1 perbedaan tingkat communication apprehension pada mahasiswa

advertisement
PERBEDAAN TINGKAT COMMUNICATION APPREHENSION
PADA MAHASISWA AKTIVIS DAN YANG BUKAN AKTIVIS DI
LINGKUNGAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Fajrin Husaini
Thobagus Moh. Nu’man
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan
komunikasi antara mahasiswa aktivis dan yang bukan aktivis. Hal ini berdasar
pada asumsi bahwa mahasiswa aktivis memiliki tingkat kecemasan komunikasi
yang lebih rendah daripada mahasiswa yang bukan aktivis. Semakin tinggi tingkat
Communication Apprehension (CA) yang dimiliki seorang mahasiswa, semakin
tinggi pula tingkat kecemasan dalam berkomunikasi.
Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Islam
Indonesia (UII) – Yogyakarta, baik mahasiswa aktivis maupun mahasiswa nonaktivis tanpa membedakan jenis kelamin.Mahasiswa aktivis diambil dari
mahasiswa yang aktif di Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM), masing-masing
Fakultas diambil 5 (lima) orang. Dengan demikian jumlah mahasiswa aktivis yang
menjadi responden adalah 40 orang. Begitu juga mahasiswa non-aktivis diambil
dari mahasiswa yang tidak aktif di organisasi kampus, masing-masing fakultas
diambil 5 orang, yang menghasilkan jumlah responden mahasiswa non-aktivis
menjadi 40 orang. Adapun skala yang digunakan adalah skala tingkat CA
berdasarkan skala tingkat CA yang disusun oleh McCroskey (1984). Semakin
tinggi skor pada skala communication apprehension yang diperoleh seseorang,
maka semakin tinggi CA subyek tersebut, dan semakin rendah skor pada skala CA
yang diperoleh subyek, maka semakin rendah juga CA subyek tersebut.
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
fasilitas program SPSS versi 12,0 untuk menguji apakah terdapat perbedaan
tingkat CA pada mahasiswa aktivis maupun yang bukan aktivis. Analisa data yang
dilakukan dengan menggunakan metode analisis Independent Sample T-Test
tersebut menghasilkan p value sebesar 0,553 (>0,05 atau 5%), yang menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan Tingkat CA pada mahasiswa aktivis dan yang bukan
aktivis. Dengan demikian hipotesis penelitian ditolak. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa perilaku komunikasi seseorang sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan seseorang terhadap topik yang akan dibawakan, rasa suka atau tidak
suka terhadap topik tersebut dan psikomotorik seseorang yaitu kemampuan fisik
seseorang untuk melakukan komunikasi, bukan hanya dipengaruhi oleh aktivitas
seseorang dalam organisasi saja.
Kata Kunci : Communicaton Apprehension (CA), Mahasiswa Aktivis, Mahasiswa
Bukan Aktivis
1
PENGANTAR
Dalam kehidupan modern seperti sekarang komunikasi memegang peran
yang sangat penting, karena justru dari cara komunikasi yang digunakan, maka
orang dapat sukses, tetapi dari cara komunikasinya pula orang dapat gagal dalam
mencapai tujuannya. Bagaimana orang berkomunikasi dalam kehidupan bersama
itulah yang menjadi salah satu faktor yang sangat penting di dalam kehidupan
bersama, baik di dalam organisasi ataupun kelompok (Soehardi Sigit, 2003:151).
Komunikasi merupakan suatu proses pertukaran pemikiran, pesan, atau
informasi, baik melalui pembicaraan, sinyal, tulisan atau tingkah laku
(http://education.yahoo.com/reference/dictionary/communication).Dari pengertian
ini, komunikasi dapat dilakukan secara verbal melalui pembicaraan, dan nonverbal, melalui tulisan dan tingkah laku.
Besarnya peranan komunikasi dalam kehidupan manusia memancing
timbulnya penelitian secara ilmiah untuk mengetahui jumlah waktu yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi. Hasil penelitian yang dilakukan Berlo
tahun 1980 (Mariani, 1991) menunjukkan bahwa 70% waktu aktif manusia di
Amerika Serikat digunakan untuk berkomunikasi. Perbedaan kultur antara
Indonesia dengan Amerika tentunya akan membawa pengaruh yang berbeda
dalam penggunaan waktu aktif untuk berkomunikasi.
Seiring perkembangan usia dan kognisi, kemampuan dan keterampilan
komunikasi juga dituntut untuk makin berkembang. Pada jenjang pendidikan
tinggi misalnya, seorang mahasiswa harus dapat mengungkapkan pernyataannya
2
secara verbal, seperti dalam melakukan diskusi dan presentasi baik di depan kelas
atau dosen penguji. Keterampilan komunikasi menjadi cukup signifikan terlebih
lagi pada mahasiswa yang memilih untuk mengikuti kegiatan organisasi didalam
maupun diluar kampus atau yang biasanya disebut sebagai aktivis. Dalam
kegiatan rapat organisasi, misalnya, seorang anggota harus dapat mengutarakan
pendapat atau idenya.
Dengan demikian seorang aktivis organisasi membutuhkan keterampilan
yang baik. Namun, ada kalanya terdapat hambatan dalam berkomunikasi, salah
satunya adalah adanya kecemasan dalam berkomunikasi
Yang dimaksud dengan ”kecemasan dalam berkomunikasi” adalah tingkat
ketakutan atau kecemasan individu yang diasosiasikan dengan komunikasi yang
nyata atau yang diantisipasi dengan orang lain, baik secara oral, tertulis, atau
keduanya. Dalam hal ini, penulis memfokuskan diri pada oral communication
apprehension, yang selanjutnya akan disebut Communication Apprehension (CA).
CA sebenarnya merupakan suatu bentuk perilaku yang normal bagi setiap
orang (McCroskey, dalam De Vito, 2001; Hadi dkk, 1998). Meski demikian, CA
merupakan masalah yang cukup serius karena mempengaruhi seluruh kategori
dalam tehnik komunikasi (Robbins, 2001). Sebagai contoh, individu yang
mengalami kecemasan komunikasi secara oral akan merasa sangat kesulitan untuk
berbicara bertatap muka dengan orang lain atau akan sangat cemas bila harus
berbicara menggunakan telepon. Akibatnya, mereka lebih mengandalkan memo
atau mesin faks untuk menerima pesan (Robbins, 2001). Individu dengan tingkat
CA yang tinggi akan mengalami tingkat kecemasan yang tinggi di hampir semua
3
komunikasi oral yang ditemuinya, baik yang secara rasional dapat dijelaskan
maupun
yang
tidak
dapat
dijelaskan
secara
rasional
(McCroskey,
www.jamesmccroskey.com). Menurut survey yang dilakukan pada mahasiswa di
Amerika, antara 10-20 persen mahasiswa mengalami CA yang tinggi, dan 20
persen lainnya mengalami CA pada derajat yang cukup menggangu proses
komunikasi mereka (De Vito, 2001).
Penelitian lain menunjukkan bahwa CA bekorelasi positif dan signifikan
dengan general anxiety, dan secara signifikan berkorelasi negatif dengan toleransi
terhadap ambiguitas, kontrol diri, keberanian mengambil resiko, dan kematangan
emosional. Huntley (dalam McCroskey, www.jamesmccroskey.com) menemukan
korelasi positif antara CA dan introversi. Lustig (dalam McCroskey,
www.jamesmccroskey.com) menemukan korelasi negatif antara CA dan self
esteem dan self acceptance. Dari penelitian yang telah disebutkan, gambaran
individu dengan tingkat CA yang tinggi cenderung negatif. Mereka cenderung
memiliki harga diri yang rendah, resisten terhadap perubahan, memiliki toleransi
yang rendah terhadap ambiguitas, dan kurang memiliki kontrol diri serta
kematangan emosional. Sebaliknya, individu dengan tingkat CA yang rendah
memiliki gambaran sifat yang lebih positif, yaitu berani mengambil resiko,
percaya diri, matang secara emosional, memiliki self esteem yang tinggi, toleran
terhadap ambiguitas, dan mau menerima perubahan dalam lingkungannya (dalam
McCroskey, www.jamesmccroskey.com).
Pada penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti tentang Communication
Apprehension (CA) di kalangan mahasiswa terutama pada mahasiswa aktivis dan
4
non aktivis. Yang dimaksud dengan mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang
aktif mengikuti kegiatan organisasi baik yang terdapat didalam maupun diluar
kampus. Sedangkan yang dimaksud dengan mahasiswa non aktivis adalah
mahasiswa yang sehari-harinya tidak banyak melibatkan diri dalam kegiatan
organisasi didalam maupun diluar kampus, hanya melakukan kegiatan yang
berkaitan dengan masalah akademik seperti mengikuti kuliah, praktikum, dan lain
sebagainya.
DASAR TEORI
Pengertian
Communication
Apprehension
(CA).
McCroskey
(1984)
mendefinisikan CA sebagai ”an individual level of fears or anxiety associated
with either real or anticipated communication with another person or persons.”
(McCroskey,1984). Pada perkembangan selanjutnya, McCroskey mendefinisi CA
sebagai tingkatan atau level kecemasan atau ketakutan yang berhubungan dengan
komunikasi langsung ataupun tidak langsung antara seseorang dengan orang lain
(McCroskey, 1984). Definisi ini menjelaskan bahwa CA secara konseptual
memiliki dua pendekatan, yakni pendekatan yang berfokus pada komunikasi oral,
sementara pendekatan kedua memfokuskan bahwa CA merupakan dengan
konseptualisasi dari sifat. Pada pendekatan kedua, CA dikemukakan sebagai
‘trait’ – sesuatu yang bersifat menetap dan merupakan bagian dari kepribadian
seseorang, dan ‘state’ – sebagai suatu kondisi yang terlihat atau terjadi.
Sedangkan Robbins (2001), memberi pengertian CA sebagai ”under tension and
anxiety about oral communication, written communication, or both”. Pengertian
5
lain dikemukakan oleh Bippus & Daly (dalam De Vito, 2001) yang mengatakan
bahwa CA adalah:
”... a state of fear or anxiety about communication interaction. People
develop negative feelings and predict negative results as a function of
engaging in communication interactions. They may fear making mistakes
and being humiliated.”
Faktor-faktor yang menyebabkan Communication Apprehension. Menurut
McCroskey (1984) penyebab CA berada pada kontinum antara traitlike CA dan
situational CA.
CA traitlike terbentuk karena adanya pandangan bahwa setiap individu
terlahir dengan predisposisi dan tendensi tertentu yang menyebabkan ia bereaksi
secara berbeda pada lingkungan yang sama.
Penyebab Situational Communication Apprehension
Menurut Buss, yang dikutip oleh McCroskey (1984) elemen penting dalam
situasional yang diyakini sebagai penyebab meningkatnya CA adalah: novelty,
formality, subordinate status, conspicuosness, unfamiliarity, dissimilarity, dan
degree of attention from others.
1) The novel situation
Bahwa individu secara tidak sengaja menjadi apprehensive pada
situasi-situasi tertentu. Misalnya seseorang yang tidak pernah
mengikuti wawancara akan melakukan wawancara perdananya. Maka
individu ini akan berada dalam suatu novel situasi dimana dalam
situasi yang serba baru tersebut individu tidak yakin pada apa yang
6
akan ia lakukan dan ada kebingungan bagaimana seharusnya ia
bertingkah laku sehingga dari sini kemudian muncul CA.
2) Formal situation
Situasi
formal
disini
cenderung
diasosiasikan
sebagai
menentukan jenis perilaku yang layak pada situasi-situasi tertentu,
dimana pada situsi-situasi umum jika perilaku tersebut dilanggar atau
diabaikan tidak dianggap sebagai suatu penyimpangan. Orang yang
memiliki sedikit pengalaman berada dalam situasi formal perilakunya
menjadi tidak kaku dalam menerapkan bentuk-bentuk peraturan dan
memiliki toleransi yang luas pada berbagai macam perilaku orang lain
sebagai perilaku yang dapat diterima dalam situasi umum. CA akan
muncul pada situasi formal karena pada situasi ini terjadi pembatasan
yang sempit pada macam-macam perilaku yang dapat diterima.
3) Subordinate Status
CA dapat muncul pada situasi interaksi dalam posisi subordinat
(biasanya antara atasan dan bawahan atau pemegang kekuasaan dan
rakyat). Dalam beberapa situasi, suatu perilaku akan dianggap layak
atau tidak ditentukan oleh orang yang memegang kekuasaan tertinggi.
4) Conspicuosness
Merasa menjadi pusat perhatian dalam lingkungannya dapat
menjadi satu penyebab meningkatkan CA.
7
5) Unfamiliarity
Walaupun tidak semua orang akan menunjukkan reaksi yang
sama pada orang yang tidak dikenal atau baru saja dikenalnya, tetapi
kebanyakan orang akan merasa lebih nyaman pada saat berkomuniksi
dengan orang yang ia kenal daripada orang lain yang tidak dikenalnya.
7) Degree of attention from others
Mendapatkan perhatian yang biasa-biasa saja dari orang lain
adalah merupakan situasi paling nyaman pada kebanyakan orang.
Mendapatkan perhatian yang berlebihan atau bahkan sebaliknya tidak
diperhatikan atau diabaikan pada saat kita berkomunikasi dapat
meningkatkan level CA kita secara tajam dan cepat.
Dampak Communication Apprehension. Efek CA dapat diobservasi dari
perilaku keseharian dan pola kebiasaan menarik dari orang-orang yang diduga
memiliki CA yang tinggi atau rendah. CA dapat memiliki dampak internal dan
eksternal pada diri seseorang. Selain itu CA juga memiliki dampak pada perilaku
komunikasinya.
HIPOTESIS PENELITIAN
Ada perbedaan tingkat communication apprehension antara mahasiswa
aktivis dan yang bukan aktivis. Communication Apprehension mahasiswa aktivis
lebih rendah dibandingkan dengan Communication Apprehension mahasiswa
bukan aktivis.
8
METODE
Tingkat Communication Apprehension. Adalah tingkat ketakutan atau
kecemasan individu yang diasosiasikan dengan komunikasi yang nyata atau yang
diantisipasi dengan orang lain, baik secara oral, tertulis, atau keduanya. Yang
menjadi fokus dalam penelitian ini adalah oral communication apprehension,
yang selanjutnya akan disebut CA.
Untuk mengukur tingkat CA digunakan skala tingkat CA berdasarkan
skala tingkat CA yang disusun oleh McCroskey (1984). Semakin tinggi skor pada
skala communication apprehension yang diperoleh seseorang, maka semakin
tinggi CA subyek tersebut, dan semakin rendah skor pada skala CA yang
diperoleh subyek, maka semakin rendah juga CA subyek tersebut.
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metode skala, yaitu Skala Tingkat CA. Aspek yang akan diungkap dalam Skala
Tingkat CA adalah aspek Generalized Context dengan indikator-indikator
berdasarkan definisi dari McCroskey (1984), yaitu:
1. Kecemasan atau ketakutan ketika berpidato di hadapan massa.
2. Kecemasan atau ketakutan ketika berbicara bertatap muka berdua
3. Kecemasan atau ketakutan ketika berbicara dalam diskusi kelompok
4. Kecemasan atau ketakutan ketika berbicara dalam suatu pertemuan
Penyajian skala ini diberikan dalam bentuk pilihan-pilihan jawaban.
Bentuk penilaian skala ini menggunakan model skala empat jenjang,
sehingga penilaiannya bergerak dari satu sampai empat. Setiap aspek dalam
9
skala ini memiliki aitem-aitem yang berupa pernyataan mendukung atau
favorable dan aitem-aitem yang tidak mendukung atau unfavorable.
Berikut pada tabel 1 dapat dilihat distribusi aitem Skala Tingkat CA dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Distribusi Aitem Skala Tingkat Communication Apprehension
Jumlah
Nomor Aitem
Indikator
aitem
Favorable
Unfavorable
Generalized Context:
1. Kecemasan
atau
ketakutan
ketika
berpidato di hadapan
massa
2. Kecemasan
atau
ketakutan ketika bertatap
muka berdua
3. Kecemasan
atau
ketakutan
ketika
berbicara dalam diskusi
kelompok
4. Kecemasan
atau
ketakutan
ketika
berbicara dalam suatu
pertemuan
19, 21, 23
20,22,24
6
14, 16,17
13,15,18
6
2,4,6
1,3,5
6
8,9,12
7,10,11
6
HASIL PENELITIAN
Hasil analisis data n dengan Independent Sample T-Test dari Program
SPSS ver 12 for Windows. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:
10
Variabel
Tingkat CA
Tabel 2
Hasil Uji Hipotesis
t
p
0,597
0,553
Keterangan
Ha Ditolak
Analisa data yang dilakukan dengan menggunakan metode analisis
Independent Sample T-Test tersebut menghasilkan p value sebesar 0,553 (>0,05).
Menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan Tingkat CA pada mahasiswa aktivis dan
yang bukan aktivis.
Pembahasan
Hasil data penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang telah diajukan
yakni ada perbedaan tingkat CA antara mahasiswa aktivis dengan mahasiswa non
aktivis tidak dapat diterima atau ditolak. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai p
value = 0,553, yang lebih besar dari 0,05. Dengan demikian hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat CA antara mahasiswa aktivis
dan mahasiswa non aktivis.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa seorang mahasiswa baik itu
mahasiswa aktivis mapun mahasiswa non aktivis mempunyai tingkat CA yang
tidak ada bedanya. Hal ini dapat diterangkan bahwa meskipun mahasiswa non
aktivis tidak melakukan kegiatan yang sifatnya membutuhkan keterampilan
berbicara di depan umum, namun sebagai mahasiswa merekapun juga pernah
melakukan presentasi bahan kuliah, menerangkan program kerja, menghadap
dosen pembimbing ataupun dosen pembimbing akademik, dan sebagainya, yang
kegiatan tersebut juga memerlukan keberanian untuk berbicara dan tampil di
depan. Sebaliknya, bagi mahasiswa aktivis, meskipun sudah terbiasa berbicara di
11
depan masa atau rapat, ataupun berorasi sekalipun, mereka masih juga mengalami
kecemasan kalau hendak memulai kegiatan tersebut, atau yang lazim disebut
dengan istilah “demam panggung”. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja, baik
mahasiswa aktivis maupun non aktivis.
Faktor lain yang dapat dipertimbangkan untuk menjelaskan keadaan
tersebut antara lain bisa saja mahasiswa non aktivis pada waktu SMA-nya juga
pernah menjadi aktivis, seperti misalnya aktif dalam kegiatan OSIS ataupun
organisasi kepemudaan lain di luar sekolah. Pada waktu menjadi mahasiswa dia
memutuskan untuk tidak aktif lagi dalam organisasi untuk berkonsentrasi terhadap
kuliahnya agar cepat selesai. Jadi, sampel penelitian yang mahasiswa non aktivis
tersebut di masa lalunya juga aktif di keorganisasian, sehingga tingkat CA-nyapun
sudah terasah dengan baik. Sebaliknya untuk sampel mahasiswa aktivis, bisa jadi
kegiatannya menjadi aktivis baru dimulai beberapa bulan yang lalu, sehingga
tingkat CA-nya masih sama dengan mahasiswa non aktivis. Hal ini bisa terjadi
karena penelitian ini tidak meneliti masa lalu dari masing-masing sampel, hanya
mengambil sampel dengan membedakan mahasiswa aktivis dan mahasiswa non
aktivis pada situasi sekarang ini.
Hal tersebut menjelaskan teori yang dikemukakan McCroskey(1984) yang
menyatakan bahwa perilaku komunikasi seseorang sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan seseorang terhadap topik yang akan dibawakan, rasa suka atau tidak
suka terhadap topik tersebut dan psikomotorik seseorang yaitu kemampuan fisik
seseorang untuk melakukan komunikasi.
12
Bila seseorang menguasai topik yang akan dikomunikasikan, maka
tentunya orang tersebut tanpa melihat apakah yang bersangkutan mahasiswa
aktivis atau bukan aktivis maka dia tidak akan mengalami hambatan dalam
berkomunikasi, begitu juga apabila yang bersangkutan menyukai topik yang akan
dibawakan maka dia tidak akan mengalami hambatan dalam berkounikasi.
Sebaliknya bila yang bersangkutan tidak menguasai dan tidak menyukai topik
yang dikomunikasikan, maka kecemasan atau tingkat CA yang bersangkutan akan
meningkat.
Hal senada juga dikatakan oleh Cutlip (2006) bahwa keberanian seseorang
dalam mempresentasikan suatu topik permasalahan tergantung pada kesiapan
orang yang bersangkutan terhadap penguasaan atas topik tersebut. Ivy Naistadt
(2006) menyatakan disamping atas pokok pembicaraan, rasa suka terhadap hal
yang dipresentasikan juga membantu seseorang untuk berani tampil berbicara di
depan umum.
Kelemahan penelitian ini tidak mempertimbangkan frekuensi dan berapa
lama subjek aktif sebagai aktivis organisasi, dengan kata lain pengalaman subjek
sebagai aktivis hanya dilihat berdasarkan kompetensi di lingkungan mahasiswa.
PENUTUP
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat CA antara
mahasiswa aktivis dan mahasiswa non aktivis. Hal ini disebabkan karena seorang
mahasiswa non aktivis pun membutuhkan keberanian untuk berbicara di depan
umum, meskipun yang bersangkutan tidak aktif dalam organisasi, juga seorang
13
mahasiswa non aktivis belum tentu mempunyai masa lalu yang tidak aktif dalam
keorganisasian. Dalam penelitian ini tidak diungkap masa lalu masing-masing
subjek penelitian.
14
DAFTAR PUSTAKA
De Vito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book. 9th ed.
Addison Wesley Longman.
Mariani, K. 1991. Hubungan antara Sifat Pemantauan Diri dengan Kecemasan
dalam Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Psikologi dan Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM (tidak dipublikasikan).
McCroskey, James C. 1984. Avoiding Communication: Shyness, Reticence, and
Communication Apprehension. California: Sage Publication, Inc.
Naistadt, I. 2006. Jangan Takut Ngomong, Strategi Agar berani Berbicara di
Depan Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior. 9th ed. New Jersey: Prentice
Hall.
Soehardi Sigit. 2003. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: BPFE Universitas
Satyawiyata Tamansiswa.
http://education.yahoo.com/reference/dictionary/entry/communication
McCroskey. www.jamesmccroskey.com
Oral Communication Apprehension: A summary of recent theory and research.
www.jamesmccroskey.com
15
Download