1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Penelitian
Bahasa merupakan sarana komunikasi. Oleh karena itu, hal yang terpenting
dalam berbahasa adalah kebermaknaan dan penerapan praktis dari bahasa itu
dalam mengomunikasikan informasi. Salah satu wujud penerapan praktis ini
adalah adanya abreviasi. Abreviasi menurut Kridalaksana (2009: 150) adalah
proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem
sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Abreviasi disebut juga
pemendekan dan hasilnya disebut kepemendekan.
Proses pemendekan mengalami perkembangan yang luar biasa dalam
bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan pemendekan dilakukan untuk menyatakan
suatu konsep yang masih dikemukakan dengan beberapa kata. Hal ini dilakukan
karena bahasa Indonesia sering kali tidak mempunyai kata untuk menyatakan
suatu konsep yang agak pelik atau sangat pelik. Selain itu, pemendekan
merupakan suatu proses yang cukup produktif. Keproduktifannya didasarkan pada
adanya upaya untuk menghemat tempat dalam ragam tulis dan untuk menghemat
ucapan dan waktu pada ragam lisan oleh pengguna bahasa Indonesia. Selanjutnya,
pengaruh pemendekan sangat besar dalam bahasa karena pemendekan itu
memberikan bentuk yang baru. (Chaer, 2003: 192)
Pemendekan menurut Chaer (2003: 191-192) memiliki beberapa jenis, yaitu
penggalan, singkatan, dan akronim. Menurutnya, penggalan adalah kependekan
1
2
berupa pengekalan satu atau dua suku pertama dari bentuk yang dipendekkan itu,
misalnya lab dari laboratorium dan perpus dari perpustakaan. Singkatan adalah
hasil proses pemendekan yang dapat berupa pengekalan huruf awal sebuah leksem
atau huruf-huruf awal dari gabungan leksem, misalnya l (liter) dan kg (kilogram);
pengekalan beberapa huruf dari sebuah leksem, misalnya hlm (halaman) dan rhs
(rahasia); pengekalan huruf pertama dikombinasi dengan penggunaan angka untuk
mengganti huruf yang sama, misalnya P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan
Pancasila) dan LP2P (Laporan Pajak-pajak Pribadi); pengekalan dua, tiga, atau
empat huruf pertama dari sebuah leksem, misalnya Abd
(Abdul) dan purn
(purnawirawan); dan pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir dari sebuah
leksem, misalnya Ir (insinyur) dan Fa (firma). Sementara itu, akronim adalah
hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Misalnya,
abri (angkatan bersenjata republik Indonesia) dan juklak (petunjuk pelaksanaan).
Akronim sebagai salah satu bentuk abreviasi dapat dikatakan sebagai
ringkasan dari suatu tuturan yang lebih panjang. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa (KBBIPB) (Sugono, dkk., 2012: 29), akronim
didefinisikan sebagai singkatan kata yang dapat dilafalkan seperti kata. Senada
dengan hal tersebut, Kridalaksana (2009: 162) menyatakan bahwa akronim
merupakan proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau
bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak
memenuhi kaidah fonotaktik Indonesia. Sementara itu, dalam Pedoman Umum
Pembentukan Istilah (Sugono, dkk., 2007: 51), akronim didefinisikan sebagai
istilah pemendekan bentuk majemuk yang berupa gabungan huruf awal suku kata,
3
gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf awal dan suku kata dari deret kata
yang diperlakukan sebagai kata. Misalnya sebagai berikut.
(1)
alunan rumpun bambu
< arumba
(2)
bukti pelanggaran
< tilang
(3)
pengawasan melekat
< waskat
(4)
peluru kendali
< rudal
(5)
cairan alir
< calir
Berdasarkan contoh tersebut, dapat diketahui bahwa suatu akronim tersusun
atas kombinasi konsonan dan vokal yang terpadu dan serasi, sehingga dapat
dilafalkan layaknya kata-kata pada umumnya. Oleh karenanya, dimungkinkan ada
suatu kaidah atau aturan tertentu untuk menyusun akronim. Dapat dikatakan pula
bahwa ada pola-pola dalam pembentukan akronim. Pola-pola pembentukan
akronim ini ini sebenarnya berkaitan dengan bagaimana menyusun akronim yang
terdiri atas kombinasi konsonan dan vokal yang terpadu dan serasi, sehingga dapat
dilafalkan seperti kata-kata pada umumnya.
Menurut Kridalaksana (2009: 150), pemakai bahasa Indonesia menyimpan
dan memakai berbagai bentuk kependekan dalam perbendaharaan katanya tanpa
memperhatikan sistematik pembentukannya ataupun melihat hubungan antara
bentuk kependekan dan kepanjangannya. Bentuk kependekan sering berasosiasi
dengan kata atau frase penuh lain; karena pemakai bahasa ingin membentuk
kependekan yang mirip sekurang-kurangnya dalam bunyi, dengan bentuk lain,
supaya maknanya pun mirip. Dalam prakteknya, faktor pragmatis lebih
menentukan wujud kependekan daripada kaidah atau sistematik fonotaktis atau
4
fonologis yang oleh para puris dituntut agar diikuti dalam pembentukan
kependekan apa pun (Kridalaksana, 2009: 161). Hal yang demikian menyangkut
pula dalam pemakaian akronim.
Semakin bervariasinya bentuk akronim menjadi salah satu bukti
berkembangnya bahasa. Bahasa mengalami perkembangan dari zaman ke zaman
sesuai dengan perkembangan intelektual manusia dan kekayaan cipta karya
manusia sebagai hasil dari kemajuan intelektual sendiri (Keraf, 2001: 5). Begitu
juga dengan bahasa Indonesia, berkembangnya bahasa Indonesia memperlihatkan
bahwa kosakata bahasa Indonesia semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan
perkembangan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan bahasa Indonesia dapat
dikatakan sebagai bahasa yang fungsional, yaitu bahasa yang ikut berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat penuturnya. Gejala semacam ini
merupakan
gejala
yang
wajar,
karena
bahasa
hanyalah
alat
untuk
mengekspresikan perasaan dan pikiran masyarakat penggunanya.
Akronim dalam bahasa Indonesia mengalami perkembangan. Salah satu
indikasinya adalah akronim sangat mudah dijumpai, baik dalam ragam bahasa
lisan maupun tulisan, seperti dalam media massa. Hal ini mengingat bahwa
akronim dapat diciptakan oleh siapa pun, kapan pun, dan dimana pun. Selain itu,
perkembangan akronim ditunjukkan pula dengan adanya akronim yang menjadi
leksikon dalam bahasa Indonesia.
Akronim yang telah menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia antara lain
dapat dilihat dalam KBBIPB. Misalnya kata bemo yang dahulu kepanjangannya
adalah becak bermotor, kini didefinisikan sebagai becak bermotor, yaitu sebangsa
5
mobil kecil beroda tiga pengemudi-nya duduk di depan sebelah kanan, digunakan
sebagai kendaraan umum. Kata distro yang merupakan akronim dari distributor
outlet; kini didefinisikan sebagai tempat berbelanja pakaian, berfungsi menerima
titipan dari berbagai macam industri pakaian lokal yang memproduksi sendiri
produknya (kaos, tas, dompet, dsb). Selain itu, ada juga kata rudal yang awalnya
merupakan akronim dari peluru kendali dan kata tilang yang merupakan akronim
dari bukti pelanggaran yang kini telah menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia.
Selain contoh-contoh di atas, ada pula akronim-akronim lain yang telah
menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia namun belum tercantum dalam
KBBIPB. Hal ini dimungkinkan karena adanya akronim-akronim yang telah
menjadi kata umum atau kata populer, sehingga dalam penggunaannya dapat
dimengerti maknanya tanpa harus disertai kepanjangannya. Contohnya adalah
kata hansip yang merupakan akronim dari pertahanan sipil dan kata rutan yang
kepanjangannya adalah rumah tahanan.
Tidak semua akronim dapat menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia.
Akronim-akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia tentunya
mempunyai karakteristik tertentu sehingga berterima menjadi leksikon dalam
bahasa Indonesia. Karakteristik ini dapat dilihat berdasarkan aspek-aspek atau
komponen-komponen internal bahasa, seperti aspek fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik.
Aspek fonologi berkaitan dengan kaidah fonotaktik bahasa Indonesia.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Alwi dkk. (2003: 28) bahwa singkatan
terutama dalam bentuk akronim, hendaknya serasi dengan kaidah fonotaktik
6
bahasa Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, dapat dicontohkan pola fonotaktik
silabel pada akronim rudal. Rudal merupakan akronim dari peluru kendali.
Akronim rudal mempunyai dua silabel, yaitu /ru/ dan /dal/. Silabel /ru/ berpola
KV, sedangkan silabel /dal/ berpola KVK. Dengan demikian, akronim rudal
berpola KV-KVK. Hal ini telah sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa
Indonesia. Lalu bagaimana dengan akronim-akronim yang lain, apakah semua
akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia telah sesuai dengan
kaidah fonotaktik bahasa Indonesia?
Aspek morfologi berkaitan dengan proses morfologis. Proses morfologis
dalam bahasa
Indonesia
antara
lain adalah
afiksasi,
reduplikasi,
dan
pemajemukan. Dalam afiksasi, sebuah kata dapat dilekati afiks. Misalnya kata
sapu yang dapat diimbuhi prefiks meN- sehingga menjadi menyapu. Kata sapu
juga dapat dikenai proses redulikasi, misalnya menjadi sapu-sapu. Sementara itu,
dalam proses pemajemukan, kata sapu bisa menjadi sapu tangan. Lalu bagaimana
dengan akronim, apakah akronim dapat dikenai proses morfologis?
Salah satu contoh akronim yang telah menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia yang dapat dapat dilekati afiks adalah bandara. Bandara merupakan
akronim dari bandar udara. Jika dilekati afiks ke–an, akronim bandara akan
menjadi kebandaraan. Selain dapat dilekati afiks, akronim bandara dapat pula
dikenai proses reduplikasi. Proses redulikasi yang mungkin dari akronim cerpen
adalah reduplikasi penuh, yaitu menjadi bandara-andara. Akronim bandara juga
dapat dikenai proses pemajemukan, yaitu menjadi kepala bandara. Lalu yang
7
menjadi masalah adalah apakah semua akronim yang telah menjadi leksikon
dalam bahasa Indonesia dapat dikenai proses morfologis?
Selanjutnya, akronim merupakan hasil pemendekan deretan kata-kata yang
dapat berupa frase ataupun klausa. Ketika menjadi leksikon, deretan kata-kata ini
mempunyai kelas kata tertentu. Kelas kata ini berkaitan pula dengan posisi yang
dapat didudukinya. Misalnya akronim sendratari yang merupakan pemendekan
dari seni, drama, tari. Akronim ini dapat merupakan frase dalam tataran sintaksis.
Setelah menjadi leksikon, akronim ini berkelas kata menjadi nomina. Nomina ini
dapat menduduki posisi atau fungsi-fungsi tertentu dalam kalimat.
Aspek semantik dapat berkaitan dengan makna akronim yang menjadi
leksikon dalam bahasa Indonesia. Menurut Parera (2001: 152), makna akronim
adalah makna kepanjangan kata-kata yang membentuk akronim tersebut. Jika
demikian, makna setiap akronim yang telah menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia adalah makna kepanjangan setiap akronim tersebut. Akan tetapi,
bagaimana jika ada makna kepanjangan kata-kata yang membentuk akronim
tersebut digunakan pula untuk menyebut benda lainnya (referen lain)? Misalnya
contoh kata bemo yang dahulunya merupakan akronim becak motor. Sekarang ini,
ada pula istilah becak motor yang tidak sama makna dan referensinya dengan kata
bemo. Berdasarkan contoh ini, dapat diketahui bahwa ada hal-hal tertentu yang
menjadi dasar dalam menentukan sebuah kata dan maknanya.
Adanya pertanyaan-pertanyaan seperti yang dikemukakan sebelumnya
menandai adanya permasalahan-permasalahan yang menarik untuk dikaji seputar
akronim yang telah menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia. Permasalahan-
8
permasalahan ini perlu dikaji, diteliti, dan dijawab dalam rangka memberikan
gambaran mengenai perkembangan akronim, khususnya mengenai akronim yang
telah menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia. Untuk itulah, peneliti tertarik
untuk mengkaji akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, dapat dibuat
rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1.
Akronim apa saja yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia?
2.
Bagaimanakah pola-pola pembentukan akronim yang menjadi leksikon
dalam bahasa Indonesia?
3.
Bagaimanakah karakteristik akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia?
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu ingin mencapai hal-hal yang dirumuskan dalam
rumusan masalah, yaitu sebagai berikut.
1.
Menginventarisai akronim-akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia.
2.
Mendeskripsikan pola-pola pembentukan akronim yang menjadi leksikon
dalam bahasa Indonesia .
3.
Mendeskripsikan karakteristik akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia.
9
1. 4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun
praktis. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian tentang
akronim dalam bahasa Indonesia, khususnya tentang akronim yang telah menjadi
leksikon dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, secara praktis penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai dokumentasi tentang leksikon-leksikon bahasa
Indonesia yang berasal dari akronim. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga
dapat memberikan kontribusi mengenai perkembangan akronim di Indonesia.
1. 5 Batasan Istilah
Penjelasan istilah diberikan agar antara peneliti dan pembaca terjalin
kesamaan persepsi terhadap judul penelitian. Beberapa istilah yang terkait dengan
penelitian ini antara lain sebagai berikut. Akronim adalah bentuk pemendekan
yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang dapat ditulis dan
dilafalkan sebagai kata. Leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua
informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa. Sementara itu, bahasa
Indonesia yang dimaksud di sini adalah bahasa Indonesia dalam bentuk baku atau
bahasa Indonesia ragam standar, bukan berupa bahasa Indonesia ragam
nonstandar, misalnya bahasa gaul.
1. 6 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang akronim dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh
banyak peneliti. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti
10
tersebut relevan dengan penelitian ini. Beberapa penelitian terdahulu yang terkait
dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut.
Vries (1970) menulis tentang Indonesian Abbreviation and Acronyms.
Dalam tulisannya ini, Vries mengkaji abreviasi dan akronim dalam bahasa
Indonesia berdasarkan data dalam kamus Glossary of Abbreviations and
Acronyms used in Indonesia karya A. Mörzer Bruyns. Menurut Vries, abreviasi
tidak dapat terjadi dalam pemakaian bahasa lisan. Hal ini dikarenakan abreviasi
merupakan penggantian seluruh kata atau rangkaian kata menjadi beberapa huruf,
sebuah kata atau lebih. Misalnya bhb (berhubung), a.l (antara lain), dan k’tingan
(kepentingan. Sementara itu, akronim memuat pengertian tentang the shortening
‘pemendekan’, forms composed of initials (initialisms) ‘penyusunan bentuk inisial
(inisialisme)’, dan the letter-word ‘huruf-kata’. Dalam pemendekan, bentuk bunyi
suatu kata dipendekkan, misalnya pak (bapak), dik (adik), dan bu i (ibu). Dalam
inisialisme, huruf pertama dari sejumlah kata digabungkan untuk membentuk
gabungan huruf, misalnya F. D. R (Front Demokrasi Rakyat), M.B.I (Markas
besar Istimewa), dan H.B.J (Hans B. Jassin). Sementara itu, dalam huruf-kata,
beberapa huruf dari rangkaian kata diciptakan sebagaimana fonem bentuk bunyi
baru, misalnya Lipi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), saber (sapu bersih),
dan Pertamina (Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional). Pengertian yang
dikemukakan Vries tentang akronim ini bermanfaat dalam menyusun pengertian
akronim dalam penelitian ini.
Jones (1975) dalam Indonesia Circle 6 mengemukakan pemikirannya
tentang akronim dalam bahasa Indonesia dengan judul Acronyms in Bahasa
11
Indonesia. Dalam tulisannya ini, Jones mengkaji berbagai bentuk dan contohcontoh akronim dalam bahasa Indonesia. Berbagai bentuk dan contoh penggunaan
akronim dalam bahasa Indonesia yang dilakukan Jones memberikan gambaran
dalam penelitian ini mengenai bentuk-bentuk akronim. Selain itu, hal penting
yang juga diacu dalam penelitian ini adalah adanya akronim yang secara sintaksis
dan morfologi bernilai nomina, misalnya mahmilub (mahkamah militer luar biasa)
dapat menjadi verba, yaitu dapat ditambah afiks me-kan
sehingga menjadi
memahmilubkan. Sementara itu, abreviasi dapat merepresentasikan lebih dari satu
makna, misalnya KUHP yang merupakan singkatan dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dapat dimaknai juga sebagai Kasih Uang Habis Perkara.
Dardjowidjojo (1979) menulis tentang Acronymic Patterns In Indonesia dan
termuat dalam Pasific Linguistic Series C No. 45: South-East Asian Linguistic
Studies Vol. 3. Menurut Dardjowidjojo, meskipun sebagian besar akronim
ditemukan dalam bentuk tulis, namun banyak yang digunakan dalam bahasa lisan.
Hal ini dikarenakan akronim memperlihatkan kesesuaian dengan sistem
fonotaktik suatu bahasa. Dalam tulisannya ini, Dardjowidjojo tidak membedakan
pengertian antara akronim dengan singkatan. Menurutnya, secara garis besar
akronim dapat dibedakan atas akronim yang telah digunakan dalam kurun waktu
yang lama dan akronim yang diciptakan baru-baru ini. Sementara itu, pola
pembentukan akronim dapat dibedakan menjadi akronim dengan dasar silabel,
akronim dengan dasar grafem, dan akronim yang unik. Pola-pola pembentukan
akronim ini dapat dijadikan salah satu referensi pembentukan akronim yang
menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia.
12
Dalam The Indonesian Quarterly IX / 2, Smithies (1981) dengan tulisannya
yang berjudul Abbreviation and Acronyms in Journalese Indonesia mengkaji
abreviasi dan akronim dalam bahasa surat kabar di Indonesia. Menurut Smithies,
abreviasi dan akronim seringkali digunakan dalam bahasa surat kabar di
Indonesia. Hal penting yang diperoleh dari penelitian Smithies ini adalah akronim
dalam bahasa Indonesia cenderung dibentuk dari silabel pertama dari setiap unsur
pokok kata yang membentuknya, misalnya monas dan tapol yang merupakan
akronim dari monumen nasional dan tahanan politik. Selain itu, hal penting
lainnya yang diperoleh dari penelitian Smithies ini adalah penggunaan akronim
dalam surat kabar seringkali mengabaikan atau melupakan bentuk utuhnya.
Persamaan penelitian Smithies dengan penelitian ini adalah sumber datanya, yaitu
surat kabar. Sementara itu, dalam penelitian Smithies ini belum dikemukakan
mengenai akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia.
Manurung (2008) dalam tulisannya yang berjudul Akronim sebagai
Kekuatan Bahasa untuk Politik Pencitraan Diri membahas tentang penggunaan
akronim di bidang politik dalam rangka peningkatan citra diri politikus. Hal ini
dilandasi dari adanya kenyataan bahwa penggunaan akronim di bidang politik
sudah menjadi fenomena. Lewat akronim, politikus ingin meraih simpati rakyat
dan ingin menampilkan wajah yang positif. Akan tetapi, pada kenyataannya ada
akronim yang terkesan dipaksakan bahkan salah kaprah. Hasil dari penelitian
Manurung ini adalah akronim dapat meningkatkan citra diri, akronim diperlukan
dalam menarik simpati pemilih dalam pemilu, dan penggunaan akronim dibidang
politik ada yang memiliki kekaburan makna. Hal yang diacu dari penelitian
13
Manurung ini adalah munculnya akronim disebabkan masyarakat penutur
memerlukan bentukan yang singkat, padat, tidak rumit, tidak menimbulkan
keruwetan, dan enak diucapkan dan mudah diingat. Selain itu, pembentukan
akronim yang dijadikan untuk merepresentasikan identitas diri
merupakan
bentukan bahasa yang bermakna baik. Hal yang membedakan penelitian
Manurung dengan penelitian ini adalah cakupan akronim. Penelitian yang
dilakukan Manurung khusus mengkaji akronim dalam bidang politik yang
digunakan sebagai kekuatan pencitraan diri, sedangkan penelitian ini mencakup
akronim dalam semua bidang, yangmana akronim tersebut menjadi leksikon
dalam bahasa Indonesia.
Rusdiah (2011) dalam tulisannya yang berjudul Akronim: Salah Satu
Representasi Permainan Bahasa dalam jurnal Ilmiah Islamic Resources, volume 8
nomor 18/VIII/2011 mengemukakan bahwa akronim merupakan salah satu
representasi permainan bahasa yang semakin marak digunakan dalam berbagai
bidang dan aktivitas serta dari berbagai kalangan. Ada pandangan negatif yang
menyebutkan bahwa penggunaan akronim menunjukkan gejala kemalasan
pemakainya. Para penutur cenderung mengungkapkan tuturannya secara
ekonomis. Hal penting yang dapat dicatat dari penelitian Rusdiah ini adalah
bentuk akronim yang digunakan oleh penutur bahasa ada bermacam-macam dan
tujuannya juga bervariasi.
Ana (tanpa angka tahun) dalam tulisannya yang berjudul Akronim dalam
Bahasa Indonesia Tinjauan Linguistik dan Sosio-politis Perkembangannya
mengemukakan bahwa penggunaan akronim berkembang pesat dalam bahasa
14
Indonesia. Perkembangan itu, dapat berupa perkembangan secara linguistik
maupun sosio-politis. Secara linguistik, perkembangan itu merupakan hal wajar,
namun sering tidak taat asas sehingga berpengaruh pada keilmiahannya. Secara
sosiologis, akronim di samping berfungsi sebagai pemendekan frase atau nama,
akronim juga berfungsi sebagai semboyan dan media humor. Secara politis,
pelembagaan akronim didasarkan pada alasan: (a) mengkomunikasikan identitas
(daerah), (b) dorongan spiritual nasionalis dan religius, dan (c) pemitosan pada
masa lalu. Persamaan penelitian Ana dengan penelitian ini adalah tinjauan secara
linguistik terhadap perkembangan akronim dalam bahasa Indonesia. Hanya saja,
penelitian ini memfokuskan pada akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia.
Secara umum, persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
tersebut adalah penelitian tentang akronim. Namun, hal yang dikaji dalam
penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut. Penelitian ini akan
mengkaji tentang akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia, dimana
dalam penelitian-penelitian tersebut belum dilakukan.
1.7
Landasan Teori
Untuk mendukung penelitian ini digunakan beberapa teori yang dianggap
relevan, yang diharapkan dapat mendukung temuan pada saat penelitian agar
memperkuat teori dan keakuratan data. Teori-teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
15
1.7.1 Komponen Internal Bahasa
Komponen internal bahasa (Wijana, 2011: 13) adalah elemen-elemen
internal yang membentuk bahasa. Cabang-cabang ilmu bahasa yang objeknya
berkaitan dengan unsur internal bahasa antara lain fonologi, morfologi, sintaksis,
dan semantik.
1.7.1.1 Fonologi
Menurut Wijana (2011: 14), fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari seluk beluk bunyi bahasa. Sementara itu, menurut Verhaar (2008:
10), ilmu fonologi meneliti bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya. Tata bunyi
yang bersifat umum antara lain memuat pengertian fonotaktik (Alwi, dkk., 2003:
26).
Fonotaktik merupakan kaidah yang mengatur penjejeran atau penderetan
fonem dalam suatu morfem (Alwi dkk., 2003 : 28). Dengan demikian dapat
dikatakan pula bahwa fonotaktik merupakan sistem pengaturan fonem. Tiap
bahasa memiliki sistem sendiri-sendiri untuk menggabungkan fonem agar menjadi
suku kata dan kemudian kata. Fonotaktik merupakan sistem struktur fonem, tidak
hanya terbatas pada sistem pengaturan fonem sampai pada tataran morfem,
melainkan sampai pada tataran kata. Sementara itu, Kridalaksana (2008: 64-65)
menyatakan bahwa fonotaktik meliputi tiga hal, yaitu (1) urutan fonem yang
dimungkinkan dalam suatu bahasa, (2) deskripsi tentang urutan fonem tersebut,
dan (3) gramatika stratifikasi, yaitu sistem pengaturan dalam stratum fonemik.
Kaidah fonotaktik bahasa Indonesia adalah kaidah yang mengatur perjejeran
fonem dalam bahasa Indonesia (Alwi dkk., 2003: 28). Dalam bahasa lisan, kata
16
umumnya terdiri atas rentetan bunyi yang satu mengikuti yang lain. Bunyi-bunyi
itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu tidak bersifat
acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Fonem yang satu mengikuti fonem yang
lain ditentukan berdasar konvensi di antara para pemakai bahasa itu sendiri.
Menurut Kentjono (2005: 164), tiap bahasa mempunyai ciri khas dalam
fonotaktik, yakni dalam merangkai fonem untuk membentuk satuan fonologis
yang lebih besar, misalnya suku kata.
Dalam kaidah fonotaktik juga dikenal tentang gugus konsonan dan deret
konsonan. Gugus konsonan merupakan dua buah fonem konsonan yang berbeda
tetapi berada dalam sebuah silabel, sedangkan deret konsonan adalah dua buah
fonem konsonan yang berbeda yang berada dalam silabel yang berbeda namun
letaknya berdampingan (Chaer, 2009: 83-85).
1.7.1.2 Morfologi
Menurut Wijana (2011: 15), morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari seluk-beluk bentuk kata, sedangkan menurut Verhaar (2008: 11),
ilmu morfologi menyangkut struktur internal kata. Sementara itu, menurut
Ramlan, (2001: 21), morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata atau bagian dari ilmu
bahasa yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahanperubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatikal maupun fungsi semantis. Dari
definisi itu dapat diketahui bahwa morfologi meneliti soal-soal yang berhubungan
17
dengan bentuk kata. Perubahan-perubahan bentuk kata itu menyebabkan
terjadinya perubahan golongan dan arti kata (Ramlan, 2001: 20).
Proses perubahan bentuk kata seperti perubahan bentuk dasar menjadi
bentuk jadian disebut dengan proses morfologis (Wijana, 2011: 63). Proses
morfologis juga dapat didefinisikan sebagai proses pembentukan kata-kata dari
satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 2001: 51). Proses
morfologis mencakup komponen atau unsur pembentukan kata dan proses
pembentukan kata. Ujung dari proses morfologis adalah terbentuknya kata dalam
bentuk dan makna sesuai dengan keperluan dari satu tindak pertuturan. Bila
bentuk dan makna yang terbentuk dari satu proses morfologis sesuai dengan yang
diperlukan dalam pertuturan, maka bentuknya dapat dikatakan berterima, tetapi
jika tidak sesuai dengan yang diperlukan, maka bentuk itu dikatakan tidak
berterima. Keberterimaan atau ketidakberterimaan bentuk itu dapat juga karena
alasan sosial, namun alasan sosial masuk dalam kajian sosiolinguistik (Chaer,
2008: 3-4).
Proses morfologis dalam bahasa Indonesia meliputi empat hal, yaitu proses
pembubuhan
afiks
(afiksasi),
proses
pengulangan
(reduplikasi),
proses
pemajemukan, dan proses perubahan zero (Ramlan, 2001: 52). Khusus perubahan
zero, hanya terjadi pada sejumlah kata tertentu, misalnya kata makan, minum,
minta, dan mohon. Selain itu, proses morfologis mencakup juga abreviasi (Arifin
dan Junaiyah, 2009: 9; Kridalaksana, 2009: 12; Baryadi, 2011: 26).
Secara
umum,
proses
morfologis
dalam
digambarkan sebagai berikut (Baryadi, 2011: 38).
bahasa
Indonesia
dapat
18
Tabel 1. Proses Morfologis dalam Bahasa Indonesia
Masukan
Bentuk Dasar
- morfem asal
- kata jadian
- frasa
Proses
Proses Morfologis
- pengimbuhan
- pengulangan
- pemajemukan
- pemendekan
Hasil
Kata Jadian
- kata berimbuhan
- kata ulang
- kata majemuk
- kependekan
a. Afiksasi
Afiksasi (Wijana, 2011: 63; Verhaar, 2008: 98) adalah proses pembubuhan
atau peleburan afiks kepada bentuk dasar atau morfem dasar, sedangkan menurut
Kridalakasana (2008: 3), afiksasi adalah proses atau hasil penambahan afiks pada
akar, dasar, atau alas, dimana afiks adalah bentuk terikat yang bila ditambahkan
pada bentuk lain akan mengubah makna gramatikalnya. Afiks mencakup prefiks,
sufiks, infiks, dan konfiks. Prefiks atau awalan adalah afiks yang melekat di depan
bentuk dasar, misalnya meN-, ber-, ter-, se-, di-, ke-, peN-, pe-, dan per-. Sufiks
disebut juga akhiran, yaitu afiks yang melekat de belakang bentuk dasar,
misalnya –an, -kan, dan –i. Infiks atau sisipan adalah afiks yang diselipkan di
tengah bentuk dasar, seperti –el-, -em-, dan –el-. Sementara itu, gabungan prefiks
dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan disebut konfiks. Konfiks terletak di
depan dan di akhir bentuk dasar, misalnya ke-an, per-an, peN-an, ber-an, dan senya (Wijana, 2011: 58). Selain afiks-afiks tersebut, dalam bahasa Indonesia juga
dijumpai prefiks pra-, ke-, a-, maha-, dan para dan sufiks -nya, -wan, -wati, -is, man, -da, dan –wi (Ramlan, 2001: 58).
19
b. Reduplikasi
Reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun
sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak (Ramlan, 2001: 63).
Pernyataan yang senada diungkapkan oleh Wijana (2011: 64) yang menyatakan
bahwa reduplikasi adalah proses perulangan bentuk dasar, baik secara
keseluruhan, atau sebagian, baik dengan atau tanpa proses perubahan bunyi atau
pembubuhan afiks.
Berdasarkan definisi ini, dapat diketahui bahwa reduplikasi mempunyai
empat jenis. Pertama, reduplikasi penuh. Misalnya, mobil-mobil dan cepat-cepat.
Kedua, reduplikasi sebagian. Misalnya, berkata-kata dan menari-nari. Ketiga,
reduplikasi dengan perubahan bunyi. Misalnya, gerak-gerik dan serba-serbi.
Keempat, reduplikasi disertai dengan proses afiksasi. Misalnya, rumah-rumahan
dan setinggi-tingginya.
c. Pemajemukan
Pemajemukan adalah proses penggabungan bentuk dasar dengan bentuk lain
untuk membentuk kata yang baru (Wijana, 2011: 65). Bentuk jadian yang
merupakan hasil proses pemajemukan merupakan satu kesatuan dan disebut
sebagai kata majemuk.
Ciri-ciri kata majemuk adalah salah satu atau semua unsurnya berupa pokok
kata dan unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah
strukturnya. Contoh kata majemuk adalah anak kunci, daun pintu, dan kamar
mandi.
20
d. Abreviasi
Abreviasi meliputi berbagai jenis, antara lain akronimi (Kridalaksana, 2009:
13; Arifin dan Junaiyah, 2009: 9; Baryadi, 2011: 26). Sementara itu, Chaer (2007:
55) menyebut akronimi dengan istilah akronimisasi. Menurut Kridalaksana (2008:
5), akronimi adalah proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku
kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikitbanyak memenuhi kaidah fonotaktik suatu bahasa, sedangkan akronim adalah
kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang
ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa
bersangkutan.
Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan
suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret yang disingkat
(Finoza, 1993: 23). Misalnya mayjen adalah mayor jendral, rudal adalah peluru
kendali, dan sidak adalah inspeksi mendadak. Mengakronimkan berarti membuat
akronim atau menjadikan akronim. Istilah akronim dengan redaksi yang sama,
yaitu singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun
gabungan huruf dan suku kata dari deret suku kata yang diperlukan sebagai kata.
Dengan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa akronim merupakan salah satu
jenis singkatan. Namun, tidak semua singkatan disebut akronim, karena akronim
dapat dibaca seperti kata pada umumnya.
Akronim menurut Tarigan (1993: 172) dapat diklasifikasikan berdasarkan
bentuknya menjadi tiga macam yaitu (1) akronim dari huruf awal kata, misalnya
ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), IKIP (Institut Keguruan dan
21
Ilmu Pendidikan), dan sebagainya; (2) akronim dari suku kata atau penggalan
kata, misalnya supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), mendikbud (Mentri
Pendidikan dan Kebudayaan), puslitbang (Pusat Penelitian dan Pengembangan),
dan sebagainya; (3) akronim dari huruf awal kata dan suku kata atau penggalan
kata, misalnya akabri (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), kopertis
(Koordinator Perguruan Tinggi Swasta), korpri (Korp Pegawai Indonesia), dan
sebagainya.
Menurut Chaer (2008: 237), belum ada aturan atau kaidah tertentu yang
digunakan dalam pembentukan akronim. Namun, dari data-data akronim yang
dikumpulkannya, pembentukan akronim dapat diklasifikasikan menjadi
enam
cara, yaitu sebagai berikut. Pertama, pengambilan fonem-fonem pertama dari
kata-kata yang membentuk konsep itu. Misalnya IDI yang merupakan akronim
dari Ikatan Dokter Indonesia. Kedua, pengambilan suku kata pertama dari semua
kata yang membentuk konsep itu. Misalnya, orpol yang merupakan akronim dari
organisasi politik. Ketiga, pengambilan suku kata pertama ditambah dengan huruf
pertama dari suku kata kedua dari setiap kata yang membentuk konsep itu.
Misalnya, depkes yang merupakan akronim dari departemen kesehatan. Keempat,
pengambilan suku kata yang dominan dari setiap kata yang mewadahi konsep itu.
Misalnya, bintal yang merupakan akronim dari pembinaan mental. Kelima,
pengambilan suku kata tertentu disertai dengan modifikasi yang tampaknya tidak
beraturan, namun masih dengan memperhatikan keindahan bunyi. Misalnya purek
yang merupakan akronim dari pembantu rektor. Keenam, pengambilan unsurunsur kata yang mewadahi konsep itu, tetapi sukar disebutkan keteraturannya.
22
Misalnya, insert yang merupakan akronim dari informasi selebritis (Chaer, 2008:
237-238).
Sebagaimana Chaer, Kridalaksana (2009: 169-172) juga mengklasifikasikan
pola-pola pembentukan akronim. Pola-pola pembentukan akronim menurut
Kridalaksana adalah sebagai berikut. 1) Pengekalan suku pertama dari tiap
komponen. 2) Pengekalan suku pertama komponen pertama dan pengekalan kata
seutuhnya. 3) Pengekalan suku kata terakhir dari tiap komponen. 4) Pengekalan
suku pertama dari komponen pertama dan kedua serta huruf pertama dari
komponen selanjutnya. 5) Pengekalan suku pertama tiap komponen dengan
pelesapan konjungsi. 6) Pengekalan huruf pertama tiap komponen. 7) Pengekalan
huruf pertama tiap komponen frase dan pengekalan dua huruf pertama komponen
terakhir. 8) Pengekalan dua huruf pertama tiap komponen. 9) Pengekalan tiga
huruf pertama tiap komponen. 10) Pengekalan dua huruf pertama komponen
pertama dan tiga huruf pertama komponen kedua disertai pelesapan konjungsi.
11) Pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan ketiga serta pengekalan
tiga huruf pertama komponen kedua. 12) Pengekalan tiga huruf pertama
komponen pertama dan ketiga serta pengekalan huruf pertama komponen kedua.
13) Pengekalan tiga huruf pertama tiap komponen serta pelesapan konjungsi. 14)
Pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan tiga huruf pertama
komponen kedua. 15) Pengekalan empat huruf pertama tiap komponen disertai
pelesapan konjungsi. 16) Pengekalan berbagai huruf dan suku kata yang sukar
dirumuskan.
23
Berdasarkan uraian tentang pengertian dan cara pembentukan akronim
tersebut, dapat dibuat rumusan tentang akronim.
Akronim merupakan
pemendekan dari dua komponen atau lebih yang dapat dilafalkan dan dituliskan
sebagai kata. Komponen tersebut ada yang mengalami pengambilan fonem.
Fonem yang diambil pada komponen itu minimal satu suku atau minimal satu
fonem pada salah satu komponen dan minimal dua fonem pada komponen
lainnya. Adanya jumlah ketentuan fonem yang diambil pada komponen ini
dilakukan untuk membedakan dengan singkatan. Jika pengambilan fonem yang
dilakukan pada setiap komponen hanya satu fonem maka merupakan singkatan.
Akronim terdapat dalam semua bidang keilmuan. Kata-kata yang dihasilkan
dari proses akronimi ini antara lain terdapat dalam bidang kepolisian, kemiliteran,
pendidikan, olahraga, ekonomi, kesenian, dan sebagainya Oleh karena itu,
biasanya akronim hanya dipahami oleh penggunanya. Namun, tidak sedikit
akronim bahasa Indonesia yang telah menjadi kosakata umum, seperti muntaber,
wagub, hansip, dan sebagainya (Chaer, 2008: 239).
1.7.1.3 Sintaksis
Sintaksis (Wijana, 2011: 15) adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
penggabungan satuan-satuan lingual yang berupa kata menjadi satuan yang lebih
besar. Sintaksis dapat juga didefinisikan sebagai ilmu yang menyangkut susunan
kata-kata di dalam kalimat (Verhaar, 2008: 11).
Kata-kata yang tersusun dalam kalimat dalam menduduki atau mengisi
fungsi tertentu. Fungsi adalah petak atau tempat kosong, seperti subjek (S),
24
predikat (P), objek (O), pelengkap (Pl), dan keterangan (K) (Wijana, 2011: 104).
Pengisi fungsi dalam kalimat disebut dengan kategori. Kategori sintaksis utama
dalam bahasa Indonesia adalah verba atau kata kerja, nomina atau kata benda,
adjektiva atau kata sifat, dan adverbia atau kata keterangan (Alwi, dkk., 2003: 36).
Kridalaksana (1986: 49-79) mendefinisikan kategori sintaksis utama
tersebut sebagai berikut. Sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba dari
perilakunya dalam frase, yakni kemungkinannya didampingi partikel tidak dan
tidak dapat didampingi dengan partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti
sangat, lebih, atau agak. Nomina adalah kategori yang secara sintaksis tidak
mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak dan mempunyai
potensi untuk didahului oleh partikel dari. Adjektiva adalah kategori yang
ditandai oleh kemungkinannya untuk bergabung dengan partikel tidak,
mendampingi nomina, atau didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak,
mempunyai ciri-ciri morfologis, atau dibentuk menjadi nomina dengan konfiks
ke-an. Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi adjektiva, numeralia,
atau proposisi dalam kontruksi sintaksis.
Sementara itu, menurut Wojowasito (1976: 30), jenis kata dalam bahasa
Indonesia memiliki ciri-ciri tertentu. Kata benda mempunyai ciri-ciri seperti lazim
menduduki fungsi subjek dan objek, lazim diikuti oleh kata itu, dapat didahului
oleh proposisi, dapat diikuti oleh nama pribadi, dapat didahului oleh kata
bilangan, dan dapat didahului atau diikuti oleh sesuatu sifat. Ciri-ciri kata kerja
adalah lazim menduduki fungsi predikat, lazim mengikuti subjek dan mendahului
objek, dapat diikuti oleh preposisi, dapat digunakan untuk perintah, dapat
25
mengalami perubahan genus, dan dapat didahului oleh kata-kata boleh, akan,
hendak, sedang, telah, dan sambil. Kata sifat memiliki ciri-ciri seperti lazim
mengikuti kata bedna sebagai kualifikasi atau penjelasan, dapat dimasukkan ke
dalam imbangan pangkat-pangkat perbandingan dengan menyertakan kata-kata
seperti lebih dan paling, tidak dapat digunakan untuk perintah, dan tidak dapat
didahului oleh kata hendak, akan, boleh, sedang, dan telah. Sementara itu, kata
keterangan memiliki ciri dapatmenduduki fungsi keterangan sekunder atau kedua,
yaitu keterangan atas keterangan.
1.7.1.4 Semantik
Semantik menurut Wijana (2011: 15) adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari seluk-beluk makna satuan kebahasaan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Verhaar (2008: 13) yang menyatakan bahwa ilmu semantik menyangkut
arti atau makna.
a. Pengertian Makna
Makna merupakan pokok kajian dalam bidang ilmu semantik. Sugono, dkk.
(2008: 1398) mendefinisikan semantik sebagai ilmu yang mengkaji tentang
makna, yaitu suatu konsep, gagasan, ide, atau pengertian yang berada secara padu
bersama satuan kebahasaan yang menjadi penandanya, yaitu kata, frasa, atau
kalimat. Makna berbeda dan tidak identik dengan penanda. Setiap penanda yang
ada dalam suatu bahasa diciptakan oleh masyarakat tuturnya secra arbitrer dan
disepakati penggunanya secara bersama-sama sebagai sesuatu yang bersifat
konvensional. Jadi, makna adalah konsep, gagasan, ide, atau pengertian yang oleh
26
penutur suatu bahasa ditandai secara arbitrer dengan bentuk-bentuk tertentu. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Ullman (1972: 62) yang menyatakan bahwa makna
merupakan hubungan timbal balik antara name (merujuk pada kata) dan sense
(merujuk pada makna).
b. Makna Akronim
Akronim dibentuk dari komponen-komponen berupa kata. Kata-kata
tersebut diambil beberapa fonemnya untuk dibentuk menjadi kata abru dengan
pola-pola tertentu. Sehingga, makna yang ada pada akronim adalah makna
kepanjangan kata-kata yang membentuk akronim tersebut (Parera, 2001: 152).
Hal ini mengingat bahwa akronimisasi adalah salah satu proses pembentukan kata
melalui proses pembentukan bukan gramatikal (Chaer, 2007: 54).
c. Analisis Komponensial
Analisis komponensial adalah analisis semantik leksikal terhadap unsurunsur leksikal itu (Verhaar, 2008: 392). Analisis komponen makna digunakan
untuk mengetahui dan menyusun komponen makna dari sebuah kata (Nida, 1975:
229). Dalam analisis komponensial, digunakan beberapa sistem notasi. Tanda (+)
biasanya dipakai untuk menandai adanya komponen makna tertentu dan tanda (-)
dipakai untuk menandai tidak adanya komponen makna tersebut. Tanda (*)
dipakai untuk menandai komponen makna yang tidak berfungsi dan tanda (Ø)
dipakai untuk menandai adanya komponen makna yang bersifat fungsional tetapi
tidak merupakan unsur definisi satuan makna butir leksikal (Lehrer, 1974: 62).
27
1.7.2 Leksikon
Uraian tentang leksikon ini memuat dua hal, yaitu pengertian leksikon dan
leksikon bahasa Indonesia. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut.
1.7.2.1 Pengertian Leksikon
Dalam KBBIPB (2012: 805), leksikon dideskripsikan sebagai 1) kosakata;
2) kamus yang sederhana; 3) daftar istilah dalam suatu bidang disusun menurut
abjad dan dilengkapi dengan keterangannya; 4) komponen bahasa yang memuat
semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; dan 5)
kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa. Sementara itu, menurut Kridalaksana
(2008: 142), leksikon dapat diartikan sebagai 1) komponen bahasa yang memuat
semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; 2) kekayaan
kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa, kosakata,
perbendaharaan kata, dan daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan
penjelasan yang singkat dan praktis. Dari pengertian-pengertian ini dapat
diketahui bahwa leksikon berkaitan dengan kata dan kosakata.
Menurut Ramlan (2001: 33), kata adalah satuan bebas yang paling kecil,
atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan kata, sedangkan
Kridalaksana (2008: 110) mendefinisikan kata sebagai morfem atau kombinasi
morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat
diujarkan sebagai bentuk yang bebas; satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri
Sementara itu, kosakata adalah kumpulan kata; khazanah kata; leksikon
(Kridalaksana, 2008: 137).
28
1.7.2.2 Leksikon Bahasa Indonesia
Leksikon bahasa Indonesia adalah kekayaan kata dalam bahasa Indonesia.
Kekayaan ini diinventaris dalam kamus, misalnya Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Leksikon-leksikon dalam bahasa Indonesia berasal dari berbagai
sumber, antara lain bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia
(Chaer, 2007: 14), bahasa asing, dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Sementara itu, menurut Moeliono (dalam Poedjosoedarmo, 2002: 14), bahasa
Indonesia mendapatkan kosakatanya melalui proses-proses seperti mengaktifkan
kembali kata-kata Melayu Kuno, membuat gabungan kata dari bahasa Melayu
yang ada, menciptakan akronim dari gabungan kata atau frase, mengadopsi kata
dari bahasa regional (daerah), dan mengadopsi kata dari bahasa asing.
Leksikon bahasa Indonesia mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan zaman dan perkembangan pemakaiannya. Perkembangan ini dapat
terjadi antara lain dalam rangka melengkapi dan mencukupi kebutuhan leksikon
agar dapat digunakan dalam segala bidang. Salah satu perkembangan leksikon
bahasa Indonesia adalah munculnya kata-kata yang berasal dari proses akronimi,
seperti hansip (pertahanan sipil), ruko (rumah toko), dan rutan (rumah tahanan)
(Chaer, 2007: 22). Selain itu, perkembangan bahasa Indonesia juga dilakukan
untuk mengefektifkan, meringkaskan, dan memadatkan strukturnya. Dalam
tingkat leksikon misalnya, banyak kata pinjaman monosilabel diadopsi dan
banyak kata atau frase dijadikan akronim (Poedjosoedarmo, 2004: 84).
29
1.8
Metode Penelitian
Penelitian tentang akronim yang telah menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan.
Djajasudarma (1993: 8) mengatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk
membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang
diteliti. Moleong (2009: 6) mendeskripsikan penelitian kualitatif sebagai
penelitian untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan, secara holistik, dan dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Data-data dalam penelitian kualitatif
dapat dihitung sebagaimana data sensus, namun analisisnya bersifat kualitatif
(Strauss&Corbin, 2007: 4).
Menurut Strauss dan Corbin, peneliti dari University of California, San
Fransisco, Amerika Serikat (2007: 7), pada dasarnya ada tiga unsur utama dalam
penelitian kualitatif, yaitu data, prosedur analisis dan interpretasi, dan laporan
tertulis atau lisan.
1.8.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak dengan
teknik baca catat. Metode simak berarti peneliti melakukan pengamatan atau
observasi terhadap objek kajian. Pengamatan dilakukan pada penggunaan akronim
dalam bahasa lisan dan tulis.
30
Dalam bahasa lisan, dilakukan pengamatan pada peristiwa komunikasi
sehari-hari yang terjadi di sekitar penulis dan pada peristiwa komunikasi lisan di
media elektronik, seperti televisi dan radio. Pengamatan ini dilakukan selama
bulan Desember 2012. Pengamatan pada penggunaan bahasa di televisi dilakukan
pada acara Seputar Indonesia Pagi di RCTI. Sementara itu, untuk radio dilakukan
penyimakan pada acara Citra Kota di radio Geronimo FM, Info 939 di Persatuan
FM, dan Warta Nada di Retjobuntung FM.
Dalam bahasa tulis, dilakukan pengamatan pada penggunaan akronim dalam
bentuk tulisan. Sementara itu, teknik baca dilakukan dengan cara membaca
akronim-akronim
yang
terdapat
dalam
kamus
akronim
sekaligus
membandingkannya dengan leksikon-leksikon dalam KBBIPB, selanjutnya
mencatat akronim-akronim yang telah terdaftar dalam KBBIPB dalam instrumen
penelitian. Kamus akronim yang digunakan adalah Glossary of Abreviations and
Acronyims Used in Indonesia (Bruyns, 1970), Himpunan Singkatan dan Akronim
Disertai Keterangan (Maulana, 1987), Kamus Singkatan dan Akronim, Baru dan
Lama (Winarno, 1991), dan Kamus Akronim, Inisialisme, dan Singkatan (Parsidi,
1992). Selain itu, digunakan pula KBBIPB. Selain cara tersebut, dilakukan pula
observasi terhadap penggunaan akronim di buku dan media massa berbahasa
Indonesia. Media massa yang digunakan berupa media massa cetak dan elektronik
atau portal. Media massa tersebut adalah Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, dan
Kompas. Sementara itu, media massa elektronik yang dimaksud adalah
www.krjogja.com, dan www.kompas.com. Pada kedua portal ini, selain dapat
dilakukan pengamatan terhadap penggunaan bahasa terutama akronim pada
31
tulisan-tulisannya, dapat dilakukan juga pencarian tentang penggunaan akronim
tertentu dengan memanfaatkan fasilitas pencarian (search).
Pengamatan terhadap penggunaan akronim diberbagai peristiwa komunikasi
lisan dan penggunaan akronim di buku dan media massa berbahasa Indonesia
dilakukan untuk menjaring data akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia tetapi belum terdaftar dalam KBBIPB. Penjaringan data dengan cara ini
mengacu pada kisi-kisi pedoman observasi yang telah dibuat. Kisi-kisi ini memuat
indikator sebagai berikut. Akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia tetapi belum terdaftar dalam bahasa Indonesia adalah akronim yang
telah menjadi kosakata umum atau kata-kata populer, yaitu telah memasyarakat
dan digunakan secara luas, dimungkinkan penggunaannya tanpa disertai
kepanjangan dari akronim tersebut; bukan proper name; dan dimungkinkan dapat
dikenai proses morfologis, misalnya afiksasi.
1.8.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data sebagaimana yang diungkapkan Moleong (2009: 280) berarti
bahwa analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar.
Sementara itu, metode yang digunakan dalam analisis data penelitian ini
yaitu metode padan dan metode agih atau distribusional. Alat penentu dalam
metode padan berada di luar bahasa (Djajasudarma, 1993: 58), yaitu di luar,
terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan
(Sudaryanto, 1993: 13). Dalam metode padan digunakan teknik padan fonetikal,
32
ortografis, referensial, dan translasional. Sementara itu, dalam metode kajian
distribusional digunakan unsur bahasa itu sendiri sebagai alat penentunya
(Djajasudarma, 1993: 60). Metode ini mempunyai teknik dasar dan teknik
lanjutan. Teknik dasar dalam metode ini yaitu teknik bagi unsur langsung.
Sementara itu, teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
bottom up, balik, dan substitusi.
Teknik padan fonetikal untuk menentukan karakteristiknya berdasarkan
kaidah fonotaktik. Teknik padan fonetikal dan ortografis digunakan untuk
mendeskripsikan karakteristik akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia berdasarkan pola pembentukan akronim. Sementara itu, teknik bottom
up dan referensial digunakan untuk menganalisis karakteristik akronim yang telah
menjadi leksikon berdasarkan sistem afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan.
Teknik balik digunakan untuk menentukan posisi yang dapat diduduki dalam
kalimat. Teknik padan referensial dan substitusi digunakan untuk menentukan
kelas kata. Teknik padan referensial dan translasional digunakan untuk
menganalisis makna akronim yang telah menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia.
1.8.3 Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode penyajian informal
dan formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan menggunakan
kata-kata biasa, sedangkan metode penyajian formal adalah perumusan dengan
tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993: 145).
33
1.9
Sistematika Penyajian
Laporan penelitian akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut. Bab I
menyajikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, batasan istilah, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II menyajikan daftar akronim
yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia beserta penggunaannya. Bab III
menyajikan pola-pola pembentukan akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa
Indonesia. Bab IV menyajikan karakteristik akronim yang telah menjadi leksikon
dalam bahasa Indonesia. Karakteristik ini dapat dilihat berdasarkan kaidah
fonotaktik akronim, proses morfologis yang dapat dikenai pada akronim, kelas
kata pada akronim, posisi yang dapat diduduki akronim dalam kalimat, dan makna
akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia. Bab V menyajikan
kesimpulan dan saran. Sementara itu, bagian lampiran menyajikan akronimakronim
yang
telah
menjadi
leksikon
dalam
bahasa
Indonesia
dan
kepanjangannya serta contoh pemakaiannya, pola-pola pembentukan akronim
yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia, dan kaidah fonotaktik silabel
pada akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia.
Download