yang digagas oleh Depag, Depkominfo, Observatorium Bosscha ITB dan beberapa institusi terkait. Dalam kegiatan ini, selain menyampaikan data astronomis Hilal dan peta ketinggian Hilal di Indonesia untuk awal kedua bulan tersebut, BMKG juga melakukan pengamatan Hilal di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat serta menginformasikan prediksi kondisi cuaca di semua lokasi pengamatan. Pada masa depan, peran serta BMKG dalam kegiatan hisab dan rukyat direncanakan akan terus ditingkatkan, yang pada khususnya adalah pengintegrasian sistem informasi tanda waktu dan pengamatan Matahari dan Bulan di BMKG. Kata Kunci : Tanda Waktu, peran serta BMKG, Hisab‐Rukyat I.
Pendahuluan II.
Peran Serta BMKG dalam Kegiatan Hisab dan Rukyat di Indonesia Tahun 1972 – 2008 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merupakan Lembaga Pemerintah Non‐Departemen (LPND) yang salah satu fungsinya adalah pelayanan data dan informasi dalam hal tanda waktu. Tanda waktu di BMKG ini memiliki sejarah yang panjang sebagaimana sejarah BMKG. Sebagai contoh adalah bahwa sebelum 2002, BMKG merupakan bagian dari Departemen Perhubungan (Dephub) dan salah satu tugas tanda waktu dalam hal ini adalah penyampaian waktu standar untuk keperluan transportasi. Sebagai lembaga yang menentukan waktu standar, BMKG melakukan perhitungan‐perhitungan tanda waktu dan menyampaikan‐nya kepada masyarakat. Perhitungan‐perhitu‐ngan tersebut adalah waktu terbit dan terbenam Matahari dan Bulan untuk kota‐kota provinsi di Indonesia, posisi harian Matahari, fase‐fase Bulan, Garis Ketinggian Hilal 0o pada awal bulan Qomariah, data ketinggian Hilal di kota‐kota provinsi khusus untuk bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, dan data Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan serta kemungkinan teramatinya dari Indonesia. BMKG juga membuat Almanak yang berlaku untuk wilayah Indonesia. Karena itu, ketika Badan Hisab dan Rukyat (BHR) terbentuk pada 1972, peran serta BMKG adalah menyampaikan waktu standar, terutama untuk awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah. Peran serta BMKG dalam kegiatan hisab dan rukyat di Indonesia tersebut akan diuraikan lebih mendetail pada bagian berikutnya. Kami membaginya menjadi tiga bagian yaitu dalam kurun waktu 1972 – 2008, Saat ini, dan perencanaan ke depan. Jika dirunut sejak BHR berdiri, wakil BMKG di BHR adalah sebagai berikut: Drs. Susanto (1972 – 1987) Drs. M. Husni, Dipl. Seis. (1988 – 1992) Drs. Djoko Satudju, M.Si. (1993 – 2000) Drs. M. Husni, Dipl. Seis. (2001 – sekarang) Para wakil BMKG ini menyampaikan hasil‐hasil perhitungan tanda waktu yang berkaitan dengan hisab dan rukyat. Perhitungan‐perhitungan tersebut adalah: 1. Data terbit‐terbenam Matahari dan Bulan 2. Data fase‐fase Bulan 3. Peta ketinggian Hilal 0o untuk seluruh dunia 4. Data ketinggian Hilal di kota‐kota provinsi khusus untuk bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah 5. Informasi cuaca di lokasi rukyat 1.
2.
3.
4.
79
Seminar Nasional Hilal 2009
Berikut kami tampilkan contoh data‐data tersebut di atas. Pada Tabel 1 ditampilkan data terbit dan terbenam, baik untuk Matahari maupun Bulan, Fajar dan Senja untuk kota Palembang pada September 2008. Meskipun pada awalnya data semacam ini dipergunakan untuk keperluan penerbangan di bandara, data ini juga dapat digunakan untuk memperkirakan waktu subuh (fajar), magrib (matahari terbenam) dan isya (senja). Tentu saja koreksi‐koreksi diperlukan di sini agar penentuan waktu‐waktu sholat di atas tepat. Selain itu, data ini juga dapat dipergunakan untuk memperkirakan awal bulan qomariah yang bertepatan dengan bulan September tersebut, yaitu dengan membandingkan selisih waktu terbenam Bulan dan Matahari. Dalam Tabel 1, selisih terkecil antara keduanya adalah pada tanggal 15 September 2008. Tabel 1. Data terbit dan terbenam Matahari dan Bulan serta Fajar dan Senja untuk kota Palembang pada September 2008 Pada Tabel 2 ditampilkan data fase‐fase Bulan pada tahun 2005. Data ini pada awalnya diperlukan untuk kepentingan memperkirakan pasang surut air laut, mengingat pasang surut air laut berkaitan dengan fase‐fase Bulan. Namun demikian, dari data ini dapat diketahui waktu‐waktu ijtima awal bulan qomariah, yaitu fase Bulan baru. Tabel 2. Data fase‐fase Bulan pada tahun 2005 80
Seminar Nasional Hilal 2009 Pada Gambar 1. Ditampilkan peta ketinggian Hilal 0o untuk seluruh dunia saat Matahari terbenam tanggal 17 November 2009. Dari peta ini dapat diketahui daerah‐daerah di seluruh dunia yang waktu terbenam Bulan bersamaan dengan waktu terbenam Matahari, yaitu yang dinyatakan oleh garis berwarna hitam tebal. Pada peta ini juga ditampilkan ketinggian Hilal di Indonesia saat Matahari terbenam, yaitu dinyatakan oleh garis berwarna merah putus‐putus. BMKG memublikasikan peta ini setiap tahun dalam bentuk buku berjudul Garis Ketinggian Hilal 0o pada Awal Bulan Qamariah. Gambar 1. Peta Ketinggian Hilal 0o untuk seluruh dunia dan ketinggian Hilal di Indonesia saat Matahari terbenam tanggal 17 November 2009 Pada Tabel 3 ditampilkan data ketinggian Hilal saat Matahari terbenam di kota‐kota provinsi awal bulan Syawal 1428 H. Selain bulan Syawal, BMKG juga menampilkan data untuk bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah. Data ini sangat berguna untuk dipergunakan dalam pengamatan atau rukyat Hilal setiap awal bulan‐bulan tersebut. Selain menyampaikan data yang berkaitan dengan tanda waktu, BMKG juga menginformasikan cuaca di lokasi rukyat. Tabel 3. Data ketinggian Hilal saat Matahari terbenam awal bulan Syawal 1428 H untuk beberapa kota di Indonesia 81
Seminar Nasional Hilal 2009
III.
Peran Serta BMKG dalam Kegiatan Hisab dan Rukyat di Indonesia Saat Ini Pada saat ini, penyampaian informasi tanda waktu bukan hanya dilakukan secara manual melalui buku Almanak BMKG dan Peta Ketinggian Hilal 0o serta informasi lainnya, namun juga melalui situs BMKG di www.bmkg.go.id. Hal ini dilakukan untuk lebih meningkatkan pelayanan data tanda waktu yang diemban oleh BMKG. Selain itu, peran serta BMKG dalam kegiatan hisab‐rukyat di Indonesia bukan hanya dalam hal penyampaian informasi yang berkaitan dengan tanda waktu dan cuaca, namun juga mulai melakukan pengamatan Hilal. Hal ini dimungkinkan karena sejak 2008 BMKG mempunyai teleskop yang dapat dipergunakan untuk pengamatan Hilal dan Matahari. Pada 26 Januari 2009, BMKG melakukan pengamatan Gerhana Matahari Cincin di Gunung Sugih, provinsi Lampung secara mandiri. Dalam pengamatan Hilal awan bulan Qamariah pun BMKG sudah bisa melakukannya secara mandiri dan rutin. Pada gambar 2 ditampilkan citra Hilal awal Rajab 1430 H yang berhasil direkam oleh BMKG. Lokasi pengamatan Hilal saat tersebut adalah di atap gedung operasional baru BMKG pusat, Jakarta. Gambar 2. Citra Hilal hari ke‐2 Rajab 1430 H BMKG juga turut serta dalam kegiatan pengamatan Hilal awal Ramadhan dan awal Syawal 1430 H berbasis teknologi informasi yang digagas oleh Depag, Depkominfo, Observatorium Bosscha ITB dan beberapa institusi terkait. Dalam pengamatan Hilal secara serentak di sembilan lokasi rukyat ini, BMKG: 1. Menyampaikan peta ketinggian Hilal awal Ramadhan dan awal Syawal 1430 H di Indonesia saat Matahari terbenam 2. Menyampaikan Informasi astronomis Hilal di semua lokasi rukyat 3. Menyampaikan informasi cuaca untuk setiap lokasi rukyat 4. Melakukan pengamatan Hilal di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Pada Gambar 3 ditampilkan peta ketinggian Hilal di Indonesia saat Matahari terbenam tanggal 19 September 2009. Pada peta ini, gradasi warna menunjukkan ketinggian Hilal yang dinyatakan dalam derajat. Semakin berwarna merah, semakin tinggi Hilal dari horison saat Matahari terbenam di tempat tersebut. Gambar 3. Peta ketinggian Hilal di Indonesia saat Matahari terbenam tanggal 19 September 2009 82
Seminar Nasional Hilal 2009 Pada Tabel 4 ditampilkan informasi astronomis Hilal di semua lokasi rukyat dan kota Jakarta. Komposisi Tabel 4 ini berbeda dengan isi Tabel 3, mengingat pada Tabel 4 posisi Matahari dan Bulan hanya dinyatakan pada tata koordinat Horison (Azimuth, Altitude). Adapun pada tabel 3, posisi Matahari dan Bulan dinyatakan juga dalam tata koordinat Equator I (LHA, Deklinasi). Selain itu, pada Tabel 3 posisi Bulan saat Matahari terbenam merupakan selisih azimuth antara Matahari dan Bulan. Hal ini berbeda dengan yang ditampilkan pada Tabel 4, yaitu Elongasi, yang merupakan jarak sudut antara posisi Bulan dan Matahari, saat Matahari terbenam. Tabel 4. Informasi astronomis Hilal awal Syawal 1430 H untuk lokasi‐lokasi rukyat dan Jakarta Dalam pengamatan yang dilakukan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi Jawa Barat, pada Kamis, 20 Agustus 2009, Hilal tidak teramati karena ketinggiannya pada saat itu masih negatif, yaitu –1.892o. Kondisi cuaca di langit sebelah Barat pada saat pengamatan dilakukan cukup cerah sehingga Matahari dapat diamati. Adapun kondisi kondisi langit sebelah Barat pada sore hari 21 Agustus 2009 berawan sehingga Hilal tidak berhasil diamati. Demikian juga kondisi langit pada Sabtu, 19 September 2009 yang cukup berawan menyebabkan Hilal belum berhasil diamati oleh tim rukyat BMKG. IV.
Perencanaan Tanda Waktu BMKG ke Depan V.
Kesimpulan Pada masa depan, peran serta BMKG dalam kegiatan hisab–rukyat di Indonesia diharapkan semakin meningkat. Selain melanjutkan kegiatan‐kegiatan sebagaimana diuraikan di atas, BMKG juga berencana untuk mengintegrasikan sistem informasi tanda waktu dan pengamatan Matahari dan Bulan di BMKG. Contoh kegiatan yang terkait dengan hisab‐rukyat untuk mendukung hal tersebut adalah: 1. Melakukan pengamatan Hilal setiap awal bulan qomariah dan gerhana. 2. Berperan serta dalam melakukan kajian visibilitas Hilal di Indonesia; termasuk di dalamnya adalah kajian efek atmosfer terhadap visibilitas Hilal. 3. Melakukan kajian untuk penentuan lokasi pengamatan Hilal yang tetap. 4. Melakukan pengamatan posisi Matahari dan Bulan (bukan hanya Hilal awal Bulan). Perencanaan‐perencanaan tersebut didasari oleh hadirnya Undang‐undang Meteorologi Klimatologi dan Geofisika no 31 tahun 2009 yang semakin menegaskan tugas pokok dan fungsi BMKG dalam hal tanda waktu, yaitu bukan hanya dalam hal penentuan sistem waktu standar namun juga dalam hal pengamatan posisi Matahari dan Bulan. Dengan hadirnya UU MKG tersebut, diharapkan pada masa depan peran serta BMKG dalam kegiatan hisab dan rukyat di Indonesia akan semakin meningkat. Pada tulisan ini telah diuraikan peran serta BMKG dalam kegiatan hisab‐rukyat di Indonesia sejak 1972 hingga saat ini, yaitu menginformasikan data terbit terbenam Matahari dan Bulan, fase‐fase Bulan, peta ketinggian Hilal 0o untuk seluruh dunia, peta ketinggian Hilal di Indonesia saat Matahari terbenam dan data ketinggian Hilal di kota‐kota provinsi khusus untuk bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah serta informasi cuaca di lokasi rukyat. BMKG juga melakukan pengamatan Hilal dan gerhana, baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan institusi lain. Pada masa depan, peran serta BMKG dalam kegiatan hisab dan rukyat direncanakan akan terus ditingkatkan, khususnya dalam hal pengintegrasian sistem informasi tanda waktu dan pengamatan Matahari dan Bulan di BMKG. 83
Seminar Nasional Hilal 2009
OBSERVASI HILAAL 1427–1430 H (2007–2009 M) DAN IMPLIKASINYA
UNTUK KRITERIA VISIBILITAS DI INDONESIA Muh. Ma’rufin Sudibyo 1, Mutoha Arkanuddin 1, AR Sugeng Riyadi1 1 Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF–RHI)
Jl. Gejayan Soropadan CC XII/04 Depok Sleman Yogyakarta 55283, Telp. / Fax : (0274) 552630
e­mail address: [email protected] Abstrak Telah dilaksanakan observasi hilaal dan hilaal tua selama periode Zulhijjah 1427–Zulhijjah 1430 H (Januari 2007–Desember 2009) oleh jejaring titik observasi Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) yang merentang dari lintang 5° LU hingga 31° LS, dengan ataupun tanpa bantuan alat bantu optik. Observasi menghasilkan 174 data visibilitas yang terdiri dari 107 visibilitas positif dan 67 visibilitas negatif. Analisis korelasi linier Lag dengan Best Time Bulan menghasilkan definisi baru tentang hilaal, yaitu Bulan pasca konjungsi yang memiliki Lag ≤ 24 menit hingga Lag ≥ 40 menit saat Matahari terbenam. Hubungan Best Time dan Lag memenuhi persamaan linear Yallop hanya untuk Lag ≤ 40 menit. Analisis korelasi aD dan DAz dengan metode least–square menghasilkan persamaan kriteria RHI aD ≥ 0,099 DAz2–1,490 DAz + 10,382 yang bentuknya hampir sama dengan kriteria LAPAN, namun sangat berbeda dibanding kriteria Fotheringham–Maunder maupun Bruin. Analisa komparatif menyimpulkan asumsi yang dipergunakan “kriteria” Imkanur Rukyat (MABIMS) dan wujudul hilaal tidak terbukti. Sebaliknya, terdapat kesesuaian antara hasil observasi dengan kriteria Odeh. Kata Kunci : hilaal, kriteria visibilitas, kriteria RHI I. Pendahuluan Salah satu masalah klasik yang senantiasa mengemuka khususnya menjelang tibanya bulan–bulan suci Islam seperti Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah adalah adanya perbedaan di internal Umat Islam dalam menentukan tanggal 1 bulan (lunasi) Hijriyyah. Masalah tersebut pun tumbuh di Umat Islam di Indonesia. Sumber utama perbedaan ini terletak pada beda definisi hilaal, baik dalam ranah empiris ilmiah maupun sosio–psikologis. Secara empiris ilmiah terjadi “perpisahan” antara model matematis gerak Bulan atau biasa diistilahkan dengan hisab, dengan praktik observasi yang dapat dipercaya atau biasa diistilahkan dengan rukyat. Hisab dan rukyat seolah–olah diposisikan saling berseberangan sehingga “jembatan” penghubung diantara keduanya, yakni kriteria visibilitas hilaal, yang merupakan batas minimum prediktif yang valid1 dan reliabel2 bagi terlihatnya hilaal dengan mata dalam kondisi yang diidealkan menjadi terabaikan. Sehingga terjadi pergeseran paradigma dari yang semula mendefinisikan hilaal sebagai hilaal empirik3 menjadi hilaal asumtif4 yang hanya mendasarkan hilaal pada asumsi/hipotesis tertentu menurut hisab atau rukyat. Sementara secara sosio–psikologis terjadi situasi dimana di satu sisi terdapat pendapat matla’ lokal yang beranggapan keterlihatan hilaal hanya berlaku untuk satu wilayah tertentu, sementara di sisi yang lain terdapat pendapat matla’ global dimana keterlihatan hilaal berlaku untuk seluruh wilayah di Bumi. Dalam sisi matla’ lokal pun muncul perbedaan pendapat tentang penggunaan wilayatul hukmi, yakni kondisi dimana keterlihatan hilaal diberlakukan secara homogen ke dalam satu wilayah hukum meski hanya terlihat di sebagian daerah didalamnya saja. Ini kian dikacaukan oleh bias dalam mendefinisikan hari terutama pasca Konferensi Meridian Internasional 1884 yang menetapkan garis–garis bujur di Bumi dengan garis 0° melintasi Greenwich (Inggris) dan garis 180° sebagai Garis Tanggal Internasional (International Date Line) dalam kalender Syamsiyyah (Gregorian) yang ditetapkan melintasi pertengahan Samudera Pasifik. Sehingga terdapat kerancuan di Dunia Islam antara definisi hari versi kalender Syamsiyyah yang menetapkan transisi (pergantian) hari pada pukul 24:00 waktu setempat dengan definisi hari versi kalender Qamariyyah (Hijriyyah) yang menetapkannya pada saat Matahari terbenam (sunset) waktu setempat. Hingga saat ini belum ada penyelesaian konstruktif untuk mengatasi perbedaan demi perbedaan tersebut meski sejumlah usulan telah dilontarkan. Di Indonesia, hisab digunakan oleh diantaranya Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) sementara rukyat diadopsi diantaranya oleh Nahdlatul ‘Ulama [1]. Secara kuantitatif anggota Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama menempati persentase terbesar Umat Islam Indonesia, sehingga perbedaan penentuan tanggal 1 lunasi Hijriyyah di antara keduanya akan berimplikasi signifikan terhadap perbedaan dalam Umat Islam Indonesia5. 1 Valid bermakna sahih, dimana terdapat bukti yang kuat dan tidak bertentangan antara teori astronomi yang telah baku dengan hasil pengamatan. Reliabel berarti bisa dibuktikan dengan hasil observasi kapanpun dan dimanapun asal kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi.
3 Hilaal empirik adalah istilah penulis bagi hilaal definitif yang didukung oleh data observasi dan ditunjang model matematis terkini pada zamannya. Secara singkat hilaal empirik merupakan “hilaal yang benar.” 4
Hilaal empirik adalah istilah penulis bagi hilaal definitif yang yang hanya mendasarkan hilaal pada asumsi/hipotesis tertentu menurut hisab atau rukyat. Secara singkat hilaal empirik merupakan “hilaal yang tidak benar.”
5 Perbedaan 1 Hijriyyah, khususnya pada periode sebelum 1998, juga disebabkan oleh faktor sosio–politis: sebagai ‘perlawanan sunyi’ Nahdlatul ‘Ulama terhadap rezim Orde Baru (Izzudin, 2009, komunikasi personal). 2 84
Seminar Nasional Hilal 2009 Muhammadiyah menggunakan hisab sebagai pedoman penyusunan kalender Hijriyyahnya (jadi bukan semata hanya untuk menentukan bulan–bulan suci) dengan berdasar pada Kitab Keputusan Wiradesa 1973, meski upaya untuk membakukannya telah dirintis sejak lama misalnya oleh K.H. Ahmad Dahlan maupun K.H. Ahmad Badawi [2]. Hisab yang digunakan adalah hisab haqiqi6 dengan “kriteria” wujudul hilaal7 tanpa wilayatul hukmi. “Kriteria” ini memiliki bentuk sangat sederhana, dimana diasumsikan hilaal sudah terbentuk (wujud) ketika selisih terbenamnya Matahari dan terbenamnya Bulan (Lag Bulan) ≥ 0 menit secara geosentrik8. Dan bila garis Lag = 0 menit tepat melintasi wilayah Indonesia, maka daerah di sebelah timur garis ini akan memasuki tanggal 1 Hijriyyah dalam sehari lebih lambat ketimbang daerah yang ada di sebelah baratnya. Muhammadiyah tergolong konsisten dalam menggunakan hisab meski dalam kasus tertentu terdapat deviasi lokal9. Sementara Nahdlatul ‘Ulama awalnya menggunakan rukyat murni tanpa adanya limitasi yang ditujukan untuk menetapkan awal lunasi Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah semata, khususnya pada periode sebelum 1998 meskipun beberapa kitab ilmu falak rujukan dengan jelas memuat batasan minimal hilaal10. Pada saat itu setiap laporan rukyat akan diterima tanpa diverifikasi terlebih dahulu apakah yang terlihat adalah hilaal asli11 ataukah hilaal palsu12. Pasca 1998 barulah Nahdlatul ‘Ulama menerapkan limitasi guna menyaring laporan rukyat, dimana rukyat dilaksanakan dengan basis hisab sehingga observasi diarahkan ke titik–titik di langit barat yang telah diprediksikan sebagai lokasi hilaal oleh hisab. Tidak semua laporan hilaal langsung diterima karena harus diproses lewat lembaga khusus yang disebut Lajnah Falakiyyah13. Namun keputusan penetapan tanggal 1 Hijriyyah tetap berdasarkan pada teramati tidaknya hilaal yang diaplikasikan secara wilayatul hukmi. Mayoritas kalangan di Nahdlatul ‘Ulama menerima “kriteria” yang digagas Departemen Agama RI sebagai perangkat limitasi rukyat sekaligus sebagai basis penyusunan kalender Hijriyyahnya. Namun Nahdlatul ‘Ulama tidak monolit sehingga terdapat selalu terdapat deviasi dari tahun ke tahun14. Guna menjembatani hisab dengan rukyat dan khususnya untuk menyatukan pendapat antara Muhammadiyah dan nahdlatul ‘Ulama, Pemerintah melalui Departemen Agama RI pada 1998 menggagas “kriteria” Imkanur Rukyat atau MABIMS (karena kemudian disepakati pula oleh Menteri–Menteri Agama Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia dan Singapura). “Kriteria” ini memiliki formula: a. tinggi Bulan (h) ≥ 2° atau separasi altitude Bulan dan Matahari ≥ 3°, b. jarak Bulan–Matahari (elongasi) ≥ 3°, dan c. umur Bulan saat Matahari terbenam ≥ 8 jam setelah konjungsi [1]. “Kriteria” ini merupakan basis penyusunan kalender Hijriyyah dan taqwim standar oleh Departemen Agama RI dan sekaligus berperan sebagai filter untuk mengevaluasi laporan–laporan rukyatul hilaal melalui forum sidang itsbat dalam penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Zulhijjah. “Kriteria” ini diberlakukan secara wilayatul hukmi untuk Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, yang didasarkan pada elemen posisi Bulan menurut laporan rukyatul hilaal 29 Juni 1984 guna penentuan 1 Syawwal 1404 H. Saat itu hilaal dilaporkan terlihat di Jakarta, Pelabuhan Ratu (Jabar) dan Parepare (Sulsel) dengan tinggi Bulan ≈ 2°. Nilai inilah yang kemudian dipergunakan dengan mengambil asumsi bahwa hilaal berpotensi terlihat (imkan rukyat) ketika ketinggian Bulan 2° secara homogen (tanpa mempedulikan besarnya selisih azimuth Bulan dengan Matahari). Namun “kriteria” ini kontroversial karena pada 29 Juni 1984 di langit barat terdapat Venus dan Merkurius yang posisinya berdekatan dengan Bulan. Kedua benda langit ini berpotensi teramati sebagai hilaal palsu yang mengecoh pengamat [1], karena kecerahannya (brightness) puluhan hingga ratusan kali lipat lebih besar sehingga memiliki kontras lebih besar dibanding hilaal yang berakibat lebih mudah dilihat dibanding hilaal asli15. Di sisi lain, posisi Bulan tersebut masih jauh di bawah ambang batas hilaal empirik baik ditinjau dari teori falak klasik maupun kontemporer. Sehingga “kriteria” Imkanur Rukyat, meski di satu sisi dicetuskan sebagai pemersatu Umat Islam Indonesia, di sisi yang lain menemui kendala dalam hal validitas dan reliabilitasnya. Perkembangan terakhir menunjukkan “kriteria” ini kurang dipatuhi baik di tingkat Asia Tenggara16 maupun di dalam negeri, termasuk oleh Muhammadiyah17. 6 Yakni sistem hisab yang berdasarkan pada kondisi Bulan secara apa adanya, bukan berdasarkan pendekatan (taqrib) dengan menggunakan nilai rata–rata. Istilah yang tepat adalah wujudul qamar (lahirnya Bulan), sebab pada kondisi tersebut secara ilmiah Bulan sudah pasti telah lahir atau terbit, namun tidak demikian dengan hilaal, lihat [1]. 8 Adalah perhitungan dengan asumsi pengamat berada di pusat (inti Bumi), sehingga mengabaikan tinggi (elevasi) tempat dan dinamika atmosfer. 9 Sebagaimana pengamatan penulis pada aktivitas PC Muhammadiyah Gombong 2007–2009. 10 Misalnya dalam kitab Sullam al–Nayyirain, yang dipelajari oleh hampir semua pesantren di lingkungan NU, yang membatasi hilaal sebagai Bulan dengan irtifa’ (tinggi) minimal 5°. 11 Hilaal asli adalah istilah penulis untuk hilaal yang sebenarnya, yakni sabit Bulan dalam fase tertipis yang sudah bisa dilihat dengan mata. 12 Hilaal palsu adalah istilah penulis untuk benda langit yang terang mirip hilaal dalam wujud obyek di langit latar depan seperti lampu kapal, lampu mercusuar, lampu menara seluler, bentuk awan tertentu dan sebagainya maupun obyek di langit latar belakang seperti Merkurius, Venus, Mars, Jupiter maupun bintang terang yang bisa nampak pada saat senja tepat saat sunset seperti Sirius. Lihat juga [1].
13 Sebagai contoh, laporan rukyat 19 September 2009 untuk menentukan 1 Syawwal 1430 H dari Cakung dan Basmol (Jakarta), tidak diterima karena laporan bertentangan dengan kondisi langit Jakarta secara kuantitatif dan kualitatif yang pada saat bersamaan ternyata mendung, bahkan hujan. 14 Misalnya pada thariqah Naqsyabandiyah Padang (Sumbar), Naqsyabandiyah Kholidiyah Jombang (Jatim), an–Nadzir Gowa (Sulsel) dan kadangkala Syattariah Padang (Sumbar), yang kerapkali berbeda dengan keputusan LFNU. 15 Lihat Ma’rufin, 2007, milis RHI http://groups.yahoo.com/group/rukyatulhilal 16 Brunei Darussalam merayakan Idul Fitri dan Idul Adha 1430 H pada hari yang berbeda dibanding Indonesia, Singapura dan Malaysia. Lihat , 2009, milis ICOP http://groups/yahoo.com/group/ICOP 17 Muhammadiyah menganggap “kriteria” Imkanur Rukyat tidak ilmiah karena tidak didasarkan pada bukti yang kuat, meski bila ditelaah lebih lanjut, wujudul hilaal yang digunakan Muhammadiyah pun ternyata tidak ilmiah. Lihat [1]. 7 85
Seminar Nasional Hilal 2009
Upaya perbaikan telah diusulkan misalnya dalam bentuk kriteria LAPAN yang mempunyai bentuk [1]: a D ≥ 0,14 DAz 2 − 1,83DAz + 9,11 (1) Dengan aD = separasi altitude Bulan–Matahari dan DAz = separasi azimuth Bulan–Matahari. Kedua variabel tersebut berdasarkan kondisi toposentrik dan airless18. Kriteria RHI bermakna bahwa aD bervariasi dari minimum 3,12° (terjadi pada DAz = 6,54°) hingga maksimum 9,11° (terjadi pada DAz = 0°). Bila atmosfer diperhitungkan, maka untuk dataran rendah (hingga elevasi 30 m dari permukaan laut dimana Matahari terbenam didefinisikan sebagai kondisi ketika tinggi Matahari = –1°) maka tinggi Bulan dalam kondisi hilaal tidak homogen melainkan bervariasi dari 2,12° hingga 8,11°. Kriteria LAPAN disusun dari 38 laporan rukyatul hilaal yang diakumulasi Departemen Agama RI selama periode 30 tahun (1967–1997), yang setelah mengalami reduksi data tinggal menyisakan 11 data yang dianggap valid19. Kecilnya data, adanya perbedaan bentuk antara kriteria LAPAN dengan kriteria visibilitas lainnya khususnya yang berbasiskan separasi azimuth dan altitude serta adanya harapan untuk menyatukan kalender Umat Islam khususnya di Indonesia mendorong Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) melaksanakan kampanye observasi hilaal dan hilaal tua secara menerus sejak Zulhijjah 1427 H / Januari 2007 M. II. Kriteria Visibilitas Bulan merupakan satu–satunya satelit alami yang dimiliki Bumi dan telah dikenal manusia sejak awal peradaban. Bulan memiliki karakteristik orbit dan fisik sebagai berikut : Tabel 1. Karakter fisik dan orbit Bulan 1. Fisik [3] Nilai Deskripsi Diameter ekuator
3.476 km
Massa (Bumi = 1)
0,074
Gravitasi (Bumi = 1) 0,165
Densitas* 3,34 g/cm3
Kemiringan sumbu
3,6–6,7° 2. Orbit [4,5] Deskripsi Nilai Jarak dari Bumi* 384.400 km
ksentrisitas 0,0549
Inklinasi (dari ekliptika) 5° 09’ Periode rotasi 27,322 hari
Periode sideris 27,322 hari
Periode sinodis**
29,531 hari
Kecepatan orbital* 1,02 km/detik
Siklus nodal 18,61 tahun
Siklus apsides 8,85 tahun
* : Nilai rata–rata. ** : Nilai rata–rata. Periode sinodis Bulan sebenarnya bervariasi antara 29,2679 hari hingga 29,8376 hari. Orbit Bulan sebenarnya lebih komplikatif dari yang dipaparkan dalam tabel (1) karena bergantung posisi relatif planet dekat Bumi seperti Venus dan Mars. Efek gravitasi keduanya demikian signifikan sehingga orbit Bulan menderita variasi sekular dan variasi periodis. Variasi sekular ditunjukkan oleh variasi inklinasi + 0° 09’, variasi eksentrisitas + 0,0117 dan kecepatan resesi 3,82 cm/tahun. Pengaruh variasi sekular nampak misalnya dalam 620 juta tahun silam saat Bulan lebih dekat ke Bumi (jarak rata–rata 380.900 km) sehingga periode sinodisnya 30,5 hari, periode sideris 28,3 hari, siklus nodal 19,5 tahun, siklus apsides 9,7 tahun dan periode rotasi Bumi menjadi 21,9 jam yang berimplikasi pada jumlah hari dalam 1 tahun Syamsiyyah menjadi 400 hari [5]. Sementara variasi periodis ditunjukkan oleh osilasi titik nodal + 1° 40’ dan osilasi perigee20 + 12° 20’. Meski demikian variasi sekular tidak penting artinya dalam masa peradaban manusia khususnya dalam 10.000 tahun terakhir. Sehingga periode sinodis Bulan relatif tidak berubah secara dramatis. Konsekuensinya perubahan bentuk Bulan (fase Bulan) memiliki siklus yang khas dan selalu berulang, yang kemudian digunakan sebagai patokan kalender. Kalender Bulan (lunar), baik dalam bentuk lunar murni maupun lunisolar, telah 18 Toposentrik = kondisi dimana pengamat diasumsikan berada di permukaan Bumi. Airless = kondisi atmosfer diasumsikan tidak ada. 19 Reduksi datanya melalui 2 tahap. Pertama, bila aD < 4° maka laporan bisa diterima jika berasal dari minimal 3 titik observasi yang berbeda dan tidak saling berdekatan. Reduksi ini membuat hanya 15 laporan yang lolos dari 38 laporan. Dan yang kedua, laporan yang lolos bisa diterima jika tidak berdekatan dengan Merkurius dan Venus. Akibatnya hanya 11 yang lolos dari 15 laporan. Lebih lengkap lihat [1]. 20 Titik terdekat dengan Bumi 86
Seminar Nasional Hilal 2009 digunakan oleh Umat Islam, bangsa Cina, Yahudi dan India serta suku–suku Indian yang secara keseluruhan mencakup sepertiga penduduk dunia. Pun dengan kebudayaan kuno seperti paleolitikum, neolitikum dan Babilonia [6]. Observasi hilaal yang tercatat telah dilakukan pada masa Babilonia khususnya sejak 568 SM yang dilaksanakan saat Matahari terbenam setelah terjadinya konjungsi Bulan dan Matahari (ijtima’). Dalam periode ini dihasilkan kriteria visibilitas generasi pertama yang kini dikenal sebagai kriteria Babilon [7,8]. Kriteria ini memiliki bentuk sangat sederhana, yakni separasi right ascension Bulan dan Matahari (aS) ≥ 12°. Bagi Lembah Mesopotamia dimana kebudayaan Babilonia terletak (lintang 23° LU), kriteria tersebut bisa diterjemahkan sebagai Lag ≥ 48 menit. Secara terpisah kriteria ini juga ditemukan dalam kebudayaan India meski pada masa lebih kemudian yakni abad ke–6 M. Selama 25 abad kemudian kriteria visibilitas terus dikembangkan, yang secara grais besar terbagi ke dalam kriteria visibilitas empirik21 dan kriteria visibilitas fisik22. Kalender lunar murni dalam penanggalan Islam mulai diperkenalkan pada 632 M menjelang wafatnya Rasulullah SAW dan pada 637/638 M ditetapkan penggunaannya secara resmi oleh khalifah Umar ibn Khattab RA dengan nama kalender Hijriyyah, mengacu pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW sehingga tahun terjadinya peristiwa tersebut (622 M) ditetapkan sebagai tahun nol Hijriyyah. Selanjutnya dengan kian berkembangnya peradaban Islam, cendekiawan Muslim mulai membakukan tradisi mengobservasi hilaal dan berinovasi dengan menyusun kriteria visibilitas empirik yang secara garis besar terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan visibilitas hilaal sebagai fungsi elongasi (aL). Al–Khwarizmi (… –830 M) memelopori dengan mendeduksi hilaal sebagai Bulan dengan aL > 9,5°. Ibn Maimun (731–861 M) mengikuti langkah al–Khwarizmi serta memperhitungkan variabel musim semi dan musim gugur sembari memperkenal‐ kan besaran separasi altitude Bulan dan Matahari (aD) sehingga hilaal merupakan Bulan dengan 9° ≤ aL ≤ 24° dan aD + aL ≥ 22°. Ibn Qurra (826–901 M) membentuk ulang kriteria ibn Maimun menjadi 11° ≤ aL ≤ 25°. Sementara kelompok kedua merupakan cendekiawan yang tetap berpegangan pada kriteria Babilonia sebagai bentuk dasar. As–Sufi (… –986 M), ibn Sina, ath–Thusi (1258–1274 M) dan al–Kashani (abad ke–15 M) menggunakan bentuk asli kriteria Babilon (aS ≥ 12°) sementara al–Battani (850–929 M) dan al–Farghani memvariasikannya dengan merumuskan aS < 12° namun khusus untuk aL besar. Tetapi terdapat perkecualian. Al–Biruni misalnya, juga mengembangkan kriteria visibilitas empirik sebagai fungsi dari aD dan separasi azimuth (DAz) Bulan–Matahari. Cendekiawan Muslim juga mengembangkan sistem hisab urfi, yakni sebuah sistem perhitungan kalender sederhana yang menetapkan umur lunasi secara pasti (Muharram = 30 hari, Shaffar = 29 hari, Rabiul Awwal = 30 hari dan seterusnya) dalam setahun Hijriyyah dan mencakup sistem istilahi, dimana dalam 30 tahun Hijriyyah terdapat 11 tahun kabisat (berumur 355 hari) sementara sisanya adalah tahun biasa (berumur 354 hari). Sistem hisab urfi digunakan untuk menyusun kalender sepanjang tahun Hijriyyah meski penentuan awal lunasi tetap berdasarkan kriteria visibilitas.
Setelah mengalami stagnasi dari abad ke–15 hingga 18 M seiring runtuhnya peradaban Islam, riset hilaal memasuki babak baru seiring observasi Schmidt di Athena (Yunani) selama 20 tahun (1859–1877) yang menghasilkan 72 data visibilitas positif. Fotheringham (1910) memanfaatkan data Schmidt guna membangun kriteria visibilitas dengan variabel separasi azimuth (DAz) dan altitude (aD), mengikuti langkah al–Biruni pada 9 abad sebelumnya [8]. Maunder (1911) memperbaiki model Fotheringham dengan menambahkan data observasi baru serta melakukan koreksi data Schmidt sehingga terbentuk kriteria Fotheringham–Maunder dengan bentuk : (2) aD ≥ −0,01DAz 2 − 0,05DAz + 11 Persamaan (2) merupakan tonggak metode empirik modern dalam kajian visibilitas hilaal meskipun hingga 8 dasawarsa kemudian kriteria ini tidak benar–benar direalisasikan guna kepentingan penyusunan kalender [9]. Cukup menarik bahwa pada kondisi DAz = 0° diperoleh aD ≥ 11° yang setara dengan aS ≥ 12° untuk lintang 23° LU atau sama dengan kriteria Babilon. Riset hilaal memasuki ranah baru ketika F. Bruin (1977) memperkenalkan metode teoritik modern dalam menyusun kriteria visibilitas empiriknya, dengan variabel lebar sabit (W) dan separasi altitude (aD) berikut: (3) a D ≥ −0,5632W 3 + 3,9512W 2 − 9,4878W + 12,4203 Kriteria Bruin ini bisa diubah ke bentuk separasi azimuth dan altitude berikut, yang valid untuk DAz < 20°: (4) a D ≥ −0,03DAz 2 + 0,14 DAz + 10,136 Dengan memanfaatkan hubungan : W = 15(1 − cos DAz cos a D ) Kriteria Bruin ini, meski tidak sempurna, kemudian menjadi basis bagi kriteria–kriteria berikutnya dengan berbagai perbaikan. 21 Adalah kriteria visibilitas yang berdasarkan pada elemen posisi Bulan dan Matahari seperti aD, h, DAz, aL dan lain–lain. 22 Adalah kriteria visibilitas yang berdasarkan pada sifat fisik Bulan seperti fase, magnitude, W, kontras dan lain–lain.
87
Seminar Nasional Hilal 2009
Moh. Ilyas (1981) mengembangkan kriteria Bruin dengan merevisi nilai W dari Bruin dari semula 0,5 menjadi 0,25 menggunakan persamaan W = 15 sin 2 ⎛⎜ a L ⎞⎟ . Ilyas menemukan perubahan tersebut membuat ⎝ 2 ⎠
elongasi minimum dalam kriteria Bruin menjadi bersesuaian dengan elongasi minimum pada kriteria Fotheringham–Maunder yakni 11°. Pengembangan ini membuat kriteria Fotheringham–Maunder bisa dipergunakan di daerah lintang tinggi sehingga melahirkan kriteria baru yang disebut kriteria komposit Ilyas [9]. Ilyas pula yang memperkenalkan parameter baru yang dinamakan Garis Tanggal Kalender Lunar Internasional (International Lunar Date Line/ILDL), yang bentuknya sangat berbeda dibanding garis penanggalan internasional (garis bujur 180°) dalam kalender Syamsiyyah. B.D. Yallop (1997) turut memperbaiki kriteria Bruin dengan menganalisis 295 data observasi dan menghasilkan perbaikan yang dinamakan kriteria Yallop. Kriteria ini selangkah lebih maju karena menggunakan kondisi toposentrik khususnya untuk lebar sabit (disimbolkan dengan W’). Kriteria–kriteria sebelumnya disusun dengan menggunakan kondisi geosentrik. Kriteria Yallop memiliki bentuk [11]: (5) 10q = a D − (−0,1018W '3 +0,7319W '2 −6,3226W '+11,8371) Nilai q merupakan parameter Yallop untuk mengklasifikasikan visibilitas hilaal yang dihitung dalam kondisi Best Time (Tb) dengan formula : 4
Tb = Ts + Lag 9
(6) Dengan Ts = waktu saat terbenamnya Matahari dan Lag = separasi antara waktu terbenamnya Matahari dengan waktu terbenamnya Bulan. Klasifikasi itu sebagai berikut : Tabel 2. Parameter q Yallop Nilai q q > 0,216 –0,014 < q ≤ 0,216 –0,232 < q ≤ –0,014 q ≤ –0,232 Deskripsi Terlihat dengan mudah meski tanpa alat bantu optik (aL ≥ 12o) Terlihat tanpa alat bantu optik dalam kondisi langit sempurna
Terlihat dengan bantuan alat bantu optik Tak terlihat Pengembangan terakhir dilakukan M.S. Audah (2004), dengan menganalisis data yang jumlahnya jauh lebih besar yakni 737 data kompilatif yang terdiri dari : • 294 data observasi Bradley Schaefer, • 6 data observasi Jim Stamm, • 42 data observasi SAAO (South African Astronomy Observatory), • 15 data observasi Mohsen Mirsaid, • 57 data observasi Alireza Mehrani, dan • 323 data observasi ICOP (Islamic Crescent Observation Project) sejak 1998. Analisis ini menghasilkan kriteria baru yang dinamakan kriteria Audah (Odeh). Kriteria ini pada dasarnya merupakan perbaikan dari kriteria Yallop, yang disusun dalam kondisi toposentrik (untuk altitude dan lebar sabit) dan airless dengan bentuk : (7) V = a D − (−0,1018W 3 + 0,7319W 2 − 6,3226W + 7,1651) Nilai V merupakan parameter Audah yang dihitung pada saat Best Time untuk mengklasifikasikan visibilitas hilaal sebagai berikut : Tabel 3. Parameter V Audah Nilai V V ≥ 5,65 2,00 ≤ V < 5,65 –0,96 ≤ V < 2,00 V <–0,96 Deskripsi Terlihat dengan mudah meski tanpa alat bantu optik Terlihat dengan alat bantu optik namun mungkin juga terlihat tanpa alat bantu optik
Terlihat hanya dengan alat bantu optik Tak terlihat III. Permasalahan Persoalan yang masih mengemuka berkait dengan perkembangan kriteria visibilitas modern yang berpuncak pada kriteria Audah, salah satunya adalah masih lebarnya zona ketidakpastian di sepanjang Garis Tanggal Kalender Lunar Internasional [11]. Seluruh kriteria modern empirik misalnya, memiliki deviasi sebesar + 54°, dengan mean error 40° dan maksimum 70° di arah garis bujur. Untuk daerah tropis, dari garis khatulistiwa hingga garis lintang 10° LU/LS nilai deviasinya sebesar 67° di arah garis bujur [12,13]. Salah satu penyebab besarnya deviasi ini terletak pada belum adanya panduan minimum bagi visibilitas untuk lokalitas sehingga menghasilkan kekurangan data [11]. Ini sangat terasa di daerah tropis, karena sebagian 88
Seminar Nasional Hilal 2009 besar data yang digunakan diambil dari kawasan subtropis (daerah lintang menengah dan tinggi).. Hal ini bisa dilihat misalnya dari 737 data yang digunakan dalam penyusunan kriteria Odeh, hanya 51 (6,9 %) yang berasal dari daerah tropis (garis lintang ≤ 23,5o LU/LS). Demikian pula dari 295 data yang digunakan untuk menyusun kriteria Yallop, hanya 28 data (9,5 %) yang berasal dari daerah tropis [10,11]. Sementara daerah tropis mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan daerah subtropis. Indonesia misalnya, selain berlokasi di daerah lintang rendah, juga terletak dalam sebuah sistem benua maritim yang selain dipengaruhi oleh sistem angin muson Asia–Australia, juga dipengaruhi oleh faktor cuaca ekstrim tertentu seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) di Samudera Pasifik, Indian Ocean Dipole Mode (IODM) di Samudera Hindia dan siklus Madden Julian Oscillation (MJO) yang berosilasi di antara Samudera Hindia dan Pasifik. Kondisi ini mungkin mempengaruhi kondisi visibilitas hilaal di Indonesia. Terkait dengan sejarah visibilitas hilaal di Indonesia, negeri ini juga mengalami satu karakteristik tersendiri yang umum untuk daerah tropis: kurangnya data. Sebagai contoh, Departemen Agama RI hanya mengakumulasi 37 data visibilitas hilaal positif dari tahun 1962–1997, sementara PRTI (Penserasian Rukyah dan Takwim Islam) hanya mengoleksi 38 data. Analisis Djamaluddin menunjukkan dari 37 data Departemen Agama RI tersebut, hanya 11 (29,8 %) saja yang dianggap valid [1]. Hal yang sama juga terlihat misalnya dari data yang dikumpulkan Moh. Ilyas dimana dari 29 data visibilitas positif untuk kurun waktu 7 tahun yang dianalisisnya hanya 6 (20,7 %) saja yang dianggap valid [8]. Persoalan besarnya ketidakvalidan data ini nampaknya menjadi “penyakit” klasik Dunia Islam kontemporer. Sebagai pembanding, jika ditinjau dari sudut pandang kriteria Audah, maka dari 46 data visibilitas positif yang diakumulasi Pemerintah Saudi Arabia pada periode 1961–2004 hanya 6 (13 %) saja yang dianggap valid. Demikian pula dari 112 data visibilitas hilaal positif yang diakumulasi Pemerintah Yordania pada periode 1954–2007 hanya 9 (8 %) saja yang dianggap valid. Sementara Algeria sedikit lebih baik. Dari 115 data visibilitas positif yang dikumpulkan negara Afrika Maghribi ini selama periode 1963–2000, 95 (82,6 %) diantaranya dinyatakan valid [14]. Sedikitnya data dan besarnya ketidakvalidan membuat keputusan yang diambil berdasarkannya berpotensi bias. IV. Tujuan 1.
2.
3.
4.
LP2IF RHI melaksanakan kampanye observasi hilaal dan hilaal tua secara menerus dengan tujuan untuk: Merekapitulasi data observasi hilaal dan hilaal tua di Indonesia sehingga membentuk basis data lokal. Membandingkan basis data dengan teori visibilitas hilaal yang telah valid dan reliabel untuk mengetahui variasi lokal yang mungkin terjadi terkait kekhasan letak Indonesia. Merumuskan definisi hilaal, khususnya untuk lokalitas Indonesia. Menguji “kriteria” visibilitas hilaal yang selama ini digunakan di Indonesia : (a) wujudul hilaal, (b) Imkanur Rukyat (MABIMS) dan (c) LAPAN. V. Metode Kampanye observasi telah diselenggarakan dalam periode Zulhijjah 1427–Zulhijjah 1430 H (Januari 2007–Desember 2009) pada setiap pergantian lunasi Hijriyyah sehingga tidak terbatas pada lunasi Ramadhan, Syawwal dan Zulhijah semata, yang akan terus berlanjut. Target observasi adalah : 1. Hilaal Hilaal secara operasional didefinisikan sebagai Bulan dalam fase sabit terkecil dengan usia termuda yang hanya nampak pasca terbenamnya Matahari. 2. Hilaal tua Hilaal tua secara operasional didefinisikan sebagai Bulan dalam fase sabit terkecil dengan usia tertua yang hanya nampak menjelang terbitnya Matahari. Observasi diselenggarakan dengan instrumen utama: 1. Mata tanpa alat bantu optik 2. Alat bantu optik: binokuler, teodolit, teleskop Observasi juga dilengkapi dengan instrumen bantu seperti: 1. Petunjuk waktu (jam) yang terkalibrasi dengan standar waktu referensi seperti siaran radio RRI, radio BBC maupun dial Telkom 103. 2. Kamera digital. 3. Kompas magnetik. 4. Hilaal tracker atau gawang rukyat. 5. Simulasi komputer berbasis software Starry Night. 6. Buku catatan. 7. Termometer (optional). 8. Higrometer (otional). Observasi diselenggarakan dengan personalia: 1. Pengamat tunggal. 89
Seminar Nasional Hilal 2009
2.
Pengamat berkelompok . Data dari observasi sedikitnya harus mengandung hal–hal sebagai berikut : 1. Koordinat dan elevasi titik observasi. 2. Kondisi langit di atas horizon barat/timur secara kualitatif. 3. Jam pada saat Matahari terbenam / Matahari terbit secara aktual. 4. Jam pada saat hilaal mulai terlihat ataupun pada saat hilaal tua mulai tidak terlihat, berdasarkan pada mata tanpa alat bantu optik. 5. Jam pada saat hilaal mulai terlihat ataupun pada saat hilaal tua mulai tidak terlihat, berdasarkan pada aat bantu optik. 6. Orientasi / arah kemiringan hilaal dan hilaal tua. 7. Citra (foto) hilaal dan hilaal tua serta kondisi horizon. Observasi dilaksanakan oleh beragam pengamat yang tergabung dalam jejaring observasi RHI. Ada belasan titik pengamatan RHI, yang bervariasi jumlahnya pada setiap pengamatan, yang merentang dari lintang 5° LU (Lhokseumawe, propinsi Nanggroe Aceh Darussalam) hingga lintang 32° LS (Reabold Hill, Perth, Australia Barat). Titik pengamatan terbarat ada di Lhokseumawe (97° BT), sementara titik pengamatan paling timur ada di Pos Observasi Bulan (POB) Condrodipo, Gresik, Jawa Timur (112,5° BT). Meski memiliki jejaring observasi tersendiri, namun RHI tetap menerima data dari pengamat lain yang berada di luar jejaring. Data tersebut bisa diterima asalkan memenuhi hal–hal berikut: 1. Terdapat catatan tentang selisih waktu antara terbenamnya Matahari dengan terbenamnya Bulan. 2. Terdapat catatan mengenai orientasi / kemiringan hilaal. 3. Terdapat catatan mengenai kondisi horizon dan langit di atasnya. 4. Terdapat catatan mengenai alat bantu optik yang digunakan. 5. Terdapat citra / foto hilaal (optional). Data observasi kemudian diolah dengan menggunakan algoritma Jean Meeus, dalam bentuk software Moon Calculator v6.0. Software tersebut diset dengan mengikuti saran Audah, yakni pada kondisi toposentrik, airless dan terbit/terbenamnya Matahari secara geometrik [10]. Output yang dihasilkan berupa: a. separasi altitude (aD), yakni separasi sudut dalam sumbu tinggi (altitude) antara pusat cakram Bulan dan pusat cakram Matahari, b. tinggi Bulan (h), yakni separasi sudut dalam sumbu tinggi (altitude) antara pusat cakram Bulan horizon sejati, c. elongasi (aL), yakni separasi sudut antara pusat cakram Bulan dan pusat cakram Matahari, d. separasi azimuth (DAz), yakni separasi sudut dalam sumbu datar (azimuth) antara pusat cakram Bulan dan pusat cakram Matahari, e. umur Bulan (Age), yakni interval waktu antara saat terjadinya konjungsi dan waktu Best Time, f. Lag, yakni interval waktu antara terbenamnya Matahari dan terbenamnya Bulan (untuk hilaal) atau terbitnya Bulan dan terbitnya Matahari (untuk hilaal tua), g. magnitude visual Bulan (Mag), yakni tingkat terang Bulan, h. lebar sabit Bulan (W), yakni lebar maksimum area yang bercahaya yang diukur di sepanjang diameter Bulan, dan i. apparent radius Bulan (R), yakni radius cakram Bulan bila dilihat dari Bumi. Bulan DAz aL aD Horizon Matahari
Gambar 1 Geometri dasar variabel posisi Bulan dan Matahari yang dibutuhkan guna memprediksi visibilitas hilaal. 90
Seminar Nasional Hilal 2009 Data berbentuk data visibilitas positif (yakni data yang memuat keberhasilan observasi hilaal dan hilaal tua) dan data visibilitas negatif (yakni data yang memuata ketidakberhasilan observasi hilaal dan hilaal tua). Untuk visibilitas positif, data diolah pada saat Best Time aktual dengan mengikuti saran Audah [4]. Sementara visibilitas negatif diolah berdasarkan waktu saat Matahari terbit / terbenam. Reduksi data dihubungkan dengan kondisi langit setempat secara kualitatif baik berdasarkan laporan pengamat maupun menurut citra satelit dalam spektrum visual23. Jika secara kualitatif kondisi langit tidak memungkinkan, maka data yang menunjukkan keberadaan hilaal (data visibilitas positif) pada saat itu akan dieliminasi. Pun demikian dengan data visibilitas negatif yang menunjukkan angit dalam kondisi mendung tebal juga dieliminasi. Data yang tersisa kemudian ditabulasikan. VI. Data Kampanye observasi secara menerus selama 37 lunasi Hijriyyah berturut–turut telah memproduksi 107 data visibilitas positif dan 67 data visibilitas negatif. Sehingga secara keseluruhan terdapat 174 data visibilitas atau secara rata–rata terdapat 4,65 data visibilitas per lunasi. Seluruh data ditabulasikan secara terpisah dan kemudian dianalisis secara least–square dengan dibantu spreadsheet Microsoft Excell. Tidak dibedakan antara visibilitas dengan alat bantu optik maupun tanpa alat bantu optik. Komposisi pengamat dan persentase hasil observasinya adalah sebagai berikut : Abdul Muid Zahid,
22%
Arief
Syamsulaksana,
7%
AR Sugeng Riyadi,
24%
Mahmud, 3%
Ismail Fahmi, 4%
Lainnya, 8%
Mutoha, 11%
Ma'rufin, 21%
Abdul Muid Zahid,
15%
Lainnya, 23%
Arief
Syamsulaksana,
3%
Iw an Kusw idi, 6%
AR Sugeng Riyadi,
21%
Noviar Firdaus, 3%
Ma'rufin, 16%
Mutoha, 13%
Gambar 2 Komposisi pengamat dan akumulasi data visibilitas positif (atas) dan visibilitas negatif (bawah) yang diperolehnya. 23 Di sini penulis menggunakan citra visual dari Kochi University http://weater.is.kochi‐u.ac.jp/SE/00Latest.jpg 91
Seminar Nasional Hilal 2009
VII. Analisis dan Pembahasan 1. Definisi Hilaal Lag vs Best Time Bulan Sabit
50
45
40
35
Best time (menit)
30
25
20
15
10
5
0
-5
y = -0.4205x + 16.941
-10
-15
-20
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95 100 105
Lag (menit)
naked eye visible
optical aid visible
Gambar 3 Data visibilitas positif dalam basis data RHI, dipetakan menurut Lag dan Best Time. Salah satu variabel penting guna mendefinisikan hilaal adalah Best Time (Tb), yang pertama kali diusulkan oleh Yallop (1997) sebagai waktu saat hilaal mulai terlihat pasca Matahari terbenam ataupun waktu saat hilaal tua mulai menghilang menjelang Matahari terbit. Variabel Best Time adalah khas untuk visibilitas positif karena takkan ada ketika hilaal / hilaal tua tidak teramati. Disini didefinisikan delta best time sebagai selisih waktu antara best time dan sunset untuk hilaal atau best time dan surise untuk hilaal tua. Delta best time ditabulasikan bersama Lag sebagaimana disajikan dalam gambar (3) dan dengan mengikuti langkah yang disarankan Audah, dari tabulasi nilai minimum Lag dengan delta best time seperti dinyatakan dalam tabel berikut: Tabel 4. Nilai minimal Lag vs delta best time Lag (menit) Delta best time (menit) 5 24
7 26
– 7 56
– 12 72
– 15 80
– 29 105
Dari tabel 4 dilakukan analisis linear secara least–square sehingga dihasilkan persamaan berikut (R2 = 0,9899): Tb = −0,420 Lag + 16,941 + Tsunset (8) Interpolasi persamaan (8) menghasilkan Tb = Tsunset (delta best time = 0) ketika Lag = 40 menit. Sehingga ketika Lag > 40 menit Bulan sudah terlihat sebelum Matahari terbenam. Secara filosofis hilaal hanya akan nampak pasca terbenamnya Matahari, sehingga hilaal mempunyai batas atas ideal Lag = 40 menit yang sesuai dengan basis data RHI. Di sisi lain ekstrapolasi persamaan (8) menghasilkan delta best time = Lag ketika Lag = 12 menit. Ini menjadi batas bawah ideal untuk hilaal. Namun basis data RHI menunjukkan secara empirik nilai Lag terkecil = 24 menit. Ini bisa dibandingkan dengan nilai Lag terkecil dalam basis data lainnya, misalnya dalam basis data ICOP yakni 21 menit [10]. Selisih 3 menit antara Lag terkecil dalam basis data RHI dan ICOP, kemungkinan besar masih berada dalam rentang deviasi hasil observasi meski kemungkinan ini harus diteliti lebih lanjut. 92
Seminar Nasional Hilal 2009 Dengan demikian maka hilaal bisa didefinisikan sebagai Bulan pasca konjungsi yang pada saat terbenamnya Matahari mempunyai Lag ≥ 24 menit hingga Lag ≤ 40 menit. Secara kuantitatif dari 107 data visibilitas positif di dalam basis data RHI, hanya 6 diantaranya yang bisa diklasifikasikan sebagai hilaal. Hilaal tak terlihat baik dengan alat bantu optik maupun tidak bila Bulan pasca konjungsi memiliki Lag < 24 menit pada saat Matahari terbenam. Dengan kata lain, Bulan yang memiliki Lag > 0 menit hingga Lag < 24 menit pada saat terbenamnya Matahari sehingga sebaiknya didefinisikan sebagai Bulan gelap, bukan hilaal. Dengan demikian maka “kriteria” wujudul hilaal menjadi tidak terbukti. Konfigurasi posisi hilaal di antara konjungsi, Bulan gelap dan Bulan sabit diusulkan sbb : Tabel 5. Posisi hilaal di antara konjungsi dan Bulan sabit Deskripsi Lag (menit) Konjungsi Konjungsi
Konjungsi < Lag < 0 Bulan gelap
0 < Lag < 24
Bulan gelap
Hilaal
24 ≤ Lag ≤ 40 Lag > 40 Bulan sabit
Pengujian model hubungan Best Time (Tb) dan Lag Bulan dari Yallop atau persamaan (6) dengan basis data RHI menunjukkan konsistensi antara model dengan basis data hanya untuk Lag ≤ 40 menit, dimana deviasi standar residual antara keduanya hanya bernilai + 3,8 menit. Namun bila seluruh data dalam basis data RHI dibandingkan dengan model Yallop, maka deviasi standar residualnya akan membengkak jadi + 17,3 menit. Maka dapat disimpulkan model Yallop bisa digunakan untuk memprediksi waktu munculnya hilaal setelah terbenamnya Matahari sesuai dengan definisi hilaal yang mempunyai Lag ≤ 40 menit. 2. Kriteria RHI Selisih Azimuth vs Selisih Altitude Bulan Sabit
22
20
Selisih altitude (derajat)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Selisih azimuth (derajat)
naked eye visible
optical aid visible
RHI
Gambar 4 Data visibilitas positif dalam basis data RHI, dipetakan menurut separasi azimuth dan separasi altitude. Garis lengkung menunjukkan kurva kriteria RHI. 93
Seminar Nasional Hilal 2009
Selisih Azimuth vs Selisih Altitude Bulan Sabit
22
20
Selisih altitude (derajat)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Selisih azimuth (derajat)
naked eye non visible
optical aid non visible
RHI
Gambar 5 Data visibilitas negatif dalam basis data RHI, dipetakan menurut separasi azimuth dan separasi altitude. Garis lengkung menunjukkan kurva kriteria RHI.
Sebuah kriteria visibilitas baru24 bisa disusun dari basis data RHI dengan mengikuti langkah yang disarankan al–Biruni 9 abad silam yang kemudian diikuti Fotheringham, Maunder dan Schoch [8] yang menggunakan variabel separasi altitude (aD) dan separasi azimuth (DAz). Mengikuti langkah yang disarankan Audah, nilai minimum aD dengan DAz ditabulasikan sebagai berikut : Tabel 6. Nilai minimal separasi azimuth dan separasi altitude Separasi altitude (derajat) Separasi azimuth (derajat) 0,240 10,030
4,337 5,792
17,191 14,204
Analisis polinomial secara least–square terhadap nilai minimal yang ditabulasikan dalam tabel 6 membentuk sebuah hubungan berikut (R2 = 1,00): (9) a D ≥ 0,099 DAz 2 − 1,490 DAz + 10,382 Persamaan (9) dinamakan kriteria RHI25 yang menunjukkan model matematis minimum atau batas terbawah bagi hilaal agar bisa dilihat khususnya dengan alat bantu optik dalam kondisi toposentrik dan airless serta pada kondisi langit nyaris sempurna (cuaca cerah dengan sedikit taburan awan di atas horizon). Sehingga jika posisi Bulan berada di bawah kurva kriteria RHI, khususnya jika berada di luar batas deviasi standar kriteria (yang masih perlu diteliti lebih lanjut) maka hilaal tidak akan terlihat. Meski demikian bukan berarti bahwa bila posisi Bulan berada di atas kurva kriteria RHI membuat hilaal secara otomatis akan terlihat. Gambar (5) menunjukkan bahwa dimana hilaal memiliki kemungkinan untuk tidak terlihat meskipun sudah berada di atas kurva kriteria RHI. Distribusi visibilitas negatif yang random tersebut, secara kualitatif menunjukkan kemungkinan besar penyebabnya adalah lokalitas kondisi cuaca dan keterampilan pengamat, mengingat nilai minimum yang ditabulasikan di tabel 6 dihasilkan oleh pengamat dengan keterampilan tinggi dilengkapi alat bantu optik (teodolit/teleskop) pada kondisi cuaca yang baik. Sebagai 24 Pengertian baru di sini adalah baru untuk wilayah Indonesia dan Asia Tenggara. 25 Nomenklatur tak resmi terhadap kriteria visibilitas di Indonesia adalah merujuk pada sifatnya (misalnya wujudul hilaal yang berarti terbit/munculnya hilaal, imkanur rukyat yang berarti berpotensi bisa diobservasi) ataupun berdasarkan nama lembaga yang mengeluarkannya. Sementara nomenklatur tak resmi secara internasional menganjurkan kriteria visibilitas dinamai sesuai nama pengusulnya. Namun dalam hal ini penamaan kriteria visibilitas yang baru tersebut mengikuti nomenklatur di Indonesia sehingga dinisbatkan pada nama lembaga dan bukan nama pengusul (yakni kriteria RHI, bukan misalnya kriteria Ma’rufin yang mengambil analogi dari nomenklatur kriteria LAPAN meski pertama kali diusulkan oleh Djamaluddin). 94
Seminar Nasional Hilal 2009 contoh, hilaal untuk penentuan 1 Syawwal 1430 H yang memiliki aD = 6,12° dan DAz = 7,02° pada observasi 19 September 2009 hanya bisa dilihat dari Semarang dengan menggunakan teleskop dilengkapi mounting otomatik dengan pengolahan citra dalam kondisi cuaca sedikit berawan. Pada kondisi yang sama, di Kupang (Nusa Tenggara Timur) hilaal tak teramati meski langit dalam kondisi sempurna (sangat cerah). Kriteria RHI bermakna bahwa jika posisi Bulan tepat di atas Matahari (DAz = 0°) maka separasi altitude Bulan terhadap Matahari adalah 10,38° agar hilaal bisa dilihat. Nilai separasi altitude ini akan terus menurun seiring bertambahnya separasi azimuth posisi Bulan terhadap Matahari (yakni aD = 7,79° untuk DAz = 2°; aD = 6,01° untuk DAz = 4°; aD = 5,03° untuk DAz = 6°) hingga mencapai minimum ideal pada aD = 4,60° untuk DAz = 7,53°. Bila refraksi atmosfer Bumi diperhitungkan dan titik observasi berada di dataran rendah (dengan elevasi hingga 30 m dari permukaan laut dimana s = –1°), maka hilaal bisa terlihat jika tinggi Bulan (h) bernilai minimum 3,60° (DAz = 7,53°) hingga maksimum 9,38° (DAz = 0°) pada saat terbenamnya Matahari. Jelas bahwa nilai separasi altitude Bulan–Matahari bergantung kepada nilai separasi azimuthnya, sehingga tidak bisa diberlakukan secara homogen ke seluruh nilai separasi azimuth tanpa terkecuali. Dari hal tersebut nampak bahwa asumsi homogenisasi aD yang digunakan dalam “kriteria” Imkanur Rukyat tidak terbukti. Selain itu “kriteria” Imkanur Rukyat juga tidak terbukti pada nilai minimum aD, yang menurut kriteria RHI bernilai 4,60° sementara menurut Imkanur Rukyat bernilai 3°. Nilai aD minimum ideal 4,60° ini, meski merupakan hasil interpolasi ternyata berdekatan dengan nilai aD minimum yang diusulkan Ilyas yakni 4° [1]. Secara faktual nilai aD minimum yang ada dalam basis data RHI adalah 5,8° atau masih sedikit di atas nilai minimum ideal. Menggunakan hubungan : aD = aS cos ϕ dimana ϕ = lintang pengamatan (mendekati nol untuk wilayah tropis) dan aS ≈ ¼ Lag maka untuk aD maksimum 10,38° berkorelasi dengan Lag ≈ 41 menit. Sementara aD minimum ideal 4,60° berkorelasi dengan Lag ≈ 19 menit. Dan aD minimum faktual 5,8° berkorelasi dengan Lag ≈ 23 menit. Dari hubungan tersebut nampak bahwa hilaal yang dimaksud oleh kriteria RHI secara faktual adalah yang memiliki Lag 23 menit hingga 41 menit, atau sangat berdekatan dengan Lag dalam definisi hilaal di atas yakni antara 24 menit hingga 40 menit. Kesetaraan ini cukup emngagumkan dan sekaligus membuktikan bahwa kriteria RHI didukung oleh definisi hilaal sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Dari sini juga terlihat bahwa nilai Lag minimum ideal yang diprediksikan kriteria RHI berdekatan dengan nilai Lag minimum menurut basis data ICOP dalam batas ketelitian observasi, sehingga masih bisa diupayakan untuk mencapainya dengan memperbaiki metode observasi. Bentuk kriteria RHI mirip dengan kriteria LAPAN yakni sama–sama sebagai kurva terbuka ke atas seperti nampak dalam gambar 6 berikut : Selisih Azimuth vs Selisih Altitude Bulan Sabit
22
20
Selisih altitude (derajat)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
2
4
6
8
10
12
Selisih azimuth (derajat)
RHI
LAPAN
Gambar 6 Perbandingan kriteria RHI dengan kriteria LAPAN. 95
14
16
18
Seminar Nasional Hilal 2009
Namun kriteria LAPAN sebenarnya lebih pesimistik khususnya pada nilai separasi azimuth 0° hingga 11,09°. Pada rentang azimuth tersebut, nilai separasi altitude kriteria LAPAN lebih rendah dan tidak didukung basis data RHI. Sehingga disimpulkan bahwa secara parsial kriteria LAPAN tidak bisa dibuktikan, khususnya untuk separasi azimuth ≤ 11,09°. Sebaliknya bentuk kriteria RHI berbeda dibandingkan kriteria Fotheringham–Maunder maupun Bruin meski sama–sama menggunakan variabel separasi azimuth dan altitude seperti diperlihatkan dalam gambar berikut : Selisih Azimuth vs Selisih Altitude Bulan Sabit
22
20
Selisih altitude (derajat)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
14
16
18
Selisih azimuth (derajat)
RHI
Maunder
Selisih Azimuth vs Selisih Altitude Bulan Sabit
22
20
Selisih altitude (derajat)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
2
4
6
8
10
12
Selisih azimuth (derajat)
RHI
Bruin
Gambar 7 Perbandingan kriteria RHI dengan kriteria Fotheringham–Maunder (atas) dan Bruin (bawah). Baik kriteria Fotheringham–Maunder maupun Bruin (dan demikian pula derivasinya menjadi kriteria Yallop dan Audah) memiliki kurva terbuka ke bawah. Secara kualitatif perbedaan ini bisa ditinjau dari dua aspek. Pertama, dari aspek kriteria RHI perbedaan ini kemungkinan terjadi karena kekurangan data observasi yang mencukupi 96
Seminar Nasional Hilal 2009 di basis data khususnya antara separasi azimuth 0° hingga 4°. Kedua, dari aspek kriteria Bruin dan Fotheringham–Maunder, perbedaan selain disebabkan oleh kurangnya data dari daerah tropis khususnya antara separasi azimuth 0° hingga 12°, kemungkinan juga disebabkan oleh lokalitas Indonesia di daerah lintang rendah yang membuat posisi ekuator langitnya berbeda dibandingkan daerah lintang tinggi khususnya khususnya pada separasi azimuth > 12°. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut. 3. Pengujian Kriteria Babilon Umur Bulan vs Lag Bulan Sabit
110
100
90
Lag (menit)
80
70
60
50
40
30
20
12
16
20
24
28
32
36
40
44
48
Umur Bulan (jam)
naked eye visible
optical aid visible
Umur Bulan vs Lag Bulan Sabit
105
95
85
75
Lag (menit)
65
55
45
35
25
15
5
-5
2
6
10
14
18
22
26
30
34
38
Umur Bulan (jam)
naked eye non visible
optical aid non visible
Gambar 8 Data visibilitas positif (atas) dan negatif (bawah) dalam basis data RHI, dipetakan menurut Umur Bulan dan Lag. Garis horizontal tak terputus menunjukkan Umur Bulan = 24 jam, sementara garis vertikal putus–putus menunjukkan Lag = 41 menit. Basis data RHI juga memungkinkan untuk menguji kriteria Babilon sebagai kriteria visibilitas tertua dan paling sederhana. Nilai variabel Umur Bulan dan Lag Bulan dalam data visibilitas positif dan negatif dipetakan sebagaimana disajikan dalam gambar gambar (8). Selanjutnya dibandingkan dengan kriteria Babilon yang sudah dimodifikasi oleh Ilyas [8] agar bisa diberlakukan di daerah tropis, yakni umur Bulan > 24 jam dan Lag > 41 menit. 97
Seminar Nasional Hilal 2009
Nampak bahwa kriteria Babilon yang telah dimodifikasi ini bersesuaian dengan basis data RHI, dimana dari 107 data visibilitas positif terdapat 98 data (91,5 %) yang berada di dalam kuadran dimana umur Bulan > 24 jam dan Lag > 41 menit. Sebaliknya dari 37 data visibilitas negatif yang telah direduksi hanya ada 4 data (10,81 %) yang berada di dalam kuadran tersebut. Sementara pada kuadran dimana umur Bulan < 24 jam dan Lag Bulan < 41 menit, hanya ada 5 data positif (4,71 % dari keseluruhan data positif) dibandingkan dengan 27 data negatif (72,97 % dari keseluruhan data negatif) yang berada didalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria Babilon yang sudah dimodifikasi secara umum bisa digunakan di daerah tropis dan lebih khusus lagi bisa dipergunakan untuk mengevaluasi laporan rukyatul hilaal yang mengandalkan mata tanpa alat bantu optik. 4. Pengujian Kriteria Audah Lebar Sabit vs Selisih Altitude Bulan Sabit
22
20
Selisih Altitude (derajat)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
0.125
0.25
0.375
0.5
0.625
0.75
0.875
1
1.125
1.25
1.375
Lebar Sabit (menit busur)
naked eye visible
optical aid visible
Gambar 9 Data visibilitas positif dalam basis data RHI, dipetakan menurut lebar sabit dan separasi untuk kemudian dibandingkan dengan kriteria Audah. Dari bawah ke atas di tiap gambar, garis lurus tak terputus merupakan kriteria Audah untuk V =– 0,96, garis putus–putus lebar untuk V = 2 dan garis putus–putus sempit untuk V = 5,65. Lebar Sabit vs Selisih Altitude Bulan Sabit
22
20
Selisih Altitude (derajat)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
0.125
0.25
0.375
0.5
0.625
0.75
0.875
1
1.125
1.25
1.375
Lebar Sabit (menit busur)
naked eye non visible
optical aid non visible
Gambar 10 Data visibilitas negatif dalam basis data RHI, dipetakan menurut lebar sabit dan separasi untuk kemudian dibandingkan dengan kriteria Audah. Dari bawah ke atas di tiap gambar, garis lurus tak terputus merupakan kriteria Audah untuk V =– 0,96, garis putus–putus lebar untuk V = 2 dan garis putus–putus sempit untuk V = 5,65. 98
Seminar Nasional Hilal 2009 Basis data RHI juga memungkinkan untuk menguji kriteria Audah (Odeh) sebagai kriteria visibilitas kontemporer yang ditunjang oleh setumpukan data observasi dengan kuantitas cukup mengesankan, yakni basis data ICOP (737 data). Nilai variabel separasi altitude dan lebar sabit masing–masing untuk visibilitas positif dan negatif disajikan dalam gambar (9) dan (10) untuk dibandingkan dengan kriteria Audah untuk tiga kondisi visibilitas, masing–masing kondisi yang hanya bisa dilihat dengan alat bantu optik (–0,96 ≥ V > 2,00), yang bisa dilihat dengan alat bantu optik dan mungkin terlihat dengan mata tanpa alat bantu optik (2,00 ≥ V > 5,65) dan yang mudah dilihat mata tanpa alat bantu optik (V ≥ 5,65). Pada data positif, secara mengagumkan basis data RHI konsisten dengan kriteria Audah dimana tidak ada data positif yang memiliki nilai V < –0,96. Namun seperti halnya kriteria yang berbasis separasi azimuth dan altitude, tidak berarti bahwa Bulan dengan V ≥ –0,96 otomatis akan terlihat sebagai hilaal baik dengan menggunakan alat bantu optik. Gambar (10) memperlihatkan bahwa bahkan hingga V ≥ 5,65 pun terdapat 6 data negatif (16,22 % dari keseluruhan data negatif) didalamnya, meski secara umum mayoritas data negatif terdistribusi di bawah garis V ≥ 2,00. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kriteria Audah konsisten dengan basis data RHI. 5. Batas Danjon Andre Danjon (1932, 1936) memperkenalkan konsep busur defisiensi (deficiency arc) yang posisinya berada di kedua ujung sabit hilaal. Busur defisiensi membuat sabit Bulan sebagai bagian permukaan Bulan yang tersinari cahaya Matahari dan bisa dilihat dari Bumi yang idealnya berbentuk setengah melingkar atau memiliki panjang busur 180° dalam realitanya selalu nampak lebih pendek dari 180° sehingga ada bagian ujung–ujung sabit Bulan yang “menghilang” atau tidak bisa dilihat dari Bumi baik menggunakan alat bantu optik maupun tidak [7]. Danjon mendeduksi menghilangnya ujung–ujung sabit Bulan disebabkan oleh terbentuknya busur defisiensi (disimbolkan dengan α) dan kuantitas busur defisiensi sebanding dengan elongasi Bulan–Matahari (aL) dan panjang sabit Bulan (L) dalam bentuk : sin α = sin aL cos ½ L. Dan pada ekstrapolasi untuk aL ≈ 7° Danjon memperoleh L = 0° atau Bulan tidak memiliki sabit sama sekali. Dalam kondisi a L ≤ 7° sabit hilaal ataupun hilaal tua takkan terlihat meski dalam kondisi langit sempurna sekalipun. aL = 7° menjadi pembatas ada tidaknya sabit Bulan dan inilah yang kemudian dikenal sebagai batas Danjon (Danjon limit). Danjon menduga fenomena ini terjadi akibat kontur topografi permukaan Bulan yang bergunung–gunung sehingga sinar Matahari tdak sanggup menjangkau daerah dibalik bayangan pegunungan tersebut. Pendapat ini dimentahkan D. McNally (1983) yang secara teoritis menunjukkan kontur topografi Bulan takkan sanggup menciptakan penggelapan yang setara kuantitasnya dengan busur defisiensi. Ia berpendapat busur defisiensi terjadi akibat sifat optis atmosfer beserta turbulensi udara didalamnya. McNally juga merevisi nilai batas Danjon menjadi aL = 5°. Namun pendapat ini belakangan dimentahkan oleh Schaefer (1992) yang mengajukan gagasan bahwa busur defisiensi dihasilkan akibat keterbatasan resolusi mata manusia [8]. Schaefer merevisi usulan McNally dengan mengajukan aL = 7° sebagai batas Danjon berdasarkan hasil observasi. Basis data RHI menunjukkan nilai elongasi minimum yang berhasil dicapai adalah aL = 7,23° pada observasi dengan menggunakan alat bantu optik. Nilai ini masih di atas nilai batas Danjon kontemporer sebagaimana yang diajukan Audah, yakni aL = 6,4° [10]. IX. Kesimpulan Hilaal didefinisikan sebagai Bulan pasca konjungsi yang memiliki Lag ≥ 24 menit hingga Lag ≤ 40 menit pada saat terbenamnya Matahari. Bulan pasca konjungsi dengan Lag < 24 menit disarankan untuk dinisbatkan sebagai Bulan gelap, bukan hilaal. Dari analisis terhadap basis data RHI telah berhasil disusun sebuah kriteria visibilitas baru yang khas untuk Indonesia, yakni kriteria RHI dengan variabel separasi azimuth dan altitude dalam bentuk : aD ≥ 0,099
DAz2 – 1,490 DAz + 10,382. Kriteria RHI menunjukkan bahwa nilai separasi altitude Bulan–Matahari dipengaruhi oleh nilai separasi azimuthnya dan memiliki nilai dari minimum 3,60° (pada DAz = 7,53°) hingga maksimum 10,38° (pada Daz = 0°). Terdapat kesesuaian antara kriteria Rhi dengan definisi hilaal, ditunjukkan oleh konversi ke Lag Bulan yang menghasilkan Lag minimum ideal ≈ 19 menit dan Lag maksimum ≈ 41 menit. Separasi altitude minimum secara faktual adalah 5,8° yang berkorelasi dengan Lag minimum faktual ≈ 23 menit. Dengan definisi hilaal dan kriteria RHI, wujudul hilaal tidak bisa dibuktikan. Pun demikian dengan “kriteria” Imkanur Rukyat, dimana keduanya tidak bersesuaian dengan basis data RHI. Analisa perbandingan menunjukkan meski bentuk kriteria RHI dan kriteria LAPAN sama yakni terbuka ke atas, namun kriteria LAPAN secara parsial tidak terbukti khususnya untuk separasi azimuth ≤ 11,09°. Pengujian kriteria Babilon yang telah dimodifikasi Ilyas untuk daerah tropis menunjukkan kesesuaian antara kriteria dengan basis data, baik data positif maupun negatif. Demikian dengan kriteria Audah, dimana terdapat kesesuaian mengagumkan antara kriteria dengan basis data khususnya pada V ≥ –0,96. Sementara 99
Seminar Nasional Hilal 2009
pengujian persamaan hubungan Best Time dengan Lag dari Yallop menunjukkan kesesuaian dengan basis data hanya untuk Lag ≤ 40 menit dimana deviasi standar residual antara model dan data sebesar + 3,8 menit. Basis data RHI menunjukkan nilai elongasi minimum sebesar 7,23 yang dicapai dengan alat bantu optik. Nilai tersebut mendekati nilai batas Danjon versi awal (dari Andre Danjon) dan usulan Schaefer berdasarkan hasil observasi, namun masih sedikit di atas nilai batas Danjon kontemporer yang diusulkan Audah yakni elongasi 6,4°. X. Referensi [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
Djamaluddin (2000), Re–evaluation of Hilaal Visibility in Indonesia, ICOP. Susiknan, http://www.ilmufalak.org Parker, S (2006), Just The Facts : Tata Surya, diterjemahkan Astranto, Erlangga, Jakarta. Qureshi (2005), Computational Astronomy and The Ealiest Visibility of Lunar Crescent, ICOP, http://icoproject.org Williams (1999), Geological Constraints on The Precambrian History of Earth’s Rotation and The Moon’s Orbit, Rev. of. Geophysics (2000), 38, 37–59. Schaefer (1992), The Length of Lunar Month, Archaeoastronomy (1992), 17, S33–S41. Fatoohi et.al. (1998), The Danjon Limit of First Visibility of The Lunar Crescent, The Observatory (1998), 118, 65–72. Ilyas (1994), Lunar Crescent Visibility Criterion and Islamic Calendar, Q. J. R. astr. Soc. (1994), 35, 425–461. Zainal (2001), A Selective Literature review of Young Moon Crescent Visibility Studies, ICOP http://icoproject.org Audah (2004), New Criterion for Lunar Crescent Visibility, Exp. astr. (2004), 18, 39–64. Yallop (1997), A Method for Predicting the First Sighting of The New Crescent Moon, NAO Technical Note no. 69. Dogget, et.al (1994), Lunar Crescent Visibility, Icarus (1994), 107, 388–403. Schaefer (1996), Lunar Crescent Visibility, Q. J. R. astr. Soc (1996), 37, 759–768. Qamaruddin (2008), Al–Jazeerah TV Show : Specify The Islamic Lunar Months [2/1/2008], ICOP http://icoproject.org 100
Seminar Nasional Hilal 2009 LAMPIRAN 1 DATA VISIBILITAS POSITIF DALAM BASIS DATA RHI SEBAGAI HASIL KAMPANYE OBSERVASI HILAAL/HILAAL TUA 1427 – 1430 H (2007 – 2009 M) No (1) 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
Pengamat (2) Ma'rufin Ma'rufin Ma'rufin Ma'rufin Mutoha AR Sugeng Riyadi Ma'rufin Ma'rufin Mutoha AR Sugeng Riyadi Mutoha Abdul Muid Zahid Abdul Muid Zahid AR Sugeng Riyadi Mutoha AR Sugeng Riyadi AR Sugeng Riyadi Abdul Muid Zahid Abdul Muid Zahid AR Sugeng Riyadi Abdul Muid Zahid Ma'rufin Ma'rufin Abdul Muid Zahid Syarif Hidayat Arief Syamsu AR Sugeng Riyadi AR Sugeng Riyadi AR Sugeng Riyadi Ma'rufin Ma'rufin AR Sugeng Riyadi Mutoha Ismail Fahmi Abdul Muid Zahid Abdul Muid Zahid Arief Syamsu Abdul Muid Zahid Ma'rufin Abdul Muid Zahid Abdul Muid Zahid Abdul Muid Zahid Lintang Bujur Elevasi Tanggal Status aD (3)
(4) (5)
(6)
(7)
(8)
‐7,667 ‐7,667 ‐7,667 ‐7,667 ‐8,067 ‐7,550 ‐7,667 ‐7,617 ‐7,700 ‐7,550 ‐8,067 ‐7,167 ‐7,167 ‐7,650 ‐8,067 ‐7,700 ‐7,700 ‐7,117 ‐7,117 ‐7,550 ‐7,167 ‐7,667 ‐7,667 ‐7,117 ‐6,133 ‐31,930 ‐7,550 ‐7,700 ‐7,700 ‐7,667 ‐7,667 ‐7,700 ‐8,017 ‐7,033 ‐7,117 ‐7,117 ‐31,97 ‐7,167 ‐6,117 ‐7,167 ‐7,167 ‐7,167 109,667 109,667 109,667 109,667 110,317 110,767 109,667 110,150 110,367 110,767 110,317 112,617 112,617 110,817 110,317 110,733 110,733 112,600 112,600 110,767 112,617 109,667 109,667 112,600 106,750 115,767 110,767 110,733 110,733 109,667 109,667 110,733 110,317 106,550 112,600 112,600 115,917 112,617 106,917 112,617 112,617 112,617 21 21 21 21 40 111 21 4 114 111 40 120 120 110 0 98 98 15 15 111 120 21 21 15 30 0 111 98 98 21 21 98 0 50 15 15 0 120 34 120 120 120 18‐Jan‐07
18‐Mar‐07
14‐Jun‐07
16‐Jun‐07
16‐Jun‐07
16‐Jun‐07
13‐Jul‐07
10‐Sep‐07
10‐Sep‐07
10‐Sep‐07
12‐Sep‐07
12‐Oct‐07
12‐Oct‐07
8‐Dec‐07
9‐Jan‐08
7‐Jan‐08
5‐Apr‐08
7‐Apr‐08
7‐Apr‐08
4‐May‐08
6‐May‐08
5‐Jun‐08
5‐Jun‐08
5‐Jun‐08
5‐Jun‐08
5‐Jun‐08
5‐Jun‐08
2‐Jul‐08
2‐Jul‐08
4‐Jul‐08
4‐Jul‐08
4‐Jul‐08
4‐Jul‐08
4‐Jul‐08
4‐Jul‐08
4‐Jul‐08
4‐Jul‐08
2‐Aug‐08
29‐Aug‐08
31‐Aug‐08
1‐Sep‐08
31‐Aug‐08
hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal hilaal hilaal 14,918 14,749 15,535 15,675 15,352 15,949 17,768 14,412 14,44 14,399 8,548 10,941 11,128 19,733 10,771 17,034 15,98 11,869 12,217 21,705 9,128 20,437 20,76 20,29 21,625 14,204 20,639 14,251 13,904 17,591 17,726 17,502 17,558 18,071 17,239 17,521 15,038 12,301 20,159 5,792 17,317 5,768 DAz (12)
Delta
best time
(13)
0,59 0,61 0,66 0,71 0,7 0,72 0,98 0,71 0,71 0,71 0,21 0,4 0,4 0,87 0,27 0,69 0,64 0,78 0,79 1,18 0,46 1,27 1,28 1,26 1,31 1,24 1,27 0,64 0,63 0,78 0,79 0,78 0,78 0,81 0,76 0,77 0,77 0,39 1,33 0,13 0,88 0,12 27 18 49 20 9 33 39 9 12 6 19 10 24 21 28 14 28 ‐1 16 15 12 0 12 ‐5 33 22 8 23 8 7 18 2 8 35 ‐15 7 53 20 8 7 ‐12 3 aL Fase W (9)
(10) (11)
4,895 4,988 5,116 6,921 7,402 6,421 9,337 10,05 10,06 10,07 4,697 7,592 7,465 0,896 1,493 3,664 1,895 13,16 12,96 0,161 9,842 9,651 9,073 9,657 7,543 17,19 9,195 7,219 7,648 2,345 1,963 2,489 2,445 1,131 2,924 2,125 9,15 2,819 12,18 4,337 8,761 4,314 15,696 15,563 16,348 17,121 17,02 17,188 20,054 17,534 17,571 18,274 9,751 13,306 13,394 19,753 10,874 17,418 16,092 17,654 17,787 21,706 13,414 22,515 22,605 22,37 22,884 22,248 22,535 15,965 15,846 17,743 17,833 17,673 17,724 18,106 17,473 17,647 17,584 12,618 23,454 7,234 19,316 7,201 2,1 2,07 2,27 2,46 2,42 2,48 3,31 2,54 2,55 2,54 0,85 1,5 1,52 3,22 1,06 2,54 2,21 2,55 2,59 3,88 1,52 4,12 4,16 4,07 4,27 3,95 4,13 2,16 2,13 2,65 2,68 2,63 2,64 2,76 2,57 2,62 2,58 1,4 4,43 0,49 3,06 0,49 101
(14)
Umur Bulan (15)
Alat Bantu Optik (16) 68 62 70 74 73 73 82 61 61 61 35 47 47 89 48 79 66 53 53 93 102 99 99 99 100 84 99 67 67 80 80 80 80 81 80 80 80 53 88 24 72 24 ‐29,81 ‐28,21 ‐29,13 31,6 31,37 31,77 ‐37,73 ‐38,24 ‐38,32 ‐38,24 22,15 29,51 29,74 ‐43,79 23,37 ‐37,37 ‐29,69 30,55 30,83 ‐37,89 22,21 39,09 39,29 38,82 39,86 38,24 39,16 ‐27,83 ‐27,56 32,36 32,54 32,2 32,33 33,06 31,83 32,19 31,91 24,59 ‐45,13 14,6 38,28 14,51 ‐ ‐ ‐ ‐ binokuler ‐ ‐ binokuler ‐ ‐ ‐ binokuler ‐ ‐ binokuler ‐ ‐ binokuler ‐ ‐ binokuler binokuler ‐ binokuler ‐ ‐ ‐ ‐ Binokuler Binokuler ‐ ‐ ‐ Teleskop Binokuler ‐ ‐ Binokuler Binokuler Binokuler Binokuler ‐ Lag Seminar Nasional Hilal 2009
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90.
91.
Arief Syamsu Ma'rufin Ma'rufin Ma'rufin Ma'rufin AR Sugeng Riyadi Abdul Muid Zahid Abdul Muid Zahid Ma'rufin Ma'rufin Mutoha Abdul Muid Zahid Abdul Muid Zahid Mahmud AR Sugeng Riyadi AR Sugeng Riyadi AR Sugeng Riyadi AR Sugeng Riyadi Abdul Muid Zahid Abdul Muid Zahid AR Sugeng Riyadi Mutoha Moedji Raharto Yhonny Siregar Ma'rufin AR Sugeng Riyadi Yhonny Siregar Novi Sopwan Ma'rufin Arief Syamsu Abdul Muid Zahid AR Sugeng Riyadi Mahmud Mahmud AR Sugeng Riyadi AR Sugeng Riyadi AR Sugeng Riyadi Iwan Kuswidi AR Sugeng Riyadi Mutoha Mutoha Mutoha Iwan Kuswidi Ma'rufin Ahmad Izzudin Ahmad Izzudin Ma'rufin AR Sugeng Riyadi Mutoha ‐31,970 ‐7,667 ‐7,667 ‐7,667 ‐7,667 ‐7,550 ‐7,167 ‐7,167 ‐7,667 ‐7,667 ‐8,017 ‐7,117 ‐7,117 ‐6,117 ‐7,700 ‐7,700 ‐7,700 ‐7,700 ‐7,167 ‐7,167 ‐7,700 ‐7,767 ‐6,900 ‐6,683 ‐6,717 ‐7,700 ‐6,683 ‐6,900 ‐7,767 ‐31,930 ‐7,167 ‐7,700 ‐6,150 ‐6,150 ‐7,700 ‐7,700 ‐7,700 ‐7,767 ‐7,700 ‐7,867 ‐7,867 ‐7,867 ‐8,00 ‐7,717 ‐6,967 ‐6,967 ‐7,983 ‐7,700 ‐7,767 115,917 109,667 109,667 109,667 109,667 110,767 112,617 112,617 109,667 109,667 110,317 112,600 112,600 106,867 110,733 110,733 110,733 110,733 112,617 112,617 110,733 110,367 107,600 106,867 108,567 110,733 106,867 107,600 110,367 115,767 112,617 110,733 106,833 106,833 110,733 110,733 110,733 110,367 110,733 110,467 110,467 110,467 110,267 109,400 110,433 110,433 112,633 110,733 110,367 0 21 21 21 21 111 120 120 21 21 0 15 15 0 98 98 98 98 120 120 98 114 700 600 4 98 600 700 114 0 120 98 26 26 98 98 98 114 98 395 395 395 3,5 0 100 100 400 98 114 1‐Sep‐08
27‐Sep‐08
27‐Sep‐08
28‐Sep‐08
28‐Sep‐08
28‐Sep‐08
30‐Sep‐08
30‐Sep‐08
27‐Oct‐08
27‐Oct‐08
30‐Oct‐08
30‐Oct‐08
30‐Oct‐08
31‐Oct‐08
26‐Dec‐08
26‐Dec‐08
24‐Apr‐09
24‐Apr‐09
26‐Apr‐09
26‐Apr‐09
21‐Jun‐09
21‐Jun‐09
21‐Jun‐09
21‐Jun‐09
21‐Jun‐09
22‐Jun‐09
24‐Jun‐09
24‐Jun‐09
24‐Jun‐09
24‐Jun‐09
24‐Jun‐09
24‐Jun‐09
24‐Jun‐09
24‐Jun‐09
21‐Jul‐09
23‐Jul‐09
23‐Jul‐09
23‐Jul‐09
19‐Aug‐09
21‐Aug‐09
21‐Aug‐09
21‐Aug‐09
21‐Aug‐09
21‐Aug‐09
19‐Sep‐09
19‐Sep‐09
20‐Sep‐09
20‐Sep‐09
20‐Sep‐09
hilaal hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal 19,167 24,734 24,467 15,108 14,933 15,058 10,262 10,262 21,815 21,811 14,743 14,247 14,356 24,876 16,718 16,636 15,461 15,406 12,551 12,576 24,007 24,148 24,267 24,29 24,355 24,744 22,033 22,426 21,779 17,792 21,652 21,733 22,221 22,221 14,203 17,654 17,673 17,787 17,495 12,109 12,134 12,179 12,154 12,226 6,122 6,122 18,577 18,535 18,607 0,088 14,94 15,57 6,694 6,688 6,655 7,999 7,999 7,762 7,475 7,603 8,206 8,071 11,47 1,184 2,087 1,172 1,283 2,267 2,267 9,163 8,807 8,185 5,981 8,054 7,444 2,791 1,342 3,386 12,44 3,382 3,467 2,001 2,001 6,841 3,249 3,38 4,011 9,355 6,713 6,77 6,872 6,734 6,983 7,018 7,018 11,15 11,33 11,25 102
19,167 28,6 28,458 16,515 16,315 16,443 13,002 13,002 23,116 22,987 16,557 16,415 16,45 27,238 16,814 16,763 15,505 15,459 17,268 17,276 25,583 25,616 25,538 25,517 25,584 25,807 22,198 22,466 22,029 21,656 21,901 21,994 22,308 22,308 15,754 17,94 17,984 18,229 19,781 13,833 13,887 13,978 13,886 14,072 9,307 9,307 21,573 21,609 21,647 3,05 6,44 6,36 2,29 2,23 2,27 1,44 1,44 4,33 4,27 2,29 2,24 2,25 5,87 2,37 2,36 2,06 2,05 2,45 2,46 5,25 5,27 5,25 5,24 5,26 5,37 4,04 4,15 3,98 3,81 3,93 3,98 4,08 4,08 2,11 2,7 2,72 2,79 3,23 1,64 1,66 1,68 1,66 1,7 0,76 0,76 3,78 3,78 3,8 0,86 1,93 1,91 0,64 0,63 0,64 0,39 0,39 1,23 1,22 0,62 0,61 0,61 1,65 0,63 0,63 0,58 0,58 0,73 0,73 1,62 1,63 1,62 1,61 1,62 1,65 1,24 1,27 1,22 1,18 1,21 1,22 1,25 1,25 0,63 0,81 0,82 0,84 0,99 0,48 0,48 0,49 0,48 0,49 0,21 0,21 1,12 1,13 1,13 15 ‐7 ‐29 21 ‐6 6 11 11 14 ‐5 25 9 15 n.a. 13 5 21 15 15 16 ‐7 n.a. n.a. n.a. 4 23 n.a. 35 0 21 ‐6 ‐3 15 15 18 ‐4 1 27 3 8 14 24 16 32 5 n.a. 0 ‐3 0 94 105 105 62 62 62 43 43 91 91 65 64 64 115 77 77 66 66 56 56 116 116 116 116 116 51 101 101 100 102 100 100 101 101 65 77 77 77 78 51 51 51 51 51 26 26 79 79 79 38,22 ‐57,59 ‐57,2 ‐34,05 ‐33,6 ‐33,89 26,35 26,35 ‐49,16 ‐48,85 35,69 35,25 35,35 59,47 ‐38,21 ‐38,07 ‐29,04 ‐28,94 31,24 31,26 ‐44,61 ‐44,7 ‐44,58 ‐44,55 ‐44,66 ‐45,11 39,2 39,74 38,9 38,05 38,67 38,84 39,42 39,42 ‐27,97 31,93 32,01 32,46 ‐35,29 24,73 24,83 24,93 24,83 25,16 15,86 15,86 39,68 39,73 39,81 Teleskop ‐ Binokuler ‐ Binokuler ‐ ‐ Binokuler ‐ Binokuler binokuler binokuler ‐ teleskop ‐ binokuler ‐ binokuler ‐ binokuler binokuler ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ binokuler binokuler ‐ teleskop ‐ binokuler ‐ ‐ ‐ teleskop binokuler ‐ ‐ ‐ binokuler ‐ binokuler ‐ ‐ Seminar Nasional Hilal 2009 92. Arief Syamsu 93. Arief Syamsu 94. AR Sugeng Riyadi 95. AR Sugeng Riyadi 96. Abdul Muid Zahid 97. Abdul Muid Zahid 98. Arief Syamsu 99. Ismail Fahmi 100. Ismail Fahmi 101. Mutoha 102. Ma'rufin 103. Ma'rufin 104. Abdul Muid Zahid 105. Abdul Muid Zahid 106. Ismail Fahmi 107. AR Sugeng Riyadi ‐31,970 ‐31,970 ‐7,700 ‐7,700 ‐7,167 ‐7,167 ‐31,970 ‐7,033 ‐7,033 ‐7,867 ‐6,717 ‐6,717 ‐7,167 ‐7,167 ‐7,033 ‐7,700 115,917 115,917 110,733 110,733 112,617 112,617 115,917 106,550 106,550 110,467 108,567 108,567 112,617 112,617 106,550 110,733 0 0 98 98 120 120 0 53 53 395 4 4 120 120 53 98 17‐Oct‐09
17‐Oct‐09
17‐Oct‐09
19‐Oct‐09
19‐Oct‐09
19‐Oct‐09
19‐Oct‐09
19‐Oct‐09
19‐Oct‐09
19‐Oct‐09
17‐Oct‐09
17‐Oct‐09
17‐Nov‐09
17‐Nov‐09
17‐Dec‐09
15‐Dec‐09
hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal tua 12,87 12,87 15,986 12,889 12,457 12,864 14,991 12,636 12,993 12,487 16,08 16,034 6,199 6,215 10,03 17,508 11,32 11,24 4,168 8,06 8,438 8,078 1,511 8,523 8,198 8,442 4,093 3,96 4,616 4,605 0,24 0,394 17,103 17,021 16,506 15,192 15,017 15,18 15,066 15,211 15,354 15,024 16,588 16,509 7,728 7,733 10,033 17,512 2,41 2,39 2,3 1,94 1,89 1,94 1,94 1,94 1,98 1,89 2,33 2,31 0,55 0,55 0,91 2,57 0,71 0,7 0,66 0,55 0,53 0,54 0,54 0,55 0,56 0,54 0,67 0,66 0,14 0,14 0,23 0,7 9 ‐1 ‐2 20 3 27 22 3 24 ‐7 21 11 8 9 24 17 62 62 67 56 55 55 77 56 56 56 67 67 28 28 45 80 ‐32,05 ‐31,88 ‐31,25 29,27 28,85 29,25 29,27 29,25 29,6 29,47 ‐31,45 ‐31,28 15,34 15,36 23,39 ‐38,03 ‐ teleskop binokuler binokuler binokuler ‐ teleskop teleskop ‐ binokuler ‐ binokuler binokuler ‐ teleskop binokuler Keterangan : (1) = nomor referensi, (3) = lintang titik pengamatan (negatif adalah Selatan), (4) = bujur titik pengamatan (positif adalah Timur), (5) = elevasi titik pengamatan (meter dpl), (7) = status obyek yang diamati, (8) = separasi altitude Bulan dan Matahari (derajat), (9) = separasi azimuth Bulan dan Matahari (derajat), (10) = elongasi Bulan (derajat), (11) = fase Bulan (persen), (12) = lebar sabit Bulan (menit busur), (13) = delta best time (menit), (14) = Lag Bulan (menit), (15) = Umur Bulan (jam, negatif adalah sebelum konjungsi). 103
Seminar Nasional Hilal 2009
LAMPIRAN 2 DATA VISIBILITAS NEGATIF DALAM BASIS DATA RHI SEBAGAI HASIL KAMPANYE OBSERVASI HILAAL/HILAAL TUA 1427 – 1430 H (2007 – 2009 M) No (1) 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
Pengamat (2)
Ma'rufin Ma'rufin Mutoha M. Najib Ma'rufin Abdul Muid Zahid AR Sugeng Riyadi Mutoha Noviar Firdaus AR Sugeng Riyadi Abdul Muid Zahid Abdul Muid Zahid Yhonny Siregar Mahmud Arief Syamsu Ma'rufin T. Djamaluddin Abdul Muid Zahid Herry Sudjono Ma'rufin Mutoha AR Sugeng Riyadi Iwan Kuswidi AR Sugeng Riyadi Iwan Kuswidi Usman Usman Mutoha Mahmud AR Sugeng Riyadi AR Sugeng Riyadi Abdul Muid Zahid Arief Syamsu Iwan Kuswidi Mutoha AR Sugeng Riyadi Abdul Muid Zahid Lintang (3) ‐6,683 ‐7,717 ‐8,067 ‐7,883 ‐7,667 ‐7,117 ‐7,700 ‐8,083 ‐6,400 ‐7,700 ‐7,167 ‐7,167 ‐6,683 ‐6,150 ‐31,933 ‐6,717 ‐6,900 ‐7,167 ‐6,317 ‐8,067 ‐8,067 ‐7,700 ‐7,767 ‐7,700 ‐7,767 ‐5,217 ‐5,217 ‐8,067 ‐7,033 ‐7,700 ‐7,700 ‐7,167 ‐31,967 ‐6,700 ‐8,067 ‐7,700 ‐7,167 Bujur Elevasi (4)
(5)
(6)
(7)
(8)
4 0 40 0 21 15 98 100 100 98 120 120 600 26 0 4 700 120 100 40 40 98 114 98 114 56 56 40 53 98 98 120 0 1041 40 98 120 30‐Aug‐08 31‐Aug‐08 31‐Aug‐08 31‐Aug‐08 5‐May‐08 29‐Oct‐08 28‐Dec‐08 28‐Dec‐08 24‐Apr‐09 25‐Apr‐09 25‐Apr‐09 25‐Apr‐09 23‐May‐09 25‐May‐09 25‐May‐09 25‐May‐09 25‐May‐09 23‐Jun‐09 23‐Jun‐09 23‐Jun‐09 23‐Jun‐09 22‐Jul‐09 21‐Jul‐09 20‐Aug‐09 20‐Aug‐09 20‐Aug‐09 21‐Aug‐09 20‐Aug‐09 19‐Sep‐09 18‐Oct‐09 18‐Oct‐09 18‐Oct‐09 18‐Oct‐09 19‐Oct‐09 17‐Dec‐09 17‐Dec‐09 17‐Dec‐09 hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal tua hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal hilaal 9,232 5,886 5,886 5,879 7,674 3,147 9,442 9,409 6,922 0,19 0,192 0,192 20,525 10,345 4,973 10,189 10,273 7,438 7,722 7,453 7,453 0,936 13,818 5,66 5,64 ‐1,224 10,712 ‐1,196 6,23 4,854 0,385 0,268 2,517 12,57 9,763 9,748 9,683 ‐108,550
‐109,400
‐110,317
‐109,983
‐109,667
‐112,600
‐110,733
‐111,900
‐106,800
‐110,733
‐112,617
‐112,617
‐106,867
‐106,833
‐115,967
‐108,567
‐107,600
‐112,617
‐107,033
‐110,317
‐110,317
‐110,733
‐110,367
‐110,733
‐110,367
‐97,033
‐97,033
‐110,317
‐106,550
‐110,733
‐110,733
‐112,617
‐115,917
‐106,967
‐110,317
‐110,733
‐112,617
Tanggal Status aD aL Fase W (9)
(10)
(11)
(12)
(13)
Alat Bantu Optik (14) 4,846 4,262 4,213 4,235 3,484 5,976 0,095 0,153 4,059 6,23 6,19 6,19 3,55 7,362 11,26 7,466 7,443 2,794 2,656 2,955 2,955 1,026 7,295 1,45 1,455 2,665 9,808 2,459 7,056 2,461 5,474 5,469 4,426 8,598 0,07 0,139 0,259 10,417 7,263 7,234 7,241 8,424 6,752 9,442 9,41 8,043 6,233 6,192 6,192 20,818 12,675 12,297 12,609 12,669 7,943 8,163 8,014 8,014 1,389 15,594 5,842 5,824 2,932 14,488 2,734 9,403 5,441 5,487 5,476 5,091 15,199 9,763 9,749 9,687 0,97 0,49 0,49 0,49 0,67 0,4 0,81 0,81 0,61 0,31 0,3 0,3 3,57 1,39 1,23 1,37 1,38 0,6 0,64 0,61 0,61 0,04 2,06 0,36 0,35 0,05 1,76 0,05 0,77 0,31 0,24 0,24 0,24 1,94 0,87 0,86 0,85 0,26 0,13 0,13 0,13 0,18 0,1 0,2 0,2 0,16 0,1 0,09 0,09 1,06 0,4 0,38 0,4 0,4 0,16 0,17 0,16 0,16 0 0,62 0,09 0,09 0,02 0,52 0,02 0,22 0,07 0,07 0,07 0,06 0,55 0,22 0,22 0,21 ‐21,13 14,67 14,62 14,61 13,54 11,1 22,52 22,45 ‐13,21 7,11 6,99 6,99 ‐37,25 22,5 21,11 22,37 22,49 14,77 15,17 14,89 14,89 ‐3,67 ‐27,66 ‐11,26 ‐11,22 1,66 25,65 0,58 16,06 ‐7,28 4,93 4,8 4,89 29,22 22,8 22,77 22,63 binokuler binokuler binokuler binokuler binokuler binokuler ‐ ‐ ‐ binokuler binokuler ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ binokuler binokuler ‐ ‐ binokuler ‐ ‐ ‐ ‐ binokuler binokuler binokuler binokuler binokuler binokuler binokuler teleskop ‐ Teleskop Binokuler Binokuler DAz Umur Bulan
Keterangan : (1) = nomor referensi, (3) = lintang titik pengamatan (negatif adalah Selatan), (4) = bujur titik pengamatan (positif adalah Timur), (5) = elevasi titik pengamatan (meter dpl), (7) = status obyek yang diamati, (8) = separasi altitude Bulan dan Matahari (derajat), (9) = separasi azimuth Bulan dan Matahari (derajat), (10) = elongasi Bulan (derajat), (11) = fase Bulan (persen), (12) = lebar sabit Bulan (menit busur), (13) = Umur Bulan (jam, negatif adalah sebelum konjungsi) 104
Seminar Nasional Hilal 2009 TANYA-JAWAB & DISKUSI II
Pemateri Sesi 3:
7. Bapak Taufiq Hidayat
8. Bapak M. Husni dan Bapak R. Nugraha
9. Bapak M. Ma’rufin Sudibyo, Bapak Mutoha Arkanuddin, dan Bapak AR. Sugeng
Riyadi
Pertanyaan :
- (Bpk. Cecep dari Planetarium)
1. Apakah menurut kriteria RHI 29 Ramadhan dengan ketinggian cukup tinggi itu
sudah laik masuk visibilitas hilal?
2. Masukan: Ketika hilal tidak teramati lalu pada saat itu menteri agama menyetujui
bahwa hilal tidak terlihat, maka nanti akan terjadi pada 17 oktober/8 syawal
ijtima’ akan terjadi dengan ketinggian hilal sekitar ½ derajat. Ini yang harus
diperhitungkan dalam penentuan kriteria visibilitas Hilal.
Masukan: Saya menyarankan untuk melihat dari bebagai contoh, bulan pada
buku-buku terlihat begitu tajam, karena menggunakan teropong besar, apakah
memungkinkan agar teropongnya diperbesar dan dilengkapi dengan radius lag.
- (Bpk. Miftahul Ulum IAIN Sunan Ampel Surabaya)
1. Di zaman rasul tidak pernah ada pertikaian dalam menentukan bulan ramadhan
atau syawal, zaman sekarang justru menimbulkan polemik yang luar biasa, oleh
karenanya jayusman, ketika memakai hisab urfi, maka jatuhnya pada hri jumat
maka umur bulan rhamadan adalah 30 hari maka selamanya akan terjadi 30
hari, ini terlalu berlebihan, karena rasul dalam sisi berpuasa rasul lebih banyak
berpuasa 29 hari daripada 30
2. Bagaimana kita dapat memberikan kontribusi pembelajaran dan kembali pada
hadits rasul?
3. Apakah tidak layak kita membuat perangkat undang-undang, dan ditaati oleh
seluruh warganya, bagaiman komentar anda tentang hal ini?
4. Pada kalender yang sama harusnya bisa menyatukan seluruh dunia, apakah ide
saya terlalu berlebihan?
- (Bpk. Suwandoyo)
1. Dihitungnya data tabel yang melengkung itu dengan regresi analisis apa?
2. Dengan cara apa? Kenapa melengkungnya aneh ke atas?
- (Bpk. Jamhur NU)
1. Masukan: Yang diutamakan adalah rukyat, bukan berarti tidak usah pakai alat,
tetapi artinya adalah isyarat bahwa umat islam harus melakukan perkembangan
terhadap rukyat.
2. Bagaiaman caranya aga teleskop bisa mendeteksi benda yang sangat jauh,
tertutup awan dan kecil? Karena ada sebuah teropong yang menggunakan infra
merah tetapi ia tak bisa menembus awan, apakah harus bergeser kepada infra
red jauh, agar sinarnya bisa masuk ke teleskop da masuk ke komputer agar
terjadi sinyal prosessing.
3. Saran: ini merupakan catatan yang menjadi riset nasional. Jika Indonesia dapat
menguasainya maka akan berkembang selain itu juga dapat menjadi proses
keaamanan di Indonesia.
105
Seminar Nasional Hilal 2009
Jawaban dari Bapak Taufiq Hidayat
Menanggapi pertanyaan Pak Cecep, diameter teleskop WO memang kecil hanya berkisar
sebasar 6 cm dengan dilengkapi mounting yang sangat bagus namun hanya dengan
kamera digital biasa. Teleskop ini merupakan teleskop portabel yang harapannnya dapat
mempermudah para pengamat sehingga mudah untuk menebarkan rasa keinginan
masyarakat untuk mencoba agar berpartisipasi dalam pengamatan rukyat hilal ini.
Menanggapi Pak Jumhur, ya kami sedang mengarah ke optimalisasi pengembangan
teknologi. Untuk itu kami kini sedang berusaha ke arah itu. Dalam masalah hisab, justru
kami (astronom) sangat ahli dalam tantangan observasi hilal dan pengolahan data namun
kami tidak kompeten untuk masalah kriteria syariah. Namun walaupun demikian kami
sangat bersedia jika dengan keahlian yang kami miliki, jika dimintai agar ikut berpartisipasi
dalam mencari solusi bersama dalam penentuan kriteria visibilitas Hilal.
Jawaban dari Bapak M. Husni
Masalah kriteria itu sulit jika setiap orang memilki pendapat masing-masing dan
memegang teguhnya. Dan masalah ini memang sejak dulu diperdebatkan dan belum juga
mencapai kesepakatan. Namun coba kita lihat dengan negara arab saudi yang merupakan
pusat keislaman, terjadi realita bahwa dalam penentuan Idul Adha 1429 H yang lalu itu
salah namun seluruh masyarakat arab tetap saja tekun dan teguh dalam megikuti
keputusan pemimpin. Karena mereka berprinsip ‘kami dengar dan kami taat’.
Jawaban dari Bapak M. Ma’rufin Sudibyo
Pada tanggal 19 September 2009, sifat Bulan sudah termasuk visible, dengan persyaratan
tidak ada satu pun syarat visible yang tidak terpenuhi karena setiap satu parameter visible
itu mempunyai galat sehingga jika tidak terpenuhi maka data yang didapatkan tidak begitu
akurat. Jika saat itu tidak teramati, maka seperti biasa akan berlebaran dengan hari-hari
yang berbeda.
Puasa itu memang paling banyak 29 hari dan saya setuju jika akan dibuat aturan dan
kebijakan yang harus diaati oleh seluruh masyarakat seperti zaman Rasulullah tapi
sekarang hal itu akan memberikan kesusahan untuk umat. Untuk kalendar tunggal kami
juga setuju, tapi mungkin untuk menuju ke sana, kita coba untuk dimulai dari titik kecil
seperti yang kita lakukan sekarang. Pertemuan-pertemuan, seminar-seminar, dan forum
bersama dalam rangka mencari solusi agar dapat menuju kesepakatan bersama.
Regresi pada grafik itu kita melakukannnya dengan mengikuti metode-metode dan cara
yang dilakukan Illyas dan tokoh-tokoh yang lain. Best time kami dapatkan dari
pengamatan namun untuk perhitungan selanjutnya kami seuntuhnya menggunakan sistem
perhitungan yang murni. Dari sekian banyak data tidak kami ambil semua. Kami pilih yang
terbaik dan kami lakukan regresi parabolik dan membentuk kurva parabola yang terbentuk
dari persamaan kuadrat.
106 Seminar Nasional Hilal 2009 PRESENTASI & DISKUSI II SESI 4 10. Dhani Herdiwijaya 11. Cecep Nurwendaya 12. Hendro Setyanto Tanya‐Jawab & Diskusi 4 107
Seminar Nasional Hilal 2009 108 Seminar Nasional Hilal 2009 Prosedur Sederhana Pengolahan Citra untuk Pengamatan Hilal
Dhani Herdiwijaya
KK Astronomi, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10 Bandung
Abstrak
Pengamatan hilal sudah semakin banyak dilakukan dengan prosedur acuan yang semakin baik.
Demikian pula peralatan yang dipergunakan, baik teleskop dan detektor, semakin efisien dan
memungkinkan untuk melalukan perekaman secara “real-time”. Bukti rekaman citra hilal
merupakan data astronomi yang sangat penting untuk membangun database dalam
perkembangan penelitian hilal di masa mendatang. Di sisi lain kondisi di lapangan seringkali
menyisakan waktu yang sempit untuk melaporkan hasil observasi sebagai bahan sidang isbat,
sehingga tidak sempat untuk melakukan pengolahan citra. Prosedur pengolahan citra secara
sederhana dari bukti rekaman citra hilal dengan menggunakan perangkat lunak yang nir biaya
perlu dilakukan, terutama untuk hilal umur sangat muda. Misalkan hilal termuda di Indonesia
yang berhasil dideteksi saat pengamatan 1 Syawal 1430 H (19 September 2009), yaitu berumur
kurang dari 16 jam. Hilal ini gagal diamati langsung dengan mata telanjang, tetapi berhasil
dideteksi dengan pengolahan citra sederhana.
1. Pendahuluan
Pengamatan hilal di Indonesia telah lama dilakukan oleh para astronom ataupun kalangan
umat Muslim. Momentum pengamatan hilal terfokus dalam penentuan awal bulan Ramadan,
Syawal dan Dzulhijah (Departemen Agama 2000). Seiring dengan kesadaran akan pentingnya
pengamatan hilal, penggunaan teknologi juga semakin cepat diaplikasikan dalam observasi hilal.
Dalam dekade terakhir, teleskop dan detektor dijital sebagai alat bantu telah dirasakan
manfaatnya. Demikian pula teknologi informasi telah dieksplorasi dalam prosedur observasi,
penyampaian langsung hasil observasi (real-time) ataupun sosialisasi tentang hilal dalam
situs-situs internet. Dengan demikian era data dijital telah memasuki ranah prosedur dan hasil
pengamatan hilal. Teknologi dalam riset dan aplikasi pengamatan hilal akan terus berkembang di
tahun-tahun mendatang. Kerjasama Institut Teknologi Bandung, Kementerian Komunikasi dan
Informasi, Departemen Agama serta industri telekomunikasi telah mendorong tumbuhnya
pengamatan hilal secara modern, yaitu penggunaan teleskop portabel dan teknologi digital. Hasil
dengan data digital dapat dinikmati langsung oleh masyarakat (Hidayat dkk. 2010). Secara umum
program kerjasama terpadu ini telah mendokumentasikan banyak citra hilal dalam rentang umur
15 jam sampai lebih dari satu hari, yang dapat dipergunakan dalam pembelajaran tentang hilal.
Makalah ini membahas prosedur pengolahan citra sederhana untuk umur bulan termuda
(15 jam 24 menit) yang dapat dideteksi di Indonesia pada tanggal 19 September 2009 atau 1
Syawal 1430 H.
2. Peralatan
Perlengkapan standar yang dipergunakan dalam proyek kerjasama di atas adalah teleskop
refractor 66 mm (f5.9). Teleskop ini mempunyai kualitas lensa yang sangat baik. Untuk penjejak
langit, maka teleskop kemudian diletakkan pada penggerak telekop otomatis dengan kendali
komputer. Sistem penggerak ini lebih menjamin akurasi dalam melacak keberadaan hilal.
Sedangkan detektor yang dipergunakan adalah kamera kompak dijital dengan jumlah 8 Mega
pixel. Sistem teleskop dan detektor sangat penting dalam keberhasilan pengamatan hilal. Gambar
yang diambil berupa rekaman langsung video kompresi AVI dengan resolusi maksimum 640x480
baris. Sebagai catatan, tayangan modus “real-time” menggunakan resolusi 320x240 baris.
Tayangan modus terakhir yang dipergunakan dalam pencarian hilal untuk kasus 19 September
2009. Besar video untuk kasus ini sebesar 318 Mb dengan dengan durasi 30 menit 44 detik (mulai
dari jam 17:24:40 WIB) dan jumlah citra sebanyak 27.671 buah. Observasi dilakukan di Menara al
Husna, Mesjid Agung Jawa Tengah. Tim dari Observatorium Bosscha terdiri dari Hendro Setyanto
dan Dhani Herdiwijaya.
109
Seminar Nasional Hilal 2009 3. Latar Belakang Pengolahan Citra
Informasi dari obyek langit, dalam hal ini hilal, dibawa oleh kurir yang disebut foton. Kurir
informasi ini bermula dari permukaan Bulan yang disinari cahaya Matahari, berpropagasi
melewati ruang antar Bulan dan Bumi, menembus turbulensi atmosfer Bumi, masuk ke teleskop,
memicu sinyal di detektor dan akhirnya menghasilkan sebuah citra. Dengan demikian, informasi
hilal selain bergantung terhadap sistem teleskop dan detektor, juga bergantung terhadap
prosentase iluminasi hilal, kondisi atmosfer dan cuaca. Informasi tersebut menjelma menjadi ilmu
pengetahuan yang akan memicu inovasi teknologi. Ilmu pengetahuan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi pengamatan hilal tersebut sangat penting untuk terus digali, sehingga selaras
dengan teknologi yang dipakai. Dengan demikian, tujuan dari proses pengolahan citra adalah
menggali informasi sebanyak mungkin dari obyek langit, yang mungkin tersembunyi akibat
turbulensi atmosfer ataupun ketidaksempurnaan sistem teleskop dan detektor. Pengolahan citra
tidak banyak diperlukan jika citra yang diperoleh sudah menampilkan informasi yang diperlukan.
Di sisi lain detektor alami yang luar biasa, yaitu mata manusia terdiri dari sel-sel batang
dan kerucut yang mengolah informasi secara bersamaan, tetapi dengan mekanisme berbeda.
Setiap sel merupakan sistem optik yang adaptif. Sistem optik dan detektor mata belum dapat
disaingi oleh teknologi optik dan detektor tercanggih. Sel-sel kerucut lebih responsif untuk
pencahayaan terang (photopic), sedangkan sel-sel batang bertanggung-jawab atas penglihatan
kegelapan malam hari (scotopic). Oleh karena itu, sel batang mempunyai efisiensi terhadap
penerimaan cahaya tiga kali lipat dari sel kerucut. Efisiensi ini berlangsung secara gardual. Selain
itu, sel batang mempunyai puncak sensitivitas pada panjang gelombang 507 nm, sedangkan sel
kerucut 555 nm (Schaefer 1993; Dogget, Schaefer 1994). Pengamatan hilal dengan mata langsung
mensyaratkan nilai kontras obyek langit yang tinggi atau nilai iluminasi hilal lebih dari 1.5%.
Kekurangan pengamatan dengan mata adalah citra yang direkam oleh mata tidak dapat direkam
dan diulang lagi citranya, sehingga data pengamatan hilal ini hanya berupa kesaksian visual,
sehingga sulit menganalisa secara kuantitatif. Detektor CCD (charge coupled devices) dirancang
untuk mengubah sinyal analog dari kurir informasi menjadi sinyal dijital. Sinyal digital ini secara
umum empat kali lebih sensitif dibandingkan sel batang, sehingga pemakaian detektor jenis ini
sangat dianjurkan dalam pengamatan hilal. Bantuan sistem teleskop dan detektor dapat
mendeteksi iluminasi hilal kurang dari 1%.
Pengolahan citra akan mengoptimalkan dan menggabungkan keunggulan kinerja detektor
dan mata, yaitu dengan memilah citra detektor dalam rentang panjang gelombang sekitar puncak
sensitivitas sel batang. Keduanya setara dalam filter Hijau. Hasil komparasi detektor CCD
menggunakan masing-masing citra dengan filter RGB (Red-Green-Blue), merah (Red) dan hijau
(Green) memperlihatkan bahwa nilai kontras masing-masing adalah 8.7%, 55.6% dan 86.5%
(http://www.edmundoptics.com). Dengan demikian pemilahan citra menjadi masing-masing kanal
filter, kemudian memilih citra kanal G diperlukan untuk pengolahan citra selanjutnya.
Perangkat lunak yang dipergunakan dalam pengolahan citra dipilih dengan beberapa
kriteria, yaitu nir biaya, mendukung format kompresi video AVI dan mempunyai kelengkapan
menu yang baik, diantaranya pemilahan kanal penapis, seleksi otomatis banyak citra, penapis
wavelet,
dll..
Dalam
hal
ini
dapat
direkomendasikan
perangkat
lunak
IRIS
(http://www.astrosurf.com/buil). Versi terakhir adalah 5.58 dengan frekuensi revisi yang cukup
tinggi. Perangkat lunak lain adalah Registax (http://registax.astronomy.net). Versi terakhir adalah
versi 5. Perangkat lunak ini tidak menawarkan perintah dengan mengetikkan baris (command
line).
4. Algoritma Pengolahan Citra
ƒ Pemisahan file video dalam kanal warna (R)ed, (G)reen dan (B)lue
Kamera kompak dijital menghasilkan citra berwarna atau gabungan citra dengan filter
RGB. Oleh karena sel batang sensitif dalam rentang warna hijau, maka langkah awal
adalah memisahkan citra berwarna menjadi citra R(ed), G(reen) dan B(lue) masing-masing
terdiri dari 27.671 buah. Selanjutnya citra kanal G yang akan dianalisis lebih lanjut.
ƒ Seleksi citra kanal G(reen)
Langkah ini merupakan aspek terpenting dalam pengolahan citra. Tujuan langkah ini
adalah memilih citra dengan kualitas tinggi yang mempunyai kriteria tertentu (nilai
kontras tertentu). Jumlah citra yang sangat banyak tidaklah memungkinkan cara seleksi
110
Seminar Nasional Hilal 2009 ƒ
ƒ
ƒ
citra secara visual biasa atau manual. Untuk mempercepat seleksi awal, dapat
dipergunakan perangkat lunak nir biaya dengan tujuan memperkecil jumlah citra kualitas
tinggi. Sekiranya obyek langit yang diamati sudah terlihat, maka proses seleksi dapat
dilakukan secara cepat. Sebaliknya jika keberadaan obyek langit sulit dideteksi, misalkan
tersembunyi dalam derau latar belakang, maka asas kehati-hatian harus diterapkan
sehingga proses seleksi dapat berlangsung lebih lama.
Dalam kasus citra hilal 19 September 2010, langkah awal seleksi dilakukan secara visual
dengan memutar ulang rekaman video berulang-ulang. Setelah kemungkinan citra hilal
dapat dideteksi berada dalam rentang waktu sekian menit dari awal, maka seleksi citra
terkonsentrasi dalam rentang periode waktu tersebut.
Koreksi citra flat atau rekonstruksi flat
Citra yang terseleksi harus dikoreksi dengan citra flat. Tujuan langkah ini adalah
mengkoreksi atau menghilangkan adanya debu atau kotoran yang menempel dalam
detektor atau lensa teleskop. Citra yang diperoleh akan bersih dari bayangan-banyangan
debu atau kotoran. Selain itu langkah ini juga akan menaikkan nilai kontras. Langkah ini
dapat dikerjakan dengan perangkat lunak IRIS atau Registax.
Menggabungkan citra kualitas baik
Jika citra kualitas baik yaitu mempunyai kontras tinggi berjumlah lebih dari satu, maka
langkah selanjutnya menggabungkannya menjadi satu citra dengan kontras tinggi dan
nilai nisbah S/N (Signal to Noise ratio) yang tinggi pula. Langkah ini dapat dikerjakan
dengan perangkat lunak IRIS atau Registax.
Kosmetik
Langkah kosmetik ini hanya untuk memperindah atau mempertajam citra yang sudah
terseleksi dengan kualitas terbaik, misalkan dengan filter atau penapis wavelet,
sharpening, contrast, brightness, dll. Langkah ini dapat dikerjakan dengan perangkat
lunak IRIS atau Registax.
Langkah-langkah di atas dapat dilakukan untuk kanal R dan B, kemudian digabungkan
menjadi citra berwarna dengan kualitas terbaik.
5. Kesimpulan
Pengolahan citra diperlukan untuk hilal umur sangat muda (~16 jam) dengan ketinggian
rendah karena hilal sangatlah sulit dideteksi secara visual dengan mata telanjang. Untuk itu
diperlukan teleskop dan detektor dengan kualitas terbaik. Sedangkan citra yang diperoleh
memerlukan seleksi pada rentang panjang gelombang hijau, yaitu setara dengan puncak
sensitivitas sel batang mata manusia. Program pengamatan hilal terpadu ITB, Menkominfo dan
Departemen Agama telah meletakkan dasar sistem informasi hilal yang baik, tetapi masih
diperlukan pengamatan hilal lebih intensif untuk memperoleh citra hilal umur muda lebih banyak.
Sedangkan riset tentang hilal masih dapat terus ditingkatkan dengan mengintegrasikan sistem
teleskop dan detektor yang mempunyai resolusi dan kualitas atmosfer yang mendekati limit
difraksi.
Referensi
1. Departemen Agama RI, “Himpunan Keputusan Menteri Agama tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadhan
dan 1 Syawal tahun 1381-1418 H / 1962-1997 M”, 2000
2. Dogget, R.E dan Schaefer, B.E., Lunar Crescent Visibility, Icarus 107, 388, 1994
3. Hidayat, T., Mahasena, P., Dermawan, B., Herdiwijaya, D., Setyanto, H., Irfan, M.,
Suhardiman, B., Santoso, A., Development of Information System on Lunar Crescent
Observations, Jurnal ITB 2010 (dalam pengajuan)
4. Schaefer, B.E., Astronomy and the Limit of Vision, Vistas in Astron. 36, 311, 1993
111
Seminar Nasional Hilal 2009
GARIS BATAS BULAN BARU YANG DINAMIS BESERTA
KONSEKUENSINYA
Dipersiapkan oleh: Dra. Hj. Delly Indirayati M.Si,
Dra. Hj. Tarumini, Cecep Nurwendaya
Planetarium & Observatorium Jakarta
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.
Abstrak
Berbeda dengan Garis batas tanggal internasional atau Garis batas tanggal Masehi
yang bersifat statis, Garis batas bulan baru atau Garis ketinggian hilal nol derajat bersifat
dinamis, berubah letak dan kemiringannya setiap bulan tergantung padai posisi Bulan dan
Matahari dari pusat Bumi. Ke dua garis batas tersebut membagi peta dunia masing-masing
menjadi dua penanggalan yang berbeda. Penanggalan masehi dipengaruhi oleh
pergantian waktu daerah setempat dan Garis batas tanggal internasional, sedangkan
penanggalan hijriyah ditentukan oleh garis batas tanggal internasional, garis ketinggian
hilal nol derajat dan kriteria masuknya awal bulan hijriyah..
Penamaan istilah Garis batas bulan baru untuk Garis ketinggian hilal 0o
dimaksudkan untuk membedakan antara pengertian garis batas bulan baru (New Moon,
konjungsi atau Ijtima’) yang berada dalam ranah kajian astronomis murni dengan Awal
bulan ( New Month, awal bulan atau tanggal 1 dalam penanggalan ) yang sudah
dipadukan dengan aplikasi kriteria awal bulan hijriyah. Kriteria awal bulan yang
berbeda-beda antara satu dengan lainnya khususnya di Indonesia saat ini berada dalam
ranah kajian syari’ah.
Aplikasi penanggalan hijriyah berkaitan langsung dengan posisi matahari pada bola
langit. Tanggal hijriyah dimulai pada saat matahari terbenam di tempat pengamat.
Nama-nama hari hanya dikenal dalam kalender syamsiah yang berdasar posisi matahari.
Oleh karenanya penentuan gambaran global awal bulan hijriyah di peta dunia secara hisab
dari Peta garis batas tanggal hijriyah (Garis batas bulan baru yang sudah terkoreksi oleh
kriteria awal bulan) dipengaruhi pula oleh perbedaan hari atau tanggal akibat penggunaan
Garis batas tanggal Internasional. Gabungan ke dua garis batas tanggal tersebut
menyebabkan pada setiap tanggal hijriyah yang sama, terdapat dua bahkan tiga
hari/tanggal masehi yang berbeda. Fakta ini dapat menjelaskan bahwa tidak mungkin di
seluruh muka bumi mengawali bulan hijriyah pada hari/tanggal yang bersamaan, aplikasi
selanjutnya dapat menjelaskan pula bahwa konsep hilal dan penanggalan hijriyah global
tidak dapat dipakai di seluruh muka bumi.
Pergerakan dinamis garis batas bulan baru terjadi akibat perubahan pada posisi
bulan dan matahari di bola langit. Sebenarnya penyebab perubahan letak dan kemitingan
garis ini sangat komplek, mengingat gerak bulan dan gerak semu matahari di bola langit
memiliki berbagai variabel dalam perubahan geraknya. Secara sederhana dan populer
dapat dijelaskan akibat adanya perubahan letak matahari di bidang ekliptika sepanjang
tahun dan perubahan letak bulan pada lingkaran orbit bulan akibat kemiringan bidang orbit
bulan sebesar 5,2o terhadap ekliptika. Penyebab lain yang dapat mempengaruhi dinamika
gerak garis batas bulan baru yang menyangkut posisi bulan dan matahari adalah: orbit
bulan dan bumi berupa ellips sehingga kecepatannya selalu berubah sesuai dengan
perubahan jaraknya terhadap bumi, adanya gerak regresi garis nodal bulan dengan
periode 18,6 tahun, gerak librasi bulan, dan gerak lainnya yang terangkum dalam siklus
Metonik. Siklus Metonik adalah siklus musim penampakan hilal, memiliki periode 235
lunasi (1 lunasi = periode sinodis bulan). Kalender hijriyah berdasarkan pada siklus
penampakan hilal.
112
Seminar Nasional Hilal 2009 Garis Batas Tanggal Internasional
Rotasi bumi menyebabkan terjadinya perubahan waktu akibat gerak harian matahari.
Panjang hari yang kita kenal berumur 24 jam berdasar pada gerak harian matahari
menegah sepanjang tahun. Posisi matahari setiap jam bergeser 150 ke arah barat tampak
dari pengamat di permukaan bumi. Pada saat yang bersamaan setiap tempat di bumi,
semakin ke barat letaknya maka waktu semakin mundur. Contohnya saat di Jakarta Jam
12 WIB bersamaan dengan Jam 08 Waktu Saudi di Mekkah. Setiap perbedaan garis bujur
(meridian) 150 waktu berbeda 1 jam. Akibat bumi berbentuk bulat tepatnya geoid, sedikit
memepat di ke dua kutubnya, konsekwensinya terjadi pada dibuatlah garis batas tanggal
internasional. Melewati garis batas tersebut terjadi pelompatan atau pemunduran tanggal.
Jika melewati garis batas tersebut dari barat ke arah timur (menyongsong matahari) maka
penanggalan dimundurkan satu hari, sebaliknya jika bergerak ke arah barat (meninggalkan
matahari) maka penanggalan dimajukan satu hari.
CONTOH APLIKASI GARIS BATAS TANGGAL INTERNASIONAL
30OBB
0O
30OBT
60O
90O
120O
150OBT
180O
150OBB
120O
60O
30OBB
GARIS BATAS TANGGAL INTERNASIONAL
105oT
SABTU
AHAD
SABTU
19-08-2009
20-12-2009
19-12-2009
15.00 GMT 18.00 W.Saudi
19-12-2009
19-12-2009
90O
22.00 WIB
19-12-’09 00.00
20-12-’09
07.00
19-12-2009
03.00
Gambar 1
SABTU
AHAD
SABTU
19-DES.-2009
20-DES.-2009
19-DES-2009
Contoh Aplikasi Garis batas tanggal Internasional.
Peta Garis Batas Bulan Baru atau Peta Garis Ketinggian Hilal 0o
Garis batas bulan baru atau atau Garis ketinggian hilal 0o adalah lengkungan yang
digambarkan pada peta dunia. Tempat-tempat pada lengkungan itu mempunyai saat
terbenam matahari bersamaan dengan terbenamnya bulan.
Latar Belakang:
- Gerak semu matahari pada bola langit ke arah timur lebih lambat daripada gerak bulan.
- Penentuan tanggal satu bulan hijriyah didasarkan kepada penampakan hilal termuda
pada saat matahari terbenam. Horizon (ufuk) menjadi batas.
-Secara astronomis saat matahari berada di ufuk dapat dihitung (diperkirakan) dan
demikian pula dengan bulan, untuk berbagai tempat di bumi.
- Melalui pendekatan dengan cara interpolasi dapat dicari tempat-tempat yang menunjukan
saat matahari terbenam bersamaan dengan terbenamnya bulan, berdasarkan data
efemeris.
113
Seminar Nasional Hilal 2009
Pemanfaatan:
- ”Garis batas bulan baru” dapat digunakan untuk melihat bagian dunia yang sudah
mungkin melihat hilal dan yang belum.
- “Garis batas bulan baru” dapat digunakan bersama-sama garis ketinggian untuk
memperkirakan situasi ketinggian hilal.
- Garis batas bulan baru dapat digunakan untuk melihat apakaah Indonesia dan Arab Saudi
bersama-sama memasuki bulan hijriah atau tidak.
Data yang diperlukan:
Tabel saat matahari dan bulan terbenam di sekitar tanggal pergantian bulan
(konjungsi,
New Moon atau ijtima’), untuk berbagai lintang tempat pada suatu busur tertentu (dalam hal
ini kita dapat menggunakan bujur Greenwich ).
Pada peta Garis batas bulan baru terdapat daerah hilal positif yang menunjukkan
Matahari akan terbenam terlebih dahulu sebelum hilal. Pada daerah ni jika telah memenuhi
kriteria masuknya awal bulan, baik hisab maupun berdasar pembuktian hilal dapat dirukyat
maka keesokan harinya memulai awal bulan baru. Sekalipun tinggi hilal sudah positif tetapi
ijtima’ belum berlangsung, maka hilal yang berada di atas ufuk ini sebenarnya bukan hilal,
melainkan bulan sabit tua menjelang akhir bulan. Pada kasus seperti ini sesuai dengan
kaidah falakiyah maka akan menggenapkan bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari
atau istikmal.
Sekalipun pada saat ghurub
ijtima’ belum terjadi, tinggi
hilal dapat berharga positif.
KLS
HARIA
N
GERAK
EKL
IPTI
KA
EKUAT
OR LA
NGIT
ZENITH
BARAT
IJTIMA’SETELAH GHURUB
Gambar 2. Tinggi bulan sudah positif sebelum ijtima’ terjadi.
Daerah hilal negatif menunjukkan hilal atau bulan akan terbenam terlebih dahulu
sebelum matahari. Pada daerah ini menurut falakiyah berdasar pada semua kriteria
masuknya awal bulan, maka akan mengge-napkan bulan yang sedang berjalan menjadi 30
hari.
114
Seminar Nasional Hilal 2009 Penentuan hisab awal bulan hijriyah pada dunia
GARIS KETINGGIAN HILAL 00 AWAL BULAN SYAWAL 1430 H
00
500
1000
1500 T
1800
1500 B
1000
500
RAMADLAN
Ijtima’: 19 Sept. 2009
Jam : 01.45 WIB.
600 U
600 U
EROPA
ASIA
AMERIKA
UTARA
400
200
400
200
AFRIKA
+30
+50
00
00
+40
00
AMERIKA
SEL ATAN
200
200
AUSTRALIA
400
400
SYAWAL
19 September 2009
600 S
00
500
1000
1500 T
18 September 2009
1800
1500 B
1000
600 S
500
Gambar 3. Peta garis ketinggian hilal 0o awal bulan Syawal 1430 H.
Sebagai contoh pada gambar 3 di atas ditunjukkan bahwa ijtima’ menjelang awal
bulan Syawal 1430 H terjadi pada pukul 01.45 WIB. Garis ketinggian hilal 0o melalui Eropa,
Asia Tengah dan Amerika Selatan. Perkiraan garis ketinggian hilal di wilayah Indonesia
seperti halnya di Saudi Arabia memiliki nilai positif cukup tinggi.
Pada daerah-daerah yang memiliki tinggi hilal positif dan memenuhi kriteria
masuknya awal bulan hijriyah secara hisab, keesokan harinya akan marayakan Idul Fitri
1430 H. Sebaliknya tempat di daerah tnggi hilal negatif akan menggenapkan bulan
Ramadlan menjadi 30 hari.
Pada gambar 4 di bawah ini ditunjukkan
KAPAN 1 SYAWAL 1430 H. MENURUT HISAB (PERHITUNGAN) ?
00
500
1000
1500 T
1800
1500 B
1000
500
Ijtima’: 19 Sept. 2009
Jam : 01.45 WIB.
SENIN,
21 SEPT. ‘09
600 U
EROPA
AHAD,
20 SEPT.’09
ASIA
AMERIKA
UTARA
400
200
400
200
AFRIKA
+30
+50
00
00
+40
00
AMERIKA
SEL ATAN
200
AUSTRALIA
SABTU,
19 SEPT. 2009
AHAD,
20 SEPT. 2009
400
600 U
200
400
600 S
600 S
00
0
50
100
0
0
150 T
0
180
0
150 B
100
0
0
50
Gambar 4. Penentuan 1 Syawal 1430 H di seluruh dunia menurut Hisab.
115
Seminar Nasional Hilal 2009
Konsekuensi penggunaan Garis batas tanggal Internasional dan Garis ketinggian
hilal 0o pada tanggal ijtima 19 september 2009 (tanggal 29 Ramadlan 1430 H). Sekalipun di
seluruh muka bumi akan melaksanakan Idul Fitri pada tanggal 1 Syawal 1430 H,
bersamaan dalam penanggalan hijriyahnya, namun tanggal/hari penanggalan masehi atau
miladiyah dapat berbeda tergantung pada letak tempatnya. Ada yang melaksanakan pada
hari: Sabtu, 19 September 2009; Ahad, 20 September 2009 dan Senin, 21 September 2009.
Di sebelah utara garis ketinggian hilal 0o akan mengalami bulan Ramadlan selama 30 hari
karena istiqmal, sedangkan di daerah selatan garis tersebut jika telah mencapai kriteria
masuknya awal bulan akan menjalani bulan Ramadlan hanya 29 hari. Sedang di daerah
selatan dari garis ketinggian hilal nol derajat yang belum mencapai kriteria masuknya awal
bulan, berlaku seperti di daerah utara akan menggenapkan bulan Ramadlan menjadi 30
hari.
Perubahan Garis ketinggian hilal nol derajat.
Garis Batas ketinggian hilal 0o pada peta dunia bersifat dinamis, selalu berubah dari
bulan ke bulan tergantung pada posisi bulan dan matahari dari pusat bumi.
Di bawah ini diberikan contoh bentuk dan kemiringan kurva yang berbeda,
posisi bulan
dan matahari pada saat ijtima dari pusat bumi dan pada saat matahari terbenam di
Pelabuhan ratu.
GARIS KETINGGIAN HILAL 00 MENJELANG AWAL BULAN RABI’UL AWAL 1428 H.
00
500
1000
1500 T
1800
1500 B
1000
500
Ijtima’: 19 Maret 2007
Jam : 02.43 GMT
600 U
600 U
EROPA
ASIA
AME RIKA
UTARA
400
200
400
+ 40
+ 30
+ 20
AFRIKA
00
200
00
AMERIKA
SEL ATAN
00
200
200
AUSTRALIA
400
400
600 S
600 S
00
500
1000
1500 T
1800
1500 B
1000
500
Gambar 5. Kemiringan kurva menjelang awal bulan Rabi’ul Awal 1428 H,
116
Seminar Nasional Hilal 2009 POSISI BULAN DAN MATAHARI DARI PUSAT BUMI
PADA SAAT IJTIMA’ TANGGAL 19 MARET 2007 PUKUL 02. 43 GMT (09.43 WIB)
MENJELANG AWAL BULAN R ABI’UL AWAL 1428 H.
BULAN DAN MATAHARI TERLETAK PADA BUJUR EKLIPTIKA YANG SAMA
LIP TIK A
LINTANG E K
O
IK A 358 7,4’
BUJUR EK LIPT
O 5,9’
B ULAN =1
A
LINTANG EK LIP TIK
O
MATAHARI =0
Gambar 6. Posisi bulan dan matahari pada saat ijtima dari pusat bumi tanggal
19 Maret 2007.
PELABUHAN RATU, 19 MARET 2007 (29 MUHARRAM 1428 H.)
Pada saat ghurub Matahari pukul: 18.05 22 WIB. tinggi hilal Mar’i = 10. 24,7’
Azimuth Matahari = 2690 17’, Bulan = 273o 8,7’. Beda Azimuth = 3o 51,7’
Gambar 7. Posisi hilal pada saat matahari terbenam di palabuhan Ratu
tanggal 19 Maret 2007.
117
Seminar Nasional Hilal 2009
GARIS KETINGGIAN HILAL 0o MENJELANG AWAL BULAN RAMADHAN 1428 H
1500 B
1000
500
500
00
1000
1500 T
Ijtima’:11 Sept. ‘07
Jam :12.45 GMT
600 U
600 U
400
ASIA
EROPA
AMERIKA
UTARA
400
SAMUDRA
ATLANTIK
200
00
-30
AFRIKA
SAMUDRA PASIFIK
200
SAMUDRA PASIFIK 200
00
AMERIKA
SEL ATAN
200
-20
SAMUDRA HINDIA AUSTRAL IA
400
400
00
600 S
600 S
1500 B
1000
500
500
00
1000
1500 T
Gambar 8. Kemiringan kurva menjelang bulan Ramadlan 1428 H.
POSISI BULAN DAN MATAHARI DARI PUSAT BUMI
PADA SAAT IJTIMA’ TANGGAL 11 SEPTEMBER 2007 PUKUL 12. 45 GMT (19.45 WIB)
BULAN DAN MATAHARI TERLETAK PADA BUJUR EKLIPTIKA YANG SAMA
E KL
IP TIK
A
K
UR E
B UJ
O 25’
168
A
K
I
LIP T
LINTANG EKLIPTIKA
BULAN =-1O 02’
LINTANG EKLIPTIKA
MATAHARI =0O
Gambar 9. Posisi bulan dan matahari pada saat ijtima dari pusat bumi tanggal
11 September 2007
118
Seminar Nasional Hilal 2009 Hari Selasa, 11 September 2007 (Pukul 17:51:50 WIB)
Ijtima: Selasa, 11 September 2007 Pukul: 19.45 WIB.
Beda Azimut 1,5 kali lebar piringan matahari
Tinggi Merkurius = 18,60
Azimuth = 268,10
Illuminasi = 82 %
Terbenam pkl: 19.10.31
Gerak harian se
jaj ar ek uator lan
git
Posisi Bulan pada saat matahari terbenam
di Pelabuhan ratu- Sukabumi
Tinggi Bulan – 4 kali lebar piringan matahari
KLS
BARAT
( 270o)
A Matahari = 274,60
Δ A = 4,60
h = -2,05O
Δ A = 0,70
BULAN TERBENAM PUKUL: 17:43:10 WIB
(8 menit 40 detik sebelum ghurub), Azimuth = 274,20
A bulan = 273,90
Gambar 10. Ilustrasi posisi hilal pada saat matahari terbenam di Pelabuhan
Ratu tanggal 11 September 2007.
Penyebab perubahan dinamis Garis batas bulan baru
PENYEBAB PERPINDAHAN GARIS KETINGGIAN HILAL 0O
Akibat perubahan posisi Bulan dan Matahari dari Bumi terhadap waktu
(sangat kompleks).
Pendekatan dengan penyederhanaan populer:
1. Perubahan letak Matahari di lingkaran ekliptika pada bola langit sepanjang
tahun. Dipengaruhi oleh:
- Gerak revolusi dan kemiringan poros rotasi Bumi.
2. Perubahan letak Bulan terhadap Matahari dari Bumi sepanjang lingkaran
orbit bulan pada bola langit sepanjang bulan.
dipengaruhi oleh:
- Kemiringan 5,2o antara bidang orbit bulan terhadap ekliptika.
- Bentuk elips orbit bulan.
- Gerak regresi garis nodal bulan dengan periode 18,6 tahun.
Serta pengaruh gerak-gerak lainnya, seperti Presesi, Nutasi, Librasi
Terangkum dalam siklus musim penampakan hilal akibat dinamika gerak
bulan, disebut siklus Metonik.
Periode siklus Metonik = 235 lunasi (1 lunasi = periode sinodis bulan).
Penanggalan Hijriyah yang berdasarkan pada siklus penampakan hilal,
119
Seminar Nasional Hilal 2009
Gerak revolusi bumi mengitari matahari (gerak tahunan bumi)
23,50
Kut
ub
eku
ato
r
Kutub ekliptika
Periode 1 tahun sideris = 365,2564 hari, Periode 1 tahun tropis = 365,2422518 hari
21 Maret
Bidang ekliptika
22 Des.
22 Juni
Bidan
g
ekua
to r
langi
t
23 Sept.
Gambar 11. Ilustrasi bidang orbit bumi dan kemiringan sumbu rotasi bumi
23,5 derajat terhadap sumbu bidang ekliptika.
GERAK HARIAN MATAHARI SEPANJANG TAHUN
22 Juni
TMP
21 Maret TMS 23 September TMG
22 Desember TMD
Gambar 12. Ilustrasi perubahan posisi gerak semu harian matahari akibat
kemiringan sumbu dan gerak revolusi bumi.
120
Seminar Nasional Hilal 2009 Bidang orbit bulan miring 5,20 terhadap bidang
ekliptika (orbit bumi mengedari matahari)
Kutub orbit bulan
Kutub ekliptika
lan
t bu
i
b
r
ng o
Bida
Bidang ekliptika
50
Ek
Gambar 13. Ilustrasi gerak revolusi bulan dan kemiringan 5,2o
bulan terhadap ekliptika.
ua
tor
bidang orbit
KUTUB EKLIPTIKA UTARA
KUTUB ORBIT BULAN UTARA
5,2o
GARIS NODAL
V TITIK SIMPUL TURUN
N
ULA
B
T
I
ORB
NG
A
D
I
B
5,2o
V
TITIK SIMPUL NAIK
lan
git
BIDANG EKLIPTIKA
Gambar 14. Ilustrasi titik simpul dan garis nodal bulan pada bidang orbit
bulan.
121
Seminar Nasional Hilal 2009
Lingkaran orbit bulan pada bola langit membuat kemiringan sekitar 5,2o terhadap
lingkaran ekliptika. Kedua lingkaran tersebut membuat perpotongan di dua titik pada bola
langit yang disebut Titik Simpul Bulan (Node atau “Uqdah“), disebut juga sebagai Titik
Nodal Bulan. Arah gerak bulan pada orbitnya dari barat ke timur atau berlawanan dengan
gerak semu harian benda langit.yakni dari timur ke arah barat. Pada saat bulan berada di
kedua titik nodal memiliki koordinat lintang ekliptika (β) = 0, Karena tepat berada di
lingkaran ekliptika. Pada saat bulan berada di utara ekliptika memiliki nilai β positif (+),
sebaliknya pada saat bulan berada di selatan ekliptika memiliki nilai negatif (-+, serupa
seperti nilai deklinasi dari equator ke arah kutub langit.
Titik kedua nodal bulan disebut Simpul Naik, pada saat itu bulan akan memasuki
belahan utara ekliptika langit atau memasuki daerah lintang ekliptika positif. Sebaliknya
pada saat bulan akan memasuki belahan selatan ekliptika langit atau memasuki daerah
lintang ekliptika negatif disebut Simpul Turun. Kedua simpul tersebut yang terletak pada
lingkaran ekliptika tidak tetap melainkan melakukan pergerakan mundur atau bergerak ke
arah barat dengan periode 18,6 tahun. Pergerakan ini akibat pergerakan garis penghubung
ke dua titik nodal. Gerak ini disebut regresi garis nodal.
Kesimpulan
- Garis batas tanggal hijriyah pada peta dunia dipengaruhi oleh Garis batas tanggal
Internasional, Garis ketinggian hilal nol derajat dan Kriteria masuknya awal bulan
hijriyah.
- Garis batas tanggal Internasional bersifat statis, tidak berubah, dibuat manusia sebagai
hasil konvensi atau kesepakatan untuk tujuan kepentingan penanggalan miladiyah
atau masehi. Garis batas tanggal inii memisahkan dua hari atau tanggal yang berbeda
pada peta dunia sebagai konsekuensi bentuk bulat bumi.
- Garis Ketinggian hilal nol derajat masih bersifat astronomis murni, jika dikoreksi
dengan kriteria masuknya awal bulan hijriyah yang berada dalam ranah koridor sya’riah
akan menjadi Garis batas tanggal hijriyah.
- Garis ketinggian hilal nol derajat bersifat dinamis, selalu bergeser dan berubah
kemiringannya dari bulan ke bulan tergantung dari posisi bulan dan matahari dari pusat
bumi pada saat itu. Adanya perubahan itu akibat -kemiringan bidang orbit bulan dalam
mengelilingi bumi sebesar 5,2 derajat, pergerseran garis nodal bulan yang berulang
setiap 18, 6 tahun.yang dikenal sebagai periode regresi garis nodal. Bentuk orbit bulan
dan bumi berupa ellips sehingga kecepatannya selalu berubah sesuai dengan
perubahan jaraknya terhadap bumi, kemiringan sumbu bumi 23,5o derajat terhadap
sumbu bidang ekliptika. Akibatnya letak matahari pada bola langit bergeser pada
lingkaran ekliptika sepanjang tahun,gerak librasi bulan, dan gerak lainnya tercakup
dalam siklus metonik dinamika bulan. Siklus musim penampakan hilal dalam
penanggalan hijriyah ini dikenal dengan siklus metonik memiliki periode 235 lunasi (1
lunasi = periode sinodis bulan).
- Tidak mungkin di seluruh muka bumi mengawali bulan hijriyah pada tanggal miladiyah
atau masehi yang bersamaan, Keberadaan garis batas tanggal Internasional dan Garis
batas bulan baru atau garis ketinggian hilal nol derajat mengakibatkan awal tanggal
hijriyah yang sama, misalnya tanggal 1 Syawal atau hari raya Idul Fitri dilaksanakan
pada dua bahkan tiga hari/ tanggal masehi yang berbeda tergantung pada letaknya di
peta dunia. Aplikasi selanjutnya dapat menjelaskan bahwa konsep hilal dan
penanggalan hijriyah global tidak dapat dipakai di seluruh muka bumi.
122
Seminar Nasional Hilal 2009 DAFTAR REFERENSI
Abell, G.O., 1975, Exploration of the Universe, Holt, Rinehart and Winston, New York.
Departemen Agama RI, 2009, Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2009,
tgl. 1 – 3 Maret 2009 di Lembang Jawa Barat, Direktorat Urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Smart, W.M., 1961, Sperical Astronomy, Cambridge Univ. Press, London
---------------., 2004, Software Astronomi Starry Night Pro 5.8.2 pcEW, Imaginova Canada
Lmt
---------------.,1989, Sofware Astronomi Astro Info, Tumasoftware, Zephyr Services 1900
Murray Ave. Pittsburgh, PA. 15217
---------------.,Red Shift 3 Multi Media Astronomy, Maris Multimedia Production.
123
Seminar Nasional Hilal 2009 124
Seminar Nasional Hilal 2009 125
Seminar Nasional Hilal 2009 126
Seminar Nasional Hilal 2009 127
Seminar Nasional Hilal 2009
TANYA-JAWAB & DISKUSI II
Pemateri Sesi 4:
10. Bapak Dhani Herdiwijaya
11. Bapak Cecep Nurwendaya
12. Bapak Hendro Setyanto
Pertanyaan :
- (Bpk.X)
1. Ada garis batas ketinggian yang itu harus ada, jika kita taat kepada garis itu,
maka harus dibuat kota mana saja? Jangan negara, karena dia akan
membelah, sama saja dengan menunggu-nunggu, atau seperti wacana dari HTI
bahwa beberapa tahun ke depan seluruh dunia menjadi sebuah khilafah, maka
akan sama-sama ber-Idul Fitri di Indonesia akan sama dengan negara lain,
maka garis tanggal ini harus kota, sehingga tidak harus menunggu dari negara
lain.
- (Bpk. Y)
1. Apakah pengolahan citra harus menunggu setelah pengamatan atau real time;
jika harus menunggu berapa lama?
2. Apakah mobile observatory dapat menjadi virtual observatory juga?
- (Bpk. Miftahul Ulum IAIN Sunan Ampel Surabaya)
1. Terkait dengan angka ketinggian hilal, apakah asumsi bahwa ‘hilal tidak terlihat
kecuali di atas 2 derajat’ tidak terlau berlebihan? Karena ketika di zaman nabi
tanggal 9 H dengan data ketinggian hilal 1,7 derajat, apa data itu keliru? Maka
dari mana data tersebut didapatkan? Jika sudah valid maka pengetahuan
astronomi di zaman itu sudah canggih?
2. Kenapa lab. Boscha hingga saat ini tidak menjadi rujukan untuk Indonesia?
Kenapa kiblat kita masjid Agung Semarang? mengapa Obs. Boscha yang lebih
layak meneropong bulan justru tidak digunakan menjadi acuan?
Jawaban dari Bapak Cecep Nurwendaya
Garis batas tanggal berkaitan dengan syari dan kriteria. Setiap tempat bukan berdasar
negara atau kota, tapi berdasar lintang dan bujur. Hilal global tidak akan bisa dihindari.
Hilal adalah lokal. Pengamatan dilakukan setelah pengamatan Matahari. Asean dan ipiem
bekerjasama dengan indonesia.
Jangan jadikan ketinggian menjadi masalah Hilal. Arab lebih rendah dari pada Indonesia.
Visibilats hilal tidak berdasar ketinggian. Posisi Arabia 4 jam lebih tua dari indonesia (lebih
miring).
Jawaban dari Bapak Dhani Herdiwijaya
Prosedur pengolahan citra dilakukan sesudahnya. Kesimpulan setelah bulan terbenam/
hilalnya terbenam. Untuk mengekstrak warna green itu cepat sedang yang lama adalah
menyeleksinya. Freeware seleksinya diserahkan dengan menggunakan software, secara
manual dihilangkan, trus dirunning lagi seleksinya. Penggabungannya cukup cepat. Dari
27 ribu, hanya 3 citra yang jelas, untuk 1 syawal kemarin. 15 menit cukup untuk mengolah
citra.
128 Seminar Nasional Hilal 2009 Pengamatan hilal itu rendah, jadi harus merunduk atau dengan kata lain dilakukan di
tempat yang rendah. Observatorium Bosscha, jika hilal diamati dengan teleskop besar
yang permanen akan dipastikan akan ketutupan dinding sehingga tidak bisa.
Jawaban dari Bapak Hendro Setyanto
Virtual observatory: teropong permanen
Mobile observatory: mobilnya yang pindah, punya kemungkinan dikembangkan sebagai
virtual observatory
Rukyat di Semarang, harus disumpah, sumpahnya tidak melihat hilal, tapi menentukan
citra hilal.
129 Seminar Nasional Hilal 2009
130 Seminar Nasional Hilal 2009 PRESENTASI & DISKUSI III SESI 5 13. A. Nuradnan Pramudita 14. Muh. Nashirudin Tanya‐Jawab & Diskusi 5 131
Seminar Nasional Hilal 2009 132 Seminar Nasional Hilal 2009
‫ﺲ ﺿـِـﻴـَـﺎ ًء َو اﻟـْـﻘـَـﻤـَـ َﺮ‬
َ ‫ﻞ اﻟﺸـﱠـﻤـْـ‬
َ ‫هـُـ َﻮ اﻟـﱠـﺬِي ﺟـَـﻌـَـ‬
‫ل ﻟـِـﺘـَـﻌـْـﻠـَـﻤـُـﻮا ﻋـَـ َﺪ َد‬
َ ‫ﻧـُـﻮرًا َو ﻗـَـﺪﱠ َر ُﻩ ﻣـَـﻨـَـﺎز‬
‫ﻚ إﻻ‬
َ ‫ﷲ ذﻟـِـ‬
ُ ‫ﻖا‬
َ ‫ب ﻣـَـﺎ ﺧـَـﻠـَـ‬
َ ‫ﻦ َو اﻟـْـﺤـِـﺴـَـﺎ‬
َ ‫اﻟﺴـﱢـﻨـِـﻴ‬
.‫ن‬
َ ‫ت ﻟـِـﻘـَـ ْﻮ ٍم ﻳـَـﻌـْـﻠـَـﻤـُـﻮ‬
ِ ‫ﻞ اﻻﻳـَـﺎ‬
ُ ‫ﻖ ﻳـُـﻔـَـﺼـﱢـ‬
‫ﺑـِـﺎﻟـْـﺤـَـ ﱢ‬
(٥:‫ﺲ‬
‫ﻳﻮﻧﺲ‬
‫)ﻳﻮ‬
Seputar Awal Ramadhan,
Ramadhan,
Awal Syawal,
Syawal, dan Idul Adha
“Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan
bercahaya, dan ditetapkan-Nya tempat-tempat peredaran
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
waktu. Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda-Nya
kepada orang yang mengetahui.” (Yunus: 5)
oleh Alma Nuradnan Pramudita
MASALAH
TEKNIS
NON-TEKNIS
Masalah teknis yaitu masalah yang
berkaitan dengan strategi bertahan hidup.
Cari Masalah
Masalah non-teknis yaitu masalah yang
berkaitan dengan interaksi antar-manusia
setelah ditemukannya strategi hidup.
dipecahkan dengan sains dan teknologi
dipecahkan dengan aturan
Al Qur’an
as sunnah
ijma’ sahabat
qiyas
MASALAH
TEKNIS
MASALAH
NON-TEKNIS
TEKNIS
NON-TEKNIS
Untuk melindungi badan dari panas atau
dingin, dibuatlah pakaian.
Bagaimana laki-laki seharusnya
berpakaian?
Untuk melangsungkan hidup, manusia
makan atau minum.
Bolehkah semua makanan dimakan atau
diminum?
Untuk memudahkan pengadaan pakaian,
dib tl h alat
dibuatlah
l t pembuat
b t pakaian.
k i
Bagaimana perempuan seharusnya
berpakaian?
Untuk mengundang selera makan,
dikembangkan berbagai-bagai teknik
memasak.
Meskipun tujuannya untuk mempersedap,
bolehkah semua bahan makanan atau
minuman digunakan untuk memasak?
DENGAN AKAL
DENGAN DALIL SYAR’I
DENGAN AKAL
133
DENGAN DALIL SYAR’I
Seminar Nasional Hilal 2009
MASALAH
TEKNIS
MASALAH
NON-TEKNIS
Untuk memudahkan usaha menjaga
kelangsungan hidup, manusia mencari
kekayaan.
Untuk memperbesar peluang mudahnya
hidup, manusia mengumpulkan kekayaan.
TEKNIS
NON-TEKNIS
Cara apa sajakah yang boleh dilakukan
untuk mencari kekayaan?
Untuk menukar kepemilikan, manusia
melakukan jual-beli.
Bolehkah menjual barang yang belum ada
akad jual-belinya?
Bolehkah kekayaan dikumpulkan saja
hingga menumpuk?
Untuk menawarkan kepemilikan, manusia
melakukan pemasaran.
Bolehkah pemasaran dilakukan melalui
metode pemasaran berlapis (multi-levelmarketing)?
Bolehkah segala macam benda dijadikan
milik perorangan?
Untuk menarik minat calon pembeli,
penjual memasang harga murah,
menetapkan garansi, atau memperluas
distribusi.
Bolehkah menetapkan bunga utang?
DENGAN AKAL
Bolehkah negara menetapkan harga
minimum?
Bolehkah penjual mencari penawar harga
tertinggi?
DENGAN DALIL SYAR’I
DENGAN AKAL
DENGAN DALIL SYAR’I
MASALAH
TEKNIS
MASALAH
NON-TEKNIS
TEKNIS
NON-TEKNIS
Bagaimana cara memperoleh energi dari
energi ikat inti atom?
Bolehkah membuat bom nuklir?
Bagaimana proses terjadinya hilal dan fase
Bulan?
Apa penentu awal Ramadhan atau Syawal?
Bagaimana
g
cara mengendalikan
g
p
pelepasan
p
energi dari reaksi inti?
Dalam perang, bolehkah meledakkan bom
nuklir?
Bagaimana
g
cara memprediksi
p
lokasi dan
waktu teramatinya hilal?
Apa penentu saat Idul Adha?
DENGAN AKAL
DENGAN DALIL SYAR’I
DENGAN AKAL
DENGAN DALIL SYAR’I
Rumah Mewah
radius khatulistiwa
radius kutub
luas daratan
:
:
:
:
luas perairan
:
:
komposisi
:
:
:
temperatur permukaan :
Tak Kenal maka ... Kenalan
(NASA)
134
(Wikipedia)
6378,1 km
6356,8 km
~149 juta km2
~15 milyar ha
~361 juta km2
~36 milyar ha
mineral
air
udara
rata-rata 14 °C
Seminar Nasional Hilal 2009
Kalau Bulan bisa Ngomong
radius khatulistiwa
radius kutub
luas daratan
:
:
:
:
komposisi
:
temperatur permukaan :
Buka 24 Jam
1783,14 km
1735,97 km
~38 juta km2
~3,8 milyar ha
mineral
rata rata -98
rata-rata
98 °C
C
radius khatulistiwa
luas permukaan
:
:
:
komposisi
:
temperatur permukaan :
temperatur inti
:
(NASA)
(Wikipedia)
~700000 km
~60 milyar km2
~6000 milyar ha
hidrogen
5505 °C
~16 juta °C
C
(Wikipedia)
(Luc Viatour)
(NASA/JAXA)
Milyaran Tahun Bersama
(NASA/Luc Viatour)
Semua Bergerak
Suatu Tahun di Bumi ...
Suatu Tahun di Bumi ...
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Di bulan Januari, garis
edar Matahari ada
di belahan selatan
langit.
Di bulan Februari, garis
edar Matahari ada
di belahan selatan
langit dan makin ke
utara
utara.
Belahan utara Bumi
masih mengalami
musim dingin
karena siang hari
lebih pendek dari
malam hari.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Januari 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Belahan utara Bumi
mulai mengalami
musim semi karena
temperatur harian
meningkat.
Belahan selatan Bumi
masih mengalami
musim panas
karena siang hari
lebih panjang dari
malam hari.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Februari 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
135
Belahan selatan Bumi
mulai mengalami
musim gugur
karena temperatur
harian menurun.
Seminar Nasional Hilal 2009
Suatu Tahun di Bumi ...
Suatu Tahun di Bumi ...
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Sekitar tanggal 21 Maret
di belahan utara
dan selatan Bumi,
panjang siang dan
malam hari sama
sama.
Di bulan April, garis edar
Matahari ada di
belahan utara langit.
Belahan utara Bumi
masih mengalami
musim semi karena
temperatur harian
meningkat.
Belahan utara Bumi
mengalami musim
semi.
Belahan selatan Bumi
mengalami musim
gugur.
Belahan selatan Bumi
masih mengalami
musim gugur
karena temperatur
harian menurun.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Maret 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 April 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Suatu Tahun di Bumi ...
Suatu Tahun di Bumi ...
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Di bulan Mei, garis edar
Matahari ada di
belahan utara langit.
Sekitar tanggal 21 Juni,
garis edar Matahari
berada di posisi
paling utaranya
Belahan utara Bumi
mulai mengalami
musim panas
karena siang hari
lebih panjang dari
malam hari.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Mei 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Belahan utara Bumi
mengalami musim
panas.
Belahan selatan Bumi
mengalami musim
dingin.
Belahan selatan Bumi
mulai mengalami
musim dingn karena
siang hari lebih
pendek dari malam
hari.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Juni 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Suatu Tahun di Bumi ...
Suatu Tahun di Bumi ...
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Di bulan Juli, garis edar
Matahari ada di
belahan utara langit.
Di bulan Agustus, garis
edar Matahari ada
di belahan utara
langit dan makin ke
selatan
selatan.
Belahan utara Bumi
masih mengalami
musim panas
karena siang hari
lebih panjang dari
malam hari.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Juli 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Belahan utara Bumi
mulai mengalami
musim gugur
karena temperatur
harian menurun.
Belahan selatan Bumi
masih mengalami
musim dingn karena
siang hari lebih
pendek dari malam
hari.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Agustus 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
136
Belahan selatan Bumi
mulai mengalami
musim semi karena
temperatur harian
meningkat.
Seminar Nasional Hilal 2009
Suatu Tahun di Bumi ...
Suatu Tahun di Bumi ...
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Sekitar tanggal 23
September di
belahan utara dan
selatan Bumi,
panjang siang dan
malam hari sama.
Di bulan Oktober, garis
edar Matahari ada
di belahan selatan
langit.
Belahan utara Bumi
masih mengalami
musim gugur
karena temperatur
harian menurun.
Belahan utara Bumi
mengalami musim
gugur.
Belahan selatan Bumi
mengalami musim
semi.
Belahan selatan Bumi
masih mengalami
musim semi karena
temperatur harian
meningkat.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 September 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Oktober 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Suatu Tahun di Bumi ...
Suatu Tahun di Bumi ...
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Sepanjang tahun, posisi
Matahari pada jam
tertentu berubah
secara periodik.
Di bulan November,
garis edar Matahari
ada di belahan
selatan langit.
Sekitar tanggal 21
Desember, garis
edar Matahari
berada di posisi
paling selatannya
Belahan utara Bumi
mulai mengalami
musim dingin
karena siang hari
lebih pendek dari
malam hari.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 November 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Belahan utara Bumi
mengalami musim
dingin.
Belahan selatan Bumi
mengalami musim
panas.
Belahan selatan Bumi
mulai mengalami
musim panas
karena siang hari
lebih panjang dari
malam hari.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Desember 2009 pukul 09:21. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Suatu Hari di Bumi ...
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 2 Agustus 2009 pukul 18:30. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Suatu Hari di Bumi ...
Setiap harinya, posisi
Bulan pada jam
tertentu bergeser ke
timur sejauh ~13°.
Setiap harinya, posisi
Bulan pada jam
tertentu bergeser ke
timur sejauh ~13°.
Jadi, waktu terbit
atau terbenam
Bulan selalu
terlambat ~50
menit setiap
harinya.
Jadi, waktu terbit
atau terbenam
Bulan selalu
terlambat ~50
menit setiap
harinya.
Sebab dari perubahan
harian posisi
Bulan pada jam
tertentu yaitu
lebih lamanya
masa Bulan
mengelilingi Bumi
dibandingkan
masa rotasi
Bumi.
Sebab dari perubahan
harian posisi
Bulan pada jam
tertentu yaitu
lebih lamanya
masa Bulan
mengelilingi Bumi
dibandingkan
masa rotasi
Bumi.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 3 Agustus 2009 pukul 18:30. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
137
Seminar Nasional Hilal 2009
Suatu Hari di Bumi ...
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 4 Agustus 2009 pukul 18:30. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Suatu Hari di Bumi ...
Setiap harinya, posisi
Bulan pada jam
tertentu bergeser ke
timur sejauh ~13°.
Setiap harinya, posisi
Bulan pada jam
tertentu bergeser ke
timur sejauh ~13°.
Jadi, waktu terbit
atau terbenam
Bulan selalu
terlambat ~50
menit setiap
harinya.
Jadi, waktu terbit
atau terbenam
Bulan selalu
terlambat ~50
menit setiap
harinya.
Sebab dari perubahan
harian posisi
Bulan pada jam
tertentu yaitu
lebih lamanya
masa Bulan
mengelilingi Bumi
dibandingkan
masa rotasi
Bumi.
Sebab dari perubahan
harian posisi
Bulan pada jam
tertentu yaitu
lebih lamanya
masa Bulan
mengelilingi Bumi
dibandingkan
masa rotasi
Bumi.
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 5 Agustus 2009 pukul 18:30. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Suatu Hari di Bumi ...
Setiap harinya, posisi
Bulan pada jam
tertentu bergeser ke
timur sejauh ~13°.
Jadi, waktu terbit
atau terbenam
Bulan selalu
terlambat ~50
menit setiap
harinya.
Sebab perubahan
harian posisi
Bulan pada jam
tertentu yaitu
lebih lamanya
masa Bulan
mengelilingi Bumi
dibandingkan
masa rotasi
Bumi.
Wajah--Wajah Bulan
Wajah
(Tomruen)
(NASA/Luc Viatour)
berka
as sinar Matahari
berkas sinar Matahari
Penampakan Bulan di langit
berubah ubah. Ini karena Bulan
memantulkan sinar Matahari
sambil bergerak menglilingi
Bumi.
berkas sinar Matahari
Wajah--Wajah Bulan
Wajah
berka
as sinar Matahari
Simulasi belahan timur langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 6 Agustus 2009 pukul 18:30. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
What on Earth is Hilal
Bagaimana penampakan Bulan
di langit tergantung pada posisi
Bulan terhadap Bumi dan
Matahari
hari ke-1
138
hari ke-3
hari ke-5
hari ke-7
Seminar Nasional Hilal 2009
Wajah--Wajah Bulan
Wajah
pa
aruh awal bulan Hijriyah
Wajah--Wajah Bulan
Wajah
Pada hari yang sama, Bulan
ada di timur Matahari dan
terbenam setelah Matahari
terbenam.
paruh akhir bulan Hijriyah
Pada hari yang sama, Bulan
terbit/terbenam saat
Matahari terbenam/terbit.
(Wikimedia Commons)
Bulan baru
(Bulan mati)
Kuartil Awal
(Bulan separuh)
Kuartil Kedua
(Bulan purnama)
Kuartil Ketiga
(Bulan separuh)
Bulan baru
(Bulan mati)
Bulan Baru Bumi
Bulan Baru Bumi
Hilal yaitu Bulan sabit
pertama yang
terbenam setelah
Matahari terbenam.
hilal Sya’ban 1430 H
Pada hari yang sama, Bulan
ada di barat Matahari dan
terbenam sebelum Matahari
terbenam.
sehari setelah hilal Sya’ban 1430 H
Karena luas permukaan
Bulan sabit pertama
sangat kecil dan
karena posisi Bulan
sabit pertama dekat
dengan Matahari,
maka hilal belum
tentu teramati.
Hilal yaitu Bulan sabit
pertama yang
terbenam setelah
Matahari terbenam.
Karena luas permukaan
Bulan sabit pertama
sangat kecil dan
karena posisi Bulan
sabit pertama dekat
dengan Matahari,
maka hilal belum
tentu teramati.
Simulasi belahan barat langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 23 Juli 2009 pukul 17:00. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Simulasi belahan barat langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 24 Juli 2009 pukul 17:00. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
‫ل َو ﻻ‬
َ ‫ ﻻ ﺗـَـﺼـُـﻮﻣـُـﻮا ﺣـَـﺘـﱠـﻰ ﺗـَـ َﺮوْا اﻟـْـﻬـِـﻼ‬...
‫ن ﻏـُـ ﱠﻢ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـﻜـُـ ْﻢ‬
ْ ‫ﺗـُـﻔـْـﻄـِـﺮُوا ﺣـَـﺘـﱠـﻰ ﺗـَـ َﺮ ْو ُﻩ ﻓـَـﺈ‬
:١٣/٢/‫ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬،١٧٧٢ :١٥/١١/‫ )ﺻﺤﻴﺢ ﺑﺨﺎري‬.‫ﻪ‬
ُ ‫ﻓـَـﺎﻗـْـ ُﺪرُوا ﻟـَـ‬
Yang Berawal pasti Berakhir
(١٧٨٩ ،١٧٨٧
“ ... Jangan kamu berpuasa hingga melihat hilal dan jangan
kamu berbuka (mengakhiri Ramadhan) hingga melihat
hilal. Jika kalian terhalang awan, maka genapkanlah
(Sya’ban menjadi 30 hari).” (Shahih Bukhari/XV/11: 1772,
Shahih Muslim/XIII/2: 1787, 1789)
139
Seminar Nasional Hilal 2009
‫ن ﻟـَـﻴـْـﻠـَـﺔ ﻓـَـﻼ‬
َ ‫ اﻟﺸـﱠـﻬـْـ ُﺮ ﺗـِـﺴـْـ ٌﻊ َو ﻋـِـﺸـْـﺮُو‬...
‫ن ﻏـُـ ﱠﻢ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـﻜـُـ ْﻢ‬
ْ ‫ﺗـَـﺼـُـﻮﻣـُـﻮا ﺣـَـﺘـﱠـﻰ ﺗـَـ َﺮ ْو ُﻩ ﻓـَـﺈ‬
:١٥/١١/‫ )ﺻﺤﻴﺢ ﺑﺨﺎري‬.‫ﻦ‬
َ ‫ﻓـَـﺄآـْـﻤـِـﻠـُـﻮا اﻟـْـﻌـِـﺪﱠة ﺛـَـﻼﺛـِـﻴ‬
... ‫ن‬
ْ ‫ﺻـُـﻮﻣـُـﻮا ﻟـِـ ُﺮؤْﻳـَـﺘـِـ ِﻪ َو أﻓـْـﻄـِـﺮُوا ﻟـِـ ُﺮؤْﻳـَـﺘـِـ ِﻪ ﻓـَـﺈ‬
‫ن‬
َ ‫ﻲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـﻜـُـ ْﻢ ﻓـَـﺄآـْـﻤـِـﻠـُـﻮا ﻋـِـﺪﱠة ﺷـَـﻌـْـﺒـَـﺎ‬
َ ‫ﻏـُـﺒـﱢـ‬
(١٧٧٥ :١٥/١١/‫ )ﺻﺤﻴﺢ ﺑﺨﺎري‬.‫ﻦ‬
َ ‫ﺛـَـﻼﺛـِـﻴ‬
(١٧٧٣
(١٧٧٣
“ ... Berpuasalah kamu dengan rukyat (melihat hilal) dan
akhiri puasamu dengan rukyat (melihat hilal). Jika kalian
terhalang awan, maka genapkan Sya’ban menjadi 30 hari.”
(Shahih Bukhari/XV/11: 1775)
“ ... Satu bulan itu bisa saja 29 hari. Dan jangan kamu
berpuasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalang awan,
maka genapkan Sya’ban menjadi 30 hari.” (Shahih
Bukhari/XV/11: 1773)
Awal Ramadhan dan Syawal
Semua nash menyebutkan bahwa awal dan akhir puasa
ditandai dengan terlihatnya hilal oleh mata. Jadi, awal
Ramadhan dan Syawal ditentukan dengan melihat hilal.
... ‫ﻓـَـﺼـُـﻮﻣـُـﻮا ﻟـِـ ُﺮؤْﻳـَـﺘـِـ ِﻪ َو أﻓـْـﻄـِـﺮُوا ﻟـِـ ُﺮؤْﻳـَـﺘـِـ ِﻪ‬
.‫ﻦ‬
َ ‫ﻲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـﻜـُـ ْﻢ ﻓـَـﺎﻗـْـ ِﺪرُوا ﻟـَـ ُﻪ ﺛـَـﻼﺛـِـﻴ‬
َ ‫ن أﻏـْـﻤـِـ‬
ْ ‫ﻓـَـﺈ‬
(١٧٨٨ :١٣/٢/‫)ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬
Perhitungan (hisab) boleh digunakan untuk membantu
memperkirakan kapan dan di mana hilal paling
memungkinkan untuk dilihat. Namun, hanya menggunakan
perhitungan untuk menentukan awal Ramadhan dan awal
Syawal merupakan hal yang tidak boleh dilakukan.
“ ... Berpuasalah kamu dengan rukyat (melihat hilal) dan
akhiri puasamu dengan rukyat (melihat hilal). Jika kalian
terhalang awan, maka genapkan Sya’ban menjadi 30 hari.”
(Shahih Muslim/XIII/2: 1788)
Akurasi perhitungan astronomi modern memang tinggi,
namun laporan penampakan hilal tetap dibutuhkan untuk
mengawali atau mengakhiri Ramadhan.
Ada Masalah
Ada Masalah
Setiap harinya, posisi Bulan pada jam tertentu bergeser ke
timur sejauh ~13°. Jadi makin ke barat posisi pengamatan
hilal, makin mungkin hilal teramati.
Ada dua pendapat mengenai rukyat hilal.
1. Rukyat hilal berlaku lokal. Muslim mengawali atau
mengakhiri Ramadhan berdasarkan hasil rukyat lokal.
2. Rukyat hilal berlaku global. Terlihatnya hilal di daerah lain
merupakan tanda diawali atau diakhirinya Ramadhan bagi
muslim di seluruh dunia.
dunia
Dapat terjadi teramatinya hilal di satu tempat namun tidak di
tempat lain. (Sebagai contoh, hilal tidak terlihat di Papua
namun terlihat di Jerman pada hari yang sama.) Jika demikian
yang terjadi, apakah muslim Papua harus menganggap bahwa
hilal terlihat pada hari itu?
140
Seminar Nasional Hilal 2009
‫ث ﺑـَـﻌـَـﺜـَـﺘـْـ ُﻪ إﻟـَـﻰ‬
ِ ‫ﺖ اﻟـْـﺤـَـﺎر‬
َ ‫ن أ ّم ﻓـَـﻀـْـﻞ ﺑـِـﻨـْـ‬
ْ ‫ أ‬...
‫ﺖ اﻟﺸـﱠـﺎ ِم‬
ُ ‫ل ﻓـَـﻘـَـﺪِﻣـْـ‬
َ ‫ﻣـُـﻌـَـﺎوﻳـَـﺔ ﺑـِـﺎاﻟﺸـﱠـﺎ ِم ﻗـَـﺎ‬
‫ﻲ‬
ّ ‫ﻞ ﻋـَـﻠـَـ‬
ّ ‫ﺖ ﺣـَـﺎﺟـَـﺘـَـﻬـَـﺎ َو إﺳـْـﺘـُـﻬـِـ‬
ُ ‫ﻓـَـﻘـَـﻀـَـﻴـْـ‬
‫ل‬
َ ‫ﺖ اﻟـْـﻬـِـﻼ‬
ُ ‫ن َو أﻧـَـﺎ ﺑـِـﺎﻟﺸـﱠـﺎ ِم ﻓـَـﺮَأﻳـْـ‬
ُ ‫رَﻣـَـﺎﺿـَـﺎ‬
‫ﺖ اﻟـْـﻤـَـﺪِﻳﻨـَـﺔ ﻓـِـﻲ‬
ُ ‫ﻟـَـﻴـْـﻠـَـﺔ اﻟـْـﺠـُـﻤـُـﻌـَـ ِﺔ ﺛـُـ ّﻢ ﻗـَـﺪِﻣـْـ‬
‫ﻦ ﻋـَـﺒـﱠـﺎس‬
ُ ‫ﷲ ﺑـْـ‬
ِ ‫ﻲ ﻋـَـﺒـْـ ُﺪ ا‬
‫ﺁﺧـِـﺮﺮ اﻟﺸـﱠـﻬـْـﺮﺮ ﻓـَـﺴـَـﺄﻟـَـﻨـِـﻲ‬
‫ل‬
َ ‫ل ﻓـَـﻘـَـﺎ‬
َ ‫ﷲ ﻋـَـﻨـْـﻬـُـﻤـَـﺎ ﺛـُـ ّﻢ ذآـَـ َﺮ اﻟـْـﻬـِـﻼ‬
ُ ‫ﻲا‬
َ ‫رَﺿـِـ‬
‫ﺖ رَأﻳـْـﻨـَـﺎ ُﻩ ﻟـَـﻴـْـﻠـَـﺔ‬
ُ ‫ل ﻓـَـﻘـُـﻠـْـ‬
َ ‫ﻣـَـﺘـَـﻰ رَأﻳـْـﺘـُـ ْﻢ اﻟـْـﻬـِـﻼ‬
‫ﺖ ﻧـَـﻌـَـ ْﻢ َو‬
ُ ‫ﺖ رَأﻳـْـﺘـَـ ُﻪ ﻓـَـﻘـُـﻠـْـ‬
َ ‫ل أﻧـْـ‬
َ ‫اﻟـْـﺠـُـﻤـُـﻌـَـ ِﺔ ﻓـَـﻘـَـﺎ‬
‫ل‬
َ ‫س َو ﺻـَـﺎﻣـُـﻮا َو ﺻـَـﺎ َم ﻣـُـﻌـَـﺎوﻳـَـﺔ ﻓـَـﻘـَـﺎ‬
ُ ‫رَﺁ ُﻩ اﻟﻨـﱠـﺎ‬
‫ل‬
ُ ‫ﺖ ﻓـَـﻼ ﻧـَـﺰَا‬
ِ ‫ﻟـَـﻜـِـﻨـﱠـﺎ رَأﻳـْـﻨـَـﺎ ُﻩ ﻟـَـﻴـْـﻠـَـﺔ اﻟﺴـﱠـﺒـْـ‬
... ‫ﻦ أ ْو ﻧـَـﺮَا ُﻩ‬
َ ‫ﻞ ﺛـَـﻼﺛـِـﻴ‬
َ ‫ﻧـَـﺼـُـﻮ ُم ﺣـَـﺘـﱠـﻰ ﻧـُـﻜـْـﻤـِـ‬
‫ﺖ أوَﻻ ﺗـَـﻜـْـﺘـَـﻔـِـﻲ ﺑـِـ ُﺮؤْﻳـَـ ِﺔ ﻣـُـﻌـَـﺎوﻳـَـﺔ َو‬
ُ ‫ ﻓـَـﻘـُـﻠـْـ‬...
‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
ُ ‫ل ﻻ هـَـﻜـَـﺬا أﻣـَـﺮَﻧـَـﺎ رَﺳـُـﻮ‬
َ ‫ﺻـِـﻴـَـﺎﻣـِـ ِﻪ ﻓـَـﻘـَـﺎ‬
،١٨١١ :١٣/٥/‫ )ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬.‫ﻢ‬
َ ‫ﷲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـ ِﻪ َو ﺳـَـﻠـﱠـ‬
ُ ‫ﺻـَـﻠـﱠـﻰ ا‬
(١٩٨٥ :٨/٩/‫ﺳﻨﻦ أأﺑﻲ داؤود‬
Argumentasi Lokal
“Ummu Fadhli, puteri Harits, mengutusnya (Fadhli)
menemui Mu’awiyah di Syam. Fadhli berkata, “Aku (Fadhli)
tiba di Syam dan menyelesaikan urusan (ibunya). Ternyata
Ramadhan tiba dan aku masih di Syam. Aku melihat hilal
Ramadhan pada malam Jumat. Aku masuk Madinah pada
akhir Ramadhan. ’Abdullah bin ’Abbas bertanya kapan aku
melihat hilal Ramadhan. Kukatakan aku melihatnya pada
malam Jumat. Ibnu ’Abbas bertanya apakah aku melihat
sendiri hilal. Kujawab aku melihatnya, begitu juga orang
orangorang. Mereka berpuasa dan begitu juga Mu’awiyah. Ibnu
’Abbas mengatakan bahwa dia melihat hilal Ramadhan
pada malam Sabtu sehingga akan menggenapkan puasa
tigapuluh hari atau hingga hilal Syawal terlihat. Aku
bertanya tidak cukupkah kita berpedoman pada rukyat dan
puasa Mu’awiyah. Ibnu ’Abbas menjawab, “Tidak, sebab
demikianlah Rasulullah memerintahkan.””” (Shahih
Muslim/XIII/5: 1811, Sunan Abi Daud/VIII/9: 1985)
Pihak yang berpendapat bahwa rukyat hilal berlaku lokal
menggunakan hadits tadi sebagai dalil.
Ada dua kelemahan hadits tadi sebagai dalil rukyat hilal lokal.
1. Dalam hadits tersebut, Ibnu ’Abbas memang berusaha
merujuk pada Rasulullah.
Rasulullah Namun,
Namun tidak jelas apakah Ibnu
’Abbas merujuk pada penampakan hilal sebagai awal
Ramadhan atau perbedaan waktu rukyat hilal. Dengan
kata lain, tidak jelas apakah kasus serupa, yakni berita
teramatinya hilal dari daerah lain, terjadi pada masa
Rasulullah.
2. Pengamalan hadits tadi memunculkan masalah lain yakni
jarak berlaku hasil rukyat hilal. Dengan kata lain, sampai
sejauh mana rukyat hilal dianggap lokal. Tidak ada nash
yang membahas masalah ini.
‫ن ﻣـَـﺮﱠة‬
َ ‫ أﻧـﱠـﻬـُـ ْﻢ ﺷـَـﻜـّـﻮا ﻓـِـﻲ هـِـﻼل رَﻣـَـﻀـَـﺎ‬...
‫ن ﻻ ﻳـَـﻘـُـﻮﻣـُـﻮا و ﻻ ﻳـَـﺼـُـﻮﻣـُـﻮا ﻓـَـﺠـَـﺎ َء‬
ْ ‫ﻓـَـﺄرَادُو أ‬
‫ل‬
َ ‫ﻦ اﻟـْـﺤـَـ ّﺮ ِة ﻓـَـﺸـَـﻬـِـ َﺪ أﻧـﱠـ ُﻪ رَأى اﻟـْـﻬـِـﻼ‬
ْ ‫ﻲ ﻣـِـ‬
ّ ‫أﻋـْـﺮَاﺑـِـ‬
‫ﷲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـ ِﻪ َو ﺳـَـﻠـﱠـ َﻢ‬
ُ ‫ﻲ ﺻـَـﻠـﱠـﻰ ا‬
‫ﻲ ﺑـِـ ِﻪ اﻟﻨـﱠـﺒـِـ ﱠ‬
َ ‫ﻓـَـﺄﺗـِـ‬
‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
ُ ‫ﷲ َو أﻧـﱢـﻲ رَﺳـُـﻮ‬
ُ ‫ن ﻻ إﻻ َﻩ إﻻ ا‬
ْ ‫ل أﺗـَـﺸـْـﻬـَـ ُﺪ أ‬
َ ‫ﻓـَـﻘـَـﺎ‬
‫ل ﻓـَـﺄﻣـَـ َﺮ‬
َ ‫ل ﻧـَـﻌـَـ ْﻢ َو ﺷـَـﻬـِـ َﺪ أﻧـﱠـ ُﻪ رَأى اﻟـْـﻬـِـﻼ‬
َ ‫ﻗـَـﺎ‬
‫ن‬
ْ ‫ن ﻳـَـﻘـُـﻮﻣـُـﻮا َو أ‬
ْ ‫ﺑـِـﻼﻻ ﻓـَـﻨـَـﺪَى ﻓـِـﻲ اﻟﻨـﱠـﺎس أ‬
(١٩٩٤ :٨/١٤/‫ )ﺳﻨﻦ أﺑﻲ داؤود‬.‫ُـﻮا‬
‫ﻳـﱠﱠـﺼـُُـﻮﻣُـ ا‬
Argumentasi Global
Pihak yang berpendapat bahwa rukyat hilal berlaku global
menggunakan hadits tadi sebagai dalil.
Dalam hadits tadi, sama sekali tidak dibahas wilayah
berlakunya rukyat hilal. Justru yang terjadi yaitu kesaksian
melihat hilal dari Badui muslim diterima sebagai tanda awal
Ramadhan.
“ ... Suatu ketika orang-orang meragukan penampakan
hilal Ramadhan sehingga tidak hendak salat tarawih atau
puasa. Seorang Badui datang dari Al Harrah dan bersaksi
bahwa dia melihat hilal. Dia diantarkan ke Rasulullah.
Rasulullah bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Allah dan bahwa saya utusan Allah?” Badui itu
menjawab, “Ya.” Dia juga bersaksi bahwa dia melihat hilal.
Rasulullah lalu menyuruh Bilal menyeru orang-orang salat
tarawih dan puasa.” (Sunan Abi Daud/VIII/14: 1994)
Jadi, ternyata Rasulullah pernah mengalami kejadian tidak
teramatinya hilal di satu tempat namun teramati di tempat
lain. Dalam hadits tadi, Rasulullah mengikuti rukyat hilal dari
orang yang bukan dari “daerahnya”.
141
Seminar Nasional Hilal 2009
Masalah Global
Masalah Global
Contoh Kasus
Di Asia Tenggara, hilal
baru terlihat pada
tanggal 21 Agustus
2009.
Dapat terjadi kabar teramatinya hilal diterima oleh daerah lain
setelah melewati hari itu. Jika memang rukyat hilal global
yang diamalkan, apa yang harus dilakukan muslim yang
berada di hari lain ketika menerima kabar teramatinya hilal?
Hilal Ramadhan 1430 H belum
gg
teramati dari Asia Tenggara.
Makin ke barat lokasi
pengamatan, makin
mungkin hilal
t
teramati
ti pada
d
tanggal 20 Agustus
2009.
Simulasi belahan barat langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 20 Agustus 2009 pukul 17:30. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Masalah Global
Masalah Global
Contoh Kasus
Di Asia Tenggara, hilal
baru terlihat pada
tanggal 21 Agustus
2009.
Hilal Ramadhan 1430 H teramati
di Asia Tenggara.
Tenggara
Contoh Kasus
Di Asia Tenggara, hilal
baru terlihat pada
tanggal 21 Agustus
2009.
Makin ke barat lokasi
pengamatan, makin
mungkin hilal
t
teramati
ti pada
d
tanggal 20 Agustus
2009.
Ada peluang hilal Ramadhan 1430 H teramati dari
San Fransisco, terutama jika langit cerah dan
Matahari tertutup awan sementara Bulan tidak.
Makin ke barat lokasi
pengamatan, makin
mungkin hilal
t
teramati
ti pada
d
tanggal 20 Agustus
2009.
Jika hilal teramati di San
Fransisco tanggal
20 Agustus 2009,
maka Asia Tenggara
menerima kabar
teramatinya hilal
baru pada tanggal
21 Agustus 2009
Simulasi belahan barat langit San Fransisco, 37°44’54” LU dan 122°24’46” BB,
tanggal 20 Agustus 2009 pukul 17:40 waktu lokal, atau 21 Agustus 2009 pukul
08:40 WIB untuk bagian barat Asia Tenggara. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
Simulasi belahan barat langit Caturtunggal, 7°46’48” LS dan 107°23’45” BT,
tanggal 21 Agustus 2009 pukul 17:30. Simulasi dihasilkan menggunakan
perangkat lunak Stellarium.
‫ل ﺷـَـﻮﱠال ﻓـَـﺄﺻـْـﺒـَـﺤـْـﻨـَـﺎ‬
ُ ‫ﻲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـﻨـَـﺎ هـِـﻼ‬
َ ‫أﻏـْـﻤـِـ‬
‫ﻦ ﺁﺧـِـﺮ اﻟﻨـﱠـﻬـَـﺎر‬
ْ ‫ﺐ ﻣـِـ‬
ٌ ‫ﺻـِـﻴـَـﺎﻣـًـﺎ ﻓـَـﺠـَـﺎ َء رَآـْـ‬
‫ﷲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـ ِﻪ َو‬
ُ ‫ﻲ ﺻـَـﻠـﱠـﻰ ا‬
‫ﻓـَـﺸـَـﻬـِـﺪُوا ﻋـِـﻨـْـ َﺪ اﻟﻨـﱠـﺒـِـ ﱠ‬
‫ل ﺑـِـﺎﻻﻣـْـﺲ ﻓـَـﺄﻣـَـﺮَهـُـ ْﻢ‬
َ ‫ﺳـَـﻠـﱠـ َﻢ أﻧـﱠـﻬـُـ ْﻢ رَأوْا اﻟـْـﻬـِـﻼ‬
‫ن‬
ْ ‫ﷲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـ ِﻪ َو ﺳـَـﻠـﱠـ َﻢ أ‬
ُ ‫ﷲ ﺻـَـﻠـﱠـﻰ ا‬
ِ ‫لا‬
ُ ‫رَﺳـُـﻮ‬
‫ﻦ‬
‫ِـﻦ‬
ْ‫ﻴﺪهـ ﻢ‬
‫إﻟــﻰ ﻋـِـﻴﺪِه‬
َ‫ﻮا إﻟ‬
‫ﻳــﺨــﺮﺟــﻮا‬
ُ‫أن ﻳَ ﺨْ ﺮُﺟ‬
ْ‫ِـﺮوا َو أن‬
‫ﻄـ ﺮُوا‬
‫ﻳــﻔــﻄ‬
ْ‫ﻳُ ﻔ‬
ْ ‫ِـﻢ ﻣـ‬
(١٦٤٢ :٨/٦/‫ )ﺳﻨﻦ إﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬.‫ﺪ‬
ِ ‫اﻟـْـﻐـَـ‬
Solusi Global
Jadi, muslim yang berada di hari lain ketika menerima laporan
hilal harus segera membatalkan puasanya dan melaksanakan
salat id di hari terdekat.
Dengan demikian, segala kondisi terkait dengan rukyat hilal
global telah dijelaskan oleh nash.
“Hilal Syawal tertutup mendung maka kami berpuasa
keesokan harinya. Besoknya menjelang sore, datang
beberapa musafir. Mereka bersaksi di hadapan Rasulullah
bahwa mereka melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah
memerintahkan segera berbuka dan melaksanakan salat id
keesokan harinya.” (Sunan Ibnu Majah/VIII/6: 1642)
142
Seminar Nasional Hilal 2009
Solusi Global
Terlepas dari pembahasan kekuatan dalil, ada yang
mengamalkan rukyat lokal dan ada yang mengamalkan rukyat
global untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.
Satu Rujukan
Meskipun demikian, seharusnya tidak ada perbedaan dalam
pelaksanaan hari raya Idul Adha.
‫ل ﻋـَـﻬـِـ َﺪ إﻟـَـﻴـْـﻨـَـﺎ‬
َ ‫ﺐ ﺛـُـ ﱠﻢ ﻗـَـﺎ‬
َ ‫ن أﻣـِـﻴ َﺮ ﻣـَـﻜـﱠـﺔ ﺧـَـﻄـَـ‬
‫أﱠ‬
‫ن‬
ْ ‫ﷲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـ ِﻪ َو ﺳـَـﻠـﱠـ َﻢ أ‬
ُ ‫ﷲ ﺻـَـﻠـﱠـﻰ ا‬
ِ ‫لا‬
ُ ‫رَﺳـُـﻮ‬
‫ن ﻟـَـ ْﻢ ﻧـَـ َﺮ ُﻩ َو ﺷـَـﻬـِـ َﺪ ﺷـَـﺎهـِـﺪَا‬
ْ ‫ﻚ ﻟـِـﻠﺮّؤﻳـَـ ِﺔ ﻓـَـﺈ‬
َ ‫ﻧـَـﻨـْـﺴـُـ‬
‫ )ﺳﻨﻦ أﺑﻲ‬... ‫ﻋـَـﺪْل ﻧـَـﺴـَـﻜـْـﻨـَـﺎ ﺑـِـﺸـَـﻬـَـﺎدَﺗـِـﻬـِـﻤـَـﺎ‬
‫ﷲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـ ِﻪ َو ﺳـَـﻠـﱠـ َﻢ ﻧـَـﻬـَـﻰ‬
ُ ‫ﷲ ﺻـَـﻠـﱠـﻰ ا‬
ِ ‫لا‬
َ ‫ن رَﺳـُـﻮ‬
‫ أ ﱠ‬...
‫ )ﺳﻨﻦ أﺑﻲ‬.‫م ﻋـَـﺮَﻓـَـﺔ ﺑـِـﻌـَـﺮَﻓـَـﺔ‬
ِ ‫ﻦ ﺻـَـ ْﻮ ِم ﻳـَـ ْﻮ‬
ْ ‫ﻋـَـ‬
(٢٠٨٤ :٨/٦٣/‫داؤود‬
(١٩٩١ :٨/١٣/‫داؤود‬
‫ؤو‬
“ ... Rasulullah saw melarang puasa Arafah (bagi yang
sedang wukuf) di Arafah. ” (Sunan Abi Daud/VIII/63:
2084)
“Amir Mekah pernah berkhutbah dan berkata, “Rasulullah
saw mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan
manasik haji berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil
merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil
merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji
berdasarkan kesaksian keduanya.” ... ” (Sunan Abi
Daud/VIII/13: 1991)
Haji Solusinya
Hadits tadi menunjukkan bahwa puasa Arafah dilakukan saat
jamaah haji wukuf di Arafah.
Idul Adha dilaksanakan sehari setelah wukuf atau, bagi yang
bukan jamaah haji, puasa Arafah. Wukuf Arafah merupakan
bagian dari rangkaian ibadah haji.
haji Padahal,
Padahal haji
diselenggarakan oleh penguasa Mekah. Pun hadits
menunjukkan bahwa waktu penyelenggaraan haji merujuk
pada rukyat hilal penguasa Mekah.
Kesimpelan
Jadi, waktu pelaksanaan puasa Arafah dan Idul Adha merujuk
pada keputusan penguasa Mekah dalam menentukan kapan
haji dilaksanakan.
143
Seminar Nasional Hilal 2009
AWAL RAMADHAN/SYAWAL
hisab/perhitungan
rukyat/pengamatan
dalil?
Shahih Bukhari/XV/11: 1772, 1773, 1775,
Shahih Muslim/XIII/2: 1787-1789
WAKTU IDUL ADHA
rukyat lokal
rukyat global
Shahih Muslim/XIII/5: 1811,
Sunan Abi Daud/VIII/9: 1985
Sunan Abi Daud/VIII/14: 1994
sehari setelah
wukuf/puasa Arafah
b i
bagian
d
darii h
haji
ji
Sejauh apa
hasil rukyat
dikatakan
lokal?
dalil?
Rasulullah memang menyuruh
memulai/mengakhiri berpuasa
dengan rukyat, tapi dari hadits
tidak jelas apa perintah
Rasulullah tentang kabar dari
saksi yang bukan dari
daerahnya.
Bagaimana jika
terlambat sehari
menerima kabar
penampakan hilal?
diselenggarakan
penguasa Mekah
dimulai berdasarkan
rukyat penguasa Mekah
Sunan Abi Daud/VIII/13: 1991
Sunan Abi Daud/VIII/13: 1991
Sunan Ibnu Majah/VIII/6: 1642
dalil?
SYAR’I-KAH?
SYAR’I. KUATKAH?
SYAR’I. KUAT.
‫ﺲ ﺿـِـﻴـَـﺎ ًء َو اﻟـْـﻘـَـﻤـَـ َﺮ‬
َ ‫ﻞ اﻟﺸـﱠـﻤـْـ‬
َ ‫هـُـ َﻮ اﻟـﱠـﺬِي ﺟـَـﻌـَـ‬
‫ل ﻟـِـﺘـَـﻌـْـﻠـَـﻤـُـﻮا ﻋـَـ َﺪ َد‬
َ ‫ﻧـُـﻮرًا َو ﻗـَـﺪﱠ َر ُﻩ ﻣـَـﻨـَـﺎز‬
‫ﻚ إﻻ‬
َ ‫ﷲ ذﻟـِـ‬
ُ ‫ﻖا‬
َ ‫ب ﻣـَـﺎ ﺧـَـﻠـَـ‬
َ ‫ﻦ َو اﻟـْـﺤـِـﺴـَـﺎ‬
َ ‫اﻟﺴـﱢـﻨـِـﻴ‬
.‫ن‬
َ ‫ت ﻟـِـﻘـَـ ْﻮ ٍم ﻳـَـﻌـْـﻠـَـﻤـُـﻮ‬
ِ ‫ﻞ اﻻﻳـَـﺎ‬
ُ ‫ﻖ ﻳـُـﻔـَـﺼـﱢـ‬
‫ﺑـِـﺎﻟـْـﺤـَـ ﱢ‬
Nanya--Njawab
Nanya
(٥:‫ﺲ‬
‫ﻳﻮﻧﺲ‬
‫)ﻳﻮ‬
“Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan
bercahaya, dan ditetapkan-Nya tempat-tempat peredaran
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
waktu. Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda-Nya
kepada orang yang mengetahui.” (Yunus: 5)
Nanya--Njawab 01
Nanya
BULAN DAN/ATAU MATAHARI
Surat Yunus ayat 5 menjelaskan bahwa Allah telah
menjadikan Matahari bersinar, Bulan bercahaya, dan
keduanya bergerak menurut peredaran yang ditetapkan
supaya manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
waktu. Bukankah ini merupakan dalil bolehnya menggunakan
hisab dalam menentukan awal Ramadhan,
Ramadhan awal Syawal,
Syawal atau
Idul Adha?
untuk mengetahui
perhitungan waktu
dilihat dan/atau diprediksi
menggunakan
k
instrumen
i t
dan/atau perhitungan mutakhir
Bukan demikian! Ayat tersebut hanya menjelaskan bahwa
manusia dapat mengetahui perhitungan waktu dari ciptaan
Allah berupa peredaran Matahari dan Bulan. Aktivitas
mengetahui jelas berbeda dengan menetapkan atau
menentukan.
TEKNIS
144
untuk menetapkan awal
Ramadhan, awal Syawal,
atau awal Dzulhijah
dilihat dengan mata saja atau
dengan instrumen yang tidak dapat
digunakan untuk melihat
menembus awan
NON-TEKNIS
Seminar Nasional Hilal 2009
Nanya--Njawab 02
Nanya
IBADAH
Bukankah kita sudah punya perhitungan mutakhir astronomis
yang peluang kelirunya hampir mustahil? Konyol sekali kalau
kita harus melakukan rukyat sementara kita sudah bisa tahu
awal Ramadhan, awal Syawal, dan Idul Adha lewat hisab.
interaksi antara
manusia dan Allah
Zat Allah tidak
dapat dijangkau
oleh manusia.
Se-”konyol”
Se
konyol apapun suatu bentuk ibadah
ibadah, muslim hanya layak
menjalankan dalil, bukan mengada-adakan dalil. Ibadahibadah lain seperti mengelilingi Kabah (thawaf), berlari hilir
mudik antara Bukit Shafa dan Marwah (sa’i), mencium batu
hitam di sudut Kabah (Hajar Aswad), menyucikan diri dengan
membasuh bagian tertentu dari tubuh (thaharah), tidak kalah
“aneh” dari mengawali Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah
dengan melihat hilal.
Hanya Allah yang tahu
benar sifat-sifat zatNya.
Bentuk pelaksanaan ibadah
merupakan hak Allah.
Nanya--Njawab 03
Nanya
Nanya--Njawab 04
Nanya
Bagaimana jika penguasa Arab Saudi, yang merupakan
penguasa Mekah juga, keliru dalam menetapkan awal
Dzulhijah dan tidak menerima koreksi dari muslim di
negara-negara lain?
Bagaimana dengan lembaga mufti (pemberi fatwa) yang telah
menetapkan awal Ramadhan, Syawal, atau Dzulhijah?
Tidakkah mereka merupakan ulil amri yang harus ditaati?
Ulil amri yaitu pemegang kekuasaan dari umat untuk
menjalankan syariat Islam. Sementara itu, lembaga mufti
bukan penguasa. Dia tidak memiliki wewenang mengadopsi
suatu pendapat syara’ tertentu untuk dijalankan umat,
walaupun umat boleh saja mengamalkan pendapat lembaga
mufti selama tidak menyalahi wewenang ulil amri.
Jika demikian kasusnya, maka kewajiban umat Islam ada dua,
yakni 1) tetap menjalankan perintah puasa Arafah bersamaan
dengan wukufnya jamaah haji dan besoknya merayakan Idul
Adha serta 2) melakukan upaya koreksi kepada penguasa
Arab Saudi. Masalah penguasa Arab Saudi insyaf atau tidak itu
urusan lain. Inilah salahsatu hal yang menjadikan koordinasi
muslim sedunia perkara urgen.
PENDAPAT ULIL AMRI
‫ﻦ ﻃـَـﻠـَـ َﻊ اﻟـْـﻔـَـﺠـْـ ُﺮ َو‬
َ ‫ﺢ ﺣـِـﻴ‬
َ ‫ ﻓـَـﺼـَـﻠـّـﻰ اﻟﺼـّـﺒـْـ‬...
‫ﺲ ﺛـُـ ّﻢ‬
ُ ‫ﺖ اﻟﺸـَـﻤـْـ‬
ْ ‫ﻦ زَاﻏـَـ‬
َ ‫ﺻـَـﻠـّـﻰ اﻟﻈـّـﻬـْـ َﺮ ﺣـِـﻴ‬
‫ﻞ ﻣـِـﺜـْـﻠـَـ ُﻪ ﺛـُـ ّﻢ‬
ّ ‫ﻦ رَأى اﻟﻈـّـ‬
َ ‫ﺻـَـﻠـّـﻰ اﻟـْـﻌـَـﺼـْـ َﺮ ﺣـِـﻴ‬
‫ﺲ َو‬
ُ ‫ﺖ اﻟﺸـﱠﻤـْـ‬
ْ ‫ﻦ ﻏـَـﺮَﺑـَـ‬
َ ‫ب ﺣـِـﻴ‬
َ ‫ﺻـَـﻠـّـﻰ اﻟـْـﻤـَـﻐـْـﺮ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﻞ ﻓـِـﻄـْـ ُﺮ اﻟﺼـﱠـﺎﺋـِـ ِﻢ ﺛـُـ ﱠﻢ ﺻـَـﻠـّـﻰ اﻟـْـﻌـِـﺸـَـﺎ َء ﺣـِـﻴ‬
ّ ‫ﺣـَـ‬
ُ ‫ﺐ ﺷـَـﻔـَـ‬
َ ‫ذهـَـ‬
(٤٩٨ :٦/٦/‫ﻲ‬
‫ )ﺳﻨﻦ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ‬... ‫ﻖ اﻟﻠـﱠـﻴـْـﻞ‬
masukan kepada ulil amri
PENDAPAT MUFTI
sebaiknya tidak menerapkan
pendapat tertentu jika
berkaitan dengan akidah
atau ibadah, kecuali ibadah
yang menyangkut kesatuan
umat, seperti zakat, puasa,
hari raya, atau jihad
Tidak ada paksaan dalam akidah,
seperti dinyatakan dalam surat Al
Baqarah
h ayat 256.
menerapkan pandangan
tertentu untuk muamalat,
juga ibadah yang
menyangkut kesatuan umat,
seperti zakat, puasa, hari
raya, atau jihad
Ijma’ sahabat menunjukkan bahwa
khalifah berhak mengadopsi
pandangan syara’ tertentu untuk
dijalankan umat.
umat
“ … Maka kami shalat fajar (subuh) ketika terbit fajar dan
shalat zhuhur ketika Matahari telah tergelincir lalu shalat
ashar ketika kami melihat bahwa panjang bayangan sama
dengan panjang bendanya kemudian shalat maghrib ketika
terbenam Matahari kemudian shalat isya ketika awan
merah telah hilang ... ” (Sunan An Nasai/VI/6: 498, lihat
makna serupa dalam Sunan At Tirmidzi/VIII/3: 591, Sunan
An Nasai/VI/7/15/16: 500, 521, 522, Sunan Abi Daud/II/2:
332)
Umat wajib menjalankan
pandangan ulil amri
meskipun berbeda dengan
pendapatnya.
Umat dapat menjalankan
pendapat siapapun yang
memiliki dalil syar’i.
SERBA-SERBI
Ulil amri yaitu pemegang kekuasaan dari umat untuk menjalankan syariat Islam. Menilik definisi ini,
adakah ulil amri di dunia saat ini, yakni tahun 2009 M?
145
Seminar Nasional Hilal 2009
Nanya--Njawab 05
Nanya
Nanya--Njawab 06
Nanya
Bukankah saat ini untuk menentukan jadwal shalat, banyak
digunakan perhitungan astronomis? Jika demikian, maka
untuk menentukan awal Ramadhan, awal Syawal, dan Idul
Adha pun boleh digunakan perhitungan saja.
Mengapa tidak kita ikuti saja ketetapan pemerintah?
Bukankah hal tersebut akan menjaga kesatuan muslim?
Dalam konteks ini, ada dua pilihan bentuk kesatuan, yakni 1)
kesatuan nasionalistis, yang ikatannya bisa berupa kesamaan
nasib, kesamaan etnis, kesamaan budaya, kesamaan rezim
penjajah, atau 2) kesatuan akidah, yang diikat oleh kesamaan
pandangan atas asal dunia, tujuan penciptaan, cara hidup,
dan tujuan hidup, yang tidak menghiraukan segala sekat
etnis, budaya, wilayah, apalagi rezim penjajah.
Dalil-dalil
Dalil
dalil menyebutkan bahwa shalat dilaksanakan pada
waktu-waktu tertentu. Ada banyak cara untuk mengetahui
waktu-waktu tertentu ini, diantaranya melalui perhitungan.
Sementara itu, dalil-dalil lain menyebutkan bahwa puasa dan
manasik haji diawali dengan melihat hilal. Setidaknya ada tiga
cara melihat, yakni 1) melihat, 2) melihat, dan 3) melihat. :)
PERSENTASE POPULASI MUSLIM DUNIA
‫ل‬
َ ‫ﷲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـ ِﻪ َو ﺳـَـﻠـﱠـ َﻢ ﻗـَـﺎ‬
ُ ‫ﷲ ﺻـَـﻠـﱠـﻰ ا‬
ِ ‫لا‬
ُ ‫ن رَﺳـُـﻮ‬
‫أﱠ‬
‫ﺲ‬
َ ‫ﻦ دَﻋـَـﺎ إﻟـَـﻰ ﻋـَـﺼـَـﺒـِـﻴـﱠـ ٍﺔ َو ﻟـَـﻴـْـ‬
ْ ‫ﺲ ﻣـِـﻨـﱠـﺎ ﻣـَـ‬
َ ‫ﻟـَـﻴـْـ‬
‫ﺲ‬
َ ‫ﻞ ﻋـَـﻠـَـﻰ ﻋـَـﺼـَـﺒـِـﻴـﱠـ ٍﺔ َو ﻟـَـﻴـْـ‬
َ ‫ﻦ ﻗـَـﺎﺗـَـ‬
ْ ‫ﻣـِـﻨـﱠـﺎ ﻣـَـ‬
ٍ ‫ت ﻋـَـﻠـَـﻰ ﻋـَـﺼـَـﺒـِـﻴـﱠـ‬
َ ‫ﻦ ﻣـَـﺎ‬
ْ ‫ﻣـِـﻨـﱠـﺎ ﻣـَـ‬
‫ )ﺳﻨﻦ أﺑﻲ‬.‫ﺔ‬
(٤٤٣٨ :٣٥/١٢١/‫داؤود‬
“Rasulullah saw berkata, “Bukan kaum kami orang yang
menyerukan ’ashabiyah (sentimen golongan), dan bukan
kaum kami orang yang berperang atas dasar ’ashabiyah,
dan bukan kaum kami orang yang mati dengan
’ashabiyah”.” (Sunan Abi Daud/XXXV/121: 4438)
Persentase Populasi Muslim di Berbagai Negara
0-1%
1-5%
5-25%
25-50%
50-75%
75-90%
90-100%
List of countries by Muslim population (Wikipedia, diunduh 2 November 2009, terakhir disunting 1 November 2009,
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_Muslim_population), disarikan dari Miller dan Tracy, Mapping the Global Muslim Population: A Report on the
Size and Distribution of the World’s Muslim Population (Pew Research Center, 2009,
http://pewforum.org/newassets/images/reports/Muslimpopulation/Muslimpopulation.pdf)
‫ﺐ‬
َ ‫ﷲ ﻋـَـﻠـَـﻴـْـ ِﻪ َو ﺳـَـﻠـﱠـ َﻢ ﺧـَـﻄـَـ‬
ُ ‫ﷲ ﺻـَـﻠـﱠـﻰ ا‬
ِ ‫لا‬
ُ ‫ن رَﺳـُـﻮ‬
‫أﱠ‬
‫س‬
ُ ‫ل ﻳـَـﺎ أﻳـّـﻬـَـﺎ اﻟﻨـﱠـﺎ‬
َ ‫س ﻳـَـ ْﻮ َم ﻓـَـﺘـْـﺢ ﻣـَـﻜـﱠـﺔ ﻓـَـﻘـَـﺎ‬
َ ‫اﻟﻨـﱠـﺎ‬
‫ﺐ ﻋـَـﻨـْـﻜـُـ ْﻢ ﻋـُـﺒـﱢـﻴـﱠـﺔ اﻟـْـﺠـَـﺎهـِـﻠـِـﻴـﱠـ ِﺔ‬
َ ‫ﷲ ﻗـَـ ْﺪ أذهـَـ‬
َ ‫نا‬
‫إﱠ‬
‫س رَﺟـُـﻼن ﺑـَـ ّﺮ‬
ُ ‫َو ﺗـَـﻌـَـﺎﻇـُـﻤـَـﻬـَـﺎ ﺑـِـﺂﺑـَـﺎﺋـِـﻬـَـﺎ ﻓـَـﺎﻟﻨـﱠـﺎ‬
‫ﻦ‬
ٌ ‫ﻲ هـَـﻴـﱢـ‬
ّ ‫ﷲ َو ﻓـَـﺎﺟـِـ ٌﺮ ﺷـَـﻘـِـ‬
ِ ‫ﻲ آـَـﺮﻳ ٌﻢ ﻋـَـﻠـَـﻰ ا‬
ّ ‫ﺗـَـﻘـِـ‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ﷲ ﺁ َد َم ﻣـِـ‬
ُ ‫ﻖا‬
َ ‫س ﺑـَـﻨـُـﻮ ﺁ َد َم َو ﺧـَـﻠـَـ‬
ُ ‫ﷲ َو اﻟﻨـﱠـﺎ‬
ِ ‫ﻋـَـﻠـَـﻰ ا‬
‫س إﻧـﱠـﺎ ﺧـَـﻠـَـﻘـْـﻨـَـﺎ‬
ُ ‫ﷲ ﻳـَـﺎ أﻳـّـﻬـَـﺎ اﻟﻨـﱠـﺎ‬
ُ ‫لا‬
َ ‫ب ﻗـَـﺎ‬
ٍ ‫ﻃـُـﺮَا‬
‫ﻦ ذآـَـﺮ َو أﻧـْـﺜـَـﻰ َو ﺟـَـﻌـَـﻠـْـﻨـَـﺎ آـُـ ْﻢ ﺷـُـﻌـُـﻮﺑـًـﺎ‬
ْ ‫آـُـ ْﻢ ﻣـِـ‬
‫ﷲ‬
ِ ‫ن أآـْـﺮَﻣـَـﻜـُـ ْﻢ ﻋـِـﻨـْـ َﺪ ا‬
‫ﻞ ﻟـِـﺘـَـﻌـَـﺎرَﻓـُـﻮا إ ﱠ‬
َ ‫َو ﻗـَـﺒـَـﺎﺋـِـ‬
ٌ ‫ﷲ ﻋـَـﻠـِـﻴ ٌﻢ ﺧـَـﺒـِـﻴ‬
َ ‫نا‬
‫أﺗـْـﻘـَـﺎ آـُـ ْﻢ إ ﱠ‬
:١٩/٤٢/‫ )ﺳﻨﻦ اﻟﺘﺮﻣﻴﺬي‬.‫ﺮ‬
“Ketika Fathul Makkah, Rasulullah saw berkhutbah kepada
khalayak, “Wahai manusia, sungguh Allah telah
melenyapkan dari kalian kesombongan jahiliyyah dan saling
berbangga karena nenek moyang. Manusia itu terbagi
kedalam dua kelompok. Ada yang salih, bertakwa, dan
mulia dihadapan Allah. Ada pula yang fasik, celaka, dan
hina dihadapan Allah. Manusia itu keturunan Adam dan
Allah menciptakan Adam dari tanah
tanah. Allah berfirman
berfirman, “Hai
Hai
manusia, sesungguhnya telah Kami ciptakan kalian dari
laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling
mengenal (bukan supaya saling memisahkan diri - red).
Sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah yaitu yang
paling bertakwa dari kalian. Sungguh Allah Maha Tahu
Maha Mengenal.””” (Sunan At Tirmidzi/XIX/42: 1586)
(١٥٨٦
146
Seminar Nasional Hilal 2009
KESATUAN (?) NASIONALISTIS
‫ن هـَـ ِﺬ ِﻩ أﻣـﱠـﺘـُـﻜـُـ ْﻢ أﻣـﱠـﺔ وَاﺣـِـﺪَة َو أﻧـَـﺎ رَﺑـﱡـﻜـُـ ْﻢ‬
‫إﱠ‬
(٩٢ :‫ )اﻷﻧﺒﻴﺎء‬.‫ﻓـَـﺎﻋـْـﺒـُـﺪُون‬
“Sesungguhnya
gg
y umatmu ini merupakan
p
umat yang
y g satu,,
dan Aku ini rabb-mu, maka sembahlah Aku saja.” (Al
Anbiya: 92)
KESATUAN AKIDAH
147
Seminar Nasional Hilal 2009
MENELUSURI PEMIKIRAN MOHAMMAD SHAWKAT ODEH
(Sebuah Studi Awal)
Oleh: Muh. Nashirudin1
Pendahuluan
Permasalahan hisab dan rukyah di kalangan ummat Islam merupakan permasalahan yang sangat urgen
terutama bila dikaitkan dengan permasalahan awal bulan dan lebih khusus lagi berkaitan dengan awal bulan yang
berhubungan dengan permasalahan ibadah seperti Ramadan, Syawal dan Zulhijjah. Adanya perbedaan permulaan
bulan atau perbedaan dalam melakukan perayaan hari raya merupakan imbas dari tidak adanya kesamaan dalam
permasalahan hisab dan rukyah dan juga belum adanya kalender Islam yang bisa menyatukan dunia Islam dalam
memulai bulan dan mengakhirinya.
Mohammad Shawkat Odeh merupakan salah satu pakar falak di dunia Islam yang memiliki konsens
yang besar terhadap persoalan hisab, rukyah dan kalender hijriah terpadu di dunia Islam. Ia mempunyai kontribusi
yang besar di bidang pemikiran falak di dunia Islam yang dibuktikan dengan berbagai tulisannya tentang
tema-tema tersebut, keikutsertaannya di berbagai seminar internasional yang membahas tema tersebut dan juga
penyebaran pemikirannya melalui berbagai lembaga yang digelutinya. Untuk memahami beberapa pandangannya
dalam permasalahan hisab dan rukyah, akan disampaikan beberapa pemikirannya yang tertuang dalam berbagai
tulisannya dengan memaparkan poin-poin isi tulisan yang berhasil dilacak melalui www.icoproject.org. Untuk
lebih menfokuskan pembahasan, makalah ini hanya mengambil tulisan yang berkaitan erat dengan permasalahan
hisab, rukyah dan kalender hijriah internasional.
Biografi Odeh
Odeh, begitulah litelatur barat mencatat kecemerlangan serta kebrilianan sosok seorang ahli dalam bidang
ilmu
astronomi
dan
falak.
Bernama
lengkap
Ir.
Mohammad
Syaukat Audah.
Dalam homepage
(http://www.geocities.com/ capecanaveral/1092/index.html) nya, Odeh mengatakan bahwa ia berasal dari Nablus,
Palestina. Lahir di kota Kuwait, 6 Maret 1979. Kemudian tumbuh besar di kota Amman ibukota negara Jordan.
Menyelesaikan studi Mekanik dan Engineering di Universitas Jordan, Fakultas Sains dan Teknologi pada tahun
2002. Ilmu astronomi merupakan hobi beliau semenjak remaja. Maka tak heran jika Odeh secara luar biasa
mampu memunculkan terobosan-terobosan gemilang dalam ilmu falak. Di umurnya yang menginjak ke-20, tahun
1998, Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian dan observasi hilal ICOP (Islamic Crescents’ Observation
Project). Hingga saat ini, lembaga tersebut memiliki lebih dari 300 ilmuwan yang terdiri dari pakar ilmu falak dan
individu-individu yang intens dalam penelitian dan pengkajian hilal dari berbagai negara di dunia.
Odeh saat ini juga merupakan bagian dari anggota tim Arab Union for Astronomy and Space Sciences
(AUASS), yang fungsi dari organisasi ini adalah menetapkan waktu salat dan melaksanakan rukyatul hilal. Selain
itu, Odeh telah mengikuti lebih dari 10 sesi seminar internasional dalam bidang ilmu falak dan rukyat.
Diantaranya di negara Maroko (Al-Hila>l Bain al-Hisa>ba>t al-Falakiyyah Wa ar-Rukyah), Emirat Arab
(Al-Farq Bain al-Qamar al-Markaziyyah wa al-Sat}h}iyyah), Indonesia (Tat}bi>qa>t Tiknu>lu>jiya>
al-Ma’lu>ma>t li I’da>di Taqwi>m al-Hijri> al-‘A<lami>) dan sebagainya. Mohammad Odeh juga telah
1
Mahasiswa Program Doktoral IAIN Walisongo Semarang Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Ilmu Falak. Dosen Jurusan
Syari’ah STAIN Surakarta.
148
Seminar Nasional Hilal 2009 membuat sebuah software yang mampu menghitung waktu-waktu salat, imkanur rukyah hilal, arah kiblat, dan
waktu terbit serta tenggelam bagi matahari dan bulan yang telah digunakan di berbagai belahan dunia. Program
Odeh ini secara resmi digunakan sebagai alat penentu imkanur rukyat dan kalender hijriah Jordan. Kriteria
Visibilitas Hilal “Perkara pertama yang perlu dipahami tentang rukyatul hilal ialah bahwasanya bulan terbit dan
tenggelam seperti halnya dengan matahari. Inilah perkara yang paling asas. Seperti halnya matahari terbit pada
pagi hari kemudian beredar selama 12 jam dan tenggelam di ufuk barat pada sore hari, maka demikian pula bulan
terbit dan tenggelam. Bulan setiap hari terlambat terbitnya sekitar 50 detik , yaitu misalkan hari ini bulan
tenggelam jam 6 sore, maka besok ia akan tenggelam pada jam 6 lebih 50 detik,” kata Odeh dalam sebuah
wawancara di stasiun televisi Aljazeera pada tanggal 2 Januari 2008 dalam sebuah acara “Bila> H{udu>d”.2
Konjungsi
Pembahasan Odeh tentang konjungsi diperlukan untuk memahami makna konjungsi dalam bahasa Arab
karena adanya kesalahpahaman dalam membuat kriteria awal terjadinya konjungsi. Salah satu yang dibahas oleh
Odeh adalah tentang makna tawallud al-hila>l.
a.
Makna Tawallud al-hila>l
Odeh memulai pembahasannya tentang makna tawallud al-hila>l dengan mengatakan bahwa
kebanyakan orang, bahkan sebagian ahli fikih menggunakan istilah ini tidak pada tempatnya. Mereka
beranggapan bahwa tawallud al-hila>l adalah permulaan penampakan hilal, padahal anggapan ini adalah salah.
Bulan memiliki beberapa fase atau bentuk, yakni al-muh}a>q, al-hila>l, at-tarbi>’, al-uh}dub dan al-badr.
Ketika seorang pengamat melihat seluruh permukaan bulan bersinar, saat itulah bulan dalam fase al-badr
(purnama). Saat bulan nampak bersinar separuhnya, saat itulah bulan dalam fase at-tarbi>’ al-awwal (kwartir
pertama) bila terjadi di awal bulan atau at-tarbi>’ ath-tha>ni> (kwartir kedua) jika terjdai di akhir bulan. Jika
bulan terlihat bagaikan sabit, berarti bulan dinamakan dengan al-hila>l, dan fase antara at-tarbi>’ dan al-badr
dinamakan dengan uh}dub (bulan susut). Fase-fase bulan tersebut terjadi karena bulan merupakan benda langit
yang tidak mempunyai sinar. Cahaya bulan yang nampak dari bumi sebenarnya adalah sinar matahari yang
dipantulkan olehnya. Bentuk dan ukuran cahaya bulan akan berubah sesuai dengan posisi bulan terhadap bumi
dan matahari. Pada saat bulan dalam perputarannya berada di antara bumi dan matahari, maka matahari akan
menyinari bagian bulan yang menghadap ke matahari dan bagian bulan yang menghadap ke bumi akan nampak
gelap gulita karena tidak menerima sinar matahari. Fase inilah yang dinamakan dengan fase al-muh}a>q (bulan
mati). Fase ini juga disebut dengan al-iqtira>n atau al-istisra>r atau tawallud al-hila>l.3
2
3
Lihat lebih lengkap wawancaranya di www.icoproject.org
Mohammad Shawkat Odeh, al-Farq Bain al-Hila>l wa Tawallud al-Hila>l, www.icoproject.org. Diakses tanggal 28 April 2009.
Lihat juga penjelasan tentang fase-fase bulan ini dalam Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, cet. I
(Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), hlm.135-136, juga dalam Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, cet. I (Malang: UIN-Malang
Press, 2008), hlm. 60-62. Mengenai fase-fase ini, Tono Saksono mengatakan bahwa fase Bulan (Moon’s phase) ini terulang setiap
sekitar 29,5 hari, yaitu waktu yang diperlukan Bulan mengelilingi Bumi. Dia membagi fase ini dalam dua kategori, yakni fase
utama yang terdiri dari empat fase dan fase antara yang juga terdiri dari empat fase sehingga semuanya ada delapan fase. Fase
utama adalah Bulan baru (new Moon), kuartal pertama (first quarter), Bulan purnama (full Moon) dan kuartal ketiga atau terakhir
(third quarter atau last quarter). Sementara itu, fase antara adalah fase waxing gibbous moon atau waxing humped moon, fase
waning gibbous moon atau waning hunped moon, fase waning crescent, dan fase konjungsi. Lihat Tono Saksono,
Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, (Jakarta: Amythas Publicita, 2007), hlm. 31-39.
149
Seminar Nasional Hilal 2009
Inilah, menurut Odeh, yang menjadikan sebagian besar orang bahkan sebagian ahli fikih yang tidak
mengerti tentang falak memiliki persepsi yang salah bahwa yang dimaksud dengan tawallud al-hila>l adalah fase
perpind`ahan antara fase muh}a>q ke fase hilal, padahal tawallud al-hila>l adalah fase muh}a>q itu sendiri. Oleh
karena itu, Odeh menyarankan agar istilah tawallud al-hila>l ini tidak dipakai karena akan menyebabkan
kesalahan persepsi dalam memahami permulaan bulan hijriah. Istilah yang lebih baik dipakai adalah muh}a>q,
iqtira>n, atau istisra>r.
b. Kapan bulan dalam fase hila>l ?
Pertanyaan ini, menurut Odeh, merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab karena
membutuhkan ahli dalam pengamatan hilal. Pengamatan terhadap hilal awal bulan, sebagaimana diketahui, harus
dilaksanakan setelah terbenamnya matahari karena bulan yang akan dilihat sangat kecil dan redup sehingga tidak
akan mungkin terlihat pada saat matahari belum terbenam karena sinar matahari yang kuat akan menutupi atau
mengalahkan sinar hilal atau bintang lain. Akan tetapi, pengamatan terhadap hilal tidak berlangsung dalam
rentang waktu yang lama setelah terbenamnya matahari karena bulan itu mengalami terbit dan tenggelam
sebagaimana matahari. Hanya saja, bulan selalu tenggelam terlambat setiap harinya kira-kira 50 menit. Artinya,
jika pada hari ini bulan tenggelam pada jam 17.00, maka besok bulan akan tenggelam pada kira-kira jam 17.50,
dan begitu seterusnya.
Bulan pada tanggal 29 terkadang terbenam sebelum matahari, bersamaan atau setelahnya dengan
rentang waktu tidak lebih dari satu jam. Rentang waktu antara terbenamnya matahari dengan terbenamnya bulan
ini dinamakan dengan mukuth al-qamar. Apabila hilal berhasil dilihat pada saat ini, maka hari berikutnya
dinyatakan sebagai permulaan hari untuk bulan baru berikutnya, sedangkan apabila hilal sudah terbenam tanpa
adanya keberhasilan rukyah sebelumnya, maka hari berikutnya adalah hari ke-30 bulan saat ini. Artinya, umur
bulan saat pengamatan adalah 30 hari.
Dari penjelasan di atas, Mohammad Odeh mengambil kesimpulan bahwasanya hilal hanya dapat dilihat
pada tanggal 29 apabila terpenuhi dua syarat pokok yang apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka hilal
tidak akan mungkin terlihat. Pertama, bulan sudah mencapai fase muh}a>q (konjungsi) sebelum terbenamnya
matahari. Kedua, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari.4 Waktu yang merentang antara terjadinya fase
muh}a>q sampai saat pengamatan (misalnya saat terbenam matahari) dinamakan dengan ‘umr al-qamar (umur
bulan). Misalnya, umur bulan saat fase purnama kira-kira adalah 14 hari, sedangkan umur bulan saat fase
muh}a>q atau tawallud al-hila>l
c.
adalah nol.
Apakah Muh}a>q Terjadi Bersamaan Secara Internasional
Odeh mengatakan bahwa sebagian besar orang berkeyakinan bahwa konjungsi terjadi pada saat
bersamaan di seluruh dunia. Keyakinan ini, menurutnya, tidak benar-benar akurat. Ada dua istilah yang dipakai
untuk menyebut konjungsi, yakni al-iqtira>n al-markazi> (Geocentric New Moon) dan al-iqtira>n as-sat}h}i
(Toposentric New Moon). Istilah pertama dipakai dengan mengandaikan bumi, bulan dan matahari sebagai
titik-titik atau markaz-markaz yang berjalan di langit. Apabila markaz-markaz ini bertemu dalam satu garis yang
sama dan bulan berada diantara bumi dan matahari, terjadilah konjungsi. Bila istilah ini yang dipakai, maka
tentunya konjungsi terjadi secara bersamaan di seluruh dunia. Akan tetapi, pengamatan hilal terjadi dari
4
Lihat dalam beberapa tulisan Mohammad Shawkat Odeh, diantaranya; al-Farq Bain al-Hila>l wa Tawallud al-Hila>l, al-Hila>l
Bain Hisa>ba>t al-Falakiyyah wa ar-Rukyah, Taqwi>m Nasb al-Khat}a’ fi Tah}di>d Awa>il al-Asyhur al-Hijriyyah,
www.icoproject.org./article.
150
Seminar Nasional Hilal 2009 permukaan bumi dan bukan dari markaz atau titik pusatnya. Yang terpenting bagi pengamat hilal adalah konjungsi
tersebut terjadi dalam pengamatan orang yang ada di permukaan bumi. Dan inilah yang diselesaikan oleh istilah
kedua. Istilah kedua ini mengibaratkan bumi, bulan dan matahari sebagai bola yang berjalan di langit. Konjungsi
terjadi apabila titik pusat matahari dan bulan berada pada satu garis dilihat dari pengamat yang ada di permukaan
bumi. Bila hal ini yang dipakai, maka saat konjungsi antara satu daerah dengan daerah lain akan berbeda.
Dan sangat disayangkan, kata Odeh, sebagian besar penanggalan yang ada di negara-negara Islam
menggunakan Geocentric New Moon sebagai dasar dalam perhitungan mereka dan bukan Toposentric New
Moon.5
Kriteria-kriteria Rukyah al-Hila>l
Sebelum mengetahui kemungkinan rukyah al-hila>l setelah tenggelamnya matahari di tanggal 29,
terlebih dahulu harus diketahui dengan pasti bahwa bulan pada hari itu akan tenggelam setelah tenggelamnya
matahari dan konjungsi terjadi sebelum terbenamnya matahari melalui perhitungan hisab yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Dari data itulah akan diketahui apakah hilal mungkin dirukyah atau tidak. Dan untuk menentukan hal
tersebut, diperlukan kriteria-kriteria yang dikenal dengan kriteria melihat hilal. Ada beberapa kriteria yang
disebutkan oleh Odeh dalam tulisannya, antara lain:
Pertama, Kriteria Terbenamnya Bulan Setelah Matahari dan Konjungsi Sebelum terbenamnya
Matahari
Penganut kriteria ini mengatakan bahwa apabila bulan terbenam setelah matahari pada tanggal 29
walaupun selisih satu menit, dan konjungsi terjadi sebelum terbenam matahari walupun selisih satu menit, maka
hilal mungkin dilihat pada saat itu.6 Oleh karena itu, hari selanjutnya sudah dihitung sebagai permulaan bulan
hijiriah baru. Kriteria inilah yang dipakai oleh Kalender Ummul Qura Saudi mulai tahun 1423 H, juga dipakai
dalam kalender Negara-negara teluk selain Kerajaan Oman, Mesir dan beberapa Negara Islam lain. Kriteria ini,
menurut Odeh, adalah kriteria yang buruk dalam mengetahui kemungkinan dilihatnya hilal. Alasannya adalah
sebagai berikut;
a.
Konjungsi yang terhitung dalam hisab adalah konjungsi geocentric dan bukan toposentric, sehingga
konjungsi bisa saja terjadi bila dihitung dari titik pusat bumi, akan tetapi belum terjadi konjungsi bila
dihitung dari permukaan bumi pengamat.
b. Ketika dikatakan bahwa Matahari atau Bulan sudah terbenam, maka ini berarti bahwa piringan atas dari
lingkaran Matahari atau Bulan telah berada di bawah ufuk. Apabila Matahari terbenam pada jam 18.00
misalnya dan Bulan terbenam pada jam 18.02, maka ini berarti bahwa piringan atas lingkaran Bulan
sudah berada di bawah ufuk pada jam 18.02. Hanya saja hilal –andaikan saja dianggap sudah wujud
pada kondisi seperti ini- adalah berada di piringan bawah lingkaran Bulan. Karena Bulan memantulkan
cahaya Matahari dan Matahari berada di bawah Bulan, maka bagian Bulan yang bersinar adalah bagian
bawahnya. Padahal bagian bawah Bulan tentunya terbenam terlebih dahulu daripada bagian atasnya. Ini
berarti bahwa selisih waktu yang diperlukan agar hilal bisa dilihat setelah terbenamnya Matahari
menjadi lebih lama, tidak cukup dengan satu atau dua menit.
c. Bahkan jika saja sudah dilakukan koreksi perhitungan atas waktu terjadinya konjungsi dan
terbenamnya Bulan, kriteria ini tetap tidak akurat karena hanya memperhitungkan terjadinya konjungsi
tanpa memperhatikan fase terbentuknya hilal.
5
6
Odeh, al-Farqu.., ibid. lihat juga tulisan Odeh dalam al-Hila>l ….. Diakses dari www.icoproject.com./article Tanggal 28 April
2009. Penggunaan Geocentric New Moon ini misalnya dipakai oleh Husain Kamaluddin, lihat dalam Husain Kamaluddin, Ta’yi>n
Awa>il asy-Syuhu>r al’Arabiyyah, cet. I (Jedah: Dar ‘Ukadz, 1979), hlm. 30.
Sebenarnya kalimat yang lebih tepat adalah bahwa hila>l sudah wujud pada saat ini walaupun hanya bersifat teoritis, artinya secara
faktual hila>l memang belum nampak.
151
Seminar Nasional Hilal 2009
Kedua, Kriteria Umur Bulan
Kriteria ini dipakai karena lebih mudah. Misalnya ada yang berpendapat bahwa apabila umur bulan saat
terbenamnya matahari lebih dari 12 jam, maka hilal mungkin dilihat saat itu. Akan tetapi, menurut Odeh, dengan
berdasar pada hasil pengamatan hilal antara tahun 1859 – 2005 dapat diketahui bahwa umur bulan terkecil yang
berhasil dilihat dengan mata telanjang adalah 15 jam 33 menit oleh Pierce pada tanggal 25 Pebruari 1990, adapun
umur Bulan terkecil yang berhasil dilihat dengan menggunakan teropong adalah 13 jam 14 menit oleh Stamm
pada tanggal 20 Januari 1996.
Hanya saja, kata Odeh, kriteria ini juga belum begitu akurat untuk mengetahui kemungkinan terlihatnya
hilal. Hal ini dikarenakan teori ini tidak bisa membuat kriteria bahwa hilal akan mungkin terlihat dengan mata
telanjang bila umurnya lebih dari 15 jam. Berdasarkan pada data pengamatan hilal di atas, umur bulan ada yang
sudah mencapai 24 jam atau lebih dan tidak berhasil dilihat bahkan dengan teropong sekalipun sebagaimana
dikatakan oleh Schaefer.
Ketiga, Kriteria Mukuth| al-Qamar (lama hilal di atas ufuk)
Kriteria ini dipakai dengan menghitung selisih waktu antara terbenamnya matahari samapai
terbenamnya bulan. Ada yang berpendapat bahwa apabila nilai mukuth Bulan lebih dari 30 menit, maka hilal
mungkin dilihat. Lagi-lagi dengan melihat hasil pengamatan di atas, Odeh berpendapat bahwa kriteria ini pun
kurang akurat. Berdasarkan data pengamatan yang ada, mukuth hilal terendah yang berhasil dilihat dengan mata
telanjang adalah 29 menit, yakni di Palestina pada tanggal 20 September 1990, sedangkan dengan teropong adalah
21 menit oleh Stamm pada tanggal 20 November 2005. Bakan data yang dimiliki Schaefer menunjukkan bahwa
hila>l dengan mukuth 75 menit atau lebih pun tidak terlihat oleh teropong.
Keempat, Kriteria Elongasi (Istit}a>lah/Qaus an-Nu>r)
Elongasi adalah jarak dari titik pusat Bulan ke titik pusat Matahari di pandang dari Bumi dengan
menggunakan ukuran derajat. Secara mudah elongasi dapat digambarkaan sebagai berikut; elongasi bulan saat
gerhana matahari adalah 0 derajat, saat purnama adalah 180 derajat, dan saat kuarter pertama adalah 90 derajat.
Semakin besar nilai elongasi, maka semakin besar cahaya bulan yang dapat dilihat dari bumi sehingga
kemungkinan rukyah pun semakin besar.
Pada tahun 1936, Danjon mengatakan bahwa apabila nilai elongasi kurang dari 7 derajat, maka nilai
cahaya bulan yang dapat dilihat dari pengamat di permukaan bumi adalah nol. Akan tetapi, dengan kemajuan
peralatan pengamatan saat ini dan juga semakin banyaknya observatorium, nilai elongasi dari Danjon tersebut
sekarang bisa berubah menjadi 6,4 derajat. Dengan melihat hasil pengamatan antara tahun 1859 sampai 2005 di
atas, didapatkan data bahwa nilai elongasi minimal saat hilal berhasil dilihat dengan mata telanjang adalah 7,7
derajat oleh Pierce pada tanggal 20 Februari 1990, sedangkan bila menggunakan teropong adalah 6,4 derajat oleh
Stamm pada tanggal 13 Oktober 2004.
Kriteria ini bisa saja dijadikan sebagai batas minimal elongasi yang memungkinkan nampaknya hilal,
walupun tidak bisa diberlakukan sebaliknya. Artinya, tidak berarti bahwa bila elongasi bernilai lebih dari 6 derajat,
maka otomatis hilal bisa dilihat.
Kelima, Kriteria Hisab Rukyah al-Hilal
Dari berbagai kriteria di atas, Odeh mengatakan bahwa kriteria-kriteria di atas tidak bisa berdiri
sendiri. Oleh karena itu, Odeh mengatakan bahwa perhitungan falak (al-h}isa>b al-falakiyyah) saat ini sudah bisa
dijadikan dasar untuk menentukan kemungkinan dilihatnya hilal karena lebih teliti. Diantara negara-negara Islam
152
Seminar Nasional Hilal 2009 yang menggunakan perhitungan falak untuk menentukan kemungkinan hilal terlihat adalah Turki, Iran, Kerajaan
Oman, Yordania, Aljazair dan Maroko.
Ada beberapa kriteria yang juga disampaikan oleh Odeh tentang visibilitas hilal yang merupakan
tawaran dari beberapa orang atau kelompok yang sebagiannya bisa dijadikan pegangan ketika melakukan rukyah.
Antara lain:
a.
Kriteria Lama
Kriteria Babilonia menetapkan bahwa rukyah itu mungkin apabila umur bulan saat terbenam matahari lebih
dari 24 jam, dan bulan terbenam (moonset) setelah 48 menit dari terbenamnya matahari (sunset). Al-Battani
mengusulkan kemungkinan hilal bisa dirukyah apabila kerendahan matahari saat terbenamnya bulan adalah
antara 8 sampai 10 derajat di bawah ufuq. Keduanya, menurut Odeh belum merupakan kriteria yang akurat
karena data hasil rukyah yang dia miliki tidak mendukung kriteria ini.
b. Kriteria Ilyas
Ilyas mengemukakan kriteria visibiltas hilal dengan menghubungkan antara Geocentric Relative Altitude
(al-Irtifa>’ az-Za>wi> al-Markazi Bain asy-Syams wa al-Qamar Waqt al-Ghuru>b) dengan Relative
Azimuth (Farq as-Samt Bain asy-Syams wa al-Qamar Waqt al-Ghuru>b). Ia mengatakan bahwa jarak
sudut bulan-matahari haruslah mencapai 10,5 derajat pada beda azimut 0 derajat agar hilal dapat dilihat.
Kriteria ini menurut Odeh hanya memperhitungkan visibilitas hilal dengan pengamatan mata telanjang saja
dan tidak bisa dipakai bila pengamatan dilakukan dengan teropong.
c.
Kriteria SAAO (The South African Astronomical Observatory/Mars}ad Janu>b Ifriqiya> al-Falaki)
Kriteria SAAO merupakan kriteria terbaru yang dianggap sudah akurat. Kriteria ini menghubungkan antara
Toposentric Altitude (Irtifa>’ Sat}h}i li H{a>ffah Qars} al-Qamar Waqt al-Ghuru>b) dengan Relative
Azimuth. Kriteria ini bisa dipakai juga untuk pengamatan dengan teropong. Kriteria tersebut adalah sebagai
berikut:7
Beda Azimuth
Bulan-Matahari
0◦
5◦
10◦
15◦
20◦
Rukyah Tidak Mungkin (Walau
dengan Teropong) Bila Tinggi Hilal
Kurang Dari
6,3◦
5,9◦
4,9◦
3,8◦
2,6◦
Rukyah dengan Mata Telanjang
Kemungkinan Kecil Berhasil Bila
Tinggi Hilal Kurang Dari
8,2◦
7,8◦
6,8◦
5,7◦
4,5◦
d. Kriteria Yallop
Kriteria Yallop juga merupakan kriteria yang akurat. Dia menghubungkan antara beda Geocentric Relative
Altitude (al-Irtifa>’ az-Za>wi> al-Markazi> Bain asy-Syams wa al-Qamar) dengan Toposentric Crescent
Widht (as-Samk as-Sat}h}i li al-Hila>l). Kriteria ini membagi kemungkinan hilal bisa dilihat dalam
beberapa keadaan:
1. Hanya mungkin dilihat dengan teropong saja
2. Bisa menggunakan teropong
3. Bisa dengan mata telanjang bila udara bersih
7
Lihat Mohammad Shawkat Odeh, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility” dalam Nidhal Guesseoum & Mohammad Odeh
(ed.), Aplications of Astronomical Calculations to Islamic Issues, (t.t.t: Markaz al-Watha>iq wa al-Buhu>th, t.t), hlm. 21 yang juga
dipublikasikan di www.icoproject.org
153
Seminar Nasional Hilal 2009
4. Mudah dilihat dengan mata telanjang.8
e.
Kriteria Odeh
Odeh mengemukakan kriteria visibilitas hilal dengan menggabungkan hasil-hasil observasi yang
dilakukan oleh Schaefer, Yallop dan SAAO yang mencapai 336 observasi dan membentang antara tahun 1859
sampai 2000, dan masih ditambah dengan hasil pengamatan dari ICOP yang berjumlah 401. Secara keseluruhan
jumlah hasil observasi itu adalah 737 hasil pengamatan. Dia menggabungkan antara Topocentric Relative Altitude
dengan Toposentric Crescent Widht.
Ada beberapa variabel yang biasanya digunakan untuk menentukan kriteria visibilitas hilal menurut
Odeh. Dan diantara variabel-veriabel tersebut, dua di antaranya dipakai untuk menentukan kriteria visibilitas hilal
yang akurat, satu kriteria berkaitan dengan kecerahan hilal dan satu kriteria yang lain dikaitkan dengan jarak dari
terhadap horizon.
Diantara kriteria-kriteria tersebut adalah:
1. Umur Bulan (Moon’s Age/Age): Selisih waktu antara konjungsi dan waktu observasi.
2. Mukuth Bulan (Moon’s lag time/Lag): Selisih waktu antara terbenamnya matahari dan
terbenamnya bulan atau terbitnya matahari dan terbitnya bulan.
3. Moon’s Altitude
4. Elongasi (Arc of light/ARCL)
5. Busur Rukyah (Arc of vision/ARCV): Beda sudut altitude antara Matahari dan Bulan
6. Beda Azimut (Relative Azimuth /DAZ): Beda sudut azimut antara Matahari dan Bulan
7. Lebar Hilal (Crencent Widht/W)
Variabel-variabel untuk memprediksi penampakan hilal
Dalam kriteria baru yang ditawarkannya, Odeh mengatakan bahwa visibilitas hilal dibagi dalam
beberapa zona;
9
• Zona A (ARCV ≥ ARCV3): Hilal mudah dilihat dengan mata telanjang.
• Zona B (ARCV ≥ ARCV2): Hilal mudah dilihat dengan alat optik dan mungkin dengan mata telanjang dalam
cuaca yang bersih.
• Zona C (ARCV ≥ ARCV1): Hilal hanya dapat dilihat dengan alat optik.
• Zona D (ARCV < ARCV1); Hilal tidak mungkin dilihat walaupun dengan alat optik.
Tabel selengkapnya adalah sebagai berikut:
W
0.1’
0.2’
0.3’
0.4’
ARCV1 5.6◦
5.0◦
4.4◦
3.8◦
ARCV2 8.5◦
7.9◦
7.3◦
6.7◦
ARCV3 12.2◦
11.6◦
11.0◦
10.4◦
8
9
0.5’
3.2◦
6.2◦
9.8◦
0.6’
2.7◦
5.6◦
9.3◦
0.7’
2.1◦
5.1◦
8.7◦
0.8’
1.6◦
4.5◦
8.2◦
0.9’
1.0◦
4.0◦
7.6◦
BD Yallop, A Method for Predicting the First Sighting of the New Crescent Moon, diakses dari www.icoproject.org
Odeh, “New Criterion, ibid. hlm. 20
154
Seminar Nasional Hilal 2009 Yang dapat dibaca dari tabel di atas adalah bahwa hilal mudah dilihat dengan mata telanjang bila lebar
hilal 0.1’ dan busur rukyahnya minimal 12.2°, atau bila lebar hilal 0.2’ nya maka busur rukyah minimalnya adalah
11.6°, dan jika lebar hilalnya 0.9’ maka busur rukyah minimalnya adalah 7.6°. Hilal mudah dilihat dengan alat
optik dan mungkin dengan mata telanjang dalam cuaca yang bersih bila lebar hilal 0.1’ dan busur rukyahnya
minimal 8.5°, bila lebar hilalnya 0.2’ maka busur rukyah minimalnya adalah 7.9°, dan bila lebar hilalnya adalah
0.9’ maka busur rukyah minimalnya adalah 4.0°. Hilal hanya dapat dilihat dengan alat optik dengan lebar hilal 0.1’
bila busur rukyah minimalnya adalah 5.6°, bila lebar hilalnya 0.2’ maka busur rukyahnya minimal adalah 5.0° dan
bila lebar hilalnya adalah 0.9’ maka busur rukyahnya minimal adalah1.0°. Hilal tidak mungkin dilihat walaupun
dengan alat optik dengan lebar hilal 0.1’ bila busur rukyahnya kurang dari 5.6°.
10
Selanjutnya, untuk memprediksi visibilitas hilal dengan kriteria tersebut Odeh membuat sebuah rumus
sebagai berikut:
V= ARCV – (-0.1018 W³ + 0.7319 W² - 6.3226 W + 7.1651)
Jika V ≥ 5.65, maka hilal mungkin dilihat dengan mata telanjang
Jika 2 ≤ V < 5.65, maka hilal mudah dilihat dengan alat optik dan mungkin dengan mata telanjang
dalam cuaca yang bersih.
Jika -0.96 ≤ V < 2, maka hilal hanya dapat dilihat dengan alat optik.
Jika V < -0.96, maka hilal tidak mungkin dilihat walaupun dengan alat optik.11
Manakah yang harus dipakai, hisab ataukah rukyah ?
Sebagian ulama membolehkan penggunaan hisab dan sebagian yang lain tidak memperbolehkannya.
Odeh tidak membahas perdebatan para ulama tentang normatifitas hisab ataupun rukyah. Terhadap ulama yang
membolehkan pengunaan hisab, Odeh mengajukan pertanyaan, apakah kebolehan itu berarti sebagai berikut;
1. Tidak mengajak orang untuk melihat hilal dan mencukupkan diri dengan menghitung saat konjungsi, saat
terbenam matahari dan saat terbenamnya bulan. Jika konjungsi terjadi sebelum terbenamnya matahari,
bulan terbenam setelah matahari, maka haru setelahnya adalah permulaan bulan baru, bila tidak maka hari
setelahnya masih dihitung hari ke-30 bulan yang sedang berjalan.
2. Tidak mengajak orang untuk melihat hilal dan mencukupkan diri dengan hisab imka>n rukyah al-hila>l
dengan menggunakan kriteria-kriteria yang dapat menentukan kemungkinan dilihatnya hilal. Bila kriteria
terpenuhi, maka hari setelahnya adalah permualaan bulan baru dan bila tidak maka hari berikutnya masih
menyempurnakan bulan yang sedang berjalan.
3. Mengajak orang untuk melihat hilal, menghitung saat konjungsi, saat terbenam matahari dan bulan;
a.
Bila konjungsi terjadi sebelum terbenam matahari, bulan terbenam setelah matahari dan ada saksi
yang menyatakan melihat hilal, maka hari berikutnya dihitung permulaan awal bulan baru.
b. Bila konjungsi terjadi sebelum terbenam matahari, bulan terbenam setelah matahari dan tidak ada
saksi yang menyatakan melihat hilal, maka hari berikutnya masih merupakan hari dari bulan yang
berjalan.
10
11
Ibid. hlm. 22. Odeh, al-Hilal, ibid. lihat juga Syamsul Anwar, Rukyat Saudi, Puasa Arafah, dan Mendesaknya Pembuatan
Kalender Islam Terpadu, www.rukyatulhilal.com. Diakses tanggal 28 April 2009.
Odeh, “New Criterion, ibid. hlm. 23.
155
Seminar Nasional Hilal 2009
c.
Jika salah satu dari dua syarat tidak terpenuhi dan ada yang bersaksi melihat hilal, maka
kesaksiannya ditolak dan hari setelahnya belum merupakan permulaan bulan baru.
d. Jika salah satu dari dua syarat tidak terpenuhi dan tidak ada yang bersaksi melihat hilal, maka hari
setelahnya belum merupakan permulaan bulan baru.
Point c inilah yang dipakai oleh Arab Saudi mulai tahun 1423. Akan tetapi, ternyata hal itu tidak
berlaku dalam kenyataan karena kesaksian melihat hilal tetap diterima walaupun konjungsi terjadi
sebelum terbenam matahari atau bulan terbenam sebelum matahari sebagaimana yang terjadi pada
bulan Syawal 1425 H, Zulhijjah 1425 H, dan Ramadan 1427 H.
4. Mengajak orang untuk mencari dan melihat hilal serta menghitung kemungkinan dilihatnya hilal dengan
menggunakan salah satu kriteria yang dapat memberikan batasan imka>n ar-rukyah.
a. Jika didapatkan bahwa hilal mungkin untuk dirukyah dan ada orang yang bersaksi melihat hilal,
maka hari berikutnya adalah permulaan hari dari bulan baru.
b. Jika hilal mungkin dirukyah dan tidak ada orang yang berhasil melihatnya, maka hari berikutnya
masih dihitung hari dari bulan berjalan.
c. Jika hilal tidak mungkin dirukyah dan ada orang yang bersaksi melihat hilal, maka kesaksiannya
ditolak dan hari berikutnya masih merupakan hari dari bulan sekarang.
d. Jika hilal tidak mungkin dirukyah dan tidak ada orang yang melaporkan melihatnya, maka hari
berikutnya masih dihitung hari dari bulan berjalan.
Terhadap para ahli hukum (fuqaha>’) yang tidak membolehkan penggunaan hisab sebagai dasar, Odeh
melontarkan pertanyaan apakah yang dimaksud dengan hal itu adalah meminta umat untuk berusaha melihat hilal
tanpa melakukan perhitungan falak sama sekali dan jika ada orang yang bersaksi melihat hilal maka hari
berikutnya dianggap sebagai permulaan bulan baru walaupun hisab menunjukkan bahwa bulan belum wujud di
langit atau bahkan belum terjadi konjungsi, dan jika tidak ada yang memberikan kesaksian terlihatnya hilal maka
hari berikutnya masih menggenapi hitungan bulan yang sedang berjalan ?
Inilah yang dipakai oleh Saudi Arabia sebelum tahun 1419 H sehingga pemerintah Saudi Arabia sering
membuat kesalahan dalam menentukan permulaan bulan terutama Ramadan, Syawal dan Zulhijjah dengan selisih
satu bahkan sampai dua hari. Dalam penelitiannya, Odeh menemukan bahwa antara tahun 1954 sampai 1999
terdapat 47 kali Ramadan dan Syawal. Dari 47 Ramadan tersebut hilal yang mustahil dilihat di awal bulan adalah
sebanyak 28 bulan (60%), hilal tidak mungkin dilihat sebanyak 17 bulan (36%), dan kemungkinan bisa dilakukan
rukyah adalah sebanyak 2 kali saja (4%). Untuk bulan Syawal, 68% (32 kali) adalah rukyah yang mustahil, 30%
(14 kali) adalah rukyah yang tidak mungkin, dan 2% (satu kali) adalah yang mungkin dirukyah.
12
Kalender Hijriah Internasional
Persoalan Kalender Hijriah Internasional merupakan salah satu persoalan umat Islam yang sangat
penting untuk segera diwujudkan. Adanya perbedaan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha juga perbedaan
dalam memulai bulan hijriah selain disebabkan adanya perbedaan dalam kriteria penentuan awal bulan, tidak
adanya Kalender Hijriah Internasional merupakan sebab terbesar terjadinya persoalan di atas.
12
Hal ini dibahas Odeh secara lengkap dalam tulisannya yang berjudul “Taqwi>m Nasb al-Khat}a’ fi Tah}di>d Awa>il al-Asyhur
al-Hijriyyah (fi al-Urdun)”. Makalah ini sebenarnya menghitung kesalahan penentuan permulaan bulan di Yordania, akan tetapi
karena pada masa itu Yordania mengikuti Saudi Arabia dalam penentuan awal bulan terutama Ramadan, Syawal dan Zulhijjah,
maka pada dasarnya kesalahan penentuan tersebut adalah pada Saudi Arabia yang kemudian diikuti oleh Yordania.
156
Seminar Nasional Hilal 2009 Terwujudnya suatu kalender akan menyelesaikan banyak persoalan di suatu komunitas. Kalender
merupakan suatu produk pemikiran ilmiah, keyakinan agama, dan juga kemauan politik dan sosial. Terwujudnya
suatu kalender akan memperlihatkan bentuk interaksi antara ilmu dengan agama dan kekuasaan. Kehadiran
kalender merupakan suatu civilizational imperative (tuntutan peradaban), sebab kalender adalah “suatu sistem
waktu yang merefleksikan daya lenting dan kekuatan peradaban” bersangkutan. Bila itu terwujud banyak
persoalan civil dan agama diselesaikan dengan sendirinya. Dan adalah suatu ironi bahwa setelah empat belas abad
berkembang, peradaban Islam tidak memiliki kalender terpadu, sementara 6000 tahun sebelumnya di Sumeria
telah terdapat suatu kalender yang terstruktur dengan baik.13 Sudah ada usaha yang serius dari para pakar falak
dunia Islam untuk mewujudkan kalender hijriah yang dapat berlaku untuk seluruh umat Islam di seluruh belahan
dunia. Akan tetapi, masih terdapat berbagai ganjalan yang hingga saat ini belum terpecahkan, diantaranya adalah
masalah pembagian wilayah dan sistem serta kriteria penentuan awal bulan.
Syamsul Anwar mengatakan bahwa secara garis besar terdapat dua kutub pemikiran tentang kalender,
yaitu (1) konsep kalender zonal, dan (2) konsep kalender tepadu. Kalender zonal terdiri atas beberapa pandangan
lagi antara yang membagi dunia menjadi dua zona dan yang membagi dunia lebih dari dua zona. Kalender zonal
membagi dunia kepada zona-zona di mana pada masing-masing zona berlaku satu kalender yang mungkin sedikit
atau banyak berbeda dengan kalender yang berlaku di zona lain. Sebagai contoh adalah kalender Mohammad Ilyas,
yang merupakan pionir dalam bidang ini. Ia membagi dunia kepada tiga zona: Asia–Pasifik, Afro-Asia dan Eropa,
serta Amerika. Kalender usulan Mohammad Odeh merupakan kalender bizonal yang membagi dunia menjadi dua
zona, yaitu zona timur dan zona barat. Zona timur meliputi Afrika, Eropa, Asia dan Australia di mana dunia Islam
berada di dalamnya; zona barat meliputi benua Amerika. Kelemahan kalender zonal ini adalah terbaginya dunia
dalam zona penanggalan yang pada bulan-bulan tertentu akan terjadi tanggal yang berbeda.14 Kalender kedua,
menurut Syamsul Anwar adalah suatu sistem kalender terpadu yang tidak membagi dunia kepada sejumlah zona
tanggal. Di seluruh dunia hanya ada satu tanggal kamariah terpadu. Untuk ini beberapa hal harus diterima, antara
lain penggunaan hisab, masuk bulan baru tanpa harus rukyat setidaknya untuk zona waktu ujung timur. Dan masih
ada sejumlah prinsip lain yang harus diterima.
Odeh mengatakan tentang sistem penanggalan tawarannya bahwa salah satu keunggulannya adalah
sistem tersebut merupakan perpaduan antara hisab dan rukyah. Odeh berharap sistem penanggalan yang ia
tawarkan apabila dipakai oleh negara-negara Islam dapat menjadi solusi penaggalan hijriah terpadu di
negara-negara Islam sehingga akan meminimalisir terjadinya banyak perbedaan tentang permulaan bulan dan juga
masalah lain yang sekarang terjadi di dunia Islam yang disebabkan oleh belum adanya kalender hijriah terpadu.
Akan tetapi, sebaik apapun sistem yang ditawarkannya, ia merasa ada beberapa permasalahan yang
sangat mungkin muncul sebagai konsekuensi dari sistem tersebut. Diantaranya adalah:
a.
Kemungkinan dimulainya bulan baru si suatu negara walaupun hila>l tidak terlihat di negara tersebut.
Sebagai contohnya; h}isa>b menyatakan bahwa hilal mungkin dilihat di Mesir dengan menggunakan
piranti optik. Visibilitas hilal di saat tersebut akan semakin baik jika semakin ke arah barat, akan menjadi
mudah terlihat dengan mata telanjang jika dilihat dari Arab bagian barat (maghrib ‘arabi), dan semakin
mudah lagi dari benua Amerika. Oleh karena itu, hari berikutnya sesuai dengan perhitungan tadi sudah
13
14
Anwar, Rukyat Saudi…., Nidhal Guessoum, Khut}uwa>t fi T}ariq H}ill Musykilah at-Taqwi>m al-Isla>mi> al-Muwah}h}ad,
diakses dari www.icoproject.org./article. tanggal 28 April 2009.
Ibid. lihat juga Odeh, at-Taqwi>m….juga Guessoum, Khut}uwa>t…¸Guessoum menamakan sistem ini dengan kalender
“Kalender Guessoum-Odeh”.
157
Seminar Nasional Hilal 2009
merupakan permulaan bulan baru untuk zona timur. Akan tetapi, hilal tidak akan mungkin dilihat dari
negara-negara di timur Mesir seperti Iran, Saudi Arabia dan sebagainya. Permasalahan ini, menurut Odeh,
bisa diselesaikan dengan mengambil pendapat para ahli Fikih bahwa apabila hilal sudah dilihat di suatu
negara, maka negara yang bertetangga boleh memakai hasil rukyah tersebut.
b. Adanya keyakinan sebagian besar umat Islam bahwa apabila bulan nampak besar di hari pertama bulan
baru, maka sebenarnya telah terjadi kesalahan dalam menentukan awal bulan baru. Keyakinan bahwa
hilal bulan baru harus tidak nampak atau kecil adalah tidak benar. Alasannya adalah sebagai berikut:
1.
Permulaan hari untuk umat Islam, dengan kalender hijriah, ditandai dengan terbenamnya matahari.
Bila seseorang hendak mengkorfimasi kebenaran permulaan bulan Ramadan misalnya, dan dia
mengamati bulan pada tanggal 1 Ramadan, maka pada dasarnya bulan yang sedang diamati adalah
bulan untuk tanggal 2. Jika pada saat tersebut hilal nampak sangat kecil, maka permulaan bulannya
yang justru keliru.
2.
Rukyah merupakan metode penetapan awal bulan yang dipakai sejak masa Rasulullah. Jika pada
masa tersebut para sahabat dapat melihat hilal dengan mata telanjang untuk permulaan bulan baru,
maka hilal akan nampak semakin besar di hari berikutnya dan semakin mudah dilihat. Odeh
mengatakan bahwa kebijakan sebagian besar negara Islam untuk memulai bulan baru dengan tanpa
rukyah fi’liyyahlah yang menjadikan sebagian besar umat meyakini bahwa rukyah merupakan
sesuatu yang sangat sulit, jarang sekali bisa terlaksana atau tidak mungkin.
Ada kelemahan lain dari kalender zonal sebagaimana yang ditawarkan oleh Odeh, yaitu belum
terselesaikannya permasalahan penyatuan kalender Islam Internasional yang sebenarnya. Dengan terbaginya dunia
menjadi dua zona sebagaimana sistem penanggalan Odeh, maka akan sangat mungkin terjadi adanya dua tanggal
yang berbeda antara zona timur dan zona barat. Dan hal ini akan memunculkan beberapa persoalan, diantaranya
adalah tentang puasa Arafah. Contoh yang bisa disampaikan dalam hal ini adalah puasa Arafah tahun 1433
H/2012 M. Dengan menggunakan sistem penanggalan Odeh, awal bulan Zulhijjah 1433 H di zona Barat adalah
pada hari Selasa, 16 Oktober 2012
sedangkan permulaan bulan Zulhijjah di zona Timur adalah hari Rabu 17
Oktober 2012. Oleh karena itu, hari Arafah bagi zona Timur akan jatuh pada hari Kamis, 25 Oktober 2012.
Pertanyaannya adalah, kapankah ummat Islam yang berada di zona Barat melaksanakan puasa Arafah ? Apakah
mereka harus berpuasa pada hari Kamis, 25 Oktober 2012 sesuai dengan dilaksanakannya wuquf yang terjadi di
zona Timur ? Hal ini tidak mungkin karena hari Kamis adalah hari Raya Idul Adha menurut penanggalan zona
Barat dan puasa di hari raya adalah haram hukumnya. Ataukah mereka berpuasa di hari Rabu yang jatuh pada
tanggal 9 Zulhijjah sesuai penanggalan zona Barat ? Inipun tidak mungkin karena ketika mereka memulai puasa
Arafah di hari Rabu, peristiwa wuquf di Arafah sendiri belum dilaksanakan karena hari Arafah yang jatuh pada 9
Zulhijjah adalah pada hari Kamis, atau baru terjadi sehari setelah umat Islam di zona Barat melaksanakan puasa.15
Penutup
Dari diskripsi pemikiran Odeh di atas dapat dilihat bahwa Odeh merupakan salah satu tokoh falak yang
berusaha untuk menggabungkan antara hisab dengan rukyah. Ia memberikan kritikan keras pada sebagian ulama
atau pengambil keputusan yang hanya memakai hisab untuk menetapkan permulaan bulan baru hijriah.
Penggunaan hisab semata tanpa ada rukyah hakiki akan menjadikan ummat Islam berkeyakinan tidak mungkinnya
dilakukan rukyah, padahal rukyah hakikilah yang dipakai oleh generasi Islam pada masa Nabi SAW yang belum
didukung oleh sarana modern untuk melakukan rukyah sebagaimana yang ada saat ini. Pandangan Odeh tersebut,
dalam pandangan penulis, akan menjadikan fungsi observatorium yang ada di dunia Islam menjadi lebih
15
Lihat Syamsul Anwar, “al-Jawa>nib ash-Shar’iyyah li Wad}’ at-Taqwi>m al-Isla<mi> al-‘A<lami>” dalam Al-Jami’ah Journal of
Islamic Studies, vol. 46, no. 2, 2008.
158
Seminar Nasional Hilal 2009 maksimal dan bermakna. Data tentang hilal diperoleh dari umat Islam sendiri dan dengan pengamatan senyatanya.
Sebaliknya, Odeh juga mengkritik para penganut rukyah yang tidak mendasari keputusannya dalam
menentukan awal bulan dengan data hisab yang akurat. Diterimanya kesaksian tentang dilihatnya hilal padahal
hilal belum nampak sebagaimana yang terjadi di Saudi Arabia dan kemudian diikuti oleh Yordania dan beberapa
negara lain menunjukkan kelamahan mereka dalam penguasaan teori-teori dalam ilmu falak yang paling mendasar.
Penggunaan hisab untuk kepentingan rukyah merupakan suatu hal yang harus dilakukan agar rukyah yang
dilaksanakan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam hal kalender hijriah terpadu, Odeh menawarkan model kalender hijriah dengan dua zona; zona
timur yang mencakup Eropa, Asia dan Australia yang sebagian besarnya merupakan negara-negara Islam dan zona
barat yang meliputi benua Amerika. Odeh juga konsisten untuk menggunakan metode rukyah dan hisab dalam
model kalender yang ia tawarkan. Memang ada beberapa kendala yang mungkin terjadi bila umat Islam memakai
model tersebut, akan tetapi Odeh telah memberikan beberapa solusi untuk permasalahan yang muncul dari model
tersebut.
Pada akhirnya, apa yang dilakukan Odeh merupakan hasil karya yang luar biasa yang harus direspons
dengan baik, baik yang setuju ataupun yang menolaknya. Diperlukan kerja sama dan komunikasi yang serius dan
berkelanjutan untuk bisa menyatukan berbagai pemikiran falak yang berbeda-beda di kalangan ummat Islam
untuk terciptanya awal bulan yang sama di dunia Islam dan juga terbentuknya kalender hijriah terpadu. Walla>hu
A’lam
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul, Rukyat Saudi, Puasa Arafah, dan Mendesaknya Pembuatan Kalender Islam
Terpadu, www.rukyatulhilal.com. Diakses tanggal 28 April 2009
---------, “al-Jawa>nib ash-Shar’iyyah li Wad}’ at-Taqwi>m al-Isla<mi> al-‘A<lami>” dalam
Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, vol. 46, no. 2, 2008
Guessoum, Nidhal, Khut}uwa>t fi T{ari>q H{ill Mushkilah at-Taqwi>m al-Isla>mi>
al-Muwah}h}ad, diakses dari www.icoproject.org./article. tanggal 28 April 2009
Kamaluddin, Husain, Ta’yi>n Awa>il ash-Shuhu>r al’Arabiyah, cet. I, Jedah: Dar ‘Ukadz, 1979
Murtadho, Moh., Ilmu Falak Praktis, cet. I, Malang: UIN-Malang Press, 2008
Odeh, Mohammad Shawkat, al-Farq Bain al-Hila>l wa Tawallud al-Hila>l, www.icoproject.org. Diakses tanggal
28 April 2009.
-----------, al-Hila>l Bain H{isa>ba>t al-Falakiyyah wa ar-Rukyah www.icoproject.org. Diakses
tanggal 28 April 2009.
----------, Taqwi>m Nasb al-Khat}a’ fi Tah}di>d Awa>il al-Asyhur al-Hijriyyah (fi al-Urdun)
www.icoproject.org. Diakses tanggal 28 April 2009
----------, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility” dalam Nidhal Guesseoum & Mohammad
Odeh (ed.), Aplications of Astronomical Calculations to Islamic Issues, t.t.t: Markaz alWatha>iq wa al-Buhu>th, t.t
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, cet. I, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004
Saksono, Tono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, Jakarta: Amythas Publicita, 2007
Yallop, BD, A Method for Predicting the First Sighting of the New Crescent Moon, diakses dari
www.icoproject.org
159
‫‪Seminar Nasional Hilal 2009‬‬
‫‪LAMPIRAN‬‬
‫‪KALENDER HIJRIAH MODEL ODEH‬‬
‫)‪ :(1‬اﻟﺘﻘﻮﻳﻢ اﻟﻬﺠﺮي اﻟﺸﺮﻗﻲ‬
‫ﻳﺤﺘﻮي اﻟﻤﻠﺤﻖ ﻋﻠﻰ ﺗﻮارﻳﺦ ﺑﺪاﻳﺔ اﻷﺷﻬﺮ اﻟﻬﺠﺮﻳﺔ ﻟﻤﺪة ‪ 5‬ﺳﻨﻮات هﺠﺮﻳﺔ )‪ ،(1432-1428‬و ذﻟﻚ ﻟﻠﺘﻘﻮﻳﻢ اﻟﻬﺠﺮي اﻟﺸﺮﻗﻲ‪ ،‬اﻟﺬي‬
‫ﻳﻤﺘﺪ ﻣﻦ ﺧﻂ ﻃﻮل ‪ 180‬درﺟﺔ ﺷﺮﻗﺎ إﻟﻰ ﺧﻂ ﻃﻮل ‪ 20‬ﻏﺮﺑﺎ‪ ،‬و هﺬا ﻳﺸﻤﻞ ﺟﻤﻴﻊ ﻗﺎرات أﺳﺘﺮاﻟﻴﺎ و ﺁﺳﻴﺎ و أﻓﺮﻳﻘﻴﺎ و أوروﺑﺎ‪ ،‬أي‬
‫ﺟﻤﻴﻊ دول اﻟﻌﺎﻟﻢ اﻹﺳﻼﻣﻲ‪ ،‬ﻓﺈذا دﻟﺖ اﻟﺤﺴﺎﺑﺎت اﻟﻔﻠﻜﻴﺔ ﻋﻠﻰ أﻧﻪ ﻳﻤﻜﻦ رؤﻳﺔ اﻟﻬﻼل ﻣﻦ أي ﻣﻨﻄﻘﺔ )أرض ﻳﺎﺑﺴﺔ( ﺗﻘﻊ ﺿﻤﻦ هﺬا‬
‫اﻟﻨﻄﺎق‪ ،‬اﻋﺘﺒﺮ اﻟﻴﻮم اﻟﺘﺎﻟﻲ أول أﻳﺎم اﻟﺸﻬﺮ اﻟﻬﺠﺮي اﻟﺠﺪﻳﺪ ﻟﻬﺬا اﻟﻨﻄﺎق‪.‬‬
‫اﻟﺴﻨﺔ‬
‫اﻟﺸﻬﺮ‬
‫ﻳﻮم اﻟﺮﺻﺪ‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫رﺟﺐ‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫ﺷﻮال‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫رﺟﺐ‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫ﺷﻮال‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫رﺟﺐ‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫ﺷﻮال‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫‪2007/01/19‬‬
‫‪2007/02/18‬‬
‫‪2007/03/19‬‬
‫‪2007/04/18‬‬
‫‪2007/05/17‬‬
‫‪2007/06/15‬‬
‫‪2007/07/15‬‬
‫‪2007/08/13‬‬
‫‪2007/09/12‬‬
‫‪2007/10/12‬‬
‫‪2007/11/10‬‬
‫‪2007/12/10‬‬
‫‪2008/01/09‬‬
‫‪2008/02/07‬‬
‫‪2008/03/08‬‬
‫‪2008/04/06‬‬
‫‪2008/05/05‬‬
‫‪2008/06/04‬‬
‫‪2008/07/03‬‬
‫‪2008/08/02‬‬
‫‪2008/08/31‬‬
‫‪2008/09/30‬‬
‫‪2008/10/29‬‬
‫‪2008/11/28‬‬
‫‪2008/12/28‬‬
‫‪2009/01/27‬‬
‫‪2009/02/25‬‬
‫‪2009/03/27‬‬
‫‪2009/04/25‬‬
‫‪2009/05/25‬‬
‫‪2009/06/23‬‬
‫‪2009/07/22‬‬
‫‪2009/08/21‬‬
‫‪2009/09/19‬‬
‫‪2009/10/19‬‬
‫‪2009/11/17‬‬
‫أﻓﻀﻞ إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ ﻟﺮؤﻳﺔ‬
‫اﻟﻬﻼل‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫‪160‬‬
‫ﺑﺪاﻳﺔ اﻟﺸﻬﺮ‬
‫‪2007/01/20‬‬
‫‪2007/02/19‬‬
‫‪2007/03/20‬‬
‫‪2007/04/19‬‬
‫‪2007/05/18‬‬
‫‪2007/06/16‬‬
‫‪2007/07/16‬‬
‫‪2007/08/14‬‬
‫‪2007/09/13‬‬
‫‪2007/10/13‬‬
‫‪2007/11/11‬‬
‫‪2007/12/11‬‬
‫‪2008/01/10‬‬
‫‪2008/02/08‬‬
‫‪2008/03/09‬‬
‫‪2008/04/07‬‬
‫‪2008/05/06‬‬
‫‪2008/06/05‬‬
‫‪2008/07/04‬‬
‫‪2008/08/03‬‬
‫‪2008/09/01‬‬
‫‪2008/10/01‬‬
‫‪2008/10/30‬‬
‫‪2008/11/29‬‬
‫‪2008/12/29‬‬
‫‪2009/01/28‬‬
‫‪2009/02/26‬‬
‫‪2009/03/28‬‬
‫‪2009/04/26‬‬
‫‪2009/05/26‬‬
‫‪2009/06/24‬‬
‫‪2009/07/23‬‬
‫‪2009/08/22‬‬
‫‪2009/09/20‬‬
‫‪2009/10/20‬‬
‫‪2009/11/18‬‬
‫ﻋﺪد أﻳﺎم‬
‫اﻟﺸﻬﺮ‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪Seminar Nasional Hilal 2009 ‬‬
‫‪2009/12/17‬‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/01/16‬‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/02/14‬‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/03/16‬‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/04/15‬‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/05/14‬‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/06/13‬‬
‫رﺟﺐ‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/07/12‬‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/08/10‬‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/09/09‬‬
‫ﺷﻮال‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/10/08‬‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/11/06‬‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫‪1431‬‬
‫‪2010/12/06‬‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/01/05‬‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/02/03‬‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/03/05‬‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/04/04‬‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/05/03‬‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/06/02‬‬
‫رﺟﺐ‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/07/02‬‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/07/31‬‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/08/29‬‬
‫ﺷﻮال‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/09/28‬‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/10/27‬‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫‪1432‬‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫‪2009/12/18‬‬
‫‪2010/01/17‬‬
‫‪2010/02/15‬‬
‫‪2010/03/17‬‬
‫‪2010/04/16‬‬
‫‪2010/05/15‬‬
‫‪2010/06/14‬‬
‫‪2010/07/13‬‬
‫‪2010/08/11‬‬
‫‪2010/09/10‬‬
‫‪2010/10/09‬‬
‫‪2010/11/07‬‬
‫‪2010/12/07‬‬
‫‪2011/01/06‬‬
‫‪2011/02/04‬‬
‫‪2011/03/06‬‬
‫‪2011/04/05‬‬
‫‪2011/05/04‬‬
‫‪2011/06/03‬‬
‫‪2011/07/03‬‬
‫‪2011/08/01‬‬
‫‪2011/08/30‬‬
‫‪2011/09/29‬‬
‫‪2011/10/28‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪ #‬ﻣﻼﺣﻈﺎت ﺣﻮل اﻟﺠﺪول‪-:‬‬
‫ ﻳﻮم اﻟﺮﺻﺪ‪ :‬اﻟﻴﻮم اﻟﺴﺎﺑﻖ ﻟﺒﺪاﻳﺔ اﻟﺸﻬﺮ اﻟﻬﺠﺮي اﻟﺠﺪﻳﺪ‪.‬‬‫ أﻓﻀﻞ إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ ﻟﺮؤﻳﺔ اﻟﻬﻼل‪ :‬أﻓﻀﻞ إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ ﻟﺮؤﻳﺔ اﻟﻬﻼل ﺿﻤﻦ هﺬا اﻟﻨﻄﺎق‪ ،‬و ﻗﺪ ﺗﻢ اﻋﺘﻤﺎد ﻣﻌﻴﺎر ﻋﻮدة ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ اﻟﺮؤﻳﺔ‪،‬‬‫و ﻳﻘﺴﻢ ﻣﻌﻴﺎر ﻋﻮدة إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ اﻟﺮؤﻳﺔ إﻟﻰ ﺛﻼث ﺣﺎﻻت ‪:‬‬
‫أ ‪ -‬ﻣﻤﻜﻨﺔ ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ ﻓﻘﻂ )ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ(‪.‬‬
‫ب ‪ -‬ﻣﻤﻜﻨﺔ ﺑﺎﻟﻌﻴﻦ اﻟﻤﺠﺮدة ﺑﺼﻌﻮﺑﺔ ﻓﻲ ﺣﺎل ﻧﻘﺎء اﻟﻐﻼف اﻟﺠﻮي ﺗﻤﺎﻣﺎ )ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة( ‪.‬‬
‫ج ‪ -‬ﻣﻤﻜﻨﺔ ﺑﺎﻟﻌﻴﻦ اﻟﻤﺠﺮدة ﺑﺴﻬﻮﻟﺔ )ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة(‪.‬‬
‫اﻟﻤﻠﺤﻖ )‪ :(2‬اﻟﺘﻘﻮﻳﻢ اﻟﻬﺠﺮي اﻟﻐﺮﺑﻲ‬
‫ﻳﺤﺘﻮي اﻟﻤﻠﺤﻖ ﻋﻠﻰ ﺗﻮارﻳﺦ ﺑﺪاﻳﺔ اﻷﺷﻬﺮ اﻟﻬﺠﺮﻳﺔ ﻟﻤﺪة ‪ 5‬ﺳﻨﻮات هﺠﺮﻳﺔ )‪ ،(1432-1428‬و ذﻟﻚ ﻟﻠﺘﻘﻮﻳﻢ اﻟﻬﺠﺮي اﻟﻐﺮﺑﻲ‪ ،‬اﻟﺬي‬
‫ﻳﻤﺘﺪ ﻣﻦ ﺧﻂ ﻃﻮل ‪ º20‬ﻏﺮﺑﺎ إﻟﻰ اﻷﺟﺰاء اﻟﻐﺮﺑﻴﺔ ﻣﻦ اﻟﻘﺎرﺗﻴﻦ اﻷﻣﺮﻳﻜﻴﺘﻴﻦ ﻓﺈذا دﻟﺖ اﻟﺤﺴﺎﺑﺎت اﻟﻔﻠﻜﻴﺔ ﻋﻠﻰ أﻧﻪ ﻳﻤﻜﻦ رؤﻳﺔ اﻟﻬﻼل‬
‫ﻣﻦ أي ﻣﻨﻄﻘﺔ )أرض ﻳﺎﺑﺴﺔ( ﺗﻘﻊ ﺿﻤﻦ هﺬا اﻟﻨﻄﺎق‪ ،‬اﻋﺘﺒﺮ اﻟﻴﻮم اﻟﺘﺎﻟﻲ أول أﻳﺎم اﻟﺸﻬﺮ اﻟﻬﺠﺮي اﻟﺠﺪﻳﺪ ﻟﻬﺬا اﻟﻨﻄﺎق‪.‬‬
‫اﻟﺴﻨﺔ‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫اﻟﺸﻬﺮ‬
‫ﻳﻮم اﻟﺮﺻﺪ‬
‫أﻓﻀﻞ إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ‬
‫ﻟﺮؤﻳﺔ اﻟﻬﻼل‬
‫ﺑﺪاﻳﺔ اﻟﺸﻬﺮ‬
‫ﻋﺪد أﻳﺎم‬
‫اﻟﺸﻬﺮ‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫‪2007/01/19‬‬
‫‪2007/02/18‬‬
‫‪2007/03/19‬‬
‫‪2007/04/17‬‬
‫‪2007/05/16‬‬
‫‪2007/06/15‬‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫‪2007/01/20‬‬
‫‪2007/02/19‬‬
‫‪2007/03/20‬‬
‫‪2007/04/18‬‬
‫‪2007/05/17‬‬
‫‪2007/06/16‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪161‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1428‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1429‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1430‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1431‬‬
‫‪1432‬‬
‫‪1432‬‬
‫‪1432‬‬
‫‪1432‬‬
‫‪1432‬‬
‫‪1432‬‬
‫رﺟﺐ‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫ﺷﻮال‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫رﺟﺐ‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫ﺷﻮال‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫رﺟﺐ‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫ﺷﻮال‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫رﺟﺐ‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫ﺷﻮال‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫ﻣﺤﺮم‬
‫ﺻﻔﺮ‬
‫رﺑﻴﻊ اﻷول‬
‫رﺑﻴﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻷوﻟﻰ‬
‫ﺟﻤﺎدى اﻵﺧﺮة‬
‫‪2007/07/14‬‬
‫‪2007/08/13‬‬
‫‪2007/09/12‬‬
‫‪2007/10/11‬‬
‫‪2007/11/10‬‬
‫‪2007/12/10‬‬
‫‪2008/01/09‬‬
‫‪2008/02/07‬‬
‫‪2008/03/07‬‬
‫‪2008/04/06‬‬
‫‪2008/05/05‬‬
‫‪2008/06/03‬‬
‫‪2008/07/03‬‬
‫‪2008/08/01‬‬
‫‪2008/08/31‬‬
‫‪2008/09/29‬‬
‫‪2008/10/29‬‬
‫‪2008/11/28‬‬
‫‪2008/12/28‬‬
‫‪2009/01/26‬‬
‫‪2009/02/25‬‬
‫‪2009/03/26‬‬
‫‪2009/04/25‬‬
‫‪2009/05/24‬‬
‫‪2009/06/23‬‬
‫‪2009/07/22‬‬
‫‪2009/08/20‬‬
‫‪2009/09/19‬‬
‫‪2009/10/18‬‬
‫‪2009/11/17‬‬
‫‪2009/12/17‬‬
‫‪2010/01/15‬‬
‫‪2010/02/14‬‬
‫‪2010/03/16‬‬
‫‪2010/04/14‬‬
‫‪2010/05/14‬‬
‫‪2010/06/12‬‬
‫‪2010/07/12‬‬
‫‪2010/08/10‬‬
‫‪2010/09/08‬‬
‫‪2010/10/08‬‬
‫‪2010/11/06‬‬
‫‪2010/12/06‬‬
‫‪2011/01/04‬‬
‫‪2011/02/03‬‬
‫‪2011/03/05‬‬
‫‪2011/04/03‬‬
‫‪2011/05/03‬‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫‪162‬‬
‫‪Seminar Nasional Hilal 2009‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2007/07/15‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2007/08/14‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2007/09/13‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2007/10/12‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2007/11/11‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2007/12/11‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2008/01/10‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2008/02/08‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2008/03/08‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2008/04/07‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2008/05/06‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2008/06/04‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2008/07/04‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2008/08/02‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2008/09/01‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2008/09/30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2008/10/30‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2008/11/29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2008/12/29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2009/01/27‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2009/02/26‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2009/03/27‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2009/04/26‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2009/05/25‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2009/06/24‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2009/07/23‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2009/08/21‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2009/09/20‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2009/10/19‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2009/11/18‬‬
‫‪2009/12/18‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2010/01/16‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2010/02/15‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2010/03/17‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2010/04/15‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2010/05/15‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2010/06/13‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2010/07/13‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2010/08/11‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2010/09/09‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2010/10/09‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2010/11/07‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2010/12/07‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2011/01/05‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2011/02/04‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2011/03/06‬‬
‫‪29‬‬
‫‪2011/04/04‬‬
‫‪30‬‬
‫‪2011/05/04‬‬
‫‪30‬‬
‫‪Seminar Nasional Hilal 2009 ‬‬
‫‪2011/06/02‬‬
‫رﺟﺐ‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/07/01‬‬
‫ﺷﻌﺒﺎن‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/07/31‬‬
‫رﻣﻀﺎن‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/08/29‬‬
‫ﺷﻮال‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/09/27‬‬
‫ذو اﻟﻘﻌﺪة‬
‫‪1432‬‬
‫‪2011/10/27‬‬
‫ذو اﻟﺤﺠﺔ‬
‫‪1432‬‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ‬
‫ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة‬
‫‪2011/06/03‬‬
‫‪2011/07/02‬‬
‫‪2011/08/01‬‬
‫‪2011/08/30‬‬
‫‪2011/09/28‬‬
‫‪2011/10/28‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪29‬‬
‫‪30‬‬
‫‪29‬‬
‫‪ #‬ﻣﻼﺣﻈﺎت ﺣﻮل اﻟﺠﺪول‪-:‬‬
‫ ﻳﻮم اﻟﺮﺻﺪ‪ :‬اﻟﻴﻮم اﻟﺴﺎﺑﻖ ﻟﺒﺪاﻳﺔ اﻟﺸﻬﺮ اﻟﻬﺠﺮي اﻟﺠﺪﻳﺪ‪.‬‬‫ أﻓﻀﻞ إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ ﻟﺮؤﻳﺔ اﻟﻬﻼل‪ :‬أﻓﻀﻞ إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ ﻟﺮؤﻳﺔ اﻟﻬﻼل ﺿﻤﻦ هﺬا اﻟﻨﻄﺎق‪ ،‬و ﻗﺪ ﺗﻢ اﻋﺘﻤﺎد ﻣﻌﻴﺎر ﻋﻮدة ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ اﻟﺮؤﻳﺔ‪،‬‬‫و ﻳﻘﺴﻢ ﻣﻌﻴﺎر ﻋﻮدة إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ اﻟﺮؤﻳﺔ إﻟﻰ ﺛﻼث ﺣﺎﻻت ‪:‬‬
‫أ ‪ -‬ﻣﻤﻜﻨﺔ ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ ﻓﻘﻂ )ﺑﺎﻟﻤﺮﻗﺐ(‪.‬‬
‫ب ‪ -‬ﻣﻤﻜﻨﺔ ﺑﺎﻟﻌﻴﻦ اﻟﻤﺠﺮدة ﺑﺼﻌﻮﺑﺔ ﻓﻲ ﺣﺎل ﻧﻘﺎء اﻟﻐﻼف اﻟﺠﻮي ﺗﻤﺎﻣﺎ )ﻣﺮﻗﺐ‪-‬ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة( ‪.‬‬
‫ج ‪ -‬ﻣﻤﻜﻨﺔ ﺑﺎﻟﻌﻴﻦ اﻟﻤﺠﺮدة ﺑﺴﻬﻮﻟﺔ )ﻋﻴﻦ ﻣﺠﺮدة(‪.‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪163‬‬
Seminar Nasional Hilal 2009
TANYA-JAWAB & DISKUSI III
Pemateri Sesi 5:
13. Bapak Alma Nuradnan
14. Bapak Nashirudin
Pertanyaan :
- Bpk. Yunus Dharmadinata (peminat hilal)
1. Karena kriteria syaukat ode terbaginya menjadi dua zona, apakah deadline nya
mengikuti deadline internasional atau berpindah-pindah karena ditetapkan?
2. Apakah diambil garis bujur supaya sama antara yang dibawah dan diatas orang
yang melihat hilal?
- Bpk. Nur Arif
1. Rukyatul hilal dposisikan pada non teknis hingga harus syar’i, lalu bagaimana
dengan posisi imkanurrukyat? Apaka gara-gara cara syari berfikirnya menjadi
batal atu tidak syah jadi tidak bisa dipakai, kalau persoalan masih berkutat
disitu, kita tidak akan maju, maka selamanya kita akan berbeda, bagaimana
konsekuensi logisnya, kalau rukyat secara empiris, sementara imkanurrukyat
prediktif, sebenarnya padaposisi seperti ini bagaimana menanggapinya?
- Bpk. Cecep
1. Seandainya rukyat global diberlakukan, kita sudah bisa menghisab, kira2
daerah mana yang memungkinkan hilal terlihat? Boleh jadi tidak akan ada hilal,
apakah tidak menyalahi? Andai kita memasuki tanggal satu di bulan qomariyah,
sementara ijtima’ belum terjadi, maka akan terjadi masalah besar, apakah anda
sanggup untuk menahan beban ketika ditanya oleh allah, bagaimana tanggung
jawab anda ketika orang-orang di bagian timur disuruh masuk ke bagian barat?
Jawaban dari Bapak Alma Nuradnan
Jawaban untuk penanya pertama, solusi syar’i sudah ada tapi beragam makanya itulah
pentingnya wadah seperti ini untuk saling berkomunikasi. Jawaban untuk penanya ketiga,
posisi imkanur rukyat dengan hisab tidak ada masalah yang jadi masalah adalah jika tidak
ada satu orang pun yang melihat hilal. Seharusnya minimal satu orang yang bersaksi
melihat hilal maka dapat diputuskan untuk berpuasa keesokan harinya. Rukyat global
harus diterapkan, daerah paling barat pastinya merupakan wilayah yang paling cepat
melihat hilal, jika mereka melihat maka seharusnya kita ikut. Wilayah paling barat itu juga
perlu diperhatikan karena juga disesuaikan dengan garis visibilitas hilal tadi.
Jawaban dari Bapak Nashirudin
Jika dalam sebuah perhitungan rukyat ijtima’ belum terjadi, maka kemungkinan terhindari
dari kesalahan sangat besar. Di suatu negara hilal tidak mungkin di rukyat, asalkan berada
dalam satu zona yang sama maka akan diberlakukan dengan konsep matla’. Masalah
garis tanggal qomariyah diberlakukan dengan batas-batas zona juga. Ada di suatu negara
belum terjadi konjungsi, tapi karena global maka dianggap telah masuk.
164 Seminar Hilal Nasional 2009 VISIBILITAS HILAL METONIK
Moedji Raharto
Kelompok Keahlian Astronomi FMIPA ITB dan KPPI
SEMINAR NASIONAL: MENCARI SOLUSI KRITERIA VISIBILITAS HILAL DAN PENYATUAN KALENDAR
ISLAM DALAM PERSPEKTIF SAINS DAN SYARIAH, pada hari Sabtu, 19 Desember 2009 /2 Muharram 1431 H,
Bertempat di Observatorium Bosscha – Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Teknologi
Bandung, diselenggarakan oleh KK Astronomi FMIPA ITB dan KPPI
RINGKASAN
Mencari kriteria Visibilitas Hilal yang presisi merupakan usaha yang sangat penting untuk
keperluan penyusunan kalendar Islam, sebuah kalendar Bulan yang mendasarkan pada visibilitas
hilal sebagai pergantian awal bulan baru. Makalah ini mengenal lebih jauh tentang siklus Metonik
dan membahas telaah awal tentang implikasi siklus Metonik terhadap parameter Visibilitas Hilal.
I. PENDAHULUAN
Tradisi merukyat Hilal umat Islam pada awal Ramadlan, Syawal atau Dzulhijjah di penjuru dunia
hingga sekarang menunjukkan adanya kontinuitas tradisi penentuan bulan Islam sejak awal tegak
Islam. Fenomena merukyat ini menunjukkan bahwa Hilal yang dimaksud dalam teks Hadist
maupun Qur’an adalah bulan sabit yang sangat tipis setelah konjungsi atau ijtimak, bagian dari fasa
– fasa Bulan. Hilal yang merupakan bagian dari fenomena fasa bulan, hilal yang dapat disaksikan
oleh mata bugil manusia. Pernyataan dalam teks Hadist tentang adanya “awan dan debu” sebagai
penghalang yang bisa menghapus penglihatan adanya Hilal menunjukkan bahwa fisik Hilal yang
diamati memang sabit bulan yang tipis dengan ukuran tertentu sehingga masih bisa diamati dari
permukaan planet Bumi yang mempunyai lapisan angkasa.
Adanya Hadist tersebut, bila hilal tidak nampak karena terhalang debu atau awan satu bulan bisa
digenapkan 30 hari, merupakan solusi untuk memutuskan awal Bulan Islam agar tidak terjadi
perselisihan pendapat berkepanjangan. Ketidak tampakan hilal bisa oleh penyebab yang tidak
mungkin ditembus misalnya kondisi Bulan sudah terbenam sebelum Matahari terbenam, kondisi
lain Bulan masih di atas ufuq atau horizon pengamat, cuaca sangat cerah namun ukuran sabit
bulannya atau ukuran kontrasnya belum mencapai nilai ambang pengamatan dengan mata bugil atau
dengan bantuan instrument, hilal memang benar – benar tidak nampak. Ketidak nampakan lainnya
adalah ketidak nampakan akibat mendung yang cukup tebal, dalam kasus sabit bulan belum
memenuhi sebuah ukuran keberadaan mendung tebal akan sama – sama menghasilkan ketidak
tampakan hilal. Sedang kasus lainnya hilal seharusnya nampak, tetapi karena ada awan tebal atau
mendung maka hilal tidak nampak. Satu ketidak nampakan bersifat hakiki, tidak ada awanpun hilal
tidak akan terlihat dan yang lain bersifat kondisional yaitu hilal seharusnya nampak tapi karena ada
awan tebal hilal menjadi tak terlihat. Susunan jumlah hari dalam satu Bulan Islam dengan hilal
hakiki bisa jadi 29, 29, 29, 30 atau 29, 30, 29, 30 atau 30, 30, 30, 29. Kalau sifat ketidak nampakan
kedua – duanya dipergunakan dalam operasionalisasi Hadist tersebut bisa terjadi bahwa satu Bulan
Islam hanya 28 hari. Hal ini mungkin terjadi karena bila saat merukyat tidak tepat, atau kasus lain
misalnya bila tidak mendung dan struktur 1 bulan Islam 29 hari dan bulan berikutnya juga 29 hari,
namun karena berawan pada pengamatan hilal pada bulan pertama maka bulan pertama digenapkan
30 hari, kemudian pada bulan berikutnya cerah dan hilal akan nampak pada hari ke 28, walaupun
barangkali rukyatul hilal akan diselenggarakan pada hari ke 29, namun hilal sudah terlihat pada hari
165
Seminar Nasional Hilal 2009
28. Kondisi semacam ini kurang memberikan kepastian tentang jumlah hari dalam penanggalan
Islam.
Kegunaan praktis telaah Visibilitas Hilal Metonik, dipergunakan dalam penetapan awal bulan Islam
adalah untuk mengetahui keaneka ragaman visibilitas yang mencapai 235 varian. Keragaman dan
kesederhanaan dalam memahami kriteria Visibilitas Hilal dapat menimbulkan perdebatan dalam
menjustifikasi keberadaan Hilal yang visible. Parameter Visibilitas Hilal Metonik ini juga
diperlukan untuk mengetahui apakah kriteria visibilitas hilal yang sederhana telah mencukupi atau
tidak. Selain itu juga diperlukan untuk mengembangkan kriteria Visibilitas Hilal, sabit Bulan yang
paling tipis dan dapat disaksikan oleh mata bugil atau tidak. Penemuan parameter yang lebih baik
akan dapat dipergunakan untuk menyusun sistem penanggalan Islam yang lebih presisi.
Pembentukan sabit bulan tipis setelah ijtimak atau konjungsi sehingga dapat diamati oleh mata
bugil atau yang disebut dengan hilal bervariasi dengan rentang waktu dari saat ijtimak cukup besar
(12 jam hingga 48 jam). Secara geometri variasi selang waktu pembentukan sabit Bulan yang tipis
atau hilal itu bergantung pada beberapa faktor diantaranya posisi Bulan terhadap titik perigee atau
apogee, posisi Bumi di perihellion atau di aphelion dan kedudukan titik Aries dan titik Musim
Gugur dari titik simpul orbit Bulan pada ekliptika.
Pemahaman tentang parameter visibilitas hilal sering hanya menggunakan kriteria yang terlalu
disederhanakan. Misalnya (taqwim standar) BHR Dep Ag RI mempergunakan kriteria bila tinggi
bulan pada momen matahari terbenam lebih besar atau sama dengan 2 derajat di atas horizon, hilal
dianggap telah visible dan bahkan saksi pengamat hilal (dengan criteria tersebut) dapat disumpah
oleh hakim Peradilan Agama. Sebenarnya kriteria visibilitas hilal lebih kompleks. Illyas (1984)
menunjukkan dan mengusulkan kriteria visibilitas dua dimensi yaitu beda azimuth Bulan dan
Matahari versus tinggi bulan pada momen matahari terbenam. Walaupun kriteria ini lebih baik dari
kriteria sebelumnya, namun dalam beberapa kasus, kriteria ini hanya lebih menitik beratkan
pengaruh musiman. Edy (2000) dan Raharto dan Edy (2002) menunjukkan bahwa adanya
kecenderungan pola visibilitas hilal Metonik. Pemahaman baru ini diharapkan akan memberikan
gambaran yang lebih baik terhadap visibilitas hilal.
II. ORBIT BULAN
Jarak Bumi-Bulan rata-rata 384400 km, sebenarnya jarak Bulan bervariasi dari waktu ke waktu 356
375 km (4 Januari 1912) hingga 406720 km ( 3 Februari 2125). Eksentrisitet (ek) orbit Bulan
hampir mendekati lingkaran, ek rata-rata = 0.05490 (bandingkan dengan lingkaran ek = 0) karena
gangguan (terutama oleh) Matahari harga eksentrisitet tersebut bervariasi 0.044 < ek < 0.067,
inklinasi bidang orbit Bulan terhadap ekliptika, i, adalah 5° 09′, osilasi inklinasi tersebut adalah 4°
58′ < i < 5° 19′.
Orbit Bulan mengelilingi Bumi lebih kompleks karena gangguan Matahari dan planit lainnya
terhadap Bulan tak bisa diabaikan, jarak Bumi-Bulan rata-rata 384400 km, dalam kenyataannya bisa
bervariasi antara 364296.44 km ( Fred Espenak: 356 400 km) hingga 405503.56 km ( Fred Espenak
: 406 700 km). Variasi jarak ini mencapai [ (406700 – 356400) / { (406700 + 356400) /2 }] x 100%
= 12 % dari nilai jarak rata-rata. Bila informasi jarak itu dipergunakan maka semidiameter Bulan
berkisar antara 882“ dan 1006“.
Secara umum walaupun radius Matahari = 6.96 x 100 000 km, relatif sangat besar sekitar 400 kali
radius Bulan, namun jarak Bumi- Matahari sangat jauh, 400 kali lebih jauh dibanding dengan jarak
Bumi-Bulan. Oleh karena itu diameter sudut Bulan dan Matahari hampir bersamaan di langit yaitu
sekitar setengah derajat.
166 Seminar Hilal Nasional 2009 Dua titik potong antara bidang orbit Bulan dan Ekliptika dinamakan ascending node, titik simpul
naik, yakni Bulan menuju lintang ekliptika positif dan descending node, titik simpul turun, yakni
Bulan menuju ke lintang ekliptika negatif. Ketika Bulan melewati titik simpul turun, Bulan dari
belahan utara ekliptika menuju ke belahan selatan ekliptika dan sebaliknya ketika Bulan hendak
melintas titik simpul naik Bulan bergerak dari arah belahan ekliptika selatan ke belahan ekliptika
utara.
2.1 PERIODE SINODIS dan PERIODE SIDERIS BULAN
Periode sideris Bulan siklus bulan menempuh busur sebesar 360° dan selang waktu yang ditempuh adalah
27.321661 hari, berarti setiap hari (rata-rata) bulan menempuh busur pada lintasan orbitnya sebesar 360° /
27.321661 = 13°.17667728 /hari atau sekitar ∼ 13° /hari. Satu tahun sideris matahari 365.2564 hari. Satu hari
matahari menempuh busur pada lintasan orbitnya sebesar 360° / 365.2564 = 0°.985609121 ∼ 1° /hari. Arah
gerak Bulan dalam mengorbit Bumi ke arah timur langit, artinya bila seorang pengamat melihat dari arah kutub
Utara ekliptika akan melihat Bulan bergerak berlawanan dengan arah putaran jarum jam. Arah rotasi planit
Bumi juga ke arah timur. Oleh karena itu secara garis besar Bulan setiap hari terbit terlambat (13°/360°) x 24
jam = 52 menit. Misalnya hari ini Bulan terbit di tempat pengamat pada jam 19:00 wib esok hari Bulan akan
terbit pada jam 19:52 menit dan seterusnya. Pada saat Bulan mati atau dekat dengan konjungsi, Bulan dan
Matahari akan terbit atau terbenam pada waktu yang hampir sama atau bersamaan. Fenomena terbit dan
terbenam untuk keperluan yang lebih presisi misalnya untuk menentukan awal Bulan dalam sistem
penanggalan diperlukan perhitungan yang lebih cermat. Elongasi Bulan, jarak sudut antara Bulan dan
Matahari setiap hari bertambah sekitar 12°, kenyataannya bisa bertambah antara 10° sampai 14°, akibat orbit
Bulan dan orbit Bumi tidak berbentuk lingkaran, melainkan ellips dengan eksentrisitet kecil, hampir mendekati
lingkaran.
Selang waktu dari satu fasa Bulan ke fasa yang sama berikutnya dinamakan satu periode Sinodis
atau satu Lunasi. Periode Sinodis Bulan rata-rata atau unit satu lunasi rata-rata, adalah 29.53059
hari.
2.2 TAHUN TROPIS
Kedua titik potong bidang orbit Bulan mengelilingi Bumi tidak tetap di langit melainkan bergerak sepanjang
ekliptika, karena bidang orbit Bulan juga bergerak beregrasi. Regresi perubahan posisi bujur ekliptika
ascending node (ke arah barat) sebesar 19° 21′ 17″.42 pertahun atau 1° 36′ 46″.45 perbulan atau 360° per
18.6 tahun. Akibat pergerakan regresi orbit Bulan ini pengamat di Bumi akan menyaksikan kadang-kadang
Bulan berada pada titik ekstrim paling selatan yang bisa dicapai Bulan di langit selatan dan kadang-kadang
Bulan berada pada titik ekstrim paling utara yang bisa dicapai Bulan di langit utara. Deklinasi maksimum (saat
Bulan di utara ekliptika) Bulan dicapai bila titik simpul ascending node berada di (dekat) titik Aries (bujur
ekliptika = 0°, lintang ekliptika = 0°) dan akan berulang setiap 18.6 tahun (6798.3 hari).
Pada kedudukan titik simpul (dekat titik Aries) seperti itu saat ijtimak Bulan Juni diharapkan Bulan
mempunyai deklinasi sekitar +28.5 dan –28.5 pada ijtimak Bulan Desember. Apabila titik simpul
ascending node berada di (dekat) titik musim gugur (bujur ekliptika = 180°, lintang ekliptika = 0°)
maka pada saat ijtimak Bulan Juni diharapkan Bulan mempunyai deklinasi sekitar +28°.5 dan –
28°.5 pada ijtimak Bulan Desember. Selain itu sumbu panjang (apsida) yang menghubungkan titik
perigee dan apogee Bulan bervariasi dengan periode 8.85 tahun ( 3232.6 hari). Perhatikan kasus
gerhana Matahari Maret 1988 (deklinasi Bulan tahun 1988 antara dua ekstrim +28°.5 dan –28°.5)
dan Maret 1997 (deklinasi Bulan tahun 1997 antara dua esktrim +18°5 dan –18°.5).
167
Seminar Nasional Hilal 2009
Periode Tropis, siklus Bulan berkonjungsi dengan titik Aries dua kali berurutan, yaitu rata-rata 27.32158 hari
(27 hari 07 jam 43 menit 05 detik). Pada kedudukan titik simpul seperti itu saat ijtimak bulan Juni diharapkan
Bulan mempunyai deklinasi sekitar +28.5 dan –28.5 pada ijtimak bulan Desember. Apabila titik simpul
ascending node berada di (dekat) titik musim gugur (bujur ekliptika = 180°, lintang ekliptika = 0°) maka pada
saat ijtimak bulan Juni diharapkan bulan mempunyai deklinasi sekitar +18°.5 dan –18°.5 pada ijtimak bulan
Desember.
2.3 NODIKAL
Periode Nodikal, siklus momen Bulan melewati ascending node, salah satu titik simpul perpotongan orbit
bulan dengan ekliptika, setelah melewati ascending node bulan berada di utara ekliptika, dua kali berurutan
yaitu rata-rata 27.212220 hari (27 hari 05 jam 05 menit 36 detik). Bila Matahari kebetulan berada di dekat
salah satu titik simpul naik atau simpul turun Bulan maka diharapkan akan terjadi gerhana Bulan atau gerhana
Matahari. Bidang orbit Bulan yang membentuk sudut sekitar 5 derajat (sekitar 10 kali diameter sudut Bulan
atau Matahari) terhadap ekliptika menyebabkan tiap bulan tidak terjadi gerhana Bulan atau gerhana Matahari.
Perhatikan kasus gerhana Matahari Maret 1988 (artinya bahwa kedudukan Bulan berada di arah titik Aries
berarti deklinasi Bulan tahun 1988 mencapai dua ekstrim +28°.5 dan –28°.5) dan Maret 1997 (deklinasi bulan
tahun 1997 berada antara dua esktrim +18°5 dan –18°.5).
Contoh pencapaian posisi deklinasi ekstrim selatan pada Lunasi Astronomi 1030 (LI = 16085 +
1030 = 17115 atau Rabi ul awal 1427 H) terjadi fasa kuartir pertama pada tanggal 5 April 2006 jam
19:01 wib (pada 5 April 2006 jam 0 TT kedudukan Bulan : asensiorekta 06 jam 42 menit 19 detik
dan deklinasi +28 derajat 21 menit 53 detik. Pada tanggal 4 April 2006 pada jam 0 Terrestrial Time,
TT = TAI (International Atomic Time, epoch 1 Januari 1958) +32.184 detik, kedudukan Bulan:
asensiorekta 05 jam 44 menit 50 detik dan deklinasi +28 derajat 38 menit 12 detik) fasa kuartir
terakhir 21 April 2006 jam 10:28 wib. (pada tanggal 21 April 2006 jam 0 TT kedudukan Bulan:
asensiorekta 20 jam 08 menit 19 detik dan deklinasi −25 derajat 02 menit 22 detik. Pada tanggal 20
April 2006 pada jam 0 TT kedudukan Bulan: asensiorekta 19 jam 08 menit 05 detik dan deklinasi
−27 derajat 41 menit 44 detik, pada tanggal 19 April 2006 jam 0 TT kedudukan Bulan :
asensiorekta 18 jam 07 menit 00 detik dan deklinasi −28 derajat 39 menit 48 detik ).
Seorang pengamat Bulan di Kiruna (stasiun pengamatan di Swedia) dengan lintang +67 derajat 52
menit dan bujur timur 20 derajat 26 menit, ketika memungkikan melihat secara menyeluruh fasa
Bulan dengan LA 1030 atau LI 17115 tersebut, bandingkan dengan di Indonesia semuanya bisa
dengan mudah diamati.
2.4 ANOMALISTIK
Selain itu sumbu panjang (apsida) yang menghubungkan titik perigee dan apogee bulan bervariasi
dengan periode 8.85 tahun (3232.6 hari). Akibat gerak orbit pada perigee dan apogee, sedang rotasi
Bulan relatif konstan yaitu 27.3 hari maka bagian permukaan Bulan yang bisa tampak dari Bumi
bertambah sedikit lebih luas dari separuh bola Bulan. Periode Anomalistik, selang waktu Bulan
melewati momen titik perigee, titik terdekat dengan planit Bumi dua kali berurutan, yaitu rata-rata
27.554551 hari (27 hari 13 jam 18 menit 33 detik).
2.5 SIKLUS SAROS
Saros berasal dari bahasa Yunani yang berarti pengulangan (repetition), dalam hal ini adalah
pengulangan gerhana Matahari atau gerhana Bulan yang hampir sama di lokasi langit yang hampir
168 Seminar Hilal Nasional 2009 sama. Steves (1998), Espenak (1986) dan Espenak and Meuss (2008) mengeksplorasi tentang siklus
Saros gerhana Bulan dan gerhana Matahari.
Berulangnya konfigurasi gerhana pada saat Bulan Mati dan Bulan Purnama dikendalikan oleh
periode sinodis Bulan, sedangkan momen Bulan berada pada sekitar titik simpul dikendalikan oleh
periode nodikal Bulan. Konfigurasi gerhana harus memenuhi kondisi periode nodikal dan periode
sinodis. Satuan yang terkecil geometri gerhana adalah : 47 P-sin = 1387.937683 hari dan 51 P-nodi
= 1387.823271 hari. Oleh karena itu seri gerhana yang baru akan dilahirkan setiap 47 kali bulan
sinodis.
Karakteristik gerhana yang berulang tidak hanya lama gerhana yang direfleksikan oleh jarak Bumi
– Bulan, kedudukan Bumi – Bulan dan Matahari membentuk konfigurasi gerhana dalam sebuah
“garis lurus” pada saat momen bulan Baru atau bulan Purnama. Tetapi juga jarak pusat bundaran
Matahari dan bundaran Bulan terhadap pericenter berulang setelah satu periode Saros. Atau sekitar
(223 / 47) ≈ 5 kali deretan seri gerhana 6-bulanan. (Bulan berada dekat dengan titik simpul sekitar ±
15°, (15° / 4°.02) ≈ 4 kali di kiri dan 4 kali di kanan atau sekitar 8 kali 6 bulan sekitar 48 bulan atau
47 bulan sinodis )
Karakteristik deretan gerhana berikutnya akan berbeda dengan yang sebelumnya, lama
berlangsungnya gerhana maupun jenis gerhana. Tipe gerhana bergantung pada separasi antara posisi
titik simpul dan Bulan, jarak Bumi – Bulan dan posisi pengamat di permukaan Bumi. Diameter
Bulan sekitar 400 kali lebih kecil dari diameter Matahari dan jarak Bumi – Bulan sekitar 400 kali
lebih dekat dibanding jarak Bumi – Matahari. Lama konfigurasi kedudukan Bumi – Bulan –
Matahari dalam keadaan gerhana ditentukan oleh kecepatan Bulan dalam orbitnya mengelilingi
Bumi berbentuk ellips. Bulan akan mempunyai kecepatan yang besar saat berada pada titik Perigee
(titik terdekat Bulan terhadap Bumi) dan paling lambat saat Bulan berada di Apogee (titik terjauh
Bulan terhadap Bumi). Lama gerhana bergantung pada jarak Bumi – Bulan, saat di Perigee akan
berlangsung lebih cepat. Pada momen gerhana posisi Bulan bisa di perigee atau di apogee, posisi
Bumi di perihelion dan di aphelion. Bila diameter sudut Bulan lebih kecil dibanding diameter sudut
Matahari maka bisa terjadi gerhana Matahari Cincin, bila diameter sudut Matahari lebih kecil
dibanding diameter sudut Bulan bisa terjadi gerhana Matahari Total.
Siklus Penting dinyatakan dalam hari Matahari rata – rata
•
•
•
•
•
•
•
•
P-γ = 365.24220 hari (1 tahun tropis rata – rata)
P-sin = 29.530589 hari (1 bulan sinodis rata – rata )
P-sid = 27.321662 hari ( 1 bulan sideris rata – rata )
P-anomalistik = P-ano = 27.554550 hari
P-nodikal = P-nodi = 27.212221 hari
223 P-sin = 6585.3213 hari
239 P-ano = 6585.5375 hari
242 P-nodi = 6585.3575 hari
Hubungan 223 periode Sinodis = 223 x 29.530589 hari = 6585.3213 hari dinamakan siklus Saros
dalam gerhana Matahari maupun gerhana Bulan, 239 siklus Anomalistik Bulan = 239 x 27.554551
hari = 6585.5377 hari dan 242 Siklus Nodikal = 242 x 27.212220 hari = 6585.3572 hari. Fenomena
ini berkaitan erat siklus bahwa besar diameter sudut Bulan dan Matahari berulang, pada bujur dan
lintang ekliptika Bulan dan Matahari hampir sama. Espenak (1989) menunjukkan terdapat siklus
panjang gerhana lainnya yaitu siklus Tritos (135 lunasi atau 135 x periode sinodis rata-rata Bulan)
dan siklus Inex (358 lunasi atau 358 x periode sinodis rata-rata Bulan).
Siklus Saros Ijtimak
169
Seminar Nasional Hilal 2009
Siklus dua gerhana Matahari atau gerhana Bulan di bujur ekliptika yang berdekatan berulang 18
tahun 11 hari atau 10 hari (6585.3233 hari) bergantung pada tahun kabisat yang ada dalam interval
waktu 18 tahun tersebut. Siklus ini dikenal dengan nama siklus Saros. Pada dua gerhana berurutan
dalam satu seri Saros yang sama diameter sudut Bulan berubah sangat kecil. Hal ini bisa dimengerti
karena keterkaitan siklus Saros dengan kelipatan anomalistik dan nodikal. Siklus Saros 223 periode
sinodis = 223 x 29.530589 hari = 6585.3233 hari, satu siklus Saros hampir sama dengan 239
periode anomalistik = 239 x 27.554551 hari = 6585.5377 hari, satu siklus Saros hampir sama
dengan 242 periode nodikal = 242 x 27.212220 hari = 6585.3572 hari. Apakah siklus ini juga
berlaku untuk siklus Ijtimak?
Seri Saros 129
7 Maret 1951
18 Maret 1969
29 Maret 1987
8 April 2005
20 April 2023
30 April 2041
UT
20 50 58
04 51 58
12 46 27
20 33 05
04 13 41
11 47 32
Siklus – siklus gerhana lainnya :
(1) Hipparchus (gerhana 146 – 135 BC)
• 4267 P-sin = 126007.02 hari
• 4573 P-ano = 126006.96 hari
• 4612 P-sid = 126007.51 hari
• 345 P-γ = 126008.56 hari
(2) Hipparchus
• 8534 P-sin = 252014.05 hari
• 9261 P-nodi = 252012.38 hari
• 9146 P-ano = 252013.91 hari
• 9224 P-sid = 252015.01 hari
• 690 P-γ = 252017.12 hari
(3) Siklus gerhana 441 tahun 103 hari
• 5458 P-sin = 161177.95 hari
• 5923 P-nodi = 161177.99 hari
(4) Siklus gerhana 20 tahun 107 hari
• 251 P-sin = 7412.1778 hari
• 269 P-ano = 7412.1740 hari
(5) Stockwell : siklus gerhana 29 tahun kurang 20 hari
• 358 P-sin = 10571.951 hari
• 388.5 P-nodi = 10571.948 hari
• 383.673 P-ano = 10571.95 hari
Apakah lebih akurat dari Saros ? P-ano yang tidak ikut berperan seperti siklus Saros membuat
pengulangan geometri gerhana kurang sempurna? Siklus Saros lebih akurat ?
(6) Triple Saros (Crommelin 54 thn 33 hari)
• 3 x 223 P-sin = 19755.964 hari
• 3 x 239 P-ano = 19756.612 hari
• 3 x 242 P-nodi = 19756.072 hari
• Dinamakan Exelignos : gerhana kembali hampir ke tempat yang sama ?
• Posisi Matahari berpindah sekitar (33/365.2422) x 360° ≈ 30°, jarak Bumi – Matahari pada
saat momen gerhana tidak berulang dengan baik
170 Seminar Hilal Nasional 2009 (7) M. Opert : Megalosaros sekitar 100 kali Saros (1805 thn kurang 6 hari)
• 22325 P-sin = 659270.40 hari
• 23926 P-ano = 659270.16 hari
• 24227 P-nodi = 659270.48 hari
• Prediksi geometri gerhana masih lebih akurat satu siklus Saros
(8) Crommelin : 18 x Stockwell = 521 thn
• 18 x 358 P-sin = 6444 P-sin = 190295.12 hari
• 18 x 388.5 x P-nodi = 6993 P-nodi = 190295.06 hari
• 6906 P-ano = 190291.72 hari
• 521 P-γ = 190292.19 hari
• Prediksi tidak seakurat siklus Saros
Pembahasan hilal Saronik akan disampaikan pada kesempatan lain.
2.6 Siklus METON
•
•
235 P-sin = 6939.69 hari
19 P-γ = 6939.60 hari
Siklus Meton (c 433 SM) telah dikenal sejak zaman Babylonia, merupakan siklus berulangnya fasa
Bulan pada tanggal yang sama atau hampir sama dalam kalendar Masehi yaitu 235 lunasi, siklus 19
tahun (12 lunasi x 12 + 13 lunasi x 7 = 235 lunasi, 19 tahun 7 bulan dalam sistem Kalendar Bulan
Hijriah atau sekitar 6940 hari matahari rata-rata), Selain siklus Metonik itu, Meeus (1983)
menunjukkan adanya berbagai siklus diantaranya, siklus 8 tahun (99 lunasi, 8 tahun 3 bulan dalam
sistem Kalendar Bulan Hijriah atau sekitar 2923 hari matahari rata-rata), dan siklus 372 tahun (4601
lunasi, 383 tahun 5 bulan dalam sistem Kalendar Bulan Hijriah atau sekitar 135870 hari matahari
rata-rata).
Tanggal syamsiah fasa Bulan bersiklus 235 lunasi atau kira-kira 19 tahun (syamsiah). Siklus 235
lunasi bulan dikenal sebagai siklus Meton. Jumlah hari rata-rata dalam 235 lunasi adalah (235 x
siklus sinodis bulan = 235 x 29.530589 hari) = 6939.688415 hari. Sedang 19 tahun tropis adalah (19
x satu tahun tropis rata-rata = 19 x 365.242199 hari) = 6939.601781 hari. Selisih 235 lunasi
terhadap 19 tahun tropis adalah (235 lunasi – 19 tahun) = 0.08 hari. Dalam 19 tahun tropis, 12 tahun
diantaranya setiap tahun terdapat 12 lunasi dan 7 tahun sisanya setiap tahun terdapat dari 13 lunasi.
Bila terjadi 4 kali siklus Meton berarti jumlah dalam 4 siklus Meton itu berjumlah 4 x 235 lunasi =
940 lunasi atau 940 x 29.530589 hari = 27758.75366 hari. Sedang satu tahun tropis adalah
365.242199 hari, oleh karenanya 940 lunasi = (27758.75366 / 365.242199) tahun tropis = 76.
00094878 tahun ( sekitar 4 x 19 tahun = 76 tahun). Dogget (1992) memberikan persamaan jumlah
hari dalam 5700000 tahun sama dengan jumlah hari dalam 70499183 lunasi yaitu 2081882250 hari.
171
Seminar Nasional Hilal 2009
Tabel 1a: Contoh Waktu Ijtimak (UT) dengan siklus Metonik
Siklus Bulan Baru berulang 19 tahun sekali. Pada siklus 19 tahun tersebut ijtimak akan berlangsung
pada tanggal yang hampir sama dalam kalendar Masehi/Syamsiah sebagai contoh dapat dilihat
Fenomena konjungsi Bulan Meeus (1983) untuk tahun 1985, 2004 dan tahun 2023, perhatikan
tanggal terjadinya ijtimak.
tahun 1985
Ijtimak (UT)
tahun 2004
Ijtimak (UT)
tahun 2023
Ijtimak (UT)
21 Jan
19 Feb
21 Maret
20 Apr
19 Mei
18 Juni
17 Juli
16 Agust
14 Sept
14 Okt
12 Nov
12 Des
02 29 08
18 43 34
11 59 35
05 22 51
21 42 01
11 58 50
23 57 15
10 06 25
19 20 48
04 34 11
14 21 13
00 55 19
21 Jan
20 Feb
20 Maret
19 Apr
19 Mei
17 Juni
17 Juli
16 Agust
14 Sept
14 Okt
12 Nov
12 Des
21 05 57
09 18 44
22 42 24
13 22 16
04 53 00
20 27 51
11 24 50
01 24 57
14 30 06
02 49 18
14 28 13
01 30 04
21 Jan
20 Feb
21 Maret
20 Apr
19 Mei
18 Juni
17 Juli
16 Agust
15 Sept
14 Okt
13 Nov
12 Des
20 54 22
07 06 58
17 24 17
04 13 41
15 54 26
04 38 18
18 32 58
09 39 19
01 40 56
17 56 16
09 28 31
23 33 09
Tabel1b: Contoh Waktu Ijtimak (WIB) dengan siklus Metonik
tahun 1985
Ijtimak
(WIB)
tahun 2004
Ijtimak
(WIB)
tahun 2023
Ijtimak
(WIB)
21 Jan
20 Feb
21 Maret
20 Apr
20 Mei
18 Juni
18 Juli
16 Agust
15 Sept
14 Okt
12 Nov
12 Des
09 29 08
01 43 34
18 59 35
12 22 51
04 42 01
18 58 50
06 57 15
17 06 25
02 20 48
11 34 11
21 21 13
07 55 19
22 Jan
20 Feb
21 Maret
19 Apr
19 Mei
18 Juni
17 Juli
16 Agust
14 Sept
14 Okt
12 Nov
12 Des
04 05 57
16 18 44
05 42 24
20 22 16
11 53 00
03 27 51
18 24 50
08 24 57
21 30 06
09 49 18
21 28 13
08 30 04
22 Jan
20 Feb
22 Maret
20 Apr
19 Mei
18 Juni
18 Juli
16 Agust
15 Sept
15 Okt
13 Nov
13 Des
03 54 22
14 06 58
00 24 17
11 13 41
22 54 26
11 38 18
01 32 58
16 39 19
08 40 56
00 56 16
16 28 31
06 33 09
172 Seminar Hilal Nasional 2009 Table: 2 a
PETA SIKLUS METONIK IJTIMAK ATAU KONJUNGSI BULAN
Nomor dalam Tabel menunjukkan putaran tahun terhadap siklus 19, misalnya nomor 1 artinya
putaran ke 1 (diambil daftar ijtimak tahun 1951, waktu ijtimak dalam UT) dari siklus 19, nomor
dengan tambahan a dan b berarti ada dua ijtimak yang berlangsung pada putaran yang ditunjukkan
oleh nomor di depannya dalam satu bulan, misalnya 1 Okt terdapat 1a dan 30 Okt terdapat 1b (dua
putaran 1 siklus Metonik ijtimak bertepatan dengan bulan Oktober). Dalam satu tanggal bisa
terdapat dua putaran dalam siklus metonik, misalnya tanggal 6 Agustus bisa merupakan putaran ke
6 dan 17 dari siklus Metonik
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
7a
15
Feb
15
4
2
12
1
9
17
12
1
9
17
6
6
14
3
11
19
8
14
3
11
19
8
16
Mar Aprl Mei
7a
15a
15
4
15
4
12
12
4
12
1
1
1
9
9
9
17
17
6
17
6
14
6
14
3
3
14
11
3
11
11
19
19
19
8
8
8
16
16
16
5
13
2
10
18
7b
13
2
10
18
5
13
5,13 2
2
10
16
5
10
18
7b
Jun
4a
12
Jul
12a
1
1
9
9
17
6,17 6
14
14
3
3
11
11
19
19
8
8
16
5
13
2
2,13
10
10
10
18
18
18
7
7
7
15
4b
15b
16
5
13
2
18
7
15
4
Agst Sept
1
1
9
9
6,17
6,17
14
3
19
173
11
19
8
16
8
16
5
5
13
13
2
2
10
10
18
18
7
7
15
15
4
12
12b
14
3
11
Okt
1a
9a
17
6
14
Nov Des
17a
6,17 6
14
14
3
3
11
3
11
11
19
19
8
8
16
16
16
5
5
5
13
2
13
2
10
13
2
10
18
10
18
18
7
7
15
15
4
4
4
12
19
8
7
15
4
12
12
12
1b
9b
1
9
1
9
17b
Seminar Nasional Hilal 2009
Catatan Tabel 2a:
Dalam Bulan Januari no 7 dari seri 19 ada dua ijtimak yaitu 7a (tgl 1 Januari) dan 7b (tgl 30
Januari), a dan b hanya menunjukkan bahwa dalam bulan masehi yang sama terjadi dua ijtimak.
Tanggal yang absen dari jadual ijtimak: 3,4,8, 11,12,17,20,22,23,27,31
Ijtimak pada tanggal tertentu dan dalam 19 tahun akan berulang berarti ada tanggal yang tak pernah
ada ijtimak dalam tiap bulan? Jumlah hari hanya 28, 29, 30 atau 31, sedang siklus Metonik hanya
19 atau 20 tanggal ijtimak dalam sebulan. Apakah tanggal yang kosong ini merupakan tanggal
istimewa, tanggal tanpa ijtimak?, Perlu penyelidikan lebih jauh.
Februari : No 7 seri 19 tidak terdapat pada bulan Februari
Tanggal yang absen dari jadual ijtimak: 2,4,8, 10,12,17, 19, 21,22,23, 27,29
Tablel 2 (b). Variant Metonic Ijtimak Konjungsi tanggal Table 2b
Gregorian
Jan Feb Mar
Aprl Mei
Jun
Jul Agst Sept
56
156
58
159
24
124
225
1
155
158
23
123
224
2
20
157
22
89
3
121
122
222
223
88
52,188
4
19
119
21
5
118
218
120
220
221
86
87
51,187 151
6
217
82
219
85
186
150
7
84
49,185
50
15
8
81
181
83
183
184
149
14
9
180
48
148
114
10
45
182
47
147
12
13
113
213
11
46
146
112
12
44
144
10
11
111
212
77
13
143
8
145
110
210
211
176
14
7
107
9
109
76
15
106
206
108
208
209
75
175
40
16
74
39
139
17
205
70
207
73
173
174
18
69
72
38
138
3
19
169
71
171
172
37
137
2
102
20
168
36
136
1
21
33
170
35
235
101
201
22
134
234,135
100
200
65
23
32
132
34,133 233
99
24
131
231
232
97
98
198
199
64
164
25
230
95
163
26
96
196
197
62
63
28
27
94
194
195
162
27
127
28
193
60
61
161
26
29
57
25
126
30
59
160
125
31
setelah reformasi kalendar
Okt
226
90
189
53
152
Nov
Des
54,190
191
55
153
154
17
18
117
16
115
116
215
214
78
79
178
179
177
41
42
43
140
4
141
5
104
142
6
105
204
103
202
203
67
66
165
166
30
29
216
80
68
167
31
130
129
128
227
91
228
92
229
93
192
First column date of months, from the second column to the last column (the thirteenth) is the
possible Variant Number. Please notice that some days without Variant Number and there are some
days with good control.
174 Seminar Hilal Nasional 2009 Tabel 3 :
Jumlah Ijtimak dalam intraMetonik, tahun ke 1 diambil tahun 1951
IntraMetonik
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Jml Total
Lunasi
Jml momen
ijtimak
Keterangan
13
12
12
13
12
12
13
2 di bln Okt
12
13
12
12
13
12
12
13
12
13
12
12
235
2 di bln Juni
2 di bln Jan &
Mart
2 di bln Okt
2 di bln Juli
2 di bln Mei
2 di bln Des
Secara detail bila ditinjau salah satu Ijtimak pada bulan Juli ( Seri no 2 pada bulan Juli dalam Tabel
2 di atas) dalam Table 4.
Tabel 4: Varian Lunasi Islam 01-235 (bagian 1 dari 4)
Kolom 1: LI= Lunasi Islam (penampakan hilal ke penampakan hilal berikutnya), Kolom 2: Waktu
Ijtimak (penentu awal bulan Hijriah pada kolom 4) Bln = Bulan Masehi, Tgl = Tanggal Masehi,
UT= jam Universal Time (wib = UT + 7), GM=Gerhana Matahari P = GM Sebagian, A= GM
Anullar/Cincin, T = GM Total, Kolom 3: tahun masehi waktu ijtimak pada kolom 2, Kolom 4
Bulan dan Tahun Hijriah
LI
1
236
471
706
941
1176
1411
1646
Bln, Tgl, UT, GM
Jul 14 05:26 P
Jul 13 20:00 A
Jul 13 03:53 A
Jul 13 12:54 A
Jul 13 05:34 P
Jul 13 04:47
Jul 13 05:26
Jul 14 02:02
Thn M
622
641
660
679
698
717
736
755
Bln dan thn Islam (Hijriah, H)
Muharram 1 H
Sya’ban 20 H
Rabi’ul Awal 40 H
Syawal 59 H
Jumadil Awal 79 H
Dzulhijjah 98 H
Rajab 118 H
Safar 138 H
175
Seminar Nasional Hilal 2009
1881
2116
2351
2586
2821
3056
3291
3526
3761
3996
4231
4466
4701
4936
5171
5406
5641
5876
6111
6346
6581
6816
7051
Jul 13
Jul 12
Jul 12
Jul 13
Jul 13
Jul 13
Jul 12
Jul 13
Jul 12
Jul 12
Jul 11
Jul 12
Jul 12
Jul 12
Jul 12
Jul 12
Jul 11
Jul 11
Jul 11
Jul 12
Jul 12
Jul 11
Jul 11
14:44
22:01
08:21
02:38
02:28
02:32
21:32
08:33
15:42
03:34
23:24
23:48
23:20
16:46
02:22
09:54
23:33 P
20:54 T
21:41 T
20:23 T
12:05
20:29
04:46
774
793
812
831
850
869
888
907
926
945
964
983
1002
1021
1040
1059
1078
1097
1116
1135
1154
1173
1192
Ramadhan 157 H
Rabi’ul Akhir 177 H
Dzulkaedah 196 H
Jumadil Akhir 216 H
Muharram 236 H
Sya’ban 255 H
Rabi’ul Awal 275 H
Syawal 294 H
Jumadil Awal 314 H
Dzulhijjah 333 H
Rajab 353 H
Safar 373 H
Ramadhan 392 H
Rabi’ul Akhir 412 H
Dzulkaedah 431 H
Jumadil Akhir 451 H
Muharram 471 H
Sya’ban 490 H
Rabi’ul Awal 510 H
Syawal 529 H
Jumadil Awal 549 H
Dzulhijjah 568 H
Rajab 588 H
Tabel 4 (lanjutan): Varian Lunasi Islam 01-235 ( bagian 2 dari 4, lanjutan Tabel 4)
Kolom 1: LI= Lunasi Islam (penampakan hilal ke penampakan hilal berikutnya), Kolom 2: Waktu
Ijtimak (penentu awal bulan Hijriah pada kolom 4) Bln = Bulan Masehi, Tgl = Tanggal Masehi,
UT= jam Universal Time (wib = UT + 7), GM=Gerhana Matahari P = GM Sebagian, A= GM
Anullar/Cincin, T = GM Total, Kolom 3: tahun masehi waktu ijtimak pada kolom 2, Kolom 4:
Bulan dan Tahun Hijriah
LI
7286
7521
7756
7991
8226
8461
8696
8931
9166
9401
9636
9871
10106
10341
10576
10811
11046
11281
Bln, Tgl, UT, GM
Jul 11 20:12
Jul 11 18:41
Jul 11 19:21
Jul 11 16:44
Jul 12 06:33
Jul 11 14:06
Jul 10 23:28
Jul 10 16:33
Jul 11 15:49
Jul 11 16:12
Jul 11 12:14
Jul 11 00:22
Jul 11 07:32
Jul 10 18:18
Jul 10 13:08
Jul 10 13:15
Jul 11 13:18 P
Jul 11 07:56 A
Thn M
1211
1230
1249
1268
1287
1306
1325
1344
1363
1382
1401
1420
1439
1458
1477
1496
1515
1534
Bln dan thn Islam (Hijriah, H)
Safar 608 H
Ramadhan 627H
Rabi’ul Akhir 647 H
Dzulkaedah 666 H
Jumadil Akhir 686 H
Muharram 706 H
Sya’ban 725 H
Rabi’ul Awal 745 H
Syawal 764 H
Jumadil Awal 783 H
Dzulhijjah 803 H
Rajab 823 H
Safar 843 H
Ramadhan 862 H
Rabi’ul Akhir 881 H
Dzulkaedah 901 H
Jumadil Akhir 921 H
Muharram 941 H
176 11516
11751
11986
12221
12456
12691
12926
13161
13396
13631
13866
14101
14336
Jul 10
Jul 10
Jul 20
Jul 20
Jul 20
Jul 20
Jul 21
Jul 20
Jul 20
Jul 20
Jul 21
Jul 21
Jul 21
18:31 A
01:45 A
14:12 P
10:36
11:12
10:28
03:21
12:31
20:11
10:19
07:52
08:30
06:41
1553
1572
1591
1610
1629
1648
1667
1686
1705
1724
1743
1762
1781
Seminar Hilal Nasional 2009 Sya’ban 960 H
Rabi’ul Awal 980 H
Syawal 999 H
Jumadil Awal 1019 H
Dzulhijjah 1038 H
Rajab 1058 H
Safar 1078 H
Ramadhan 1097 H
Rabi’ul Akhir 1117 H
Dzulkaedah 1136 H
Jumadil Akhir 1156 H
Muharram 1176 H
Sya’ban 1195 H
Tabel 4 (lanjutan) Varian Lunasi Islam 01-235 (3 bagian dari 4 , lanjutan Tabel 4)
Kolom 1: LI= Lunasi Islam (penampakan hilal ke penampakan hilal berikutnya), Kolom 2: Waktu
Ijtimak (penentu awal bulan Hijriah pada kolom 4) Bln = Bulan Masehi, Tgl = Tanggal Masehi,
UT= jam Universal Time (wib = UT + 7), GM=Gerhana Matahari P = GM Sebagian, A= GM
Anullar/Cincin, T = GM Total, Kolom 3: tahun masehi waktu ijtimak pada kolom 2, Kolom 4:
Bulan dan Tahun Hijriah
LI
14571
14806
15041
15276
15511
15746
15981
16216
16451
16686
16921
17156
17391
17626
17861
18096
18331
18566
18801
19036
19271
19506
19741
19976
20211
20446
20681
Bln, Tgl, UT, GM
Jul 21 21:47
Jul 22 05:53
Jul 21 14:23
Jul 21 06:13
Jul 21 04:53
Jul 22 05:32
Jul 23 02:38
Jul 22 16:03
Jul 21 23:31
Jul 22 09:15 P
Jul 22 02:54 T
Jul 22 02:35 T
Jul 22 03:02 T
Jul 22 22:49 P
Jul 22 10:34
Jul 21 17:43
Jul 22 04:54
Jul 23 00:07
Jul 23 00:19
Jul 23 00:05
Jul 22 18:10
Jul 23 04:20
Jul 23 11:34
Jul 23 00:19
Jul 22 20:51
Jul 23 21:19
Jul 23 20:18
Thn M
1800
1819
1838
1857
1876
1895
1914
1933
1952
1971
1990
2009
2028
2047
2066
2085
2104
2123
2142
2161
2180
2199
2218
2237
2256
2275
2294
Bln dan thn Islam (Hijriah, H)
Rabi’ul Awal 1215 H
Syawal 1234 H
Jumadil Awal 1254 H
Dzulhijjah 1273 H
Rajab 1293 H
Safar 1313 H
Ramadhan 1332 H
Rabi’ul Akhir 1352 H
Dzulkaedah 1371 H
Jumadil Akhir 1391 H
Muharram 1411 H
Sya’ban 1430 H
Rabi’ul Awal 1450 H
Syawal 1469 H
Jumadil Awal 1489 H
Dzulhijjah 1508 H
Rajab 1528 H
Safar 1548 H
Ramadhan 1567 H
Rabi’ul Akhir 1587 H
Dzulkaedah 1606 H
Jumadil Akhir 1626 H
Muharram 1646 H
Sya’ban 1665 H
Rabi’ul Awal 1685 H
Syawal 1704 H
Jumadil Awal 1724 H
177
Seminar Nasional Hilal 2009
20916
21151
21386
21621
Jul 24
Jul 23
Jul 24
Jul 23
12:47
21:42
05:30
20:00
2313
2332
2351
2370
Dzulhijjah 1743 H
Rajab 1763 H
Safar 1783 H
Ramadhan 1802 H
Tabel 4 (lanjutan) : Varian Lunasi Islam 01-235 (bagian 4 dari 4, lanjutan Tabel 4)
Kolom 1: LI= Lunasi Islam (penampakan hilal ke penampakan hilal berikutnya), Kolom 2: Waktu
Ijtimak (penentu awal bulan Hijriah pada kolom 4) Bln = Bulan Masehi, Tgl = Tanggal Masehi,
UT= jam Universal Time (wib = UT + 7), GM=Gerhana Matahari P = GM Sebagian, A= GM
Anullar/Cincin, T = GM Total, Kolom 3: tahun masehi waktu ijtimak pada kolom 2, Kolom 4:
Bulan dan Tahun Hijriah
LI
21856
22091
22326
22561
22796
23031
23266
23501
23736
23971
24206
24441
24676
24911
25146
25381
25616
25851
26086
26321
26556
26791
27026
27261
27496
27731
27966
28201
28436
28671
28906
Bln, Tgl, UT, GM
Jul 23 17:53
Jul 23 18:39
Jul 24 16:46 P
Jul 24 07:36 A
Jul 23 15:34 A
Jul 23 00:20 A
Jul 24 16:36 P
Jul 24 15:35
Jul 24 16:15
Jul 24 13:05
Jul 25 02:08
Jul 24 09:27
Jul 24 19:25
Jul 24 13:17
Jul 25 12:53
Jul 25 13:03
Jul 25 08:24
Jul 25 19:48
Jul 26 02:54
Jul 25 14:16
Jul 25 09:38
Jul 25 09:51
Jul 26 09:33
Jul 26 03:29
Jul 25 13:28
Jul 24 20:49
Jul 25 09:53 P
Jul 26 06:46 T
Jul 26 07:28 T
Jul 26 06:26 T
Jul 26 22:44
Thn M
2389
2408
2427
2446
2465
2484
2503
2522
2541
2560
2579
2598
2617
2636
2655
2674
2693
2712
2731
2750
2769
2788
2807
2826
2845
2864
2883
2902
2921
2940
2959
Bln dan thn Islam (Hijriah, H)
Rabi’ul Akhir 1822 H
Dzulkaedah 1841 H
Jumadil Akhir 1861 H
Muharram 1881 H
Sya’ban 1900 H
Rabi’ul Awal 1920 H
Syawal 1939 H
Jumadil Awal 1959 H
Dzulhijjah 1978 H
Rajab 1998 H
Safar 2018 H
Ramadhan 2037 H
Rabi’ul Akhir 2057 H
Dzulkaedah 2076 H
Jumadil Akhir 2096 H
Muharram 2116 H
Sya’ban 2135 H
Rabi’ul Awal 2155 H
Syawal 2174 H
Jumadil Awal 2194 H
Dzulhijjah 2213 H
Rajab 2233 H
Safar 2253 H
Ramadhan 2272 H
Rabi’ul Akhir 2292 H
Dzulkaedah 2311 H
Jumadil Akhir 2331 H
Muharram 2351 H
Sya’ban 2370 H
Rabi’ul Awal 2390 H
Syawal 2409 H
178 Seminar Hilal Nasional 2009 Catatan dalam Tabel 4: [ Varian Lunasi Islam 01-235 ( bagian 2 dari 4, lanjutan Tabel 4)]
adanya loncatan tanggal Ijtimak LI 11751 Jul 10 01:45 A tahun 1572 (ijtimak penentu awal bulan
Rabi’ul Awal 980 H) menjadi LI 11986 Jul 20 14:12 P tahun 1591 (ijtimak penentu awal bulan
Syawal 999 H ) disebabkan adanya reformasi Kalendar Syamsiah/Miladiah pada tanggal 15
Oktober 1582. Tanggal 5 Oktober hingga 14 Oktober 1582 dihapuskan atau ada 10 hari pada bulan
Oktober 1582 dihapus atau ditiadakan.
Aturan penetapan tahun basit sebelum 15 Oktober 1582
• Satu tahun terdiri dari 365 hari (tahun pendek atau tahun basit) atau 366 hari (tahun panjang
atau tahun kabisat). Pada tahun kabisat bulan Februari terdiri dari 29 hari sedang pada tahun
basit bulan Februari terdiri 28 hari.
• Tahun kabisat adalah tahun yang habis dibagi empat, lainnya adalah tahun basit (tahun 1980
tahun kabisat)
Jumlah hari rata-rata dalam satu tahun masehi <H> sebelum 15 Oktober 1582
Dalam empat tahun terdiri dari tiga tahun basit dan satu tahun kabisat:
<H> = {3 x 365 + 1 x 366} / 4 hari = 365.25 hari
Aturan penetapan tahun kanbisat setelah 15 Oktober 1582
• Tahun kabisat adalah tahun yang habis dibagi empat kecuali tahun yang habis dibagi seratus tapi
tidak habis dibagi empat ratus
Misalnya : tahun 1700 (tahun basit, 1700 habis dibagi 100 tapi tidak habis dibagi 400)
tahun 2000 (tahun kabisat, 2000 habis dibagi 100 dan habis dibagi 400)
tahun 2100 (tahun basit, 2100 habis dibagi 100 tapi tidak habis dibagi 400)
Satu tahun rata-rata kalender Masehi Sesudah 15 Oktober 1582
Dalam empat ratus tahun terdiri dari (300+3) tahun basit dan (100−3) tahun kabisat
<H> = [ { (300 + 3) x 365 + (100 – 3) x 366 } / 400 ] hari = [ { 110595 + 35502} / 400 ]
hari = 146097 / 400 hari = 365.2425 hari
Perbedaan dengan tahun tropis adalah:
Satu tahun tropis rata-rata adalah periode Matahari berada di arah titik Aries dua kali berurutan. Titik Aries
merupakan salah satu titik potong antara Ekliptika dengan Ekuator Langit dan saat Matahari melintasi titik
tersebut Matahari nampak dari Bumi, Matahari dari belahan langit Selatan menuju ke belahan Bumi Utara. 1
tahun tropis rata-rata = 365.24199 hari sedang setahun rata-rata dalam kalendar Syamsiah/Masehi adalah
365.2425 hari, maka selisih waktu antara satu tahun tropis rata-rata terhadap satu tahun rata-rata kalendar
syamsiah adalah:
(365.2425 – 365.242199) hari = 3.01 x 10−4 hari
atau ~26 detik lebih cepat pertahun (harga rata-rata)
Satu hari Matahari rata-rata 24 jam = 24 x 3600 detik dan oleh karena itu sistem kalendar Syamsiah akan
lebih cepat sehari bila dibandingkan dengan satu tahun tropis dalam tempo:
{(24 x 3600) / 26 } tahun atau sekitar { 1/ (3.01 x 10−4 ) } tahun ~ 3322 tahun
LI = 1 atau Hilal Awal Muharram 1 H
Sebagai contoh dalam analisis penentuan awal bulan Muharram 1 H, hasil perhitungan dengan
menggunakan ASTINFO diperoleh data dalam Tabel 5
179
Seminar Nasional Hilal 2009
Tabel 5: Posisi Matahari dan Bulan pada saat matahari terbenam 14 Juli 622 di Mekah
Bulan
Saat Terbenam (waktu lokal)
Tinggi saat matahari terbenam
Azimut
Parallaks
Diameter Sudut
Asensiorekta (benar)
Deklinasi (benar)
Bujur Ekliptika
Lintang Ekliptika
Asensiorekta (semu)
Deklinasi (semu)
Bujur Ekliptika
Jarak dari bumi
Matahari
18:17
+3o33”
291o22'
0o58'24”
0o31'49”
08j02m08s
19054'16”
118o32'08”
-0o42'55”
375 468 km
18:03
-0o47'10”
293o35'
0o0'87”
0o31'35”
07j41m28s
21o33'23”
113o28'57”
0o0'16”
07j41m26s
21o33'29”
113o2824”
1.0142 SA
Tabel 6 a: Awal Muharram 1 H – 11 H. Bila kriteria visibilitas hilal “di Indonesia” yaitu bila tinggi
bulan saat matahari tenggelam segera setelah konjungsi > 2o diterapkan pada data posisi bulan dan
matahari pada tanggal 14 Juli 622 di atas maka tanggal 1 Muharam 1 H bertepatan dengan tanggal
15 Juli 622.
Tahun Hijriah
1 Muharram 1 H
1 Muharram 2 H (K)
1 Muharram 3 H
1 Muharram 4 H
1 Muharram 5 H (K)
1 Muharram 6 H
1 Muharram 7 H (K)
1 Muharram 8 H
1 Muharram 9 H
1 Muharram 10 H (K)
1 Muharram 11 H
Tanggal Padanan
16 – 07 – 622
05 – 07 – 623
24 – 06 – 624
13 – 06 – 625
02 – 06 – 626
23 – 05 – 627
11 – 05 – 628
01 – 05 – 629
20 – 04 – 630
09 – 04 – 631
29 – 03 - 632
180 Hari
JD=Julian Day
Jum’at
Selasa
Ahad
Kamis
Senin
Sabtu
Rabu
Senin
Jum’at
Selasa
Ahad
1948440
1948794
1949149
1949503
1949857
1950211
1950565
1950920
1951274
1951628
1951983
Seminar Hilal Nasional 2009 Tabel 6b : Jadual waktu terbenam Bulan dan Matahari untuk penentuan awal Muharram 1 H – 11 H
di Mekah.
Tanggal
Itjimak
(Penentu Awal)
Muharram 1 H
Muharram 2 H (K)
Muharram 3 H
Muharram 4 H
Muharram 5 H (K)
Muharram 6 H
Muharram 7 H
Muharram 8 H
Muharram 9 H
Muharram 10 H (K)
Muharram 11 H
Jam Itjimak
(waktu lokal
14 – 07 – 622
03 – 07 – 623
21 – 06 – 624
10 – 06 – 625
31 – 05 – 626
20 – 05 – 627
09 – 05 – 628
29 – 04 – 629
18 – 04 – 630
07 – 04 – 631
26 – 03 – 632
08:30
16:25
18:08
19:53
03:53
18:26
11:42
03:03
08:30
14:35
15:10
Matahari Terbenam Bulan Terbenam
(waktu lokal)
(waktu lokal)
18:17
18:02
17:59
17:53
18:20
17:48
18:02
18:20
17:49
17:39
17:35
18:03
18:03
18:03
18:00
17:44
17:52
17:48
17:44
17:40
17:37
17:34
Informasi perhitungan yang diperoleh dalam Tabel 5 dan 6 dapat disimpulkan bahwa awal
Muharram 1 H adalah 16 Juli 622 M.
Ijtimak Akhir Sya’ban
Sya’ban
02 H
03 H
04 H
05 H
06 H
07 H
08 H
09 H
10 H
Lunasi Islam
21
33
45
57
69
81
93
105
118
Hari
Jum’at
Rabu
Ahad
Jum’at
Selasa
Sabtu
Rabu
Ahad
Jum’at
Tgl Ijtimak
24 Feb 624
13 Feb 625
2 Feb 626
23 jan 627
12 Jan 628
31 Des 628
20 Des 629
9 Des 630
29 Nov 631
Waktu Lokal
12:09
01:44
17:46
07:40
15:17
16:03
15:41
21:08
09:27
Hari
Ahad
Kamis
Selasa
Sabtu
Kamis
Senin
Jum’at
Selasa
Sabtu
Tgl Ijtimak
25 Maret 624
14 Maret 625
4 Maret 626
21 Feb 627
11 Feb 628
30 Jan 629
19 Jan 630
8 Jan 631
28 Des 631
Waktu Lokal
00:20
11:17
02:56
18:51
06:29
10:49
10:16
12:17
21:24
Ijtimak Akhir Ramadhan
Ramadhan
02 H
03 H
04 H
05 H
06 H
07 H
08 H
09 H
10 H
Lunasi Islam
22
34
46
58
70
82
94
106
119
181
Seminar Nasional Hilal 2009
AWAL RAMADHAN 2 H – 10 H
24 Februari 624
13 Februari 625
3 Februari 626
23 Januari 627
12 Januari 628
31 Desember 628
20 Desember 629
10 Desember 630
29 November 631
02 H
03 H
04 H
05 H
06 H
07 H
08 H
09 H
10 H
Matahari
Terbenam
18:24
18:19
18:13
18:05
17:57
17:49
17:42
17:37
17:35
Bulan
Terbenam
18:34
18:58
19:15
18:24
17:52
17:39
17:31
18:12
17:39
F (%) Tinggi Bulan
0
1
2
0
0
0
0
1
0
+02° 16′
+08° 20′
+12° 46′
+03° 47′
–00° 55′
–01° 45′
–01° 57′
+06° 29′
+00° 50′
AWAL SYAWAL 2 H – 10 H
25 Maret 624
14 Maret 625
4 Maret 626
21 Februari 627
11 Februari 628
30 Januari 629
19 Janauri 630
8 Januari 631
29 Desember 631
02 H
03 H
04 H
05 H
06 H
07 H
08 H
09 H
10 H
Matahari
Terbenam
18:36
18:32
18:28
18:23
18:17
18:10
18:02
17:54
17:47
Bulan
Terbenam
19:13
18:46
19:05
18:15
18:40
18:20
18:12
17:59
18:34
F (%) Tinggi Bulan
1
0
1
0
0
0
0
0
1
+08° 09′
+03° 06′
+08° 13′
–01° 26′
+04° 54′
+02° 05′
+02° 05′
+01° 10′
+09° 12′
AWAL BULAN DAN LAMA SATU BULAN RAMADHAN BILA MEMPERGUNAKAN KRITERIA DEPARTEMEN AGAMA
RI DAN INTERNATIONAL ISLAMIC CALENDAR
1 Ramadhan
- 11 H
- 10 H
-9H
-8H
-7H
-6H
-5H
-4H
-3H
-2H
-1H
1H
2H
5 – 7 – 612
25 – 6 – 613
14 – 6 – 614
3 – 6 – 615
22 – 5 – 616
12 – 5 – 617
1 - 5 – 618
21 – 4 – 619
10 – 4 – 620
30 – 3 – 621
19 – 3 – 622
8 – 3 – 623
25 – 2 – 624
1 Syawal
Lama Ramadhan
Dep Ag
Lama Ramadhan
IIC
4 – 8 – 612
24 – 7 – 613
14 – 7 – 614
3 – 7 – 615
21 – 6 – 616
10 – 6 – 617
31 – 5 – 618
20 – 5 – 619
9 – 5 – 620
29 – 4 – 621
18 – 4 – 622
7 – 4 – 623
26 – 3 – 624
182 30
29
30
30
30
29
30
29
29
30
30
30
30
29
29
29
30
30
30
29
29
30
29
29
29
29
3H
4H
5H
6H
7H
8H
9H
10 H
14 – 3 – 625
4 – 2 – 626
24 – 1 – 627
14 – 1 – 628
2 – 1 – 629
22 – 1 – 629
1 – 12 – 630
1 – 12 - 631
15 – 3 – 625
5 – 3 – 626
23 – 2 – 627
12 – 2 – 628
31 – 2 – 629
20 – 1 – 630
10 – 1 – 631
30 – 12 - 631
Seminar Hilal Nasional 2009 29
29
30
29
29
29
30
29
30
29
29
30
30
30
30
29
AWAL BULAN DAN LAMA SATU BULAN RAMADHAN BILA MEMPERGUNAKAN KRITERIA IIC
1 Ramadhan
- 11 H
- 10 H
-9H
-8H
-7H
-6H
-5H
-4H
-3H
-2H
-1H
1H
2H
3H
4H
5H
6H
7H
8H
9H
10 H
6 – 7 – 612
26 – 6 – 613
15 – 6 – 614
4 – 6 – 615
23 – 5 – 616
12 – 5 – 617
2 - 5 – 618
22 – 4 – 619
10 – 4 – 620
31 – 3 – 621
20 – 3 – 622
9 – 3 – 623
24 – 2 – 624
14 – 2 – 625
4 – 2 – 626
25 – 1 – 627
14 – 1 – 628
2 – 1 – 629
22 – 12 – 629
11 – 12 – 630
1 – 12 – 631
1 Syawal
Lama Ramadhan
4 – 8 – 612
25 – 7 – 613
14 – 7 – 614
4 – 7 – 615
22 – 6 – 616
11 – 6 – 617
31 – 5 – 618
21 – 5 – 619
10 – 5 – 620
29 – 4 – 621
18 – 4 – 622
7 – 4 – 623
26 – 3 – 624
16 – 3 – 625
5 – 3 – 626
23 – 2 – 627
13 – 2 – 628
1 – 2 – 629
21 – 1 – 630
10 – 1 – 631
30 – 12 - 631
29
29
29
30
30
30
29
29
30
29
29
29
29
30
29
29
30
30
30
30
29
183
Seminar Nasional Hilal 2009
Ramadhan Pada Masa Rasullullah
Menurut Hadist Rasullulah sering berpuasa 29 hari. Rasullullah menjalankan ibadah shaum selama
sembilan kali yaitu Ramadhan 2 H, Ramadhan 3 H hingga Ramadhan 10 H. Bilangan puasa
Ramadhan di zaman Rasullulah sering menjadi pedoman atau inspirasi dalam kebimbangan umat
Islam dalam memilih diantara dua pilihan awal Ramadhan dan awal Syawal. Terlepas dari berbagai
keperluan hal itu merupakan sebuah fakta sejarah yang diharapkan bisa menjadi sebuah acuan?
Dilain fihak sistem hisab Urfi telah menetapkan bilangan Ramadhan umat Islam selalu 30 hari.
Mengapa hisab Urfi menempatkan Ramadhan ~ 30 hari ? Apa dasar pemikirannya ? Awal tahun
Hijriah dan struktur kalendar Islam ditetapkan oleh Umar bin Khattab setelah kaum muslimin 17
tahun Hijriah ke Madinah. Hisab Urfi diperkenalkan tahun 17 H (?) sekitar tahun 637 M atau 5
tahun setelah wafatnya Rasullulah, zaman khalifah Umar bin Kattab (635 – 646 M atau 13 – 24 H).
SISTEM PENANGGALAN ISLAM HISAB URFI
¾ Jiwa hisab Urfi : Siklus Sinodis Bulan rata-rata sebagai acuan perhitungan → Sistem
Penanggalan Islam
•
•
•
•
Awal penanggalan → tahun fenomena terjadinya Hijriah yaitu tanggal 15 Juli 622 atau 16
Juli 622
Satu tahun = 12 bulan
Acuan secara global siklus Sinodis Bulan rata-rata
Awal bulan → “dekat “ dengan Visibilitas Hilal
¾ Satu tahun Basit (tahun pendek) 354 hari, Satu tahun Kabisat (tahun panjang) 355 hari
Dasar-dasar penangggalan Islam itu melahirkan keragaman sistem penanggalan Islam: salah satu
contohnya adalah Penanggalan Islam dengan Sistem hisab Urfi (tradisional) yang mempergunakan
periode sinodis rata-rata Bulan dan menetapkan jumlah hari dalam satu bulan Islam . Bulan ganjil
(bulan ke-1,3, dst) merupakan bulan yang terdiri dari 30 hari. Bulan genap (bulan ke-2, 4, dst)
merupakan bulan yang terdiri dari 29 hari, kecuali bulan Dzulhijah. Dalam tahun Kabisat, bulan ke12 atau bulan Dzulhijah terdiri 30 hari.
Muharram=30 hari, Syafar=29 hari, Rabiul awal= 30 Hari, Rabiul akhir=29 hari, Jumadil awal=30
hari, Jumadil akhir=29 hari, Rajab=30 hari, Sya’ban=29 hari, Ramadhan=30 hari. Syawal=29 hari,
Zulkaedah=30 hari dan Zulhijjah=29 hari (untuk tahun basit) atau 30 (untuk tahun kabisat) hari.
Tahun kabisat ditetapkan untuk tahun yang bila dibagi 30 bersisa 2, 5, 7, 10, 13, 15 (atau 16), 18, 21
(atau 20?), 24, 26, atau 29 (dalam 30 tahun terdapat 11 tahun kabisat (355 hari) dan 19 tahun basit
(354 hari). Awal penanggalan bersesuaian dengan 16 Juli 622, ada yang menetapkan 15 Juli 622.
Selain system Hisab Urfi ada system Hisab Hakiki, Imkan Rukyat, dsb.
Jumlah hari dalam 30 tahun Hijriah = [(11 x 355) + (19 x 354)] hari = (3905 + 6726) hari = 10631
hari, sedang satu tahun Syamsiah rata-rata = 365.2425 hari, maka 30 tahun Hijriah bersesuaian
dengan 10631 hari ~ { 10361 / 365.2425 } tahun = 29.106689 tahun Syamsiah.
Tiap tahun Hijriah terdiri dari 12 bulan dan dalam 30 tahun terdiri dari 30 x 12 bulan = 360 bulan
(atau 360 lunasi), maka 1 bulan Hijriah rata-rata = {10631 / 360} hari = 29.530556 hari. Sedangkan
pengamatan satu periode sinodis rata-rata = 29.53059 hari, oleh karena itu ada perbedaan antara
satu bulan (kalendar Hijriah) dan satu bulan Sinodis (berdasar pengamatan). Beda “model HIsab
184 Seminar Hilal Nasional 2009 Urfi” terhadap “pengamatan periode Sinodis rata-rata”= (29.530556 – 29.53059) hari = −3.4445 x
10−5 hari atau –2.976048 detik.
Penanggalan Hijriah akan terlambat satu hari dalam [{24x60x60}/2.976048]= 29031.79 lunasi
Bulan atau {29031.79 / 12} tahun Hijriah = 2419.3158 tahun Hijriah atau terlambat satu hari dalam
tempo sekitar 2400 tahun Hijriah atau (2419.358 x 0.9702229) tahun Miladiyah/Syamsiah ~
2347.2756 tahun ~ 2347 tahun Masehi.
Catatan : satu tahun Hijriah ~ 0.9702229 tahun Masehi, satu tahun Hijriah ~ {12 x 29.530556}/
365.2425 tahun Masehi. Cara lain : [ [ { 1 / ( 10631 / 360)} – 29.53059 ] / 12 ] x 0.970229 =
2347.2735 tahun atau sekitar 2347 tahun (dibulatkan)
Dalam rangka menyatukan keragaman pemikiran penentuan awal Bulan Islam, perkembangan
penggunaan gagasan konsep ‘Hilal Rata-Rata”, Hilal Global, Hilal Kesepakatan dsb lainnya perlu
dicermati. Sebaiknya penyatuan kalendar Islam dilakukan melalui pemahaman tentang fisik hilal
dan sains tentang fisik hilal. Pemikiran penyatuan kalendar Islam adalah mencari kriteria visibilitas
hilal dengan menggunakan pengetahuan tentang hilal yang lebih presisi (berdasar pengalaman
rukyat dan hisab) dan menggunakan/mengamalkan pengetahuan tentang hilal itu sebagai kriteria
yang disepakati dalam pengamalan al Qur’an dan al Hadist, hilal sebagai penentu awal dan akhir
bulan Islam. Kriteria tentang hilal yang lebih presisi itu merupakan sebuah sinergi antara
pengamalan ayat al Qur’an, al Hadist dan ilmu pengetahuan atau sains tentang fisik Hilal.
Dalam hadist lainnya, Rasullulah menjelaskan bahwa bilangan Ramadhan bisa 29 atau 30 hari.
Penetapan awal Ramadhan, awal Syawal mempergunakan acuan hilal. Pengamatan hilal atau
rukyatul hilal diselenggarakan di zaman Rasullulah dan juga diteruskan melalui tradisi umat Islam
selama 14 abad. Bahkan upaya untuk memperoleh kriteria visibilitas hilal atau aturan umum tentang
visibilitas hilal melalui teori dan perhitungan (hisab) telah berlangsung pada zaman keemasan Islam
hingga sekarang juga masih berlangsung.
Rasullullah lebih sering shaum sebanyak 29 hari merupakan sebuah berita, tapi bukan sebuah
ketentuan. Hal ini diperkuat dengan adanya Hadist bahwa Ramadhan bisa 29 atau 30 hari. Bahkan
ada kaidah untuk menetapkan penggenapan satu bulan Islam (Sya’ban & Ramadhan) 30 hari untuk
keperluan ibadah shaum Ramadhan yaitu bila terhalang awan. Bahkan hisab urfi menetapkan
Ramadhan selama 30 hari, jaraknya penetapan itu di zaman kalifah Umar bin Khattab tidak jauh
dari zaman Rasullulah ( 5 tahun setelah Rasullulah wafat?)
Perintah shaum Ramadhan 2 H, setelah perintah Shalat 5 waktu (Isra’ Mi’raj, 00 H) dan Hijriah
Rasullullah. Rasullullah wafat 12 Rabi’ul awal 11 H setelah haji wada 10 H. Jadi puasa/shaum
Ramadhan zaman Rasullullah 2 H – 10 H. Sebagian besar Ramadhan di zaman Rasullulah ada di
sekitar Medinah, sekarang masjid Nabawi. Laporan pengamatan hilal mungkin lebih tepat bila
mempergunakan posisi geografis Madinah ( ΦMa = + 24° 28′ & λ Ma= 39° 36′) dari pada Mekah (
ΦMe = +21° 25′ & λMe = 39° 50′ ? Apakah akan terdapat perbedaan? Bagaimana pengetahuan
masyarakat Arab tentang kalendar (luni solar, solar atau qamariah?) dan fasa Bulan dimasa
Rasullulah?
Bilamana terjadi masa transisi penggunaan Kalendar Luni Solar menjadi kalendar Qamariah?
Satu tahun terdiri dari 12 bulan (Muharram=bulan ke-1, Safar=2, Rabiul Awal=3, Rabiul Akhir=4, Jumadil Awal=5,
Jumadil Akhir=6, Rajab=7, Sya’ban=8, Ramadhan=9, Syawal=10, Zulkaedah=11 dan Zulhijjah=12)
Inna’iddatasy syuhuri’indal laa hitsaa’asyara syahran …
Diterjemahkan: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah itu (ada) dua belas bulan…QS At Taubah: 36.
185
Seminar Nasional Hilal 2009
Turunnya QS Surat At Taubah 36 ini yang menghapus sistem penanggalan lama menjadi sistem
penanggalan Islam, setahun hanya ada 12 bulan tanpa bulan ke 13 (bulan sisipan). Bagaimana
struktur sistem peanggalan sebelumnya, bagaimana dideklarasikannya?
III. PARAMETER VISIBILITAS HILAL
Ilyas (1994) dan al Mustafa (2005) menelaah ulang berbagai kriteria visibilitas hilal. Secara umum
kriteria tersebut ada yang sederhana yakni menggunakan satu parameter tinggi bulan saat Matahari
terbenam dan yang lebih kompleks lagi adalah menggunakan dua parameter posisi (tinggi dan
Azimut) dan uji statistik. Mengkaji parameter berbagai kemungkinan visibilitas hilal, melalui
karakteristik siklus Metonik fasa bulan (235 periode sinodis bulan). Parameter Metonik visibilitas
hilal yang akan diuji antara lain adalah jarak busur cahaya (aL), beda tinggi bulan dan matahari
(aD), separasi sudut jam bulan dan matahari (aS), beda waktu terbenam bulan dan matahari (aT)
dan fraksi luas sabit bulan (aF). Parameter tersebut di tentukan pada momen matahari terbenam di
suatu tempat. Pengamatan hilal atau bulan tua dan beberapa data yang telah ada akan dimanfaatkan
untuk pengujiaan validitas parameter Metonik hilal. Dalam pengamatan hilal, diuji coba teknik
baru pengamatan hilal, yakni menggunakan filter dengan kerapatan gradasi untuk mendeteksi hilal
yang dekat dengan Matahari.
3. 1 FASA BULAN, SUDUT ELONGASI (e dan d), Fraksi Luas Sabit Bulan [aF]
Momen berlangsungnya fasa Bulan utama yaitu saat beda bujur ekliptika semu Bulan dan Matahari
0°, 90°, 180° dan 270° atau masing-masing berkaitan dengan fasa Bulan Baru (Konjungsi/Ijtimak),
Kuartir Pertama, Bulan Purnama dan Kuartir Terakhir. Fenomena Visibilitas hilal, merupakan
bagian dari fenomena Fasa Bulan setelah konjungsi. Posisi bujur ekliptika Bulan dan Matahari yang
saling menjauh setelah posisi bujur ekliptika keduanya sama pada Fasa Bulan Baru (momen
ijtimak/ konjungsi).
Luas Crescent atau sabit hilal Lc dan luas seluruh bundaran Bulan π r2
Luas Lc, DCHED = Luas 1/2 lingkaran CDEPC − Luas 1/2 ellips CHEPC
Lc = 1/2 π r2 (1 + cos d)
d = sudut elongasi Bumi terhadap Matahari diamati di titik P di Bulan
e = sudut elongasi Bulan P terhadap Matahari M dilihat dari Bumi
Fasa Bulan F = Lc / π r2 atau
F = 1/2 (1 + cos d) atau aF = 1/2 (1 + cos d)
karena berkas cahaya Matahari yang jatuh ke permukaan Bulan dan Bumi sejajar maka:
e + d = 180° atau d = 180° – e
Jean Meeus (1982) memformulasikan hubungan sudut fasa Bulan d dan sudut elongasi e lebih cermat sebagai berikut:
d = 180° – e – 0.1468 { (1 – 0.0549 sin M1) / (1 – 0.0167 sin M2)} sin e
M1 = anomali rata-rata Bulan dan M2 = anomali rata-rata Matahari
M1 = 296.104608 + 477198.8491 T + 0.009192 T2 + 0.0000144 T3
M2 = 358.475833 + 35999.0498 T – 0.000150 T2 – 0.0000033 T3
T = (JD – 2415020.0) / 36525 (abad Julian) dihitung mulai dari
epoch 0.5 ET (Ephemeris Time) Januari 1900, JD = Julian Day atau Julian Date , Jumlah hari sejak 1 Januari 4713 SM
bila e = 0° maka d = 180°
F = 1/2 ( 1 + cos 180°) = 1/2 (1 – 1) = 0
dinamakan fase nol, saat Bulan mati, konjungsi atau ijtimak
bila e = 90° maka d = 180° – 90° = 90°
F = 1/2 ( 1 + cos 90°) = 1/2 (1 – 0) = 1/2
dinamakan fase setengah, saat kuartir pertama
bila e = 180° maka d = 180° – 180° = 0°
186 Seminar Hilal Nasional 2009 F = 1/2 ( 1 + cos 0°) = 1/2 (1 + 1) = 1
dinamakan fase satu, saat Bulan purnama
bila e = 270° maka d = 180° – 270° = -90°
F = 1/2 ( 1 + cos -90°) = 1/2 (1 – 0) = 1/2
dinamakan fase setengah, saat kuartir terakhir
bila 90° < e < 270° maka – 90° < d < 90°
F = 1/2 ( 1 + cos d ) > 1/2 dinamakan fase gibbous, (lebih 1/2 bundaran Bulan yang tercahayai dapat dilihat dari Bumi)
Periode sideris Bulan 27.321661 hari, berarti setiap hari (rata-rata) Bulan menempuh busur pada lintasan orbitnya
sebesar 360° / 27.321661 = 13°.17667728 /hari ∼ 13° /hari. Satu tahun sideris Matahari 365.2564 hari. Satu hari
Matahari menempuh busur pada lintasan orbitnya sebesar 360° / 365.2564 = 0°.985609121 ∼ 1° /hari. Elongasi Bulan
setiap hari bertambah 12°, kenyataannya bisa bertambah antara 10° sampai 14°. Untuk hilal dengan luas 1%, berarti F
= 0.01 dan cos d = –0.98 atau d = 168° 31′17″.9 dan e = 180° - 168° 31′18″ = 11° 28′42″.
F
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
0.006
0.007
0.008
0.009
0.01
Fasa Bulan dan sudut elongasi
D
176°22′32″
174°52′25″
173°43′14″
172°44′52″
171°53′25″
171°06′54″
170°24′05″
169°44′13″
169°06′45″
168°31′18″
e
3°37′28″
5°07′35″
6°16′46″
7°15′08″
8°06′35″
8°53′06″
9°35′55″
10°15′47″
10°53′15″
11°28′42″
Sudut elongasi Bulan berkaitan dengan beda bujur ekliptika Bulan dan Matahari dan lintang ekliptika Bulan
sebagai berikut:
cos e = cos Δλbm cos βbl
Δλbm = beda bujur ekliptika Bulan dan Matahari
βbl = lintang ekliptika Bulan
Bila Sbm adalah kecepatan Bulan menjauhi Matahari dan Δt adalah selang waktu antara waktu ijtimak dengan
waktu pengamatan hilal maka Δλbm = Sbm x Δt
cos e = cos (Sbm x Δt) cos βbl
Harga βbl berkisar dari -5° hingga +5°, maka cos βbl berharga sekitar 1 (antara 0.996194698 hingga 1).
Rata-rata kecepatan menjauhnya bujur Bulan dan Matahari ( 360°/ 29.530589 hari = 12° 11′ 2″.7 perhari atau
0° 30′ 27″.61 perjam). Kecepatan perubahan bujur ekliptika Bulan tidak konstan, secara umum 0.5°/jam atau
0°30′/jam di sekitar titik apogee dan 0°.625/jam atau 0°37′30″/jam di sekitar titik perigee. Sedangkan
kecepatan pergerakan Matahari pada bujur ekliptika 0°02′32″.82/jam saat Bumi berada di sekitar titik
perihelion (2, 3 atau 4 Januari) dan 0° 02′ 23″.03/jam saat Bumi berada di sekitar titik aphelion (6, 7 atau 8
Juli). Konjungsi atau ijtimak kondisi bila Bulan dan Matahari mempunyai bujur ekliptika sama. Kecepatan ratarata perubahan bujur ekliptika Bulan dan Matahari di langit bervariasi, akan mencapai maksimum di perigee
(untuk Bulan) dan di perihelion (untuk Matahari). Sebaliknya kecepatan rata-rata perubahan bujur ekliptika
Bulan dan Matahari mencapai minimum bila Bulan berada di titik apogee dan Matahari berada di titik
perihelion. Selang waktu satu lunasi, selang waktu dari ijtimak ke ijtimak berikutnya, bervariasi bisa lebih
pendek (dibanding dengan rata-rata) saat Bulan di dekat titik perigee dan terpanjang saat Bulan di dekat titik
apogee. Namun yang lebih menentukan adalah bila fenomena konjungsi berada dekat perihelion, Bumi
mempunyai kecepatan sudut (mengorbit Matahari) maksimum. Oleh karenanya dalam selang waktu yang
sama Bumi menempuh busur ekliptika yang lebih besar dibanding dengan rata-rata. Akibatnya Bulan
memerlukan waktu lebih panjang untuk mencapai ijtimak berikutnya. Bertambah lama lagi apabila Bulan
187
Seminar Nasional Hilal 2009
berada pada titik apogee. Keadaaan sebaliknya apabila fenomena ijtimak berlangsung saat Bumi berada di
titik aphelion, Bumi mempunyai kecepatan sudut minimum, busur ekliptika yang ditempuh Bulan untuk
mencapai fenomena ijtimak berikutnya bisa lebih pendek. Stephenson dan Baolin (1991), menghitung waktu
lunasi dalam kurun waktu 5000 tahun yaitu dari tahun 1000 SM sampai tahun 4000 dan mendapatkan periode
sinodis Bulan terpendek pada tahun 302 SM yaitu 29.2679 hari dan terpanjang pada tahun 400 SM yaitu
29.8376 hari. Perbedaan periode sinodis Bulan terpanjang dan terpendek adalah 13 jam 40 menit. Masa
siklus sinodik terpanjang akan bergeser dari Desember ke Januari dan ke Februari setelah tahun 2200 dan
masa siklus sinodik terpendek akan bergeser dari Juni ke Juli dan ke Agustus setelah tahun 2200.
Rentang Bujur Ekliptika Matahari dan
Kecepatan Rata-Rata Perubahan Bujur Ekliptika Matahari
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
λ(awal) (°)
λ(akhir) (°)
279 02
311.37
339.54
10.46
40.08
70.02
98.41
128.16
158.05
187.19
218.04
248.17
310 36
338 53
9.47
39.10
69.04
97.44
127.19
157.07
186.20
217.04
247.16
278.48
Kecepatan Ratarata (°/hari)
1.0110
0.9700
0.9655
0.9547
0.9342
0.9140
0.9284
0.9326
0.9383
0.9629
0.9707
0.9777
3. 2 SUDUT ELONGASI (e dan d), Jarak Busur Cahaya [ Arc of Light, aL ]
Bila aL ~ e maka DH = (1– cos aL ) DBL /2 atau DH = DBL sin2 (aL /2) dan cos e = cos (Sbm x Δt)
cos βbl maka DH = (1– cos (Sbm x Δt) cos βbl) DBL /2
DH adalah lebar tengah sabit hilal, DBL = diameter sudut Bulan. Beda bujur ekliptika Bulan, λbl, dan
bujur ekliptika Matahari, λmt, saat pengamatan hilal Δλbm = λbl - λmt = Sbm x Δt , Sbm = kecepatan
rata-rata separasi Bulan dan Matahari dalam bujur ekliptika, Δt = selang waktu antara ijtimak dan
waktu matahari terbenam (atau waktu perhitungan untuk waktu setelah ijtimak) dan lintang
ekliptika Bulan βbl. Bujur ekliptika Bulan dan Matahari dan lintang ekliptika Bulan berubah setiap
waktu atau merupakan fungsi dari waktu.
HUBUNGAN SUDUT ELONGASI DENGAN BUJUR DAN LINTANG EKLIPTIKA
Bila B adalah Bulan dan M adalah Matahari (di ekliptika) dan A adalah perpotongan lingkaran bujur ekliptika yang
melewati B dengan ekliptika maka busur lingkaran besar yang menghubungkan B dengan M, BM, adalah sudut
elongasi, e, AM adalah beda bujur ekliptika antara Matahari dan Bulan, Δλbm, AB adalah lintang ekliptika Bulan, βbl.
Perhatikan segitiga bola ABM, sudut bola A = 90°. Melalui rumus kosinus segitiga bola dapat diturunkan persamaan
sebagai berikut:
cos BM = cos AB cos AM + sin AB sin AM cos A
karena A = 90° maka cos A = 0 dan diperoleh :
cos BM = cos AB cos AM atau cos e = cos Δλbm cos βbl
188 Seminar Hilal Nasional 2009 3.3 Beda Azimut , Tinggi Bulan dan tinggi Matahari
Bila Z adalah titik Zenit tempat pengamat, dan ZB dan ZM masing-masing adalah jarak zenit Bulan
ZB dan jarak zenit Matahari ZM maka hubungan tinggi Bulan, hB, dan Matahari, hM, beda azimut
Bulan dan Matahari, ΔAbm, RBL = setengah diameter sudut Bulan dan lebar tengah hilal, DH, dapat
didekati dengan rumus :
cos BM = cos ZB cos ZM + sin ZB sin ZM cos ΔAbm
ZB = ZB = 90° − hB, ZM = ZM = 90° − hM
cos aL = cos (90° − hB) cos (90° − hM) + sin (90° − hB) sin (90° − hM) cos ΔAbm
cos aL = sin hB sin hM + cos hB cos hM cos ΔAbm
cos aL = 1 − ( DH / RBL )
DH = RBL ( 1 − sin hB sin hM + cos hB cos hM cos ΔAbm)
Lebar bagian tengah Hilal, DH, bertautan dengan sudut fasa Bulan. Sudut fasa Bulan berkaitan
dengan beda bujur ekliptika Bulan dan Matahari dan lintang ekliptika Bulan.
Beda bujur ekliptika Bulan, λbl, dan bujur ekliptika Matahari, λmt, saat pengamatan hilal λbl - λmt =
Sbm x Δt dan lintang ekliptika Bulan βbl. Bujur ekliptika Bulan dan Matahari dan lintang ekliptika
Bulan berubah setiap waktu atau merupakan fungsi dari waktu.
Bila pada saat pengamatan diketahui waktu pengamatan tp, tinggi hilal, hhl, dan Azimut hilal, Ahl,
maka tinggi hilal, h0, dan Azimut hilal, A0, geosentrik dapat ditentukan melalui pertimbangan
koreksi semi diameter sudut Bulan, refraksi, DIP dan paralak horizon Bulan. Asensiorekta,
deklinasi dan sudut jam hilal pada waktu tp secara teoritis dapat dihitung. Begitu pula bujur
ekliptika Bulan, λbl, dan bujur ekliptika Matahari, λmt, saat pengamatan hilal dan lintang ekliptika
Bulan βbl. Sudut elongasi Bulan geosentrik secara teoritis dapat dihitung.
Melalui data lintang dan bujur geosentrik pengamat, tinggi, h0, dan Azimut, A0, hilal geosentrik
dapat dibandingkan dengan tinggi dan Azimut hasil konversi koordinat asensiorekta dan deklinasi
yang didapat secara teoritis.
3.4 Separasi Sudut Jam Bulan dan Matahari [ aS, Arc of Separation ]
Bila di kaki langit digambarkan M adalah Matahari saat terbenam, H titik potong antara horison
Bulan dengan ekliptika, B adalah Bulan dan BN garis tegak lurus HM (ekliptika) atau lintang
ekliptika Bulan, β bl, maka NM adalah Δλ = λmt − λbl, beda bujur ekliptika Bulan-Matahari. Secara
geometri dapat dilihat bahwa HM = β bl tan (φ+ε) + Δλ dan aD = HM cos (φ+ε), maka aD = β bl sin
(φ+ε) + Δλ cos (φ+ε). Sedang aD = aS cos φ maka aS cos φ = β bl sin (φ+ε) + (λmt − λbl) cos (φ+ε). φ
= lintang geografis pengamat, ε = kemiringan ekliptika, aS = busur pemisah Bulan dan Matahari.
Bila K adalah titik Kutub Langit, dan KB dan KM masing-masing adalah (90° - deklinasi Bulan,δB,)
dan (90° - deklinasi Matahari,δM,) maka hubungan deklinasi Bulan dan Matahari, beda sudut jam
Bulan dan Matahari, ΔHbm, atau beda asensiorekta Bulan dan Matahari, Δαbm, atau disebut juga
busur pemisah, aS, dapat didekati dengan rumus :
cos BM = cos KB cos KM + sin KB sin KM cos ΔHbm
189
Seminar Nasional Hilal 2009
cos aL = sin δB sin δM + cos δB cos δM cos ΔHbm
atau cos aL = sin δB sin δM + cos δB cos δM cos aS
atau cos aL = sin δB sin δM + cos δB cos δM cos Δαbm
HUBUNGAN aL dengan PENGURANGAN TANDUK HILAL
Bila OQ bidang lingkaran terminator bola Bulan yang menghadap ke Bumi dan O salah satu titik potong terminator
bagian bola Bulan yang Matahari dengan lingkaran terminator bola Bulan yang menghadap ke Bumi. Bila dibuat
lingkaran besar yang menghubungkan titik - titik kutub lingkaran terminator bola Bulan yang menghadap ke Bumi dan
melewati terminator tanduk hilal. Titik Q dan P masing-masing perpotongan antara lingkaran terminator bola Bulan yang
menghadap ke Bumi dengan lingkaran besar tersebut dan lingkaran terminator bola Bulan yang menghadap ke Bumi
dengan lingkaran besar tersebut maka melalui segitiga bola OPQ dan rumus segitiga bola formula 4-bagian ( catatan :
bila ada segitiga bola ABC dengan sisi-sisi a, b dan c masing-masing dihadapan sudut bola A, B dan C, maka formula 4bagian adalah :
cos c cos A = sin c cot b – sin A cot B) dapat diturunkan bahwa :
tan a = tan aL cos w dan Danjon (1932) mendapatkan sin a = sin aL cos w, pengurangan tanduk hilal
OQ = 90° - w dan PQ = a dan sudut bola O = aL. Danjon (1932) memperoleh harga untuk aL = 10°,
panjang tanduk hilal w = 52°.
3. 5 Beda Tinggi Bulan dan Matahari [ aD, Arc of Descent ]
Busur cahaya atau dinamakan arc of light, aL, pada hakekatnya adalah sudut elongasi dari pusat
Bumi atau posisi geosentrik Bulan dan Matahari. Salah satu parameter yang dipergunakan untuk
memprediksi visibilitas hilal dapat diamati?
cos aL = 1 – ( DH / RBL )
DH = lebar bagian tengah Bulan sabit, RBL = radius bundaran Bulan (~ 16 menit busur) atau
diameter sudut Bulan DBL = 2 RBL maka:
DH = (1– cos aL ) RBL
Bruin (1977) menggambarkan lebar tengah hilal sebagai berikut:
DH = (1–cos aL ) DBL /2 atau DH = DBL sin2 (aL /2)
Bila aL untuk limit Danyon (1932) adalah 7° maka batas lebar tengah hilal, DH, adalah 7″.2. Ibn
Maimon membuat rule aL < 9° Bulan muda atau hilal selalu tidak dapat dilihat dan aL > 24°
Bulan selalu dapat dilihat. Bila aL = 9° untuk tinggi Matahari nol maka untuk perbedaan azimut
Bulan dan Matahari sebesar 0° tinggi hilal 9°, batas ini 1.5 derajat lebih rendah dibanding dengan
Ilyas (1984) [3]. Perbedaan azimut Bulan dan Matahari sebesar 8.°7 maka tinggi hilal 2°.
Sedangkan bila tabel Ilyas (1984) [3] diadopsi maka diperoleh harga 10° < aL < 14° untuk tinggi
Matahari nol dan beda azimut Bulan dan Matahari kurang dari 10° dan beda waktu Bulan dan
mathari terbenam antara 41 dan 55 menit. Lebar tengah hilal antara 7″.2 < DH < 28″.5.
hM = - 0° 50′, aD = hB – hM
aD
2°
4°
aL (ΔAbm = 1°)
02° 14′
04° 07′
aL (ΔAbm = 2°)
02° 50′
04° 28′
aL (ΔAbm = 3°)
03° 36′
04° 60′
190 aL (ΔAbm = 4°)
04° 28′
05° 39′
aL (ΔAbm = 5°)
05° 23′
06° 24′
5°
10°
15°
20°
25°
05° 06′
10° 03′
15° 02′
20° 01′
25° 01′
05° 23′
10° 12′
15° 08′
20° 06′
25° 05′
Seminar Hilal Nasional 2009 05° 50′
10° 26′
15° 17′
20° 13′
25° 10′
06° 24′
10° 46′
15° 31′
20° 23′
25° 18′
07° 04′
11° 10′
15° 48′
20° 36′
25° 28′
Beberapa kriteria astronomis berdasarkan data empiris visibilitas hilal [tanpa data pengamatan dari
Indonesia?] antara lain adalah Kriteria Penampakan Hilal: Tinggi Hilal fungsi dari beda Azimut
Matahari dan Bulan menurut Ilyas, 1984
Beda
Azimut (°)
Tinggi (°)
0
10
20
30
40
60
10.5 ±
0.5
9.2 ± 0.5
6.4 ±0.5
4.5 ± 0.5
4.2 ± 0.5
4.0 ± 0.5
Lintang Pengamat (°)
Beda waktu terbenam Bulan dan Matahari (menit)
Lintang
Pengamat (°)
Beda waktu
terbenam Bulan
dan Matahari
(menit)
0
30
40
50
41 ± 1
46 ± 2
49 ± 4
55 ± 1
Pengamatan hilal 5 Mei 1989 di East Lansing (φ = 42° 44′ dan λ = 84° 37′ BB) merupakan rekor
pada umur Bulan 13.47 jam. Pada tanggal 4 Mei 1989 Bulan berada di perigee. Beda bujur BulanMatahari dapat ditaksir Δλbm = 13.47 × 37′ 30″∼ 8° Kenyataan Δλbm = 7° 52′ 51″. Beda azimut
Bulan dan Matahari 0° 48′ 58″. Lintang ekliptika Bulan +4° 58′ 19″, sudut elongasi 9° 18′ 35.13″.
Tinggi Bulan saat Matahari terbenam 8° 11′ 01″. Jadi lebih rendah dari kriteria yang ditetapkan oleh
Ilyas (1984). Beda waktu terbenam Bulan dan Matahari berselisih 52 menit walaupun sedikit lebih
tinggi dibanding harga rata-rata Ilyas namun masih dalam rentang kesalahan.
Hilal paling Muda?
Pepin (1996, Sky Telescope vol 92, Des 1996 p 104-106) melaporkan pengamatan Hilal penentu
awal Ramadhan 1417 H pada tanggal 20 Januari 1996 dari Sentinel, Arizona (110° 57′ 52″.20 BB,
+ 32° 25 ′ 12″.72 LU, zone time 8 jam lebih lambat dari UT) kondisi Hilal F = 0.6 % dan hBulan =
+6° 34′ 45″. Hilal termuda ini mempunyai umur 12 jam 07 menit.
Hilal paling tipis? Hilal paling rendah?
Pengamat Hilal Zaki A. al Mostafa dan Moataz N. Kordi (Observatory, February 2003, p 49-50)
dari King Abdulazis City for Science and Technology and Geophysical Research (KACST)
melaporkan pengamatan Hilal penentu awal Muharram 1423 H, pada hari Jum’at tanggal 14 Maret
2002 di Laban (46° 27′ BT dan +24° 36′ LU, beda time zone dengan UT, + 3 jam). 30 km barat
Riyadh, Hilal dengan usia 12 jam 58 menit (saat Matahari terbenam), Hilal diamati 5 menit setelah
Matahari terbenam (18:07 LT atau 15:07 UT). Ijtimak akhir Dzulhijjah 1422 H terjadi pada 14
Maret 2002 jam 05:04 LT (02:04 UT). Kondisi langit saat pengamatan Hilal di Laban 14 Maret
2002 dikabarkan baik, 2 jam sebelum Matahari terbenam (18:02 LT atau 15:02 UT) dapat
191
Seminar Nasional Hilal 2009
mengamati Sirius, Betelgeuse dan Rigel. Hilal, sabit Bulan yang tipis tidak patah-patah, tanduk
Hilal sukar didiskripsikan. (F ≈ 0.5% dan hBulan = +4° 09′ )
3.6 PARAMETER METONIK VISIBILITAS HILAL
Siklus Metonik menyederhanakan persoalan, karena pengulangan waktu ijtimak atau konjungsi
hampir pada tanggal yang bersamaan dalam kalendar Syamsiah/Matahari Gregorian maka berarti
bahwa fenomena itu berlangsung pada suasana musim global yang hampir sama. Fenomena
konjungsi tersebut berlangsung pada bujur ekliptika yang hampir sama. Jadi variasi pembentukan
hilal kemungkinan besar hanya pada posisi Bulan pada perigee atau apogee. Kondisi Metonik ini
secara teoritis diharapkan melibatkan jumlah parameter visibilitas hilal yang lebih sederhana. Siklus
Metonik merupakan siklus pengulangan yang relatif paling pendek, sehingga masih dapat
dipergunakan untuk keperluan praktis.
Fenomena visibilitas hilal merupakan bagian dari fenomena fasa Bulan oleh karena itu dilakukan
telaah parameter Visibilitas hilal Metonik. Pengetahuan sifat siklus Metonik pada parameter
astronomis visibilitas hilal busur cahaya, aL, busur pemisah (Bulan-Matahari), aS, dan beda
kedudukan tinggi Bulan dan Matahari, aD diharapkan dapat dipergunakan untuk mendiskripsikan
Visibilitas Hilal secara lebih komprehensif.
Contoh Karakteristik satu varian Metonik:
Januari (8 Januari = 0801, 9 Januari = 0901)
Δt1 (menit)
1951 (0801)
40
1970 (0801)
39
1989 (0801)
38
2008 (0901)
49
2027 (0901)
72
2046 (0801)
59
Psin (hari)
1951 (0801)
29.489
1970 (0801)
29.443
1989 (0801)
29.510
Δt2 = (SSNM)
R(Δt)=
Δt1/Δt2
NM (tgl, jm
wib)
F (%), (tgl,
bln)
15 jam 04
men
13 jam 40
men
15 jam 54
men
23 jam 39
men
38 jam 51
men
30 jam 50
men
0.0442
(0801) 03:12
1% (0801)
0.0476
(0801) 04:36
1% ? (0801)
0.0398
(0801) 02:22
1% (0801)
0.0345
(0801) 18:37
1% (0901)
0.0309
(0801) 03:35
2% (0901)
0.0319
(0701) 11:26
2% (0801)
MTerbenam
BTerbenam
Dmth (sa)
Dbln (km)
18 jam 16
men
18 jam 16
men
18 jam 16
men
18 jam 56
men
18 jam 55
men
18 jam 54
men
0.98337
362967
0.98340
357300
0.98340
369983
192 2008 (0901)
29.672
2027 (0901)
29.814
2046 (0801)
29.782
βbln
−4° 08′
−3° 43′
−3° 14′
−2° 26′
−1° 17′
−1° 00′
1951 (0801)
1970 (0801)
1989 (0801)
2008 (0901)
2027 (0901)
2046 (0801)
ΔDBlnMth
1951
(0801)
1970
(0801)
1989
(0801)
2008
(0901)
2027
(0901)
2046
(0801)
18 jam 16
men
18 jam 16
men
18 jam 16
men
λbln
19 jam 05
men
19 jam 28
men
19 jam 15
men
0.98335
391155
0.98341
405167
0.98340
401032
λ mth
296° 06′
296° 29′
296° 53′
300° 01′
306° 27′
302° 43′
ΔλBlnMth
Seminar Hilal Nasional 2009 287° 22′
287° 46′
288° 10′
288° 33′
288° 57′
288° 20′
ΔαBlnMth
ΔAzBlnMth
hBln
+9°.51
+8°.73
+10°.13
+1°.70
+08° 43′
+9°.38
+8°.71
+10°.02
+1°.30
+08° 37′
+9°.25
+8°.71
+9°.92
+0°.80
+08° 30′
+11°.68
+11°.46
+12°.65
+0°.77
+10° 57′
+17°.16
+17°.50
+18°.65
+3°.66
+16° 27′
+14°.12
+14°.40
+15°.39
+2°.99
+13° 21′
KESIMPULAN
Nampaknya terdapat kesamaan dalam satu varian Meton akan menjamin lokasi ijtimak pada satu
“musim” yang sama, yang akan berimplikasi pada pola hasil pengamatan hilal. Pola geometri hilal
masih perlu ditelaah yang seksama, walaupun parameter posisi Matahari dan kecepatan orbit Bumi
mengelilingi Matahari telah relatif dapat uniform.
DAFTAR PUSTAKA
Al‐ Mustafa, ZA; 2005; Lunar Calendars: The New Saudi Arabian Creterion al Mustafa, Zaki A. dan Kordi, Moataz N., 2003, Observatory, February 2003, p 49‐50 Arumaningtyas, EP and Raharto, M.; 2009; Contrast of Lunar Crescent Visibility, Proceedings of the 3rd Asian Physics Symposium (APS 2009) p 221 – 224 193
Seminar Nasional Hilal 2009
Dajon, A.; 1932, l'astronomie 46, 17 Doggett, LE; 1992; Bab XII : Calendars dalam Explanatory Supplement to The Astronomical Almanac hal. 575‐608; Univ. Science Books, California edited P. Kenneth Seidelmann Espenak, F.; 1989; Fifty Year Canon of Lunar Eclipse : 1986‐2035, NASA Ref. Publ 1216, p 235 Espenak, F.; (2008) Six Millenium Catalog of Phases of The Moon, http://sunearth.gsfc.nasa.gov/eclipse/phase/phasecat.html. Espenak, F. and Meeus, J.(2008), Five Millennium Catalog of Solar Eclipses; ‐1999 to + 3000 (2000 BCE to 3000 CE); NASA/TP – 2008 ‐ 214170 Ilyas, M.; 1984; A Modern Guide to Astronomical Calculation of Islamic Calendar, Times and Qibla, Berita Publishing, Kuala Lumpur Ilyas, M,; 1994; Lunar Crescent Visibility and Islamic Calendar, QJR astr. Soc. 35, 425‐461 Meeus, J., 1983, Astronomical Table of the Sun, Moon and Planets, Willmann ‐ Bell, Inc. – USA Pepin, 1996, Sky Telescope vol 92, Des 1996 p 104‐106 Raharto, M.; 2001; Sistem Penanggalan Syamsiah/Masehi; Penerbit ITB Raharto Moedji and Edy, Susilo; 2002, Implikasi Regresi Garis Nodal Orbit Bulan pada Bidang Ekliptika terhadap Visibilitas Hilal, Seminar MIPA Aula Barat ITB 21‐22 Oktober 2002 Raharto, M.; 2003, Introducing Astronomy Through Solar and Lunar Calendar, Abstrak IAU, 25th GA 13‐26 Juli 2003 di Sydney Raharto, M.; 2003; Aspek Astronomi dalam sistem Kalendar di Indonesia; Seminar dan Workshop Nasional: Aspek astronomi dalam Kalendar Bulan dan Kalendar Matahari di Indonesia, Observatorium Bosscha, Senin 13 Oktober 2003, 17‐18 Sya’ban 1424 H Raharto, M.; 2004; Telaah awal Parameter Visibilitas Hilal Metonik; disampaikan pada Seminar MIPA IV, Kampus ITB 6‐7 Oktober 2004 Raharto, M.; 2004; Kajian Astronomi Tentang Bilangan Puasa Ramadhan pada Zaman Rasullullah saw. , disampaikan pada Musyawarah Ulama Hisab Rukyat se Jawa Timur diselenggarakan oleh PTA Surabaya, Hotel Utami 8‐9 Oktober 2004 Raharto, M. [2006], A Study of Metonic Cycle on Hilal Visibility, Proceedings of ICMNS 2006, p. 1240Sofian HI and Raharto, M. [2006], Proceedings ICMNS 2006 p 1151 – 1155 Sopwan N. [2008] Karakteristik Hilal Metonik dekat Equinox, Solstice, Perihelion dan Aphelion (Scription in Indonesian) Sopwan, N. and Raharto, M.; 2009; Study on the Youngest, the Thinnest Record of Lunar Crescent Visibility Based on Metonic Membership, Proceedings of the 3rd Asian Physics Symposium (APS 2009) p 225 – 228 Stephenson, F.R. and Baolin, L., 1991, The Length of the Synodic Month, The Observatory III, 21‐22 Steves, B.A.; 1998; The Cycles of Selene, Vistas in Astronomy vol 41, no 4, 543 – 571 194 Seminar Nasional Hilal 2009 POSTER 195 Seminar Nasional Hilal 2009 196 197 Seminar Nasional Hilal 2009 Seminar Nasional Hilal 2009 198 199 Seminar Nasional Hilal 2009 Seminar Nasional Hilal 2009 200 Seminar Nasional Hilal 2009 DOKUMENTASI 201 Seminar Nasional Hilal 2009 202 203 Seminar Nasional Hilal 2009 Seminar Nasional Hilal 2009 204 205 Seminar Nasional Hilal 2009 Seminar Nasional Hilal 2009 206 
Download