Agung Wibiyanto S.S, MM | MODEL PENGELOLAAN MANAJEMEN

advertisement
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
MODEL PENGELOLAAN MANAJEMEN BISNIS SEKSUAL DILIHAT DARI
DAYA TARIK DAN POLA BISNIS (STUDI PADA WILAYAH SARKEM-BADRAN
YOGYAKARTA)
Agung Wibiyanto S.S, MM
Politeknik Indonusa Surakarta
[email protected]
Abstrak
Daya tarik wisata di Yogyakarta memang banyak mencuri perhatian para wisatawan
yang berkunjung, di mana salah satunya ialah ragam wisata sex. Dalam penelitian ini sudah
terdapat pergeseran wisata sex yang tidak hanya berlokasi di daerah Pasarkembang saja
namun sudah merambah ke wilayah Badran dan tempat tempat disekitarnya yang
memanfaatkan fasilitas seperti salon dan bar. Melihat penelitian ini mengamati dua variabel
yakni karakteristik daya tarik masing masing tempat dan pola bisnis wisata sex. Dilihat dari
tujuan penelitian ini untuk mengetahui model pengelolaan manajemen bisnis seksual pada
wilayah Sarkem dan Badran melalui pola transaksi bisnis sex yang dilakukan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif, di mana
nantinya pada proses pencarian data menggunakan informan melalui teknik wawancara.
Jumlah informan yang diwawancarai ada 20 orang, 10 orang diantaranya PSK dengan
masing masing tempat mengingat dari tempat satu dengan yang lain berbeda jika dilihat dari
umur, penghasilan per malam, profesi apakah PSK murni atau hanya sampingan, tarif
booking per jam, dan juga status sosial pengunjung/tamu yang dilayani oleh para PSK
tersebut. 10 orang lainnya yang diwawancarai yakni para germo, mami, pengelola bisnis
khususnya bar, salon, ketua masyarakat sekitar serta dari kalangan birokrat pemerintah kota
Yogyakarta.
Hasil dari penelitian ini menitikberatkan pada dua variabel yakni daya tarik wisata
sex di wilayah Pasarkembang-Badran dan juga pola bisnis yang dilakukan sebagai model
pengelolaan bisnis seksual di wilayah itu. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari ragam yang
ditawarkan baik dari kualitas harga dari PSK, umur PSK, fasilitas yang ditawarkan, tempat
transaksi bisnis wisata sex, cara pembookingan di mana untuk model prostitusi konvensional
tentu berbeda dengan model prostitusi modern dengan meninjau tempat baik di lokalisasi
maupun di bar serta salon di seputaran wilayah Sarkem dan Badran. Dilihat dari ragam
tempatnya baik di lokalisasi, bar, maupun salon juga berpengaruh pada status sosial dari
pengunjung/ tamu yang berada di masing masing area yang disebutkan di atas. Dengan
melihat realita bisnis tersebut nantinya diharapkan dapat menghasilkan solusi yang terbaik
dari pihak pihak yang terkait khususnya masyarakat sekitar dan pihak dari pemerintah kota
Yogyakarta.
Kata Kunci : Daya Tarik Pasarkembang-Badran, Pola Bisnis Seksual, Pengelolaan
Manajemen Bisnis Seksual
sangat berpengaruh dalam menentukan
lokalisasi ini mengingat jarak antara
Malioboro dengan Pasar Kembang cukup
berdekatan. Jika merujuk pada ikon
semacam lokalisasi, nama Sarkem yang
merupakan singkatan dari Pasar Kembang
menjadi sebuah nama yang flamboyan bagi
para petualang wisata sex.
Nama Sarkem yang flamboyant
tersebut
menyebabkan
munculnya
prostitusi baru di seputaran wilayah Pasar
Kembang- Badran yakni Sarkem sendiri,
I.
PENDAHULUAN
Salah satu daya tarik pesona
negatif dari dunia pariwisata di Yogyakarta
ialah wisata sex, di mana juga menjadi
salah satu bisnis yang menggiurkan.
Seperti halnya pada kota kota besar,
Yogyakarta juga mempunyai sarana tempat
khusus semacam lokalisasi sebagai daya
tariknya dalam hal ini Sarkem dan
Ngebong. Hal ini cukup mendapatkan
perhatian cukup serius mengingat salah
satu ikon Yogyakarta yakni Malioboro
1
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
Ngebong atau orang menyebutnya bong
suwung yang letaknya di belakang kantor
SAMSAT DIY, dan juga cluster baru
yakni prostitusi yang memanfaatkan sarana
prasarana seperti hotel, bar maupun salon
di seputaran wilayah Pasar KembangBadran. Jadi dapat digambarkan bahwa
Sarkem dan Ngebong merupakan jenis
lokalisasi konvensional pada umumnya, di
sisi lain yakni prostitusi modern yang
memanfaatkan teknologi dan sarana
prasarana seperti salon, hotel dan bar di
seputaran wilayah Pasar Kembang-Badran.
Maka dengan melihat konteks di atas baik
dari pola bisnis, segmentasi kunjungan dan
karakteristiknya juga dapat dikatakan
berbeda.
Pemaparan di atas secara spesifik
baik Sarkem maupun Badran seperti yang
dikemukakan oleh Mudjiono (2005 :51)
dengan melihat pola bisnisnya masih
tergolong konvensional yakni PSK
menunggu
kedatangan
tamu
yang
berkunjung, mengingat tamu/wisatawan
bebas datang leluansa keluar masuk area
prostitusi. Secara lebih jauh, Mardina
(2013) memang telah terjadi eksodus para
PSK dari luar Sarkem maupun Ngebong
seperti Parangkusumo, Samas, Surabaya
dalam mencari penghidupan di wilayah
PasarKembang-Badran. Hal ini juga
menambah permasalahan sosial baru antara
lain persaingan bisnis diantara orang lama
dan orang baru dan tidak hanya itu saja,
secara langsung berdampak pada daftar
hunian di seputaran wilayah Sarkem
maupun Badran yang juga diikuti dengan
pembangunan indekost liar di wilayah itu.
Untuk jenis tipe selanjutnya yakni
jenis prostitusi modern di seputaran
wilayah Pasar kembang- Badran dan
tentunya berkebalikan dengan jenis
prostitusi konvensional. Melalui tipe jenis
ini memang memanfaatkan pertumbuhan
sarana dan prasarana infrastruktur lainnya
seperti hotel, salon maupun bar di
seputaran wilayah Pasarkembang-Badran.
Dilihat dari segi bisnis, memang PSK yang
disajikan di tempat tersebut kebanyakan
jenis PSK baru, di mana profesi ini hanya
sebagai sampingan namun menggiurkan
karena omzet yang didapatkan cukup
berlipat ganda. Hal ini berpengaruh pula
pada segmentasi tamu/wisatawan yang
berkunjung rata rata berpendapatan tinggi
mengingat tarif PSK di tempat ini relatif
cukup tinggi antara 500- jutaan. Konteks di
atas juga ditunjang dengan memanfaatkan
teknologi seperti pembookingan PSK lewat
online sehingga model bisnisnya juga
diorganisir cukup rapi.
Jadi
dapat
dilihat
bahwa
permasalahan yang muncul di wilayah
seputaran Sarkem dan Badran cukup
kompleks, mulai dari eksodus para mantan
PSK di wilayah lain, persaingan bisnis
prostitusi baik di bar, maupun salon plus,
lokalisasi sarkem dan badran yang banyak
melibatkan beberapa pihak khususnya para
pemilik indekost selaku bagian dari
masyarakat sekitar telah menjadikan seks
sebagai komoditas pariwisata malam.
Walaupun demikian jika dilihat dari
beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah kota Yogyakarta belum
menunjukkan adanya tindakan serius untuk
menindaklanjuti perkembangan gemerlap
prostitusi di wilayah tersebut khususnya
pembangunan
indekost
liar
dan
pengelolaan manajemen baik di lokalisasi,
bar maupun salon.
Merujuk pada permasalahan yang
dihadapi, maka dalam penulisan jurnal ini
dapat
ditarik
sebuah
rumusan
permasalahan yakni :
Bagaimana
model
pengelolaan
manajemen bisnis seksual pada wilayah
Sarkem-Badran khususnya pada pola
transaksi bisnis sex masing masing tempat
yang menyebabkan dinamika prostitusi
berkembang?
Dengan menitikberatkan pada
kedua variabel yakni daya tarik wisata sex
baik di Pasar Kembang, Badran dan juga
pola manajemen pengelolaan bisnis wisata
sex telah menentukan model pengelolaan
di kedua wilayah tersebut. Hal ini tidak
bisa dilepaskan dari ragam wisata sex yang
ditawarkan baik dari kualitas harga dari
PSK dari segi umur, fasilitas yang
ditawarkan, tempat transaksi bisnis wisata
sex, cara pembookingan di mana untuk
model prostitusi konvensional tentu
berbeda dengan model prostitusi modern
dengan meninjau tempat baik di lokalisasi
maupun di bar, maupun salon di seputaran
wilayah Sarkem dan Badran. Dilihat dari
ragam tempatnya baik di lokalisasi, bar,
2
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
salon maupun hotel juga berpengaruh pada
status sosial dari pengunjung/ tamu yang
berada di masing masing area yang
disebutkan di atas. Dengan melihat
fenomena manajemen dari masing masing
tempat baik di Sarkem maupun Badran,
maka nantinya diperlukan sebuah solusi
yang dinilai dari tanggapan masyarakat
dan juga pihak pemerintah kota
Yogyakarta untuk mengikis perkembangan
bisnis tersebut secara humanis. Bila
ditinjau dari manfaat penulisan jurnal ini
antara lain :
1. Bagi kalangan akademisi, di
mana jurnal ini dapat dijadikan bahan
referensi dalam melakukan penelitian
dengan mengupas permasalahan akan
dampak negatif pariwisata khususnya
fenomena prostitusi akan pengelolaan
manajemennya
2. Bagi pengambil keputusan
yakni jurnal ini disusun dengan
menggunakan bahasa praktis yang
memungkinkan bagi para pengambil
keputusan dapat mengimplementasikan ke
dalam program dan rencana untuk
penanganan
solusi
pengikisan
permasalahan prostitusi akibat dampak
negatif pariwisata
sering dikenal dengan pariwisata seks yang
fenomenal. (Soekadidjo, 1997 : 52-57)
Dilihat dari nama trennya,
pariwisata sex juga mendapatkan porsi
daya tarik bagi para peminatnya. Seks dan
pariwisata yang nantinya berdampak pada
konteks
perkembangan
pelacuran.
Berkembangnya prostitusi disebabkan oleh
banyak aspek dan sangat kompleks. Jones
(1995)
mengemukakan
dua
faktor
penyebab meningkatnya pelacuran (sex
worker) yakni aspek supply dan demand.
Supply berkaitan dengan poorly educated
yang tinggi dan kemiskinan kalangan
wanita atau masyarakat dibuktikan dengan
proporsi mereka yang sangat tinggi di
hampir semua jenis pelacuran. Aspek
demand yang dimaksud ialah semakin
baiknya kesejahteraan dan kemampuan
pihak laki laki untuk membeli pelayanan
seks. Namun demikian menurut Susilo
(1972) bahwa dunia prostitusi tidak akan
otomatis hilang dengan adanya perbaikan
sosial ekonomi karena berkaitan dengan
demand selain berkaitan dengan injustice
dan exploitation. Dilihat dari Hatib Abdul
Kadir (2007) dalam kegiatan pelacuran
memang dapat dibagi menjadi beberapa
tipe dan kelas yakni pelacuran jalanan,
terselubung, amatiran serta lokalisasi dan
panggilan. Adakalanya pelacuran yang
transparan mungkin jumlahnya lebih besar
daripada pelacuran yang tidak transparan
demikian pula sebaliknya. Pada umumnya
di masyarakat, dunia prostitusi memang
sedemikian kompleks dan menggejala
dalam berbagai bentuk dengan sebagian
mudah dikenali dan sebagian lagi sulit
untuk dikenali. Fenomena tersebut ada dan
dapat ditemukan di kota kota di Indonesia
salah satunya di Yogyakarta.
Dari corak yang dibicarakan,
memang ada indikasi bahwa dalam
mengulas perbedaan diantara pariwisata
dan seks pariwisata memang tergolong
cukup tipis, di mana banyak orang yang
berasumsi dengan adanya kabar yang
beredar bahwa pariwisata dan seks
merupakan bagian dari ritual pariwisata itu
sendiri. Selebihnya, juga telah ada kabar
yang beredar jika mengacu pada
pembangunan akomodasi memang telah
terdapat perbedaan yang cukup tipis antara
pariwisata dan seks pariwisata baik dari
II.
KAJIAN PUSTAKA
Seperti yang dikemukakan oleh
R.G Soekadidjo yang telah memberikan
pemaparannya tentang tiga modal yang
biasa digunakan dalam menarik wisatawan
supaya berkunjung ke sebuah objek
pariwisata yakni :
a. Modal alam, di mana modal ini berupa
fisik alam seperti halnya pemandangan,
flora dan fauna yang ditunjukkan dengan
modal alam pantai, pegunungan, goa dll
b. Modal budaya, di mana modal ini wujud
dari berupa warisan kebudayaan yang
bentuknya bisa bersifat artefak atau act.
Maksud dari inti artifact yakni peninggalan
budaya yang berbentuk fisik seperti candi,
arca atau patung. Sedangkan act
peninggalan budaya yang berbentuk tarian
atau seni pertunjukan lain.
c. Potensi manusia, di mana potensi
manusia ini merupakan modal yang
biasanya berbentuk jasa manusia. Salah
satu jasa populer di wilayah pariwisata
3
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
penjelasan dorongan ekonomi maupun
penyimpangan kultural. Hal ini sependapat
dengan teori dari Harry, di mana tentang
dorongan ekonomi dan seks. Konteks ini
berkembang dengan diasumsikan bahwa
laki laki yang mengunjungi pekerja seks
merupakan pelancong bisnis juga akan
mengunjungi PSK sebagai wisatawan
rekreasi. Hal ini bisa dipahami mengingat
sisi dengan mengunjungi PSK merupakan
sebuah salah satu variasi, bermain,
kebutuhan seksual, fantasi, kenyamanan
dan persahabatan terlepas di mana pun itu
terjadi. Memang secara tidak langsung
dalam perkembangannya memperkuat
peluang atas masing masing motivasi
pariwisata.
masing masing tempat, model pengelolaan
manajemen bisnis prositusi di masing
masing tempat yang melibatkan beberapa
pihak. Pada teknik analisis data, di mana
data baik dari hasil wawancara dianalisis
berdasarkan ruang lingkup karakteristik
masing masing wilayah baik Sosrowijayan,
Badran, maupun bar dan salon di wilayah
tersebut mengingat pola transaksi sex
dalam pengelolaan manajemen masing
masing tempat juga berbeda, sehingga
analisisnya berusaha mengikuti alur sosial
dan ekonomi bisnis yang ada. Dari hasil
analisis
ini
dikembangkan
dan
diiterpretasikan ke dalam penulisan
penelitian.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Tipe Prostitusi di
Yogyakarta
Melihat dari karakteristik tempat,
baik Sarkem, Ngebong dan beberapa salon
maupun hotel di seputaran wilayah Pasar
Kembang-Badran diuntungkan dengan
potensi wisata di Yogyakarta khususnya
Malioboro. Nama Sarkem sudah menjadi
nama yang flamboyan bagi para wisatawan
dan merujuk pada sebuah kampung yang
bernama Sosrowijayan yang berada di
wilayah Pasar kembang, khususnya
Sosrowijayan kulon. Sesuai dengan
demografi penduduknya, jumlah PSK di
tempat ini mencapai 150an orang yang
bertempat tinggal di wilayah Sosrowijayan
kulon. Tidak hanya itu saja, jumlah ini
akan bertambah hingga 200an jika
menjelang malam tiba mengingat para
PSK tambahan ini tidak bertempat tinggal
di wilayah itu dan hanya menggunakan
tempat Sosrowijayan Kulon sebagai tempat
“mangkal” dalam mencari uang saja.
Walaupun demikian jumlah ini tidak
sefantastis sebelum tahun 2010 yang
mencapai angka 300an, di mana untuk saat
ini sudah terjadi penurunan jumlah PSK
yang turun perlahan lahan yang disebabkan
faktor faktor tertentu khususnya banyak
mantan PSK yang sudah mapan dalam
kehidupannya. Dilihat dari macam tarif
PSK di Sarkem mulai dari Rp 100.000250.000an tergantung dari umur serta
pelayanan seks yang diberikan.
Tempat kedua ialah Ngebong, di
mana prostitusi ini berada di belakang
III.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan analisis deskriptif
yang
berusaha
mengungkap
dan
memahami realitas yang ada di lapangan
sebagaimana adanya. Metode kualitatif ini
cocok untuk melihat permasalahan yang
terjadi
dan
dapat
mengungkapkan
permasalahan lebih tajam dan mendalam
mengenai tinjauan model pengelolaan
manajemen wisata sex yang dilihat dari
daya tarik dan pola bisnisnya di seputaran
wilayah Pasarkembang-Badran. Teknik
pemilihan informasi penelitian yang
peneliti lakukan ialah teknik purposive
sampling. Informan dalam penelitian ini
adalah orang orang yang benar benar
paham segala situasi dan kondisi lokasi
penelitian dan menguasai permasalahan
ini. Jumlah informan yang diwawancarai
ada 20 orang, 10 orang diantaranya ialah
PSK dari masing masing tempat mengingat
dari tempat satu dengan yang lain berbeda
jika dilihat dari umur, penghasilan per
malam, profesi apakah PSK murni atau
hanya sampingan, tarif booking per jam,
dan juga status sosial pengunjung/tamu
yang dilayani oleh para PSK tersebut. 10
orang lainnya yang diwawancarai yakni
para germo, mami, pengelola bisnis
khususnya bar, salon, ketua masyarakat
sekitar serta dari kalangan birokrat
pemerintah kota Yogyakarta. Beberapa
pedoman wawancara yang ditanyakan
kepada responden dengan pertanyaan yang
sama tentang jaringan bisnis prostitusi di
4
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
kantor SAMSAT DIY dan Badan
Kearsipan
DIY.
Lokalisasi
ini
memanfaatkan lahan kosong disepanjang
bantaran rel kereta api di sebelah barat
stasiun Tugu dengan didirikan banyak
bangunan bangunan permanen dari triplek
semi tembok. Dilihat dari jumlah PSK
yang mangkal di tempat tersebut saat ini
mencapai 100an orang, di mana latar
belakang para PSK di tempat ini cukup
beragam mulai dari eks Sarkem,
Parangkusumo, Gunung tugel, Giwangan
dan sisanya berasal dari luar kota
Yogyakarta. Jika dilihat dari tarif PSK di
sini sangat beragam mulai dari Rp 50.000100.000, mengingat rata rata usia yang
sudah tidak lagi muda di tempat tersebut.
Tempat ketiga ialah jenis prostitusi
modern
tidak
seperti
prostitusi
konvensional yang ada di Sarkem dan
Ngebong, di mana untuk kelas ini telah
menggunakan tempat tempat seperti salon
dan bar. Memang ada beberapa salon dan
bar di sekitaran Pasarkembang-Badran
yang digunakan sebagai ajang prostitusi.
Dilihat dari ragamnya, jenis prostitusi ini
memiliki pola bisnis yang cukup rapi
mengingat jaringan bisnisnya juga rapi.
Hal ini juga berpengaruh juga pada
segmentasi pengunjungnya, di mana para
pengunjung di tempat ini tergolong dari
lapisan masyarakat kelas menengah dan
menengah ke atas. Dilihat dari tarif para
PSK di tempat itu tergantung dari
klasifikasi umur, di mana rata rata umur
para PSK di tempat itu 20an tahun dan tarif
per kencan dari Rp 500.000-2.000.0000.
2. Model Pengelolaan Manajemen Sex
antara Pola Transaksi Bisnis dengan
Karakteristik daya tarik masing masing
tempat
Jaringan prostitusi yang begitu
besar juga ada di wilayah Yogyakarta,
walaupun terdapat area lokalisasi yakni di
seputaran Pasar Kembang, jaringan
prostitusi di sana dapat dikatakan rapi
bahkan
ada
beberapa
diantaranya
menggunakan tempat tempat lain seperti
bar, salon maupun hotel yang memiliki
situasi dan karakteristik yang berbeda beda
dari segi pola transaksi yang digunakan,
situasi sosial yang melingkupinya,
manajemen yang diterapkannya dan
karakteristik PSK.
Untuk tipe karakteristik tempat
pertama yakni rumah bordil. Bordil
merupakan istilah dari kata bordir yang
dipergunakan oleh PSK dalam melakukan
transaksi seksual dengan para pelanggan
(sebutan lazimnya ialah laki laki hidung
belang). Pada umumnya bordil atau
lokalisasi berada di sekitar lokasi
pemukiman masyarakat, di mana paling
banyak ditemui pada daerah daerah
kumuh.
Dengan
demikian,
dapat
diperkirakan dari segi karakteristik
ekonomi para tamu atau pelanggan yang
berkunjung yakni rata rata kelas ekonomi
menengah ke bawah. Jika dilihat dari
klasifikasi lokalisasi atau tempat bordil di
berbagai daerah khususnya di Yogyakarta
menyatu dengan rumah penduduk, yang
salah satu atau beberapa kamarnya
disewakan sebagai tempat transaksi
seksual. Melihat jenis klasifikasi lokalisasi
atau tempat bordil di Yogyakarta baik
lokalisasi
Pasarkembang
dan
juga
Ngebong memang dari luar nampak
kelihatan rumah penduduk, namun di
dalam rumah rumah tersebut terdiri atas
beberapa kamar yang sudah dikontruksi
secara khusus. Maksudnya, dalam hal ini
tersedia beberapa bilik kamar yang sudah
dikontruksi secara khusus, di mana di
beberapa bilik kamar yang hanya dibatasi
oleh dinding tripleks dan hanya sedikit
kamar dibatasi oleh tembok permanen.
Untuk klasifikasi jenis ini, waktu
transaksi seksual biasanya tidak menentu
dan tidak teratur. Hal ini cukup berbeda
dengan jenis tempat prostitusi lain
khususnya bar dan salon, PSK yang berada
di lokasi tempat bordil hanya dikenakan
biaya kamar dan sedikit biaya keamanan
serta umumnya tinggal di rumah masing
masing. Dengan demikian, PSK yang
berada di lokasi tempat Bordil jauh lebih
bebas dibandingkan dengan di lokasi salon
maupun bar, hanya saja tarif terhadap jasa
yang ditawarkan jauh lebih minim. Jika
dilihat dari tiap rumah bordil, baik di Pasar
Kembang dan juga Ngebong rata rata per
rumah mempunyai 5 kamar di dalamnya
hanya terdapat sebuah ranjang yang cukup
tua, penerangan lampu yang seadanya,
serta lantai kamar yang tidak disemen. Di
tiap tiap kamar dipakai oleh banyak PSK
dan tidak ada kamar tersendiri untuk PSK
5
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
tertentu dalam memberikan jasa seksual
kepada pelanggan. Untuk di depan kamar
memang disediakan semacam kursi
panjang dari kayu untuk dipergunakan oleh
para tamu atau pelanggan dalam
melakukan negosiasi dengan PSK.
Dari segi keamanan, tempat bordir
biasanya dikelola oleh seorang germo dan
tiap tiap germo memiliki anak buah rata
rata 5 orang. Untuk pola transaksi yang
diterapkan pada lokasi ini sedikit
mencolok karena dari luar dapat diamati
secara langsung mengingat mereka
melakukan kesepakatan atau negoisasi di
luar rumah bordil. Dilihat dari pola
bisnisnya, para PSK yang berada di rumah
bordil,
rata
rata
mereka
tidak
mempergunakan
penghubung
untuk
mendapatkan tamu mengingat para PSK
sendiri yang pro aktif dalam menjaring
pelanggan. Melihat ragam bentuknya, para
PSK yang berada di lokalisasi rumah
bordil ini biasanya tidak dipakai lagi di
tempat lain mengingat ada yang usianya
yang cukup tua, kalah persaingan dengan
yang muda muda dan juga ada dengan
alasan ingin mandiri sekaligus lebih bebas.
Tipe karakteristik selanjutnya ialah
bar dan salon. Hasil observasi yang
ditemukan bahwa lokasi beberapa bar kecil
yang menyatu di area lokasi Sarkem dan
seputaran Badran. Biasanya tempat
tersebut kelihatan ramai hanya pada malam
hari, sementara pada siang hari, aktivitas
menunjukkan bahwa lokasi tersebut seperti
areal pemukiman perkampungan pada
umumnya yang hanya diisi dengan warung
warung pedagang yang ditempati oleh
penduduk lokal. Hampir disetiap bar, rata
rata jumlah PSK yang bekerja mencapai
10-20 orang dan secara aktif tiap malam
bekerja mulai dari jam 20.00 sampai
dengan jam 03.00 dini hari. Namun bila
akhir pekan yakni malam minggu, akivitas
yang hanya sampai jam 03.00 dini hari bisa
semalam suntuk hampir mendekati waktu
subuh tiba.
Pola transaksi seksual yang
dijalankan di tempat bar maupun salon ada
dua model yakni pertama transaksi
langsung, di mana aktivitas seksual
dilakukan di beberapa bar tersebut yang
memang dilakukan dan di beberapa bar
tersebut sudah memiliki kamar rata rata 6
buah. Kedua, yakni model transaksi luar
yang oleh mereka menggunakan istilah BL
atau Booking Luar. Maka muncul istilah
“tamu” sebagai istilah lain dari pelanggan
seks, di mana tamu tamu tersebut ketika
memasuki sebuah bar sudah langsung
dipertontonkan oleh sejumlah PSK yang
duduk di bawah penerangan lampu yang
cukup terang dengan hiasan dan pakaian
yang kelihatan menggoda. Apabila tamu
memutuskan untuk melakukan transaksi,
maka
mereka
dihubungkan
oleh
pramuwisma yang menjadi pegawai bar
tersebut. Di sisi lain, ada juga para tamu
sebelum masuk kamar biasanya meminta
PSK untuk menemaninya berbicara di
kursi tamu. Hal ini dilakukan sekedar
untuk berkenalan dan ada juga yang
melakukannya untuk mengetahui orientasi
seksual PSK yang bersangkutan.
Pada pola ini, para tamu atau
pelanggan hanya melakukan transaksi
seksual selama 1 jam yang istilahnya
mereka adalah short time dengan tarif rata
rata 150.000 sampai 250.000. Setelah
pelanggan
melakukan
transaksi,
selanjutnya mereka membayar di kasir
bartender, di mana hanya dikelola oleh 1
orang kasir. Para tamu yang menggunakan
pola transaksi Booking luar sebelumnya
mereka melakukan terlebih dahulu
kesepakatan terhadap PSK dan manager
pengelola bar tersebut. Jika dilihat dari
tamu yang menggunakan pola transaksi
Booking Luar, kesepakatan yang dicapai
harus memuat tentang waktu Booking
Luar, tarif yang dikenakan, tempat
transaksi dan cara PSK bertemu dengan
tamu (dibawa langsung oleh tamu atau
diantar ke tempat yang sudah ditentukan).
Berbagai macam kesepakatan ini dibuat
untuk memberikan jaminan kepada PSK
agar tidak tertipu dan tidak diperlakukan
secara kasar oleh pelanggan yang
membookingnya.
Melihat pertimbangan tersebut
yakni produktivitas usaha, manager
kebanyakan hanya menginginkan Booking
luar dilakukan setelah waktu kerja di bar
yakni di atas jam 02.00 dini hari.
Sedangkan waktu yang dipergunakan pada
saat booking luar minimal 10 jam serta
biasa tarif yang dikenakan sebesar Rp
400.000 per long time. Para PSK yang
6
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
bekerja di tempat ini rata rata menginap di
seputaran bar tersebut dan juga disediakan
rumah kontrakan yang dikelola oleh
manajemen bar bersangkutan. Fasilitas
lainnya yang diperoleh PSK ialah
mendapatkan makanan setiap harinya,
sedangkan
fasilitas
pemeliharaan
kesehatan, tunjangan hari raya dan bonus
tambahan lainnya jarang didapatkan secara
teratur, meskipun dalam perjanjian
kerjanya, fasilitas tersebut selayaknya
menjadi hak dari para PSK. Fasilitas itu
diberikan akibat sistem pembagian hasil
pada saat bekerja. Untuk setiap PSK yang
mendapatkan tamu akan memperoleh hasil
30-40% dari tarif yang dikenakan, maka
dapat dikatakan berarti tarif Rp 125.000
per short time, jumlah uang yang diperoleh
PSK hanya Rp 60.000 sampai 45.000.
Hasil itu kebanyakan tidak diterima dalam
bentuk uang cash, namun mereka hanya
diberikan kupon senilai harga yang
disepakati sesuai dengan frekuensi
seksualnya selama seminggu. Apabila PSK
ingin membutuhkan uang cash, maka
mereka menukarkan kupon tersebut pada
bendahara
bar
dan tidak jarang
pembayarannya tersendat sendat.
Dari data yang ada, sebagian besar
jumlah PSK yang ada masih dalam usia
produktif seksual. Secara tidak langsung
hal ini dapat dipahami mengingat usia
produktif seksual ini memang sangat
diminati oleh para pelanggan atau para
tamu. Jadi dengan demikian PSK yang
berusia muda sering diperebutkan dan juga
merupakan sumber pendapatan yang
dinilai produktif bagi para pengelola
tempat hiburan seperti hotel, bar maupun
salon. Namun di sisi lain untuk PSK pada
kelompok usia 30-40an yang ada pada data
walaupun cukup menonjol mengalami
penurunan mengingat produktifitas seksual
menurun, maka dampak langsungnya juga
mengurangi pendapatan karena kurangnya
pelanggan. Secara tidak langsung pula, ada
kekhawatiran untuk bertahan hidup
mengingat kurangnya keterampilan dan
modal dalam rangka alih profesi. Maka
dengan alasan ini pula para mucikari atau
mami yang bertugas menjaring para gadis
gadis belia ke dalam dunia prostitusi, di
mana sebuah proses rekruitmen yang
sudah
menjadi
tradisi
dalam
melanggengkan praktek praktek prostitusi.
Dilihat dari asal para PSK cukup
beragam, di mana karakteristik wilayah
juga dianggap cukup mempengaruhi, di
mana dalam karakteristik Sarkem dan
Ngebong yang didominasi oleh klasifikasi
umur PSK 30-40an dan tentunya berbeda
dengan karakteristik yang ada di salon dan
hotel yang rata rata umur nya 20antahun.
Untuk lokasi, salon dan bar biasanya
dipilih sebagai tempat primadona karena
segmentasi pelanggan kelas ekonomi
menengah biasanya terkonsentrasi di
tempat tersebut sekaligus ada beberapa
fasilitas yang diperoleh PSK. Namun ada
penyebab lain sehingga salon maupun bar
membina banyak PSK, di mana rata rata
PSK yang baru datang di Yogyakarta
hanya menginginkan kepraktisan saja.
Maksudnya seperti langsung menginap dan
bekerja tanpa harus lagi memikirkan
persoalan persoalan teknis belaka. Dilihat
dari segi manajemen baik di Sarkem
maupun
Badran
memiliki
banyak
persamaan
yakni
penentuan
tarif
berdasarkan kesepakatan tamu dan PSK
dan aturan yang berlaku tidak terlalu ketat.
Persamaaan segi manajemen tersebut
menguatkan pandangan bahwa para PSK
yang ada di sana merupakan kategori yang
sudah tidak dipakai lagi baik di salon, bar
maupun hotel karena faktor usia yang
kurang menarik lagi.
Secara manajemen, masing masing
karakteristik tempat baik di sarkem,
ngebong serta salon dan bar mempunyai
jaringan bisnis prostitusi masing masing.
Hal ini memberikan gambaran bahwa
jaringan bisnis seksual dari informan
cukup bervariasi serta dapat dibagi
menjadi dua jalur. Jalur pertama :
SurabayaYogyakarta,
SemarangYogyakarta, Bandung-Yogyakarta dan
Jakarta- Yogyakarta. Jalur kedua langsung
Yogyakarta. Melalui informasi yang
diberikan oleh informan kebanyakan dari
mereka masuk dalam jaringan jalur
pertama. Hal ini terlihat dari para PSK
yang bekerja pada tiap daerah yang
dikunjungi selama kurang lebih 2 tahun
dan setelah dianggap kurang lagi diminati
oleh para pelanggan atau karena sifat
petualangan PSK yang demikian tinggi,
7
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
maka PSK tersebut memutuskan untuk
berpindah tempat. Oleh mereka, proses
perpindahan ini dikenal dengan istilah
rolling
yang
dilakukannya
karena
mengikuti selera konsumen yang selalu
mencari dan menginginkan PSK yang
baru. Namun demikian jika dirujuk
kembali dengan istilah “baru” lebih
dimaknai orangnya yang baru dan berada
di tempat baru tersebut meskipun
sesungguhnya sudah lama menjalani
profesinya sebagai PSK.
Dilihat dari macam pernyataan
informan kunci di atas menggambarkan
bahwa pola rekruitmen PSK baru
merupakan bagian dari proses manajerial
yang dipakai. Maka tidak salah jika
pengusaha dalam segala hal selalu
memikirkan investasi yang tinggi bagi
usahanya sehingga dalam usaha prostitusi,
pengusaha menerapkan strategi yang
memungkinkan pelanggan selaluberminat.
Dengan sistem pola manajerial seperti
inilah sehingga para PSK yang ada
mendapatkan kemudahan untuk berpindah
dari satu tempat ke tempat lain. Bagi PSK
yang jaringan seksualnya langsung ke
Yogyakarta, biasanya memang belum
memiliki akses dan pengalaman yang
cukup karena memang baru pertama kali
bekerja sebagai PSK. Untuk waktu waktu
tertentu, mereka pun akan mengikuti pola
di atas bila pendapatannya sudah mulai
menurun serta kesadaran untuk beralih
profesi belum berkembang.
Jumlah tamu yang dilayani para
PSK di beberapa tempat jumlahnya sangat
beragam tergantung dari frekuensi seksual
PSK dalam melayani tamu setiap malam.
Untuk tempat Sarkem maupun Ngebong
dari rata rata penjelasan informan, mereka
bisa melayani tamu rata rata 3 orang per
malam dan itupun tidak semua PSK sama
mengingat banyak juga yang hanya bisa
melayani tamu hanya 1 orang atau bahkan
tidak sama sekali. Hal ini dipengaruhi oleh
masalah umur, pelayanan sex yang
diberikan hingga daya tawar menawar
dengan calon konsumen yang terkait
dengan tarif yang harus dikeluarkan oleh
para tamu. Lain halnya dengan para PSK
yang beroperasi di hotel maupun salon, di
mana jaringan seksualnya tergolong cukup
rapi. Dari kedua informan dari tempat ini
menuturkan bahwa tiap malam bisa
melayani tamu hingga 3 sampai 4 orang.
Masih menurut ketiga informan, jumlah
tamu yang dilayani sangat tergantung dari
banyaknya tamu yang berkunjung. Apabila
tempat tersebut lagi ramai, maka rata rata
para PSK melayani tamu 3-5 orang,
sedangkan apabila situasinya lagi sunyi,
biasanya para PSK hanya melayani tamu
sebanyak 1 orang bahkan juga sama sekali
tidak melayani tamu.
Namun
di
sisi
lainnya
kecenderungan dari banyaknya tamu yang
berkunjung mengikuti pola penggajian
pada sektor sektor pekerjaan baik sektor
pemerintah maupun swasta. Dengan
demikian, sering didapatkan pada waktu
waktu tertentu, di mana tamu banyak
berdatangan pada tanggal muda dan
tanggal tua. Sementara pada tanggal
pertengahan sering dijumpai bahwa salon,
bar terlihat sepi. Dilihat dari pemaparan
informan, mereka melihat bahwa para
pelanggan paling banyak ketika orang baru
menerima gaji sehingga berdampak pula
kepada para PSK. Jadi dapat dikatakan
jumlah pendapatan PSK juga ikut
bertambah, di mana dari para pelanggan
mereka sudah banyak yang mempunyai
istri, di mana rata rata para pelanggan
berkerja di perusahaan baik di areal
Yogyakarta bahkan di luar areal
Yogyakarta.
Walaupun demikan ada satu
informan yang memberikan pernyataan
berbeda dari penjelasan di atas mengenai
tamu yang dilayani selalu ada dan rata rata
mencapai 3 orang per hari meskipun
suasana salon maupun bar tergolong
sedang sepi. Hal ini tidak berpengaruh
kepada primadona mengingat paling sering
melayani tamu dibandingkan dengan yang
lain. Meskipun tamu yang datang
jumlahnya sedikit namun bisa melayani
hingga 3 orang per hari dan itupun
melakukan transaksi seksual sebanyak 2
kali. Dilihat dari pernyataan terakhir itu
telah bisa digambarkan bahwa nampaknya
para pelanggan yang berada di suatu
tempat salon menikmati jasa pelayanan
seksual lebih dari satu kali dan biasanya
karena faktor hyper sex, para pelanggan
yang bersangkutan menginginkan lagi
transaksi seksual untuk kedua kalinya
8
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
bahkan beberapa pelanggan yang dianggap
pelanggan tetap kadang melakukan
transaksi seksual sebanyak 3 kali.
Segmentasi para pengunjung juga
berpengaruh pula pada pelayanan sex yang
diberikan oleh para PSK, di mana orientasi
sex ini di beberapa tempat baik di Sarkem,
Ngebong maupun sarana prostitusi modern
juga berbeda. Orientasi pelayanan sex yang
dimaksud ialah jenis pelayanan tambahan
dalam seksual yakni oral sex dan juga anal
sex. Melalui karakteristik tempat yang
diperoleh dari informasi yang didapatkan
oleh responden menyatakan bahwa baik di
Sarkem maupun Ngebong tidak melakukan
tambahan pelayanan seksual seperti oral
sex maupun anal sex, di mana tarif harga
dan faktor “risih”
sekaligus faktor
kesehatan seperti terinfeksi penyakit yang
menyebabkan para PSK di dua tempat itu
menjadi prioritas tersendiri untuk tidak
memberikan servis tersebut. Namun untuk
jenis
prostitusi
modern
yang
memanfaatkan seperti salon dan lainnya
ada yang memberikan jenis pelayanan
tambahan seperti itu. Dari hasil wawancara
dikemukakan bahwa oral sex selalu
diminta oleh para pelanggan bahkan dari
salah satu tempat salon di seputaran
wilayah
Pasar
kembang-Badran
memberikan aturan ketat apabila kedapatan
menolak pelayanan servis seks akan oral
sex yang diminta oleh tamu. Dengan
demikian, apabila PSK menolak maka PSK
tersebut akan dikenakan sanksi yang cukup
berat. Situasi ini pula yang banyak
menyebabkan para PSK berpindah ke
tempat
lain.
Melalui
beberapa
permasalahan di atas, maka diperlukan
beberapa tindakan yang harus diopimalkan
seperti
memberikan
pelatihan
kerja/wirausaha kepada para PSK ataupun
pelatihan pelatihan lainnya baik dari LSM,
pemkot maupun lembaga edukasi lainnya
untuk mengikis praktek prostitusi
lainnya
di
seputaran
wilayah
Pasarkembang-Badran, di mana muncul
nama Ngebong dan juga beberapa salon
maupun bar yang masuk dalam jaringan
prostitusi. Dari ketiga jenis prostitusi ini
tergolong berbeda, di mana yang menjadi
perbedaan dengan menitikberatkan pada
daya tarik wisata sex baik di Pasar
Kembang, Badran dan juga pola
manajemen pengelolaan bisnis wisata sex
telah menentukan model pengelolaan di
kedua wilayah tersebut. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dari ragam wisata sex yang
ditawarkan baik dari kualitas harga dari
PSK dari segi umur, fasilitas yang
ditawarkan, tempat transaksi bisnis wisata
sex, cara pembookingan di mana untuk
model prostitusi konvensional tentu
berbeda dengan model prostitusi modern
dengan meninjau tempat baik di lokalisasi
maupun di bar, salon di seputaran wilayah
Sarkem dan Badran. Dilihat dari ragam
tempatnya baik di lokalisasi, bar, salon
juga berpengaruh pada status sosial dari
pengunjung/ tamu yang berada di masing
masing area yang disebutkan di atas.
Melalui beberapa permasalahan di atas,
maka diperlukan beberapa tindakan yang
harus diopimalkan seperti memberikan
pelatihan kerja/wirausaha kepada para PSK
ataupun pelatihan pelatihan lainnya baik
dari LSM, pemkot maupun lembaga
edukasi lainnya untuk mengikis praktek
prostitusi
DAFTAR PUSTAKA
Argyo
Demartoto,
2012,
jurnal
Internasional “The Existence and the Effect
of Sex Tourism Habitus in Bandungan,
Central Java, Indonesia” FISIPOL UNS
Berstyan Breny Siswanto. 2013. Skripsi.
Prostitusi Di Sosrowijayan Yogyakarta (
Studi Interaksi PSK Pasar Kembang
dengan
Masyarakat
Sosrowijayan).
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
IV.
PENUTUP
Munculnya
prostitusi
di
Yogyakarta merupakan akibat dari dampak
negatif dari dunia pariwisata yang semakin
pesat di wilayah itu salah satunya ialah
munculnya nama Sarkem di Sosrowijayan
kulon sebagai ajang prostitusi. Tidak hanya
Sarkem saja muncul dua praktek prostitusi
Catur Wisnu Setyoko, 2011. ‘Pekerja Seks
Komersial di Sekitar Kawasan Wisata
Bandungan’. Skripsi. FIP Universitas
Negeri Semarang
Hatib Abdul Kadir. 2007. Tangan Kuasa
dalam Kelamin: Telaah Homoseks,
9
HOTELIER JOURNAL Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2442-7934 Vol. 1 Nomor 3 Juni Tahun 2016
Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia.
Yogyakarta: INSIST Press
Reno Bachtiar & Edy Purnomo. 2007.
Bisnis
Prostitusi
Profesi
yang
Menguntungkan. Yogyakarta: Pinus
Hengky Adin Rivai. 2012. Skripsi.
Fenomena Perempuan Pekerja Seks
Komersial Dengan Menggunakan Aplikasi
Chatting Internet Relay Chat MIRC Di
Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial. UNY
Soekadijo, Anatomi Pariwisata (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1997).
Sugiyono. 2008. Memahami
Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta
Mardina Dyah Utami.2010. Jurnal
Penelitian. Manajemen Konflik Pada
Wanita Pekerja Seks Komersial yang
Berkeluarga.
Fakultas
Psikologi
Universitas Diponegoro
Penelitian
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D.Bandung: CV Alfabeta
Terence Hull., Endang Sulistyaningsih,
1997, Pelacuran di Indonesia Sejarah dan
Perkembangan, Jakarta : PT. Penerbit
Swadaya
Moeleong, Lexy J. 2007. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT remaja
Rosdakarya Offset
Mohammad Husen Hutagalung, 2011,
jurnal “Studi Eksistensi Aktifitas Ziarah
dan Prostitusi di Kawasan Wisata Religi
Gunung Kemukus, Purwodadi, Jawa
Tengah” Program Studi Usaha Perjalanan
Wisata Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti.
Wawancara dengan RL, MI, WI (PSK
Sarkem) tanggal 12/3/2016
Wawancara dengan HI, AS, UY (PSK
Ngebong) tanggal 26/3/2016
Wawancara dengan KI, SI, LK, NM (PSK
Salon dan Bar) tanggal 15/4/2016
Wawancara dengan KR, CK, WL, RP, KA,
DS (Para pengelola Bar, Salon dan keamanan
salon dan bar)
Wawancara dengan SJ, GP, KS, CH, GI (
Ketua masyarakat, LSM, dan pihak Pemda
Kota Yogyakarta
Mudjijono, 2005, Sarkem, Reproduksi
Sosial Pelacuran. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press
Nyoman S. Pendit, 2006. Ilmu Pariwisata,
Sebuah Pengantar Pariwisata, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta
10
Download