tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai perangkat

advertisement
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN
SEBAGAI PERANGKAT PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP
Yossi Niken Respati
FH Universitas Pelita Harapan Karawaci
[email protected]
Abstract
Environmental Management is one of the efforts to preserve and maintain
the quality and supporting capacity of the environment. Act No. 32 of 2009
regarding Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Environmental
Protection and Management) states that the purpose of environmental
management is to protect humans and other living creatures from the threat
of destruction and environmental pollution. Destruction and environmental
pollution is a negative impact of business activities conducted by persons
or companies. A company has a responsibility towards the environment and
community. Article 74 Act No. 40 of 2007 regarding Perusahaan Terbatas
(Limited Companies) mentions that corporate social responsibility is
mandatory for such companies. Corporate social responsibility is an effort
by the company to help and maintain the environment.
Keywords: Corporate Social Responsibility, Environment, Environmental
Management
A. Pendahuluan
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia tidak hanya merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah,
namun juga masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya. Pengelolaan
lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan
lingkungannya untuk mencapai kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.1
Interaksi ini terjadi dikarenakan manusia mempunyai hubungan
timbal-balik dengan lingkungannya dimana aktivitas manusia mempengaruhi
1
NHT Siahaan, Hukum Lingkungan, cet 1, (Jakarta: Pancuran Alam, 2006), hal 69
435
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
lingkungannya dan sebaliknya manusia dipengaruhi oleh lingkungannya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyatakan
bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah suatu rangkaian upaya terpadu
dan sistematis untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan hidup yang
bentuk pengelolaan lingkungan hidup itu meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan
pengendalian lingkungan hidup dan penegakkan hukum.2
Dengan demikian, pengelolaan lingkungan hidup memiliki cakupan
yang sangat luas dan memiliki keragaman sifat dan bentuk aktivitas yang
berlain-lainan yang melibatkan berbagai macam instansi, dinas, kelembagaan
dan kekuasaan yang diberikan mandat untuk mengelola dalam bentuk
memanfaatkan, mengurus, mengawasi, dan mengendalikan fungsinya
masing-masing yang kesemuanya diatur oleh peraturan perundang-undangan
yang berbeda-beda akan tetapi UUPPLH merupakan payung hukum
(umbrella provision) bagi semua perangkat peraturan perundang-undangan
yang berbeda-beda tersebut.3
Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup dibutuhkan instrument
atau perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang tujuannya adalah untuk
mengelola lingkungan hidup untuk mencegah dan mengantisipasi sedini
mungkin terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup tersebut dilakukan baik sebelum
kegiatan usaha dilaksanakan maupun setelah atau pada saat kegiatan usaha
dilaksanakan.
Seperti diketahui bahwa pelaksanaan kegiatan usaha dilaksanakan
dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
salah satunya adalah UUPPLH. Namun disamping itu, selain ketundukan
2 Lihat Pasal 1 angka 2 UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
juncto Pasal 1 angka 2 UU No. 30 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
3 NHT Siahaan, Op.Cit, hal. 70-72
436
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
kepada UUPPLH, pelaku usaha kegiatan yang telah berbentuk badan hukum
perseroan terbatas tunduk juga kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT).
UUPT tahun 2007 merupakan undang-undang yang diberlakukan
untuk mengganti UUPT yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 Tentang Perseroan Terbatas yang dipandang tidak lagi memenuhi
perkembangan hukum dan masyarakat karena perkembangan dunia usaha
yang semakin pesat, dan dalam rangka untuk menyesuaikan diri dengan
prinsip yang penting bagi dunia usaha yaitu prinsip pengelolaan perusahaan
yang baik (good corporate governance).
Keberlakuan UUPT terbaru tersebut secara keseluruhan ditanggapi
dengan baik oleh kalangan dunia usaha, akan tetapi ada satu pasal dalam
UUPT tersebut yang menjadi permasalah yaitu Pasal 74. Pasal ini mengatur
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) atau biasanya
disebut dengan corporate social responsibility (CSR). Pasal 1 butir 3 UUPT
memberikan definisi mengenai CSR merupakan sebuah komitmen perseroan
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan4, yang dijabarkan lebih lanjut lagi dalam Pasal
74 UUPT yang menyatakan bahwa pemberlakuan dari CSR ini merupakan
kewajiban hukum (statutory obligation) bagi perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
dan apabila tidak dilaksanakan akan dikenakan sanksi.5
Kewajiban hukum membuat CSR bagi perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya dibidang dan/atau sumber daya alam merupakan
penyeimbangan dari dampak kegiatan usaha yang dilakukan.6 Tujuan utama
dari perseroan adalah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,
namun jika usaha memperoleh keuntungan tersebut tidak memperhatikan
keadaan ekologi dan lingkungan hidup akan menyebabkan degradasi
4 Lihat Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
5 Lihat Pasal 74 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
6 Gayus Lumbuun, Telaah Hukum Atas Ketentuan Corporate Social Responsibililty
Dalam UUPT, Jurnal Hukum Supremasi Vol.1 No.1 Oktober 2007-Maret 2008, hal.
118
437
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
lingkungan yang luar biasa, oleh karena itu pemanfaatan sumber daya alam
harus diikuti dengan pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup oleh
para pelaku usaha perseroan.7
Keberlakuan TJSL melalui UUPT memunculkan sikap pro dan kontra
dari kalangan dunia usaha. Kalangan yang kontra pada intinya menentang
keberlakuan TJSL sebagai kewajiban, karena menganggap kewajiban untuk
melaksanakan TJSL akan membebankan biaya operasional perusahaan yang
berakibat akan terganggunya iklim usaha dan investasi.8 Disamping itu
keberlakuan TJSL dianggap juga tidak adil.9 Sedangkan dari kalangan yang
pro mengatakan bahwa keberlakuan TJSL menjadi wajib karena merupakan
reaksi dari perilaku perseroan yang cenderung mengabaikan tanggung
jawabnya di bidang sosial dan lingkungan, yang sebenarnya sebuah perseroan
harus memberikan manfaat dan peduli terhadap kondisi sosial dan lingkungan
karena perseroan merupakan bagian dari masyarakat (corporate citizenship).10
Bagi pemerhati lingkungan keberlakuan TJSL menjadi kewajiban
dianggap positif selama keberlakuan dari TJSL tersebut dapat menunjang
keberlanjutan lingkungan hidup dan mendukung rencana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Dari keseluruhan uraian tersebut, maka permasalahan pokok yang
hendak dibahas dalam penulisan ini adalah keterkaitan antara perangkat
pengelolaan lingkungan hidup dengan konsep TJSL dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia.
B. Pengelolaan Lingkungan Hidup
Keselarasan hidup antara manusia dengan lingkungan hidup dapat
tercapai jika lingkungan hidup dikelola dengan baik. Pengelolaan lingkungan
hidup dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dapat dilakukan oleh siapa
7 Jackie Ambadar, CSR dalam Praktik di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2008) hal. ix-x
8 “Antara Sumbangan dan Paksaan,”http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/
periskop/antara-sumbangan-dan-paksaan-5.html, diakses 25 Februari 2008.
9 Regulasi Setengah Hati, Majalah Bisnis dan CSR, (Jakarta: Oktober, 2007), hal. 64
10 Hidayah Muhallim, CSR dan Politik Ekonomi Kita, http://fajar.co.id/news.
php?newsid=4487, diakses tanggal 25 Februari 2008
438
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
saja baik orang-perseorangan atau masyarakat, badan usaha maupun oleh
negara.11 Tindakan pengelolaan tersebut merupakan bentuk kesadaran akan
arti pentingnya lingkungan hidup bagi kehidupan.
Kemampuan mengelola lingkungan hidup dengan baik menentukan
arah keberlanjutan pembangunan di suatu daerah atau negara. Salah satu cara
untuk mengelola lingkungan hidup dengan membuat instrument peraturan
perundangan-undangan yang bersifat pengaturan dan pengawasan (command
and control/CAC).12 Instrumen pengaturan di bidang lingkungan hidup harus
diikuti dengan sistem pengawasan agar pengelolaan lingkungan hidup dapat
berjalan dengan baik. Disamping itu, penaatan terhadap peraturan perundangundangan juga menjamin terlaksananya pengelolaan lingkungan hidup.
Instrumen peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup dikeluarkan oleh negara dalam hal ini pemerintah yang berwenang.
Instrumen peraturan perundang-undangan tersebut merupakan salah satu
bentuk kekuasaan negara sebagai pembentuk undang-undang (legislatif) dan
juga bentuk campur tangan pemerintah untuk mewujudkan negara hukum
kesejahteraan.13 Perwujudan pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen
peraturan perundang-undangan memberikan jaminan bahwa lingkungan
hidup tetap dapat terpelihara sehingga pembangunan tetap dapat berjalan.
Pemerintah yang berwenang baik di tingkat pusat mau daerah
sesuai dengan kewenangannya masing-masing dalam melakukan tindakan
pencegahan dan/atau antisipasi dengan membuat kebijakan-kebijakan yang
tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan
lingkungan merupakan salah satu bentuk campur tangan pemerintah untuk
mewujudkan negara hukum kesejahteraan.14
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia melalui peraturan
perundang-undangan sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda dengan
11 Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia – Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hal. 32-33
12 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hal. 140
13 Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan
Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 14-22
14 Ibid, hal. 14-22
439
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
mengeluarkan berbagai macam ordonansi maupun staatblad seperti Ordonansi
Gangguan (Hinder-Ordonnantie). Akan tetapi pada saat penjajahan Jepang,
peraturang perundang-undangan di bidang lingkungan hidup hampir tidak
ada sama sekali, karena pada masa penjajahan Jepang, peraturan perundangundangan lebih ditekankan untuk memperkuat kedudukan penguasaan Jepang
di Indonesia.15
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, Indonesia telah mengeluarkan
berbagai macam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup untuk mengatur dan mengawasi pengelolaan lingkungan hidup.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) merupakan kebijakan nasional yang
pertama yang mengatur khusus mengenai lingkungan hidup. Undang-undang
ini merupakan undang-undang payung (umbrella act) bagi berbagai macam
peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Pada tahun 1997, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menggantikan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982. Dalam Berdasarkan pertimbangan yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, penggantian tersebut
dikarenakan adanya perkembangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup
yang tidak diatur dalam UULH sehingga perlu untuk disempurnakan untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup.
Pada tahun 2009, UU Nomor 23 Tahun 1997 diganti oleh UndangUndang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH). Undang-undang ini lahir sebagai bentuk
reaksi akan perkembangan lingkungan hidup tidak hanya di Indonesia tetapi
juga di dunia internasional, dimana dirasakan bahwa telah terjadi penurunan
kualitas lingkungan hidup yang akan mengancam kelangsungan hidup
manusia dan mahluk hidup lainnya serta juga terjadinya pemanasan global
15 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002), hal. 57-60
440
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
akibat perubahan iklim yang terjadi seluruh belahan dunia.16
Usaha untuk mencegah dan mengantisipasi akan turunnya kualitas
lingkungan hidup dapat dilakukan dengan melaksanakan secara benar
seluruh perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang telah ditetapkan baik
melalui peraturan perudangan-undangan maupun kebijakan internal kegiatan
usaha. Perangkat pengelolaan lingkungan hidup agar berhasil guna secara
efektif dan efesien harus dirancang dengan baik. Perancangan terhadap
instrumen tersebut dapat dilakukan dengan lima macam pendekatan yaitu:17
(1) Pendekatan atur dan awasi (command and control), (2) pendekatan
atur diri sendiri (ADS), (3) pendekatan ekonomi (economic approach), (4)
pendekatan perilaku (behaviour approach), (5) pendekatan tekanan publik
(public pressure approach).
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang sudah dirancang
dengan baik harus mempunyai daya pemberlakuan untuk dilaksanakan.
Pemberlakuan perangkat pengelolaan lingkungan hidup dapat sifat memaksa
(mandatory) atau sukarela (voluntary). Sifat memaksa dapat terjadi jika
perangkat pengelolaan lingkungan hidup dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang dengan jelas menyatakannya. Oleh karena itu,
apabila terjadi pelanggaran terhadapnya, akan mendapatkan sanksi sesuai
yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Perangkat
yang bersifat wajib ini sangat erat kaitannya dengan sistem pemberian ijin
terutama ijin usaha.18
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang sifatnya memaksa
adalah yang mengatur mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) serta End of Pipe System yaitu peraturan yang berkaitan
dengan sistem pembuangan limbah.19 Sedangkan yang sifatnya sukarela dan
16 Lihat bagian menimbang huruf d dan e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
17 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hal. 140-144
18 Bambang Prabowo Soedarso, Hukum Lingkungan dalam Pembangunan Terlanjutkan
(Bunga Rampai), cet.2, (Jakarta: Cintya Press, 2008), hal. 118
19 Ibid.
441
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
jika terjadi pelanggaran terhadapnya, maka sanksi yang diberikan biasanya
berupa pengucilan adalah Eco-labeling dan Organization for International
Standardization (ISO) dibidang lingkungan.20
Perbedaan sifat pemberlakuan instrument ini didasarkan pada 2
(dua) pemahaman yaitu: (1) bahwa lingkungan dan sumber daya alam itu
mempunyai sifat keterbatasan dalam ketersediaannya yang menuntut untuk
dilestarikan, dan (2) bahwa setiap kegiatan atau aktivitas manusia mempunyai
dampak terhadap lingkungan dan sumber daya baik dalam akibat jangka
pendek (short term effect) maupun jangka panjang (long term effect).21
Dampak merupakan sisi negatif dari kemajuan industri, dimana dengan
terjadinya dampak negatif yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup akan menambah beban pada daya dukung sumber daya
alam dan daya dukung lingkungan. Jadi di satu sisi terjadi ekonomi dan
industri semakin bertumbuh, namun di sisi lain terjadi kemunduran pada
daya dukung sumber daya alam dan lingkungan.22 Kemunduran tersebut
dapat dihambat atau bahkan diberhentikan dengan melalukan upaya-upaya
pengelolaan lingkungan hidup melalui instrument-instrument yang tersedia
baik itu melalui pengaturan (regeling) atau penetapan (beschiking).23
Pasal 14 UUPPLH menyebutkan ada beberapa instrumen pengelolaan
lingkungan hidup yang bertujuan untuk mencegah dan mengatasi terjadinya
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yaitu: (1) kajian lingkungan
hidup strategis (KLHS), (2) tata ruang, (3) baku mutu lingkungan hidup, (4)
kriteria baku perusakan lingkungan hidup, (5) Amdal, (6) UKL-UPL, (7)
perizinan, (8) instrumen ekonomi, (9) peraturan perundang-undangan berbasis
lingkungan hidup, (10) anggaran berbasis lingkungan hidup, (11) analisis
risiko lingkungan hidup, (12) audit lingkungan hidup. Instrument-instrument
tersebut ada yang bersifat makro dan mikro jika dilihat dari luas keberlakuan
20 Ibid, hal. 119
21 NHT Siahaan, Hukum Lingkungan – Edisi Revisi, (Jakarta: Pancuran Alam, 2008),
hal.187
22 Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya. (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 129-130
23 NHT Siahaan, Op.Cit, hal. 95
442
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
dari instrument tersebut.24 Selain itu, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 UUPPLH
juga merupakan pasal yang mengatur mengenai upaya pengelolaan lingkungan
hidup melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH) yang kaitannya dengan penataan ruang. Instrumen ini tidak dikenal
dalam UULH 1982 dan UUPLH 1997.25
C. Pemangku Kepentingan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup tidak hanya
bermanfaat bagi masyarakat tetapi juga bagi negara dan perusahaan. Kondisi
lingkungan hidup yang terjaga dengan baik bukan merupakan kewajiban
negara saja untuk melindungi, memelihara atau mengelolanya tetapi
merupakan peran serta dan kewajiban segenap pihak.26 Pemangku kepentingan
(stakeholder) lingkungan hidup harus menyadari bahwa keberadaan sumber
daya alam dan lingkungan itu terbatas.
Setiap individu/orang, kelompok dan masyarakat memiliki kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan hidupnya. Oleh karena itu
berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Hak tersebut dijamin oleh
negara.27 Hak tersebut erat kaitannya dengan kualitas kehidupan manusia,
karena dengan lingkungan yang baik terdapat kehidupan yang baik (in the
good environment there is the good life chain).28
Hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai HAM memang tidak
secara eksplisit muncul, namun gerakan lingkungan biasanya menarik dasar
justifikasi hak atas lingkungan berdasarkan Pasal 28 Deklarasi Universal
Human Rights. Oleh karena itu, hak tersebut dilindungi dan dijamin
pelaksanaannya.
24 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal.
85-86
25 Ibid.
26 Supriadi, Op.Cit, hal. 21
27 Lihat Penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
28 NHT Siahaan, “Lingkungan Hidup dalam Ayoman HAM Berada Disimpang Prinsip
dan Distribusi Hukum”, Jurnal Pemasyarakatan HAM – Ditjen HAM, Vol. II No. 2,
Tahun 2003, hal. 34
443
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
Negara sebagai pihak otoritas yang mempunyai kewenangan dalam
menjamin hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Produk dari pemerintah
adalah kebijakan. Kebijakan (policy) adalah suatu proses yang terdiri dari
serangkaian pembuatan keputusan yang sifatnya berkaitan dengan hal-hal
yang lebih luas dan banyak aspek, sehingga sumber kebijakan berasal dari
banyak pihak dengan berbagai kepentingan dan kewenangan.29 Kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dalam rana lingkungan harus memperhatikan
prinsip-prinsip yang berlaku di hukum lingkungan yang bertujuan untuk
perlindungan, pelestarian atau pengelolaan lingkungan hidup. Kebijakan
yang berorientasikan pada lingkungan menjamin akan hadirnya lingkungan
yang baik dan sehat, disamping itu juga memberikan perlindungan terhadap
hak-hak yang dimiliki masyarakat atau individu sebagai subyek hukum.30
Keberadaan perusahaan sebagai pemangku kepentingan lingkungan
hidup tidak lepas dari kepentingannya untuk mempertahankan diri (self
defense). Hak atas lingkungan yang baik dan sehat adalah HAM di mana
perusahaan berkewajiban untuk menghormati dan tidak melanggarnya.
Pelanggaran atas hak atas lingkungan yang baik dan sehat oleh korporasi
akan menimbulkan reaksi seperti munculnya protes atau gugatan. Dengan
demikian perusahaan melalui kegiatan operasionalnya dapat menjamin hak
atas lingkungan yang baik dan sehat. Kondisi lingkungan yang baik dan sehat
menjadi sebuah peringatan bagi perusahaan untuk lebih berhati-hati
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bisa berjalan efektif
jika ada kemitraan atau kerjasama antara pemangku kepentingan. Kemitraan
tersebut bisa dilakukan dengan saling berbagi bukan saling mengawasi dalam
melaksanakan kewajiban perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dengan demikian baik negara, masyarakat dan perusahaan bisa sama-sama
mewujudkan lingkungan yang baik dan sehat.
29 Effendy, Kebijakan, hal. 6
30 Maharani Siti Shopia, “Catatan Ketidakadilan Hukum atas Lingkungan”, Jurnal
Hukum Jentera, Edisi 18 Tahun IV, April-Juni 2008, hal. 41
444
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
D. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Secara ekonomi pola berpikir manajemen perusahaan dan aktivitasnya
bertujuan pada upaya untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan dan
tidak terlalu memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan. Pakar ekonomi,
Milton Friedman mengatakan bahwa “tugas utama korporasi memang
semata-mata mencetak keuntungan, dan sisi tanggung jawab sosialnya sudah
tercakup dalam kewajiban korporasi untuk membayar pajak.”31
Perolehan keuntungan oleh perusahaan merupakan tanggung jawab
ekonomi (economic responsibility) yang diemban oleh perusahaan, dan
perolehan laba yang semakin optimal akan meningkatkan nilai dari suatu
perusahaan32. Perusahaan akan melalukan berbagai macam cara atau usaha
untuk dapat memperoleh keuntungan, karena jika perusahaan mempunyai
keuntungan yang besar, hal tersebut dapat dijadikan kekuatan untuk
memperoleh kekuasaan dalam sektor bisnis, dimana kekuatan tersebut bisa
melebihi kekuatan suatu negara, sehingga perusahaan bisa mengontrol
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dimana kebijakan tersebut
berpengaruh besar pada kualitas kehidupan masyarakat.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan
dari badan publik atau pemerintah kepada perusahaan, jika pemerintah tidak
mengawasi perusahaan melalui kebijakan-kebijakannya maka akan timbul
ketimpangan dalam kesejahteraan dan jika perusahaan mempunyai kekuasaan
dan kekuatan yang berlebihan maka cenderung akan menjadi sangat rentan
dalam menghadapi berbagai macam manipulasi, skandal dan penyimpangan
yang menunjukkan sikap tidak bertanggungjawab terutama dalam bidang
Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan33, seperti contohnya perusahaan
memperlakukan para pekerja dan pegawai secara tidak manusiawi dengan
memberikan upah dibawah ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
atau melakukan pencemaran lingkungan yang sangat merugikan komunitas
setempat di mana perusahaan tersebut beroperasi.
31 Sofyan Djalil, “Konteks Teoritis dan Praksis Corporate Social Responsibility”, Jurnal
Reformasi Ekonomi, Volume 4 Nomor 1, Januari – Desember 2003, hal. 4
32 Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility From Charity to Sustainability, cet.1,
(Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal. 3
33 Jimmy Tanaya, Tanggung Jawab Sosial Korporasi, cet.1, (Jakarta: The Business Watch
Indonesia, 2004), hal. 2-9
445
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
Agar perusahaan tidak menyimpang dari jalurnya, maka perlu
diberikan batasan-batasan bagi perusahaan. Batasan tersebut berbentuk suatu
tanggung jawab yang diembankan pada pundak perusahaan yang berujung
pada kesadaran perusahaan untuk tidak menyimpang dari jalurnya.
Menurut Herbert Spiro, tanggung jawab berarti penyebab (cause),
tugas (obligation), serta tanggung gugat (accountability)34. Sebagai penyebab,
tanggung jawab berarti keterlibatan dalam menghasilkan sesuatu. Sebagai
tugas, tanggung jawab berarti keharusan menjalankan suatu berkenaan
dengan posisi tertentu, dan karenanya berkaitan dengan pengertian tanggung
gugat, satu pihak harus bisa mempertanggungjawabkan cara serta hasilnya
dalam menjalankan tugas sebagai suatu keharusan atau kewajiban.
Tanggung jawab perusahaan merupakan kewajiban perusahaan untuk
menjalankan tugasnya untuk menghasilkan sesuatu. Menurut Post, secara
simultan dan seimbang suatu perusahaan akan menjalankan 3 (tiga) jenis
tanggung jawab yaitu:35
a. Tanggung Jawab Ekonomi (Economic Responsibility)
Perusahaan dibentuk dengan tujuan untuk menghasilkan laba secara
optimal, dimana para pengelola perusahaan berkewajiban untuk mengelola
perusahaan untuk menghasilkan laba, yang nantinya laba tersebut akan
dibagikan kepada para pemegang saham dan sebagian laba lainnya
merupakan saldo laba yang akan meningkatkan nilai dari suatu perusahaan.
b. Tanggung Jawab Hukum (Legal Responsibility)
Perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya harus mematuhi
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana perusahaan
tersebut berada.
c. Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Perusahaan bertanggungjawab secara sukarela untuk turut meningkatkan
kesejahteraan komunitas yang bukan dalam bentuk aktivitas bisnis yang
diwajibkan oleh hukum dan perundang-undangan.
34 Jalal, Hipokrisi Konsep CSR? Tanggapan Untuk Eddie Riyadi penulis Tanggung Jawab
Bisnis terhadap HAM pada harian Kompas tanggal 22 Maret 2007. CSR Review,
Jakarta, 26 Maret 2007
35 Ismail Solihin, Op.cit., hal. 3-5
446
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
Dasar falsafah dari TJSL yaitu perusahaan juga memikul tanggung
jawab terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan tidak hanya
pemerintah, karena suatu perusahaan tidak hidup dalam ruang yang hampa
dan terisolasi melainkan hidup di dalam dan tumbuh bersama dalam suatu
lingkungan dengan masyarakat, dan hidup perusahaan bergantung kepada
masyarakat di mana perusahaan itu hidup, khususnya komunitas setempat
dan umumnya masyarakat negara di mana perusahaan berlokasi36. Maka, jika
perusahaan yang mengedepankan prinsip moral dan etis dan tidak merugikan
kelompok masyarakat maka akan memberikan manfaat yang besar tidak
hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi perusahaan.
Keharusan perusahaan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat
dan lingkungannya bukanlah hal yang baru, namun pada awalnya istilah dari
TJSL belum dikenal atau belum dipakai. Sejak dari awal perkembangannya,
pelaksanaan kegiatan dari TJSL bersifat kesukarelaan (voluntary) dan
kedermawaan (charity).
Kedermawaan tersebut lahir dari prinsip charity principle37 dimana
para pelaku usaha dari suatu perusahaan melakukan aktivitas pemberian
derma, hal ini dipicu dari kesadaran pemimpin perusahaan untuk berbuat
sesuatu bagi masyarakat dikarenakan terjadinya ketimpangan ekonomi
antara pelaku usaha dengan masyarakat sekitarnya serta kegiatan operasional
perusahaan yang telah menimbulkan dampak negatif.
Kedermawaan yang dilakukan oleh perusahaan diintepretasikan sama
dengan kegiatan filantropi38 seperti suatu aksi sosial atau merupakan bentuk
kedermawan atau amal (charity), seperti memberikan sumbangan akibat
bencana alam, pemberian beasiswa bagi siswa yang kurang mampu, atau
aktivitas-aktivitas lainnya, apabila TJSL diindentifikasikan sebagai corporate
filanthropy maka tanggung jawab dari perusahaan tersebut hanya sepanjang
36 Sutan Remy Sjahdeini, “Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum Bisnis,
Volume 26 Nomor 3 Tahun 2007, hal. 59-60
37 Ismail Solihin, op.cit, hal. 17-18
38 Kegiatan filantropi: dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan
etika universal untuk menolong sesame dan memperjuangkan pemerataan social.
Filantropi perusahaan dengan sederhana dapat diartikan sebagai derma perusahaan
untuk kemanusiaan.
447
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
kegiatan amal tersebut dilaksanakan, jika kegiatan tersebut berakhir maka
berakhir pula tanggung jawab perusahaan tersebut39. Seiring dengan
perkembangan masyarakat dan dunia usaha serta dengan adanya dorongan
eksternal tuntutan masyarakat dan dorongan internal perusahaan agar
perusahaan lebih peduli terhadap lingkungannya, maka kegiatan philantropy
tersebut mulai berkembang dan mengarah pada kepedulian perusahaan
terhadap lingkungannya.40
Kepedulian terhadap lingkungan tersebut menimbulkan pergeseran
dalam kegiatan kedermawaan perusahaan yang berbentuk filantropi kearah
yang lebih luas yaitu pengembangan komunitas (Community Development)
yang dirasakan lebih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat karena
memberikan pengetahuan atau ilmu yang bersifat praktis seperti melakukan
pengembangan kerjasama, pemberian ketrampilan, pembukaan akses pasar,
hubungan inti-plasma dan sebagainya.41
Di dalam dunia korporasi dikenal dengan adanya teori triple bottom
line. Menurut John Elkington dalam bukunya berjudul “Cannibals with Forks,
the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”, mengembangkan
konsep triple bottom line dengan istilah economic prosperity, environmental
quality dan social justice. Menurut konsep ini jika sebuah perusahaan ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya maka harus memperhatikan “3P”
yaitu: profit, people dan planet, dimana selain kewajibannya untuk memperoleh
keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat penuh
pada kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam
kelestarian lingkungan (planet)42. Melalui konsep ini perusahaan dituntut
untuk tidak hanya bertumpu pada aspek ekonomi tetapi juga memperhatikan
aspek sosial dan lingkungan.
Konsep TJSL pertama kali muncul dalam diskursus resmi-akademik
39 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan
Tanpa CSR, cet. 1 (Jakarta: Forum Sahabat, Desember 2008), hal. 20-21
40 A.B.Susanto, Corporate Social Responsibility - A Strategic Management Approach,
Cet. 1, (Jakarta: The JakartaConsulting Group, 2007), hal. viii
41 Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, cet.
1 (Gresik: Fascho Publishing, April, 2007), hal. 3-6
42 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, op.cit, hal. 33
448
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
sejak hadirnya tulisan Howard Bowen. Tulisan Bowen tersebut mendominasi
pemikiran mengenai TJSL pada periode tahun 1950-1960-an. Tulisannya
berjudul: “Social Responsibility of the Businessmen” (1953 - Harper and Row,
New York). Konsep TJSL yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban
pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan
berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu
masyarakat. Singkatnya, konsep TJSL mengandung makna, perusahaan atau
pelaku bisnis umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi tanggung
jawab legal, ekonomi, etis, dan lingkungan.43
Tahun 1960-an, konsep TJSL yang telah ada diperkuat lagi di masa itu
oleh Keith Davis melalui teorinya yang disebut “Iron Law of Responsibility”.
Dalam konsepnya tersebut ia berpendapat bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan akan sejalan dengan kekuatan sosial yang perusahaan miliki, dan
jika perusahaan mengabaikan tanggung jawab sosialnya maka akan merosot
kekuatan sosial perusahaaan.44
Gaung TJSL semakin terasa dengan diterbitkannya buku “Silent
Spring” karangan Rachel Carson yang membahas pertama kalinya tentang
persoalan lingkungan dalam tataran global. Karyanya menyadarkan
bahwa tingkah laku korporasi mesti dicermati sebelum berdampak
menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan
semakin berkembang dan mendapat perhatian kian luas. Pemikiran korporasi
yang lebih manusiawi juga muncul dalam The future Capitalism yang
ditulis Lester Thurow tahun 1966. Menurutnya, kapitalisme-yang menjadi
mainstream saat itu tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun
juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang
nantinya disebut sustainable society.45
Di era tahun 1970, TJSL dianggap sebagai isu marjinal tetapi
kemudian para pebisnis dan pemimpin pemerintahan menyadari sepenuhnya
bahwa mustahil membebankan seluruh pemecahan masalah kemiskinan dan
43 Ismail Solihin, op.cit, hal. 16
44 Ismail Solihin, op.cit, hal. 17
45 Yusuf Wibisono, op.cit. hal. 5
449
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
kerusakan lingkungan dipundak pemerintah, sementara di lain sisi, pihak
perusahaan punya kekuatan yang hampir sama dengan pemerintah karena
kemampuan ekonominya.46. Pada tahun ini dicatat perkembangan yang
penting bagi konsep TJSL ketika para pemimpin perusahaan terkemuka
di Amerika Serikat dan para peneliti membentuk Committee for Economic
Development (CED) pada tahun 1971 yang membuat laporan dengan judul
“Social Responsibilities of Business Corporation”, yang menyatakan bahwa
pelaku bisnis dituntut untuk lebih banyak memikul tanggung jawab yang lebih
luas kepada masyarakat.47 Selain itu pada tahun 1970 juga ditandai dengan
munculnya konsep enlighted self interest yang dilahirkan oleh Wallich dan
McGowan yang berupaya menyediakan rekonsiliasi antara tujuan sosial
dan ekonomi perusahaan dan juga menegaskan bahwa TJSL akan menjadi
konsep yang asing jika tidak berhasil menunjukkan dirinya konsisten dengan
kepentingan modal.48
Pada dekade tahun 1980-an ditandai dengan maraknya tema kinerja
sosial perusahaan (corporate social performance). Hal ini ditandai dengan
munculnya artikel dari Archie Carroll yang berjudul: “A Three dimensional
Conceptual Model of Corporate Performance (1979). Dengan artikel ini
berkembang keyakinan bahwa hubungan antara kinerja sosial perusahaan
dan kinerja finansial tidaklah bersifat trade off, tetapi keduanya bisa
berjalan beriringan menuju “total social responsibility of business”, yang
didalamnya terkandung 4 (empat) tanggung jawab yaitu: tanggung jawab
ekonomi, hukum, etis dan diskresionari.49 Perusahaan yang baik diharapkan
menghasilkan keuntungan, taat pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, berperilaku etis dalam menjalankan praktek bisnis, dan memberikan
keuntungan kepada masyarakat melalui kontribusi-kontribusinya.
46 Eddie Riyadi, Tanggung Jawab Bisnis Terhadap Ham, http://www.elsam.or.id, diunduh
tanggal 16 Januari 2008. Sebagaimana dikutip dari Edi Syahputra, Implementasi Corporate
Social Responsibility (CSR) Terhadap Masyarakat Lingkungan PTPN IV – (Studi Pada Unit
Kebun Dolok ILIR – Kabupaten Simalungun, (Medan: USU, 2008), hal. 15
47 Ismail Solihin, op.cit, hal. 20-21
48 CSR Indonesia, Sejarah dan Masa Depan CSR Menurut Min-Dong Paul Lee, <http://
www.csrindonesia.com>, diakses tanggal 1 Januari 2011
49 CSR Indonesia, Ibid.
450
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
Memasuki periode tahun 1990-an, konsep TJSL dikaitkan dengan
teori pemangku kepentingan yang dipopulerkan oleh Edward Freeman. Teori
tersebut menegaskan bahwa semakin banyak pemangku kepentingan dalam
perusahaan dipuaskan maka perusahaan kemungkinan akan semakin sukses.
Teori ini sangat bermanfaat untuk perkembangan TJSL karena TJSL semakin
bersifat positif dan manajerial, yang pada perkembangan selanjutnya TJSL
mulai dipengaruhi oleh kalangan praktisi bisnis yang akhirnya TJSL menjadi
sebuah tradisi baru dalam dunia usaha di banyak negara di dunia.50
Di Indonesia kegiatan TJSL berkembang secara positif seiring dengan
perkembangan demokrasi, masyarakat yang semakin kritis, globalisasi
dan era pasar bebas. Namun diakui baru sebagian kecil perusahaan yang
menerapkan TJSL sebagaimana hasil survey yang dilakukan Suprapto pada
tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukan bahwa 166
atau 44,25% perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan TJSL, 209
atau 55,75% menyatakan melakukan kegiatan TJSL dalam bentuk kegiatan
sebagai berikut: kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan) ,sumbangan kepada
lembaga agama (50 perusahaan), sumbangan kepada lembaga sosial (39
perusahaan), danpengembangan komunitas (4 perusahaan). Hasil survey juga
menyebutkan bahwa TJSL yang dilakukan perusahaan sangat bergantung
pada keinginan pihak manajemen.51
Implementasi TJSL di Indonesia memang belum seperti yang
diharapkan, meski beberapa undang-undang (UU) telah mengatur kewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, seperti UU No. 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal. CSR ramai diperdebatkan oleh khususnya
para praktisi bisnis dan pemerhati lingkungan di Indonesia ketika Rancangan
Undang- Undang tentang Perseroan Terbatas (RUU PT) dibahas di Dewan
Perwakilan Rakyat.
50 Ibid, hal. 4
51 Dalam Sukarmi, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate SosialResponsibility)
dan Iklim Penanaman Modal di Indonesia, http://www.legalitas.org, diakses tanggal 22
Desember 2010.
451
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
Pro kontra terhadap pengaturan TJSL pada prinsipnya lebih pada
upaya perlindungan kepentingan masing-masing pihak. Pada satu sisi
pembentuk undang-undang berargumen bahwa TJSL wajib dilakukan oleh
perusahaan yang menggunakan sumber daya alam, mengingat dampak sosial
dan lingkungan atas operasional perusahaan sangat besar. Berbagai kasus
yang terjadi di Indonesia seperti pencemaran di Teluk Buyat menjadi dasar
penguat bagi pembentuk undang-undang untuk mengatur TJSL dalam UU
tentang Perseroan Terbatas.
Pada sisi lain kalangan pengusaha, khususnya yang tergabung dalam
organisasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) berpendapat masalah TJSL merupakan tindakan
perusahaan yang bersifat suka rela dan jika diatur dalam UU, terlebih menjadi
kewajiban perusahaan, dikhawatirkan akan membebani perusahaan dan
menghambat investasi di Indonesia.52 Melalui perdebatan panjang, akhirnya
DPR RI dan Pemerintah menyepakati pengaturan TJSL dalam UndangUndang tentang Perseroan Terbatas yang baru sebagai pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Peletakan kewajiban melaksanakan TJSL bagi perseroan yang
bergerak di bidang sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) membawa
konsekuensi hukum bagi perusahaan dan pemerintah. Bagi perusahaan yang
bersangkutan pelaksanaan TJSL menjadi keharusan yang tidak terelakan.
Sedangkan bagi pemerintah ada kewajiban menerbitkan Peraturan Pemerintah
sebagai peraturan lebih lanjut dari tanggung Jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 74 UU PT.
E. Kesimpulan
Upaya pengelolaan lingkungan hidup bukanlah merupakan tanggung
jawab negara semata, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat
dan perusahaan. Upaya tersebut bertujuan untuk melestarikan fungsi
52 Corporate Social Responsibility, Kewajiban Sukarela yang Wajib Diatur, http://www.
hukumonline.com, diakses tanggal 22 Desember 2010
452
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
lingkungan hidup dan kualitas daya dukung lingkungan hidup agar tetap
dapat dipertahankan guna mendukung pemenuhan kebutuhan manusia dan
masyarakat.
Bentuk dari upaya pengelolaan lingkungan hidup dapat berupa
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan yang sifat keberlakukannya ada yang wajib atau
sukarela. Upaya pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah dapat diperkuat
oleh dukungan dari perusahaan yang juga melakukan upaya pengelolaan
lingkungan yang berlaku di internal perusahaannya.
UUPPLH telah mengatur dan menetapkan instrument pengelolaan
lingkungan hidup secara baik, terpadu dan menyeluruh, dimana pengaturannya
tidak hanya pada tingkat kegiatan usaha tetapi juga pada tingkat kebijakan
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Kesemua instrument tersebut
merupakan upaya untuk mencegah dan mengantisipasi pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah salah satu bentuk dari
instrument pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat wajib. Kewajiban
ini bukanlah merupakan beban tambahan bagi perusahaan, melainkan suatu
upaya untuk menyadarkan lebih lagi bagi perusahaan akan pentingnya
memperhatikan kondisi masyarakat dan lingkungan yang terkena dampak
akibat kegiatan usaha perusahaan. Disamping itu, pelaksanaan tanggung
jawab sosial dan lingkungan diharapkan mampu untuk meningkatkan
kualitas daya dukung lingkungan hidup ke tingkat yang lebih baik, sehingga
pada akhirnya lingkungan hidup tetap mampu mendukung manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Daftar Pustaka
Buku
Ambadar, Jackie, CSR dalam Praktik di Indonesia, Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2008
453
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
Bethan, Syamsuharya, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, Bandung:
Alumni, 2008
Erwin, Muhammad, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Refika Aditama, 2008
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2002
Husein, Harum M., Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan, dan Penegakan
Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara, 1993
Husin, Sukanda, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009
Pratama, Yeremia Ardi dan Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis
Perusahaan Tanpa CSR, Jakarta: Forum Sahabat, 2008
Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,
2001
Siahaan, NHT, Hukum Lingkungan Cetakan 1, Jakarta: Pancuran Alam, 2006
------------------. Hukum Lingkungan Edisi Revisi, Jakarta: Pancuran Alam,
2008
Soedarso, Bambang Prabowo, Hukum Lingkungan dalam Pembangunan
Terlanjutkan (Bunga Rampai), Jakarta: Cintya Press, 2008
Solihin, Ismail, Corporate Social Responsibility From Charity to
Sustainability, Jakarta: Salemba Empat, 2009
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Sebuah Pengantar, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006
Susanto, A.B., Corporate Social Responsibility – A Strategic Management
Approach, Jakarta: The Jakarta Consulting Group, 2007
454
Law Review Volume XI No. 3 - Maret 2012
Tanaya, Jimmy, Tanggung Jawab Sosial Korporasi, Jakarta: The Business
Watch Indonesia, 2004
Untung, Hendrik Budi. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar
Grafika, 2008
Wibisono, Yusuf, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social
Responsibility, Gresik: Fascho Publishing, 2007
Artikel dan Karya Ilmiah
Djalil, Sofyan. “Konteks Teoritis dan Praksis Corporate Social Responsibility”,
Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 4 Nomor 1 Januari – Desember 2003
Jalal, “Hipokrisi Konsep CRS? Tanggapan Untuk Eddie Riyadi Penulis
Tanggung Jawab Bisnis Terhadap HAM”, Kompas, 22 Maret 2007
Lumbuun, Gayus. “Telaah Hukum Atas Ketentuan Corporate Social
Responsibility dalam UUPT”, Jurnal Hukum Supremasi Vol. 1 Oktober
2007-Maret 2008
Sjahdeini, Sutan Remy. ”Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum
Bisnis Vol 26 No. 3 – Tahun 2007
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140
455
Yossi Niken Respati: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Sebagai Perangkat...
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: 42/
MENLH/11/1994 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit
Lingkungan dan Lampirannya.
Media Internet
Corporate Social Responsibilty, “Kewajiban Sukarela Yang Wajib Diatur”,
http://hukumonline.com, diakses tanggal 22 Desember 2010
Corporate Social Responsibilty Indonesia, “Sejarah dan Masa Depan CSR
Menurut Min-Dong Paul Lee”, http://www.csrindonesia.com, diakses
tanggal 1 Januari 2011
Riyadi, Eddie, “Tanggung Jawab Bisnis Terhadap Ham”, http://www.elsam.
or.id, diakses tanggal 16 Januari 2008.
Sukarmi, Dalam, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate
SosialResponsibility) dan Iklim Penanaman Modal di Indonesia”,
http://www.legalitas.org, diakses tanggal 22 Desember 2010
456
Download