proposal disertasi

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR)
Rizobakteri pemacu tumbuh tanaman yang populer disebut plant growth
promoting rhizobacteria (PGPR) diperkenalkan pertama kali oleh Kloepper dan
Schroth (1978). Rizobakteri merupakan kelompok bakteri rhizosfer yang memiliki
kemampuan mengkolonisasi rizosfer secara agresif dan memberi keuntungan bagi
tanaman (Kloepper & Schroth 1978; Schroth & Hancock 1982). Berbagai jenis
bakteri telah diidentifikasi sebagai PGPR. Sebagian besar berasal dari kelompok
Gram negatif dengan jumlah galur paling banyak dari genus Pseudomonas dan
Serratia (Kloepper 1993).
Aktivitas rizobakteri di lingkungan perakaran memberi keuntungan bagi
pertumbuhan tanaman dengan kemampuannya menyediakan atau memfasilitasi
penyerapan berbagai unsur hara dalam tanah serta mensintesis dan mengubah
konsentrasi berbagai zat pengatur tumbuh (fitohormon). Selain itu, bakteri ini juga
memiliki kemampuan menekan aktivitas patogen dengan cara menghasilkan
berbagai senyawa atau metabolit seperti siderophore, -1,3-glukanase, kitinase,
antibiotik, dan sianida (Kloepper 1993; Cattelan et al. 1999; Tenuta 2006) dan
enzim aminocyclopropane carboxylate (ACC) deaminase (Glick 1995).
Enzim ACC Deaminase dan Etilen
Enzim 1-aminocyclopropane-1-carboxylate deaminase (E.C.4.1.99.4),
disingkat ACC deaminase, merupakan enzim sitoplasma yang diproduksi oleh
beberapa mikroba. Honma dan Shimomura (1978) menemukan enzim ini pertama
kali pada bakteri Pseudomonas sp galur ACP. Enzim ACC deaminase berperan
mendegradasi asam amino siklopropanoid 1-aminocyclopropane-1-carboxylic
acid atau ACC menjadi α-ketobutirat dan amonia. Asam amino ACC merupakan
prekursor hormon etilen pada tanaman, sehingga ketersediaanya menjadi faktor
utama dalam biosintesis hormon etilen.
Biosistesis etilen pada tanaman dimulai dari proses S-adenosilasi metionin
menjadi S-adenosylmethionine yang selanjutnya diubah menjadi ACC (Ose et al.
2003). ACC yang terbentuk dioksidasi menjadi hormon etilen (Gambar 1).
6
Gambar 1. Biosintesis etilen pada tanaman (Diringkas dan digambar ulang dari
Ose et al. 2003)
Etilen tergolong hormon senesen yang berperan dalam pematangan buah
dan penuaan (Abeles et al. 1992; Mathews & Van Holde 1996). Etilen dalam
konsentrasi yang rendah pada masa perkecambahan mempercepat proses
perkecambahan atau memecah masa dormansi biji. Namun apabila konsentrasi
etilen terus meningkat, perkembangan akar menjadi terhambat. Berbagai hasil
penelitian membuktikan bahwa selain berperan dalam pematangan buah, etilen
juga berfungsi sebagai antagonis atau modulator bagi berbagai fitohormon lain
untuk mencegah pertumbuhan tanaman yang berlebihan (Lieberman & Kunishi
1972; Imaseki 1986; Arshad & Frankenberger 1993). Degradasi prekursor etilen
(ACC) oleh bakteri penghasil ACC deaminase melalui interaksi hubungan
bakteri-tanaman terbukti mampu mengurangi biosintesis hormon etilen, sehingga
perkembangan akar tidak terganggu.
Bakteri Penghasil ACC Deaminase sebagai Pemacu Tumbuh Tanaman
Berbagai hasil penelitian bakteri pemacu tumbuh mengindikasikan adanya
keterkaitan antar berbagai jenis hormon dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Hormon IAA (asam indol asetat) bekerja sama dengan sitokinin.
Perbandingan (rasio) konsentrasi kedua hormon ini sangat penting dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman (Mathews & Van Holde 1996). Hasil
7
penelitian lain memperlihatkan keterkaitan antara produksi hormon IAA dengan
hormon etilen. Okon dan Kapulnik (1986) dan Abbas dan Okon (1993)
melaporkan bahwa IAA yang dihasilkan oleh beberapa bakteri Azospirillum
brasilense dan Azotobacter paspali mampu meningkatkan jumlah bulu akar dan
akar lateral tanaman, sehingga meningkatkan penyerapan air dan unsur hara dari
tanah. Namun peningkatan pertumbuhan ini terjadi pada tanaman yang diberi IAA
dalam konsentrasi rendah (0,005 µg ml-1) dan tanaman yang diinokulasi dengan
bakteri yang kemampuan memproduksi IAA-nya rendah. Sintesis IAA yang
berlebihan justru menghambat pertumbuhan tanaman (Beyeler et al. 1997).
Konsentrasi IAA yang tinggi di lingkungan akar dapat memicu pembentukan
ACC, dan ACC yang terbentuk akan dioksidasi menjadi etilen yang dalam
konsentrasi tinggi dapat menghambat perkembangan akar (Glick et al. 1998;
Mayak et al. 1997; Shah et al. 1997).
Hasil penelitian Glick et al. (1998) membuktikan bahwa Pseudomonas
penghasil enzim ACC deaminase mampu mengurangi pengaruh penghambatan
pertumbuhan tanaman karena meningkatnya hormon etilen dengan cara
menghidrolisis ACC yang terbentuk dalam jaringan akar. Mekanisme proses
penurunan konsentrasi etilen di dalam lingkungan akar disajikan pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 terlihat bahwa hormon IAA yang diproduksi oleh mikroba di
lingkungan rizosfer (eksogenus) sebagian masuk ke jaringan akar melalui proses
kesetimbangan. Hormon IAA ini selain memacu perkembangan sel dan
pembentukan akar muda, juga merangsang pembentukan enzim ACC sintase
untuk pembentukan ACC. Dalam proses kesetimbangan, sebagian ACC
dikeluarkan akar yang selanjutnya didegradasi oleh bakteri penghasil enzim ACC
deaminase menjadi amonia dan α-ketobutirat. Hidrolisis ACC secara terus
menerus akan mengurangi jumlah ACC dan pembentukan hormon etilen di dalam
akar, sehingga mengurangi pengaruh penghambatan etilen bagi perkembangan
akar. Hasil penelitian Wang et al. (2000) membuktikan adanya kemampuan
bakteri penghasil ACC deaminase dalam meningkatkan panjang akar pada
tanaman kanola dan memperkuat daya tahan tanaman terhadap serangan penyakit.
8
Gambar 2. Skema mekanisme penurunan konsentrasi hormon etilen dalam
jaringan tanaman oleh bakteri penghasil enzim ACC deaminase untuk
mencegah terbentuknya etilen berlebihan yang dapat menghambat
perkembangan akar (Sumber: diadaptasi dari Glick et al. 1998; 2007).
9
Bakteri Penghasil ACC Deaminase sebagai Agen Hayati Pengendali Patogen
Selain memacu pertumbuhan tanaman, bakteri penghasil ACC deaminase
juga berperan dalam meningkatkan daya tahan tanaman terhadap cekaman (stress)
yang ditimbulkan oleh berbagai faktor biotik (serangan patogen) maupun abiotik
(lingkungan). Bakteri ini mampu mengurangi tingkat cekaman tanaman dengan
mengendalikan pembentukan hormon etilen yang dipicu oleh berbagai faktor
biotik dan abiotik ekstrim. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan konsentrasi etilen pada tanaman, khususnya pada awal masa
pertumbuhan vegetatif, menghambat perkembangan akar dan melemahkan
ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit (Wang et al. 2000; Glick et al.
2007).
Studi yang dilakukan Wang et al. (2000; 2006) membuktikan kemampuan
beberapa bakteri penghasil ACC deaminase dalam mengendalikan berbagai
penyakit akar tanaman yang disebabkan oleh cendawan patogen, seperti penyakit
layu rebah (damping off) pada mentimun dan busuk akar pada tomat dan kentang.
Hasil penelitiannya membuktikan kemampuan bakteri penghasil ACC deaminase
dalam menekan serangan cendawan patogen Pythium ultimum penyebab layu
rebah. Tanaman yang terinfeksi patogen sering mengalami cekaman etilen (etilen
diproduksi dalam jumlah banyak), sehingga akan memperparah serangan penyakit
(Van Loon et al. 2006). Inokulasi bakteri penghasil ACC deaminase terbukti
mampu menekan pembetukan hormon etilen dan memperkuat daya tahan tanaman
terhadap serangan patogen.
Cendawan Patogen Tular Tanah pada Kedelai
Berbagai penyakit tanaman kedelai yang disebabkan oleh cendawan di
dalam tanah yang populer dikenal sebagai patogen tular tanah (soilborne disease)
sudah banyak diidentifikasi. Beberapa diantaranya adalah cendawan patogen
Fusarium oxysporum penyebab busuk akar (root rot) dan tanaman mati mendadak
(sudden death syndrome), Sclerotium rolfsii penyebab layu (damping-off) dan
hawar batang atau busuk pangkal batang (stem rot), dan Rhizoctonia solani
penyebab busuk akar dan busuk kecambah (Colyer 1989; Hartman et al. 1999).
Ketiga jenis cendawan patogen ini masih tergolong sebagai penyakit utama
tanaman kedelai di Indonesia. Total kehilangan hasil panen kedelai yang
10
diakibatkan oleh cendawan ini di Indonesia cukup besar yaitu sekitar 12,5 ribu ton
dari total 147,5 ribu ton kehilangan panen kedelai pada tahun 1998 (Wrather et al.
2001). Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian (2005) memperlihatkan bahwa intensitas serangan cendawan patogen
tular tanah R. solani mencapai 15,5% dari total serangan penyakit.
Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh Fusarium menurut Roy et al.
(1997) adalah daun menguning (yellowing), khlorosis dan nekrosis pada daun
muda, diskolorasi pada batang, dan busuk akar. Hasil penelitian Mueller et al.
(2003) mengindikasikan bahwa sangat sedikit galur kedelai yang tahan terhadap
serangan patogen ini. Sedangkan kerugian yang ditimbulkan oleh serangan S.
rolfsii sangat bervariasi dan biasanya terjadi pada areal yang terpencar-pencar di
sekitar tanaman yang mati (Colyer 1989).
Download