bab 2 tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke
2.1.1. Pengertian
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya
fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau
menit). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian
(Ginsberg, 2008). Stroke merupakan trauma neurologik akut yang terjadi sebagai
hasil dari proses patologik dan bermanifestasi sebagai perdarahan atau infark otak.
Sekitar 80 persen stroke akibat perdarahan otak (Harison, 2000).
Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDDO) merupakan kelainan
fungsi otak yang timbul mendadak yanng disebabkan karena terjadinya gangguan
peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008).
2.1.2. Patologi Stroke
Penyakit serebrovaskuler disebabkan oleh satu dari beberapa proses
patologik yang mengenai pembuluh darah otak. Proses mungkin intrinsik terhadap
pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, lipohialinosis, inflamasi, deposisi
amiloid, diseksi arterial, malformasi perkembangan, dilatasi aneurisma atau trombosis
vena, mula-mula seedikit dan terjadi bila embolus dari jantung atau sirkulasi
Universitas Sumatera Utara
ekstrakranial tersangkut dalam pembuluh darah intrakranial, diakibatkan oleh
penurunan tekanan perfusi atau peningkatan viskositas darah dengan aliran darah
serebral tak kuat atau diakibatkan oleh ruptur pembuluh darah pada ruang
subaraknoid atau jaringan intraserebral.
Stroke merupakan traumaneurologik akut yang terjadi sebagai hasil dari
proses patologik ini dan bermanisfestasi sebagai perdarahan atau infark otak. Sekitar
80 persen stroke akibat infark serebral iskemik dan 20 persen akibat perdarahan otak.
Faktor resiko primer untuk stroke adalah hipertensi, hiperkolesterolemia dan
merokok. Dan paling penting untuk penyakit serebrovaskuler arteriosklerotik,
fiblirasi atrial atau infark mutakhir untuk embolisme kardiogenik dan hipertensi untuk
perdarahan intraserebral primer. hipertensi juga menyebabkan lipohialinosis, lesi
patologik primer stroke lakunar (Harison, 2000).
2.1.3. Klasifikasi Stroke
Harison (2000), penyakit serebrovaskular iskemik dibagi menjadi dua
kategori luas, trombotik dan embolik. Stroke embolik serebral biasanya terjadi
mendadak tetapi dapat timbul dengan gejala yang berfluktuasi. Stroke trombotik
terjadi pada 50 sampai 75 persen pasien dengan gejala transien, serangan iskemik
transien (TIA) atau stroke minor yang menyebabkan peristiwa lebih menghancurkan.
TIA dibagi menjadi tiga tipe, yaitu (1) TIA aliran rendah pembuluh besar, (2) TIA
embolik dan (3) TIA pembuluh darah yang melakukan penetrasi kecil atau lakunar.
Universitas Sumatera Utara
TIA aliran rendah bersifat singkat (beberapa menit sampai beberapa jam),
rekuren dan stereotipe. TIA sering dihubungkan dengan lesi aterosklerotik stenotik
ketat pada asal arteri karotis internal atau pada bagian intrakranial arteri karotis
internal (sifon) bila aliran kolateral dari sirkulus Willis ke tengah ipsilateral atau
arteri serebral
anterior terganggu. Penyebab penting lain termasuk lesi stenotik
aterosklerotik di arteri serebralis sentralis atau pada sambungan arteri basilaris dan
vertebralis.
TIA embolik ditandai khas oleh episode gejala neurologik fokal yang
memanjang (berjam-jam), biasanya tunggal dan diskret. Embolis berasal dari proses
patologik dalam arteri, biasanya ekstrakranial atau dari jantung. Jika gejala atau tanda
menetap lebih dari 24 jam, stroke iskemik dengan infark terjadi. Namun gejala yang
berlangsung kurang dari 24 jam juga dapat dihubungkan dengan infark iskemik. Jika
proses patologik primer dianggap merupakan embolik, pencarian cermat untuk
sumbernya perlu sebelum terapi untuk mencegah stroke selanjutnya mulai timbul.
TIA pembuluh darah penetrasi atau lakunar kadang-kadang terjadi akibat
iskemia serebral transien dari stenosis salah satu pembuluh darah penetrasi
intraserebral yang timbul dari batang arteri serebral sentral, arteri vertebralis atau
basilaris atau sirkulus Willis. Penyumbatan pembuluh darah penetrasi intraserebral
kecil ini biasanya akibat lipohialinosis dari hipertensi, tetapi juga dapat timbul dari
penyakit ateromatosa pada asalnya. Kadang-kadang stereotipe rekuren terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Muttaqin (2008), merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan
subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan yang terjadi disebabkan
oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu.
Perdarahan pada rongga paling sering terjadi akibat ruptur aneurisma, yaitu
kelemahan kongenital yang terjadi umumnya pada percabangan sirkulus Willis dan
malformasi arteriovenosa (angioma), pembuluh darah yang malformasi juga
kongenital yang membesar dan terjadi saat dewasa. Penyebab yang lebih jarang
adalah trauma, kelemahan pembuluh darah akibat infeksi, misalnya emboli septik dari
endokarditis infektif (aneurisma mikotik) dan koagulopati. Perdarahan intraserebral
spontan pada otak disebabkan oleh hipertensi dengan pembentukan mikroaneurisma
(aneurisma Charcot-Bouchard), perdarahan tumor, trauma, kelainan darah, gangguan
pembuluh darah dengan malformasi arteriovenosa, vaskulitis, amiloidosis (Ginsberg,
2008).
2.1.4. Tanda dan gejala stroke
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat
dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder dan aksesori). Fungsi otak yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya (Smeltzer & Bare, 2002).
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas,
gangguan kontrol motorik volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motor yang paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan.
Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah
paralisis dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon
dalam ini muncul kembali (biasanya dalam 48 jam), peningkatan tonus disertai
dengan spastisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang terkena
dapat dilihat.
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan
komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut: disartria (kesulitan berbicara),
disfasia
atau
afasia
(bicara
defektif
atau
kehilangan
bicara),
apraksia
(ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya).
Stroke juga dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam
hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori. Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual. Homonimus
hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang) dapat terjadi karena stroke dan
mungkin sementara atau permanen. Pada keadaan ini, pasien tidak mampu melihat
makanan pada setengah nampan dan hanya setengah ruangan yang terlihat.
Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih
objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Pasien
mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
Universitas Sumatera Utara
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh. Kehilangan sensori karena stroke dapat
berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta
kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.
Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas,
memori atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi
ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman,
lupa dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat
oleh respons alamiah pasien terhadap penyakit karastrofik ini. Masalah psikologik
lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam dan kurang kerja sama.
Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara
karena
konfusi,
ketikdakmampuan
mengkomunikasikan
kebutuhan
dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal//bedpan karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik
dengan kerusakan sensasi dalam respon terhadap pengisian kandung kemih. Kadangkadang kontrol sfingter urinarus eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,
dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Karena indra kesadaran pasien
kabur, inkontinensia urinarus menetap atau retensi urinarius menetap atau retensi
urinarius mungkin simtomatik karena kerusakan otak bilateral. Inkontinensia ani dan
urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologik luas (Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Rehabilitasi pada stroke
Wirawan (2009), secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam
beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk
menentukan tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabillitasi yang akan diberikan, yaitu:
stroke fase akut ( 2 minggu pertama pasca serangan stroke), stroke fase subakut
(antara 2 minggu – 6 bulan pasca stroke) dan stroke fase kronis (diatas 6 bulan pasca
stroke).
Pada rehabilitasi stroke fase akut, kondisi hemodinamik pasien belum stabil,
umumnya dalam peerawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit
stroke. Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang dirawat di
unit stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi lebih mandiri,
lebih mudah kembai dalam kehidupan sosialnya di masyarakat dan mempunyai
kualitas hidup yang lebih baik. Pada fase ini memerlukan penanganan spesialistik di
rumah sakit.
Pada rehabilitasi stroke fase subakut, kondisi hemodinamik pasien umumnya
sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang
memerlukan penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10 %)
pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan dan sebagian kecil lainnya
(sekitar 10 %) pasien pulang dengan gejala yang sangat berat dan memerlukan
perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala
sisa yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi rehabilitasi agar
dapat kembali mencapai kemandirian yang optimal.
Pada fase subakut pasien
Universitas Sumatera Utara
diharapkan mulai kembali untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan
berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistem saraf otak akan melakukan
reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras
otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui rehabilitasi,
reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional
optimal yang dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak
yang lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien mungkin. Hal
tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan
secara kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak. Prinsipprinsip Rehabilitasi Stroke:
1.
Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi yang
terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk
bergerak/ beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin
juga mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga seringkali
beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan
sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit
hanya akan terbentuk bila ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas
yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali, presentasinya di otak akan
mengecil dan terlupakan.
2.
Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional daripada
gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih,
memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional mengikutsertakan
Universitas Sumatera Utara
dan mengaktifkan bagian– bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak
normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti
menekuk dan meluruskan (fleksiekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi
area lesi saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa
digunakan untuk gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi latihan agar
terbentuk sirkuit yang baru.
3.
Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak fungsional
yang
normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal. Gerak normal
artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih terlalu
lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya dimana pasien masih menggunakan
ototnya secara “aktif”. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak
menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak pasif). Bantuan tenaga yang
kurang menyebabkan pasien mengerahkan tenaga secara berlebihan dan
mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan ikutan ataupun
pola sinergis yang memang sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya
bantuan “tenaga” yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan
pasien.
4.
Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai,
yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas
duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila pasien telah
mampu mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa berpegangan dalam
kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas duduk
Universitas Sumatera Utara
dinamik tercapai apabila pasien dapat mempertahankan posisi duduk sementara
batang tubuh doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau
dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih ke
atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh
selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. Hasil latihan ini
memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas dalam posisi berdiri.
Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan
aktivitas sambil berjalan.
5.
Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan. Gerak
fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila pasien siap
secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan kelenturan otot-otot,
lingkup gerak semua persendian tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada
pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi dan pemahaman akan
tujuan dan hasil yang akan dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis
juga menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum
dan sesudah latihan perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina
pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat
melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit) namun
dengan pengulangan sesering mungkin.
6.
Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh
kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang utuh.
Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-pisahkan.
Universitas Sumatera Utara
Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus melalui kemampuan kognitif,
karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar
untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas fungsional dengan segala
keterbatasan yang ada.
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk: mencegah
timbulnya komplikasi akibat tirah baring, menyiapkan/mempertahankan kondisi yang
memungkinkan pemulihan fungsional yang paling optimal, mengembalikan
kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari, mengembalikan kebugaran fisik
dan mental.
Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya dimotivasi untuk
mengerjakan semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan
yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya untuk semua
aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan dalam semua kegiatan.
Semakin cepat dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi
mandiri. Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan
pasien sendiri yang perlu ditolong oleh keluarga (Wirawan, 2009).
Perawatan penderita selepas dari rumah sakit perlu dipersiapkan sejak
menjelang pulang ke rumah. Sebelum pasien pulang, perawat atau dokter bersama
keuarga sebaiknya mendiskusikan dan mengusahakan tenaga penjaga orang sakit
yang telah terlatih yang akan mendampingi atau merawat pasien selama 24 jam di
rumah. Contoh-contoh gerakan rehabilitasi pasca stroke di rumah (Rumahorbo, et al,
2014):
Universitas Sumatera Utara
1.
Posisi berbaring telentang. Tempat tidur datar, kepala dan kedua bahu ditaruh di
atas bantal dan pastikan leher pasien tidak tertekuk. Lengan, siku dan
pergelangan yang lumpuh dalam posisi lurus diganjal dengan bantal. Telapak
tangan yang lumpuh diberi alas bantal. Cegah foot-drop dengan meletakkan
gulungan handuk di telapak kaki klien. Untuk menghindari luka tekan
(dekubitus) dan mencegah pemendekan otot, lakukan pengaturan atau
penggantian posisi tidur setiap 3 jam. Beri pijatan dengan menggunakan minyak
kelapa daerah-daerah yang tertekan, seperti punggung, panggul, tulang ekor,
mata kaki dan tumit.
2.
Posisi berbaring pada sisi yang sehat. Tempat tidur datar, kepala diatur senyaman
mungkin. Badan dimiringkan ke posisi yang sehat. Lengan yang lumpuh
diposisikan dengan sudut rentang 1000 dari badan dan diberi alas bantal. Siku
lengan yang lumpuh diatur dalam posisi tidak tertekuk dan telapak tangan yang
lumpuh dalam posisi tengkurap. Pangkal paha dan lutut yang lumpuh ditekuk dan
diganjal dengan bantal.
3.
Posisi miring ke sisi yang normal. Penolong bediri di samping pasien di sisi
tubuh yang sehat. Tekuk lutut yang lumpuh. Kedua tangan pasien diatur dalam
posisi saling menggenggam, yaitu posisi jempol tangan yang lumpuh. Bantu
pasien untuk miring dengan posisi tangan penolong berada pada bahu dan
pinggul yang lumpuh.
4.
Posisi miring ke sisi yang lumpuh. Penolong berdiri di samping pasien di sisi
tubuh yang lumpuh. Bantu pasien untuk miring dengan posisi tangan kanan
Universitas Sumatera Utara
menahan lutut sementara tangan kiri penolong menjepit lengan yang lumpuh.
Anjurkan pasien untuk memiringkan sisi yang sehat ke arah sisi yang lumpuh.
5.
Posisi angkat bokong. Penolong membantu pasien menekuk lutut yang lumpuh.
Satu tangan penolong membantu menopang kaki yang lumpuh dengan menahan
punggung kaki yang lumpuh di atas tempat tidur sementara tangan yang lain
menyusuri pinggang klien bagian bawah. Anjurkan pasien untuk mengangkat dan
meletakkan bokongnya.
6.
Posisi berbaring ke arah duduk. Penolong berdiri di samping pasien di sisi tubuh
yang lumpuh. Miringkan pasien ke arah sisi tubuh yang lumpuh. Miringkan
pasien ke arah sisi tubuh yang lumpuh dengan menekuk kedua lututnya.
Kemudian tangan kanan penolong menggeser bagian belakang lutut pasien ke
tepi tempat tidur sementara tangan kiri penolong menggeser berada di ketiak
yang lumpuh. Pada saat yang bersamaan pasien menyangga tubuhnya dengan
tangan yang sehat di tepi tempat tidur. Posisi duduk di ranjang. Naikkan kepala
tempat tidur 900, letakkan sebuah bantal di antara punggung dan tempat tidur
pasien. Posisikan klien duduk 900 dengan kepala tidak bersandar pada tempat
tidur. Posisikan lengan di atas meja setinggi perut pasien yang diberi alas bantal.
Bila perlu dukung bagian yang lumpuh dengan bantal.
7.
Posisi duduk di kursi. Bokong dan panggul tidak miring. Badan dalam keadaan
bersandar. Bahu lurus dengan panggul. Telapak kaki menapak di lantai, lengan
disangga.
Universitas Sumatera Utara
8.
Posisi duduk ke arah berdiri Penolong berdiri disamping tubuh klien yang
lumpuh. Letakkan kursi tanpa sandaran atau meja setinggi tempat duduk pasien
di depannya. Kedua tangan pasien diatur dalam posisi saling menggenggam,
yaitu posisi jempol dan telunjuk tangan yang lumpuh. Letakkan kedua tangan
pasien dalam posisi lurus ke depan di atas kursi atau meja sambil menganjurkan
pasien untuk membungkukkan tubuh dan mengangkat pantat. Penolong
membantu pasien dengan posisi satu tangan menahan pinggang yang sehat dan
tangan penolong yang lain menahan bagian tubuh yang lumpuh.
9.
Posisi berjalan 1. Penolong berdiri di hadapan pasien. Letakkan lengan pasien
yang lumpuh pada bahu penolong, sementara tangan penolong yang lain
membantu pasien untuk berjalan dengan menitikberatkan tubuh pasien pada
pinggul yang sehat.
10. Posisi berjalan 2. Penolong berdiri di samping pasien. Tangan kanan penolong
menggenggam tangan pasien yang lumpuh. Lengan penolong yang lain berada
pada ketiak pasien yang lumpuh dan mengarah ke dadanya.
11. Latihan gerak sendi. Latihan gerak sendi secara aktif oleh penderita bertujuan
untuk memelihara setiap persendian agar tidak timbul nyeri, kaku sendi, dan
pengecilan otot. Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan selama latihan:
letakkan barang-barang (kacamata, sisir, gelas minuman) dalam jangkauan dan
pada sisi yang sehat. Posisikan area penderita yang sehat dekat dengan pusat
ruangan. Orientasikan realitas dengan menempatkan kalender dan jam di area
yang mudah dilihat. Dampingi penderita selama latihan. Latih anggota gerak
Universitas Sumatera Utara
yang sehat untuk meningkatkan pergerakan dan kekuatannya. Dukung pasien
untuk melakukan latihan pergerakan pada sisi yang sakit.
12. Latihan aktif anggota anggota gerak atas (dilakukan klien sendiri). Kedua tangan
klien diatur dalam posisi saling menggenggam, yaitu posisi jempol tangan yang
sehat berada di sela jari jempol dan telunjuk tangan yang lumpuh. Anjurkan
pasien untuk mengangkat kedua tangannya dan menggerakkan ke arah atas
kepala. Kemudian turunkan kembali ke posisi semula. Anjurkan pasien untuk
mengangkat kedua tangannya dan menggerakkannya melewati dada ke arah sisi
tubuh yang sehat, kemudian kembali lagi keposisi semula. Tangan yang sehat
memegang lengan bawah yang lumpuh. Anjurkan pasien untuk mengangkat dan
meletakkan kedua tangannya di atas perutnya. Kemudian lakukan gerakan
memutar pergelangan tang ke arah dalam dan ke luar. Anjurkan pasien untuk
menekuk dan meluruskan jari-jari tangan. Lakukan gerakan di atas sebanyak 8
kali.
13. Latihan aktif anggota gerak bawah (Dilakukan klien sendiri). Anjurkan klien
meletakkan kaki yang sehat di bawah lutut yang lumpuh lalu turun sampai
punggung kaki yang sehat berada di bawah pergelangan kaki yang lumpuh.
Angkat kedua kaki ke atas dengan bantuan kaki yang sehat, kemudian turunkan
perlahan-lahan. Anjurkan klien mengangkat kedua kaki dan mengayunkan kedua
kakinya sejauh mungkin kearah satu sisi kemudian ke sisi yang lainnya. Lakukan
gerakan ini sebanyak 8 kali.
Universitas Sumatera Utara
14. Latihan pasif anggota gerak atas (dibantu penolong). Salah satu tangan penolong
memegang siku bagian dalam klien yang lumpuh sementara tangan yang lain
memegang lengan bawah bagian luar pada lengan yang lumpuh. Pertahankan
siku klien yang lumpuh tetap lurus dan gerakkan naik turun. Salah satu tangan
penolong memegang lengan bagian dalam pada lengan klien yang lumpuh
sedangkan tangan yang lain memegang lengan bawah klien yang lumpuh. Salah
satu tangan penolong memegang lengan bawah bagian luar pada lengan klien
yang lumpuh sedangkan tangan yang lain mengenggam telapak tangan klien
yang lumpuh. Putar pergelangan tangan klien dengan posisi telapak tangan
telentang dan telungkup. Salah satu tangan penolong memegang lengan bawah
lengan klien yang lumpuh dan tangan yang lain mengenggam telapak tangan
klien yang lumpuh. Tekuk pergelangan tangan klien yang lumpuh ke atas dan
kebawah. Salah satu tangan penolong memegang pergelangan tangan klien yang
lumpuh dan tangan yang lain memegang telapak tangan klien dengan posisi
menekuk dan meluruskan jari-jari tangan klien yang lumpuh. Gerakan ini dapat
dilakukan sebanyak 8 kaki.
15. Latihan pasif anggota gerak bawah (dibantu penolong). Salah satu tangan
penolong memegang lutut klien yang lumpuh sementara tangan yang lain
memegang tungkai bawah. Pertahankan lutut tetap lurus sambil menggerakkan
kaki klien yang lumpuh naik dan turun. Salah satu tangan penolong memegang
bagian belakang lutut klien yang lumpuh dan tangan yang lain memegang
tungkai. Lakukan gerakan menekuk dan meluruskan lutut. Salah satu tangan
Universitas Sumatera Utara
penolong memegang pergelangan kaki klien yang lumpuh dan tangan yang lain
memutar pergelangan kaki klien yang lumpuh. Tekuk pergelangan kaki klien
yang lumpuh ke atas dan ke bawah. Gerakan ini dapat dilakukan sebanyak 8 kali.
16. Latihan jalan menggunakan tongkat. Anjurkan pasien untuk meletakkan tongkat
di depan sisi tubuh yang sehat agak kesamping. Lalu kaki yang lemah melangkah
terlebih dahulu dan diikuti kaki yang sehat sambil menitikberatkan tubuh hanya
pada tongkat. Ulangi cara berjalan seperti ini untuk berjalan selanjutnya.
17. Latihan naik tangga (dengan penolong). Penolong berdiri di belakang pasien
pada sisi tubuh yang lumpuh. Pasien melangkahkan kaki yang sehat terlebih
dahulu sementara tangan yang sehat berpegangan di lengan tangga. Setelah itu
penolong membantu mengangkat kaki yang lumpuh menuju anak tangga yang
sama.
18. Latihan turun tangga (dengan penolong). Penolong berdiri di depan pasien pada
sisi tubuh yang lumpuh. Penolong membantu pasien melangkahkan dahulu kaki
yang lemah sementara tangan klien yang sehat berpegangan pada lengan tangga.
Setelah itu kaki yang sehat melangkah turun ke anak tangga yang sama.
19. Latihan naik dan turun tangga dengan tongkat. Pada saat naik tangga pasien
melangkahkan kaki yang sehat terlebih dahulu sementara tangan yang sehat
berpegangan pada tongkat yang sudah diletakkan sebelumnya pada anak tangga
yang akan dituju. Kemudian kaki yang lemah melangkah naik ke anak tangga
yang sama. Saat turun tangga pasien melangkahkan kaki yang lemah terlebih
dahulu sementara tanga yang sehat berpegangan pada tongkat yang sudah
Universitas Sumatera Utara
diletakkan sebelumnya di anak tangga yang akan dituju. Kaki yang sehat
melangkah turun ke anak tanggg yang sama. Begitu seterusnya.
20. Latihan naik dan turun tangga tanpa tongkat. Latihan naik tangga tanpa
menggunakan tongkat, pasien melangkahkan kaki yang sehat terlebih dahulu
sementara tangan yang sehat berpegangan pada lengan tangga. Kaki yang lemah
melangkah naik ke anak tangga yang sama. Begitu seterusnya. Saat turun tangga
pasien melangkahkan kaki yang lemah terlebih dahulu sementara tangan yang
sehat bepegangan pada lengan tangga. Kemudian kaki yang sehat melangkah
turun ke anak tangga yang sama. Begitu seterusnya.
21. Membantu pasien makan. Pasien stroke kadang mengalami gangguan menelan,
sehingga tidak dapat makan dengan normal. Mudah tersedak, perlu waktu yang
lebih lama untuk mengunyah dan menelan, serta mengiler. Untuk memudahkan
pasien makan, usahakan makan dalam posisi duduk menyandar. Anjurkan pasien
untuk sedikit menunduk dan menengok ke sisi yang lemah ketika menelan.
Sendoklah makan dalam suapan kecil atau sedang. Tempatkan pada sisi yang
sehat. Bersihkan mulut setelah makan. Mintalah pasien untuk tetap dalam posisi
duduk kurang lebih 30 menit setelah selesai makan.
22. Membantu pasien minum. Dehidrasi umum dijumpai pada pasien pasca-stroke.
Keengganan untuk buang air terlalu sering bisa menjadi salah satu sebab
kurangnya pasien mengkonsumsi air minum. Penyebab lain, pasien kesulitan
menelan. Agar tidak terjadi kekurangan cairan tubuh, pastikan agar pasien
mengkonsumsi air minum minimal 1,5-2 liter sehari. Bila pasien kesulitan
Universitas Sumatera Utara
menelan, gunakan sedotan untuk memudahkan. Jagalah jangan sampai pasien
tersedak.
Wirawan (2009), untuk rehabilitasi stroke fase kronis program latihannya
tidak banyak berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit
gerak/aktivitas sudah terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih
sulit dan lambat. Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk
memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan semakin
baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot
secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai aktivitas aktif yang
optimal. Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran rehabilitasi dapat mencapai
berbagai tingkat seperti (a) Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti
sebelum sakit, (b) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan
sesuai kondisi, (c) Mandiri penuh namun tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu
bantuan minimal dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau
sepenuhnya dibantu orang lain.
2.2.
Sistem Motorik
Sistem motorik bersifat kompleks dan fungsi motor menunjukkan integritas
traktus kortikospinal, sistem ekstrapiramida dan fungsi otak. Sebuah impuls motor
melintasi dua neuron. Beberapa traktus saraf motorik selain kortikospinal ada di
dalam medula spianalis. Beberapa dari traktus itu mewakili jaras sistem
Universitas Sumatera Utara
ekstrapiramida membentuk hubungan antara sel-sel ujung anterior dan pusat kontrol
otonom yang terdapat pada basal ganglia dan serebelum (Smeltzer & Bare, 2002).
Setiap serabut otot yang mengatur gerakan disadari melalui dua kombinasi
sel-sel saraf, salah satunya terdapat pada korteks motorik, serabut-serabutnya berada
tepat pada traktus piramida atau penyilangan traktus piramida dan serat lainnya
berada pada ujung anterior medula spinalis, serat-seratnya berjalan menuju otot. Yang
pertama disebut sebagai neuron motorik atas (upper motor neuron) dan yang terakhir
disebut sebagai nuron motorik bawah (lower motor neuron). Setiap saraf motorik
yang menggerakkan setiap otot merupakan komposisi gabungan ribuan saraf-saraf
motorik bawah.
Jaras motorik dari otak ke medula spinalis dan juga dari serebrum ke batang
otak dibentuk oleh UMN (upper motorik neuron). UMN mulai di dalam korteks pada
sisi yang berlawanan di otak menurun melalui kapsul internal, menyilang ke sisi
berlawanan di dalam batang otak, menurun melalui traktus kortikospinal dan
ujungnya berakhir pada sinaps LMN (lower motor neuron). UMN seluruhnya berada
dalam sistem saraf pusat (SSP). LMN menerima impuls di bagian ujung posterior dan
berjalan menuju sambungan mioneural. Berbeda dengan UMN, LMN berakhir di
dalam otot. Ciri-ciri klinik pada lesi di UMN adalah kehilangan kontrol volunter,
peningkatan tonus otot spastisitas otot, tidak ada atrofi otot dan refleksi hiperaktif dan
abnormal. Pada lesi LMN adalah kehilangan kontrol volunter, penurunan tonus otot,
paralisis flaksid otot, atrofi otot dan tidak ada penurunan refleks.
Universitas Sumatera Utara
Lesi UMN dapat melibatkan korteks motor, kapsul internal, medula spinalis
dan struktur-struktur lain pada otak dimana sistem kortikospinal menuruninya. Jika
UMN rusak atau hancur sering menyebabkan stroke, paralisis (kehilangan gerakan
yang disadari). Karena pengaruh hambatan dari UMN utuh pada keadaan ini
mengalami kerusakan, gerakan refleks (tidak disadari) tidak dihambat. Akibatnya otot
tidak atrofi atau menjadi lumpuh, tetapi sebaliknya, tetap lebih tegang secara
permanen daripada normal dan menunjukkan paralisis spastik. Paralisis dihubungkan
dengan lesi-lesi UMN dan biasanya mempengaruhi seluruh ekstremitas atau separuh
bagian tubuh.
Spasme kaki hebat dapat terjadi pada pasien-pasien yang mengalami cedera
komplit daerah medula spinalis. Adanya spasme disebabkan cedera pada sepanjang
lengkung refleks di medula spinalis dan merupakan tanda dari penyakit UMN.
Hemiplegia (paralisis satu tangan dan kaki pada sisi tubuh yang sama)
adalah salah satu contoh paralisis UMN. Jika terjadi hemoragi, embolus atau trombus
dapat merusak serat-serat pada daerah motor di kapsula interna, tangan dan kaki pada
sisi yang berlawanan menjadi kaku dan sangat lemah atau lumpuh dan refleks yang
berlebihan. Jika kedua kaki lumpuh, kondisi ini disebut paraplegia, paralisis pada
keempat ekstremitas disebut quadriplegia atau tetraplegia.
Pada individu yang mengalami kerusakan LMN pada satu saraf motor antara
otot dan medula spinalis berakibat rusak berat pada jaras ke otot. Akibat dari
rusaknya LMN adalah otot menjadi lumpuh dan dan orang tersebut tidak mampu
menggerakkan otot. Saraf tidak mengambil peran pada gerakan-gerakan refleks dan
Universitas Sumatera Utara
otot menjadi lemah dan atrofi karena otot tidak digunakan. Jika pasien mengalami
cedera pada batang spinal dan dapat sembuh kembali, maka pasien menggunakan
otot-otot penghubung ke bagian medula spinalis. Jika ujung sel-sel motor anterior
mengalami kerusakan, sedangkan saraf-saraf pembaharuan kembali menyebabkan
otot tidak pernah digunakan lagi. Rentetan kejadian seperti ini terjadi pada
poliomielitis anterior. Paralisis flaksid (kelumpuhan dan atrofi) pada otot-otot adalah
tanda spesifik pada penyakit LMN (Smeltzer & Bare, 2002).
2.3.
Pemeriksaan Neurologis
Neurologi adalah suatu ilmu yang mempelajari penyakit dan gangguan pada
sistem saraf. Pemeriksaan klinis pada penderita gangguan neurologis akan sangat
berharga. Pemeriksaan penderita secara sistematik, logis dan seksama yang
dilengkapi dengan keluhan penderita akan meembantu dalam membedakan dan
menganalissis gambaran klinis yang diajukan oleh kebanyakan penderita defisit
neurologis. Suatu anamnesis lengkap dan telitti ditambah dengan pemeriksaan fisik
akan dapat mendiagnosis sekitar 80% kasus (Collins, 1982). Walaupun terdapat
beragam prosedur diagnostik modern, tetap tak ada yang dapat menggantikan
anamnesis dan pemeriksaan fisik (Price & Wilson, 1995).
Pada pemeriksaan fisik klien dengan gangguan sistem persarafan secara
umum biasanya menggunakan teknik pengkajian per sistem. Pemeriksaan fisik pada
sistem persarafan ditujukan terhadap area fungsi utama yaitu: (1) pengkajian tingkat
Universitas Sumatera Utara
kesadaran, (2) pengkajian fungsi serebral, (3) pengkajian saraf kranial, (4) pengkajian
sistem motorik (5) pengkajian respon refleks, (6) pengkajian sistem sensorik
(Muttaqin, 2008).
Price dan Wilson (1995) mengatakan bahwa pengaturan pemeriksaaan
neurologis sangat penting. Mengikuti suatu urutan pemeriksaan tertentu membuat
dokter dapat mengevaluasi informasi yang ada dan langsung memeriksa segmen
selanjutnya yang belum diperiksa. Urutan pemeriksaan ini mencakup (1) status
mental, (2) tingkat kesadaran, (3) fungsi saraf kranial, (4) fungsi motorik, (5) refleks,
(6) koordinasi dan gaya berjalan, (7) fungsi sensorik.
2.4.
Pengkajian Fungsi Motorik
Menurut Ginsberg (2008), fungsi motorik pada angggota gerak harus
diperiksa secara berurutan mulai dari pengecilan otot (atrofi), gerakan involunter,
tonus, postur, kekuatan otot, koordinasi, refleks dan ditambah dengan observasi pola
berjalan dan berdiri pasien.
2.4.1. Pengecilan otot
Hilangnya massa otot umumnya kurang terlihat pada penyakit otot primer
(miopati) daripada kondisi yang terjadi akibat kerusakan saraf otot (atrofi neurogenik)
sebagai akibat dari lesi lower motor neuron (LMN). Pengecilan otot bukan
merupakan gambaran lesi upper motor neuron (UMN), walapun inaktivitas jangka
panjang juga dapat menyebabkan atrofi. Distribusi atrofi tergantung dari lokasi LMN
yang rusak dan apakah kerusakan terdapat pada sel kornu anterior atau distal dari
Universitas Sumatera Utara
radiks saraf spinal atau saraf perifer itu sendiri. Pola atrofi tertentu terjadi cukup
sering pada area yang harus diinspeksi secara rutin (Ginsberg, 2008)
2.4.2. Gerakan involunter
Gerakan yang dianggap orang awam sebagai gerakan abnormal ialah
gerakan yang timbul tidak sesuai dengan kemauan, tidak dikehendaki dan tidak
bertujuan. Oleh karena itu gerakan tersebut dikenal juga sebagai gerakan involuntar.
Adapun gerakan involuntar yang sering dijumpai adalah tremor. Tremor dapat
didefinisikan sebagai suatu gerakan yang tidak dikehendaki dan tidak bertujuan yang
terdiri dari satu seri gerakan bolak-balik secara ritmik sebagai manifestasi kontraksi
berselingan kelompok otot yang fungsinya berlawanan. Istilah awam yang cukup
jelas adalah gemetar (Sidharta, 2008).
Klasifikasi tremor dapat dibuat menurut frekuensi tremor (tremor
cepat/lambat), menurut amplitudonya (tremor halus/kasar), menurut sikap bagian
tubuh yang memperlihatkan bagian tubuh yang memperlihatkan tremor (tremor
postural/statik/intensional) dan seterusnya. Tetapi pembagian tremor dengan tujuan
klinis yang praktis ialah klasifikasi tremor menurut kausanya (tremor fisiologik,
tremor esensial heredofamilial, tremor penyakit parkinson, tremor iatrogenik, tremor
metabolik dan tremor serebelar).
Setiap orang sehat akan menunjukkan tremor sewaktu melakukan gerakan
tangkas secara lambat sekali, misalnya menulis lambat, melakukan operasi dimana
pembedahan halus harus diakukan dan sebagainya. Tremor tersebut adalah fisiologik.
Pada stiap orang akan timbul tremor, bilamana suatu anggota gerak akan ditempatkan
Universitas Sumatera Utara
dalam posisi yang canggung. Tremor tersebut biasanya pada jari-jari dan tangan dan
berfrekuensi 8-12 detik.
Tremor esensial heredofamilial ditemukan pada lengan saja. Kedua tungkai
jarang terllibat. Tetapi bibir, lidah, kepala dan rahang bawah dapat menunjukkan
tremor juga. Karena gemetaran di lidah, rahang bawah dan juga otot-otot pita suara,
maka tidak jarang penderita tidak dapat berbicara secara artikular, sehingga kurang
dapat dimengerti. Frekuensi tremor ini adalah 8-12 detik, berlangsung terus menerus
sewaktu melakukan gerakan tangkas (action tremor atau tremor intensional), hilang
dalam sikap istirahat dan beramplitudo tinggi yang bertambah kasar seiring dengan
meningkatnya ketegangan muskular.
Tremor pada penyakit parkinson memperlihatkan sifat-sifat yang khas.
Tremornya adalah terutama tremor sewaktu istirahat, hilang sama sekali kalau hendak
memulai melakukan gerakan tangkas, tetapi timbul kembali bilamana gerakan
tangkas yang sedang dilakukan sudah pada tahap penghentiaannya. Anggota gerak
mengalami tremor adalah lengan, tangan dan jari-jari. Yang mengalami tremor khas
adalah jari-jari tangan, yang sering dilukis semantik bagaikan memulung-mulung
pil/menggentel-gente pil atau menghitung recehan logam. Frekuensinya adalah 2-7
detik.
Tremor iatrogenik dapat timbul karena obat atau karena kepribadian orang
sakit sendiri. Banyak penderita menyatakan tidak kuat untuk disuntik. Bilamana ia
setengah dipaksa untuk menerima suntikan, tremor dan palpitasi dapat bangkit akibat
takut.
Universitas Sumatera Utara
Tremor metabolik dapat dianggap sebagai tremor yang timbul akibat zat-zat
metabolik yang bersifat toksik atau cholinergic. Yang paling umum adalah tremor
halus pada falangs-falangs jari tangan karena hipertiroidismus. Tremor halus pada
kelopak mata yang tampak kalau kedua mata ditutup dikenal sebagai tanda
rosenbach, yang sering dijumpai pada hipertiroidismus dan histeria.
Yang terhitung tremor serebelar ialah tremor karena kerusakan pada jaras
serebelopetal dan serebelofugal. Tremor rubral, ialah tremor karena lesi jaras
dentatorubral. Tremor ini berfrekuensi rendah 3-5/detik, amplitudonya besar, dapat
timbul sewaktu istirahat, tetapi paling jelas sewaktu lengan atau tangan memelihara
suatu sikap tertentu. Sindroma benedikt memperlihatkan tremor pada satu sisi
kontralateral terhadap lesi. Tremor sereberal karena lesi di jaras serebelopetal dan di
serebelum sendiri adalah kasar dan berfrekuensi rendah juga, namun berbeda dengan
tremor serebelar tersebut di atas karena tremor serebelopetal bersifat terminal, yaitu
lebih jelas dan hebat pada akhir gerakan tangkas intensional (Sidharta, 2008)
2.4.3. Tonus
Tonus otot dapat didefinisikan secara klinis sebagai tahanan/resistensi yang
dideteksi
oleh
pemeriksa
pada
gerakan
sendi
pasif,
jadi
merupakan
peregangan/stretching pasif otot. Resistensi otot tertentu normal pada individu, tetapi
dapat meningkat atau menurun akibat penyakit (hipertonia atau hipotonia). Regangan
pasif otot akan menginduksi impuls aferen ke medula spinalis, yang kemudian akan
mengaktivasi neuron motorik sehingga menyebabkan kontraksi refleks. Refleks inilah
yang akan mempertahankan tonus otot normal. Korelasi klinisnya adalah gangguan
Universitas Sumatera Utara
pada lengkung refleks akibat penyakit, misalnya kerusakan LMN, akan menyebabkan
penurunan tonus hipotonia, maka otot akan menjadi flaksid. Sebaliknya, penyakitpenyakit yang mengenai UMN akan menyebabkkan hipertonia atau spastisitas. Ini
terjadi bukan karena banyak kerusakan pada eksitasi UMN itu sendiri, tetapi lebih
karena disfungsi jalur polisinaptik yang menurun sejalan dengan UMN yang
memberikan efek inhibisi pada LMN dan lengkung refleks. Hilangnya inhibisi
supraspinal akan mengubah refleks regang menjadi bentuk yang lebih primitif,
sehingga tonus meningkat (Ginsberg, 2008).
Tonus otot dapat meningkat secara fisiologik karena ketegangan mental.
Otot-otot yang hipertonik dalam hal itu ialah otot-otot leher/bahu dan lumbosakral.
Dalam kehidupan sehari-hari otot-otot lengan/tangan dan otot-otot tungkai/kaki dapat
juga menjadi hipertonik secara fisiologik. Karena ketegangan mental tangan sukar
digerakkan untuk menulis dan tungkai sukar dilangkahkan (Sidharta, 2008).
Karakteristik hipertonia yang disebabkan oleh kerusakan UMN adalah
adanya resistensi yang besar terhadap regangan otot pasif melalui sebagian kisaran
gerak sendi, akan tetapi pada titik tertentu resistensi tiba-tiba menghilang (fenomena
pisau lipat). Pada pasien dengan lesi UMN ringan, gejala satu-satunya dari lesi
tersebut pada ekstremitas atas mungkin hanya merupakan versi mini efek pisau lipat
yang dirangsang dengan melakukan supinasi dan pronasi lengan bawah (supinator
catch) (Ginsberg, 2008).
2.4.4. Postur
Universitas Sumatera Utara
Tanda lain lesi UMN ringan pada ekstremitas atas dapat dilihat dengan
meluruskan kedua lengan pasien, telapak tangan menghadap atas dan mata ditutup.
Sisi yang terkena akan lebih dulu menjalani pronasi kemudian bergerak ke bawah
(tanda piramidal atau tanda pronator). Abnormalitas postur dapat pula diakibatkan
oleh penyakit ekstrapiramidal (Ginsberg, 2008).
2.4.5. Kekuatan otot
Kekuatan otot dinilai secara klinis dengan mengklasifikasikan kemampuan
pesan untuk mengkontruksikan otot volunter melawan gravitasi dan melawan tahanan
pemeriksa. Skala yang sering digunaka n adalah Medical Research Council Scale, 0
(tidak ada kontraksi), 1 (kedutan otot sedikit kontraksi), 2 (gerakan aktif yang terbatas
oleh gravitasi), 3 (gerakan aktif dapat melawan gravitasi), 4 (gerakan aktif dapat
melawan gravitasi dan tahanan pemeriksa), 5 (kekuatan normal).Untuk pemeriksaan
otot dapat dipilih bagian-bagian otot yang penting, walaupun dapat juga dilakukan
pemeriksaan semua otot anggota gerak lain. Pemilihan otot yang diperiksa didasarkan
pada informasi dari anamnesis, atau dari bagian lain pemeriksaan fisik (Ginsberg,
2008).
2.4.6. Koordinasi
Tes koordinasi anggota gerak dapat memberikan informasi mengenai lokasi
lesi pada penyakit sereberal, lesi umumnya terdapat pada hemisfer sereberal pada sisi
yang sama (ipsilateral) dengan bagian tubuh yang terkena. Pada ekstremitas atas, tes
utama untuk koordinasi adalah tes tunjuk hidung-jari, pasien menggerakkan jari
telunjukknya ke belakang dan ke depan dari hidung pasien menuju jari pemeriksa.
Universitas Sumatera Utara
Pada penyakit sereberal akan terjadi ketidakakuratan (salah tunjuk/past-pointing)
karena ketidakmampuan menilai jarak (dismetria). Ketika jari mendekati target, jari
dapat semakin bergetar (tremor intensi) (Ginsberg, 2008)
Sidharta (2008), gerakan diskoordinatif yang dapat disaksikan pada waktu
tangan atau lengan melakukan gerakan voluntar dikenal sebagai asinergia, dismetria,
didiadokhokinesia dan gangguan fiksasi postural. Disnergia atau asinergia ialah
gangguan kemampuan pasien untuk mengelola otot-otot dan gerakan-gerakan yang
biasanya dilaksanakan secara harmonis, sinkhron, menuruti aturan yang tepat dan
dengan tenaga yang sesuai. Dengan sifat-sifat gerakan voluntar tersebut itu, maka
gerakan voluntar akan memperlihatkan ketangkasan, keluwesan dan kecepatan yang
tepat dan sesuai. Dengan test-test di bawah ini gangguan dalam hal ketangkasan,
keluwesan dan kecepatan yang tepat dapat disaksikan. Test mengambil gelas air dari
meja untuk diminumnya. Orang yang sehat dapat mengambil segelas air dari meja
dan dengan mudah ia mengangkat gelas itu untuk disampaikan kepada mulutnya.
Tetapi orang dengan gangguan serebelar akan menerjang gelas air untuk
mengambilnya dan akan menyampaikan gelas itu tidak tepat pada bibirnya,
melainkan pada gigi atau hidungnya.
Test-test yang dilakukan untuk mengungkapkan dismetria dapat juga dipakai
untuk meneliti disinergia. Dismetria ialah gangguan kemampuan untuk mengelola
kecepatan gerakan, kekuatannya dan jangkauannya. Adapun test-test yang digunakan
di dalam klinik ialah test telunjuk-hidung, test hidung-telunjuk-hidung, test telunjuktelunjuk.
Dalam melakukanya pasien boleh duduk atau berbaring dengan mata
Universitas Sumatera Utara
terbuka dan ditutup secara bergiliran. Dengan adanya dismetria, maka jari telunjuk
tidak mendarat secara luwesa di ujung hidung atau ujung jari telunjuk lainnya,
melainkan jatuh menabrak atau menerjang tujuannya (Sidharta, 2008).
Dismetria pada kaki dapat diteliti dengan test tumit-lutut-ibu jari kaki. Pasien
disuruh menempatkan salah satu tumitnya di atas lutut tungkai lainnya, kemudian
tumit itu harus meluncurkan dari lutut tungkai lainnya, kemudian tumit itu harus
meluncur dari lutut ke pergelangan kaki melalui tulang tibia dan akhirnya memanjat
dorsum pedis untuk untuk menyentuh ibu jari kaki. Pada penyakit serebelar tumit
tidak didaratkan secara luwes di atas lutut, melainkan jatuh di paha atau di samping
lutut. Kemudian tumit meluncur secara terhuyung-huyung hendak jatuh ke samping
od tibia dan akhirnya tumit dijatuhkan di atas jari-jari kaki dan bukannya didaratkan
secara rapi di atas ibu jari kaki. Test ibu jari kaki-jari telunjuk. Pasien disuruh
menyentuh jari telunjuk si pemeriksa dengan ibu jari kakinya secara berulang-ulang
(Sidharta, 2008).
Kemampuan untuk melakukan gerakan cepat secara berselingan dinamakan
diadokhokinesia.
Gerakan
tersebut
adalah
mempronasi-supinasikan
tangan,
melakukan dorsofleksi dan volarfleksi di pergelangan tangan secara berselingan
seperti kalau menepuk-nepuk paha atau membolak-balikkan tangan di atas paha
secara berulang-ulang atau pun menyentuh ujung jari telunjuk dan ujung ibu jari
secara berulang-ulang. Kecanggungan dalam melakukan gerakan diadokhokinetik itu
dikenall sebagai disdiakhokinesia (Sidharta, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Dalam memelihara suatu sikap orang sehat tidak memerlukan bantuan
visual. Tetapi pasien dengan lesi serebelar unilateral memerlukan bantuan mata,
karena kalau matanya ditutup akan timbul deviasi sikap anggota gerak di sisi lesi.
Gejala ini dapat diungkapkan kalau kedua lengan diluruskan ke depan dengan mata
tertutup selama beberapa detik. Lengan pada sisi lesi akan menyimpang ke arah lesi.
Dalam posisi tidak mampu untuk kembali ke posisi semula (Sidharta, 2008).
2.4.7. Refleks
Metode langsung untuk menilai refleks tendon secara klinis dengan
mengetuk tendon otot dengan palu refleks akan meregangkan otot secara pasif dan
menginduksi kontraksi refleks otot secara pasif dan meginduksi kontraksi refleks otot.
Sama halnya dengan tonus otot, refleks ini dapat meningkat atau menghilang akibat
penyakit tertentu (Ginsberg, 2008).
Gangguan pada lengkung refleks, misalnya kerusakan LMN, akan
menyebabkan penurunan atau menghilangnya refleks ini. Kadang-kadang refleks
yang awalnya tidak terlihat dapat kita peroleh dengan meminta pasien untuk
mengatupkan giginya (untuk refleks tendon ekstremitas atas) atau mengaitkan jari-jari
kedua tangan dan menariknya (manuver Jendrassik, untuk memeriksa refleks tendon
ekstremitas bawah) dan pada saat yang sama pemeriksa mengetuk tendon otot.
Fenomena ini merupakan penguatan (reinforcement) karena dengan manuver tersebut
terjadi peningkatan sensitivitas reseptor regang di seluruh tubuh (Ginsberg, 2008).
Smeltzer & Bare (2002), derajat refleks tendon biasanya direpresentasikan
secara simbolis dengan 4+ (hiperaktif dengan klonus terus menerus), 3+ (hiperaktif),
Universitas Sumatera Utara
2+ (normal), 1+ (hipoaktif), 0 (tidak ada refleks). Refleks bisep didapat melalui
peregangan tendon biseps pada saat siku dalam keadaan fleksi. Orang yang menguji
menyokong lengan bawah dengan satu tangan sambil menempatkan jari telunjuk
dengan menggunakan palu refleks. Respon normal adalah fleksi pada siku dan
kontraksi biseps. Untuk menimbulkan refleks triseps, lengan pasien difleksikan pada
siku dan diposisikan di depan dada. Pemeriksa menyokong lengan pasien dan
mengidentifikasi tendon trisep dengan mempalpasi 2,5 sampai 5 cm di atas siku.
Pemukulan langsung pada tendon normalnya menyebabkan kontraksi otot triseps dan
ekstensi siku.
Refleks patela ditimbulkan dengan cara mengetuk tendon patela tepat di
bawah patela tepat di bawah patela. Pasien dalam keadaan duduk atau tidur telentang.
Jika pasien telentang, pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi otot.
Kontraksi quadriseps dan ekstensi lutut adalah respon normal. Untuk mendapatkan
refleks ankle, buat pergelangan kaki dalam keadaan rileks, kaki dalam keadaan dorsi
fleksi pada pergelangan kaki dan palu diketuk pada bagian tendon achilles. Refleks
normal yang muncul adalah fleksi bagian plantar. Bila terjadi refleks yang sangat
hiperaktif maka keadaan ini disebut klonus. Jika kaki dibuat dorsifleksi dengan tibatiba dapat mengakibatkan dua atau tiga kali gerakan sebelum selesai pada posisi
istirahat. Kadang-kadang pada penyakit SSP terdapat aktivitas ini dan kaki tidak
mampu istirahat dimana tendon menjadi longgar tetapi aktivitas berulang-ulang
(Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.4.8. Leher dan batang tubuh
Fleksi leher terjadi oleh kontraksi simultan kedua otot sternomastoid yang
dipersarafi oleh nervus aksesorius spinalis. Walaupun jarang dapat terjadi kelemahan
ekstensi leher sehingga pasien harus menyokong dagu dengan tangan seperti terjadi
pada miastenia gravis, polimiositis dan penyakit neuron motorik (Ginsberg, 2008).
Kelemahan batang tubuh dapat dinilai dengan meminta pasien bangkit dari
posisi tidur ke duduk dengan tangan dilipat di dada tanpa bantuan apapun. Hal ini
dapat terjadi sebagai bagian kelemahan proksimal yang lebih umum yang sering
terjadi pada penyakit otot primer. Ataksia trunkal umumnya berhubungan dengan
kerusakan struktur sebelum bagian tengah (vermis). Keadaan ini dapat menjadi berat
sehingga pasien tidak mampu mempertahankan postur duduk yang stabil tanpa
bantuan (Ginsberg, 2008).
2.4.9. Pola berjalan dan berdiri
Banyak yang dapat dipelajari dengan menilai pasien saat berdiri tanpa
bantuan. Pasien yang jatuh jika diminta berdiri dengan mata tertutup kemungkinan
mengalami gangguan sensibilitas posisi sendi pada pergelangan kaki (tanda
Romberg) (Ginsberg, 2008).
Gaya berjalan pasien pasien dengan gangguan serebelar khas. Di dalam
klinik dilakukan pemeriksaan dimana pasien berjalan dengan mata tertutup dan mata
terbuka. Pasien disuruh: “berjalan menuruti garis yang lurus, berjalan memutari kursi
atau meja, lari di tempat, berjalan maju mundur”. Dengan test-test tersebut akan
terlihat
kesimpangsiuran
gerakan
berjalan,
dimana
kecenderungan
untuk
Universitas Sumatera Utara
menyimpang garis atau jatuh ke salah satu sisi dapat disaksikan. Pada lesi unilateral
di serebelum kecenderungan untuk jatuh ialah ke sisi lesi. Jika lesi terletak di vermis,
badan bergoyang-goyang dan beranggul-anggul sewaktu berdiri diam dan juga
sewaktu berjalan (Sidharta, 2008).
2.5.
Fugl-Meyer
Pengkajian fugl-meyer
adalah salah satu pengukuran kerusakan fungsi
tubuh pasca stroke yang paling dikenal dan relevan secara klinis (Sullivan et al,
2010). Pengkajian Fugl-Meyer bagian ekstremitas atas yaitu bahu, siku, lengan
bawah, pergelangan tangan dan tangan. Ekstremitas bawah yaitu pangkal paha, lutut
dan pergelangan kaki. Aktivitas refleks dikaji pada ekstremitas atas dan bawah diawal
dan diakhir pengkajian motorik. Keseimbangan dikaji saat duduk dan berdiri.
Sanford et al (1993), pada pengkajian fugl-meyer, setiap pengkajian dinilai
dengan tiga skala ordinal (2 poin untuk hal yang dapat dilakukan dengan sempurna, 1
poin untuk hal yang dapat dilakukan sebagian dan 0 untuk hal yang tidak dapat
dilakukan). Maksimal skor adalah 100, untuk ekstremitas atas 66 poin, untuk
ekstremitas bawah 34 poin (lihat di lampiran 2).
Status fungsi motorik dikategorikan menjadi 4 kelas, yaitu 96-99 adalah
kategori hemiplegia ringan, 85-95 adalah kategori hemiplegia sedang, 50-84 adalah
hemiplegia tampak mencolok/nyata, <50 adalah kategorin hemiplegia berat (Sanford
et al, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Download