1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan dunia perdagangan dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan
dari
sarana
pengangkutannya.
Faktor
sarana
pengangkutan
tersebut
akan
mempengaruhi lancar tidaknya perdagangan. Jika sarana pengangkutan memadai,
maka perdagangan pun akan berjalan dengan lancar, sedangkan jika sarana
pengangkutannya sangat minim sudah dapat dipastikan proses perdagangan akan
terhambat.
Pengangkutan sebagai alat fisik merupakan bidang yang sangat vital dalam
kehidupan
masyarakat.
Dikatakan
sangat
vital
karena
keduanya
saling
mempengaruhi, dan menentukan dalam kehidupan sehari-hari. Pengangkutan atau
sistem transportasi itu sendiri mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis
dalam memperlancar arus barang dan lalulintas orang yang timbul sejalan dengan
perkembangan masyarakat yang semakin tinggi mobilitasnya, sehingga menjadikan
pengangkutan itu sebagai suatu kebutuhan bagi masyarakat.
Meningkatnya kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi, maka sedikit
banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan di bidang pengangkutan itu sendiri
yang mendorong perkembangan dibidang teknologi, sarana dan prasarana
pengangkutan, ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang pengangkutan, serta
hukum pengangkutan, disamping tidak dapat dihindari pula timbulnya berbagai
permasalahan yang diakibatkan dengan adanya pengangkutan itu.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Transportasi yang semakin maju dan lancar, sudah pasti akan menunjang
pelaksanaan pembangunan yaitu berupa penyebaran kebutuhan pembangunan,
pemerataan pembangunan dan distribusi hasil pembangunan di berbagai sektor ke
seluruh pelosok tanah air, misal sektor industri, perdagangan dan pendidikan.
Transportasi ditinjau dari sudut geografis, dapat dibagi ke dalam beberapa jenis:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Angkutan antar benua.
Angkutan antar kontinental.
Angkutan antar pulau.
Angkutan antar kota.
Angkutan antar daerah.
Angkutan di dalam kota (intra city transportation atau urban transportation).1
Jika dilihat dari sudut teknis dan angkutannya, maka transportasi dapat pula
dirinci menurut jenisnya sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Angkutan jalan raya atau Highway transportation (road transportation).
Pengangkutan rel (rail transportation).
Pengangkutan melalui air di pedalaman (inland transportation).
Pengangkutan pipa (pipe line transportation).
Pengangkutan laut dan samudera (ocean transportation).
Pengangkutan udara (transportation by air atau air transportation).2
Sedangkan secara garis besarnya moda pengangkutan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Pengangkutan darat
a. Pengangkutan melalui jalan (raya) yang diselenggarakan oleh perusahaan
angkutan jalan raya.
b. Pengangkutan dengan kereta api.
2. Pengangkutan laut.
3. Pengangkutan udara.3
1
Rustian Kamaluddin, Ekonomi Transportasi Karasteristik, Teori, dan Kebijakan, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 16.
2
Ibid., hal. 17.
3
Ridwan Khairandy, dkk., Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Gama Media, Yogyakarta,
1999, hal. 196.
Universitas Sumatera Utara
3
Pentingnya transportasi tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan
akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan ke seluruh pelosok
tanah air dan luar negeri. Karena saat tranportasi berfungsi untuk mempertemukan
barang yang diproduksi di suatu tempat dengan konsumen yang membutuhkan.
Peran transportasi pada masa sekarang ini jelas sangat dibutuhkan, terutama
kebutuhan bagi kalangan pengusaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dalam
pelaksanaannya transportasi dapat ditempuh melalui darat dengan jasa angkutan
seperti gerobak, truk, mobil penumpang, sado, bajaj, kereta api, becak dan jasa
angkutan laut dengan menggunakan kapal, kapal laut, kapal motor, kapal sungai,
speed boat, sedangkan jasa angkutan udara dengan menggunakan pesawat udara dan
helikopter.
Peranan pengangkutan tidak hanya sebagai alat fisik, yaitu alat yang
dipergunakan membawa barang-barang yang diperdagangkan dari produsen ke
konsumen, penyalur kepada penerima barang, namun pengangkutan dapat juga
sebagai alat penentu suatu nilai harga dari barang. Hal ini dikarenakan barang dapat
dipindahkan dari tempat yang satu ke tempat yang lain yang membutuhkan barang
tersebut. Seperti prinsip ekonomi yang menyatakan dimana barang itu berlebihan
maka nilainya akan turun, sebaliknya dimana barang itu langka maka harga akan
melambung tinggi. Dengan demikian, adanya jasa pengangkutan diharapkan adanya
penyamarataan pembagian keperluan terhadap barang menurut keadaannya dan juga
pemerataan harga di seluruh lokasi kegiatan ekonomi masyarakat.
Penggunaan jasa pengangkutan juga akan dapat menentukan harga dari
suatu barang. Hal ini disebabkan nilai barang akan bertambah dengan adanya
Universitas Sumatera Utara
4
tambahan biaya pengangkutan dari produsen ke konsumen. Semakin besarnya biaya
pengakutan barang dari produsen ke konsumen, maka semakin tinggi nilai harga
barang tersebut.
Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkat dan
membawa, memuat atau mengirimkan. “Pengangkutan artinya usaha membawa,
mengantar atau memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat yang
lain”.4
Beberapa aspek yang terkait dalam penyelenggara pengangkutan, yaitu:
1. Pelaku, yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Pelaku ini ada yang
berupa badan usaha seperti perusahaan pengangkutan, ataupun perusahaan
jasa pengiriman barang, dan ada pula yang berupa manusia pribadi seperti
buruh pengangkutan.
2. Alat pengangkutan, yaitu alat yang digunakan untuk menyelenggarakan
pengangkutan. Alat ini digerakkan secara mekanik dan memenuhi syarat
undang-undang, seperti kendaraan bermotor, kapal laut, kapal udara, derek
(crane).
3. Barang/penumpang, yaitu muatan yang diangkut. Barang muatan yang
diangkut adalah barang perdagangan yang sah menurut undang-undang.
Dalam pengertian barang termasuk juga hewan.
4. Perbuatan yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan
sampai dengan penurunan di tempat tujuan yang ditentukan.
5. Fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan dari nilai barang ataupun
penumpang
6. Tujuan pengangkutan, yaitu sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukan
dengan selamat, biaya pengangkutan lunas.5
Kewajiban pengangkut yaitu untuk menyelenggarakan suatu pengangkutan
barang dari tempat pemuatan sampai ke tempat tujuan dengan selamat, artinya disini
telah terjadi perikatan antara para pihak. Para pihak tersebut kemudian terikat
4
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 45.
5
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1991, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
5
dengan suatu perjanjian. Perjanjian itu lahir sejak tercapainya kata sepakat, yang
kemudian disertai dengan suatu persyaratan yang nyata, yaitu berupa penyerahan dari
objek atau berupa barang yang menjadi tujuan utama dari perjanjian tersebut dan
selanjutnya akan diserahkan pada pemilik barang ditempat tujuannya.
Pengangkutan bertujuan untuk menyangkut kebutuhan manusia dalam
memenuhi kehidupannya sehari-hari. Salah satu cara pemenuhan kebutuhan itu
adalah dengan memindahkan atau mengirimkan barang dari suatu tempat ke tempat
lainnya. Pengangkutan dengan mengirimkan barang bisa dilakukan dengan darat dan
udara. Barang-barang yang akan dikirimkan itu bisa berupa perangkat keras seperti,
pupuk, sembako dan juga perangkat lunak baik itu surat atau dokumen yang menjadi
objek pengangkutan.
Dalam perjanjian pengangkutan, pihak pengangkut telah menjamin dan
bertanggungjawab terhadap keselamatan dari barang milik pengirim. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 90 KUHDagang, yang menyatakan bahwa:
Surat muatan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan
pengangkut atau juragan kapal, dan meliputi selain apa yang mungkin menjadi
persetujuan antara pihak-pihak bersangkutan, seperti misalnya jangka waktu
penyelenggaraan pengangkutannya dan penggantian kerugian dalam hal
kelambatan, juga meliputi:
1. Nama dan berat atau ukuran barang-barang yang harus diangkut beserta
merek-mereknya dan bilangannya.
2. Nama yang dikirimi barang-barang itu.
3. Nama dan tempat tinggal pengangkut atau juragan kapal.
4. Jumlah upah pengangkutan.
5. Tanggal penandatanganan.
6. Penandatanganan pengirim atau ekspeditur.
Surat muatan harus dicatat dalam daftar harian oleh ekspeditur.
“Interaksi yang terjadi dalam kebutuhan pengangkutan acapkali dibuat
dalam suatu bentuk perjanjian. Perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana
Universitas Sumatera Utara
6
seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang berjanji untuk
melaksanakan suatu hal”.6
Pengangkutan dilakukan karena nilai barang akan lebih tinggi di tempat
tujuan dari pada di tempat asalnya. Oleh karena itu pengangkutan dikatakan memberi
nilai terhadap barang yang diangkut. Nilai itu akan lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan. Nilai yang diberikan berupa nilai tempat (place utility) dan nilai waktu
(time utility). ”Kedua nilai tersebut diperoleh jika barang yang diangkut ketempat
dimana nilainya lebih tinggi dan dapat dimanfaatkan tepat pada waktunya. Dengan
demikian pengangkutan dapat memberikan jasa kepada masyarakat yang disebut
jasa angkutan”.7
Banyaknya kebutuhan akan jasa pengangkutan menyebabkan banyaknya
bermunculan perusahaan pengangkutan. Dalam hubungan antara perusahaan
pengangkutan sebagai pihak pengangkut dengan pihak yang akan mengirimkan
barang, muncullah suatu perjanjian pengangkutan yang bersifat timbal balik, ”dimana
pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang
dari dan ke tempat tujuan tertentu dan pihak pengirim membayar biaya/ongkos
angkutan sebagaimana yang disetujui bersama”.8
Pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan
dan pengiriman barang dari suatu tempat ke tempat tujuan yang telah disepakati
dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya
6
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994, hal. 2.
Muchtaruddin Siregar, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, FE UI,
Jakarta, 1981, hal. 6.
8
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hal. 21.
7
Universitas Sumatera Utara
7
pengiriman yang telah diperjanjikan dan pengirim akan diberikan suatu tanda bukti
bahwa barang yang akan dikirim melalui jasa pengangkutan itu sudah diterima
dengan baik.
Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian tertulis yang dibuat oleh
salah satu pihak dalam perjanjian. ”Dalam perjanjian baku salah satu pihak tidak
memiliki sedikit kesempatan untuk bernegosiasi mengubah klausula-klausula yang
sudah dibuat oleh lawannya, seperti dalam klausula ganti kerugian dan cara
penyelesaian perselisihan yang tidak dapat ditawar lagi”.9
Perjanjian baku digunakan juga dalam perjanjian pengangkutan dimana
pihak pengangkut telah menyiapkan terlebih dahulu klausula-klausula dalam
perjanjian dan pihak pengirim hanya bisa menyetujuinya tanpa memiliki kesempatan
untuk bernegosiasi mengubah klausula-klausula yang dibuat oleh pihak pengangkut.
Penggunaan perjanjian baku ini bukan tanpa masalah apabila dihubungkan
dengan asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi
perjanjian yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan
dan kedua belah pihak yang berjanji berusaha untuk mencapai kesepakatan dalam
membuat perjanjian melalui proses negosiasi.
Perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara para
pihak yang mempunyai kedudukan seimbang, sedangkan dalam perjanjian baku,
kebebasan berkontrak tersebut patut dipertanyakan karena dapat dikatakan bahwa
9
Razif Novwan & Putranto Law firm, Perjanjian Pengangkutan (Contract Of Carriage),
http:// www. rnplawfirm.com/ ?p=publication&id=6&title=perjanjian-pengangkutan- %28transportasilaut%29, diakses tanggal 11 Maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
8
dalam perjanjian baku tidak ada kesetaraan kedudukan yang seimbang antara para
pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Perjanjian pengangkutan barang yang dibuat berdasarkan atas kebebasan
berkontrak juga terjadi karena adanya kesepakatan antara para pihak. “Sehingga
menimbulkan hubungan hukum antara 2 (dua) orang atau lebih, berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntuk hak dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.10
Berdasarkan perjanjian pengangkutan tersebut maka pihak pengangkut dan
pihak pengirim mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya. Kewajiban
pokok pihak pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang dari tempat
pemuatan ke tempat tujuan dengan selamat. Sebagai imbalan atas penyelenggaraan
pengangkutan tersebut, maka pihak pengirim berkewajiban membayar biaya
pengangkutan sesuai dengan kesepakatan. “Apabila pengangkut melakukan kesalahan
dalam penyelenggaraan pengangkutan yang menimbulkan kerugian pihak pengirim,
maka pihak pengangkut bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian”.11
Pertanggungjawaban pihak dalam pengangkut diatur dalam Pasal 193 ayat 1
Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu:
”Perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan
angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan
oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.”
10
11
Subekti, Op.cit., hal. 1.
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hal.76.
Universitas Sumatera Utara
9
Ganti
rugi
yang
harus
diberikan
meliputi
biaya
yaitu
segala
pengeluaran/perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh pengirim, rugi
yaitu kerugian yang terjadi karena kerusakan barang-barang kepunyaan pengirim
yang diakibatkan oleh kesalahan pengangkut, dan bunga yaitu kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan/dihitung oleh pengirim.
Pada kenyataannya, masih ada pihak pengangkut yang melakukan pembatasan
tanggung jawab dalam pemberian ganti rugi kepada pengirim jika muncul kerugian
yang diakibatkan oleh kesalahan pengangkut dan hal tersebut dituangkan dalam
perjanjian baku yang dibuat oleh pihak pengangkut.
Bahkan ada pula pengangkut yang tidak mencantumkan klausula tentang
tanggung jawabnya dalam pemberian ganti rugi tersebut, sehingga jika muncul
kerugian akibat kesalahan pengangkut maka pengangkut tidak bertanggung jawab
karena menurutnya hal itu tidak diperjanjikan dalam perjanjian pengangkutannya.
Kegiatan pengangkutan banyak terjadi dalam masyarakat. Semakin hari
masyarakat membutuhkan proses kegiatan pengangkutan yang lebih cepat dan lebih
aman bagi barang yang akan mereka kirim. Dengan melihat kebutuhan masyarakat
tersebut
banyak
pengusaha
mendirikan
usaha-usaha
pengangkutan
dengan
memberikan fasilitas pelayanan yang saling bersaing.
Sebagai salah satu perusahaan pengangkutan yang berada di Kota Medan,
CV. Asi Murni yang berdiri sejak tahun 1987, yang kegiatan usahanya adalah
melayani jasa pengangkutan barang melalui darat dengan tujuan kota-kota yang
berada di Propinsi Sumatera Utara maupun antar Propinsi. Adapun jenis-jenis
barang yang diangkut oleh pihak perusahaan CV. Asi Murni adalah sembako,
Universitas Sumatera Utara
10
barang elektronik, barang-barang produksi home industri, hasil pertanian, peralatan
rumah tangga, dan barang-barang lainnya yang tidak dilarang diangkut menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pelaksanaan pengangkutan yang dilakukan oleh pihak perusahaan
CV. Asi Murni menggunakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk yang telah baku.
Perjanjian tersebut tercantum dalam lembaran kwitansi pengiriman barang yang
klausula/isinya telah ditentukan oleh pihak perusahaan, sehingga dengan demikian
para konsumen tidak lagi dapat menentukan klausula/isi dari perjanjian tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul:
”Pelaksanaan Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui
Perusahaan Angkutan Darat di Kota Medan (Studi Pada Perusahaan Pengangkutan
Barang CV. Asi Murni)”
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang melalui angkutan
darat antara konsumen dengan CV. Asi Murni menggunakan perjanjian baku?
2. Bagaimana
tanggung
jawab
pengangkut
dalam
pelaksanaan
perjanjian
pengangkutan?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen akibat hilang atau
rusaknya barang dalam perjanjian pengangkutan antara CV. Asi Murni dengan
Konsumen?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
Universitas Sumatera Utara
11
1. Untuk mengetahui pelaksanaan
perjanjian
pengangkutan
barang melalui
angkutan darat antara konsumen dengan CV. Asi Murni menggunakan perjanjian
baku.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab pengangkut dalam pelaksanaan perjanjian
pengangkutan.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen akibat hilang atau
rusaknya barang dalam perjanjian pengangkutan antara CV. Asi Murni dengan
Konsumen.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu:
a. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan secara
akademis dalam memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum
perjanjian,
terutama
tentang
pelaksanaan
pengangkutan
barang
melalui
perusahaan angkutan darat, dengan demikian diharapkan dapat menambah
khasanah kepustakaan yang berkaitan dengan hukum perjanjian.
b. Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
pemikiran-pemikiran baru bagi kalangan pengusaha pengangkutan barang dalam
menjalankan usahanya yang berhubungan perjanjian dalam pengangkutan barang
melalui darat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian mengenai “Pelaksanaan Perjanjian Baku Dalam Perjanjian
Universitas Sumatera Utara
12
Pengangkutan Barang Melalui Perusahaan Angkutan Darat di Kota Medan (Studi
Pada Perusahaan Pengangkutan Barang CV. Asi Murni)”, belum pernah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan
secara akademis dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti
pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah perjanjian
pengangkutan barang, namun menyangkut judul dan substansi pokok permasalahan
yang dibahas sangat jauh berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang
berkaitan dengan perjanjian pengangkutan barang tersebut:
1. Olga Annemarie Depari, NIM: 017011049, mahasiswa Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana USU, Tahun 2003, dengan judul “Tanggung Jawab
Perusahaan Pengiriman Barang Dalam Pengiriman Barang Paket Dengan Klausul
Eksonerasi (Studi Kasus di ELTEHA Internasional LTD. Cabang Medan),”
dengan permasalahan yang dibahas:
a. Bagaimana kekuatan hukum klausul eksonerasi dalam perjanjian pengiriman
barang yang dibuat secara sepihak (standard contract)?
b. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pihak kedua (pemakai jasa)
apabila terjadi kehilangan atau keterlambatan barang paket oleh perusahaan
pengiriman barang dengan klausul eksonerasi?
c. Bagaimana tanggung jawab perusahaan pengiriman barang dalam membayar
ganti rugi atas pengiriman barang paket dengan klausul eksonerasi?
2. Amanda Litania, NIM: 017011004, mahasiswa Magister Kenotariatan Program
Pascasarjana USU, Tahun 2005, dengan judul “Tanggungjawab Pemilik Dan
Universitas Sumatera Utara
13
Pencarter Kapal Terhadap Pengangkutan Barang Dengan Kapal
(Studi di
PT. Berkah Anugrah Sejati Belawan),” dengan permasalahan yang dibahas:
a. Bagaimana tanggungjawab pemilik kapal dan pencarter kapal apabila akibat
lalai atau kesalahan perbuatan mereka menyebabkan timbulnya kerugian
terhadap barang yang diangkut?
b. Bagaimana proses pengajuan claim terhadap kerugian yang timbul terhadap
rusaknya atau hilangnya barang yang ditimbulkan oleh kesalahan atau
kelalaian pencarter dan pemilik kapal?
Jika diperbandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini,
baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian
ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai
landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum
dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga
penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa
dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.12
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
12
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Umum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
14
“Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui”. 13
Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto,
bahwa: “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”14
Snelbecker mendefenisikan “teori sebagai perangkat proposisi yang
terintegrasi secara sintaksis (yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan
secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi
sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.15
Mengenai tanggung jawab hukum, Hans Kelsen dalam teorinya tentang
tanggung jawab hukum menyatakan, “Bahwa seseorang bertanggung jawab secara
hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum,
subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan
yang bertentangan”.16
Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa: ”kegagalan untuk melakukan
kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum di sebut kekhilapan (negligence); dan
kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa),
13
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hal. 6.
15
Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2002, hal. 34-35.
16
Hans Kelsen sebagaimana diterjemakan oleh Somardi, General Theory Of law and State,
Teori UmumHukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum DeskriptifEmpirik, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 81.
14
Universitas Sumatera Utara
15
walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan
menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan”. 17
Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggung jawab terdiri dari:
a. Pertanggung jawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab
terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
b. Pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung
jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;
c. Pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
d. Pertanggung jawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja
dan tidak diperkirakan.18
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan ”tanggung jawab
sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, apabila ada sesuatu hal, boleh
dituntut, dipersalahkan, diperbolehkan dan sebagainya”.19
Menurut Aridwan Halim, ”tanggung jawab adalah suatu akibat lebih lanjut
dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak maupun kewajiban
ataupun kekuasaan”.20
Dalam kamus hukum ada 2 istilah pertanggungjawaban yaitu liability (the
state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability
merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang
paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab,
yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk
17
Ibid, hal. 83.
Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni,
Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2006, hal. 140.
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit., 1996, hal. 1014.
20
Aridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Bogor,
2005, hal. 163.
18
Universitas Sumatera Utara
16
menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi
tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial. “Kondisi bertanggung jawab
terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan,
biaya atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undangundang dengan segera atau pada masa yang akan datang”.21
Sedangkan responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau
suatu
kewajiban, ketrampilan dan kecakapan. “Responsibility juga berarti
kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan
memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah
ditimbulkannya”.22
Menurut Roscoe Pound, jenis tanggung jawab dapat dibedakan atas 3 (tiga)
sebab, yaitu:.“pertanggungjawaban atas kerugian dengan disengaja, atas kerugian
karena kealpaan dan tidak disengaja, dan dalam perkara tertentu atas kerugian yang
dilakukan tidak karena kelalaian serta tidak disengaja”.23
Selanjutnya Roscoe Pound menyatakan bahwa tanggung jawab bersumber dari:
1. Perjanjian, dimana para pihak mengadakan perjanjian tersebut masing-masing
dituntut untuk bertanggungjawab atas pemenuhan isi perjanjian yang mereka
buat.
2. Perbuatan melawan hukum, yang terbagi atas:
a. Perbuatan diri sendiri, baik yang disengaja (dolus) maupun yang tidak
disengaja (culpa)
b. Perbuatan orang lain (orang yang masih berada di bawah tanggungan si
penanggung jawab yang bersangkutan)
c. kejadian lain yang bukan merupakan perbuatan, tetapi menimbulkan
21
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 335.
Ibid., hal. 335-336
23
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum (An Introduction to the Philosophy of Law)
diterjemahkan oleh Mohammad Radjab, Bhratara Niaga Media, Jakarta, 1996, hal. 92.
22
Universitas Sumatera Utara
17
akibat yang tetap harus dipertanggungjawabkan oleh orang yang oleh
hukum dianggap sebagai penanggungjawabnya.24
Konsep tanggung jawab hukum merupakan bagian dari konsep kewajiban
hukum. “Kewajiban hukum berasal dari suatu norma trasendental yang mendasari
segala peraturan hukum. Norma dasar kemudian merumuskan kewajiban untuk
mengukuti peraturan hukum, dan mempertanggungjawabkan kewajiban untuk
mengikuti peraturan-peraturan hukum tersebut”.25
Menurut teori Johannes Gunawan menjelaskan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mengandung materi pertanggungjawaban dengan struktur yaitu:
a. Contract Liability
Contract Liability atau pertanggungjawaban kontrak adalah tanggung jawab
perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha (baik barang maupun
jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang
yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikan.
b. Product Liability
Product Liability atau tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para
produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang
menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada
produk tersebut.
c. Profesional Liability
Profesional Liability atau tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab
hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang
diberikan kepada klien.
d. Criminal Liability
Criminal Liability adalah tanggung jawab pidana yang mengatur tentang
tindak atau perbuatan pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
Pasal 61, 62, dan Pasal 63, di mana maksimum sanksi pidananya penjara lima
tahun atau denda dua miliar.26
24
25
Ibid., hal. 163-164.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1995,
hal. 281.
26
Johannes Gunawan dalam Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
18
Pengaturan atas tanggung jawab perusahaan pengangkut atas kelalaiannya
telah diatur dalam Pasal 188 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UULLAJ), yang berbunyi: “Perusahaan
Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau
pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan”.
Mengenai tanggung jawab perusahaan pengangkutan lainnya dapat dilihat
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 193 UULLAJ, yaitu:
1. Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat
penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau
rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau
dihindari atau kesalahan pengirim.
2. Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian
yang nyata-nyata dialami.
3. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang
diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.
4. Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian
disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat
muatan angkutan barang.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan
peraturan pemerintah.
Selain itu, secara umum mengenai tanggung jawab perusahaan pengangkut
diatur pada Pasal 1367 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi: “seseorang tidak saja
bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungan/
disebabkan oleh barang-barang yang berada dalam pengawasannya”.
Dalam hukum perdata, gugatan untuk meminta pertanggungjawaban
bersumber pada 2 (dua) dasar hukum, yaitu: “berdasarkan pada wanprestasi
(contractual liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata dan
Universitas Sumatera Utara
19
berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata”.27
Pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang melalui perusahaan angkutan
tentunya berhubungan erat dengan perjanjian. Bahwa dasar hubungan yang terjadi
antara perusahaan pengangkutan barang dengan konsumen yang membutuhkan jasa
pengangkutan adalah suatu perjanjian yang berarti para pihak dalam hal ini
mempunyai hak dan kewajiban. Untuk itu dalam membahas masalah perjanjian tidak
bisa lepas dari ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata
khususnya Bab II Buku III yang berjudul perikatan yang lahir dari kontrak atau
perjanjian.
Herlien menyatakan bahwa: “janji antara para pihak hanya dianggap
mengikat sepanjang dilandasi pada asas adanya keseimbangan hubungan antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara
kepentingan
kedua
belah
pihak
sebagaimana
masing-masing
pihak
mengharapkannya”.28
Dalam hal adanya keseimbangan dalam suatu perjanjian, Laesio Enormis,
menyatakan bahwa, “suatu janji yang tidak diimbangi dengan sesuatu yang equivalent
(sama nilainya) dengan isi janji itu oleh pihak kedua (lazimnya perjanjian sepihak
27
Ibid., hal. 30.
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006, hal. 305.
28
Universitas Sumatera Utara
20
eenzijdige overeenkomst atau abstract promise) tidak merupakan janji yang wajar,
dan karenanya tidak pula mengikat”.29
Asas keseimbangan, dikaitkan dengan asas dalam perjanjian, dikatakan lahir
sebagai suatu penolakan terhadap asas kebebasan berkontrak. “Asas kebebasan
berkontrak pada kenyataannya dikatakan telah membawa ketidakadilan, karena
didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar
(bargaining position) yang seimbang, tetapi pada kenyataannya para pihak tidak
selalu dalam posisi memiliki posisi tawar yang seimbang”.30
Mengenai asas keseimbangan R. Kranenburg mengatakan bahwa:
Asas keseimbangan merupakan dasar berfungsinya kesadaran hukum orang, yang
mana kesadaran hukum seseorang adalah menjadi sumber hukum seseorang.
Dalil atas asas keseimbangan tersebut adalah bahwa tiap orang menerima
keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan
atau diletakkan terlebih dahulu, dan dalam hal pembagian keuntungan dan
kerugian tersebut tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, maka tiap-tiap
anggota-anggota masyarakat hukum sederajat dan sama.31
Pada asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan
untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan
bentuk kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. Jika
asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya kontrak, asas kekuatan mengikatnya
kontrak berkaitan dengan akibat hukum, maka asas kebebasan berkontrak berkaitan
dengan isi kontrak.
29
Sunarjati Hartono, Mencari Bentuk Dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional Kita, Alumni,
Bandung, 1974, hal. 26.
30
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebasan Berkontrak, Program Pascasarjana,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 1-2.
31
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pusaka, Jakarta,
1984, hal. 63 - 64.
Universitas Sumatera Utara
21
“Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak
memiliki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power tidak seimbang
maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi unconscionable”.32
Sutan Remy Syahdeini menjelaskan bahwa:
Bargaining Power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat
memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah
mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lain
adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga
membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak
masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.33
“Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undangundang bagi para pihak”.34
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dikatakan sah apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Jika terdapat unsur paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun penyalahgunaan
keadaan maka perjanjian dinyatakan tidak berlaku.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang dinyatakan tidak cakap
menurut hukum adalah :
32
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredt Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993,
hal. 185.
33
Ibid., hal. 186.
34
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 42-44.
Universitas Sumatera Utara
22
a. Orang-orang yang belum dewasa.
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh UndangUndang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963
menyatakan bahwa perempuan yang bersuami tidak lagi digolongkan sebagai
yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa
bantuan atau izin dari suaminya.
Selain itu, terdapat subjek hukum yang dilarang undang-undang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, diantaranya adalah:
a. Orang-orang dewasa yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.
b. Badan hukum yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.
c. Seseorang untuk waktu yang pendek maupun untuk waktu yang lama
meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia tidak
memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan
mengurus harta kekayaannya.35
3. Mengenai suatu hal tertentu.
Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai
objek dalam perjanjian tersebut. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun
suatu kepentingan yang melekat pada benda. Apa saja yang menjadi objek
dari yang diperjanjikan harus disebut secara jelas.
4. Suatu sebab yang halal.
Mengenai suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah
35
Erza Putri, Subjek Hukum Dalam Perjanjian, http://erzaputri.blogspot.com, diakses tanggal
28 Juli 2011.
Universitas Sumatera Utara
23
sebab dalam arti yang menyebabkan/yang mendorong orang untuk membuat
perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai tidak bertentangan dengan UndangUndang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Terhadap 2 (dua) syarat sahnya perjanjian yang pertama, disebut sebagai
syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan
perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal tertentu dan
suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek dari
perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam
suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak
dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka
suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan. ”Sedangkan
apabila salah satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal
demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian
dan tidak pernah ada suatu perikatan”.36
Pada saat ini, terdapat bentuk perjanjian dengan cara penyiapan suatu formulir
perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak konsumen
untuk disetujui, dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada
pihak konsumen untuk menentukan isi perjanjian.
Ketika perjanjian ditandatangani, umumnya para pihak hanya mengisikan datadata informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausulanya dan pihak lain dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai
36
Subekti, Op.cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
24
kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk bernegosiasi atau mengubah
klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga
biasanya perjanjian baku sangat berat sebelah.37
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), pengertian klausula baku adalah
“setiap aturan/ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Perjanjian baku kebanyakan adalah perjanjian adhesie, yaitu perjanjian
dimana salah satu pihak pembuat perjanjian berada dalam keadaan terjepit/terdesak.
Keadaan demikian tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai
kedudukan yang lebih kuat. “Pihak yang lebih kuat di dalam membuat penawaran
dalam perjanjian dengan pihak yang lemah menggunakan prinsip take it or leave it
(ambil/tinggalkan)”.38
Ketentuan di dalam perjanjian pengangkutan, pengirim tidak mempunyai
kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi
perjanjian. Hal tersebut terjadi baik karena kedudukannya maupun karena
kebutuhannya, sehingga pengirim hanya dapat menerima/menolak isi perjanjian
secara utuh/keseluruhan. Oleh karena itu, hal tersebut menyebabkan kebebasan
berkontrak yang merupakan asas dari suatu perjanjian akan sulit terwujud karena
asas kebebasan berkontrak dapat terwujud bila para pihak memiliki posisi tawar
37
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, hal. 76.
38
Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1986, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
25
yang sama kuat. Posisi yang tidak seimbang tersebut juga menyebabkan batasbatas kebebasan berkontrak seperti itikad baik, tidak melanggar norma-norma
kepatutan, dan perasaan keadilan akan sulit diterapkan.
Perjanjian baku memang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang, namun
berdasarkan kebutuhan masyarakat dalam kenyataannya dapat diterima. Penerimaan
perjanjian baku oleh masyarakat motifasinya adalah bahwa hukum berfungsi untuk
melayani kebutuhan masyarakat dan bukan sebaliknya.
Masyarakat memang diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak dilarang oleh ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Pada prinsipnya Undang-undang tidak melarang adanya klausula baku dalam
suatu perjanjian yang dibuat, namun yang dilarang hanyalah pencantuman klausula
baku yang memberatkan atau merugikan salah satu pihak.
2. Konsepsi
Konsepsi diartikan sebagai ”kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.”39
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa, “kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis
yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional
yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”40
39
Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,
40
Soejono Soekanto, Op.cit., hal. 133.
hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
26
Samadi Surya Brata memberikan arti khusus mengenai pengertian konsep,
yaitu sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional, “konsep diartikan sebagai
kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,
yang
disebut
dengan
defenisi
operasional”.41
Defenisi
operasional
perlu
disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah, tidak boleh memiliki
makna ganda.
Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada
proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan
serangkaian
defenisi
operasional
atas
beberapa
variable
yang
digunakan.
Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman
yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka
kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai
berikut:
Wirjono Prodjodikoro menyatakan, perjanjian adalah: “Suatu perhubungan
hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dimana salah satu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan
sesuatu hal, sedang pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu”.42
Pengertian perjanjian baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah: “setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
41
Samadi Surya Barata, Op.cit, hal. 3.
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, cet. 8, Mandar Maju, Bandung,
2000, hal. 4.
42
Universitas Sumatera Utara
27
yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
“Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan
pengirim,
dimana
pengangkut
mengikatkan
diri
untuk
menyelenggarakan
pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan
selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”.43
Menurut Pasal 1 angka 21 UULLAJ, yang dimaksud dengan “Perusahaan
Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang
dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum”.
“Hak adalah wewenang yang diberikan hukum objektif kepada subjek hukum
untuk melakukan segala sesuatu yang dikhendakinya sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundangan”.44
“Kewajiban adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada subjek
hukum”.45
“Tanggungjawab adalah kewajiban, wewenang, dan hal lain yang melekat
pada suatu kedudukan”.46
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
43
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 3, Djambatan,
Jakarta, 1983, hal. 2.
44
Ade Didik Irawan, Pengantar Ilmu Hukum, http://www.mypulau.com/adedidikirawan/
blog/731632, diakses tanggal 20 Januari 2011.
45
Ibid.
46
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2001, hal. 619.
Universitas Sumatera Utara
28
“Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan
untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu,
kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi”.47
Penelitian
yang
bersifat
deskriptif
dimaksudkan
untuk
melukiskan
keadaan objek atau peristiwanya, kemudian menelaah dan menjelaskan serta
menganalisa data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan
perundangan yang berlaku maupun dari pendapat ahli hukum sehingga dapat
diperoleh gambaran tentang data faktual yang berhubungan dengan pelaksanaan
perjanjian baku dalam perjanjian pengangkutan barang melalui perusahaan
angkutan darat.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat
yuridis empiris. Metode yuridis empiris dipergunakan untuk mendapatkan jawaban
dari permasalahan dengan melihat berbagai aspek yang terdapat dalam perjanjian
pengangkutan barang melalui darat, sehingga akan diketahui secara hukum tentang
pelaksanaan perjanjian baku dalam perjanjian pengangkutan barang melalui
perusahaan angkutan darat.
3.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data
primer dan data sekunder.
Data primer didapat dengan melihat dan meneliti perjanjian pengangkutan
yang dilakukan oleh perusahaan pengangkutan CV. Asi Murni dengan konsumen/
47
Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, 2004, hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
29
pengguna jasa angkutan sebanyak 20 responden yang diambil secara acak, serta
dengan melalui hasil wawancara dengan responden yang terlibat secara langsung
dalam pelaksanaan perjanjian baku dalam perjanjian pengangkutan barang
melalui perusahaan angkutan darat, selain itu wawancara yang dilakukan
dengan informan, yaitu pemilik perusahaan CV. Asi Murni dan para pegawai CV. Asi
Murni.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan
mempelajari :
1. Bahan Hukum Primer
yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi
yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas Dan Angkutan Jalan dan Kontrak Perjanjian Pengangkutan.
2. Bahan Hukum Sekunder
yaitu
“semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak
resmi meliputi buku-buku,
karya ilmiah”48
dan
kontrak perjanjian
pengangkutan.
3. Bahan Hukum Tertier
yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum
48
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2005,
hal. 141.
Universitas Sumatera Utara
30
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum,
jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga
apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil
penelitian
yang objektif
dan
dapat
dibuktikan
kebenarannya serta dapat
dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat
pengumpulan data.
Dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang diperlukan, dipergunakan
alat pengumpulan data sebagai berikut:
a. Studi Dokumen.
Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu
dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori dan dokumen-dokumen
kontrak perjanjian pengangkutan yang berhubungan dengan permasalahan
yang akan diteliti.
b. Pedoman Wawancara
Untuk memperoleh data primer, dilakukan wawancara dengan pengguna jasa
angkutan di perusahaan CV. Asi Murni dan Direktur serta Pegawai
Perusahaan CV. Asi Murni.
5. Analisis Data
“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
Universitas Sumatera Utara
31
dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.49
Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang
diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul
dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam
usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Dengan menggunakan
metode dedukatif ditarik suatu kesimpulan dari analisis yang telah selesai diolah
tersebut yang merupakan hasil penelitian.
49
Lexy J. Moleong, Op.cit., hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
Download