FILSAFAT ISLAM BUKU - Institutional Repository UIN Syarif

advertisement
FILSAFAT ISLAM
Cetakan 1, Jakarta, 2009
Diterbitkan oleh
FAZA MEDIA.
D/a. Jl. Rajawali Raya No 15 Blok E 2 RT 01 /07 Benda Baru Pamulang,
telp./fax. 021-74645433 Email: [email protected]
Hak Cipta ada pada pengarang _2009 Hak Penerbitan ada pada penerbit
ISBN: 978-602-8033-28-2
Penulis:
Drs. H. Achmad Gholib, MA
Isi menjadi tanggungjawab penulis
Hak Cipta dilindungi Undang-undang (all right reserved)
KATA PENGANTAR
DEKAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN UIN JAKARTA
Bismillahirrahmanirrahim
Filsafat Islam dalam wacana keilmuan UIN Jakarta sudah menjadi
tradisi sejak tahun tiga dekade terakhir, fase awal gerakan modernisasi
pemikiran keagamaan di kampus UIN Jakarta yang ditandai dengan
pengembangan tradisi kritis terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan
warisan intelektualisme Islam klasik yang diserap secara parsial, ekslusif,
tidak terbuka, dan bahkan masih ada indikasi tidak mengapresiasi perbedaanperbedaan, tidak respek terhadap perbedaan, sehingga agama yang
diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, justru terkadang
menjadi pemicu keretakan sosial. Padahal tradisi intelektualisme Islam klasik
tidak sekedar mewariskan substansi dan epistimologi keilmuan, tapi justru
melakukan perubahan dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat sebagai
implikasi dari proses dinamika penelitian dan kajian keilmuan yang
dihasilkan para ulama dan ilmuwan. Kemudian bersamaan dengan itu, para
ulama juga mengembangkan etika keilmuan untuk hidup saling menghormati
dan menghargai perbedaan. Perbedaan pendadapat, pandangan bahkan
keyakinan tidak menjadi halangan untuk berkooperasi dalam proses ekonomi,
politik dan bahkan membina kehidupan sosial.
Akan tetapi, tradisi ilmiah dan suasana akademik di lingkungan
Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia sampai paroan ke-dua abad ke20 masih diwarnai dengan sikap-sikap sektarianistik, komunikasi akademik
antara satu kelompok dengan lainnya masih cenderung sarkastik, sehingga
sangat tidak produktif untuk upaya pengembangan tradisi ilmiah, melairkan
produk-produk pemikiran keagamaan yang konstruktif untuk perubahan dan
dinamika sosial keagamaan, sehingga agama, tidak dijadikan inspirasi dalam
perubahan dan pembangunan, dan tidak dijadikan sebagai basic values dalam
pengembangan sosial, dan bahkan pada akhirnya agama ditinggal dalam
proses kemajuan sosial, sehingga tersudut hanya pada sentra-sentra kegiatan
ritual, dengan ragam aktifitas peribadatan dan perayaan hari-hari besar Islam.
Oleh sebab itu, tradisi kritis dalam sejarah intelektualisme Islam klasik perlu
dikembangkan terus dalam kajian-kajian akademik keagamaan di Perguruan
Tinggi Agama Islam, seingga akan terbina inklusifisme dan pluralisme
keberagamaan di kalangan kader- kader, dan agama akan mampu
menginspirasi berbagai perubahan sosial, serta mewarnai citra perubahan
tersebut dengan cita religiusitas modern yang terbuka, toleran serta memiliki
daya adaptasi yang dinamis, dengan tidak mengorbankan spirit keagamaan,
baik landasan teologis, aturan-aturan sosial kemasyarakatan.
Fakultas Ilmu tarbiyah dan Kegguruan UIN Syarif Hidayatullah,
jakarta, merupakan salah satu fakultas yang akan melahirkncsalon-calon guru
profesional, dengan jiwa kesantrian yang kuat dan mampu beradaptasi
dengan perubahan-perubahan modernisme kehidupan sosial. Mereka
diharapkan mampu berfikir kritis, melihat berbagai aspek secara
komprehensif, mengaplikasikan agama dalam kehidupan sosial secara
rasional, berpihak pada kemanusiaan, menghargai perbedaan, dan mampu
menjalin kerjasama sosial yang harmonis antara mereka sendiri sebagai umat
Islam, dengan tidak membedakan aliran dan sekte keagamaan, etnik, budaya
dan bahasa, serta mampu hidup berdampingan dengan siapapun tanpa
membdakan agama dan keyakinan.
Oleh sebab itulah, pemikiran Islam dengan kajian yang komprehensif
antara aliran-aliran tradisionalisme dan modernisme, antara aliran orthodox
dengan hetero- dox, semua dipelajari di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, dengan harapan mereka dapat
menerima agama secara lebih rasional, kritis dan mampu menjadi bagian
terdepan dalam perubahan-perubahan sosial dengan semangat keberagamaan
yang kuat. Agama diharapkan akan menjadi landasan teologis dalam
kejuangan sehingga memiliki etos yang kuat dalam membina karirdan profesi
mereka, serta menjadi ciri budaya hidup mereka dan kekuatan kontrol dalam
menjalan profesi dan kehidupan sosial.
Buku yang ditulis oleh Achmad Ghalib, salah seorang dosen jurusan
Pendidikan Agama Islam (PAI), FITK UIN Jakarta ini, dengan judul Filsafat
Islam, merupakan salah satu karya yang akan mampu membuka wawasan
para mahasiswa tentang wacana intelektualisme Islam klasik yang secara
substantif masih sangat relevan untuk dijadikan referensi utama dalam kajian
ke-islaman, yang akan mampu membina inklusifitas para mahasiswa dalam
berfikir, bersikap dan bertindak, tidak hanya dalam aspek-aspek ritual
peribadatan tapi juga dalam kehidupan profesi dan sosial mereka, kelak
setelkah mereka memasuki pasar tenaga kerja, dan menjadi bagian dalam
pebinaan profesionalisme mereka, dalam kehidupan sosial
Ciputat, Februari 2009
Dekan,
Prof. Dr. Dede Rosyada.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan inayahNya, sehingga saya dapat merampungkan
penulisan buku Filsafat Islam dan mendeskripsikannya secara ringkas dan
lugas. Dalam penulisan buku ini, penulis sengaja ingin mengajak dan
mengembangkan wacana berfikir mahasiswa dan pembaca serta peminat
wawasan ke Islaman pada umumnya, dan khususnya tentang Filsafat Islam
karena Filsafat Islam pernah menjadi primadona dan menjadi pusat kajian di
kalangan para pemikir Islam klasik dan kontemporer.
Apalagi perkembangan Filsafat Islam seringkali disepadankan dengan
aktifitas intelektual umat Islam, upaya penyepadanan ini berbuah pada
asumsi kematian aktivitas intelektual umat Islam ketika Filsafat Islam diduga
ditutup oleh Ibnu Ruysd dan beralih ke Barat. Asumsi ini semakin
meyakinkan ketika isu stagnasi aktifitas intelektual dihembuskan, yakni isu
tertutupnya pintu ijtihad, serangan al-Ghazali terhadaap Filsafat dan wafatnya
Ibnu Rusyd, seorang figur filosof Islam yang diakui oleh Barat (Eropa).
Dampak isu ini berbuah kemalangan panjang umat muslim, selama bertahuntahun umat disibukkan dengan perdebatan pemaknaan zindiq yang identik
dengan tudingan "kafir" atau keluar dari ajaran Islam oleh orang-orang
radikal-ekstrimis yang mengklaim dirinya penjaga kesucian agama.
Karenanya, meski buku dengan tema yang sama telah banyak
ditemukan tetapi pada tataran dan konsep yang berkaitan dengan Pendidikan
Agama Islam, buku ini pun patut diperhitungkan. Pembahasan mengenai
filsafat Islam sejak dahulu memang berada dalam posisi dilematis, antara
diterima dan ditolak, sehingga penjelasan pada masalah ini mutlak dilakukan.
Filsafat Islam diterima atas perannya sebagai "jembatan" bagi perkembangan
kemoderenan d i Barat sekaligus perespon ide-ide Yunani, tetapi juga ditolak
karena dianggap tidak menunjukkan kontribusinya yang signifikan. Dan buku
filsafat Islam ini berhasil membahasakannya dengan lugas, sederhana tetapi
tetap cjualified.
Semoga buku ini tidak hanya menjadi bahan bacaan mahasiswa saja
tetapi juga memberikan peran bagi wawasan keislaman umat. Kisi-kisi
karakteristik filosofis para filosof di dalam buku ini sudah seyogyanya
menjadi dasar pemikiran kita semua untuk menanamkan kembali ide
"integrasi ilmu" yang kini sedang disuarakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan dapat menjadi landasan berfikir para mahasiswanya kelak ketika mereka
bersosialisasi bersama masyarakat.
Jakarta, Januari 2009
Penulis,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Dekan FITK UIN Jakarta ..................................................
..................................................................................................................... v
Daftar Isi ......................................................................................................
..................................................................................................................... ix
BAB 1 FILSAFAT DALAM LINTASAN SEJARAH
A. TRADISI ILMIAH ISLAM DAN AKULTURAI BUDAYA
4
1. Islam dan Bangsa Arab ..................................................
4
2. Islam dan Peradaban Persia1 ...........................................
6
3. Islam dan Pemikiran Yunani ...........................................
25
B. FILSAFAT ISLAM DAN KEBANGKITANBARAT .........
35
BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIKDAN HUBUNGAN
FILSAFAT ISLAM DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN
A. Definisi.................................................................................
50
B. Ilmu, Filsafat dan Agama ....................................................
56
C. Karakteristrik Filsafat Islam ..............................................
61
D. Aliran-aliran dalam Filsafat Islam .......................................
67
E. Filsafat Islam, Teologi (Kalam), Tasawuf Sebuah
Relasi Dialogis ....................................................................
.............................................................................................. 74
BAB 3 PARA FILOSOF MUSLIM AWAL
A. Al-Kindi ...............................................................................
87
B. Al-Razi ................................................................................
106
C. Al-Farabi .............................................................................
116
D. Ibnu Miskawaih ...................................................................
135
E. Ibnu Sina .............................................................................
148
BAB 4 PERGULATAN PEMIKIRAN AL-GHAZALIDAN IBN RUSYD
A. Kritik Al-Ghazali ..................................................................
182
B. Jawaban Ibnu Rusyd ..............................................................
198
BAB 5 FILSAFAT DAN TRADISI MISTIS
A. Suhrawardi Al-Maqtul ..........................................................
224
B. Ibnu Arabi .............................................................................
248
Datar Pustaka ..............................................................................................
263
Tentang Penulis ........................................................................................... 265
BAB 1
FILSAFAT DALAM LINTASAN SEJARAH
Tidak ada satu pun bangsa pada Abad pertengahan yang memberikan
kontribusi terhadap kemajuan manusia sebesar kontribusi yang diberikan
oleh orang-orang Arab dan orang-orang yang berbahasa Arab. (Philips K.
Hitti)
Kedudukan filsafat Islam dalam perjalanan sejarah terus menerus
menjadi perdebatan yang tiada habisnya, setiap celah memungkinkan untuk
melihat filsafat Islam dari berbagai sisi. Minimnya bukti-bukti historiografi
melahirkan beragam pemikiran, kecenderungan pertama misalnya menafikan
keberadaan filsafat Islam. Filsafat Islam dianggap tak pernah ada dan tak ada
dalam proses perkembangan keilmuan di dunia, apalagi kemajuan zaman saat
ini sama sekali tidak dapat memiliki kaitan budaya dengan Islam dan ajaranajarannya. Maka, Barat dalam arti “simbol" ke-modern-an dan kemajuan
ilmu pengetahuan dapat dengan "tenang” beranggapan bahwa Barat sebagai
pusat keilmuan saat ini merupakan peradaban yang terlahir dari proses
kreativitas pikir bangsa Barat dan pergulatan zaman mereka sendiri sejak
masa dahulu kala.1
Kecenderungan kedua dalam melihat filsafat Islam adalah mengakui
keberadaan filsafat Islam sebagai sebuah "jembatan" yang menghubungkan
antara kemajuan di Barat dengan kemajuan keilmuan di Yunani. Golongan
kedua ini dengan enteng beranggapan bahwa filsafat Islam adalah sebuah
hibriditas. Hibriditas adalah kecenderungan untuk mengambil berbagai unsur
untuk menjadi bagian dari dirinya,2 artinya filsafat tidak dan bukan berasal
dari Islam tetapi dipaksa- paksakan’ menjadi bagian dalam Islam. Atau
dengan kata lain, filsafat Islam merupakan pemikiran luar yang diadopsi oleh
Islam.3
Jika dua kecenderungan penilaian terhadap filsafat di atas terkesan
menolak dan kurang menerima keberadaan filsafat Islam, kecenderungan
penelitian ketiga telah mengakui, menerima dan menyetujui filsafat Islam
pernah mewarnai keilmuan di dunia bahkan pernah mencapai masa
keemasannya. Sayang, pendapat ketiga ini seringkali merupakan pendapat
yang digaungkan umat muslim tanpa ragam proses ilmiah yang jelas dan
nyata. Sehingga arah asumsi- asumsinya terkesan subjektif atau “dituding"
subjektif. Subjektif karena terlahir dari pemikiran umat Islam dan belum
tentu diakui oleh intelektual lain di luar Islam. Beruntung, menjelang akhir
abad 19, menjelang abad 20, bermunculan penelitian-penelitian yang
membuktikan eksistensi filsafat Islam, penelitian-penelitian ini dilakukan
oleh non-muslim dan secara perlahan memberikan “nama baik” bagi filsafat
Islam yang sebelumnya dipaksa terkubur.
Tiga kecenderungan tersebut tentu saja bergerak dengan asumsiasumsi dan teori-teori yang berjalan secara terpisah. Keterpisahan asumsi dan
teori tersebut seringkali dipengaruhi oleh cara pandang masing-masing
penelitian. Edward Said berhasil mendeskripsikan konflik kepentingan pada
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Orientalis, ditemukan kepentingan
“arogansi" untuk menunjukkan Barat sebagai bangsa yang jauh lebih “mulia”
dari bangsa lain.4 Analisis ala orientalis ini jelas hampa budaya dan hampa
nilai meski ada pula yang tetap menjunjung kaidah-kaidah ilmiah dalam
penelitiannya.
Maka, menjelaskan filsafat Islam dari sisi lahir, hidup berkembang
dan kondisi mati surinya adalah konsekuensi yang mesti dilakukan untuk
mengetahui posisi filsafat Islam dalam lintasan sejarah secara jernih dan
objektif. Artinya membicarakan filsafat Islam sama dengan menjelaskan
Islam sejak zaman kelahirannya kemudian komunikasinya dengan
masyarakat setempat dan bagaimana prosesnya hingga berkembang melintasi
jazirah Arabia menembus Eropa serta bagaimana pula proses “pertubrukan”
budaya di dalamnya.
Analisis tersebut pasti merubah pola analisis setiap pendapat dari tiga
kecenderungan di atas. Bahkan bisa saja turut memperdebatkan satu pendapat
dengan pendapat lainnya atau sebaliknya mendukung satu dari lainnya. Islam
dan filsafat sendiri diragukan konsepnya sebagai sebuah satu kesatuan
makna. Dalam kalangan tertentu ada yang berpendapat bahwa agama dan
filsafat tidak dapat dipertemukan karena keduanya memiliki paradigma yang
sangat berbeda.
E. Renan bahkan menyetujui penggunaan kata filsafat Arab dari pada
filsafat Islam, asumsi tersebut disematkan karena filsafat ini dipopulerkan
oleh Bangsa semit, ras asli Arabia dan menggunakan bahasa Arab. Renan
juga melakukan klasifikasi-klasikasi kompetensi antara Bangsa Aria yang
merupakan ras orang-orang Barat dan Bangsa Semit yang merupakan nenek
moyang bangsa Arab, Renan menyebutkan bahwa selama perjalanan sejarah
bangsa Semit adalah bangsa yang “terbelakang”, bangsa ini menurut Renan
hanya memiliki kemampuan menerjemahkan dan tidak memiliki kemampuan
untuk menganalisis dan menelaahnya. Tanpa analisis dan telaah tersebut,
Renan berkesimpulan bahwa filsafat yang disampaikan dengan bahasa Arab
tersebut jelas takkan pernah dipengaruhi oleh konsep-konsep keislaman.5
Analisis Renan ini bagi Ibrahim Madkur telah menginspirasi
orientalis-orientalis lainnya untuk menunjukkan kesan kuat bahwa "filsafat
Islam” tidaklah benar-benar Islam, la tidak lebih dari sekedar filsafat Yunani
kuno berbaju Islam yang berbahasa Arab. Mereka sedikit
menambahkan,peran filsafat Islam tidak lebih sebagai penyambung
peradaban Yunani setelah terputus berabad-abad dibawah hegemoni gereja,
tidak ada otentisitas dalam filsafat Islam melainkan duplikasi atau jiplakan
dari filsafat Yunani. Lebih dari itu menurut mayoritas orientalis aktivitas
intelektual umat Islam telah mati akibat kelalaian umat Islam memahami
filsafat.
Dalih yang disampaikan orientalis mengenai kelalaian umat Islam
sekaligus meragukan peran muslim dalam berfilsafat adalah, isu tertutupnya
pintu ijtihad, yang telah berlangsung selama seribu tahun; 'seranganserangan” al-Ghazali terhadap filsafat melalui karya Tahafut, Falasifah;
meninggalnya Ibn Rusyd yang dianggap kalangan barat m.'bagai seorang
Rasionalis.6
Musa Kazhim dalam pengantar Sejarah Filsafat Islam menyebutkan
setidaknya ada dua faktor penyebab munculnya kesan negatif terhadap
filsafat Islam. Pertama, militansi kalangan terpelajar muslim dalam
menelaah, mengulas dan menerjemahkan teks-teks poindaban Yunani. Gairah
intelektual muslim tersebut oleh sebagian
A. TRADISI ILMIAH ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA
1.Islam dan Bangsa Arab
Saat ini, jika anda membicarakan Islam artinya anda juga
membicarakan Timur tengah termasuk negara-negara di dalamnya. Hal ini
disebabkan identifikasi dari Timur tengah adalah negara-negara basis Islam,
meski tidak sinonim sulit memisahkan pembahasan antara keduanya, karena
Islam berkembang di wilayah Timur tengah dan keemasan Islam pada masa
lampau terletak di wilayah-wilayah Timur tengah. Tetapi menilai kebenaran
ajaran Islam dan kemajuannya pada Timur tengah tentu bukan penilaian yang
tepat, karena Islam tidak hanya berkomunikasi dengan bangsa Timur tengah,
Islam berkomunikasi dengan bangsa manapun dan melakukan sebuah proses
akulturasi budaya yang sangat menarik. Islam membaur dengan budaya
Persia Iran, membaur dengan peradaban Mesir kuno, berkomunikasi dengan
kekuatan Mesopotamia kuno di dataran rendah Irak atau berkonsultasi
dengan Hellenisme yang disebarkan Alexander Agung dan melebur
mendekati Eropa bersama pemikiran Yunani.
Peleburan budaya dan akulturasi ini takkan pernah terrealisasi tanpa
kekuatan Bangsa Arab. Islam takkan pernah berjaya dan mencapai masa
keemasan jika Bangsa Arab memilih untuk mengeksklusifkannya. Ekspansi
Islam keluar dari Jazirah Arab dan merambah wilayah-wilayah lainnya
berhasil mempopulerkan Islam dan ajaran-ajarannya serta berhasil
menunjukkan identitas Bangsa Arab.
Tetapi masa lalu bangsa Arab sebagai bangsa Jahiliyah cukup
menghantui penilaian-penilaian di luar Arab terhadap bangsa Arab itu
sendiri. Kondisi Bangsa Arab sebelum Islam datang, dikisahkan merupakan
Bangsa Jahiliyah, bangsa yang seakan-akan tidak punya norma dan aturan.
Bangsa yang seakan-akan tidak punya intelektualitas dan berada dalam titik
nadir.
Adalah Abdurrahman al-Bazzaz yang dengan lantang menyatakan
bahwa kondisi jahiliyyah yang digambarkan sejarahwan dengan kondisi yang
begitu nista tersebut adalah kesalahan besar, gambaran keburukan- keburukan
yang bertubi-tubi dengan maksud mengagungkan dan menunjukkan
kehebatan Nabi itu terlalu didramatisir. Akibatnya, setelah Nabi Muhammad
wafat, bangsa lain dapat dengan mudah menyerang bangsa Arab dan
menuding sebagai bangsa yang tidak beradab.8
Al-Bazzaz bahkan beranggapan bahwa penulisan sejarah tersebut
ditulis oleh orang-orang Persia untuk melegitimasi politiknya, yang didasari
oleh semangat golongan (shu’ubiyah), yaitu suatu gerakan dari orang-orang
muslim non Arab untuk menangkal kecenderungan Arabisasi. Perlu diketahui
dalam sejarah politik Islam, ada semangat- semangat primordialisme yang
melakukan tarik-menarik untuk menguasai pemerintahan. Semangat
primordialisme suku Quraisy yang diwakili oleh Dinasti Abbasiyah,
primordialisme Arab non Quraisy yang diwakili oleh kekuatan keluarga Bani
Umayyah, dan di luar Arab, muncul kekuatan Persia dan juga kekuatan
Turki.
Badri Yatim mencatat bahwa kemajuan dinasti Abbasiyah di awal
periode pemerintahannya yakni sekitar tahun 132 H/750 M sampai dengan
232 H/ 945 M, berada dalam pengaruh Persia.9 Pengaruh ini didapat melalui
pernikahan asimilasi antara bangsa Persia dan Arab, luga karena ibu kota
pemerintahan terletak di Baghdad dekat Ctesiphon, bekas ibu kota Persia.
Adapun Dinasti Turki Utsmani menurut Bernard Lewis merupakan dinasti
terakhir Islam, dalam hal ini dinasti dimaknai dengan kepemimpinan atas
nama Khalifah atau Sultan yang berbentuk monarchi. Setelah Turki praktis
dunia kekuasaan Islam terpecah belah menjadi dinasti-dinasti kecil atau
menjadi Negara-negara berdaulat dengan sistem pemerintahan yang berbeda
dengan dinasti.
Artinya, menurut Abdurrahman al-Bazzaz, persepsi dunia terhadap
Arab banyak dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang disebarluaskan atas nama
politik. Kerugian terbesarnya adalah saat ini, asumsi mengenai Arab selalu
dikonotasikan dengan Islam dan Islam selalu diidentifikasi dengan budaya
serta tradisi Arab.
Seperti halnya al-Bazzaz, Muhib al-Din al-Khatib seorang muhaqqiq
dan penulis syarh buku-buku Islam klasik berpandangan bahwa bangsa Arab
memang berada dalam kondisi “jahiliyyah", tetapi moreka juga punya
peradaban. Untuk memperkuat asumsinya ini, al- Khatib mengutip hadis oleh
Bukhari; Rasulullah bersabda, “Kamu mendapati manusia itu seperti barang
mineral; mereka yang terbaik pada masa jahiliah adalah juga yang terbaik
pada masa Islam, kalau mereka mengerti". Yang dapat dipahami dari sabda
Nabi itu ialah bahwa ui.ing-orang Arab itu memang memiliki kualitas yang
tinggi, bagaikanuang mineral seperti emas, sehingga jika mereka berharga
sebelum, maka mereka pun berharga pula sesudah Islam. Kemudian alhh.itib menjelaskan, tidak dapat diragukan bahwa Bangsa Arab adalah
penyembah berhala. Tetapi, mana dari kalangan bangsa-bangsa yang ada
pada waktu Islam muncul, yang bukan penyembah berhala dalam berbagai
pengertiannya? Bahkan sesungguhnya orang-orang Arab adalah yang paling
akhir menjadi penyembah berhala.10
Adapun sebelum menyembah berhala, al-Khatib berpendapat bahwa bangsa
Arab menganut faham al-Hanifiyyah, yakni ajaran monotheisme Arab
peninggalan Nabi Ibrahim. Sedangkan praktek menyembah berhala yang
terjadi kemudian pada mereka itu tidak menghasilkan kuil, pendeta atau pun
benda-benda ornamental keagamaan, sehingga dari kalangan semua bangsa di
muka bumi orang-orang Arab itulah yang paling dekat kepada agama fitrah.
Karena itulah mereka berhak atas pujian Tuhan kepada mereka dalam surah
al-Baqarah ayat 143, “Demikianlah Kami jadikan kamu sekalian ini golongan
penengah, agar supaya kamu menjadi saksi atas sekalian ummat manusia,
sebagaimana Rasul menjadi saksi atas kamu ..."
Bagi Nurcholish Madjid, ketinggian kebudayaan dan peradaban Bangsa Arab
terbukti melalui keindahan bahasa mereka yang sedemikian canggih dan
halus (redefined)-nya, membentuk latar belakang yang dapat menjadi ‘asbab
nuzul’ dalam arti luas dan menyeluruh bagi al-Qur’an berarti juga bagi
Islam.11
Secara geografis jazirah Arab dibentuk oleh empat persegi panjang yang
amat luas, di sebelah utara dibatasi oleh mata rantai daerah-daerah yang
terkenal dalam sejarah, disebut daerah “Bulan tsabit yang subur” (fertile
crescent) yaitu daerah Mesopotamia, Syria, Palestina dan tanah perbatasan
yang berpadang pasir; di sebelah timur dan selatan dibatasi oleh Teluk Parsi
dan Samudera Hindia; sebelah barat dibatasi Laut Merah.12
Wincler-Caetani mengatakan bahwa Jazirah Arab hakikatnya adalah daerah
yang subur dan merupakan tanah air pertama bangsa Semit. Namun setelah
ribuan tahun, kekeringan melanda daerah tersebut dan menyebabkan
timbulnya krisis kelebihan penduduk tanpa hasil alam yang mencukupi,
konsekuensinya berulang kali terjadi keadaaan saling serbu antar negeri
tetangga suku bangsa Semit ini. Krisis-krisis ini yang mendorong bangsa
Syria, Aramaik, Kan'an dan bangsa Arab sendiri memasuki daerah 'bulan
tsabit yang subur'.
Jadi, bangsa Arab menurut Wincler dalam sejarahnya, adalah residu dan tidak
terpisahkan dari proses invasi besar-besaran yang terjadi di masa lalu.
Beberapa bukti yang membenarkan teori Wincler ini menurut Bernard Lewis
adalah ditemukan sejumlah bukti dalam bentuk saluran air yang telah
mengering dan tanda-tanda kehidupan di wilayah tersebut di masa lalu.13
Ira M. Lapidus menuturkan bahwa secara keseluruhan kini, hanya sedikit saja
wilayah di Arabia merupakan wilayah yang subur, sebagian besar daerah
merupakan wilayah yang sangat gersang dan tandus. Dan bangsa Arab yang
hidup di beberapa wilayah subur menjalin pola kebersamaan politik,
kesamaan keyakinan, hubungan ekonomi dan perdamaian dengan masyarakat
sekitarnya.14 Philip K. Hitti mengemukakan bahwa wilayah padang tandus
Arabia merupakan cikal bakal lahirnya masyarakat Badui yang
mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat nomaden.15
Tradisi nasional Bangsa Arab membagi bangsa itu menjadi dua cabang yakni
Arab Utara dan Arab Selatan. Pemisahan wilayah itu secara geografis oleh
gurun tanpa jejak ke dalam wilayah utara dan selatan terungkap dalam
karakter orang-orang yang mendiami masing- masing wilayah itu. Menurut
Lewis Bahasa Arab saat ini adalah Bahasa Arab Selatan yang banyak
dipengaruhi dari Bahasa Etiopia, kebanyakan penduduk Arab selatan adalah
bangsa penetap. Salah satu kehebatan yang diketahui berasal dari Arab
Selatan adalah kerajaan Saba', wilayah ini menurut Lewis juga pernah berada
dalam kekuasaan Persia.16 Suku Badui diyakini merupakan orang-orang dari
Arab Utara, karena tempat subur dan pertanian adalah wilayah Arab Selatan.
Orang-orang Badui menunggang unta dan secara musiman berpindah-pindah
untuk mencari padang rumput yang hijau. Mereka memperlengkapi karavan
dengan binatang, juru penunjuk dan pengawal. Mereka menghabiskan musim
gugur dengan bertahan di padang pasir dan ketika terdapat tanda-tanda turun
hujan pertama, mereka berpindah untuk mencari padang rumput. Pada musim
panas mereka biasanya memasang tenda-tenda di dekat kampung dan oasis,
di tempat ini mereka menukar produk ternak untuk mendapatkan padi,
kurma, perkakas rumah tangga, senjata dan pakaian.
Kehidupan Independen Badui sama dengan kehidupan Independen Bangsa
Arab di wilayah Timur tengah. Timur tengah secara umum terdiri dari
Negara-negara berperadaban tinggi dengan kerajaan
hagai sistem
pemerintahannya. Di sisi barat, Arabia berbatasan dengan Imperium
Bizantium, di Utara berbatasan dengan Imperium Sasania <l;m
Lakhmiyah.17
Bagi masyarakat kuno, Imperium melambangkan wilayah peradaban. Fungsi
Imperium adalah untuk mempertahankan peradaban mereka dari serangan
fihak luar, “barbarian" dan untuk mengasimilasikan mereka ke dalam
lingkungan budaya yang lebih besar. Imperium memerintahkan sumpah setia
disebabkan mereka adalah sebuah koalisi masyarakat budaya untuk mengusir
kegelapan. Kesetiaan yang ditujukan untuk seorang raja yang diyakini
merupakan titisan dewa. Penguasa adalah agen Tuhan, penghubung antara
alam dunia dan alam surgawi yang ditunjukan Tuhan untuk menjamin
kesejahteraan hidup warganya dan secara magis menata kehidupan semesta
agar terhindar dari kekacauan.18
Imperium-imperium ini melahirkan kerajaan-kerajaan besar atau kecil yang
secara silih berganti terbentuk tetapi kemudian tenggelam. Perkembangan
yang menentukan imperium dan peradaban kerajaan seirama dengan
transformasi keagamaan. Terbentuk kepercayaan terhadap dewa-dewa yang
didefinisi untuk kebutuhan masyarakat terhadapnya. Dewa-dewa masyarakat
Timur tengah merupakan dewa-dewa keluarga, suku, kampung dan dewa
kota, tetapi lantaran pertumbuhan hubungan antar masyarakat, muncullah
dewa universal yang diakui bersama.19
Seluruh dewa ini dideskripsikan melalui materi-materi di alam, beberapa
mendeskripsikan melalui patung-patung berhala dan beberapa lainnya seperti
Zorostrian, Manicheanisme dan Mazdaisme menunjuk Matahari, Api dan
Bulan sebagai deskripsi dewa mereka.
Di sisi lain, terdapat masyarakat-masyarakat keagamaan monotheisme, yang
memuja Tuhan dalam arti satu dan esa. Judaisme dan Nasrani merupakan
agama yang diminati Imperium Bizantium, yakni sekitar wilayah lraq.
Namun, ide monotheisme tetap melahirkan deskripsi-deskripsi lain yang
berkaitan dengan penghubung dunia dan Tuhan seperti konsep trinitas yang
diyakini sebagai upaya pembebasan diri, melalui keimanan pada Kristus
sebagai Tuhan Esa.20
Dan Arabia, menjelang era Islam merupakan wilayah yang mengisolasikan
diri dari hiruk-pikuk kerajaan dan Imperium. Arabia bertahan hidup menjadi
penggembala di saat wilayah Imperium menjadi masyarakat agrikultur,
Arabia benar-benar terasing dari wilayah pergaulan meski mereka bergaul
bersama masyarakat Timur tengah. Arabia hidup dengan ras dan
primordialisme, mereka terdiri dari berbagai suku, dan Quraisy adalah suku
terhormat di kalangan mereka.
Tidak ada kerajaan kecil atau bahkan Imperium yang mengatur arah
kepemimpinan dan peradaban mereka. Maka, tak pelak lagi, peperangan dan
adu kekuatan antar suku seringkali terjadi.21
Makkah merupakan kota suci di Arabia, dan hanya Makkah yang menentang
trend perpecahan politik dan social, dan tetap memperhatikan urusan social
dan ekonomi. Ka'bah adalah pusat ekonomi Makkah, karena menjadi tujuan
penziarahan (haji) tahunan, maka Makkah menjadi pusat penyimpanan
berbagai macam berhala dan dewa-dewa kesukuan dari penjuru wilayah
jazirah ini. Masa haji ini menjadi semacam perayaan karena ekonomi
bergeliat dan memakmurkan kota makkah.
Namun, bersamaan dengan semakin pesatnya kekuatan ekonomi, gerakan
perdagangan mulai disabotase ‘bajak laut’ sehingga para penguasa
menggunakan jasa orang-orang Badui yang telah dikenal ketangguhannya.
Secara perlahan masyarakat Badui memasuki wilayah social-ekonomi dan
kekuatan politik Arab. Secara perlahan pula beberapa kebudayaan Badui
menjadi bagian dari kebudayaan Arab.
Lapidus dan Hitti meyakini benar bahwa Syair merupakan produk budaya
Badui,22 dan susunan klan adalah dasar dari masyarakat Badui. Tiap kemah
merupakan suatu keluarga dan anggota-anggota dari suatu perkemahan
merupakan suatu klan. Kemudian beberapa klan yang masih ada tali
persaudaraan, merupakan suatu suku. Bahkan menurut Hitti terdapat
kebiasaan menciptakan persaudaraan dengan yang tidak ada pertalian darah
dengan saling meminum beberapa tetes darah.23
Masuknya Badui dalam lingkup sosial politik dan ekonomi Arab, membuat
perubahan pola hidup dari nomaden menjadi penetap, l'ei ubahan pola ini
diikuti pula oleh perubahan kebiasaan hidup dari '.eorang penggembala
menjadi saudagar. Dan Mekkah sebagai K'epublik Kota Saudagar merupakan
tempat pertemuan dua budaya ■i ah Utara dan Arab Selatan. Kota ini
diperintah oleh sebuah sindikat iiiang orang bisnis yang kaya raya. Dan
Ouraisy adalah salah satu ii'lompok penguasa perdagangan terkemuka,
Ouraisy menurut Lewis i'Ialah Badui yang telah menetap. Artinya tempat ini
kemudian menjadi ii mpat terakhir salah satu suku dan kemudian menjadi
pemeran utama <li dalamnya.
Ouraisy adalah elemen sentral kota Mekkah, mereka terdiri i m '.ekolompok
saudagar bisnis yang aristokratis, bankir, pedagang dan wiraswasta.24 Di sisi
lain, terdapat pula Ouraisy of the Outsider mereka adalah kelompok Badui
diluar suku Ouraisy yakni sejumlah penduduk kecil, terdiri dari pedagangpedagang, kelompok proletar, atau orang-orang Badui nomaden.25
Daya tahan dan ketangguhan orang-orang Badui yang sangat tinggi ini adalah
mental orang-orang Arab. Sebagai suku yang hidup berpindah-pindah,
seorang Arab dan seorang Badui khususnya adalah seorang demokrat tulen.
Mereka memandang bahwa semua masyarakat atau setiap orang yang
ditemuinya adalah sama, tidak ada kasta atau perbedaan dalam memandang
orang lain. Namun, di saat yang sama, mereka sering menjadikan diri mereka
Aristokrat, beranggapan bahwa mereka adalah yang terbaik dan hasil
penjelmaan yang sempurna. Gaya aristokrat ini memicu mereka untuk
memamerkan silsilah mereka sampai dengan Nabi Adam.26
Kebanggaan terhadap silsilah ini adalah bagian patriarkal mereka, termasuk
di dalamnya pandangan sebelah mata terhadap wanita. Wanita tidak punya
daya dan kuasa, ia bak budak dan hidup diantara poligami, la tak berhak
meminta dan menuntut, suami adalah penguasa tunggal. Namun, wanita
diizinkan untuk meninggalkan suaminya apabila ia diperlakukan tidak
semestinya.27 Artinya, dalam kebebasan terbatas, bangsa Arab tidak dapat
dikatakan telah 'sangat’ semena-mena. Mereka tetap menunjukkan rasa
hormat pada wanita meski dalam skala kecil.
Adapun, upaya pembunuhan terhadap anak-anak perempuan yang lahir
adalah disebabkan oleh ketakutan mereka akan kemiskinan. Anak perempuan
dianggap tidak memiliki kekuatan dan daya tahan untuk hidup berpindahpindah, selain itu perempuan dianggap hanya merepotkan dan tidak dapat
membantu kehidupan keluarga. Pandangan ini kemudian membuat
perempuan menjadi kelas yang tak bermartabat apalagi di kalangan Badui
nomaden.
Hakikatnya, Bangsa Arab adalah bangsa yang unik, bertahan diantara padang
tandus dan membangun komunikasi yang baik untuk mencapai kesatuan
sebagai sebuah clan dan membesar menjadi suku. Bangsa ini telah belajar
banyak tentang nasionalisme, kasih sayang bahkan persatuan dan kesatuan.
Bangsa Arab juga telah memiliki kompetensi di bidang ekonomi serta
pemahaman yang baik tentang Tuhan meski dengan cara yang berbeda.
Adapun makna “jahiliyah” dalam hal ini, tidak dapat hanya disematkan pada
Bangsa Arab, tetapi pada setiap kondisi saat itu. Dimana tak ada penyembah
Tuhan monotheisme, kaum Nasrani dan Yahudi (ahl kitab) menjadi
terpinggirkan dan seluruhnya menyembah berhala atau dewa-dewa yang
dideskripsikan melalui materi. Dan secara keseluruhan tidak ada data yang
menunjukkan bahwa perempuan di wilayah lain memiliki posisi yang baik.
Bahkan cerita kerajaan Saba’ yang dikenal makmur oleh kekuatan konstruksi
bendungannya Sadd Ma'rib merupakan pemerintahan yang terdapat di Arabia
Selatan.28
Di tengah miliu bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lengah kacau dan
penuh dengan chaos inilah Muhammad dilahirkan. Menjadi pendakwah
agama Islam, agama yang menawarkan solusi terbaik bagi kekacauan dan
menuntun umat manusia melalui al-Qur’an dan suri tauladan dirinya.
Kontak Islam pertama kali dibangun di Makkah, kota ini merupakan kota
milik “keturunan” badui, sikap penduduknya sangat dipengaruhi mental
badui meski telah menjadi penduduk menetap. I’enduduk Makkah
mempertahankan sikap aristokrat badui melalui peperangan untuk
menunjukkan siapa yang paling berkuasa dan berpengaruh, sikap ini
membuat Mekkah kehilangan strukturdan tatanan •■«sialnya. Ketiadaan
lembaga pemerintahan, undang-undang dan hukum melahirkan perbuatanperbuatan yang sewenang-wenang dan dekadensi moral.
Dakwah Muhammad di Makkah kurang digemari penduduk Hempat tetapi
menarik perhatian para pendatang yang setiap tahun berkunjung ke Makkah.
Kepribadian Muhammad yang santun terlihat bak mutiara di tengah
dekadensi moral yang melanda Makkah, dan penduduk Yatsrib merupakan
salah satu pendatang yang kemudian menbai'at diri menjadi pengikut
Muhammad.
Banyak faktor kegagalan dakwah terjadi di Makkah, penduduk Mukkah tidak
terbiasa menerima kepemimpinan atas nama individu, meieka selalu
mengatasnamakan kelompok dengan banyak tokoh di
■
ulamnya. Adapun Madinah adalah wilayah yang telah memiliki
struktur 'inn tatanan social yang baik. Madinah merupakan wilayah yang
dekat
•
l <’ 1111 a n Arabia Selatan, penduduknya hidup dari pertanian.
Madinah p i' i. i telah mengembangkan konsep sosial kedekatan ruang dan
tidak i'uh.ita:; pada system kekerabatan. Mereka telah jauh melepaskan i
'i'Uya badui dan memiliki simpati yang baik pada masyarakat Yahudi y n i* i
berpaham monotheisme,29
Melalui Madinah, Muhammad melakukan langkah-langkah pembinaan umat
sebagai “contoh” bagi keberlangsungan Islam selanjutnya. Disinilah lahir
ideologi Islam dan secara perlahan menggeser ‘ideologi' Badui. Islam juga
mengilhami Bangsa Arab mengenai fungsi persatuan tanpa tersekat oleh
suku, seperti peleburan Muhajirin dan Anshar. Menghapus tradisi Badui
mengenai klan dan suku, Islam juga mengarahkan fungsi perang tidak untuk
menghancurkan bangsa yang lemah dan melebihkan satu bangsa dengan
bangsa lainnya tetapi untuk menjaga keamanan Negara dan keselamatan
umat.30
Di Madinah Islam mendapatkan posisi terbaiknya sekaligus menemukan
eksistensinya sebagai agama yang sempurna. Dengan demikian, perpindahan
dari Mekkah ke Madinah bukan sekedar pindah tempat belaka, tetapi
merupakan satu pemindahan tuntas merata yang mencakup seluruh sikap
hidup, tata adab dan tata hukum yang penuh dengan Renaissance Spirit dan
Spirit of Nationatism. Menuju pembentukan umat baru, yakni umat Islam
dengan Islam sebagai pedoman kehidupan sosial masyarakat, politik dan arah
ekonomi.31
Seperti sebuah episiklus yang menjalin keterkaitan-keterkaitan ajaib di
dalamnya, Islam lahir dan berkembang di Jazirah Arab dengan seni yang
sempurna. Komunikasi Islam terhadap berbagai peristiwa bersama penduduk
Makkah telah melahirkan asbab nuzul al-Qur’an dan asbab wurud hadis.
Ayat-ayat Makkiyah menunjukkan perintah dalam bentuk “ajakan” tanpa
sikap memerintah dan menggurui, sangat berhati- hati dalam merubah tradisi
yang telah sekian lama tertanam.32 Tetapi di Madinah, Tuhan begitu keras
mengingatkan dan menjelaskan setiap pokok permasalahan dengan solusi
yang jelas tidak tawar menawar.33
Makkah adalah gambaran menjadi pendakwah di wilayah yang tidak
mengenal Islam, gambaran bagaimana menjadi seorang pendakwah dengan
penduduk berdaya fikir “seadanya" akibat telah bertahun-tahun terkungkung
dalam kesalahan. Adapun Madinah adalah deskripsi mendidik orang-orang
yang telah mengetahui benar dan salah, menunjukkan kewajiban bagi setiap
muslim untuk bertanggung jawab terhadap dirinya, perbuatannya,
lingkungannya bahkan negaranya dan juga pada dunia. Maka, Madinah
adalah proyek percontohan yang berisi orang-orang shaleh, yang menjaga
identitas keislaman dalam berbagai sisi.
Makkah adalah gambaran menjadi pendakwah di wilayah yang gambaran
bagaimana menjadi seorang pendakwah dengan penduduk berdaya fikir
“seadanya" akibat telah bertahun-tahun terkungkung dalam kesalahan.
Adapun Madinah adalah deskripsi mendidik orang-orang yang telah
mengetahui benar dan salah, menunjukkan kewajiban bagi setiap muslim
untuk bertanggung jawab terhadap dirinya, perbuatannya, lingkungannya
bahkan negaranya dan juga pada dunia. Maka, Madinah adalah proyek
percontohan yang berisi orang-orang shaleh, yang menjaga identitas
keislaman dalam berbagai sisi.
Karena Madinah sebuah percontohan, Madinah menjadi kota piimadona
dengan kedamaian, keteraturan dan kehidupan masyarakatnya yang tenteram
nan damai. Kepopuleran Madinah mulai memukau para penduduk Makkah
dan menegur kekeliruan mereka '■•'lama ini pada Muhammad. Secara
perlahan, Islam mulai diakui di la/irah Arab khususnya Makkah, prosesproses penyadaran mewabah di Arab dan menggeser “ideologi badui”
mereka. Melalui kota madani Madinah, Islam menunjukkan eksistensinya,
yang diikuti dengan pengakuan Islam di seluruh jazirah Arab dan menjadi
sebuah kekuatan kebenaran yang menakjubkan.
Dilandasi semangat keagamaan, bangsa Arab tergerak untuk membangun
Imperium, melakukan ekspansi sampai ke benua Eropa.
' .iilit memungkiri bahwa tidak ada motif Arabisme dalam ekspansi yang
dilakukan tetapi diperkirakan motif Arabisme tersebut tidak mendominasi
motivasi bangsa Arab untuk melakukan ekspansinya. Hal ini terlihat dari i'
iiiaimana penduduk Arab tidak memaksakan tata dan aturan hukum meieka
diterapkan di wilayah yang dikuasai atau bahkan tidak memaksakan Islam
sebagai dasar hukum di wilayah tersebut. Hukum
•
i ni lata administrasi diserahkan pada wilayah tersebut dengan sistem
"iniioitii dan Islam hanya meminta untuk dapat mengurus dan melayani i
nliiituhan Muslim dalam melaksanakan ajaran-ajarannya.34
Dalam tahap-tahap tertentu Arabisme, Michael Hart meyakini
<
i '.pansi ini takkan pernah terwujud jika Bangsa Arab tidak terdorong
i' h -.emangat keagamaan. Bangsa Arab yang hakikatnya adalah e imi'.,i
Badui bukan tipikal bangsa yang memiliki sejarah mencaplok 'i m menjajah
bangsa lain. Hampir tidak ada data signifikan mengenai i ' i" 'i angan yang
dilakukan oleh Bangsa Arab kecuali peperangan antar NIIMI
Bangsa Arab sangat independen bahkan relatif tidak peduli dengan wilayah
lainnya selama mereka aman.35Atas dasar dorongan dakwah dan
menyebarkan agama Islam, bangsa Arab kemudian mensistematisasi dirinya
menjadi sebuah kesatuan dan tidak terpisah dalam klan-klan tertentu.
Ekspansi ini menurut Lapidus kemudian mendorong lahirnya rezim atau
Imperium baru, yang di dalamnya mencakup migrasi dan pendudukan bangsa
Arab di kawasan Timur Tengah, mendorong urbanisasi dan perkembangan
ekonomi yang semakin kuat.36 Kekuatan ekonomi yang semakin memukau
dan kemewahan serta kenyamanan di daerah bulan sabit yang subur pada
akhirnya mendorong inspirasi- inspirasi baru di luar semangat keagamaan,
artinya motif ekonomi tidak menjadi fokus utama ekspansi tetapi efek dari
ekspansi yang kemudian secara perlahan mengikis motif awalnya yang
didasari oleh semangat keagamaan.
Semangat keagamaan bangsa Arab menurut AH. Johns dibuktikan dengan
menyisipkan misionaris-misionaris Islam yang mengajarkan dan
menyebarkan ajaran Islam di wilayah-wilayah ekspansi.37 Selain itu, tidak
ditemukan fakta yang nyata bahwa setelah ekspansi tersebut bangsa Arab lalu
berbondong-bondong meninggalkan wilayah Arab untuk kemudian hidup di
wilayah tersebut, tetapi ditemukan fakta kastasisasi Arab dan non-Arab,
bahkan ketika mereka telah menjadi muslim, di mana non-Arab menduduki
status yang lebih rendah dibanding seorang muslim Arab. Prosedur-prosedur
perubahan yang serba kebetulan ini ditanggapi Hitti sebagai sebuah proses
pertemuan budaya dari tradisi “Badui” dengan budaya-budaya di luar Arab,
sehingga kemudian Imperium Arab bukanlah motif awal penaklukan tetapi
efek dari euforia kemenangan yang berturut-turut. Dengan demikian,
pembentukan kekuasaan yang luas itu lebih banyak disebabkan oleh tuntutan
keadaan, bukan oleh rencana yang telah disusun sebelumnya.38
Secara realistis, meski bukan penentu peradaban Islam karena sulit sekali
menemukan periode kemodernan keilmuan dalam kehidupan bangsa Arab.
Bangsa Arab merupakan tokoh utama yang memperkenalkan Islam terhadap
dunia, dan sahabat-sahabat yang shaleh memainkan perannya sebagai
misionaris-misionaris dengan teladan sikap yang sempurna. Kontribusi
terbaik bangsa Arab adalah bahasa, penyampaian bahasa dan kekuatan sya'ir
Arab menjadi daya tarik tersendiri yang kemudian menjadi sangat agung
karena al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Artinya walau tidak ditemukan
kekuatan keilmuan baik astronomi, filsafat dan tata administrasi hukum dari
sejarah semenanjung Arabia, tetapi selalu ditemukan konsep-konsep
kebahasaan yang pada akhirnya mampu memberi implikasi yang signifikan
dalam proses persatuan dan penyebaran Islam.
Sya’ir dan Khithabah merupakan produk bahasa yang menjadi kekuatan
sastra dan mungkin jika dikembangkan dapat melebihi kemampuan retorika
Yunani. Beberapa Sya'ir yang didokumentasikan Khalil Abdul Karim adalah
sebuah kekuatan retorika yang sangat berani, ditemukannya sya’ir-sya'ir yang
mengkritik kelas sosial yang terdapat dalam masyarakat sosial merupakan
sebuah bentuk sya'r yang telah merefleksikan sastra karena berupa sebuah
refleksi pemikiran dan budaya. Atau visi penyair Mutahannifin yang
mengkritik agama pagan dan penyekutuan Tuhan dalam Ibadah.39
Sayangnya bangsa Arab tidak merespon medium-medium ekspresif dalam
bentuk sya’ir ini, karena sya'ir disampaikan sebagai lahan mencari nafkah
dan lahan untuk menunjukkan siapa yang jauh lebih baik dari lainnya. Lebih
jauh h tiadaan kekuakatan kepemimpinan dan tata administratif negara
menyebabkan medium ekspresif ini tidak memiliki objek kritik yang jelas
.(■lain sebuah penyampaian kata-kata.
Tetapi produk bahasa mereka yakni Sya'ir dan Khithabah telah mengajarkan
bangsa Arab kemampuan menjadi figur yang menarik P'-ihatian. Persaingan
merebut perhatian saat bersya'irdan berkhutbah membuat bangsa Arab
merupakan Orator yang ulung, sebuah poin i m isitlf ketika menyebarkan
agama Islam di wilayah-wilayah ekspansinya, hmiampuan bahasa ini tak bisa
dinafikan dan ditiadakan serta tidak t ' a dianggap tidak menjadi bagian dari
proses kemajuan peradaban islam, apalagi unifikasi bahasa antara Persia dan
Suryani menjadi luhasa Arab dalam transmisi peradaban Islam merupakan
persoalan i" nllni). Dan meski seringkali dikaitkan dengan kebijakan politik
yang "lahisme" atau bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi karena i' n,
masa nya adalah orang Arab, tetapi pemilihan bahasa Arab menjadi i'tihasa
keilmuan saat itu bisa jadi karena fenomena sosial yang ""*n< aktif) berbagai
keistimewaan dari fenomena kemasyarakatan.
I ebih luas dari persepsi tersebut, bahasa Arab mungkin menjadi ."makin
membudaya karena proses Islamisasi yang semakin luas dan ' ' i'iituhan setiap
muslim non Arab dalam memahami Islam. Sehingga setiap bangsa non-Arab
berusaha mendekat dan berusaha menjalin kekerabatan dan membangun satu
kesatuan bahasa yang kemudian menjadi pilar-pilar yang mengokohkan
kemajuan Islam.
2.
Islam dan Peradaban Persia
Pada permulaan abad ke tujuh, Timur Dekat dan Timur Tengah dipecah oleh
dua rival, kerajaan Byzantium dan kerajaan Persia. Kerajaan Byzantium
dengan ibu kotanya Konstantinopel beragama Katholik Yunani (greek) dan
Kristen, wilayahnya menjangkau wilayah administrasi kerajaan Romawi.
Basis kekuatannya adalah plateau Anatolia yang tinggi, pada waktu itu
hampir seluruhnya berkebudayaan Hellenik yang kuat. Ke selatan terdampar
propinsi-propinsi Syria dan Mesir. Penduduknya sebagian Aramaik, sebagian
lagi Coptik dan terpecah belah oleh ras serta sedikit pengaruh kebudayaan
Yunani. Penduduk-penduduk ini membenci pemerintah yang berkuasa karena
beban pajak yang terlalu berat, adapun penduduk Yahudi adalah budakbudak bagi kerajaan.40
Persia membentuk citra dirinya melalui Imperium Sasanid, pusat kerajaan ini
terdiri dari tanah plateau Iran dihuni oleh bangsa- bangsa berbahasa IndoEropa dan diperintah sebagai daerah semitik yang bebas. Kebudayaan
Sasanid Persia adalah Asiatik dan benar-benar sebagai reaksi terhadap anti
Hellenik, agama Negara adalah Zoroastrianisme. Secara umum Imperium
Sasanid jauh di bawah kestabilan bila dibanding dengan kerajaan Byzantium.
Dua Imperium ini terus bersaing, bahkan peperangan untuk menunjukkan
siapa yang terkuat diantara mereka membuat kedua Negara menghabiskan
seluruh sumber daya mereka dan menjadi labil.41
Di tengah peperangan yang menghabiskan energi inilah, Islam menguasai
Persia dan Byzantium dengan mudah. Kedua Imperium ini telah dikuasai
Islam sejak masa Khalifah Abu Bakar melalui panglimanya Khalid ibn
Walid.2 Serangkaian penaklukan mengawali proses sejarah yang panjang dan
memuncak pada penggabungan Imperium Sasania dan beberapa wilayah
bagian timur Imperium Byzantium menjadi wilayah Imperium Islam, dan
akhirnya terjadilah proses perpindahan Agama mayoritas Yahudi, Kristen
dan Zoroastrian menjadi Pemeluk Islam.
Di tengah peperangan yang menghabiskan energi inilah, Islam menguasai
Persia dan Byzantium dengan mudah. Kedua Imperium ini telah dikuasai
Islam sejak masa Khalifah Abu Bakar melalui panglimanya Khalid ibn
Walid.42 Serangkaian penaklukan mengawali proses sejarah yang panjang
dan memuncak pada penggabungan Imperium Sasania dan beberapa wilayah
bagian timur Imperium Byzantium menjadi wilayah Imperium Islam, dan
akhirnya terjadilah proses perpindahan Agama mayoritas Yahudi, Kristen
dan Zoroastrian menjadi Pemeluk Islam.
Persia adalah Bangsa yang sangat anti terhadap budaya Hellenik dan memilih
mempertahankan budaya dan pengetahuan mereka. Kekalahan Persia dari
Alexander yang Agung dan Bangsa Parthian menimbulkan kebencian
terhadap budaya Hellenik. Perlu diketahui, sebelum diserang oleh Alexander,
Persia dibawah kepemimpinan Raja Darius adalah Imperium yang amat
disegani.
' .ctelah dikalahkan Alexander dan diteruskan oleh kepemimpinan Mnngsa
Parthian. Persia kembali menguasai negaranya sendiri melalui Imperium
Sasanid. Imperium Sassanid adalah imperium Persia terakhir, Imperium ini
didirikan oleh seorang Persia bernama Ardhasir yang I H M hasil
mengalahkan kekuatan Parthian.43
Sayang, Dinasti Sassanid tidak berlaku bijak, pada masa ini «>t - ploitasi dan
penindasan yang ekstrim terhadap rakyat mencapai puncaknya. Perbudakan
telah melampaui batas dan memasuki masa
►
HMS Migrasi besar-besaran kaum tani miskin telah merambah kotaM.i sebagai akibat tirani kebangsawanan feodal yang tak tertahankan,
n.imun, di kota-kota-pun mereka masih diperlakukan sebagai budak.44
Penindasan yang tak terelakkan ini melemahkan persatuan
•
«’i-.i.i, membuat mereka terpecah belah dan memudahkan Islam m<
rt{|iiasai dan mendakwahkan ajaran Islam. Perlahan namun pasti, i i <m
mendapat posisi terbaiknya di hati bangsa Persia. Konsep Islam
iKjonai kebebasan dan egaliter menjadi penawar dari penindasan
: iinnl.ikan yang mereka alami.
Melalui Islam pula, para Khalifah membebaskan hukum dan
>
I ii kubinsaan lama berlaku di wilayah yang telah ditaklukkan. Tidak
•
11 konsop ‘pemaksaan’ untuk memeluk Islam atau menggunakan 1 "i
um l'.lam. Hukum Islam diterapkan hanya untuk pemeluk Islam dan '"i '!•
u|,ima lain. Tetapi demokrasi bernegara ternodai oleh sikap ■' iliiMue' oleh
sebagian kalangan. Menurut Lewis, konflik antara Persia i m Aiah dimulai di
masa ‘Umar ibn Khattab, ‘Umar memang membiarkan hukum dan adat
berjalan seperti sebelumnya dan memberi kebebasan pada setiap Negara.
Tapi, ‘Umar juga melakukan konsensus-konsensus tertentu yang terlihat
lebih mengistimewakan bangsa Arab. Sejumlah keistimewaan atau akses
mudah bangsa Arab ini memicu emosi bangsa Persia, dan menimbulkan
semacam hubungan saling mencurigakan.45
Hubungan buruk Persia dan Arab memuncak melalui pembunuhan Khalifah
‘Umar ibn Khattab oleh seorang budak berbangsa Persia. Kondisi ini menurut
Lapidus semakin mereda pada masa ‘Umar ibn ‘Abdul Aziz, dengan
meluasnya asimilasi Arab menjadi populasi yang bersifat umum mendorong
kelompok Arab untuk mengakui kesamaan kedudukan antara Arab dan nonArab.46 'Umar ibn 'Abdul Aziz kemudian menyerahkan mekanisme
imperium pada seorang muslim tidak di atas basis Arab, la menerapkan
prinsip-prinsip persamaan terhadap seluruh muslim, baik Arab maupun nonArab dan memperkenalkan hukum- hukum baru mengenai persamaan
pemberian tunjangan keuangan kepada muslim tanpa memperhatikan asal
usul mereka.
Bersamaan dengan pemeluk Islam yang semakin meningkat, kebersamaan
berbahasa juga berlangsung di dalam komunitas baru. Secara umum, bahasa
Arab menjadi bahasa komunikasi tertulis dalam administrasi kepustakaan dan
keagamaan. Bahasa Arab juga menjadi dialek komunikasi lisan yang
dominan di bagian Timur Tengah -Mesir, Syria, Mesopotamia dan lraqdimana bahasa yang dekat dengan rumpun Arab, seperti Aramaic juga
menjadi bahasa lisan.47
Di Iran, keadaaannya sangat beragam. Di Iran bagian Barat, pemukim Arab
terserap ke dalam penduduk local sehingga berkembanglah dua bahasa. Di
Khurasan di mana orang Arab berasimilasi dengan perabotan, pakaian, adat
istiadat Persia, mereka menggunakan dialek Persia setempat. Orang Arab
tidak hanya mempelajari bahasa Persia, tetapi penakluk muslim Arab juga
menjadi sarana pengenalan bahasa Persia sebagai lingua franca pada
masyarakat sebelah timur sungai Oxus. Di Transoxiana, bahasa Persia, yang
merupakan bahasa lisan warga Arab di bagian timur Iran, menggantikan
bahasa Soghdian sebagai bahasa umum di kalangan warga Arab, warga
Persia dan Soghdian.48
Meski hubungan dua budaya telah dimulai sejak zaman bani Umayyah,
keemasan perpaduan keduanya baru berlangsung di zaman
Abbasiyah. Keputusan Bani Abbasiyah memindahkan pusat kota ke Baghdad
membuka jalur akulturasi yang sangat kuat antara budaya Arab dan budaya
Persia. Posisi Baghdad yang dekat dengan ibu kota l’orsia Ctesiphon
membuat pengaruh Persia menguat di masa
Abbasiyah.49
Jauh sebelum Islam datang, menurut Ghirsman, Persia telah dikenal dengan
keindahan arsitekturnya, bahkan Ghirsman meyakini i'.mgsa Persia memiliki
kemampuan memahat batu sejak zaman pra
•
larah. Asumsi ini dibuktikan Ghirsman dengan ditemukannya reliefyang mendeskripsikan masyarakat saat itu, sebagaimana relief- M’liof yang
terdapat dalam budaya Mesir kuno. Tata kota dinasti Sassanid i M merupakan
tata kota berkelas internasional dan terbaik pada amannya.50
Kota Firouzabad merupakan bukti keindahan seni arsitektur i ■ i ,ia yang
dibangun dengan bentuk melingkar, bentuk melingkar ini Minngilhami alManshur dalam membangun Arsitektur kota Baghdad, .mu arsitektur lain,
adalah kota Bishapur yang berbentuk segi empat 'luiKian dua jalan raya yang
terpenting, pusat lalu lintas yang ■«••hubungan dengan pusat kota. Bentuk
segi empat ini seperti model " iirktur yang berkembang di Barat.51 Selain
arsitektur, bangsa Persia i 111 memiliki kemampuan mengukir dengan baik,
ukiran-ukiran m. mukan tidak hanya di dinding istana tetapi juga dalam
bentuk imon ornamen, atau dalam emas dan perak.52
Sejak Persia dikuasai Alexander Agung, banyak kalangan yang 1' i nn|<japan
budaya Persia telah melebur bersama lahirnya konsep 1 •i'Hoiii'.mo. Tetapi
menurut Ghirsman, bangsa Persia selalu keberatan ■' "'i m konsep Hellenik
dan tetap berupaya mempertahankan budaya " i i sendiri. Orang-orang Persia
berusaha dengan keras ••"■N'i'junakan bahasa Persia dan tidak menggunakan
bahasa Yunani '•' "i M.n odonia.53 Orang-orang Persia ini menurut Ghirsman
turut ■■i - I-II.III sistem administrasi Yunani, tetapi sistem Yunani tidak
j*>mi,i!i 'li'iunakan Persia, Persia tetap membangun sistem administrasi •" v'i
••obelum dan sesudah Alexander Agung menguasainya. »■ h ' i >i m | imi
r>ip terhadap bahasa, budaya dan agama Persia -Zoroaster H"" ' i mi
monjadikan wilayah kekuasaan Abbasiyah wilayah pluralis.
I
'putusan untuk membangun kota Baghdad sebagai pusat " i"'li.ilil,
yang dinamakan Madinat at-Salam (kota damai), menumbuhkan dua
pemukiman besar di sekitarnya. Satu di antaranya merupakan perluasan
perkampungan militer Abbasiyah dalam bentuk distrik-distrik mencapai
bagian utara komplek istana, yang bernama al- Harbiya, dan satu pemukiman
lainnya yang mencapai bagian selatan istana dinamakan pemukiman alKarkh, dihuni oleh ribuan pekerja bangunan yang didatangkan dari lraq,
Syria, Mesir dan Iran. Dalam perkembangannya kemudian, Baghdad menjadi
kota pluralis, berbagai ras, bangsa dan agama hidup bersama di dalamnya.54
Baghdad tidak hanya menjadi pusat kota, melainkan sebuah pusat
metropolitan. Pada abad kesembilan, luas kota ini 25 mil persegi
berpenduduk sekitar 300.000-500.000, sepuluh kali lebih luas dari Ctesiphon
bahkan lebih besar dari Konstantinopel yang hanya berpenduduk sekitar
200.000. Baghdad merupakan produk dari pergolakan, pergerakan penduduk,
perubahan ekonomi dan peralihan sistem dari abad sebelumnya. Baghdad
adalah kota heterogen dan cosmopolitan yang terdiri dari Arab dan non Arab,
Islam dan non Islam yang hidup di bawah satu Imperium dengan damai.
Kedamaian itu secara perlahan menghapus tirai-tirai perbedaan dan
menggerakkan masyarakat dalam satu suara untuk Imperium Abbasiyah.
Setiap orang dapat menduduki posisi apapun tanpa perlu ditelaah latar
belakangnya, Imperium menjadi milik siapapun yang ingin terlibat di
dalamnya. Kondisi ini jelas sangat menguntungkan bagi akulturasi
kebudayaan, peradaban dan keilmuan. Ilmu pengetahuan Persia, India dan
Yunani dengan segera diterjemahkan kepada Bahasa Arab sebagai bahasa
umum saat itu.
Hampir seluruh sarjana menyepakati bahwa masa Abbasiyah adalah masa
transformasi, akulturasi atau bahkan modifikasi gagasan- gagasan Persia dan
Yunani dengan Islam atau juga dengan pemikiran Arab. Namun
sesungguhnya seluruh proses tersebut telah berjalan sejak Alexandria
ditaklukan ‘Amr ibn Ash pada 21 H/ 641 M di masa Khalifah Umar ibn
Khattab. Beberapa akademi peninggalan imperium sebelumnya dengan serta
merta berada dalam kekuasaan Islam. Salah satunya adalah Judinshapur di
Persia selatan, Judinshapur merupakan gelanggang pertukaran ilmu Persia,
Yunani, Roma, Suryani dan India.55
Konon, ketika pada 489 M kaisar Zeno, seorang kaisar Bizantium menutup
akademi Edessa dan beberapa sarjana Nestoria melarikan diri dengan
berlindung pada penguasa Persia. Para sarjana ini mulanya menetap di
Nisibis, diketahui bahwa sebagian sarjana yang datang ini telah terhellenisasi
ini kemudian bergabung di akademi Judinshapur. Pada 529 M sekolah
Neoplatonik di Athena juga ditutup oleh dekrit Kaisar Justinian, seorang
kaisar Bizantium, lagi-lagi para sarjana ini mengungsi ke Persia dan melebur
bersama di akademi Judinshapur.56
Jika pemikiran Yunani dengan mudah dapat dilacak melalui ido-ide tokohnya
seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Pemikiran Persia menurut Syed
Nomanul Haq hanya dapat diidentifikasi melalui penjelasan-penjelasan
tentatif dan terpotong-potong yang terutama didasarkan pada sumber-sumber
Arab belakangan dan catatan-catatan •okunder. Nomanul Haq juga
berpendapat ide-ide Persia mendekati ii.m hampir senada dengan ide-ide
India.57
Kedekatan hubungan Persia dan India menunjukkan bahwa ivisia tidak
benar-benarterhellenisasi. Dan tanpa figur-figur yang dikenal 'Uri Persia di
zaman dahulu, maka akulturasi antara Islam dan Persia itiiu bahkan
mencakup di dalamnya India tidak dalam konteks pemikiran mul.iinkan
kebudayaan, yakni kebiasaan atau tradisi yang telah i'i i l.mgsung di Persia.
Kebenaran pendapat tersebut jelas terlihat Minliilui duplikasi arsitektur di
Baghdad yang diadopsi dari Persia atau
■
ii' 'P.myol yang banyak dipengaruhi model-model Persia, dimana
setiap !uii(|unan dibentuk dengan bentuk melingkar, khususnya pada pintu,
«lup rumah -kubah- dan sebagainya. Taj Mahal di India diyakini »" rupakan
bentuk arsitektur Persia.
Meski dianggap tidak bersentuhan secara langsung dengan
11
ti.il Islam, beberapa bukti menunjukkan terdapat gagasan Persia '
"l.iliulu yang mengalir dalam kebudayaan Islam. Goldziher misalnya " '
ui.mdnng tradisi sufi hanya sebagai bayangan belaka dari konsep
di India. Atau juga analisis Macdonald di tahun 1928 yang
hy.it,ikan bahwa doktrin kalam tentang atomisme waktu; yakni bahwa
'Mu tidak dapat dibagi secara tidak terhingga, melainkan pada
■
tmy.i terdiri dari momen-momen waktu atomic terpisah yang tidak !
i|‘.il dibagi bagi lagi. Artinya waktu terdiri dari banyak sekali “satuan- litid.m
waktu" yang tidak dapat dibagi lebih lanjut. Teori ini menurut
*
'» merupakan teori atomismik Jainisme dan kosmologi Nyaya- Vii .
1.1 Hmhmanik dari India.
N,imun, Nomanul Haq menolak asumsi para sarjana barat *»' ■ i'ul
Menurutnya ide ‘atomisme waktu' adalah kesimpulan M * m, .im|<terhadap
teori ‘gerak’Aristoteles. Adapun pendapat yang menyatakan teori atomisme
berasal dari teori Jainisme dan Nyaya- Vaiseska sangat sulit dibuktikan
kebenarannya. Karena sesungguhnya, teori atomisme tersebut masih
diragukan sumber utamanya berasal dari Yunani atau dari budaya India.59
ensiklopedi, 72)
Bagi Nomanul Haq, bentuk yang paling nyata dari pertemuan filsafat Islam
dan pemikiran Persia adalah melalui perdebatan- perdebatan mengenai
"dualisme". Dualisme adalah konsep yang tercantum dalam agama
Manichaeisme, agama yang paling banyak dianut oleh BangsaPersia. Doktrin
Manichaean; cahaya dan kegelapan merupakan prinsip-prinsip yang aktif dan
hidup, bahwa keduanya mempunyai kehendak dan mampu mengakibatkan
fenomena nyata, dan bahwa keduanya mempunyai sifat dasar yang
membatasi cahaya dari menghasilkan kejahatan dan membatasi kegelapan
dari menghasilkan kebaikan.607
Para mutakkalimun umumnya menolak teori dualisme ini karena dianggap
melupakan kuasa Tuhan di dalamnya. Bagi mutakallimun karakteristikkarakteristik ini dapat direduksi baik secara logis maupun secara fisis
menjadi atom-atom dan aksiden-aksiden yang diciptakan Tuhan, satu-satunya
Agen atau Pelaku Aktif (‘Amil, Fa’al). Sesungguhnya satu-satunya Pengatur,
Pemelihara dan Penyebab kosmos adalah Tuhan bukan prinsip gelap dan
terang, serta bukan pula entitas lainnya.
Maka, jelas mutakallimun bergerak meng’kounter’ pemikiran Persia dengan
konsep Islam yang sesungguhnya. Perdebatan- perdebatan dengan pemikiran
dualisme turut melahirkan konsep zanadiqah atau zindiq bagi orang-orang
yang mendukung teori ini. Sebut saja tragedi Ibn al-Muqaffa, penulis model
prosa Arab dan penerjemah cerita orang-orang bijak Persia Bidpai Kalilah wa
Dimnah. Ibn al-Muqaffa dijatuhi hukuman mati karena dianggap menyimpan
gagasan-gagasan religius Persia kuno di balik baju Islam.61
Upaya ‘kounter’ pemikiran religius Persia kuno inilah yang kemungkinan
besar melahirkan literature kalam awal tentang akal dan wahyu, penciptaan
dari ketiadaan, keadilan-Nya dan sifat-sifat-Nya, semuanya terbentuk oleh
serangan-serangan Manichaean atas gagasan-gagasan mendasar teologi
Islam.
Perdebatan-perdebatan ini secara perlahan melahirkan dua arah pemikiran
yakni ahlu ra’yi dan ahlu sunnah. Tidak ada term pasti mengenai apa dan
seperti apa ahlu ra’yi, yang jelas siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan
ketentuan pemahaman agama yang telah ada -status quo- seringkali
mendapatkan label ini. Ada pula yang menisbatkan ahlu ra’yi pada golongan
mu’tazilah, golongan kalam yang mengagungkan akal dari pada dalil-dalil
naqli. Beberapa kalangan mtinuding bahwa aliran mu’tazilah terlahir karena
umat Islam saat itu telah terpesona oleh ide-ide Yunani.
Terlepas dari semua anggapan tersebut, keberadaan ahlu ra’yi i ni atau ahlu
sunnah adalah sebagai nashir Islam (pembela Islam).
■
"duanya berupaya mengkounter segala pemikiran di luar Islam
dengan
tode yang berbeda. Ahlu ra’yi bermain dengan konsep-konsep logika
d,m ahlu sunnah mendebatnya melalui ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah
nba<|ai pedoman Islam. Keduanya menjadi perpaduan menarik dan i'Mihasil
menghantarkan Islam pada masa keemasan intelektualitas , «mi belum pernah
terjadi lagi hingga saat ini.
Selain gagasan Manichaeisme, praktis tidak ada lagi :' 'didiatan-perdebatan
antara Persia dan pemikiran Islam.
1i ii m haeisme sendiri bukan ajaran yang buruk, hanya dalam beberapa
►
'HiMi|> ajarannya ‘keliru' bagi umat Islam.62 Beberapa ajaran Mani "
m muai kosmologi seperti konsep materi, ruang dan waktu diterima 1 "i
dilalsirkan lebih luas oleh Abu al-Abbas al-lransyahri dan Abu Bakr
•
i i;i (w. 313 H/ 925 M).
Nomanul Haq menuturkan bahwa dikarenakan perbenturan i"ni|,iM
pemikiran Persia yang tidak terlalu mendominasi inilah, Persia
i!• a11 diabaikan dalam proses Filsafat Islam. Tetapi dalam
|H a , niii.iiKjan astronomi, kedokteran, matematis dan pengetahuan Ui.i i
'iM'.ia terbukti merupakan penyumbang terbesar bidang ini.63
I' urt A Raaflaub menegaskan kemasyhuran Persia dalam
i ke.ilaman telah populer sejak masa filosof-filosof awal, yakni
m.i i Amani kuno. Kebanyakan pemikir utama abad ke-6 sebelum "" ■ 'n
11<-i.i:.al dari lonia, Miletus dan polis lonia adalah polis yang r- i i nal di
dunia Hellenic (tidak dalam arti Hellenisme Aleksander Aji... i ii lapi dalam
arti hubungan dengan Timur), yang dihubungkan '• i >" i "Ionisasi dan
perdagangan dengan Mediterania Barat, m.«. i m I ani llilam, Levant dan
Mesir. Anaximander dan Hecataeus <■ i c 'lama kali menggambar peta dunia
adalah Muilesia. Herodotus n ' "p la).ih dan sejarawan timur maupun barat,
dilahirkan di Doric
Halicarnasus. Pada wilayah-wilayah ini pengetahuan dan pengaruh datang
bersamaan dari pelbagai dunia, lewat Anatolia, the Levant dan
Mesopotamia.64
Peran Persia dan India di bidang ilmu-ilmu kealaman ini cukup jelas dan
penting. Dalam astronomi, konsep almagest yakni ilmu perkembangan
astronomi matematis yang merupakan tradisi lokal bangsa Persia dan India
menjadi dasar perkembangan astronomi Islam, konon astronom-astronom
Islam awal adalah orang Persia. Sebut saja al-Naubakht al-Farisi, Ibn alFarrukhan, al-Thabari dan Masya Allah. Di bidang kedokteran terdapat
nama-nama India seperti Ibn Nadim, Ibn Dahn, Judar dan Naq. Selain itu,
dalam karya-karya astronomi dan kedokteran intelektual muslim tersebut
ditemukan rujukan-rujukan penting yang tak lain adalah terjemahanterjemahan Arab awal dari karya- karya sejumlah besar otoritas medis India
dari penulis anonym, misalnya; Sundastaq; Book of Rusa; Book of Indian
Drugs dan kenyataannya, terjemahan dari sebuah teks kedokteran India masih
ada sampai sekarang, yaitu, Kitab Syanaq fi Sumum wa al-Tariyaq,65
Kehebatan keilmuan kealaman Persia dimasyhurkan melalui akademi
Judinshapur. Judinshapur menyediakan dokter-dokter yang setia dan ahli di
bidangnya bagi para khalifah muslim, seperti keluarga Bukhtisyu’ yang
beragama Kristen Nestorian. Salah seorang anggota keluarga ini, yakni
Georgius ibn Jabrail, pada masa kekuasaan al- Manshur adalah kepala
sekolah kedokteran Judinshapur dan berperan penting dalam pembangunan
rumah sakit pertama di Baghdad. Diberitakan pula bahwa penerjemah utama
dari bahasa Suryani ke bahasa Arab adalah seorang warga Persia dari
Judinshapur, yakni dokter Masarjawaih (berjaya sekitar abad ke-2 H/ ke-8
M). Tulisan Marsajawaih di bidang kedokteran memadukan pendekatan
Yunani, India dan Persia.
Kontak dengan Judinshapur sebagai akademi ini berperan penting dalam
proses transmisi keilmuan dari Persia ke Islam. Bahkan ! orang pertama yang
menjadi kepala Bait Hikmah adalah Yuhanna ibn Masawayah, seorang dokter
terkemuka dari Judinshapur. Hampir seluruh sarjana kealaman Islam
didominasi orang-orang Persia, ahli bumi Ibnu Khurzadabah, Nashir Khusru,
ahli matematika al-Khawarizmi, Abu al-Wafa, ahli falak, Abu Ja’far alManshur dan gurunya seorang Persia, Fadhl ibn Sahi.
Dan segala unsur yang diterima Islam dari India dan Persia telah
ditranformasikan dan diasimilasikan ke dalam sebuah kerangka yang bersifat
Islami. Berbagai sistem dan gagasan yang diambil alih itu kemudian
difungsikan dalam kerangka keilmuan yang terus terjaga dan
berkesinambungan. Dalam perkembangannya Islam dan Persia melebur
menjadi tradisi yang telah sepenuhnya berkembang dan independen. Meski
hanya sedikit mewarnai Filsafat Islam, Persia dan India secara umum
merupakan transformer gagasan keilmuan sampai kemudian menjadi populer
dalam perkembangan Islam. Bagaimanapun |uga tidak ada keemasan
keilmuan yang hanya di'set’ untuk filsafat •.emata tetapi juga untuk kemajuan
keilmuan di berbagai bidang.
'i Islam dan Pemikiran Yunani
Filosof Islam menurut F.E. Peters terlibat dalam kegiatan pencarian dan
penyelidikan yang biasanya dimasukkan bersama ilmu kedokteran,
matematika, astronomi dan fisika menjadi “ilmu-ilmu asing", i .itegorisasi ini
menurut Peters terjadi karena ilmu-ilmu tersebut 'ii.mggap “berseberangan”
dengan ilmu-ilmu Islam. Pengkategorisasian mi tambah Peter menunjukkan
perbedaan akademik; dua kurikulum y.mg boleh jadi mewakili dua
madzhab.66
Alasan perbedaan akademik tersebut menurut Peter 'Ir.obabkan oleh asalusulnya berasal dari budaya Hellenistik, senada 'ii'iiijnn ‘julukan’-nya yakni
Filosof yang disadur dari kata Philosophos. i l.mia yang dinisbahkan sebagai
ahli waris suatu tradisi intelektual yang i«’i.isnl dari Yunani dan setelah lama
berkiprah di lingkungan tersebut, 'iiw.inskan tanpa rusak ataupun berkurang,
lalu menjadi milik Dunia Ulam,
Sulit sekali memungkiri pendapat Peters, kenyataan
muakkan bahwa umat Islam juga mendikotomikan keilmuan antara
i"m .Kjcima dan ilmu kealaman. Tidak diketahui pasti kapan dikotomi -i' ii
umat islam ini dimulai tetapi kemungkinan besar telah ada sejak
i
i keemasan Islam sekitar abad ke-2 atau 3 hijriyah.67 Dikotomi ini 1
iiih.it dari dua paradigma berfikir, akal dan sunnah yang kemudian
m1.bahkan tokoh-tokoh dalam dua paradigma ini ahlu ra’yi dan ahlu
il h tulis
Persepsi dikotomi ini kemudian menjadi celah bagi orientalis ""i'ii
memandang agama dan filsafat sebagai dua sisi yang berbeda 11" ti'lak dapat
dipersatukan. Sehingga, mereka berpendapat filsafat ' «i mi dunia Islam
hanyalah ilmu yang sekedar ‘mampir’, melewati sementara saja, jembatan
dan tidak memberi pembaharuan apapun. Karena bagi sarjana barat
bagaimana mungkin filsafat akan dapat diperbaharui oleh intelektual muslim
jika paradigma berfikir muslim tidak sesuai dengan paradigma filosofis.
Walau begitu sejumlah bukti menunjukkan bahwa dikotomi keilmuan tidak
sesuai dengan ajaran Islam, Islam sesungguhnya tidak pernah
mengkategorisasi ilmu-ilmu yang ada, Al-Qur'an dengan lugas menekankan
pentingnya ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya mengetahui tentang
Allah serta ciptaannya. Islam hanya membuat dan dimana pula harus berhatihati dalam mengkaji dan menelitinya. ‘Rambu-rambu’ Islam inilah yang
kemudian menjadi identitas ilmu-ilmu pengetahuan keislaman.
Deutsch bahkan menegaskan bahwa al-Qur’an telah mendorong umat Islam
untuk menyelidiki dan mempergunakan akal pikiran, menggerakkan mereka
melawat ke berbagai Negara termasuk di dalamnya Eropa hingga mereka
menjadi pembesar dan menghidupkan keilmuan di berbagai bidang yang
telah terpendam selama sekian lama.
Tidak perlu diragukan lagi, bahwa pemikiran Yunani banyak mempengaruhi
proses perkembangan keilmuan Islam. Pemikiran- pemikiran Socrates, Plato
dan Aristoteles atau keilmuan lainnya jelas mengalir dalam arah pemikiran
filsafat Islam, tetapi, tidak banyak orang yang tahu dengan jelas, bahwa
sebelum kedatangan Islam pemikiran- pemikiran para filosof ini terbelenggu
oleh aturan penguasa dan doktrin gereja. Islam-lah yang kemudian
membebaskan keilmuan kembali berjalan dan memberikan ruang gerak bagi
para ilmuwan untuk mengelaborasi dirinya. Dan seandainya Islam tidak
memberi ruang gerak tersebut, niscaya banyak proses keilmuan yang
terkubur dan hilang.
Asumsi ini diambil berdasarkan periodisasi yang diberikan para sejarahwan,
bahwa dalam dunia barat dikenal Abad Pertengahan atau abad kegelapan.
Sebuah upaya kristianisasi Imperium romawi diasumsikan Yegane Shayegan
menjadi cikal-bakal munculnya kegelapan di barat dan asal-muasal transmisi
pemikiran Yunani ke dalam wilayah Islam.68 Kristianisasi yang berefek pada
arogansi doktrin kristen dan monopoli penafsirannya oleh gereja
menghancurkan pemikiran- pemikiran para ilmuwan yang berupaya
menafsirkan doktrin secara lebih bebas dan tidak terikat. Lebih jauh
keterlibatan penguasa sebagai penentu mutlak kebenaran dan keabsahan
keilmuan membuat banyak ilmuwan yang dianggap tidak sejalan dengan arah
kebijakan politik diusir dan diasingkan.
Ilmuwan-ilmuwan Barat yang terusir dari Barat ini kemudian bernaung
dalam kerajaan Islam. Menerima perlakuan yang sangat baik oleh dinasti
Islam dan bahkan menjadi guru-guru bagi kaum muslim.
sikap toleransi dan saling mendukung yang dilakukan umat muslim ini jelas
bertolak belakang dengan kondisi dinasti sebelumnya -Romawi- <li luar
Islam yang mengarogansi golongan dan kekuasaannya.
Umat Islam membuka diri dengan pengetahuan lain dan horgumul bersama di
dalamnya. Melalui penerjemahan, pendidikan «l.iii pengajaran, kaum muslim
mentransmisikan pemikiran Yunani, ii.impir semua karya Aristoteles, dan
juga tiga buku terakhir Plotinus i neads, beberapa karya Plato dan NeoPlatonis, karya-karya penting llippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lainlain sudah berada di Inngan Muslilm untuk proses asimilasi. Jadi Muslim
tidak hanya iiM'iiterjemahkan karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji
teks- i' l'. itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya
■
ii'iujan ajaran Islam.
Artinya seluruh proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam i' Uh
kokoh.69 Umat Islam mengadaptasi pemikiran Yunani melalui i oiiuitangan
pandangan hidup yang kuat. Produk dari proses ini adalah i.ihimya pemikiran
baru yang berbeda dari pemikiran Yunani dan bahkan Moh jadi asing bagi
pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep
i
wlitir para mutakallimun dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak
liomu, kesimpullan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa
ii
mmwork, skop dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidangi" litfij) dimana Filsafat Yunani mendominasi sistim ummat Islam.70 i. imli
pemikiran Yunani, menjadi tidak dominan setelah proses i'.tmmlsi
Von Henrich meragukan pertemuan pemikiran Yunani dengan ni>. ii.it Islam,
Henrich berpendapat bahwa yang mempengaruhi filsafat
nl.ilah pemikiran yang sampai ke wilayah muslim hanyalah
i*- 'i n.m pemikiran yang sudah tidak “Yunani" artinya pemikiran asii "in mi
yang sudah bercampur dengan pengetahuan Persia (Hellenis) «*' fi y.tiHi
telah dipengaruhi pemikiran gereja.71 Ini berarti akar filsafat
lak berasal dari Yunani, menunjukkan bahwa Islam tidak
pernah
MUM, I iinltil keilmuan dari sumber primer keilmuan tetapi dari sumber
l'istcis membuktikan bahwa kontroversi-kontroversi mewarnai t ■ i "m ,n|.ina
yang kemudian menjadi narasumber umat Islam.
►
i- i' ■ ir.i tersebut meliputi banyak hal yang berkaitan dengan IF-I ■ i
.i.iii. politik dan kepentingan agama, kontroversi tersebut dituding
Peters melahirkan pemikiran-pemikiran yang bukan Yunani lagi atau bahkan
jauh mengkhianati keilmuan Yunani.72Pemikiran Yunani menurut Le Kari
Henrich Bakr tetap terjaga di Barat dan terus membangun komunikasinya
dengan gereja sampai kemudian mencapai revolusi keilmuan di Barat.73
Asal-usul filsafat Islam yang bersumber pada Yunani dan Persia jelas
mengusik para sarjana Barat. Karena jika terbukti kebenaran bahwa filsafat
Islam memiliki hubungan yang dekat dengan filsafat Yunani, para sarjana
Barat kelimpungan menjelaskan dari mana asal keilmuan yang berkembang
di Barat saat ini. Kebanyakan sarjana Barat meyakini bahwa Yunani adalah
cikalbakal terbentuknya kemodernan di barat dan relatif enggan mengakui
filsafat Islam. Tetapi dalam kondisi tertentu, sarjana Barat kewalahan
menjelaskan posisi keilmuan di abad pertengahan mengingat di abad tersebut
tidak ditemukan data dan fakta yang riil mengenai filsafat Barat dan para
sarjana itu tak bisa mengingkari bahwa gereja dan kristen telah membungkam
keilmuan di Barat selama berabad-abad.
Sarjana barat juga sulit mengingkari bahwa kemajuan yang mereka capai
adalah kemajuan yang disebabkan sebuah upaya frontal dari usaha
menghancurkan dominasi gereja, ini terlihat dari karakter universitas di Paris,
University of Paris diyakini sebagai cikal-bakal universitas modern,
ilmuwan-ilmuwan oxford
Persoalan selanjutnya adalah kebenaran akulturasi Yunani dan Islam atau
Hellenisme dan Islam. Yunani dan Hellenisme adalah dua hal yang berbeda,
Hellenisme artinya tidak murni Yunani lagi tetapi hasil dari percampuran
budaya yang mungkin telah semakin meminimalisir pemikiran asli dari
Yunani atau mungkin sebaliknya memperluas dan memperbaharui pemikiran
Yunani. Pengetahuan ini mutlak diketahui karena sampai pada tingkat
tertentu tampak bersifat arbitrari: tidak ada implikasi bahwa pemikiran
Yunani dan Romawi tiba-tiba berhenti dan digantikan pemikiran baru yang
sama sekali tidak berhubungan.
Pengetahuan tersebut akan membuktikan adanya kontinuitas dan
diskontinuitas di antara periode Yunani, Hellenistik bahkan Islam. Seberapa
besar prosentase kontinuitas atau diskontinuitas itu terjadi, dan seberapa
murni pemikiran dari setiap masa berkembang dan dikutip oleh masa lain.
Meski gambarannya sulit sempurna karena berkaitan dengan konsep
“pengaruh" yang seringkali abstrak dan absurd. Namun sebagai sebuah
informasi agaknya dapat juga dipertimbangkan.
Cristopher Rowe dan Malcolm Schofield membagi periode Yunani dengan
Yunani Klasik dan Dunia Hellenistik Romawi, Yunani Klasik dimulai dari
masa Homer, Hesiad, Thales, Anaximandros dan Anaximenes sampai dengan
Aristoteles dan Hellenistik Romawi dimulai pasca Aristoteles sampai dengan
dominasi gereja.74 Periodisasi tersebut dmisbahkan pada sejarah politik
Yunani dan Romawi adapun dari segi tilsafat M.A.W. Brouwer membagi
Yunani pada tiga periode, yakni periode Yunani Klasik yang di dalamnya
ditemukan Thales, Anaximandros dan Anaximenes, periode kedua adalah
periode Pra-Sokratik yakni masa Phytaghoras, Xenophanes, Herakleitos,
Parmenides, Zeno dan banyak lagi dan yang ketiga adalah masa Kaum
Sophis dan Sokrates.75
Hellenisme dalam berbagai pengertiannya adalah upaya Aloxander Agung
dalam mengawinkan kebudayaan Yunani dan Persia. KValisasi usaha
tersebut diwujudkan dengan mengadakan pesta yang disebut dengan
“Perkawinan Barat dan Timur” di mana ribuan tentara Macedonia secara
resmi mengawini puteri-puteri Asia. Tetapi secara politik praktis dan kondisi
sosialnya Hellenis dijelaskan Peter Gamsey lulah dimulai sejak transisi dari
filsafat klasik ke Yunani berbarengan ilimgan pergeseran dari dunia Yunani
tempat dimana polis merupakan toimasi politik yang dominan menuju ke
dunia yang dikuasai oleh iMM|,ua-negara sentral yang besar. Yang pertama
adalah kerajaan Macedonia, tidak lebih dari empat dekade kejayaan
Macedonia i't’ikombang pesat; diawali dengan bangkitnya kekuasaan Philip
pada lalmn 359 SM, Yunani dikalahkan, kerajaan Persia yang besar
ditaklukan 'i.m demokrasi di Athena dihancurkan.76
Raaflaub menegaskan kontak budaya dengan Timur telah 'iii.ikukan sejak
masa filosof Awal, dan fakta yang semakin jelas adalah pi)ii(|aruh Mesir atas
kebudayaan Yunani Kuno. Hesiod dan Homer mt ii(|integrasikan ke dalam
sya’irnya ide-ide yang berasal dari mitos- miins theogonies, kosmogonies dan
kebijakan literatur Timur dekat. Sulit ■"•■nafikan fakta-fakta tersebut,
karena Raaflaub berhasil membuktikan i ' imulaan dari pengetahuan Yunani
(terutama matematika dan
■
iimnoini) dan filsafat dirangsang oleh pendahulunya dari
Mesopotamia.
!1 alam konteks yang jauh lebih luas, pengaruh Timur ikut membentuk p'ii
••mbangan dari agama, seni dan arsitektur, dan meski diperdebatkan i
"Miijaiuh seperti ini jelas terlihat dalam fenomena sosial, politik, hukum
•
i'i'ili tirani, perundangan hukum tertulis dan simposium.77
Pertemuan dengan pemikiran Timur ini membangkitkan praktek-praktek
filosofis dan sebagian pemikirannya ditujukan untuk mengasimilasikan
pemikiran Timur. Ini terbukti dengan perubahan arah pemikiran dari orangorang Yunani sebelum abad VI SM, yang sangat mempercayai dongeng dan
mitos, menerima kebenaran tanpa mempertanyakan dan mengkajinya lagi.
Tetapi menginjak abad VI SM, mulai muncul para pemikir yang
mengharapkan jawaban riil dan masuk akal akan kebenaran dan mitos yang
berkembang. Kebenaran hubungan Timur dan Yunani semakin jelas karena
filosof-filosof awal banyak berasal dari Miletos, sebuah kota perantauan
Yunani yang terletak; di Asia kecil.73
Artinya Hellenis dalam pengertian perpaduan budaya Yunani dan Timur
telah dimulai sejak berdirinya filsafat Yunani itu sendiri. Kesimpulan
awalnya adalah tidak ada pemikiran Yunani yang benar- benar murni,
pemikiran-pemikiran filosofis Yunani sendiri adalah Hellenis jika ditinjau
dari segi keabsahannya, tetapi bisa jadi tidak Hellenis jika pemikiran tersebut
tidak dipengaruhi oleh pemikiran lainnya.
Tetapi kebenaran dan keberadaan filsafat Yunani yang “murni" atau yang
terhellenisasi jelas sebuah keniscayaan. Karena sejarah j merupakan
perkembangan dari thesis, antithesis dan sintesis. Begitu pula dengan sejarah
filsafat Yunani yang merupakan perkembangan pengkajian dan pemikiran
yang berulang muncul kembali dari apa yang sudah dirintis oleh zaman
sebelumnya.
Di sisi lain, retorika adalah satu ciri khas Yunani atau bisa saja kita katakan
adalah kelebihan dari Yunani. Retorika disini dalam arti kemampuan mereka
dalam membahasakan terminologi-terminologi politik, memutarbalikkan
sesuatu atau mendebat satu hal dengan hal lainnya. Kebanyakan dari
terminologi politik berasal dari etimologi Yunani, aristokrasi, demokrasi,
monarki, oligharki, plutokrasi, tirani dan lainnya. Artinya Yunani kuno
secara tipikal dapat kita anggap sebagai nenek moyang “kita” dalam
lingkungan politik, baik secara ideologi, mitologi dan simbolis.79
Melisa Lane dan Terry Penner berhasil menunjukkan bahwa pemikiran
Yunani -dalam hal ini Sokrates- merupakan reaksi terhadap kebijakankebijakan penguasa yang kemudian menginspirasi Sokrates untuk merespon
teori-teori politik dengan berbagai asumsi dan teori nilai. Reaksi ini pula
yang menyebabkan tragedi kematian Socrates.80
Kaaflaub meyakini benar bahwa tipikal penguasa yang dikritik Socrates
adalah tipikal Timur, bentuk tipikal ini kerajaan monarchi dan diperkuat
dongan konsep Raja sebagai titisan Tuhan, dewa dan jembatan penghubung
antara bumi dan langit. Penentuan tipikal ini terlihat dari i"insep Hammurabi
di Mesir yang menggunakan teori Fir’aun sebagai lilr.an Tuhan.81
Maka, mesti tidak dapat menyebutkan filsafat Yunani sebagai Yunani murni,
tetapi Yunani tetap memiliki identitas filosofisnya karena ingat banyak ideide yang disampaikan para pemikir Yunani dan tidak
i.
iin adalah reaksi dari kebijakan-kibijakan penguasa saat itu. Sehingga
Mmungkinan selanjutnya adalah terdapat dua unsur pemikiran Yunani i m
Hellenisme yang satu sama lain jelas tak terpisahkan memiliki i' i'‘i kaitan
jika kita memilih untuk tidak mengatakan pada keduanya 1 Inonim".
M. Meyerhof menunjuk al-lskandariah sebagai pusat peleburan i "hudayaan
dan menjadi pusat transmisi filsafat Yunani ke Islam. K . n Ii 'ini akademi di
Iskandariah (Alexandria) ini masih tetap eksis ketika i'HIT.a Arab menguasai
Mesir, dan diperkirakan dari Iskandaria ini ;''"P-tahuan Baghdad
berkembang.82 Abu al-Faraj Muhammad Ibn
■
"lim (seorang penjual buku) pada 377 H/ 987 M berhasil ""
uyHesaikan fihrist atau catalogue (katalog). Karya tersebut mungkin
■
mula catatan tangan seorang penjual buku, tetapi rasa keingintahuan
:»' hilnginan belajar penulisnya serta iklim Buwaihiyah di Baghdad
i menunjang akhirnya menghasilkan sesuatu yang lebih ambisius:
! menjadi semacam ensiklopedi abad ke-10 tentang seni literer 1 ""linu ilmu
Islam. Ibn Nadim menuliskan, dengan komentar-komentar 1 mirtth dan
historis, jumlah buku-buku Islam dari kaligrafi hingga aih.mi (ilmu kimia
kuno). Lebih dari itu, fihrist memberikan perhatian " ' u-, pada kegiatan
penerjemahan kaum Muslim, sehingga ia M".iii|i.ikin salah satu petunjuk
yang baik tentang pemahaman muslim M"1'ui<iii,ii lanskap filosofis dan
imiah Dunia Islam pada zaman kuno / ihiint merupakan deskripsi yang agak
terperinci mengenai •1 ■ "M'.i h<!sar dan jenis warisan “asing” yang tersedia
bagi kaum MiCillltl *’
I ' t' 'r., setelah menelaah fihrist, menemukan persinggungan- (• M'i'jumian
yang luar biasa antara Hellenisme, Yunani dan Islam; i mm muslim tidak
menerima bahasa, nilai-nilai humanistis dan
juga agama orang Yunani; peminjaman kaum muslim hadir melalui
penerjemahan dan sebenarnya sangat terbatas pada Hellenisme yang
berwajah teknis dan ilmiah. Kecuali sedikit penerjemah profesional, kaum
muslim mengenal filsafat Yunani tetapi tidak menguasai Yunani; mereka
membaca karya-karya Plato dan Aristoteles, Euclides, Galen dan Ptolemeus
tetapi sangat sedikit yang pernah membaca lengkap karya-karya Homer,
Sophocles dan Thucydides.84
Bukti-bukti tersebut turut mengurai kenyataan lain, kenyataan bahwa
beberapa abad sebelum kaum muslim mempunyai kontak dengan budaya
Hellenis, nilai-nilai kemanusiaan warisan Hellenistik diserap, diubah atau
dibuang oleh ajaran Kristen. Frances Young berhasil menggambarkan
perdebatan-perdebatan dalam dunia Kristen sampai kemudian kehancuran
melanda kerajaan Romawi, kerajaan yang berdebat, berhubungan dan saling
berkomunikasi dengan dunia kristen. Ditemukan bahwa perdebatanperdebatan tersebut menaikturunkan hubungan antara gereja dan penguasa,
tetapi dalam keseluruhan permasalahannya, raja memerlukan legitimasi
gereja untuk meraih simpati rakyat dan menetapkan aturan-aturan dirinya.
Konsep Trinitas yang juga konsep penjelmaan diri Kristus atau Tuhan dalam
diri seorang Raja tentu akan menambah daya pikat raja terhadap rakyatrakyatnya bahkan dalam konteks terburuk adalah bersikap “sewenangwenang”.85
Peters menambahkan perdebatan-perdebatan tersebut secara langsung atau
tidak menipiskan nilai-nilai humanis filosofis Yunani karena terlalu
banyaknya kepentingan di dalamnya. Dan terbukti dari seluruh proses
pergulatan pemikiran tersebut, Iskandariah di Mesir yang mempertahankan
kebudayaan Yunani tetapi Iskandariah bagi Peters dan Meyerhof sulit
ditetapkan sebagai penyandang keilmuan Yunani. Kurikulum yang terdapat
di Iskandariah lebih dikuasai Persia dengan kekuatannya di bidang sains
khususnya kedokteran dan matematika, dan teramat lemah dalam retorika
yakni ilmu-ilmu humaniora dan hukum.86
Meski begitu tidak dapat dipungkiri juga meski tidak dominan, retorika
Yunani cukup memiliki pengaruh yang signifikan. Beberapa murid terbaik
Plato dan Aristoteles di sekitar Abad ke-5 M, memberikan warna tersendiri di
Iskandariah, Ammonius anak Hermias murid dari Proclus seorang Platonik
telah dikenal sebagai salah satu pemimpin tinggi di Akademia. Murid-murid
dari Proclus diperkirakan yang
MM'inbangun hubungan dengan bangsa Arab (Islam), seperti Simplicius,
lumascius, Asclepius, Olympiodorus.87
Kegemilangan filsafat di Iskandariah ditutup paksa oleh Kaisar iir.tinian, dan
menyebabkan keilmuan Yunani menjadi mati suri, i ' i.ulian ini kemudian
diikuti dengan perjalanan menarik filosof Athena Mi Persia, Damascius dan
muridnya Simplicius ke istana Syah i .iniyah di Ctesiphon, tetapi karena
masa tinggal mereka di Persia i' uiya kurang dari setahun, Peter meragukan
adanya transmisi langsung "'i l’oters meyakini terdapat peran-peran teologteolog kristen.
Peran-peran ini terbukti melalui bahasa Suryani yang digunakan luijai bahasa
penghubung dalam memahami ide-ide Yunani, i 'i' i.ilur berbahasa Suryani
merupakan kreasi pada masa-masa Kristen, i' i ipi bukti lain menunjukkan
bangsa berbahasa Aramaik di Timur dekat 'iil.ili hidup terhellenisasi sejak
masa penaklukan Alexander Yang i111 n l Dandi Edessa kontak antara
bangsa Aramea dan bangsa Hellen "H nghasilkan suatu literatur yang
mempunyai sentimen pada Kristen,
■
" ii-.i kontak yang sama di Harran mengakibatkan percampuran
ilmiah,
■
■ "uh takhayul, alih-alih meditatif dan bersifat Kristen. Uniknya di
pusat
■
milik limur Dekat yang masih wilayah Harran ilmu-ilmu Yunani tetap
m (l.in hanya sedikit terhellenisasi.88
Pernyataan Peters mengenai teolog-teolog kristen yang menjadi " >n inltter
ilmu Yunani adalah bukti tak terbantahkan, bahkan i • ■ n 11» •m. ih Hunain
ibn lshaq masa Harun al-Rasyid adalah seorang ' ■ s ii lapi, asumsi bahwa
filosof-filosof muslim tidak memahami ""i ilmu Yunani dengan baik adalah
pendapat yang masih perlu .•i'-1' iti Beberapa hal mengenai perdebatan
kristologi dan pengaruh
•
f' "n ilalnin perdebatan Kristen diakui oleh Peters, tetapi perdebatan!•* i. i'.iian tersebut melahirkan kebijakan-kebijakan yang berimplikasi '
moiiutup akademi-akademi di Athena, Edessa, dan Antioch.
Yogane memperjelas proses transmisi tersebut adalah
IH
II : .assaniyah, Imperium ini merupakan “penampung”
ilmuwanM. i m kii'.ten yang ditolak dalam kekuatan penguasa Romawi. Arus
in
hiilmuan Yunani ditutup oleh kekuasaan Romawi di wilayah
»• i'ui ilan terlalu banyak fakta menunjukkan bahwa selama beberapa •in . i,
i.il',Kl,i aktifitas keilmuan ditemukan di dalamnya. Artinya, Persia n»..* .'Mi
..r. ..iniyah hakikatnya adalah benang merah keilmuan sampai M ■ ii m
ditoiima oleh Islam.
Pelaku-pelaku transmisi ini tak lain adalah pastor-pastor, pendeta-pendeta,
misionaris-misionaris, atau teolog-teolog Kristen dan itu tak terbantahkan.
Karena keilmuan Yunani menjelang ditutupnya akademi-akademi tersebut
diwarnai oleh retorika-retorika akan kristologi dan ide-ide mengenai
kebenaran ajaran atau bahkan penafsiran kembali ajaran-ajaran tersebut.
Sistensis Yunani dan Persia bahkan menjadi sebuah perpaduan yang menarik,
Yegane meyakini perpaduan tersebut melibatkan ide-ide Zoroaster, Mani’,
bahkan budaya Parthian. Atau jika kita mempercayai analisis Ghirsman, ideide Persia yang berkarakter turut bergabung di dalamnya. Apalagi persaingan
antara Persia dan Romawi yang sangat kuat mengilhami penguasa Persia
untuk melanggengkan pembauran dan perombakan secara terus-menerus
demi menunjukkan siapa yang jauh lebih unggul dari lainnya.
Pertentangan politik ini yang kemudian membuat kristen terpecah menjadi
kristen ortodoks di Roma dan kristen Nestoria di Persia. Kristen Nestoria
merupakan sempalan dari agama kristen itu sendiri, meski sulit menjelaskan
siapa yang menjadi sempalan, Nestoria atau ortodoks, tetapi berdasarkan
deskripsi Yegane, konsep ini dekat dengan perdebatan-perdebatan mengenai
kemurnian ajaran, yang mungkin terjadi pada Kristen. Pemurnian ajaran
kristen ini dilakukan Konstantin atas nama politik, atau menunjukkan bahwa
Kristen adalah Yudaisme baru karena dianggap memiliki hubungan historis
dengan agama Yahudi.89 Konstantin kemudian menolak pemikiranpemikiran Yunani karena berpotensi melakukan penyimpanganpenyimpangan interpretasi doktrinal. Mitologi-mitologi Yunani diketahui
sangat mempengaruhi agama-agama kristen saat itu sehingga menimbulkan
semacam “bid'ah" bagi agama kristen. Maka, secara perlahan tokoh- tokoh
bid’ah tersebut atau mereka yang masih menisbahkan diri pada Yunani dalam
interpretasi doktrinalnya disingkirkan karena tidak memurnikan ajaran,
pemeluk-pemeluk bid'ah ini antara lain adalah kaum Nestoria yang kemudian
memisahkan diri dari Romawi dan membentuk identitas kristen Nestoria di
Persia.90
Setelah pemisahan ini, tokoh-tokoh Nestoria melepaskan diri dari kesibukan
mereka membela paham mereka dari kristen ortodoks, mereka kembali
mendiskusikan beragam pemikiran Yunani dan mencurahkan diri dalam
menerjemahkan dan mengomentari karya- karya Socrates, Aristoteles, Plato
dan pemikir Yunani lainnya. Yegane meyakini bahwa sekolah-sekolah di
Marv dan Judinshapur yang didirikan •h.ipur I (seorang kaisar Persia)
memberikan andil bagi perkembangan kmnudian sains dan filsafat Yunani
yang diwarisi oleh Dunia Islam.91
Adapun rentang masa yang sangat jauh dari kejayaan Yunani nmpai dengan
kebangkitan Islam dan ribuan problema di dalamnya , mi() membuat jatuh
bangun pemikiran Yunani tidak bisa menjadi alasan luhwa Islam tidak
mewarisi pemikiran dan sains Yunani beserta segala i'innasalahannya. Bukti
bahwa kontroversi kristen-pagan dibicarakan i' h saintis seperti al-Biruni, Ibn
Sina, al-Farabi dan Ibn Abi Ushaibi'ah. 'm menunjukkan bahwa para
penerima warisan Yunani di kalangan pemikir muslim menyadari transmisi
beserta segala implikasi
0
.iopolitiknya. Al-Farabi misalnya dengan penuh kecermatan dan
►
nluti hatian, agar tidak mengalami nasib seperti yang dialami para
•Mi|.ma Athena dan Iskandariah, menambahkan suatu pasal mengenai i'uhiim
Islam, al-Syari’ah, pada komentarnya atas Laws-nya Plato.92
n l ILSAFAT ISLAM DAN KEBANGKITAN BARAT
Persoalan klasik dalam teori kebangkitan Barat adalah asal- "«iil |H rkembangan keilmuan di Barat, karena sesungguhnya diperlukan ! HMI nyata
bagaimana suatu wilayah mentransformasi diri menjadi
•
t "uih negara yang mapan. Tak ada sesuatu yang datang dengan M' i
llha tanpa proses yang mendahuluinya, analisis sosiologis dan Muinipologis
menjadi dasar pertanyaan dari manakah kemajuan di 1 nal' Sulit
mempercayai bahwa barat menemukan pijakan keilmuan imani
karena
bukti antropologis menunjukkan kebudayaan muslim
1
wilayah wilayah barat. Spanyol merupakan bukti nyata bahwa
•
>i< k lur muslim berdiri kokoh disana, arsitektur yang jelas tidak
serupa i- -i m .usitektur yang berkembang di Athena tetapi arsitektur bergaya
t'nisln
Menurut Harun Nasution, pemindahan ilmu pengetahuan yang Uihimliang
dalam Islam ke Eropa pada abad ketiga belas dan «m i' m-.nya paling tidak
melalui beberapa jalur;Pertama, jalur Andalus *♦«"' i n 11 IniversitasUniversitas handal yang dikunjungi oleh kaum Eropa;
i"ft. Msilia, yang pernah dikuasai umat Islam dari tahun 831 hingga timi
dlpulau ini ilmu pengetahuan serta penemuan ilmiah para #• ■ ■ •!" I lain
meningkat dengan pesat. Bahkan setelah jatuhnya Sisilia i1 -"im kaum
Norman yang dipimpin oleh Roger, pengaruh peradaban !*' <"< rna-.il)
sangat terasa disana. Pengaruh pemikiran rasional pada
dalam perkembangan Barat diakui oleh ilmuwan
W 'i "Hiliri seperti Gustav Le Bon, Henry Trece, Anthony Nutting, C.
Rsiler, Alferd Guillame, Rom Landau dan yang lainnya. Disamping
pengakuan penulis-penulis Barat yang objektif terhadap pengaruh peradaban
Islam terhadap lahirnya Renaissance dan peradaban Barat modern, beberapa
penulis Barat juga mengakui pengaruh pemakaian akal dalam Islam terhadap
kebebasan berpikir di Eropa dari belenggu agama.93
Kebebasan berfikir di Eropa juga dipengaruhi oleh komentar- komentar Ibnu
Rusyd tentang ajaran-ajaran Aristoteles, dan hal ini menyebabkan bahwa
wejangan-wejangan Aristoteles yang dipelajari orang-orang Latin (melalui
terjemahan orang-orang Arab) condong kepada aliran Neoplatonisme-Arab.
Ini menunjukkan bahwa di dalam skolastik latin terdapat “Aristotelisme yang
Averroistis” ini terdapat pada ajaran-ajaran Siger van Brabant, Berner van
Nijvel dan Boethius de Dacia.94
Akan tetapi, transformasi tersebut tidak serta merta membangkitkan Barat,
sebab diperlukan proses bagaimana mensimulasikan pemikiran yang diadopsi
dari Islam tersebut. Jika melihat proses perjalanan sejarah yang ditetapkan
Hart dalam ikhtisarnya proses perkembangan Barat dari kegelapannya sekitar
hampir 3 sampai dengan 4 abad lamanya. Dan terdapat jangka waktu selama
1 abad lebih mendekati 2 abad setelah keemasan Islam masa al-Ma’mun
sampai pecahnya perang salib.95 Islam sendiri bangkit menjadi sebuah
peradaban yang memiliki konsep-konsep kepercayaan, kehidupan, keilmuan
dan lain sebagainya sesudah beberapa abad lamanya. Dari awal
kemunculannya pada abad ke 7 M, Muslim baru dapat muncul sebagai
peradaban yang kuat pada abad ke 12 M, disaat mana para cendekiawannya
mampu menguasai ilmu pengetahuan Yunani, Persia dan India, dan
kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang telah disesuaikan
dengan konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam. Ilmu-ilmu
yang dihasilkan diantaranya adalah matematika, kedokteran, farmasi, optik
dan lain- lain. Ini bukan sekedar sistimatisasi ilmu pengetahuan Yunani,
seperti yang di duga para orientalis.96
Prestasi gemilang Islam ini diapresiasi Toby E. Huff, sejak dari abad
kedelapan hingga akhir abad keempat belas, ilmu pengetahuan Arab (Islam)
adalah sains yang paling maju di dunia, jauh melampaui Barat dan Cina.
Apresiasi Toby ini menurut Mulyadhi Kartanegara menjadi landasan bahwa
ilmuwan muslim bekerja keras untuk mewujudkan prestasi gemilang ini.
Gairah ilmuwan muslim yang tinggi im didukung sepenuhnya oleh agama
dan ramifikasinya, masyarakat il.m apresiasinya dan patronase yang sangat
dermawan dari para penguasa dan orang-orang kaya terhadap kegiatan
ilmiah.97
Adapun perjalanan panjang proses transformasi dan penyerapan peradaban
Islam kedalam kebudayaan Barat, merupakan
h.
r.il olah para ilmuwan Barat, dibawah kepemimpinan para pendeta
KiMen yang mulai mengembangkan filsafat dan sains mereka. Oleh
■
i>.ib itu perkembangan Eropa Barat yang terjadi pada pertengahan
ii'.id ke 13 intinya adalah kombinasi elemen yang sering dinamakan
<
wnc» Arabic-Latin. Selanjutnya, pada akhir abad ini kerajaan Kristen
di n.H.it menjadi kekuatan kultural yang menonjol.98 Pada akhir abad ke 1'
hmsep-konsep mereka tentang alam semesta dan ilmu pengetahuan monj.idi
matang dan melapangkan jalan bagi perkembangan filsafat i m '-iins di Barat.
Kebenaran transmisi tersebut terbukti dengan lahirnya : m n i.mgan hidup
yang mendekati pemikiran-pemikiran filosofis Islam, f m.i.mgan hidup yang
berani memadukan teknologi, pemikiran '■"iimun, keagamaan dan spekulasi
yang diperoleh dari pendidikan ■>' "i up.iya sadar dalam mencari ilmu. Jadi
pandangan hidup diperoleh • i ilui pioses alami, pendidikan dan masyarakat,
serta agama.
Permasalahan “pandangan hidup" ini yang sekian lama "ii'olunggu
perkembangan keilmuan di Barat, antara faham gereja *'«' pemikiran
filosofis. Agaknya setelah suatu pandangan hidup lebih i <l.m searah,
masyarakat dapat mengatur kehidupan mereka
i < n k, m pada pandangan hidup, dimana ide, kepercayaan dan
*
i' konsep membentuk suatu jalinan konsep yang saling
k«'i"ii'iiii<i;m. Pandangan hidup ini adalah indikasi kokohnya landasan i > ■
lili t.ipkan sehingga memudahkan proses adapsi, tansmisi dan i i mii.iM
konsep-konsep asing. Karena dalam kasus kebudayaan
i' ii.iir.misi konsep-konsep asing melalui penterjemahan pada abad *ii IM
,iw.il Abad Pertengahan, seperti dinyatakan Marenbon, masih
*
■ i.eilikit Ini terjadi karena bangunan konsep dalam pandangan
IIM M ii.ii.it belum terbentuk. Orang-orang Krsiten tidak berani
>
- ■ T MI,ihkan dan mensintesiskan pemikiran Yunani dengan doktrin
•*»* ■ i "iiiy.itann Peter sangat jelas, bahwa orang Kristen tidak dapat
*
•. MipHinakan penterjemahan “Organon Aristotle” khawatir akan f.
«'"i i'' iy.il-.m keimanan mereka.99
Mereka tidak mampu menyerap kecanggihan pemikiran Yunani karena tidak
adanya mekanisme yang canggih untuk memproduksi konsep-konsep
keilmuan yang terstruktur ‘scientific conceptual scheme’ dalam pandangan
hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa struktur konsep keilmuan
di Barat lahir segera setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim
yang canggih. Jadi ketika peradaban Islam memimpin dunia sejak abad ke 7
M hingga abad ke 15 M Barat tidak hanya mentransfer pemikiran Yunani
dari Arab ke Latin, tapi juga menyerap mekanisme intelektual mereka yang
canggih. Temuan Jayyusi tentang cara-cara Barat mentransfer berbagai aspek
dari peradaban Islam, merupakan bukti yang memadahi bahwa sebenarnya
mereka waktu itu sedang mengembangkan struktur konsep keilmuan dalam
pandangan hidup mereka. Setelah mereka mengembangkan pandangan hidup
mereka, orang Kristen Barat tidak lagi khawatir menerjemahkan teks-teks
Yunani seperti sebelumnya, apalagi teks-teks yang telah disintesakan atau
dimodifikasi oleh orang- orang Muslim.100 Jadi lahirnya filsafat dan sains di
Barat bukan hanya karena jasa terjemahan dari Yunani kedalam Islam atau
Islam ke Latin, tapi juga karena adanya transmisi pandangan hidup Islam
yang memilik struktur konsep keilmuan yang canggih kedalam pemikiran
orang Barat.
Para filosof muslim telah memodifikasi pemikiran Yunani dan
mengharmonisasikannya dengan Islam. Hal yang sesungguhnya tidak pernah
dilakukan kaum kristiani atau kaum barat di Yunani dan Romawi sendiri.
Ketidakmampuan mengolah pemikiran Yunani ini sebenarnya yang
kemudian membuat keilmuan dianggap tidak sesuai dengan paradigma gereja
dan kekuasaan sehingga melahirkan zaman kegelapan di Barat.
Ketidakmampuan mengolah keilmuan dan ajaran agama turut pula
menciptakan tradisi ilmiah sekuler di Barat hingga saat ini, sebuah ironi dari
keilmuan yang dikatakan berkembang tapi tak beragama dan bermoral.
Maka, mesti tak dapat dipungkiri pemikiran filsafat Islam dipengaruhi oleh
pemikiran Yunani tetapi filsafat Islam bukan filsafat Yunani, ia memiliki
karakteristik dan ciri khas sendiri. Karakteristik ini kelihatannya yang
mendorong para teolog Kristen menggunakan tangan pemikir muslim untuk
memahami khazanah pemikiran Yunani. Jelas tak beralasan jika pemikiran
Islam disebut sebagai duplikasi pemikiran Yunani, karena jika pemikiran
Muslim didominasi pemikiran Yunani, m.ika wajah peradaban Islam di
Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. I.ipi realitanya, Spanyol adalah satusatunya lingkungan kultural Muslim y.mg dominan, padahal kawasan itu
merupakan tempat pertemuan (<< hudayaan Kristen, Islam dan Yahudi.
Fakta sejarah membuktikan bahwa di Spanyol orang-orang l' il-.ion
tenggelam kedalam apa yang disebut sebagai Mozarabic Culture. 1‘iiliur
Islam yang dominan inilah mungkin yang memberi sumbangan i . .u bagi
lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Morris niMiKinambarkan bahwa
kontak dan konflik antara Kristen-Yahudi dan Mir.lim memberi stimulus
tidak saja kepada bangkitnya ideologi dan minloktualitas Eropa Abad
Pertengahan, tapi juga imajinasinya101 m iKudnya kuriositas orang-orang
Barat tumbuh ketika menyadari Miwa Muslim memiliki pandangan hidup
yang canggih (sophisticated) .i.iii ilmu pengetahuan yang kaya lebih dari apa
yang terdapat di dunia i min Inilah yang sebenarnya terjadi. Dari perspektif
teori terbentuknya r nKl.mgan hidup kita dapat menyatakan bahwa Spanyol
adalah tempat iim.m.i Barat menyerap aspirasi dari Muslim bagi
pengembangan i iml.mgan hidup mereka. Atau setidak-tidaknya, Barat
memanfaatkan
i.
ili'inuan mereka dengan Muslim untuk memperkaya pandangan l'ii|u|>
mereka.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa Barat menempuh berbagai " mi cara untuk
mentransfer aspek-aspek penting pandangan hidup ' mi yang berupa konsepkonsep itu. Jayusi mengkaji dan menemukan i ihw.i model transformasi
kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat -ia lima: pertama, melalui ceritacerita dan syair-syair yang M'nir.misikan secara oral oleh orang-orang Barat,
kedua, dengan cara >Hii|un|]an atau tourisme, pada abad ke 7 M, Cordoba
adalah ibukota
•
i iia Islam yang menonjol dan merupakan kota yang paling
i»"i»'ia<laban di Eropa, dan karena itu orang Eropa berduyun-duyun
>.jiui|ungi tempat ini untuk belajar dari peradaban Islam, ketiga,
waktu
nl.ipat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui utusan
, . . i dikirim dari kerajaan-kerajaan di Eropa, keempat, dengan cara
"ii.i|dinahkan karya-karya ilmiyah orang Islam. Faktanya, monastri- " iin I
ropa, khususnya Santa Marie de Rippol, pada abad 12 dan ! M memiliki
ruangan penyimpan manuskrip bagi sejumlah besar i . , i !•. nya ilmiah orang
Islam untuk mereka terjemahkan, kelima, untuk
n ai i proses penterjemahan raja-raja Eropa mendirikan sekolah
•»<iiik |>aia penterjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut
kembali kota tersebut pada tahun 1085. tujuannya adalah untuk menggali
ilmu pengetahuan Islam yang terdapat pada perpustakaan- perpustakaan
bekas jajahan Muslim itu.102
Jayyusi mengomentari tentang cara-cara Barat mentransfer berbagai aspek
dari peradaban Islam, merupakan bukti bahwa sebenarnya mereka tengah
berupaya mensimulasikan pemikiran Yunani dengan ajaran Kristen dan
upaya ini menjadi semakin mudah ketika Islam telah memperbaharui
pemikiran-pemikiran Yunani. Artinya, barat sebenarnya tidak menemukan
filsafat Yunani tetapi berdialog dengan filsafat Islam. Islam jelas tidak bisa
sekedar disebut sebagai jembatan tetapi lebih dari itu, Islam merupakan
fondasi dasar keilmuan di Barat, Islam bahkan merupakan pencerahan bagi
keilmuan di Barat.
Bersama filsafat Islam, orang Kristen Barat tidak lagi khawatir
menerjemahkan teks-teks Yunani seperti sebelumnya, apalagi teks-teks yang
telah disintesakan atau dimodifikasi oleh orang-orang Muslim. Jadi lahirnya
filsafat dan sains di Barat bukan hanya karena jasa terjemahan dari Yunani
kedalam Islam atau Islam ke Latin, tapi juga karena adanya transmisi
pandangan hidup Islam yang memilik struktur konsep keilmuan yang canggih
kedalam pemikiran orang Barat.
Barat bahkan belajar banyak dari perkembangan keilmuan dan perdebatanperdebatan dalam Islam, barat juga belajar dari pengalamannya sendiri.
Pengalaman antara doktrinasi agama dan pemikiran filosofis yang seringkali
sulit “dipertemukan". Perdebatan- perdebatan panjang mengenai keilmuan
berdasarkan agama dan umum terjadi pula dalam lingkup Islam yang
kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran kalam. Kondisi-kondisi ini
diantisipasi barat dengan pendekatan sekularisasi. Tak ada agama dalam
keilmuan dan tak ada keilmuan dalam agama, keduanya berdiri
berseberangan dan tidak bisa menjadi satu wadah. Sebuah upaya menarik dan
“mungkin” berhasil memetakan status quo keilmuan modern versi barat.
Agama dalam beberapa hal dianggap sebagai “penjagal” kemajuan ilmu
pengetahuan, agama ditetapkan sebagai “figura” di dalam kehidupan. Agama
tidak memiliki hak untuk mengklaim apapun, ada kebebasan, kemerdekaan
dalam perkembangan keilmuan. Seluruh proses antara agama dan keilmuan
turut menginspirasi Barat untuk melanggengkan kekuasaan dirinya. Barat
juga mempelajari betul pentingnya propaganda untuk meng”cut”
perkembangan keilmuan dalam Islam. Isu antara ahlu ra’yi dan ahtusunnah
jelas isu yang paling mempan untuk mengantisipasi perkembangan keilmuan
Islam. Sudah i' ilalu banyak kasus sejak zaman perdebatan al-Ma'mun dan
Ahmad ilm Hanbal atau kasus Ibn al-Muqaffa, kasus yang sedemikian
memperkokoh perdebatan antara ahlu ra’yi dan ahlu sunnah adalah M>l>uah
upaya pemecah belah yang jitu.
Banyak kalangan menuding proses keilmuan Islam tertutup f.Hulah karya alGhazali Tahafut al-Falasifah mengemuka, menegur t " i bagai pemikiran
yang “menyimpang” dari Islam. Tulisan al-Ghazali 'liiuding sebagai upaya
pembungkaman ijtihad seorang muslim yang l» bas dan penuh labirin-labirin
keilmuan. Sesungguhnya “hemat” imnulis, al-Ghazali tak pernah
membungkam ijtihad umat dan i' I>obasan keilmuan, tetapi al-Ghazali
agaknya telah memiliki firasat i1 iliwa arah keilmuan mensistematisasi diri
menjadi ilmu tanpa agama,
' okularisasi”. Al-Ghazali jelas telah membaca budaya inkar sunnah , mg
semakin menguat, atau telah membaca arogansi akal yang I >• m lobihan.
Filsafat tak lagi beraroma persatuan antara daya akal dan i'j.mia ala al-Kindi
atau menebarkan semerbak kesufian ala al-Farabi.
' ii ilat tidak lagi selogis pemikiran al-Razi atau Ibn Rusyd, banyak i" ngagum
filsafat adalah orang-orang awam yang bereuforia pada ide- i' mengenai
keagungan akal dan menafikan dalil-dalil sunnah. Di sisi 1 mi, hanyak yang
terperangkap menangkap ide al-Ghazali dengan i" nj.ua halal dan haram dan
ketentuan-ketentuan Allah yang ditafsirkan
■
akan akan paling benar. Padahal al-Ghazali sendiri berfilosofis untuk
'""luluskan paham filosofis, artinya Imam al-Ghazali sendiri adalah mang
filosof muslim.103
IKHTISAR:
" i llsafat Islam merupakan hasil dari perpaduan antara pemikiran i imani,
budaya Persia dan tradisi Hellenisme. Hellenis dalam arti il' ulturasi antara
pemikiran Yunani-Romawi bersama wilayah Timur •’l>orti Mesir Kuno dan
Persia.
1 i ih;ifat Islam dipopulerkan dengan menggunakan bahasa Arab dan l'i i'.ia,
pemilihan dua bahasa ini karena bahasa Arab dan Persia niniupakan bahasa
Nasional umat muslim saat itu. i il'.afat Islam diperkirakan lebih banyak
dipengaruhi oleh pemikiran i imani dibanding Persia. Hubungan Persia dan
perkembangan i nilmuan dalam Islam diperkirakan pada ilmu-ilmu kealaman.
d Transmisi pemikiran Yunani diperkirakan dibawa oleh kaum kristen
Nestorian yang mengalami konflik dengan penguasa dan gereja di Roma
e Proses perpaduan budaya dan pemikiran yang kemudian mengerucut
menjadi ilmu filsafat Islam diperkirakan telah berlangsung sejak zaman
'Umar ibn Khattab namun memiliki eksistensi diri dalam bentuk keilmuan
pada masa Dinasti Abbasiyah f Geliat filsafat Islam dan keemasannya terjadi
bersamaan dengan abad kegelapaan di Barat. Hubungan terkuat antara
kebangkitan filsafat Barat dan filsafat Islam ditemukan pada bidang skolastik,
g Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averroisme) merupakan dua tokoh
yang banyak mempengaruhi pemikiran skolastik di Barat. St. Thomas
Aquinas dan ini terdapat pada ajaran-ajaran Siger van Brabant, Berner van
Nijvel dan Boethius de Dacia. h Dikotomi antara Ahlu ra’yi dan ahlu sunnah
diperkirakan merupakan cikal-bakal konflik yang berujung pada kemunduran
pemikiran filosofis dalam Islam. Dikotomi ini turut mendorong lahirnya
pemikiran Sekularisme, menafikan dan meninggalkan Agama dalam proses
perkembangan keilmuan
i
Pemikiran al-Ghazali diperkirakan bukan alasan kemunduran
pemikiran filosofis Islam, tetapi kemunduran pemikiran tersebut disebabkan
oleh lahirnya sikap Ekstremisme, Radikalisme beragama sebagai sebuah
reaksi dari ide Sekularisme yang semakin kuat berkembang.
Lihat M.W.A Brouwer & M.P, Heryadi, B.Ph., Sejarah Filsafat Barat Modem
dan Sezaman, (Bandung, Alumni, 1986), hal. ix
Lihat kajian yang dilakukan oleh M.W.A. Brouwer dan M.P. Heryadi yang
menjelaskan tentang sejarah filsafat barat dengan jelas menafikan filsafat
Islam dan langsung mengembalikannya pada filsafat Yunani. M.W.A
Brouwer & M.P. Heryadi, B.Ph., Sejarah Filsafat Barat Modern dan
Sezaman, (Bandung, Alumni, 1986), hal. ix
Hibriditas berasal dari kata hibrid; bio yang dihasilkan dari perkawinan
antara dua jenis yang berlainan. Kata hibriditas merujuk pada makna tersebut;
yakni kecenderungan untuk mengambil unsur-unsur untuk menjadi bagian
dari dirinya. Lih.Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua,
Bortrand Russel, History of Western Philosophy, (Routledge, 2004) lih.
Daftar Isi. Brooke N. Moore and Kenneth Bruder, Philosophy: the Power of
Idea, (McGraw-Hill, 2001).
I dward W. Said, Orientalism, (New York, Vintage Books, 1979), cet. III,
hal.
!>2
Kutipan dalam Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-lslamiyah Manhaj wa
Tathbiqihi, (Mesir, Dar al-Ma’arif, 1976), hal. 20-21
'.eyyed Hossein Nasr & William C. Chittick, World Spirituaiity:
Manifestations, turj., Islam Intelektual Teologi Filsafat dan Ma’rifat, (Depok,
Perenial, 1991), li.il, 5 Kata Pengantar
llornard Lewis, TheArabs in History, terj. Bangsa Arab dalam Lintasan
Sejarah diiri Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, (Jakarta,
Pedoman Ilmu Jaya, 1988), Kata Pengantar Nurcholish Madjid, hal. vii Hiidri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyyah II, (Jakarta, l
'.ijaGrafindo Persada, 2001), cet. XII, hal. 49-50 l nwis, The Arabs ..., terj.,
Kata Pengantar,
hal.
ix
I nwis, The Arabs ..., terj., Kata Pengantar,
hal.
x
< iirl Brockellman, History of the Islamic People, (London, Lund Humphries,
1949), hal. 1-3
It.i M. Lapidus, A History Islamic Science, terj. Sejarah Sosial Umat Islam,
(i.ikarta, RajaGrafindo Persada, 1999) cet.l, hal. 17 l'tulip K. Hitti, The Arabs
Short History, terj. Dunia Arab Sejarah Ringkas,
■ n.indung, Sumur Bandung, 1970), cet. VI, hal. 16-17 Inwis, TheArabs ...,
hal. 4-5
An.r. Ma'ruf (terj.), A Concise History of Islam, a.b. Sejarah Ringkas Islam,
\ inknrta, Djambatan, 2000), cet. III, hal. 5 I itpldus, A History ..., hal.
7
i npldus, A History ..., hal. 9
Midi kelmann, History of..., hal. 9
23
Michael H. Hart, The 100, a
Ranking
of
The
Most Influental
Persons
in
History, terj. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah,
(1986,
Jakarta, Midas Surya Grafindo), cet. VIII, hal. 28
21
Lapidus, History ..., hal. 24
22
Hitti, The Arabs ..., hal. 21
23
Lewis, The Arabs ..., hal. 17
24
Lewis, The Arabs ..., hal. 17
25
Hitti, The Arabs ..., hal. 23
26
Hitti, The Arabs ..., hal. 24
27
Philips K. Hitti, History of The Arabs, terj., (Jakarta, Serambi, 2005),
cet. II, hal. 66-67
28
Lapidus, A History ..., hal. 38-39 Lapidus, A History ..., hal. 38-39
29
Fuad Mohd. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Jakarta,
Bulan Bintang, 1985), hal. 6-10
30
Facruddin, Perkembangan ..., hal.5
31
Lih. Penjelasan mengenai karakter ayat-ayat Makkiyah, atau lih.
Amroeni, ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001), hal. 74-86
32
Lih. Penjelasan mengenai karakter ayat-ayat Madaniyyah, atau lih.
Amroeni, ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001), hal. 75-86
33
Lapidus, A History ..., hal. 64-65
34
Hart, The 100 ..., terj. hal. 28-29
35
Lapidus, A History ..., hal. 55
36
Hitti, History ..., hal. 181
37
Khalil Abdul Karim, Ouraisy min al-Qabilah ila al-Daulah alMarkaziyyah, (Yogyakarta, Lkis, 2002), hal. 321-329
36
Lewis, The Arabs ..., hal. 36
33
Lewis, The Arabs ..., hal. 36-37
40
R. Ghirshman, iran, (Baltimore, Penguin Books Inc, 1954), hal. 290293
41
Ghirsman, Iran, hal. 308
42
Lewis, The Arabs .... hal. 46-48
43
Lapidus, A History ..., hal. 78
44
Lapidus, A History ..., hal. 79
45
Lapidus, A History ..., hal. 79
46
Badri Yatim, Sejarah ..., hal.
47
Ghirsman,
Iran, hal.
318-341
48
Ghirsman,
Iran, hal.
320
49
Ghirsman,
Iran, hal.
327-330
®
Ghirsman,
Iran, hal.
242
51
Lapidus, A History..., hal. 105
52
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic
Philosophy, terj. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2003),
hal. 69
a
Nasr, ed., History of..., terj., hal. 119
54
Nasr, ed., History ofterj., hal. 70
Filosof-theolog Yahudi yang lahir di Cordoba, Spanyol dan mengembangkan
proses intelektualnya di Maroko. Pengagum Aristoteles ini merupakan dokter
dari Sultan Salahuddin al-Ayyubi di Mesir
Nasr, ed., History of..., terj., hal. 72
Nasr, ed., History of..., terj., hal. 74
Nasr, ed„ History ofterj., hal. 76
Manichaenisme adalah agama yang didirikan oleh Mani', Nabi dari abad ke3 M. Agama ini merupakan campuran menarik dari agama Zoroaster, Budha
dan Kristen. Agama ini juga mengakui Zoroaster, Budha dan Nabi Isa
sebagai Nabi di muka bumi ini. Selain dualisme, doktrin "keliru” Mani
adalah bahwa jiwa
manusia itu pokok kebaikan dan tubuh manusia
merupakan
pokok
kejahatan,
penganut Mani percaya bahwa semua hubungan seksuil -meskipun untuk
tujuan membuat keturunan- harus dijauhi, juga ada larangan minum anggur
dan makan daging; Lih. Konsep Mani di Michael Hart, The 100 hal. 417
Nasr, ed., History of.... terj., hal. 78
Rowe & Schofield, The Cambridge History of Greek and Roman Politicai
terj., Sejarah Politik Yunani dan Romawi, (Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2001), hal. 52-53
Nasr, ed., History ofterj., hal. 81-82 Nasr, ed., History ofterj., hal. 52
Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN
Press, 2003), hal. 1-5
Nasr, ed., History ofterj., hal. 109
Maksud kokoh disini, umat Islam telah memiliki landasan yang cukup
kompetitif ketika umat ini membangun dirinya di Madinah. Bahkan jika
diasumsikan kelahiran para filosof tersebut dimulai dari al-Kindi, berada di
bawah kekuasaan Abbasiyah, Humphreys berani menjamin bahwa akulturasi
tersebut telah berproses sejak masa Umayyah. Karena sejak masa Umayyah
sebenarnya pemikiran Yunani, Arab, Koptik, Papirologi, Numismatik,
Arkeologi dan Historiografi Islam, ilmu Administrasi Romawi ditambah
dengan Administrasi dan Hukum Islam telah dipelajari oleh Islam. Lih. R.
Stephen Humphreys, Islamic History A Framework for lnquir\ (Princenton
University Press, 1995), hal. 3
Alfred Gullimaune, Philosophy and Theology in The Legacy of Islam,(
Oxford University Press, 1948), hal. 239.
Abdurrahman Badawi.ed., al-Turats al-Yunani fi al-Hadharah al-lslamiyah
Dirasat Ii Kibari al-Mustasyriqin, (Kairo, Dar al-Nahdhoh al-Arabiyah,
1965), hal. 4-5‘Abdurrahman Badawi.ed., al-Turats al-Yunani fi al-Hadharah
al- lslamiyah Dirasat Ii Kibari al-Mustasyriqm, (Kairo, Dar al-Nahdhoh alArabiyah, 1965), hal. 4-5
Nasr, ed., History of..., terj., hal. 62-67
Badawi.ed., al-Turats al-Yunanihal. 28-29 Badawi.ed., al-Turats al-Yunani ...
hal. 28-29
71
Rowe, ed., The Cambridge History ..., terj., Daftar Isi
72
M.A.W. Brouwer & M.P. Heryadi, Sejarah Fiisafat Modem,
(Bandung, Alumni, 1986), hal. 1-17
73
Rowe, ed.,
The Cambridge
History ..... terj., hal. 473
74
Rowe, ed.,
The Cambridge
History ...., terj., hal. 55-56
75
Rowe, ed.,
The Cambridge
History ..... terj., hal.
76
Rowe, ed.,
The Cambridge
History ..., hal. 5
71
Rowe, ed.,
The Cambridge
History ..., hal. 185-217
78
Rowe, ed.,
The Cambridge
History ..., hal. 59-66
75 ‘Abdurrahman Badawi.ed., al-Turats al-Yunani fi al-Hadharah allslamiyah Dirasat ii Kibari al-Mustasyriqin, (Kairo, Dar al-Nahdhoh al‘Arabiyah, 1965), hal. 38
80
Nasr, ed.,
History of..., terj.,
hal.
54
81
Nasr, ed.,
History of..., terj.,
hal.
54-55
82
Rowe, ed., The Csambridge History ..., terj., hal. 751-781
83
Nasr, ed., History of..., terj., hal. 55; Badawi, ed., al-Turats alYunani..., hal.
38
84
Badawi, ed., al-Turats al-Yunani..., hal. 41
85
Nasr, ed.,
History of..., terj.,
hal.
63
86
Nasr, ed.,
History of..., terj.,
hal.
110-111
87
Nasr, ed.,
History of..., terj.,
hal.
111
88
Nasr, ed.,
History of..., terj.,
hal.
119
80
Nasr, ed.,
History of..., terj.,
hal.
118
90
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1998), hal.301303
91
A. Epping O.F.M., Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie
Eerste Nederlandse Systematisch Ingerichte Encyclopedie, (Bandung,
Jemmars, 1983), hal. 161
92
Hart, The 100 ..., hal. 21-22
93
De Lacy O’Leary, Arabic Thought and Its Place in History, (London,
Routledge & Kegan Paul Ltd, 1963), hal. viii.
94
Kutipan dan penjelasan dalam Mulyadhi Kartanegara, Tradisi Ilmiah
Islam, (Jakarta, Serambi, 2005), hal. 20-21
95
M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, vol. II, (Delhi, Low
Price Publication, 1995), hal. 1349
96
Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy,
(Cambridge, Cambridge University Press, 1985), hal. 6.
97
F.E.Peter, Aristotle and The Arabs, The Aristotelian Tradition in
Islam, (New York University Press, 1968), hal. 57.
96
Morris, Rosemary, Northern Europe invades the Mediterranean, 9001200,
in George Holmes, The Oxford History of Medieval Europe, (New York,
Oxford University Press, 1988), hal. 194-195 Morris, Rosemary, Northern
Europe invades the Mediterranean, 900-1200, in George Holmes, The Oxford
History
ol Medieval Europe, (New York, Oxford University Press, 1988), hal. 194195
'■•lima Khadra Jayyusi, “The Legacy of Muslim Spain", (Leiden, E.J.Brill,
1992), hal. 149-170
,il Ghazali berprinsip bahwa seseorang yang akan mengkritik filsafat harus
mendalami dahulu kandungan filsafat. Sebab, tanpa mendalami filsafat maka
kritik yang ditunjukkan tidak tepat sasaran. Untuk itu selama tiga tahun dia
hnusaha mendalami filsafat, sehingga dia rampung menulis sebuah buku
Imrjudul Maqashid al-Falasifah. Setelah menulis buku tersebut al-Ghazali
inonulis Tahafut al-Falasifah. Kekuatannya memahami pemikiran filosofis
para lilosof muslim itulah alasan kenapa ia juga layak disebut sebagai filosof
muslim meski tidak dengan makna yang sesungguhnya. Laqab filosof muslim
tersebut disematkan berdasarkan metodologi yang digunakannya dalam
membaca filsafat Isl.im dan bukan karena al-Ghazali turut meramaikan ideide metafisika dan ilitnn aliran di dalamnya.
BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT
ISLAM
DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN
Gelombang Hellenisme merupakan suatu pengalaman yang tercampur antara
manfaat dan madlarat bagi kaum muslimin, dan membuat mereka terbagi
antara yang menyambut dan yang menolak. Responsi mereka kepadanya bisa
menjadi ukuran kreativitas orang-orang Islam dalam menghadapi suatu
bentuk
tantangan zaman (Nurcholish Madjid)1
P
/ erkembangan filsafat Islam seringkali disepadankan dengan aktivitas
intelektual umat Islam, upaya penyepadanan ini berbuah pada asumsi
kematian aktivitas intelektual umat Islam ketika filsafat Islam - didugaditutup oleh Ibnu Rusyd dan beralih ke Barat. Asumsi ini semakin
meyakinkan ketika isu stagnasi aktivitas intelektual dihembuskan, yakni isu
tertutupnya pintu ijtihad, serangan al-Ghazali terhadap filsafat dan wafatnya
Ibnu Rusyd, seorang figurfilosof Islam yang diakui Barat (Eropa). Dampak
isu ini berbuah kemalangan panjang umat muslim, selama bertahun-tahun
umat disibukkan dengan perdebatan-perdebatan pemaknaan zindiq yang
identik dengan tudingan "kafir’’ atau keluar dari ajaran Islam oleh orangorang radikal-ekstrimis yang mengklaim dirinya penjaga kesucian agama.
Selama bertahun-tahun itu, umat Islam tidak menyadari bahwa isu-isu
tersebut ditiupkan oleh orientalis untuk menimbulkan keragu- raguan dan
menekan perkembangan keagamaan dan keilmuan. Sikap apatis dalam
beragama atau menggugat agama menggejala dan perlahan agama
dipinggirkan lalu terlahirlah bibit-bibit sekularisme dalam umat muslim. Di
sisi lain, lahir pula golongan radikal-ekstrimis sebagai reaksi sekularisme.
Lebih jauh lagi, umat Islam dituturkan Haidar Bagir telambat mengantisipasi
“masa pubertas” intelektualnya. Hal ini ditandai dengan ciri terobsesinya
sebagian umat dengan simbol-simbol formalisme- legalistik, pemahaman
keagamaan yang simplistik, kurangnya apresiasi terhadap penafsiran
rasionalistik atas agama dan kecenderungan untuk merasa benar sendiri yakni
dalam dialog antar maupun interkeyakinan. Deskripsi gaya ini menekankan
model eksklusifitas dan cenderung mengobral cap sesat dan berbahaya, inilah
bentuk radikalisme, sebuah sikap karena ketidakmampuan menghadapi
perkembangan zaman dan pengetahuan yang semakin membutuhkan
interpretasi-interpretasi keagamaan yang dinamis.2
Di sisi lain, lanjut Haidar terdapat sekelompok umat yang sebenarnya lebih
siap untuk mengambil sikap terbuka tampak gamang dalam menghadapi
tantangan realitas zaman yang menuntut kemampuan apropiasi, yaitu
kemampuan memahami dan mengambil dari orang lain tanpa hanyut ke
dalamnya. Kegamangan mereka membuat arah pemikiran dan kebijakan
cenderung mengorbankan jati-diri Islam di altar sekularisme atau pluralisme
keagamaan radikal.3
Diantara radikalis-ekstremis dan sekularis-pluralis serampangan mi,
kemudian agama dan ilmu pengetahuan dipandang menjadi sesuatu yang
dikotomis, islam adalah atribut agama dan bukan atribut pengetahuan.
Agama merupakan hak personal, privacydan bukan bagian dari
perkembangan keilmuan yang dijuluki ilmu “modern”, membicarakan agama
membutuhkan ruang khusus yang berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan.
Ilmu agama diposisikan secara tidak sejajar atau bahkan dianggap kelas dua.
Persepsi-persepsi yang semakin menghegemoni ini sangat tidak
menguntungkan proses pembelajaran Islam, mempelajari Islam menjadi
sesuatu yang tidak populer. Padahal sesungguhnya Islam . idalah ruh dari
segala aktivitas dan perbuatan, Nashr mengingatkan tauhid merupakan dasar
spiritual Islam.
Artinya, ketika terjadi perdebatan-perdebatan dengan umat Kristen, Mazda
dan pengikut Mani di masa lalu membuat ulama-ulama Islam
mengembangkan pemikiran filosofis untuk menjelaskan ketauhidan luhan.
Konsepsi-konsepsi yang juga dilandaskan pada al-Qur’an ini terus
mempengaruhi dan terbukti memberikan semacam dorongan untuk
membuktikan tauhid serta menunjukkan bukti-bukti tentang eksistensi Tuhan.
Dorongan agama untuk mengetahui dan meneguhkan keyakinan akan Tuhan
dan penciptaannya ini melahirkan kajian-kajian yang menisbahkan diri pada
Islam sebagai agama. Sehingga tidak ada konsep ijtihad telah tertutup, Islam
tetap adalah ruh segala aktivitas, ruh keilmuan. Maka, ilmu Islam
berkembang dalam berbagai segi, "Filsafat Islam”, “Ekonomi Islam”,
“Hukum Islam", “Theologi Islam" dan berbagai keilmuan lain yang
dinisbahkan pada Islam memiliki bentuk pengetahuan yang berbeda,
memiliki pengamalan yang berbeda, berbeda karena semua harus memiliki
ruh Islam.
A.
DEFINISI
Filsafat merupakan kata serapan dari kata majemuk dalam bahasa Yunani
“Philosophia", “Philo" berarti suka atau cinta sedangkan “Sophia" adalah
bijaksana, maka Philosophia ialah orang yang cinta kepada kebijaksanaan.4
Istilah philosophia (selanjutnya ditulis filsafat) pertama kali digunakan oleh
Phytaghoras (580-500 SM) sebagai reaksi terhadap cendekiawan di masa itu
yang mengklaim dirinya sebagai ahli pengetahuan, Phytaghoras menolak
klaim tersebut karena ilmu pengetahuan adalah perkara atau objek yang
dicari oleh manusia dan dimanfaatkan secara riil oleh manusia, dan manusia
tak lain hanyalah pencari pengetahuan (filosof). Istilah ini semakin populer
ketika Socrates merumuskannya dalam kurikulum sekolahnya sebagai ilmu
pengetahuan tentang kegiatan jiwa manusia.5
Dari kata “Philosophia” ini kemudian lahirlah kata falsafat dalam bahasa
Arab yang diwaznkan dengan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kata “falsafat” ini
diserap oleh bahasa Indonesia menjadi “filsafat”, namun berhubung terdapat
perubahan dari kata “falsafat" menjadi “filsafat”, Harun Nasution
mempertanyakan serapan yang terdapat dalam bahasa Indonesia tersebut
berasal dari bahasa Arab atau langsung dari bahasa Yunani.6 Terlepas dari
konteks kebahasaan tersebut, Kamus besar bahasa Indonesia menjelaskan
kata filsafat yakni pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya. Artinya terdapat
kesamaan makna antara “philosophia", “filsafat" dan “falsafat". Kesamaan
makna ini pula yang menginspirasi sebagian kalangan menyebut “filsafat"
dengan “hikmah", terminologi “hikmah" sebagai kebijaksanaan dianggap
sepadan dengan kata “philosophia”.
Persoalan menjadi semakin menarik ketika menisbahkan kata Islam pada
filsafat, banyak yang berpendapat bahwa “filsafat” dan “Islam” merupakan
entitas yang berbeda. Itu sebabnya sebutan filsafat Islam sendiri bukan
sebutan yang telah disepakati oleh semua pengkaji filsafat Islam, bias
Europosentrisme terhadap filsafat Islam turut membentuk asumsi bahwa
ajaran-ajaran filsafat jelas bertentangan dengan agama, misalnya tentang
keabadian alam. Asumsi-asumsi ini kemudian melahirkan identifikasiidentifikasi yang berbeda terhadap filsafat yang berkembang di masa
keemasan Islam, sebagian menjulukinya “Filsafat Muslim", karena para
pengkajinya adalah seorang muslim, artinya filsafat tersebut dikaji dan
ditelaah oleh orang-orang yang beragama Islam, tetapi belum tentu bahwa
ajaran-ajaran filosofis mereka didasarkan pada ajaran- ajaran Islam.7
Selain filsafat muslim, terdapat juga penamaan dengan “Filsafat Arab”,
diasumsikan dengan Arab karena kajian-kajian yang dilakukan oleh umat
muslim tersebut menggunakan bahasa Arab. Meski para filosof bukan orang
Arab namun hasil pengkajiannya yang dibukukan dengan bahasa Arab
kemudian menjadi alasan penamaannya dengan “Filsafat Arab”.8 Tetapi
sebagaimana yang disampaikan Mulyadhi Kertanegara terdapat banyak hal
yang memperkuat bahwa dari seluruh nama yang disematkan tersebut
“Filsafat Islam" adalah nama yang tepat dari pada kata “Filsafat Muslim"
atau “Filsafat Arab”.
Disebut filsafat Islam dituturkan Mulyadhi, pertama, karena ketika filsafat
Yunani diperkenalkan ke dalam Islam, Islam telah menyusun sistem theologi
yang sangat menekankan keesaan Tuhan dan hukum syari’ah. Pandangan
syari’ah yang dominan dalam Islam memaksa seluruh sistem yang bersandar
pada Islam untuk mengikuti njaran-ajaran Islam, prosedur inilah yang
mengilhami para filosof muslim untuk merubah mind-set Yunani menjadi
mind-set muslim. Yakni mendasarkan kajian filsafat pada tauhid, pada alQur'an dan Hadis. Alasan kedua, filosof muslim mengkritisi pemikiran
Yunani dalam arti tidak begitu saja menerima pendapat-pendapat Yunani, hal
ini terlihat dari kritik yang disampaikan filosof muslim seperti kritik Ibn Sina
(w. 1037) terhadap kosmologis Aristoteles tentang keberadaan Tuhan yang
dipandangnya tidak memadai dan digantikan dengan argumen ontologis yang
lebih fundamental. Akibat daya kritis yang hebat tersebut, maka filsafat
Yunani mengalami transformasi radikal sehingga menciptakan filsafat yang
khas, yang berbeda dengan filsafat manapun. Ketiga, filsafat Islam adalah
interaksi antara Islam sebagai agama dengan filsafat Yunani. Akibatnya, para
filosof muslim telah mengembangkan filsafat dalam bidang-bidang tertentu
yang tidak pernah dilakukan oleh pai filosof sebelumnya. Salah satunya
adalah kajian filosofis terhadap konse kenabian (al-nubuwwah).9
Ibrahim Madkoer menegaskan bahwa filsafat Islam merupaka hasil olah fikir
para intelektual muslim terhadap konsep-konsep yan terdapat dalam Islam
dan juga filsafat Yunani. Para filosc memperdebatkan antara wahyu dan akal,
antara 'aqidah dan hikmal lalu mempertanyakan kedudukan akal dan wahyu
dan membuktika hubungan antara ‘aqidah dan hikmah, lebih jauh
menggabungkan konse antara agama dan filsafat. Ruang lingkup kajian yang
sangat luas ii menjadi alasan bahwa filsafat Islam berkembang dan membentu
karakternya tersendiri.10
Pemakaian istilah filsafat di kalangan muslim saat itu ditujuka untuk
mengartikan pengetahuan rasional murni. Filsafat menuri pemakaian para
filosof muslim secara umum tidak merujuk pada suat disiplin atau sains
tertentu; ia meliputi semua sains rasional bukan ilmi ilmu yang diwahyukan
atau diriwayatkan secara etimologi seperti sintaksi; sharaf, retorika, gaya
bahasa, tafsir, sunnah, dan hukum. Oleh karen kata ini mempunyai arti yang
umum, filosof adalah seseorang yan memahami secara penuh semua sains
rasional yang pada waktu it termasuk teologi, matematika, ilmu-ilmu
kealaman, politik, etika, da ekonomi domestik. Artinya, menjadi seorang
filosof adalah menjadi duni pengetahuan yang sama dengan dunia objektif.11
Filsafat saat itu diklasifikasi pada filsafat teoritis dan filsafc praktis. Filsafat
teoritis terdiri atas tiga bagian: teologi atau filsafat tingg matematika atau
filsafat menengah dan ilmu-ilmu kealaman atau filsafc rendah. Filsafat tinggi
atau teologi terdiri atas dua disiplin: fenomenoloc umum dan teologi itu
sendiri. Matematika terdiri atas empat bagian yan- setiap bagiannya menjadi
satu sains tersendiri: aritmatika, geometr astronomi dan musik. Ilmu
kealaman mempunyai banyak bagian. Da filsafat praktis dibagi menjadi
etika, ekonomi domestik, da kewarganegaraan. Filosof yang lengkap adalah
yang menguasai seluru sains tersebut.
Secara kebahasaan kata filsafat sebenarnya mengalarr reduksi makna, dari
filsafat yang mencakup seluruh sains dai pengetahuan di luar ilmu
pengetahuan kewahyuan menjadi filsafat yan* membatasi konsepnya pada
teori pengetahuan, metafisika dan nilai Tetapi Amsal Bakhtiar menolak
reduksi makna dengan menegaskai bahwa filsafat dalam arti pemakaian
umum di masa lalu merupakan suatu istilah generik yang tidak dilekatkan
pada suatu sains atau disiplin khusus. Filsafat yang disini meliputi semua
sains yang tidak diwahyukan (rasional) sesuai dengan pengertian konsep
umum filsafat yaitu, “filsafat adalah penyempurnaan jiwa manusia baik dari
sudut teoriti maupun praktis".12
Lebih jauh, Amsal menegaskan jika filsafat didefinisikan sebagai aktivitas
yang dinamai filosof di masa lalu sebagai filsafat sejati, filsafat pertama atau
filsafat tertinggi yang berkaitan dengan teologi dan asal- muasal teologi
tersebut, maka definisinya akan berbunyi; “filsafat meliputi semua jenis sains
tentang keadaan-keadaan wujud, dipandang dari segi bahwa ia adalah wujud
(ada), bukan dari segi bahwa ia memiliki individuasi khusus atau
personifikasi lahiriah seperti badan, kuantitas, kualitas, manusia, tumbuhan,
atau apa saja yang ada di muka bumi ini.13
Sidi Gazalba meringkas seluruh konsep tersebut dengan menentukan tiga
lingkup kajian filsafat yakni teori pengetahuan, metafisika dan teori nilai.
Teori pengetahuan melakukan kajian mengenai hakikat dan bagaimana
membentuk pengetahuan, berlakunya pengetahuan dan hubungannya dengan
manusia. Pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut adalah epistemologi, dari
mana asal atau sumber pengetahuan dijawab oleh tiga aliran filsafat; serba
budi, serba pengalaman dan kritizismus; tentang hakikat pengetahuan
dijawab oleh serbanyata dan serbacita. Sedangkan membentuk pengetahuan
yang benar dijawab oleh logika, ilmumantiqdalam filsafat Islam. Tiga
kerangka logika: pengertian, putusan dan penuturan didasari pula oleh sistem
berfikir, kita mengenal dialektika sebagai sistem berfikir, dan ada pula dalam
Islam suatu sistem berfikir yang unik, dimana kenisbian pikir manusia
diasaskan pada kemutlakan "pikir” Tuhan, proses sistem berfikir ini adalah
“Ijtihad'.14
Bidang kedua filsafat adalah metafisika, metafisika bagi Aristoteles ialah
dasar mendalam dari yang ada, bagi Plato teori tentang ide, bagi Hegel
pengetahuan tentang yang mutlak, bagi Heidegger, eksistensialisme;
metafisika ialah filsafat tentang hakikat kehidupan. Metafisika membicarakan
segala yang ada atau yang dianggap ada, dipersoalkannya hakikat segala yang
ada, sebab dan tujuan gejala. Artinya jika fisika membahas segala sesuatu
yang dapat disentuh oleh panca indera, metafisika memperkatakan sesuatu
yang tak terjangkau atau I lakikat esensi dari yang ada, apakah yang ada
tersebut berupa peristiwa . itau sesuatu yang berwujud (benda).15
Ada empat pokok metafisika, pertama, filsafat hakikat dan ontologi yang juga
dikenal dengan ilmu hakikat, ilmu ini memepersoalkan hakikat dengan
memisahkan secara tajam antara subjek dan objek. Dalam agama ontologi
memikirkan tentang Tuhan. Kedua, filsafat alam atau kosmologi, filsafat
alam mempersoalkan tentang jagat raya (universun), alam adalah materi
maka inti masalah filsafat ini adalah materi. Tetapi kajiannya berputar pada
sabab-musabab materi yang kadang berujung pada ide awal penciptaan
materi atau menemukan teori-teori baru mengenai gerak alam. Ketiga, filsafat
manusia, siapa manusia, dari mana asalnya, kemana akhirnya, manusia hidup
dan apa arti hidup, apa naluri dan perbedaan antara manusia dan makhluk
hidup lainnya?; semua pertanyaan-pertanyaan itu direfleksikan melalui
berbagai ilmu kembali, ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi merupakan
ilmu-ilmu yang kemudian terlahir dan mengkaitkan dirinya pada persoalan
manusia ini. Keempat, filsafat Ketuhanan, filsafat ini mempertanyakan cikalbakal keberadaan malam dan “fungsi" Tuhan, hubungan Tuhan dengan
manusia, maksud dan tujuan Tuhan terhadap ciptaannya.16 Filsafat
ketuhanan dapat langsung mengenai inti agama, karena agama adalah
representasi hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi filsafat Ketuhanan
dapat menginspirasi lahirnya Atheisme, karena ketidakpuasan jawabanjawaban yang ditemukan dari persoalan ketuhanan ini.
Jika, pada teori pengetahuan dan metafisika, ruang lingkup filsafat terkesan
eksklusif dan memenaragadingkan proses keilmuan, filsafat nilai berlaku
sebaliknya teori nilai membawa filsafat ke tengah- tengah masyarakat, ke
gelanggang kehidupan riil, kepada laku-laku perbuatan sehari-hari. Hasil olah
pengetahuan dan metafisika ialah tindakan dan laku perbuatan manusia,
dengan bahasa yang lebih sederhana manusia mengerjakan sesuatu dan
meninggalkan hal lainnya adalah karena persepsi nilai yang terbangun dari
olah pengetahuan dan metafisika-nya. Seseorang dapat saja memilih untuk
bekerja keras atau menjadi pencuri sesuai dengan persepsi nilai yang mereka
miliki dari hasil olah pengetahuan dan metafisika-nya.17
Seluruh ruang lingkup filsafat ini memungkinkan memaknai filsafat sebagai
sains, atau sebagai ilmu-ilmu rasional atau juga ilmu mengenai segala sesuatu
yang mengkaji hakikat. Artinya filsafat ada dan dapat menjadi bagian
keilmuan manapun juga, tetapi wilayah kajiannya adalah “pertanyaan awal".
Pertanyaan awal adalah cikal-bakal dari proses keilmuan, dalam ilmu sosial
akan ditemukan filsafat sosial, dalam ilmu ekonomi terdapat filsafat ekonomi
begitu juga dalam ilmu kealaman. Ilmu sosial merupakan hasil olah
pemikiran dalam filsafat sosial, ilmu ekonomi merupakan hasil olah pikir
bentuk-bentuk ekonomi dan seterusnya.
Adapun filsafat Islam yang dilakukan oleh filosof-filosof muslim bukan olah
pemikiran yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu Islam. “Filsafat” .uialah
entitas makna yang sama yang memiliki tiga ruang lingkup, ontologi/
hakikat, epistemologi/ pengetahuan dan aksiologi/ nilai. Filsafat disini juga
merupakan filsafat yang sama dengan makna filsafat secara umum dan Islam
merupakan keterangan yang menunjukkan identitas yang berbeda dengan
kajian-kajian filsafat lainnya.
Islam disini bukan menunjukkan sebagai kata keterangan tetapi k.ita yang
disandingkan untuk menjelaskan kedudukan filsafat sebagai ■..itu kata
keilmuan. Analog sederhananya adalan ekonomi dan ekonomi •.yari’ah.
Ekonomi dalam gabungan kata dengan syari’ah memiliki makna y. mg sama
dengan kata ekonomi yang berdiri sendiri, namun ketika disandingkan
dengan kata syari’ah, ekonomi yang dimaksud memiliki ituran dan batasan
sebagaimana yang dijelaskan syari’ah. Begitupun i li 'ngan filsafat Islam, kata
Islam menunjukkan identitas berbeda sebagai ■.cbuah ciri khas, makna yang
berbeda dengan filsafat sosial, filsafat '•konomi, filsafat politik dan lainnya.
Ciri khas Islam tersebut melahirkan konsep, metodologi, atau ti.ihkan aliran
pemikiran yang berbeda dengan filsafat-filsafat yang berkembang lainnya.
Filsafat Islam tidak hanya dimulai dari akal saja k.irena dalam Islam ada
ajaran tentang ibadah (ta’abbudi), yang K.ulangkala sulit dirasionalkan.
Dialektika antara yang rasional dengan y.mg imani inilah dinamika filsafat
Islam dan sekaligus keunikan filsafat lilnm.18
Nasr mendefinisikan ciri khas tersebut sebagai berikut; pertama, ti.idisi
filsafat Islam mempunyai akar yang dalam pada pandangan dunia w.ihyu alQur’an dan fungsi-fungsi di dalam suatu kosmos, tempat kenabian atau
wahyu diterima sebagai realitas yang merupakan sumber hukan hanya bagi
etika, melainkan ilmu pengetahuan. Karena itulah mengapa Henry Corbin
dengan tepat menyebutnya la philosophie i>mphetique. Kedua, meskipun
merupakan filsafat dalam pengertian- ■ ojati istilah itu, konsepsi dasarnya
tentang al-‘aql (akal/ intelek) 'iiii.msformasikan oleh dunia intelektual dan
spiritual yang operasinya terlangsung dalam cara yang sama seperti halnya
akal (reason) yang telah ditransformasikan oleh rasionalisme Abad
Pencerahan mulai berfungsi secara berbeda dengan ratio dan intellectus-nya
St. Thomas. Fakta ini adalah kebenaran yang tak dapat disangkal bagi
seseorang yang mempelajari filsafat Islam “dari dalam” tradisi, dan ini masih
merupakan realitas esensial untuk dikaji kendatipun ada usaha dari sejumlah
sarjana Barat dan juga sebagian sarjana Muslim terbaratkan yang karena
terlalu setia kepada rasionalisme filsafat modern, kini ingin mengembalikan
pemahaman terhadap akal ini (rasionalisme) kepada filsafat Islam. Ketiga,
para filosof adalah muslim dan hampir semuanya taat mengikuti syari’ah.
Tidak boleh dilupakan bahwa teladan filsafat rasionalistis dalam Islam, yaitu
Ibnu Rusyd yang telah lama dipandang sebagai penghulu rasionalisme di
Barat adalah seorang qadhi, kepala otoritas religius di Cordoba dan bahwa
Mulia Sadra, salah satu metafisikawan terbesar, menempuh perjalanan tujuh
kali dengan berjalan kaki ke Makkah dan meninggal selama masa hajinya
yang ketujuh.19
Maka, filsafat Islam adalah ilmu yang membicarakan hakikat segala sesuatu
baik itu fisik ataupun metafisika dengan mendasarkan diri pada al-Qur’an dan
upaya pengejawantahan sifat dari prinsip Ilahi sebagai yang Esa. Tradisi
filsafat Islam ini sebagaimana tradisi filsafat- filsafat lainnya di belahan dunia
merupakan proses dari reaksi dalam berbagai macam cara bersama madzhabmadzhab atau pemikiran- pemikiran baik di dalam Islam itu sendiri atau di
luarnya. Dan seperti halnya sebuah wacana, pemikiran dan keilmuan, selalu
ada pro dan kontra, tudingan benar atau salah, perdebatan atau diskursus,
moderasi keilmuan inilah yang menciptakan tradisi intelektual terkaya dan
letupan- letupan kreativitas penafsiran ayat-ayat Tuhan baik dalam teks
ataupun kontekstualisasinya.
B.
ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA
Tiga konteks yang seringkali diperdebatkan konstelasi hubungannya ini,
ilmu, filsafat dan agama mampu menjelaskan lebih gamblang kedudukan
filsafat Islam, filsafat dan Agama atau filsafat Agama dalam struktur
keilmuan. Dikotomisasi makna pada tiga kata di atas yang kini menginspirasi
lahirnya proses integrasi keilmuan antara agama, sains dan filsafat. Hampir
seluruh sarjana menyepakati perpaduan antara ilmu -diidentifikasi dengan
sains- dan filsafat, tapi tidak dengan agama. Agaknya pengalaman muram
hubungan agama dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa Abad
kegelapan kristen atau juga dalam hubungannya dengan “mihnah" dalam
diskursus Islam membawa semacam “trauma" tersendiri untuk mendudukkan
agama bersama dengan filsafat dan sains.
Untuk mempertegas proses pengkajian, ilmu pengetahuan kami setarakan
maknanya dengan sains. Alasannya adalah karena perkembangan sains
seringkali dijadikan indikasi untuk melihat kemajuan peradaban dari suatu
bangsa. Islam dikatakan mencapai keemasannya di zaman Abbasiyah
disebabkan oleh berkembangnya sains baik astronomi, kedokteran, arsitektur
dan sebagainya. Kini, ketika Barat menjadi figur kemodernan, kebangkitan
dan panutan peradaban juga karena kemajuan sains mereka yang berada di
atas rata-rata yang berkembang di wilayah lainnya. Maka, tak ada penjelasan
definitif mengenai ilmu pengetahuan atau juga sains.
Karena pertemuan filsafat dan sains tidak menemukan kendala yang berarti,
maka titik problem yang dipertaruhkan dalam setiap akulturasi pemikiran itu
adalah agama. John F. Haught menerangkan empat persepsi terhadap relasi
antara agama dan sains, pertama, mereka yang berpendapat bahwa agama
sama sekali bertentangan dengan sains atau bahwa sains membatalkan
agama; kedua, mereka yang berfikiran bahwa agama dan sains sangat
berbeda satu sama lain sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik atau
hubungan di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama valid, tetapi tetap
terpisahkan satu sama lainnya; ketiga, yang mengatakan bahwa walaupun
agama dan sains jelas berbeda, toh sains selalu mempunyai implikasiimplikasi bagi agama; demikian juga sebaliknya. Sains dan agama niscaya
berinteraksi satu sama lain; karena itu, agama dan teologi pun tidak boleh
mengabaikan perkembangan-perkembangan baru dalam sains; dan keempat,
yakni yang melihat relasi itu sebagaimana relasi ketiga, tetapi lebih halus,
karena golongan ini melihat bagaimana agama dapat berperan positif dalam
mendukung petualangan ilmiah mencari penemuan; mengupayakan cara- cara
yang dapat ditempuh agama, tanpa sama sekali mencampuri sains, untuk
dapat meretas jalan bagi beberapa ide, dan bahkan merestui penyelidikan
ilmiah akan kebenaran, yang disebut Haught dengan konfirmasi.20
Dan karena definisi agama yang sangat beragam, dimulai dari produk
budaya, sampai dengan kewahyuan. Maka, disini kami menyajikan Islam
sebagai fokus analisis, meski beberapa pembahasan mengenai makna agama
secara umum tak terhindarkan. Pemilihan sikap menjadi “sekular" demi
perkembangan ilmu pengetahuan dan atau melepaskan simbol-simbol agama
seperti di Turki demi kemodernan mempertontonkan sebuah kegalauan
apakah agama atau dalam hal ini Islam dapat merespon rasionalisasi atau
kebebasan berfikir sebagai perangkat peradaban.
Ilmu, filsafat dan agama adalah tiga institut kebenaran, ketiga cara ini
mempunyai ciri-ciri tersendiri dalam mencari, menghampiri dan menemukan
kebenaran. Ilmu pengetahuan didapati dari hasil usaha pemahaman manusia
yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian
atau segala sesuatu yang dapat diselidiki (alam, manusia dan mungkin juga
agama) dengan menggunakan daya pemikiran manusia dibantu
penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan
eksperimental.21
Senada dengan ilmu (sains), filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan
akal-budinya untuk memahami dan menyelami hakikat dari segala sesuatu.
Artinya sains dan filsafat memiliki landasan yang sama, yakni “rasionalitas".
Tetapi agama (pada umumnya) berlandaskan pada crec/o; tata keimanan atau
tata keyakinan terhadap sesuatu di luar manusia, juga berlandaskan pada
sistem ritus (tata peribadatan) dan sistem norma (tata kaidah) yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, seluruh sistem agama
ini berpedoman pada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab
yang diwahyukan. Prosedur wahyu yang berimplikasi pada penetapan halal
dan haram ini dituding oleh ilmuwan dan filosof sebagai pembatas potensi
kebebasan berfikir akal.22
Di dunia Barat, filsafat-khususnya metafisika- telah dilepaskan dari sains atau
ilmu-ilmu alam. Karena, menurut August Comte, filsafat dalam bentuk
metafisika adalah fase kedua perkembangan manusia, sebagaimana agama
adalah fase pertamanya. Adapun fase terakhir (ketiga) dari perkembangan
tersebut tercapai pada sains -yang bersifat positivistik (yang dapat diserap
oleh indera lahir manusia). Dan karena sains merupakan perkembangan
terakhir, maka manusia modern harus meninggalkan fase-fase sebelumnya religius-teologis dan metafisis- filosofis- kalau kita ingin dipandang sebagai
manusia modern.23
Vaclav Havel, mantan Presiden Republik Czech yang pada tahun 1994
dianugerahi Philadelpia Liberty Medal di Amerika Serikat, mencari jawaban
baru dalam batas-batas ilmu pengetahuan dan menemukannya pada perlunya
transendensi diri, yang oleh banyak orang, dilihat sebagai persoalan agama.
Walaupun tidak menyinggung Islam, pengembaraan Havel adalah inspirasi
dan pengantar penting bagi perdebatan seputar hubungan antara agama dan
ilmu pengetahuan.24
Arogansi ilmu pengetahuan yang berlebihan hakikatnya menurut Havel
menimbulkan ketakutan tersendiri bagi pelakunya. Sains modern diketahui
gagal menghubungkan dirinya dengan alam realitas yang paling instrinstik
dan dengan pengalaman manusia yang paling natural. Tak dapat dipungkiri,
sains modern memperkenalkan kita pada kemudahan-kemudahan tak terkira,
hubungan lintas benua, lintas dunia atau bahkan kloningisasi bibit-bibit
makhluk hidup. Tetapi manusia menjadi limbung akan tujuan dan arah,
mempertanyakan apa yang akan terjadi pada diri kita di hari esok, ketakutan
dengan arah kemana setelah hidup, dunia pengalaman manusia tampak kacau
(chaos), mengalami keterputusan dan membingungkan. Oleh karena itu,
dewasa ini, manusia bekerja dengan statistik; di sore harinya berkonsultasi
pada astrolog dan menakuti-kuti diri dengan hantu dan drakula. Jurang antara
yang rasional dan spiritual, yang eksternal dan internal, yang obyektif dan
subyektif, yang teknikal dan moral, yang universal dan yang unik terusmenerus semakin dalam.25
Sesungguhnya terdapat titik persamaan antara ilmu (sains), filsafat dan
Agama; penjelasan yang menarik tentang hubungan antara agama dan filsafat
atau juga sains adalah deskripsi yang disampaikan Ibn Thufail dalam
novelnya Hayy bin Yaqzhan. Novel tersebut bercerita tentang seorang bocah
laki-laki bernama Hayy yang terdampar ke sebuah pulau, dan dipelihara oleh
seekor rusa. Namun, setelah rusa itu mati, Hayy berusaha hidup sendiri di
pulau itu. Bukan itu saja, ia pun telah mulai menggunakan akalnya untuk
melakukan perenungan. Akhirnya, dari merenungkan benda-benda alam yang
ada di lingkungannya, Hayy berhasil -setelah usaha yang panjang dan gigihmenemukan Tuhan, pencipta alam semesta. Selain tentang Tuhan, Hayy juga
dikatakan dapat mengetahui tentang kebaikan dan keburukan, melalui
akalnya, la juga mengerti tentang kewajiban untuk melakukan kebaikan dan
menghindari keburukan.26
Suatu hari, datanglah seorang sufi nan shalih yang bernama Absal. Pertemuan
Absal dan Hayy menghubungkan pembicaraan mereka sampai pada soal
hubungan akal dan wahyu, filsafat dan agama.
Novel tersebut selanjutnya mengatakan bahwa ternyata kebenaran filosofis
yang dicapai Hayy dengan ajaran-ajaran agama, sebagaimana dipahami dan
diterima Absal, tidaklah berbeda atau bertentangan, kecuali metode
pencapaian. Jadi, bukan kandungannya, karena kandungan keduanya pada
dasarnya sama. Meskipun begitu, Hayy mengerti bahwa filsafat memang
tidak selalu cocok dengan pendapat umum. Dan ini disadarinya, ketika Absal
mengajaknya bertemu dengan Salaman dan masyarakat yang dipimpinnya.
Pemahaman Hayy dan Absal tidak dimengerti masyarakat, bahkan dengan
kepicikan dan kefanatikannya, Hayy dan Absal malah diserang, keduanya
kembali ke pulau dan menjalani hidup kontemplatif sampai akhir hayatnya.
Proses ini menurut Mulyadhi, menunjukkan bahwa pencarian dan penemuan
akal sebenarnya tidak mesti berbeda dengan keterangan agama dan wahyu,
ketika dipahami secara benar dan mendalam. Namun, karena kebanyakan
umat memahami agama mereka hanya pada kulit luarnya saja dan tidak
memahami esensinya, maka kebenaran filsafat tidak mereka pahami.
Akibatnya, mereka memusuhi filsafat dan memandang filsafat bertentangan
dengan agama.27 Begitu pula sebaliknya, kebanyakan saintis atau pun ahli
filsafat memandang agama sebagai doktrin-doktrin yang kaku dan tidak
fleksibel. Padahal agama sebagaimana diungkapkan Ibnu Rusyd justru malah
mewajibkan atau setidaknya menganjurkan pengkajian ilmu pengetahuan.
Berkali-kali Allah berfirman dalam al-Qur’an untuk menggunakan akal
sebagai fasilitas untuk memahami ciptaannya. Berkali-kali pula Allah
meminta umatnya untuk menjelajah setiap komponen di alam ini sampai
dengan komponen terkecil sekalipun. Oleh karena itu, Ismail Faruqi
meyakini benar, malapetaka yang menimpa dunia Islam adalah akibat
persepsi terbelahnya ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu pengetahuan
keislaman dan ilmu pengetahuan sekuler Barat. Pemisahan itu telah membuat
umat Islam kehilangan identitas dan visinya.28
Itulah sebabnya, seorang filosof besar seperti Ibnu Sina, Mulia Sadra, alFarabi dan lainnya menguasai bukan hanya filsafat, tapi juga ilmu-ilmu
saintifik dan keagamaan, lebih dari itu, mereka menjadikan Islam ruh dari
setiap keilmuan yang mereka kaji dan mereka pahami. Prosedur ini
sebagaimana dianjurkan oleh Fajlul Rahman, ialah dilakukannya kajian
epistemologi Islam sebagai landasan filsafat ilmu pengetahuan.29
C.
KARAKTERISTRIK FILSAFAT ISLAM
Karakteristik adalah ciri khas dari sesuatu, artinya ketika membicarakan
karakteristik filsafat Islam maka kita membahas perbedaan antara filsafat
Islam dengan filsafat lainnya, baik itu Yunani, Hellenis atau juga Barat.
Beberapa hal yang berkaitan dengan pembahasan ini secara tersirat telah
diungkapkan dalam keterangan-keterangan diatas. Namun, demi
memudahkan pemahaman kita bersama, dilakukan pointer-pointer mengenai
hal-hal yang menjadi karakteristik filsafat Islam.
1)
Landasan berfikir; filsafat Islam berlandaskan pada prinsip agama
Islam dalam hal ini al-Qur'an dan hadis. Maka sumber ilmu dalam filsafat
Islam adalah dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil rasional (‘aqli)
Secara umum, seluruh sarjana baik timur ataupun barat meyakini bahwa alQur'an dan hadis berperan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat
dalam Islam, ini terlihat dari beberapa ide yang disampaikan oleh filosoffilosof muslim seperti al-Kindi yang membagi lapangan filsafat Islam
menjadi tiga bagian yakni ilmu fisika, ilmu matematika dan ilmu
ketuhanan.30 Ilmu ketuhanan yang dikembangkan al-Kindi inilah yang
membuatnya mendefinisikan “Sebab Pertama", mirip dengan “Agen
Pertama"-nya Plotinus dengan istilah “Yang Esa adalah sebab dari segala
sebab". Dari al-Kindi pula diperkirakan al-Farabi mengembangkan konsep
akal pertama yang dapat mentransmisikan “pengetahuan yang paling pasti”
tentang Tuhan. Ide ini diperkirakan mengilhami inti doktrin Mu’tazilah
mengenai keesaan Tuhan serta pensifatan dan perdebatan mengenai zat/
esensi dalam Mu'tazilah. Konsep akal ini diperbaharui oleh al-Farabi dengan
menekankan kekuatan doktrin emanasi itu dengan menyamakan akal Aktif
dengan malaikat jibril dan dengan menjelaskan kenabian sebagai hasil daya
imajinasi Jiwa.31
Ide-ide filosofis al-Kindi dan al-Farabi hanya sebagian contoh dari sekian ide
filosofis lainnya dalam Islam yang berbasis pada al- Our'andan Hadis. Tuhan
yang dijelaskan sebagai Yang Esa dan sebab dari segala sebab merupakan inti
ajaran dalam surat al-lkhlas, kemahaesaan dan kemahakuasaan Tuhan
diperkuat al-Kindi dengan membuat susunan yang membedakan antara alam
atas dan alam bawah Alkindi memahami alam atas sebagai wujud-wujud
spiritual yang tidak diciptakan dan alam bawah sebagai wujud-wujud
temporal yang diciptakan. Lebih lanjut, jiwa merupakan wujud spiritual yang
tid diciptakan, sementara Materi, Ruang dan Waktu terbatas, diciptak dan
jasmaniah. Penciptaan (ibda) dalam konteks Muslim ini adai penciptaan dari
ketiadaan dalam (dimensi) waktu.32 Dan kons nubuwwah al-Farabi
merupakan bentuk riil bagaimana al-Qur'an d hadis menjadi sumber
pengetahuan filosof muslim.
Menurut Nasr ada beberapa hal yang dapat menjadi indik bahwa filosof
muslim melandaskan pembahasannya pada al-Qur’ dan hadis, diantaranya:
Pembahasan mengenai Penciptaan, landasan tekstual doktrin dapat
ditemukan dalam ayat “Sesungguhnya apabila menghend sesuatu. Dia hanya
berkata kepadanya: Jadilah!’’, maka terjadii (kun fayakun)”. Dari doktrin ini
para filosof mengkonsentrasik pemahaman mereka tentang “wujud" dan
“creatio ex nihilo". K; “kun" menunjukkan identitas wujud tersebut, wujud
yang dipahs Ibn Sina lebih dari sekedar kata benda atau keadaan eksister
melainkan sebagai kata kerja atau tindakan dari eksisten Perenungan antara
doktrin ini dalam kaitannya dengan pemikir Yunani, para filosof Islam
mengembangkan doktrin tentang Wuj Murni yang berada di atas -dan tidak
bersambung dengan- m< rantai wujud.33
sebagian filosof lainnya mengembangkan teori “nihilo”, dimana sem
tingkat makna yang dimiliki oleh kata “nihilo" ini yang mengarahk para
filosof Islam untuk membedakan secara tajam antara Tuh sebagai wujud
murni dan eksistensi alam semesta. Termas kemudian Ibn Sina dan al-Farabi
mengembangkan teori eman; sebagai sebuah proses penciptaan.34
masalah seputar “kebaruan" (huduts) dan “kekekalan" (qidar,
Persoalan ini menghubungkan antara filosof dan Mu’tazilah, terutar yang
berkaitan dengan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal partikul Isu tersebut
diilhami oleh ayat al-Qur'an: “Tidak luput di pengetahuan Tuhanmu biarpun
sebesar zarah (atom) di bumi ataup di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan
tidak (pula) yang lebih bes itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang
nyata” (Q.S. Yuni 61). Penegasan al-Qur'an tentang kemahatahuan Ilahi
itulah ya: menempatkan masalah pengetahuan Tuhan tentang dunia, dals
konsep inilah doktrin “ilmu laduni” mempunyai signifikansi sentr baik bagi
filsafat maupun tasawuf teoritis.35
Dari ayat di atas, masalah ini juga terkait dengan signifikansi filosofis
“wahyu”. Para filosof Islam seperti Ibn Sina mencoba mengembangkan
sebuah teori dengan meminjam -dalam beberapa hal, tetapi tidak seluruhnyateori-teori Yunani tentang intelek dan daya-daya jiwa. Atau juga mengilhami
al-Farabi untuk mengembangkan fisafat nubuwwah
Eskatologi adalah pembahasan utama filosof muslim yang nyatanyata terinspirasi dari al-Qur’an dan hadis. Eskatologi -yang dikenal luas di
kalangan rumpun Ibrani- merupakan tema yang sama sekali tidak dikenal di
dunia filsafat kuno. Konsep-konsep seperti campur tangan Ilahi yang
menandai titik akhir sejarah, kebangkitan jasmani, berbagai peristiwa
eskatologis ini diterima filosof muslim dengan iman. Beberapa filosof
mencoba meramunya secara peripatetik, atau juga dalam prinsip-prinsip
theosofi transenden. Penggarapan soal eskatologi ini dikaji secara luas oleh
Mulia Shadra.36
2)
Sistem analisis; filsafat Islam tidak hanya melandaskan diri pada
prinsip-prinsip rasional tetapi juga spiritual
Penyatuan rasional dan spiritual terlihat jelas dalam berbagai diskursus yang
dikaji oleh para filosof muslim. Teori Emanasi yang dikembangkan al-Kindi,
al-Farabi dan Ibnu Sina membuktikan hal tersebut, dikatakan bahwa alFarabi, merasa kecewa atas buku Metafisika Aristoteles. Dikisahkan, dalam
kitab metafisik tersebut tidak terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, yang
dalam pandangan Islam merupakan tema pokok dalam metafisika. Dikatakan,
hanya dalam kitab Lambda dari bukunya itu Aristoteles berbicara tentang
Tuhan. Namun, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan, tidak ada keterangan
yang memuaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam. Lebih
persisnya lagi bagaimana dari Tuhan Yang Esa muncul alam semesta yang
beraneka.37
Lebih spiritual lagi, misalnya adalah konsep aliran llluminasionis oleh
Suhrawardi al-Maqtul. Filsafat llluminasionis mencoba memberikan tempat
yang penting bagi metode intuitif ('Irfanir), sebagai pendamping bagi, atau
malah, dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba
mensistesiskan dua pendekatan ini, burhani dan ‘Irfani dalam sebuah sistem
pemikiran yang solid dan holistik.38
Bagi Suhrawardi, pencari kebenaran -filosof- ke dalam tiga kelompok: a).
Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam -seperti para sufitetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya
itu secara diskursif; b). Mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif,
tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang cukup mendalam dan c).
Mereka yang di samping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan
otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif.39
Spiritualitas ini mendorong para filosof untuk mensistensiskan filsafat dan
agama. Filosof rasional-spiritual juga terlihat dari kepribadian- kepribadian
mereka yang menarik. Al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan banyak filosof
lainnya merupakan orang-orang yang memiliki kesalehan luar biasa.
Pemahaman mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman dan tingkat “kepasrahan”
mereka sangat tinggi. Ibn Sina biasa pergi ke masjid dan shalat saat
menghadapi masalah pelik dan Ibnu Rusyd adalah qadhi, penulis kitab fiqh;
Bidayah al-Mujtahid. Atau juga gerakan sufi al- Farabi.
3)
Subjek pengkaji; filsafat Islam merupakan hasil telaah dan analisis
para filosof muslim, artinya kajian filsafat ini dilakukan oleh orang- orang
Islam
Selain karena faktor penggunaan bahasa, filsafat Islam jelas tak bisa dibuat
semakna dengan filsafat Arab. Pertama, karena perkembangan filsafat ini
berlangsung pada masa kejayaan Islam yang tidak terkait dengan dimensi
“Dinasti" tertentu. Kedua, para filosof tidak seluruhnya merupakan orang
Arab, Ibnu Sina adalah seorang Persia, al-Farabi bahkan adalah seorang
Turki. Ketiga, intisari filsafat Islam berada di seputar wacana bagaimana para
filosof Islam menafsirkan doktrin tauhid. Serta senantiasa ada ketegangan
antara deskripsi al- Our’an tentang keesaan dan apa yang kaum Muslim kaji
dari sumber- sumber Yunani.
Karenanya sulit menyebutkan filsafat yang dilakukan oleh non- muslim
sebagai subjek pengkaji filsafat Islam. Para filosof muslim adalah warna
tersendiri dalam perkembangan filsafat, kajiannya yang berdasarkan upaya
“penafsiran" atau “perluasan makna" dari al-Qur’an dan hadis dan
rasionalitas Yunani merupakan sebuah ide kreatif yang hanya filosof muslim
saja-lah yang dapat melakukannya dan tidak non- muslim. Perbenturan
pemikiran dengan mutakallimin yang melahirkan dorongan kreativitas
berfikir mereka juga bagian dari pembentukan nuansa berfikir para filosof
muslim.
Maka, filosof muslim tak pernah dan bukan hanya seorang filosof, filosof
muslim adalah seorang intelektual dalam berbagai bidang. Mereka mengkaji
filsafat tapi juga menguasai konsep syari’ah, mereka memahami al-Qur'an,
seorang mufassir, seorang sufi bahkan ahli ilmu- ilmu kealaman. Integritas
keilmuan mereka di berbagai bidang ini membuktikan bahwa tradisi ilmiah
Islam adalah sebuah kesatuan antara Iman, Islam dan amal.
4)
Objek yang dikaji; filsafat Islam mengkaji hal-hal yang berkaitan
dengan metafisika atau non materi, seperti asal-muasal kehidupan dunia, akal
aktif, dan sebagian pembahasan mengenai ruh. Mengkaji pula yang
mencakup bidang fisik seperti alam raya, kosmologi namun tetap dikaitkan
dengan bidang metafisis.
Karena metodologis filsafat yang berkaitan dengan ontologis (asal-usul
hakikat), epistemologis (paradigma pengetahuan) dan aksiologis (persepsi
nilai) memungkinkan seorang filosof melakukan telaah terhadap berbagai
bidang keilmuan. Itu sebabnya seorang filosof muslim seperti al-Razi adalah
seorang theolog, dokter, ahli kimia, ahli fisika, mufassir dan juga seorang
filosof terkemuka. Namun, untuk menspesialisasi objek-objek kajian ini perlu
ditelaah terlebih dahulu “tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam". Tema
disini dimaknai dengan kecenderungan yang diteliti oleh para filosof muslim.
Dari pengetahuan tentang tema ini akan didapati substansi yang diteliti
sebagai sebuah objek kajian filosof muslim.
Amsal Bakhtiar misalnya menunjuk emanasi, jiwa/ruh, akal, teori kenabian,
eskatologi, kebaikan kejahatan,alam antara kekal dan baharu, pengetahuan
Tuhan, hukum kausalitas, ruang dan waktu, etika.40 Lebih global, Mulyadhi
Kartanegara mengikhtisarkan tema tersebut yakni kajian mengenai Tuhan,
alam dan manusia.40 Tiga komponen dasar ini-lah menurut Ibrahim Madkur
yang kemudian melahirkan beragam kajian diantaranya adalah emanasi,
jiwa/ruh dan lainnya41 - sebagaimana yang disampaikan Amsal Bakhtiar-.
Salah satu contoh misalnya adalah kajian mengenai manusia, dimana
manusia dilihat dari segi pengetahuan mereka terhadap Tuhan yang kemudian
melahirkan analisis mengenai nubuwwah. Ketika menelaah konsep
“nubuwwah" muncul beragam asumsi-asumsi yang berubah menjadi
hipotesis seperti “apa perbedaan antara nubuwwah dan filosof?', “signifikansi
wahyu dan akal", “nubuwwah itu sesuatu yang ditetapkan atau sesuatu yang
dapat diupayakan ?".42
Maka, Tuhan, alam dan manusia adalah objek dari filsafat Islam. Dimana
kajiannya bisa jadi tertuju pada hal fisis atau metafisis tiga komponen
tersebut. Dan untuk menspesialisasikan bidang kajian - karena pembahasan
mengenai tiga objek tersebut juga melahirkan ilmu- ilmu lainnya- ditetapkan
beberapa tema yang hanya para filosof muslim saja yang membahasnya dan
tidak menjadi pembahasan di bidang keilmuan lainnya.
5)
Bidang kajian; awalnya para filosof muslim mengkaji filsafat-filsafat
yang datang dari Yunani, baik yang murni Yunani atau yang telah
terhellenisasi, artinya mirip sekali dengan upaya islamisasi filsafat Yunani,
tetapi kemudian berkembang menjadi kajian “hikmah" atau yang diistilahkan
Henry Corbin dengan “theosophy".
Sebagaimana kata aslinya, filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang
diterima Islam dari Yunani dan dunia hellenis. Meski jika dikaji secara
metodologis, Islam melalui ayat-ayat al-Qur’an telah mengisyaratkannya
namun karena pengembangan dan ketetapannya sebagai sebuah disiplin ilmu
oleh Yunani. Maka, filsafat menjadi “hak paten" bangsa Yunani.
Wajar jika kemudian Islam sebagai pewaris “tunggal’’ filsafat Yunani di
awal penelaahannya mengkaji pemikiran-pemikiran dalam filsafat Yunani.
Setelah pengkajian itu, dilakukan semacam penyaringan atau kounterisasi
dari pemikiran-pemikiran Yunani yang dirasa kurang “pas’’. Arah pembaruan
inilah yang secara perlahan menggeser tema- tema kajian yang awalnya
berkarakter Yunani menjadi karakter Islam. Oleh karena itu, kata filsafat
yang merupakan bahasa transliterasi dirubah dengan bahasa Arab yang
diperkirakan memiliki makna sama yakni “hikmah".
Semakin jauh perkembangan filsafat Islam berjalan, al-Qur’an dan hadis
semakin melandasi pemikiran-pemikiran filosof muslim. Secara perlahan
karakteristik Yunani mulai berkurang dan Islam menunjukkan identitasnya.
Bahkan sebagaimana yang dikatakan A.
Epping, filsafat skolastik yang dikembangkan oleh St. Thomas Aquinas
merupakan hasil produksi pemikiran filosof muslim.44
D.
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT ISLAM
Sejalan dengan proses perkembangan filsafat dalam Islam, pengkajian
terhadap tema-tema filsafat Islam mengalami proses metodologis yang
berbeda dari satu tahap dengan tahapan lainnya. Perubahan metodologis itu
dipengaruhi oleh cara pandang setiap filosof dalam memahami objek
kajiannya. Oleh karena itu, lahirlah berbagai macam aliran-aliran dalam
filsafat Islam.
1)
Aliran Peripatetik
Istilah “peripatetik” dijelaskan Mulyadhi merujuk pada kebiasaan Aristoteles
dalam mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya. Peripatetik
(masya'un) berarti “ia yang berjalan memutar dan berkeliling”. Ini merujuk
pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridmuridnya ketika ia mengajarkan filsafat. Beberapa filosof yang dikategorikan
dalam aliran ini, yaitu al- Kindi (w.+ 866), al-Farabi (w, 950), Ibn Sina (w.
1037), Ibn Rusyd (w. 1196) dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274).45 Adapun
“peripatetik” dalam kaitannya dengan filsafat Islam, menurut Mulyadhi,
dikenali dalam beberapa hal: (1). Modus ekspresi atau penjelasan para filosof
peripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan logka formal
yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur penalaran mereka adalah
“silogisme”, yakni metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang
telah diketahui dengan baik, yang tersusun dari premis mayor dan minor,
yang kemudian menghasilkan term yang mengantarai dua premis tersebut
dan disebut “middle term” atau al-hadd al-awsath; (2). Karena sifatnya yang
diskursif, filsafat ini menangkap objeknya dengan menggunakan simbol, baik
berupa kata-kata atau konsep maupun representasi. Langkah pengetahuan ini
diperoleh secara tidak langsung melalui perantara,atau yang disebut dengan
“indifferensial” dan biasanya dikontraskan dengan modus pengenalan lain
yang disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) yang menangkap
objeknya secara langsung melalui kehadiran; (3). Ciri lain dari filsafat
Peripatetik dari sudut metodologis ini adalah penekanan yang sangat kuat
pada
daya-daya rasio sehingga kurang memprioritasakan pengenalan intuitif.
Akibat penekanan yang terlalu tinggi pada daya-daya akliah, pembahasan
mereka seringkali dikatakan tidak memperoleh pengetahuan yang otentik-
pengalaman hasil olah spiritual/ mistik-.45 Namun, itu tidak berarti mereka
menafikan keberadaan daya-daya spiritual yang diproduksi dari intuisi suci.
Mereka meyakini bahwa proses intuisi suci merupakan kemampuan yang
hanya dimiliki Nabi atau wali. Sehingga proses pencarian dan pencapaian
kebenaran yang dilakukan oleh selain Nabi dan wali adalah dengan melatih
rasionalitas fikir. Aliran ini barangkali pantas disebut sebagai wakil dari
rasionalis Islam. Contoh nyata aliran ‘peripatetik” ini misalnya dalam ajaran
mereka yang biasa disebut hylomorfisme, yaitu ajaran yang menyatakan
bahwa apa pun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya itu
materi (hyle/ al-hayula) dan bentuk (morphis/ shurah). Dalam sejarah
dilsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles, sebagai hasil
reformasi terhadap ajaran gurunya, Plato, yang mengatakan bahwa apa pun
yang ada di dunia ini tidak lain daipada bayang-bayang dari ide-ide yang ada
di dunia atas -yang kemudian biasa disebut dengan ide-ide Plato (platonic
ideas). Ide-ide ini kemudian diformulasikan Aristoteles sebagai bentuk, dan
bayang- bayangnya sebagai materi. Tetapi bentuk disini tidak dimaksudkan
sebagai sebuah wujud materi melainkan semacam esensi (hakikat), dan
materi adalah bahan mati yang takkan memiliki wujudnya jika tidak diisi
oleh esensi dan diberi bentuk.
Di dunia Islam, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd memiliki
pandangan hylomorfis ini. Indikasi terkuat dari pengembangan makna
hylomorfis ini misalnya pada penyebutan akal aktif (al-‘aql al-fa’al) oleh
Ibnu Sina dan al-Farabi sebagai pemberi bentuk (wahib al- shuwar). Di sisi
lain, materi atau bahan disebut dengan mumkin al- wujud, yaitu
kemungkinan atau potensi dari sesuatu untuk mewujud, namun belum lagi
mewujud. Untuk menjadikan potensi-potensi ini mewujud maka perlu
ditambahkan bagi materi itu -mumkin al-wujud- bentuk. Setelah
penggabungan tersebut, materi tersebut telah memiliki wujud atau menjadi
nyata, ada dan berbentuk sebagaimana yang dapat dilihat oleh kita.47
Perubahan arah prosedural dari “bahan" atau mumkinul wujud inilah yang
menjadi letak perbedaan antara filsafat Yunani dan Islam.
Meski diakui perubahan ini hanya memberikan sedikit “informasi" dari
ajaran Islam, namun sebagai sebuah ijtihad awal dari pembacaan kritis
terhadap filsafat Yunani ini sudah sangat dapat dan berhak mendapatkan
apresiasi. Sebagai gambaran adalah reinterpretasi filosof muslim terhadap
teori emanasi sebagai gambaran perubahan dari “nihilo” menjadi “wujud".
Menarik karena akal aktif diidentikkan dengan malaikat jibril, sebelum
kemudian memikirkan dirinya sendiri dan berubah menjadi aktualisasi akal
manusia. Identifikasi malaikat inilah merupakan pengaruh Islam dalam
filsafat Yunani, karena Yunani tidak mengenal identitas malaikat.
Meski teori emanasi merupakan ide Plotinus, namun al-Farabi dan Ibnu Sinalah yang memperjelas proses dan perjalanan emanasi tersebut sampai
kemudian berwujud pada manusia. Perlu diketahui, Aristoteles tidak
menjelaskan bagaimana proses perubahan dan pemberian bentuk dari esensi
pada materi, dan Plotinus tidak merinci bagaimana emanasi memunculkan
ragam materi yang sangat banyak ini. Apalagi -saat itu terdapat- diktum
filosofis telah diterima secara umum, yang menyatakan bahwa dari yang satu
akan muncul yang satu juga.
2)
Aliran lluminasionis (isyraqi)
Aliran lluminasionis didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi al-Maqtul (w.
1911), ide-idenya mengenai illuminasionis dituangkan dalam Kitab Hikmah
al-lsyraq. Berbeda dengan peripatetik, yang lebih menekankan penalaran
rasional sebagai metode berfikir dan pencari kebenaran, filsafat
llluminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode
intuitif, sebagai pendamping atau malah menjadi dasar bagi penalaran
rasional.
Suhrawardi pernah mengklasifikasi pencari kebenaran dalam tiga kelompok:
(1) mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam -seperti para
sufi- tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan
pengalamannya itu secara diskursif; (2) mereka yang memiliki kecakapan
nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalamana mistik yang cukup
mendalam dan (3) mereka yang disamping memiliki pengalaman mistik yang
mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa
diskursif.48
Pengalaman mistik diterangkan Suhrawardi sebagai sebuah pengalaman
langsung melihat realitas sejati, itu sebabnya illuminasionis memiliki modus
pengenalan yang disebut dengan “ilmu hudhuri" lawan dari peripatetik yang
merupakan pengenalan melalui simbol-simbol yang tampak. Arti penting
pengalaman mistik bagi seorang pencari kebenaran adalah pengetahuan
sejati, karena untuk mengetahun kebenaran yang nilainya sangat “absurd” ini,
diperlukan tidak hanya akal tapi juga sense, atau yang dalam bahasa
Sindhunata dikutip Haidar Baghir dengan rahsa.49 Dari sintesa mistik dan
'aqli inilah, Suhrawardi kemudian menjelaskan konsep metafisika cahaya.
Bagi Suhrawardi, Tuhan adalah cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang
sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya
di atas cahaya (Nur al-Anwar), la adalah sumber cahaya, dari mana semua
cahaya lainnya berasal atau memancar. Menurutnya, segala sesuatu yang ada
di dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang
memiliki wujud positif, dan kegelapan adalah negatif, dalam arti tidak
memiliki realitas objektif. Kegelapan ada sebagai konsekuensi dari ketiadaan
cahaya, maka ketika cahaya datang kegelapan telah sirna.50 Bagi Suhrawardi
benda-benda tidak memiliki definisi atau kategori yang tegas, ini jelas
berbeda dari apa yang disampaikan kaum peripatetik, yang beranggapan
bahwa bentuk benda merupakan kategorik. Artinya, benda bagi peripatetik
adalah wujud yang tetap tetapi bagi illuminasionis benda-benda bersifat
relatif. Karena pandangannya ini, illuminasionis memberikan penekanan
lebih pada esensi dan tidak pada bentuk berwujud. Jika Ibnu Sina meyakini
wujud yang real melalui bentuk yang terlihat dan nyata, bagi Suhrawardi,
esensilah yang real, sedangkan wujud tidak memiliki hubungan realistik
dengan realitas
3)
Aliran 'Irfani (tasawwuf)
Aliran ‘Irfani atau juga disebut dengan tasawwuf sering tidak dikategorikan
ke dalam aliran filsafat. Karena, sementara filsafat bertumpu dalam
kegiatannya pada penalaran rasional, tasawwuf bertumpu pada pengalaman
mistik yang bersifat supra-rasional. Tetapi dalam perkembangan filsafat
pasca- Ibn Rusyd, tasawwuf
semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Seperti dikatakan oleh Ibnu
Khaldun, baik teologi (ilmu kalam) maupun tasawwuf, pada masanya telah
bercampur sedemikian rupa dengan persoalan- persoalan filsafat.
Sifat aliran 'irfani sebagaimana karakter sufi, lebih mengedepankan intuitif
atau yang mereka sebut dengan “hati”. Sayangnya aliran ini lebih didominasi
oleh penalaran intuitif dan sangat meminimalisir penggunaan penalaran akal.
Para sufi menyebut modus pengetahuan ini dengan “ma’rifah", bagi mereka,
persepsi intuitif dapat langsung mencapai pengetahuan tepat di jantung
objeknya dan persepsi akal terikat oleh hal-hal yang lahiriah sehingga
membutuhkan perantara. Jalaluddin Rumi memperjelas perbedaan tersebut
sebagai berikut; jika anda diberi pertanyaan retorik, “bisakah anda
menyunting mawar dari M.A.W.A.R ?, “tidak, anda baru menyebut nama”,
kata Rumi, “carilah yang empunya nama".51 Pengenalan akliah secara instan
menunjukkan penyuntingan mawar menjadi M.A.W.A.R, adalah karena akal
mengikat dirinya dengan simbol-simbol. Padahal mawar adalah tanaman di
taman bunga, dan kata mawar hanyalah simbol-simbol. Pengetahuan akal
yang mesti bergantung pada simbol-simbol itulah yang membuat intuitif jauh
memiliki peran secara langsung dan tepat sasaran daripada penalaran akal.
Ibn ‘Arabi adalah potret pemikiran filosofis aliran ‘irfan, Ibn ‘Arabi
menggulirkan wacana “wahdatul wujud” atau kesatuan wujud, yang
menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu
wujud sejati, yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lain dari sekedar
manifestasi (tajalliat) dari wujud sejati tersebut, yang pada dirinya tidak
memiliki wujud sejati seperti Tuhan.
Hubungan antara wujud sejati (Tuhan) dengan alam ini, digambarkan Ibn
‘Arabi, lewat “Wajah" dan “gambar wajah" yang muncul -pantulan- dari
berbagai cermin. Dan karena posisi cermin, demikian juga kualitasnya,
berbeda antara satu dengan lainnya, maka pantulan Wajah yang sama dan
satu itupun nampak berbeda- beda. Itulah sebabnya, sekalipun Tuhan itu esa,
tetapi pantulannya (alam semesta) beraneka jenis. Karena hubungan wujud di
dalam cermin sangat bergantung pada wujud di luar cermin, maka jika wujud
nyata di luar cermin bergeser, menjauh atau bahkan menghilang membuat
pantulan-pantulan cermin atau gambar yang
berada di dalam cermin menjadi bias dan menghilang. Artinya, jika Tuhan
menjauh, aneka alam ini turut kehilangan eksistensinya karena pantulan
gambar yang tercermin semakin melemah.52 Karena itu, bagi aliran ‘irfani,
Tuhan adalah immanent sekaligus transenden. Immanent karena hadir di
jantung alam ini, keberadaan alam ini tergantung pada kehadiran Tuhan di
depan cermin dan karena alam pantulan “Wajah” Tuhan, maka secara
eksplisit -dan sebagai pantulan- alam adalah gambaran dari wajah Tuhan
yang bergantung pada kehadirannya. Tetapi, alam tidak sama dengan Tuhan,
alam adalah manifestasi Tuhan, karena manifestasi adalah akibat, maka yang
dimanifestasikan adalah sebab, dan tentu saja sebab akan jauh lebih real dan
fundamental dari akibat. Demikian juga, sementara alam sangat tergantung sebagai manifestasi- pada Tuhan, yang dimanifestasikan, Tuhan sama sekali
tidak tergantung keberadaan-Nya pada apapun selainnya. Oleh karena itu,
meski para sufi beranggapan Tuhan adalah immanent (hadir di jantung alam),
Tuhan juga transendent (tidak sama dengan alam atau dengan apapun
selainnya).
4)
Aliran Hikmah Muta'aliyyah
Aliran filsafat hikmah muta'aliyyah, diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad
ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan
nama Mulia Shadra. Mulia Shadra adalah seorang filosof yang berhasil
mensintesiskan tiga aliran pemikiran, peripatetik, iluminasi dan 'irfani. Dari
sudut epistemologis, aliran hikmah muta'aliyah tidak terlalu jauh berbeda dari
aliran illuminasionis, seperti iluminasionis, filsafat hilmah juga percaya
bukan hanya pada akal diskursif tetapi juga pada pengalaman mistik. Namun
lebih dari itu, filsafat hikmah menekankan bahwa pengalaman mistik bukan
hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan harus
diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi publik.53 Adapun dari
aspek ontologis, aliran ini agaknya dipengaruhi dengan teori “wahdatulwujud" al-Farabi. Meskipun begitu tetap ada perbedaan signifikan diantara
keduanya, itu sebabnya keduanya tidak berada dalam aliran yang sama.
Wujud sendiri menurut Shadra adalah eksistensi, wujudlah yang real,
sedangkan esensi (mahiyyah) hanya ada dalam fikiran manusia saja, tidak
betul-betul berada di luar fikiran, yaitu pada benda-benda eksternal.54
Menolak pendapat Suhrawardi yang memahami wujud adalah esensi, Shadra
mengatakan, “betul bahwa apa yang kita pahami tentang wujud itu memang
esensi. Tetapi jika dipertanyakan mengenai wujud sejati, dan bukan hanya
konsep atau pemahaman kita tentang wujud, kalau kita menggantungkan
makna pada esensi saja maka yang ada hanyalah pikiran saja bukan realitas
sejati. Selanjutnya, bagi Shadra, wujud sejati bukan esensi atau pemahaman
tentang wujud, tetapi wujud itu sendiri.
Adapun wujud seperti itu tidak perlu dibuktikan, karena ia akan terbukti
dengan sendirinya (self-evident/ badihi), karena sebelum kita mengatakan
bahwa seseuatu itu “ada" atau dianggap ada, kita tentu telah mengetahui dan
meyakini secara intuitif bahwa sesuatu itu adalah ada.54 Misalnya jika kita
ingin mengatakan bahwa sesuatu itu adalah “meja", kita tentu telah memiliki
keyakinan atau pemahaman mengenai esensi meja dan telah merasa bahwa
ada bentuk meja dalam fikir kita. Namun sebelum itu menjadi terlihat dan
nyata, wujud itu masih terputus sampai dengan esensi dan belum memiliki
realitas di dunia. Ketika meja tersebut telah nyata, atau bereksistensi, meja
tersebut menjadi real. Adapun jika kita menolak keberadaannya, meskipun ia
ada, ia tetap eksis dan ada. Itu sebabnya Wujud sejati ada karena ia memang
ada dengan sendirinya, dan kita meskipun menolaknya, kita menyadari secara
intuitif bahwa Dia ada.
Shadra juga meyakini bahwa wujud hanyalah satu, adapun yang
membedakan wujud yang satu dengan wujud yang lain bukanlah kewujudan
mereka tetapi karena perbedaan esensi-esensi mereka. Hubungan wujud satu
dengan wujud-wujud lainnya, disebut Mulia Shadra dengan tasykik al-wujud
atau gradasi wujud. Yang diartikan Fajlur Rahman sebagai “ambiguitas
sistematik" wujud. Menurutnya, wujud disebut “ambiguitas sistematik”
karena disamping menjadi prinsip keesaan, ia juga bertindak sebagai prinsip
kebhinekaan. Oleh karena itu, ketika wujud disebut satu, tetapi pada saat
yang bersamaan ia juga banyak dan beraneka.55 Artinya, memahami realitas
wujud dalam alam ini memerlukan lebih dari satu aspek, rasional dan intuitif.
Jika intuitif melihat wujud dengan esensi, dan akal melihat dengan materi
atau bahan atau yang telah terketahui, terekam maka gabungan keduanya
melihat bentuk dari wujud yang telah diketahui keberadaannya, namun kedua
tahap ini tidak mencapai
kesempurnaan jika yang mengerti dan memahami “wujud" ini hanya satu
individu dan tidak menjadi pengetahuan publik. Eksistensi ini lah yang
dijelaskan Shadra, bahwa sesuatu yang wujud adalah yang eksis, yang diakui,
yang dipahami oleh publik.
E.
FILSAFAT ISLAM, TEOLOGI (KALAM), TASAWUF;
SEBUAH RELASI DIALOGIS
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, filsafat awalnya
merupakan identifikasi yang diberikan untuk ilmu-ilmu rasional yang tidak
mendasari diri pada wahyu. Namun, seiring dengan perkembangan
intelektualitas di dunia dan di kalangan muslim, filsafat menjadi spesialisasi
keilmuan tersendiri. Tetapi sesungguhnya seperti sebuah paket intelektual
Islam, filsafat merupakan hasil olah disiplin keilmuan dengan pergumulannya
bersama disiplin keilmuan lainnya. Oleh karena itu, dituturkan Nasr, filsafat
mengalami semacam pergeseran atau bisa juga disebut perkembangan dari
falsafah dan kemudian hikmah, dan sebagaimana yang telah disampaikan
ilmu kalam atau teologi dan tasawwuf adalah dua bidang keilmuan Islam
yang seringkali bertubrukan atau juga berseberangan dengan filsafat Islam.
Ilmu kalam atau yang biasa diterjemahkan sebagai “teologi spekulatif’
merupakan salah satu cabang pengetahuan dalam Islam, makna kalam secara
harfiah berarti “perkataan", “pembicaraan" atau “kata- kata”. Sebuah
pernyataan yan dikemukakan Malik (w. 179 H) menjelaskan hubungan antara
“pembicaraan” seperti itu dengan kata kalam dalam batas makna leksikalnya,
la berkata, “Hati-hatilah terhadap bid'ah ...; mereka yang membicarakan
(yatakallamuna fi) Nama-nama dan Sifat- sifat Tuhan, Firman-Nya,
Pengetahuan dan Kekuasaan-Nya, dan tidak berdiam diri (yaskutun) tentang
hal-hal yang tidak dibicarakan oleh para sahabat Nabi dan pengikut mereka”.
Sebagai seorang ahli hukum, Malik juga menyatakan, “Aku tak suka kalam
kecuali dalam hal yang melibatkan 'amal (tindakan, perbuatan), tetapi dalam
kalam tentang Tuhan, diam adalah lebih baik daripada bicara.57
Ilmu ini kemudian dirumuskan Muhammad Abduh, dengan definisi sebagai
berikut;
“ilmu yang mengkaji Wujud dan Sifat Tuhan, penegasan- penegasan yangesensial dan yang-mungkin tentang Dia, dan juga penafian yang mesti dibuat
berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam juga berhubungan dengan para rasul dan
keautentikan pesan mereka serta pengujian terhadap kualitas mereka yang
esensial dan yang benar dan apa yang tidak sesuai dalam kaitannya dengan
kualitas tersebut".58
Kalam dalam pengertian teknisnya melibatkan penyampaian- penyampaian
bukti-bukti rasional untuk memantapkan rukun iman. Hal ini diisyaratkan alQur’an dalam banyak tempat, yang menggarap subjek- subjek teologis
sekaligus mungkin bisa menjadi “ranah" filsafat. Beberapa masalah mengenai
penciptaan, pengetahuan Tuhan bahkan daya-upaya manusia, serta
bagaimana Tuhan turut atau tidak mempengaruhi daya manusia. Dan alQur'an mengisyaratkan keberadaan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, di
ayat-ayat mutasyabihat ini-lah, kalam memainkan peranannya, dan
sebenarnya seluruh upaya -ijtihad- yang dilakukan oleh teolog-teolog itu,
termasuk di dalamnya penakwilan-penakwilan terhadap ayat-ayat
mutasyabihat, adalah sebagai sebuah usaha untuk semakin mendekatkan dan
mengesakan Tuhan.
Menurut Harun Nasution, ajaran inti yang terkandung dalam al-Qur’an
adalah ajaran tauhid. Untuk mengesakan -menyembah- Tuhan ini kemudian
al-Qur’an mensyaratkan syari'ah termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat
dan haji. Namun beberapa orang merasa aktivitas syari’ah tidak cukup
memuaskan dahaga spiritualitas mereka. Mereka kemudian berijtihad
menggali ayat-ayat mutasyabihat yang berisi rahasia-rahasia tersembunyi,
dan sebagian lain menenggelamkan diri dalam tasawwuf.59
James Pavlin menyebutkan bahwa secara umum, kontroversi terjadi di
seputar pengetahuan Tuhan dan sifat-sifatNya. Topik ini melibatkan konsepkonsep seperti kalam Tuhan, yang berkaitan dengan ke-bukanmakhluk-an alQur’an, dan kehendak Tuhan yang berkaitan dengan kepercayaan pada
keterciptaan dunia. Persoalan ini menjadi bahasan penting aliran mu’tazilah,
filosof muslim dan aliran asy'ariyyah —sunni-, dan bagian terpelik dari
kontroversi ini dituturkan Pavlin adalah metodologi yang digunakan untuk
menjelaskan setiap problem.60
Pendorong utama pemakaian kalam hadir ketika pengaruh filsafat dan logika
Yunani merasuk ke dalam pemikiran kaum muslim. Para mutakallim yakin
bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan perlu
ditafsirkan melalui argumen berdasarkan bukti- bukti logis. Menariknya,
logis disini dipengaruhi oleh epistemologi dalam memandang teks, sebagian
dari mereka -mu'tazilah- melandaskan modus pengetahuan mereka pada akal
untuk menakwil atau menafsirkannya, dan sebagian lainnya -asy’ariyyahmelandaskan modus pengetahuan mereka pada wahyu dengan meminimalisir
akal.
Sayangnya, karena akal memandang dari berbagai sisi, akal juga
menghasilkan konsep takwil dan tafsir ayat atau bahkan hadis dengan
interpretasi yang berbeda. Oleh karena itu, bermunculan aliran-aliran
pemikiran kalam, sesuai dengan perspektif mereka dalam memahami firmanfirman Allah. Momentum kalam semakin menggema, saat pemerintahan
Khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun melegitimasi salah satu dari banyak aliran
kalam menjadi dasar negara. Kebijakan ini menimbulkan polemik, reaksi
keras dari kaum tradisional, yakni sarjana- sarjana di bidang hadis. Dasar
pemikiran mereka bahwa hadis adalah bayan al-Qur'an, tidak ada penjelasan
bagi ayat-ayat antrophormofisme atau mutasyabihat, menerima ayat-ayat
tersebut dengan iman. Persoalan ini secara langsung menciptakan semacam
jurang perbedaan antara ahlu ra’yi yang diwakili oleh teolog dan filosof
dengan ahlu al-hadis.61
Persoalan mengenai tauhid dan persepsi mengenai konsep- konsepnya
menjadi semacam wacana dimana semua fihak turut berpendapat, terutama
kemudian setelah wacana ini menjadi kebijakan pemerintah. Pro-kontra
menjadi semakin luas dan menghasilkan beragam pemikiran cemerlang, abad
ke-3 hijriyah disebut-sebut sebagai perbenturan antara ahlu ra’yi dan ahlu alhadis. Menariknya, di abad ini, pengetahuan-pengetahuan berbasis akal
mencapai keemasannya begitu pula hadis. Al-Kindi muncul di abad ini, alBukhari juga menciptakan karya monumentalnya di abad ini.
Artinya, sebelum filosof menyampaikan ide-ide filosofisnya, sebenarnya
ilmu kalam adalah gerbang yang membuka jalan masuk filsafat, kalam juga
yang menginspirasi karakter khas filsafat Islam. Teori kenabian al-Farabi dan
konsep malaikatnya Ibnu Sina diperkirakan adalah upaya untuk
menghasilkan ide yang dapat diterima umat saat itu.
Lebih dari itu, perdebatan-perdebatan yang menarik di Syria dan lraq, antara
orang-orang Muslim dan pengikut agama lain - terutama orang Kristen,
Mazda dan pengikut Mani, semuanya telah mengembangkan argumenargumen secara filosofis dan teologis untuk mempertahankan ajaran
keyakinan mereka- yang menyebabkan orang- orang Muslim mencari suatu
bentuk pengembangan rasional dari apa yang mereka miliki, untuk
melindungi dan mempertahankan Islam.62
Kalam dalam hal ini menjadi benteng pertahanan agama Islam ketika
bersinggungan dengan agama lain, daya rasio adalah faktor untuk
menerangkan berbagai macam pembuktian bagi agama lainnya termasuk
menghindari dari kritik-kritik yang mungkin bisa saja memberi pengaruh
buruk bagi perkembangan Islam. Di sisi lain, upaya-upaya teologis ini
membantu memberikan interpretasi-interpretasi doktrinal Islam dalam bahasa
logis.
Uniknya, filsafat dan perkembangan pemikirannya relatif sejalan senada
dengan perkembangan kalam. Hubungan dialogis ini mencerminkan bahwa
filosof turut mengkritisi berbagai pemikiran teologis. Lihat saja, bagaimana
para filosof awal, dimana mu'tazilah memiliki peran penting sebagai
madzhab negara saat itu. Al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina, relatif lebih
banyak mensandarkan pemikirannya pada pemikiran- pemikiran yang
berkembang di Yunani. Kajian filosofis mereka secara umum masih sama
atau tidak melompat terlalu jauh dari Yunani, meski tak dipungkiri mereka
berhasil membuat sebuah formula emanasi yang lebih “tauhid”. Walaupun
dalam beberapa hal, mu’tazilah dan filosof tidak selamanya sependapat,
namun daya rasionalitas yang dominan pada mu’tazilah dinilai senada
dengan filosof yang juga bersandar pada akal.
Lalu, ketika mu'tazilah mulai meredup, dan asy'ariyah berkembang dengan
baik dan menjadi semacam madzhab berfikir kaum muslim, arah
perkembangan filosofis turut pula mendapat pengaruhnya. Perlu diketahui
perbedaan mendasar diantara mu'tazilah dan asy'ariyah adalah cara pandang
mereka dalam menginterpretasikan sesuatu. Mu'tazilah terlalu mengagungkan
akal, adapun asy’ariyah berupaya mensistensikan antara akal dan dalil-dalil
naqli. Apalagi setelah terjadi mihnah -Ahmad Ibn Hanbal- , dan reaksi yang
muncul dari tradisionalis -ahlu al-hadis-. Asy’ariyah yang dimotori oleh Abu
al-Hasan al-Asy’ari, ini mencoba menempuh jalan tengah antara dua
ekstremitas; yakni para rasionalis mu’tazili, yang membuat wahyu di bawah
penalaran, dan para eksternalis yang berbeda pendekatannya, yang menolak
peranan nalar dan kembali bersandar pada makna dzahir ayat-ayat al-Qur’an
dan hadis secara murni.63
Pesan teologi asy’ariyah dan makna spiritualnya membuat hubungan unik
dengan metafisika, voluntarisme asy'ariyah atau paham Kemahakuasaan
Tuhan meski di satu sisi melawan kebebasan dan realitas intelegensi manusia
dan kedap terhadap sifat-sifat Tuhan, karena -walau tidak sepenuhnyamenggantungkan daya manusia kepada kehendak Tuhan. Voluntarisme
menekankan kehadiran Tuhan dalam hari demi hari manusia, dari paham ini,
asy'ariyah telah menempatkan apa yang sebelumnya dapat disebutkan
atomisme atau okasionalisme. Paham ini menurunkan fenomena dunia dari
ketiadaan dan mempertahankan bahwa dunia ditiadakan dan diciptakan
kembali pada setiap saat peristiwa dengan penonjolan dominasi kehendak
Ilahi di atas segala sesuatu dan semua peristiwa.64
Doktrin atomisme ini, yang berdiri melawan pandangan metafisikawan,
filosof dan ilmuwan Islam atau pada problem yang sama dengan sains
modern. Mereka berpandangan bahwa hanya terjadi “penyebab horisontal”
dan menafikan "penyebab vertikal" dalam menjelaskan fenomena sesuatu.65
Singkatnya, maksud doktrin atomisme/ okasionalisme mengingatkan pada
kita bahwa secara terus- menerus Tuhan hadir dan aktif dalam segala sesuatu,
dan memberikan sugesti pada kita bahwa dunia ini hanya akan dilanda chaos,
jika tanpa kehadiran Ilahi. Menghargai cara ini, atomisme asy’ariyah adalah
suatu pengingat tentang kehadiran Ilahi, atau suatu pengantar pada
transendensi yang mengagumkan.
Atomisme asy'ariyah yang padanya ada kontinuitas dan diskontinuitas
sekaligus, antara prinsip Ilahi dan manifestasi- manifestasinya serta antara
immanent dan transenden, telah mengilhami Ibn ‘Arabi mengembangkan
teori gnosis-nya. Teologi asy’ariyah tidak hanya menyebar dalam dunia
Sunni tetapi juga berkombinasi dalam lingkungan utama Sufisme. Intinya
menempatkan gnosis, yakni pengetahuan iluminatif yang diaktualisasikan
dengan bantuan wahyu, melalui intelek imanen yang simbolnya adalah
hati.66
Meskipun begitu, madzhab asy'ariyah “dianggap" tidak pernah menyediakan
suatu pertahanan rasional tentang ajaran-ajaran keimanan dan membuat suatu
iklim, dimana kebenaran adalah nyata dan kehendak Tuhan yang supreme.
Nasr mengungkapkan teologi syi’ah-lah yang kemudian berupaya menyentuh
ke dalam pembahasan-pembahasan rasional tersebut, Mulia Shadra adalah
orang yang berhasil memberikan penjelasan yang lebih sistematis dan
mengalir tentang metafisika bagaikan menuangkan madu dari sebuah guci.67
Perlu diketahui, bahwa sampai abad XI, flsafat berkembang di dunia Islam
bercorak peripatetis yang mencapai puncak di tangan Ibnu Sina dan
pengikutnya. Tetapi pada masa dinasti Saljuk yang ditandai dengan
perkembangan madrasah Nizamiyah, posisi filsafat digantikan oleh ilmu
kalam, terutama setelah al-Ghazali menyerang filsafat lewat bukunya Tahafut
al-Falasifah, sejak itu tradisi filsafat di dunia Islam Timur, yang berada di
bawah pengaruh sunni -atau jika dapat dikatakan asy’ariyah-, mengalami
kelesuan, kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam Barat,
tepatnya di Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di
tangan Ibnu Rusyd. Bersamaan dengan itu, filsafat kembali menggeliat
namun berada di dunia timur, di wilayah syi'ah. Tradisi intelektual Islam
Timur kembali hidup tetapi hanya di wilayah-wilayah syi’ah dan
diperkirakan tetap stagnan atau mati suri di wilayah-wilayah sunni.68
Perkembangan filsafat di wilayah syi’ah ini ditandai pada abad ke VI H/ XII
M, dimana Suhrawardi mengkritik beberapa ajaran dasar filsafat iluminasi
yang bersifat mistis (hikmah al-lsyraq) yang mempunyai banyak pengikut.
Namun Suhrawardi tidak pernah meragukan hak akal untuk menyelami
rahasia-rahasia keagamaan yang paling dalam. Hak ini telah dipertanyakan
oleh kaum tradisionalis dan teolog-teolog konservatif, para fuqaha, banyak
sufi dan masyarakat umumnya. Kedudukan Suhrawardi yang penting dalam
sejarah pemikiran pasca- Avicennian terletak dalam usahanya untuk
mempertahankan kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika dan
kewajuban para pencari yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran
darimanapun sumbernya: dalam filsafat Yunani, Pemikiran Persia Kuno,
Neo-Platonisme Muslim dan juga Sufisme.
Arus lsyraqi yang dilepas Suhrawardi terus mengalir deras khususnya di
lingkungan syi’ah selama masa dinasti Syafawi di Persia. Pendiri Dinasti
Syafawi, Syah Isma’il (1500-1524) yang mengakui berasal dari ordo sufi
yang mengacu ke abad XIII, mengambil bagian dalam pelaksanaan sistem
kepercayaan Sy'ah di seluruh Persia dalam suatu cara tertentu. Akibatnya,
perhatian kepada filsafat dan teolog yang telah mengalami kemunduran
selama periode Mongol, kini hidup kembali.
Pada abad XIII, Nasir al-Din al-Tusi, seorang filosof peripatetis terkemuka,
terpengaruh oleh beberapa pandangan sufi iluminasi, melakukan “counter
attack”, dan mengembalikan "nama baik" filsafat Peripatetis lewat karyanya
Syarh al-lsyarat (Syarah terhadap kitab panduan dan penelitian karya Ibnu
Sina). Bersamaan denga itu, pada abad XIII juga muncul tokoh-tokoh besar
di bidang spiritual yang bercorak gnosis atau ‘irfan, seperti Ibn ‘Arabi, alQunawi dan Jalai al-Din al-Rumi.
Di bidang kalam, seabad sebelum kemunculan Mulia Shadra, aliran kalam
sunni sedang mengembangkan dirinya, Qadi ‘Adud al-Din Iji, Sa’d al-Din
Taftazani dan Sayyid Syarif al-Jurzani sampai dengan Syekh Waliullah di
India. Tetapi dalam tahap tertentu, pemikiran sunni ini lebih dekat dengan
konsep-konsep sufi. Berbeda dengan sunni, syi’ah mengembangkan konsep
yang lebih rasional dan banyak menyandarkan rujukannya pada Ibnu Sina
dan para filosof awal.69
Namun demikian, karya sistematis pertama dalam ilmu kalam syi’ah ditulis
oleh Nasir al-Din Thusi pada abad ke XIII dengan judulk “Tajrid". Sejumlah
syarh dan hasyiyah tentang Tajrid telah ditulis oleh beberapa pengikut Thusi
sampai satu atau dua generasi sebelum Mulia Shadra. Keempat aliran
pemikiran Islam di atas, filsafat Peripatetis, lluminasionis/ isyraqi, kalam
sunni-syi'ah, mempengaruhi proses pembentukan tradisi pemikiran syi'ah di
kerajaan Safawi dan menghasilkan penggabungan yang kemudian digagas
oleh Mir Damad, yang kemudian diformulasikan dan dikembangkan oleh
Mulia Shadra.70
Latar belakang intelektual Shadra ini dan perjalanan menuju teologi Syi’ah
dan perkembangan pemikiran filsafat pasca Ibnu Sina dan pasca “serangan’’
al-Ghazali menunjukkan bahwa dalam beberapa hal filsafat Islam, tasawwuf
dan teologi melakukan hubungan dialogis yang sangat menarik. Satu dengan
lainnya memberikan semacam keterkaitan meski tidak memiliki kesamaan.
Sebagaimana dituturkan Nurcholish Madjid, “gelombang Hellenisme
merupakan suatu pengalaman yang tercampur antara manfaat dan madlarat
bagi kaum muslimin, dan membuat mereka terbagi antara yang menyambut
dan yang menolak. Responsi mereka kepadanya bisa menjadi ukuran
kreativitas orang-orang Islam dalam menghadapi suatu bentuk tantangan
zaman”.
IKHTISAR
a Disebut dengan filsafat Islam karena para filosof ini merupakan orangorang muslim (beragama Islam) dan melandaskan pembahasannya juga pada
ajaran Islam.
b Tidak bisa dikatakan dengan filsafat Arab karena tidak seluruhnya ditulis
dalam bahasa Arab, tetap ditemukan karya-karya yang ditulis dengan bahasa
Persia.
c Tidak pula dapat diidentifikasi dengan filsafat dalam Islam, karena
memiliki pengaruh yang kuat dengan Yunani, Hellenisme, dan aliran- aliran
teologi dalam Islam sendiri
d Terdapat empat aliran pemikiran filsafat: peripatetic, lluminasionis, ‘Irfani
dan Hikmah Muta’aliyah
e Proses perpaduan budaya dan pemikiran mempengaruhi perkembangan
empat aliran ini, peripatetic misalnya dekat sekali dengan pemikiranpemikiran Yunani khususnya Aristoteles, Plato dan konsep Plotinus, adapun
lluminasionis banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep atomisme asy’ariyah
dan gerakan spiritualitas di dalamnya
f Geliat filsafat Islam berhubungan erat dengan perkembangan teologi dan
tasawwuf, beberapa aliran yang muncul belakangan menunjukkan bukti
tersebut. Ibn ‘Arabi merupakan bentuk filsafat Islam yang kemudian
memberikan konsep ma’rifah dan wahdat al- wujud. Konsep yang kemudian
digunakan dalam maqam-maqam sufistik
g. Pencapaian kebangkitan pemikiran filsafat pasca Ibnu Rusyd diperkirakan
banyak digerakkan oleh wilayah-wilayah Syi'ah. Wilayah- wilayah penganut
“sunni” diperkirakan mengalami stagnanisasi jika tidak dikatakan hampir
menghilang
h Suhrawardi al-Maqtul, Nasir al-Din Thusi dan Mulia Shadra merupakan
tokoh-tokoh filosof Islam yang telah membuat harmonisasi antara berbagai
pemikiran Islam, baik sunni, syi’ah bahkan sufi, dalam satu pemikiran
penting kebangkitan kembali filsafat Islam. Kebangkitan ini sekaligus
menjadi evolusi perjalanan keilmuan filsafat Islam sejak dari permulaan
pertemuannya bersama filsafat hellenis sampai kemudian menarik gerak
spiritualitas Islam dan mungkin masih terus berjalan bersama kebutuhan
zaman sampai kapan pun.
1
Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1984), cet. I, hal. 25
2
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2006), cet.
II, hal. 44
3
Haidar, Buku ..., hal. 44
4
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996),
hal. 3
5
Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dan Wahyu,
(Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hal. 3
6
Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta, Bulan Bintang, 1991),
hal.3
7
Corbin, seorang orientalis Perancis; ahli mengenai Islam dan Iran,
menolak predikat Filsafat Muslim, menurutnya penamaan itu menunjukkan
bahwa filsafat tersebut merupakan keyakinan pribadi filosof yang
bersangkutan, sedangkan filsafat Islam mencakup segala hal-ihwal. Kutipan
dalam Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1997), cet. 8, hal. 13; terdapat beberapa buku yang membahas
filsafat Islam dengan menggunakan judul “Moslem Philosophy”, seperti
tulisan Osmen Amin, tetapi jika anda membaca maksud yang
disampaikannya, akan ditemukan bahwa yang dimaksud adalah filsafat Islam.
8
Osmen Amin, Moslem Philosophy, (Cairo, Renaissance Bookshop,
1958), cet. I, hal. 15
9
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat
Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 20-23
10
Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah al-lslamiyah Manhaj wa Tathbiquhu,
(Mesir, Daral-Ma’arif, 1976), hal. 23-24
11
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Press,
2005), hal. 10
12
Amsal, Tema-tema hal. 12
13
Amsal, Tema-tema ..., hal. 12
14
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat; Pengantar kepada Dunia Filsafat,
Teori Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai, (Jakarta, Bulan Bintang, 1981),
cet. III, hal. 113
15
Gazalba, Sistematika hal. 113-114
16
Gazalba, Sistematika ..., hal. 114-116
17
Gazalba, Sistematika hal. 116-117
18
Amsal, Tema-tema ..., hal. 14
19
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic
Philosophy, terj. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2003),
hal. 22-23
20
John F. Haught, Science and Religion: from Conflict to Conversation,
terj., Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik sampai Dialog, (Jakarta,
Mizan, 2004), cet. I, hal. xx-xxi
21
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya,
Bina Ilmu, 1987), cet. VII, hal. 171
22
Endang, Ilmu ..., hal. 172
23
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat
Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), cet. I, hal. 132
24
Dikutip dari “Pengantar Debat” dalam Moeflich Hasbullah, ed..
Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Cidesindo
bekerjasama dengan LSAF, IRIS, IIITI, 2000), cet. I
25
Moeflich Hasbullah, ed., Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta, Cidesindo bekerjasama dengan LSAF, IRIS, IIITI,
2000), cet. I, hal. 8
26
diambil dari deskripsi yang disampaikan Mulyadhi Kertanegara, lih.
Mulyadhi, Gerbang hal. 140
27
Mulyadhi, Gerbang hal. 142
28
Hasbullah, ed., Gagasan ..., hal. xviii
29
Hasbullah, ed., Gagasan hal. xix
30
Ahmad Hanafi menuturkan bahwa para filosof Muslim menggunakan
penafsiran dan penakwilan ayat-ayat al-Qur’an untuk menguatkan pendapatpendapatnya. Seperti penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Sina terhadap ayat
35 Surat al-Nur; Tuhan adalah cahaya langit dan bumi, Perumpamaan
cahayanya bagaikan jendela, Padanya adalah lampu, Lampu berada dalam
kaca (lentera), Lampu dinyalakan dari (minyak) pohon keberkatan, pohon
Zaitun, Tidak ke Timur, tidak pula ke Barat, Minyak pohon itu hampir
bersinar, Meskipun tidak tersentuh Api, Cahaya di atas cahaya, dengan
Cahaya-Nya Allah menunjukkan orang yang disukai-Nya, Allah membuat
contoh- contoh kiasan untuk manusia, Allah maha mengetahui sesuatu.', lih.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal.
55-56
11
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 256-257
12
Muhammad ‘Utsman Najati, al-Dirasat al-Nafsiyyah ‘inda al-Ulama
al-Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 82
11
Nasr et.al, History hal.
44
14
Nasr et.al, History ...,
hal.
44
"
Nasr et.al, History ...,
hal.
46
Nasr et.al, History ...,
hal.
48
" Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 32
'* Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 44
1 ’ Amsal, Tema-tema ..., lih. Daftar Isi
4(1 Mulyadhi, Gerbang .... lih. Daftar Isi
41
Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah
...,
lih.
Daftar Isi
42
Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah
...,
hal.
100-103
43
A. Epping O.F.M., et.al, Filsafat Ensie Eerste Nederlandse
Systematisch Ingerichte Encyclopaedie, (Bandung, Jemmars, 1983), hal. 158
44
Mulyadhi,
Gerbang
hal.
26-27
45
Mulyadhi,
Gerbang
...,
hal.
27-30
46
Mulyadhi,
Gerbang
hal.
30-31
47
Mulyadhi,
Gerbang
...,
hal.
44-45
48
Dikutip dari kata pengantar penerbitan, Oliver Leaman, A Brief
Introduction to Islamic Philosophy, terj., Pengantar Filsafat Islam: Sebuah
Pendekatan Tematis, (Bandung, Mizan, 2001), hal. Ix-xi
49
Mulyadhi,
Gerbang
....
hal.
47
50
Mulyadhi,
Gerbang
...,
hal.
57-58
51
Mulyadhi,
Gerbang
....
hal.
62-64
52
Mulyadhi,
Gerbang
....
hal.
69-70
53
Mulyadhi,
Gerbang
hal.
71
54
Mulyadhi,
Gerbang
....
hal.
72
35
Mulyadhi,
Gerbang
...,
hal.
74
56
Nasr et.al, History ..., hal.85
57
Nasr et.al, History ..., hal.92 Nasr et.al, History .... hal.127
58
Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (ttp, Dar alFikr al-‘Arabiy, tth.) hal. 316-319
59
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I,
(Jakarta, UI Press, 1985), cet. v, hal. 27-31
60
‘Ali Sami al-Nasyar, Nasy'atu al-Fikr al-Falsafifi al-Islam, Juz. 1,
(Kairo, Dar al-Ma’arif, 1977), hal. 54
61
Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, World Spirituality:
Manifestations, terj., Islam Intelektual Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, (Depok,
Perennial Press, 1991), hal. 18
62
Pendapat ini ditegaskan oleh Nasr dalam World Spirituality:
Manifestations, terj., Islam Intelektual Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, hal. 27,
tetapi menurut Harun Nasution, asy’ariyah yang dibahasakan Harun dengan
ahli sunnah dan jama’ah yaitu golongan yang berpegang pada Sunnah lagi
merupakan golongan mayoritas dan sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah
yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah. Lebih jauh,
asy’ariyah atau ahli Sunnah dan Jama’ah menurut Harun sangat
meminimalisir penafsiran- penafsiran rasional. Lih. Harun Nasution, Teologi
Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta, UI Press, 1986),
cet.v, hal.
64
63
Nasr dan
Chitick,
World Spirituality ..., hal.
36
64
Nasr dan
Chitick,
World Spirituality hal.
36
65
Nasr dan
Chitick,
World Spirituality hal.
37-38
66
Nasr dan
Chitick,
World Spirituality hal.
38-40
67
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 171
68
Hasyimsyah, Filsafat hal. 172
69
Hasyimsyah, Filsafat hal. 173
BAB 3 PARA FILOSOF MUSLIM AWAL
Harus diakui, ada upaya-upaya yang genuine dari para filosof Islam untuk
mencermati penggunaan perangkat konseptual pemikiran Yunani pada isu-isu
Islam, dan dalam kontak antar gerakan cultural ini terbukti dihasilkan banyak
sekali karya yang menarik dan perseptif
(Oliver Leaman)1
'K
ami sebut para filosof muslim awal, karena mereka adalah orang- orang
pertama yang melapangkan jalan filsafat dalam tradisi intelektual Islam.
Gerakan pemikiran yang disampaikan para filosof awal ini sangat jelas
dipengaruhi oleh pemikiran Yunani dan melahirkan tradisi peripatetik dalam
pemikiran Islam. Penting digarisbawahi bahwa tradisi peripatetic hanyalah
salah satu tipe filsafat Islam, dan tipe ini dikecam oleh sejumlah ulama dan
kaum sufi. Ide-ide dari tradisi peripatic juga yang mendorong al-Ghazali
membid'ahkan sekaligus mengharamkan beberapa diantaranya.
Benang merah epistemologis pemikiran filosof ini adalah emanasi Plotinus
dan dominasi akal dalam ide-ide sensitifnya. Kekekalan dan kebaharuan
secara utuh ditujukan untuk menempatkan Tuhan yang transenden tanpa
immanen. Meski banyak mendasarkan pada hasil olah fikir para pemikir
Yunani, namun sesungguhnya gagasan-gagasan Yunani itu diperdebatkan
dengan tema-tema Islam. Disinilah letak kekuatan peripatetic filsafat Islam,
yakni dengan menggunakan perangkat konseptual pemikiran Yunani pada
isu-isu Islam. Gerakan cultural ini bukan hanya menghapus image bahwa
filsafat Islam semata-mata duplikasi filsafat Yunani tetapi juga mengukuhkan
kebenaran bahwa filsafat dalam tradisi pemikiran muslim adalah ilmu yang
sama diolah, diperdebatkan dan diperbaharui dengan kepercayaan keislaman
yang mereka anut.
Disinilah, hubungan-hubungan filsafat terjalin dengan teologi, syari‘ah dan
'aqidah. Termasuk di dalamnya menghubungkan ide-ide sensitive teologis
dengan ilmu-ilmu kealaman khususnya fisika. Ibnu Sina bahkan
menyambungkan ide-ide metafisika Jiwa-nya dengan ilmu kedokteran
sebagai bagian dari terapi pengobatan. Al-Farabi menghubungkannya dengan
politik Negara, sebagai landasan pembentukan Negara berperadaban.
Para filosof muslim awal ini dimulai dari al-Kindi dan ditutup oleh Ibnu Sina.
Seluruh filosof awal ini adalah filosof peripatik Islam, yang kemudian
dikritik dalam beberapa hal oleh al-Ghazali. Ibnu Rusyd atau Khwajah
Nashir al-Din Thusi yang disebut-sebut sebagai penganut peripatetic tidak
dikategorikan bersama dalam pembahasan. Mengingat secara kronologis
mereka bukan termasuk filosof muslim pertama, selain itu isu-isu yang
diutarakan keduanya telah memasuki babak baru. Babak inilah yang kami
sebut dengan pemikiran pasca kritik al-Ghazali. Babak dimana dominasi
rasio dalam epistemology telah berbaur dengan intuisi sebagai alat
epistemologis pencarian kebenaran.
A. AL-KINDI
Al-Kindi adalah seorang filosof muslim keturunan Arab, nama lengkapnya
Abu Yusuf Ya’qub ibn lshaq ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn
al-Asy’as ibn Qais al-Kindi. Sebutan al-Kindi dinisbahkan pada Kindah,
kabilah terkemuka pra-lslam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang
menetap di Yaman. Kakek buyutnya, al-Asy’as ibn Qais adalah salah seorang
sahabat Nabi yang gugur bersama Sa’ad ibn Abi Waqash dalam peperangan
antara kaum muslimin dengan bangsa Persia di Irak. Sedangkan ayahnya
lshaq ibn al-Shabbah adalah seorang gubernur Kufah pada masa
pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan al- Rasyid (786-809 M).2
Tahun kelahiran dan wafat al-Kindi memang tidak diketahui pasti, namun
diperkirakan ia lahir pada tahun 185 H/ 801 M, hidup semasa pemerintahan
Daulah Abbasiyah (al-Amin, 809-813 M; al- Ma’mun, 813-833 M; alMu’tashim, 833-842 M; al-Watsiq, 842-847 M; dan al-Mutawakkil, 847-861
M).3 Selama kurun waktu kehidupannya tersebut, al-Kindi hidup di tengah
kejayaan keilmuan Islam, masa keemasan dinasti Abbasiyah, perkembangan
intelektual yang sangat memukau khususnya faham mu’tazilah.
Persinggungannya dengan dunia ilmiah di pusat ilmu pengetahuan Islam di
Baghdad, dimulai saat ia melamar sebagai penulis kaligrafi di akademi paling
popular saat itu, House of Wisdom (Bayt al- Hikmah). Bersama alKhawarizmi dan Banu Musa bersaudara, ia ditugaskani menerjemahkan
karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab oleh Khalifah al-Makmun.
Tugasnya, adalah sebagai seorang editor, dimana ia mengedit dan
mengoreksi hasil-hasil terjemahan berbahasa Arab.4 Dari tugasnya ini, alKindi kemudian mengenal pemikiran-pemikiran filosof Yunani, al-Kindi
sangat mengagumi dan terilhami oleh pemikiran Plato dan Aristoteles. Dua
nama yang sering disinggungnya dalam penulisan filsafatnya. Dibawah nama
kedua filosof ini karya-karya pseudoepigrafik lainnya menjadi dikenal,
seperti penjelasan Porphyry atas satu bagian Enneads, karya Plotinus, yang
secara keliru diklaim al-Kindi sebagai Theology-nya Aristoteles.
Al-Kindi umumnya diakui sebagai filosof muslim pertama, namun ini tidak
menunjukkan bahwa aktivitas keilmuan filsafat baru dimulai oleh al-Kindi
atau dinyatakan bahwa tidak ada aktivitas keilmuan filosofis sebelum alKindi. Sebaliknya, beberapa pengetahuan filsafat, meskipun masih sangat
global telah mempengaruhi ilmu kalam Mu'tazilah awal. Beberapa tokoh
Mu’tazilah seperti Abu al-Hudzail al- Allaf dan al-Nazhzham telah
membangun teologi yang didasarkan pada unsur-unsur filsafat Yunani. AlNazhzham misalnya, meminjam dari para filosof Yunani gagasan mengenai
materi yang dapat dibagi-bagi secara tak terhingga. Pengaruh filsafat Yunani
terhadap ilmu kalam Mu’tazilah awal juga dibenarkan Harun Nasution,
penjelajahan Islam ke luar wilayah Arab dan akulturasinya bersama beragam
pemikiran, budaya dan agama, menurut Harun telah melahirkan beragam
sikap dari berbagai agama dan kepercayaan di luar Islam yang berupaya
melemahkan atau mempertanyakan ajaran Islam dan ini kemudian membuat
umat diharuskan menjawab tantangan tersebut dengan jawaban-jawaban
filosofis yang sesuai dengan akal. Sehingga argumen- argumen berdasarkan
filsafat menjadi sebuah kebutuhan untuk dipelajari dan dipahami oleh para
teolog.
Akan tetapi, pengaruh filsafat pada teolog ini tetap agak marjinal, karena para
teolog ini tidak mengembangkan sebuah sistem ensiklopedis filsafat, sebab
hal ini di luar bidang minat mereka. Filsafat digunakan para teolog sebagai
alat untuk melakukan kajian metodologis terhadap ajaran-ajaran Islam, dalam
hal ini penggunaan dan pelegitimasian akal sebagai alat untuk memahami
ajaran Islam. Dan al-Kindi merupakan orang yang mengupayakan dengan
keras upaya ini, al-Kindi berupaya menjelaskan filsafat-filsafat Yunani,
kaitan dan hubungannya dengan agama, dan bagaimana menggunakan filsafat
dalam kebutuhan Islam.
Perlu diketahui, ketika pemikiran Yunani mulai merebak ke dunia Islam pada
masa al-Rasyid dan al-Makmun melalui penerjemahan buku-buku Yunani
yang dilakukan oleh orang Nasrani Suryani, pemikiran baru ini menjadi
tantangan besar bagi pemikiran Arab yang saat itu tengah menyusun
identitasnya. Islam, Yahudi dan Nasrani berdiri di atas wahyu dan menuntut
keimanan mutlak serta penyerahan sepenuhnya pada Tuhan,
sedangkanYunani menempatkan akal sebagai institusi tertinggi pencari
kebenaran. Yunani menawarkan konsep “filosofis” yang didasarkan atas
logika.5 Ide-ide yang jelas menjadi tantangan sendiri bagi Islam dan ulamaulama di dalamnya, terjadi perdebatan keras antara ulama dan pemikirpemikir Islam hingga melahirkan teolog-teolog dalam Islam.
Problema-problema ini kemudian coba dijembatani oleh al- Kindi. Al-Kindi
sendiri merupakan seorang ahli ilmu-ilmu kealaman sekaligus memiliki
pengetahuan keislaman yang mumpuni. Al-Kindi menguasai filsafat, kimia,
kedokteran, ilmu falak, ilmu pasti, geometri, ilmu agama dan logika. AlKindi lahir dan besar di Kufah, kota yang disebut-sebut sebagai pusat
kebudayaan Islam yang lebih cenderung melandaskan studinya secara aqliah;
Abu Hanifah, Imam madzhab fiqh yang dominan menggunakan akal dalam
kaidah fiqhnya juga berasal dari Kufah.6 Lingkungan intelektual di Kufah
sangat mempengaruhi paradigma pemikiran al-Kindi, meski telah
mempelajari ilmu-ilmu kalam, fiqh dan hadis, al-Kindi cenderung tertarik
pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ketertarikannya mendorong dirinya
untuk hijrah ke Baghdad pusat ilmu pengetahuan dan filsafat saat itu.
Di Baghdad ia berkenalan dengan al-Makmun, al-Mu'tashim dan putra alMu’tashim; Ahmad. la juga diangkat sebagai guru pribadi Ahmad ibn alMu'tashim. Dengan kepercayaan dan dukungan kekuasaan, al-Kindi dapat
dengan mudah mengembangkan pemikirannya. Patronase seperti ini sangat
berperan dalam dukungannya terhadap kebutuhan finansial, pendirian
lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Namun, ketika Abbasiyah
dipimpin oleh al-Mutawakkil, khalifah yang menghapus azas mu’tazilah
sebagai azas Negara, al-Kindi dikucilkan. Tuduhan bahwa ia seorang
mu’tazili dan telah menyimpang dari ajaran Islam membuat perpustakaannya
disegel dan disita.7
Ibn al-Nadim mencatat sekitar 260 judul karya al-Kindi, suatu bibliografi
ilmiah yang sangat besar jumlahnya, meskipun banyak diantaranya adalah
risalah-risalah kecil. Menurut konstruksi Ibn Nadim, risalah-risalah al-Kindi
meliputi seluruh ensiklopedi ilmu (sains) klasik seperti filsafat, logika,
aritmetika, musik, astronomi, geometri, kosmologi, kedokteran, astrologi dan
sebagainya. Sayangnya, hanya sebagian kecil saja yang diketemukan hingga
saat ini, bahkan hanya sepuluh persen saja yang telah diteliti dan diedit.8
Banyak kemungkinan yang menyebabkan hilangnya tulisan al-Kindi, baik
dari penyegelan yang dilakukan oleh al-Mutawakkil sampai dengan serangan
Hulagu Khan.
Usahanya untuk mengkaji seluruh spektrum ensiklopedis ilmu, menurut Felix
Klein-Franke, mengindikasikan al-Kindi sebagai pengikut Aristoteles yang
sebenarnya. Bahkan, dalam hal kecenderungan kukuhnya pada matematika ia
melampaui Aristoteles. Matematika bagi al-Kindi adalah mukaddimah bagi
siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Artinya untuk menjadi seorang
ahli filsafat seseorang harus menguasai ilmu matematika, la menulis sebuah
risalah berjudul That Philosophy Can not be Acqueired except with a
Knowledge of Mathematics. Kegemarannya pada matematika juga
ditandaskan dalam risalahnya Risalah fi Hudud al-Asyya’: sebagian besar
definisi diungkapkan dengan cara ganda: secara fisis (min jihat al-thab’i) dan
secara matematis (min jihat al-ta’lim). Dengan matematis juga, al-Kindi
mengelaborasi sistem untuk menghitung kemanjuran obat. Ini diperlukan
karena para dokter (tabib) telah beralih dari obat sederhana pada obat yang
lebih kompleks. Sehingga untuk mencapai kemanjuran yang diinginkan, ahli
farmasi harus memperhitungkan proporsi yang tepat racikan bahan-bahan
obat. Al-Kindi membagi racikan tersebut berdasarkan daya dan khasiat
penyembuhannya, la juga menulis banyak risalah dan pegangan mengenai
masalah pengobatan dan farmasi.9
Dalam salah satu risalah medisnya, al-Kindi mengaitkan kedokteran dengan
matematika al-Kindi menjelaskan bagaimana dosis mempengaruhi
pengobatan, dengan memperhitungkan khasiat obat untuk masa kritis sampai
dengan masa penyembuhan, la meyakini mewabahnya penyakit-penyakit
akut dapat dipengaruhi oleh peredaran bulan di setiap bulannya.10 Al-Kindi
juga melakukan kajian matematis terhadap al-Qur’an, ia menulis risalah On
the Duration of the Reign of the Arabs dimana ia melakukan perhitungan
pada huruf-huruf yang menjadi pembuka dua puluh sembilan surat al-Qur’an.
Huruf-huruf tersebut membentuk empat belas kata enigmatis yang memuat
empat belas huruf dari dua puluh delapan huruf alphabet Arab. Dengan
menambahkan nilai bilangan dari setiap huruf, menghitung hanya sekali
huruf-huruf yang diulang beberapa kali, al-Kindi menemukan kemungkinankemungkinan tertentu, misalnya saja kemungkinan jatuhnya kekuatan Bangsa
Arab yang ditetapkannya di tahun 656 H. Kemungkinan tersebut kebetulan
terbukti ketika kekuasaan bangsa Arab hilang diserang bangsa Mongol pada
656 H/ 1258 M Baghdad ditaklukkan dan "hegemoni Arab lenyap”.
Yang sangat menarik juga dari al-Kindi, ia adalah seorang kriptoanalisis
yakni ilmuwan yang ahli dalam memecahkan chiperteks (teks rahasia yang
huruf-hurufnya dirubah menjadi sandi-sandi tertentu) menjadi plainteks (teks
yang sebenarnya) tanpa mengetahui kunci{rumus) yang digunakan. Seluruh
analisis dan rumus-rumusnya ini dijabarkannya dalam sebuah makalah,
Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. Teknik al-Kindi ini
kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara
paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah
asli, persentase huruf dalam kode rahasia dan menggantikan Symbol dengan
huruf.
alam abstrak karenanya tidak mengalami perubahan dan kemusnahan.12
Alam atas merupakan tempat bersemayam definisi akal dan ruh diikuti
dengan definisi-definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan definisi
badan (jism), penciptaan (ibda), materi (hayula) dan bentuk (.shurah).
Pendapatnya yang dekat dengan pemikiran Yunani Klasik kemudian diklaim
pemikir-pemikir belakangan sebagai pendapat beraliran peripatetic.13
Ciri-ciri peripatetic al-Kindi adalah pemahamannya terhadap dua alam, dan
ini mengindikasikan ajaran hylomorfis. Dimana al-Kindi memahami alam
atas sebagai wujud-wujud spiritual yang tidak diciptakan dan alam bawah
sebagai wujud-wujud temporal yang diciptakan. Kedua alam tersebut, atas
dan bawah, pada mulanya berasal dari sumber yang satu dan sama, yang
merupakan sebab bersama dari segala sesuatu. Dari sumber paling awal
inilah, yakni Tuhan, segala sesuatu kemudian berlangsung secara terus
menerus.
Tuhan didefinisikan al-Kindi dengan “sebab pertama” atau “agen pertama"nya Plotinus, yang kemudian diperjelas al-Kindi dengan istilah “Yang Esa
adalah sebab dari segala sebab". Sebuah definisi yang keliru dinisbahkannya
pada Aristoteles, padahal sesungguhnya adalah definisi Plotinus.14 Tuhan
adalah Lebih lanjut, Tuhan dituturkan al- Kindi adalah Maha Esa yang tidak
dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala
aspek. Tuhan ada dengan sendirinya tanpa perlu sebab-sebab tertentu.15
Dengan kajian matematis, yakni ilmu bilangan, al-Kindi menerangkan
perbedaan yang signifikan antara alam dan Tuhan. Tiap- tiap benda di alam
ini mempunyai dua hakikat, hakikat sebagai juz’iyyah (particular) atau
bagian dari sesuatu dan hakikat sebagai kultiyah (universal) yang melingkupi
bagian-bagian particular. Dan Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak
mempunyai hakikat dalam arti juz’iyyah dan kuiliyah. Tidak juz’iyyah
karena Tuhan bukan bagian dari sesuatu, tidak termasuk dalam benda-benda
yang ada di alam tetapi Tuhan juga tidak kuiliyah, karena Tuhan bukan genus
atau species yang membawahi spesies- spesies di bawah-Nya. Tuhan hanya
satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan dibahasakan al-Kindi
sebagai al-Haq al-Awwal dan al-Haq ai-Wahid, la semata-mata satu, hanya
la-lah yang satu dan selain dari Tuhan mengandung arti yang banyak.16
Artinya, seluruh yang ada di alam semesta merupakan juz’i dan kulli,
sedangkan Tuhan adalah tunggal sehingga tidak dapat dipecah-pecah lagi
seperti hal-hal kulti yang dapat dibagi menjadi lebih tunggal dan la tidak
terlihat karena la tidak tersusun dari hal-hal juz’i dan tak ada susunan bagiNya, la terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena la adalah penyebab
gerak segala yang dapat dilihat, dirasa dan diraba oleh panca indera.
Keberadaan alam ini semua menurut al-Kindi adalah karena diciptakan oleh
Tuhan secara ex-nihillo (ketiadaan). Alam ini bukan bagian dari Tuhan, atau
sesuatu yang “menyusun" menjadi Tuhan. Lebih lanjut, Tuhan tidak hanya
menciptakan tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya dengan perangkatperangkat atau aturan-aturan tertentu, serta menjadikan sebagiannya menjadi
sebab bagian yang lain. Sebab- sebab dalam alam dibagi al-Kindi menjadi
sebab menjadikan dan sebab merusak. Dalam al-lbanah, al-Kindi
menyebutkan sebab gerak apabila terhimpun empat sebab (illat) yaitu sebab
material (al-unshuriyah), sebab bentuk (al-shuriyah), sebab pembuat (alfa’ilah) dan sebab tujuan (al- tammiyah). Untuk menggambarkan kerja empat
illat tersebut, diilustrasikan sebagai berikut; meja tulis, bahannya berupa
papan dan merupakan sebab material dan bentuknya empat persegi adalah
sebab bentuk dan tukang yang mengerjakannya disebut sebab pembuat
sedangkan kedudukannya sebagai tempat menulis adalah sebab tujuan dan
manfaat.17
Menolak ide Aristoteles yang menyebutkan Tuhan adalah “Penyebab
Pertama segala hal yang ada di alam ini’’, al-Kindi menyebutkan Tuhan
adalah Sang Pencipta. Karena Tuhan adalah Sang Pencipta, wujud pertama
yang tidak diciptakan, maka Tuhan tentu haruslah maha hebat. Tuhan tentu
bukan penyebab alam ini, karena wujud yang bersebab berkonsekuensi
disebabkan, sedangkan Tuhan bukan wujud yang disebabkan. Itu sebabnya
“sebab-sebab gerak’’ adalah hubungan yang terjadi antara ciptaan Allah
dengan ciptaan lainnya. Antara yang juz’i dengan kulli atau antara kulli
dengan juz’i, Tuhan hanya menghadirkan perangkat dan aturan yang terikat
dengan setiap hal yang juz’i dan kulli, seperti misalnya Api yang mempunyai
sifat panas, batu yang bersifat keras dsb.
Dalih-dalih al-Kindi tentang kemaujudan Tuhan bertumpu pada keyakinan
akan hubungan sebab dan akibat. Segala yang maujud pasti mempunyai
sebab yang memaujudkannya, rangkaian sebab itu terbatas, akibatnya Tuhan
sebagai Pencipta jelas harus merupakan sebab yang tidak disebabkan oleh
apapun juga. Jika Aristoteles menggambarkan Penyebab Pertama adalah
bendawi, formal, efisien dan final, al-Kindi mengklaimnya dengan Sebab
Efisien. Sebagai Sebab Efisien, Tuhan adalan pencipta dari ketiadaan, yang
menyebabkan dari sesuatu yang tidak ada, sedangkan dalam teori Aristoteles,
Tuhan sebagai Penyebab pertama yang menciptakan karena keberadaan
unsur-unsur yang hendak diciptakan,18 itu sebabnya, Aristoteles
beranggapan materi kekal sebagaimana kekekalan Tuhan.
Gagasan-gagasan al-Kindi mengenai Tuhan diduga adalah bagian dari upaya
al-Kindi mendamaikan konsep Islam tentang Tuhan dengan gagasan-gagasan
filosofis Yunani. Gagasan dasar Islam tentang Tuhan dan keesaan yang
termaktub dalam surat al-lkhlas, dipadukan dengan konsep sebab-sebab
(illaf) yang diinspirasi dari konsep "Sebab Pertama’’nya Aristoteles. Selain
itu, gagasan al-Kindi diduga terpengaruh dengan perdebatan teologis yang
terjadi saat itu, yakni mengenai kekekalan (qadim) dan kebaharuan (huduts).
Pada masa al-Makmun, terdapat dua kubu besar, tradisionalis yang didefinisi
dengan ahlu al-hadis dan rasionalis atau ahlu ra’yi atau mu’tazilah. Ketika
mu’tazilah disahkan al-Makmun menjadi dasar Negara sekaligus
melegitimasi kekuatan akal sebagai regulasi ilmu pengetahuan, kaum
tradisionalis melancarkan ketidaksetujuannya, sayangnya ketidaksetujuan ini
ditanggapi dengan semena-mena. Ibn Hanbal adalah tragedi mihnah akibat
perbedaan pendapat tersebut. Perbedaan yang menyeret Ibn Hanbal tersebut
adalah konsep kekekalan dan kebaharuan yang kemudian berimplikasi pada
konsep makhluk dan khalik.19
Al-Kindi juga terlibat dalam pemikiran mengenai baharu (huduts) dan kekal
(qidam), alam dan segala hal di dalamnya menurut al-Kindi adalah baharu.
Dalil baharu alam diindikasi dari keterbatasan waktu dan gerak, keterbatasan
tersebut merupakan petunjuk terhadap bermulanya dunia dalam waktu
(huduts). Namun kemudian al-Kindi mempertanyakan, apakah realitas dunia
ini menjadi sebab wujud dirinya?, ini jelas tidak mungkin karena keberadaan
sesuatu atau kehadiran realitas pasti ada sebab yang mendahuluinya, atau
pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Penyebab segala realitas jelas
adalah Tuhan, tetapi bagaimana realitas tersebut menjadi riil, mengelaborasi
diri menjadi eksistensi, tentu dibutuhkan gerak dan waktu atau zaman yang
menjadi wadah elaborasi dirinya.
Benda-benda fisik yang terdiri dari materi dan bentuk pasti bergerak di dalam
ruang dan waktu. Materi, bentuk, ruang dan waktu adalah unsur utama dari
setiap fisik, maka keberadaan gerak sama dengan keberadaan jism. Adapun
zaman atau waktu didefinisi al-Kindi sebagai ukuran gerak maka waktu ada
bersama dengan gerak, sehingga jism (kebendaan), gerak dan zaman (waktu)
tidak dapat saling mendahului dalam alam wujud, semuanya ada dalam
kebersamaan. Semuanya ada secara bersamaan, oleh karena itu al-Kindi
berpendapat bahwa dunia ini bersifat baharu (huduts). Dan dunia yang huduts
ini, berada dan menjadi ada karena keberadaan penciptanya (Tuhan), pencipta
ini jelas kekal dan mustahil dunia ini tak terbatas dan bersifat abadi.20
Dipengaruhi oleh ide-ide filosof Yunani, al-Kindi berupaya melogikakan
proses penciptaan melalui teori emanasi atau pemancaran atau pelimpahan,
teori yang kemudian dikembangkan al-Farabi dan Ibnu Sina. Yang menarik
dari emanasi al-Kindi adalah pelimpahan dari Tuhan menjadi dua alam tanpa
proses apapun, tanpa proses pemikiran yang memunculkan akal sampai
kesepuluh seperti yang dicetuskan al-Farabi. Pelimpahan tanpa embel-embel
proses apapun menunjukkan bahwa al-Kindi tetap meyakini bahwa alam
serta merta diciptakan Tuhan. Konsep emanasi yang dijelaskan al-Kindi
dalam Risalah fi Hudud al- Asyya’ dan Fi al-Falsafah al-Ula sebenarnya
hendak ditujukan al-Kindi untuk menunjukkan keselarasan antara agama dan
filsafat. Dimana alam yang pada mulanya beremanasi dari sebab pertama,
bergantung pada dan berkaitan dengan al-Haqq, tetapi pada saat yang sama
terpisah dari-Nya karena alam dibatasi ruang dan waktu. Disini, al-Kindi
berusaha memurnikan keesaan Tuhan dengan mengkontraskan
keMahaTunggalan Tuhan dengan kemajemukan dunia yang diciptakan.
Pengetahuan dan kepastian intelektual tentang Tuhan menurut al-Kindi hanya
mampu digambarkan Tuhan dalam terma-terma negative. Karena filosof
tidak dapat membuat pernyataan positif apa pun mengenai Tuhan. Apa yang
dapat ditegaskan hanyalah dalam bentuk negatif, seperti misalnya bahwa
Tuhan bukanlah unsur bukan genus, bukan species, bukan pribadi
(individual), bukan bagian dari sesuatu, bukan sifat dan bukan aksiden yang
mungkin. Oleh karena itu, dalam bahasa Felix- Franke, filsafat al-Kindi
mengantarkan orang kepada teologi negatif, yaitu Tuhan digambarkan dalam
batas-batas negatif. Dalam hal ini al- Kindi mengikuti Plotinus yang
mengajarkan “kita menyatakan apa yang 'tidak' yang 'ya’ tidak kita
nyatakan".21
Inti kehidupan manusia dikatakan al-Kindi adalah pengetahuar terhadap alHaqq (Tuhan), pengetahuan terhadap al-Haqq ini diistilahkar sebagai “filsafat
pertama". Pengetahuan mengenai Tuhan adalah sebuah upaya yang mesti
muncul atau hadir sebelum mengelaborasi ilmu di alarr ini dan melahirkan
filsafat-filsafat lainnya. Kemutlakan mengetahui tentanc al-Haqq, disebabkan
al-Haqq (Tuhan) adalah satu-satunya sebab, dasai sekaligus inti dari
keberadaan alam semesta. Tujuan penulisan risalah ini, konon untuk
menunjukkan keesaan Tuhan. Banyak yang berpendapal ide “filsafat
pertama” ditujukan untuk mendukung paham Mu’tazilah, int doktrin
Mu’tazilah yang berfokus pada keesaan Tuhan dengar membedakan posisiNya dari hal-hal yang berkaitan dengan alam ini.2'
Tuhan dan alam ini bagi al-Kindi memiliki keterkaitan yang kuat, keterkaitan
tersebut terbangun dari kedudukan Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai
ciptaannya tetapi juga terpisah karena Tuhan sebagai pencipta tidak terbatas
dan alam dibatasi ruang dan waktu. Dalam konsep perbedaan ini, al-Kindi
hendak menyuguhkan Keesaan Sebab Pertama dikontraskan dengan
kemajemukan (pluralitas) dunia yang diciptakan, dimana kemajukan tersebut
dieksistensi berdasarkan lima predikat; genus, species, diferensia, sifat dan
aksiden.23 Itu sebabnya al-Kindi menolak pensifatan terhadap Tuhan, karena
keberadaan sifal bagi Tuhan menunjukkan persamaan diri Tuhan dengan
ciptaan-Nya
Dalam hal pensifatan ini, al-Kindi dekat sekali dengan ajaran mu’tazilah,
dimana mu’tazilah juga menolak sifat-sifat Tuhan, karena sifat- sifat tersebut
dapat mengindikasikan zat Tuhan yang banyak. Meski terdapat kesamaan,
pendekatan antara al-Kindi dan mu’tazilah sangat berbeda, kaum mu’tazilah
dengan berpijak pada akal mencoba menafsirkan ke-Mahaesa-an Allah
dengan memperjelas hubungan antara zat dan sifat-sifatNya. Menurut
mu’tazilah, kepada Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai
wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan
bersifat qadim maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim pula,
sehingga sifat Tuhan pun mesti bersifat qadim. Artinya, sifat-sifat Tuhan itu
harus tetap dan tidak berubah-ubah, berbeda-beda. Adapun penyelesaian
mu’tazilah terhadap penyebutan terhadap Tuhan seperti di dalam al-Qur’an,
dijelaskan dengan konsep pengetahuan. Tuhan betul mengetahui (analisis
mengenai sifat mengetahui dari Tuhan) tapi bukan dengan sifat,
mengetahuinya Tuhan dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya
adalah zat-Nya.24
Adapun al-Kindi mencoba menjelaskan hubungan antara Tuhan, sifat dan zat
ini melalui alur logika. Pertama, al-Kindi mencoba mengkonsentrasikan
perhatiannya pada hal dapat disifatinya zat Allah, pensifatan terhadap Tuhan
secara tidak langsung membuat kita mencoba mendefinisikan Tuhan
sebagaimana ciptaannya dan rentan terhadap pendefinisian Tuhan dengan
menggunakan klasifikasi jenis.
Lebih jauh, dalam risalahnya On Allah’s Unity and the Definiteness of the
Body of the Universe, al-Kindi menegaskan enam proposisi utama yang
secara rasional dapat dipahami “tanpa mediasi” (.ghairmutawassith). Dengan
tegas, al-Kindi menyebut proposisi-proposisi tersebut sebagai proposisi yang
secara silogistis tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan middle term.
Proporsi-proporsi jenis ini membawa pengetahuan yang tidak dapat
dibuktikan, yaitu pengetahuan yang dicapai secara a priori. Misalnya,
mengenai proposisi yang membawa kepada pengetahuan primer, al-Kindi
menegaskan bahwa jika seseorang menyatukan dua substansi material yang
terbatas, maka substansi material yang baru juga terbatas. Namun, tidak
mungkin memisahkan bagian tertentu yang terbatas dari suatu substansi yang
tidak terbatas.26
Untuk lebih memperjelas system silogisme ini, kita dapat mengambil
proposisi yang sebelumnya juga telah dijelaskan al-Kindi. Yakni hubungan
antara materi, gerak dan waktu, hubungan gerak dan waktu yang terbatas
menunjukkan bahwa materi yang terikat dengan gerak dan waktu tersebut
juga terbatas. Namun seluruh yang terbatas mi jelas takkan terpisahkan dari
yang tak terbatas atau Tuhan, karena yang terbatas (alam) memiliki hubungan
penciptaan dengan yang tak terbatas tersebut yakni Tuhan.
Logika berfikir ini turut mempengaruhi asumsinya mengenai Tuhan dan
sifat-sifatNya. Karena pensifatan terhadap Tuhan menunjukkan
kedudukannya yang sama rata dengan ciptaannya. Dan menghilangkan
hubungan penciptaan antara yang terbatas dan yang tidak terbatas. Lagipula
Tuhan tidak perlu disifati karena la telah dikenali melalui pengetahuan
pertama (filsafat pertama) dengan menunjukkan terma- terma negative yang
mengukuhkan perbedaannya dari ciptaanNya.26 Selain ide keesaan Tuhan
dan terbebasnya pensifatan terhadap Tuhan, Madjid Fakhry
menginformasikan ide-ide al-Kindi yang juga diduga memiliki kedekatan
makna, kedekatan prosedural juga kedekatan pemikiran. Misalnya saja
pendapat al-Kindi mengenai penciptaan dunia secara ex nihilo adalah
pengaruh dari prinsip-prinsip teologis mu’tazilah yang bertujuan sebagai
pembelaan Islam dalam menghadapi serangan- serangan kepercayaan lain,
baik Materialis, Manichaenis atau Agnostik. Al-Kindi juga mempertahankan
ajaran Islam seperti kebangkitan jasmani, mu’jizat, keabsahan wahyu Nabi
serta kemunculan dan kehancuran dunia oleh Tuhan.27
Al-Kindi meramu segala sisi keilmuan di zamannya, ia menjelaskan
argument-argumen para filosof Yunani. Tapi ia juga menerima teologi
mu‘tazilah dan tafsir ayat-ayat al-Qur'an. Keseluruhannya diramu dalam
bahasa filosofis dengan menganalogkan setiap proses baik penciptaan,
kekekalan dan kebangkitan jasmani dengan logika dan rasionalitas filosofis.
Karya al-Kindi menjadi rujukan filosof-filosof sesudahnya, dalam karyanya
akan ditemukan ide-ide Proclus, John Philoponus (arab: Yahya al-Nahwi)
termasuk mengutip dari Metaphysics Aristoteles, juga Physics, DeAnima dan
Categoriae28
Jejak-jejak ini membuktikan bahwa betapa al-Kindi berupaya keras
melapangkan jalan filsafat untuk kemudian diterima dalam Islam. Al-Kindi
tidak hanya meleburkan diri pada filsafat Yunani tapi juga mengelaborasi
teologi, menafsirkan dan menakwilkan setiap pemikiran dan pendapat demi
menunjukkan keesaan Tuhan yang sesungguhnya. Menurut al-Kindi,
kebenaran filosof tidak berbeda dari kebenaran kaum muslim yang beriman.
Filsafat atau Teologi mengabdi pada tujuan yang sama yakni pengetahuan
tentang yang Maha Benar (al-Haqq).
2.
Ruh, Akal dan Materi
Penjelasan al-Kindi mengenai jiwa, ruh dan akal diduga terkacaukan dengan
ajaran-ajaran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Keterkacauan itu ditegaskan
Ahmad Fuad el-Ehwani dikarenakan al-Kindi mertevisi bagian-bagian yang
diterjemahkan dari Enneads-nya Plotinus, sebuah buku yang secara salah
dinisbahkan pada Aristoteles. Al-Kindi mengira ia meminjam ajaran Plotinus
tentang ruh dan mengikuti pola Aristoteles dalam berteori tentang akal,
padahal sesungguhnya gagasan yang dipaparkan itu dipinjam dari
Enneads.29
Jiwa digambarkan al-Kindi sebagai kesempurnaan awal bagi fisik yang
bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki kehidupan energik atau
kesempurnaan fisik alami yang memiliki alat dan mengalami kehidupan, ia
merupakan suatu wujud sederhana yang zat-nya terpancar dari Sang Pencipta,
persis seperti sinar yang terpancar dari matahari.10 Sifat ruh itu sendiri
adalah spiritual sehingga membuatnya berbeda dengan tubuh. Anda dapat
mengingat kembali teori al-Kindi mengenai dua alam, alam atas dan alam
bawah. Dan ruh merupakan bagian dari alam atas, itu sebabnya ruh berbeda
dari tubuh. Kedudukannya di alam atas, menjadikan ruh tidak tersusun,
mempunyai arti penting dan mulia, karena substansi ruh berasal dari
substansi Tuhan. Adapun tubuh (jism) mempunyai sifat hawa nafsu dan
pemarah dan itu menunjukkan tempatnya di alam bawah. Pemisahan antara
tubuh dan ruh ini sekaligus mengindikasikan keyakinan al-Kindi bahwa ruh
adalah berbeda, tubuh dapat menjadi binasa tetapi tidak berimplikasi pada
musnahnya ruh.
Dari pertemuan antara ruh dan tubuh, ini al-Kindi menjelaskan daya jiwa. AlKindi membagi daya jiwa menjadi tiga;31
1)
.Daya indera; daya yang memahami bentuk-bentuk yang bersifat
inderawi dan eksternal yang berkaitan dengan materi-materi jiwa. Alat daya
ini adalah panca indera,
2)
.Daya perantara terdiri dari daya imajinasi; daya ini mampu
menghadirkan benda-benda inderawi meskipun tidak terlihat dengan cara
membayangkan dan mengingatnya, daya memelihara; daya yang menghafal
bentuk-bentuk inderawi dan membantu pembentukan fantasi dan imajinasi,
daya emosi, daya syahwat, daya nutrisi; kebutuhan manusia untuk mendapat
makan dan daya tumbuh dan,
3)
.
Daya berfikir (cognitive atau rational).
Keseluruhan daya ini dikatakannya harus dikendalikan oleh daya berfikir,
karena selain daya rasional dapat menyebabkan seseorang kehilangan arah.
Daya berfikir ini diibaratkannya sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya
sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Pengendalian kedua
daya tersebut adalah dengan penggunaan akal budi yang baik melalui daya
berfikir.
Al-Kindi berargumentasi bahwa terdapat diferensiasi antara ruh dan tubuh.
Konsepnya dekat kepada pemikiran Plato daripada Aristoteles. Aristoteles
memandang hubungan ruh dan tubuh adalah satu kesatuan, sehingga ruh
adalah huduts sebagaimana tubuh, tetapi Plato berpendapat bahwa kesatuan
antara ruh dan tubuh adalah kesatuan accidental dan temporer. Sehingga versi
Plato binasanya tubuh tidak mengakibatkan lenyapnya ruh.32 Meskipun
begitu, ruh bagi al-Kindi adalah hasil emanasi Tuhan, tapi bagi Plato berasal
dari alam ide.
Karena sifat ruh yang sempurna dan ilahiah ini, al-Kindi menegaskan
kedudukan ruh yang lebih dominan daripada tubuh. Ruh adalah sarana
komunikasi untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Bila
dipisahkan dari tubuh, maka ruh memperoleh pengetahuan tentang segala
yang ada di dunia dan melihat hal yang adialami. Setelah terpisah dari tubuh,
ia menuju ke alam kebenaran atau alam akal di atas bintang- bintang, kembali
ke nur Sang Pencipta dan bertemu dengan-Nya. Ruh tak pernah tidur dan
ketika tubuh tertidur ia terlepas dari indera-inderanya. Dan bila ruh disucikan,
ruh dapat melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara
dengan ruh-ruh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka.33 Gagasan
ini disampaikan al-Kindi dalam “Perihal Tidur dan Mimpi” yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dimana ia menjelaskan bahwa tidur
ialah menghentikan penggunaan inderawi dan hanya menggunakan nalar,
maka ia bermimpi.
Dalam konsepsinya, al-Kindi menjelaskan penyucian ruh ialah berkaitan
dengan penggunaan nalar dalam mengendalikan keberangan dan hasrat.
Konsep yang sebelumnya telah dijelaskan mengenai daya jiwa. Untuk
konsepsi nalar yang dengan subjek pelakunya adalah akal, al-Kindi membagi
empat macam akal.
Pertama, akal yang selalu berada dalam aktualitas; akal ini merupakan inti
semua akal dan semua objek pemikiran. Akal ini menurut para peneliti tak
lain adalah Allah Swt atau Akal Pertama bagi makhluk, sebagian peneliti
lainnya berpendapat, akal tersebut ada di dalam jiwa dan tidak berbeda
dengan jiwa yang disebut dengan al-kulliyyat di dalam jiwa dan tidak
berbeda dengan jiwa. Seperti prinsip yang digunakan al- Kindi mengenai
kultiyyat dan juz’iyyat, kulliyyat adalah “sesuatu” yang mengeluarkan jiwa
dari potensial menjadi aktual. Keberadan kulliyatdalam jiwa akan mengubah
jiwa menjadi berakal. Konsep ini sebenarnya adalah sebuah bentuk emanasi,
dimana daya berfikir manusia dalam hal ini akal akan dapat diberdayakan
jika telah mendapatkan emanasi dari intelegensia ketuhanan; atau akal
aktualitas. Keterkacauan ini yang kemudian dijelaskan oleh al-Farabi dalam
konsep akal praktis dan teoritis, bahkan disempurnakannya dengan
perjalanan teori sepuluh intelegensi yang juga merupakan fondasi Teori
Kenabian. Itu sebabnya predikat “guru kedua” dinisbahkan pada al-Farabi
dan tidak pada al-Kindi.
Kedua, akal potensial berada di dalam ruh; yakni kesiapan yang ada pada
manusia untuk memahami hal-hal yang rasional.
Ketiga, akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari potensial menjadi aktual;
ketika jiwa memahami hal-hal yang rasional dan abstrak (kulliyyat), maka
jiwa menyatu dengannya. Akhirnya hal-hal rasional dan akal berubah
menjadi sesuatu yang sama, ini dideskripsikan al-Kindi seperti daya menulis
pada penulis yang dapat menulis kapan saja ia mau. Karenanya, akal ini
disebut akal kepemilikan (akal mustafad) yang maksudnya bahwa awalnya
bukan miliki jiwa kemudian menjadi miliknya.
Keempat, akal yang dikenal dengan akal kedua yaitu akal yang
mempraktekkan aktualitas menjadi praktek atau realitas. Disebut dengan akal
lahir, yakni akal yang jika selalu diasah untuk memahami hal-hal rasional
akan mengubahnya menjadi bentuk lain34
Kesimpulannya, al-Kindi mencoba menafsirkan akal agen menjadi akal yang
selalu berada dalam aktualitas, akal ini sering ditafsirkan menjadi
“intelegensia ketuhanan" yang mengalir ke dalam ruh kita. Artinya akal agen
adalah emanasi dari Tuhan dan belum berhubungan dengan tubuh. Lebih
lanjut, tubuh dalam hal ini dibahasakan genus-genus atau spesies jika
menyatu dengan ruh maka mereka menjadi terakali, menjadi potensial. Akal
yang selalu berada dalam aktualitas setelah menyatu dengan tubuh ini
kemudian menjadi bersifat potensial. Akal yang potensial ini kemudian
berupaya mencari pengetahuan dan setelah mendapatkannya akal berubah
dari potensial menjadi aktual.
Perbedaan antara akal ketiga dan keempat ini dapat dideskripsikan sebagai
berikut, akal ketiga seperti seseorang penulis yang telah belajar menulis,
artinya ia mengetahui seni menulis, tata cara dan prosedur menulis. Ketika
seluruh pengetahuan yang diketahuinya ini dipraktekan dalam kegiatan
menulis maka akal telah menuju akal keempat dimana aktualitas telah
diimplementasikan dalam perbuatan.
Melanjutkan konsepsi tersebut, al-Kindi menegaskan kedudukan akal sebagai
sesuatu yang tunggal tetapi melingkupi beragam proses. Sehingga meski
terdapat beragam pengetahuan di alam semesta ini, akal tetaplah satu,
tunggal, penerimaan pengetahuan itu adalah proses dari ketersatuan antara
ruh dan tubuh. Oleh karena itu, hanya ruh-ruh suci sajalah yang dapat pergi
menuju alam kebenaran. Tetapi bagi ruh-ruh yang kotor, mereka baru sampai
ke bulan, membersihkan dirinya di sana, baru pindah ke Merkuri dan naik
setingkat demi setingkat sampai benar-benar bersih sampai mencapai alam
kebenaran. Dan akal bersama tubuh melakukan elaborasi bersama untuk
mensucikan ruhnya dan menghantarkannya pada alam kebenaran melalui
perbuatan-perbuatan di dunia dan kedekatan spiritualitas yang dibangun.35
Dari sini, terlihat al-Kindi mempercayai kekekalan ruh namun kekekalannya
bergantung pada kekekalan Tuhan. Karena qadimnya ruh 6\qadimkan oleh
Tuhan, disinilah kemudian kita dapat menjelaskan perbedaan dua alam yang
disampaikan al-Kindi. Alam atas merupakan alam spiritual, dimana akal dan
ruh bersemayam di dalamnya. Dan alam bawah adalah alam materi dimana
bentuk, gerak dan waktu adalah indikasi kebaharuannya, dimana ketiganya
merupakan unsur dari setiap fisik. Sehingga meski mengakui bahwa hanya
Tuhan yang kekal, al-Kindi juga mengakui terdapat kekekalan-kekekalan lain
yang bergantung pada emanasi Tuhan, yakni akal dan ruh. Adapun materi
yang terkait dengan fisik adalah baharu (huduts), namun mereka pun tetap
merupakan bagian dari Tuhan, karena diciptakan artinya kebaharuan mereka
berada dalam kuasa Tuhan.
Untuk menjelaskan ide baharu (huduts) ini, dideskripsikan melalui hubungan
simbiosis waktu dan gerak, dimana satu dengan lainnya memiliki keterkaitan
yang sangat erat. Waktu adalah bilangan pengukur gerak, karena waktu
menerangkan yang dahulu dan kemudian, dimana waktu adalah bilangan
yang berkesinambungan. Waktu adalah sebuah bentuk pengetahuan tentang
kuantitas dan ruang serta gerak adalah kuantitas tersebut. Sehingga gerak dan
ruang berada dalam lintasan waktu dan waktu terikat bersama ruang dan
gerak, dan keterikatan tersebut terkoneksi langsung pada Sebab Pertama
yakni Tuhan.
Konsepsi mengenai materi ini menurut Felix-Franke memiliki kemiripan
dengan inti doktrin mu’tazilah, tetapi dalam penjelasan mengenai struktur
materi ditemukan sejumlah kemiripan sporadis serta perbedaan-perbedaan
filosofis penting antara al-Kindi dengan mu’tazilah. Kebanyakan kaum
mu’tazilah berpendapat bahwa materi terdiri dari partikel-partikel kecil yang
tidak dapat dibagi-bagi, yakni atom. Mereka mengandaikan bahwa segala
sesuatu yang diciptakan adalah terbatas dalam dimensi waktu dan ruang. Dari
sini, mereka berkesimpulan bahwa kemungkinan materi dapat dibagi-bagi
juga terbatas. Oleh sebab itu, mereka menerima eksistensi atom.36 Namun,
al-Kindi menolak struktur materi yang atomistik, baginya materi itu
berstruktur-kontinu dan abadi, tetapi tidak tak terbatas. Alam semesta adalah
suatu “substansi material (body)” yang terbatas, karena keterbatasannya alam
semesta terpisah dari alam-alam atas yang immaterial berupa wujud-wujud
spiritual.37
3.
Integrasi ilmu
Keahlian al-Kindi dalam berbagai bidang ilmu, baik ilmu umum dan agama
membuatnya mampu menerangkan hubungan filsafat dan agama dengan
penjelasan yang sangat baik. Kemampuan menjelaskan ensiklopedi filsafat
Yunani dalam bahasa agama ini pula yang membuatnya ditetapkan sebagai
filosof pertama dalam Islam. Al-Kindi berusaha memadukan antara agama
dan filsafat, menurutnya, filsafat adalah pengetahuan tentang kebenaran dan
al-Qur'an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan
benar tidak mungkin berbeda dengan kebenaran filsafat.38 Karena itu,
mempelajari filsafat dan berfilsafat diperbolehkan karena teologi juga adalah
sebuah upaya pembacaan agama dengan menggunakan filsafat.
Arah pencarian filsafat dan agama yang sama-sama mencari kebenaran atau
al-Haqq yakni Tuhan. Menurut al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat
(kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu
keesaan, ilmu keutamaan, ilmu tentang semua yang berguna dan cara
memperolehnya serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Jadi,
tujuan seorang bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran dan bersifat
amalan, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin
dekat kepada kebenaran semakin dekat pula pada kesempurnaan. Meski
mengagungkan metode filosofis, bagi al-Kindi kebenaran al-Qur‘an lebih
valid dari pada hasil-hasil filsafat. Karena al- Our'an adalah wahyu, sesuatu
yang di luar kesanggupan pengetahuan manusia.39
Ruang lingkup filsafat itu sendiri tidak terbatas hanya pada ilmu- ilmu di luar
wahyu, seperti ilmu-ilmu kealaman dan matematis. Filsafat dituturkan alKindi mencakup segala bidang ilmu bahkan pengetahuan tentang Tuhan
sekalipun, al-Kindi mendorong dengan keras sebuah definisi integratif
tentang ilmu pengetahuan, dimana ia mendorong penggabungan pembahasan
mengenai fisika dan metafisika, sains dan teologi.40 Yang bagi umat muslim
sekarang digaung-gaungkan untuk mencapai keselarasan antara ilmu
pengetahuan, iman dan taqwa. i ’.idahal, di zamannya ide al-Kindi ini sempat
dikecam, karena dituduh telah menganggap spekulasi intelektual lebih tinggi
dari al-Qur’an dan hadis dan dituduh terlalu berani menetapkan kebenaran
rukun-rukun iman melalui pemikiran (nalar) dan tidak berdasarkan dalil.
Untuk menggambarkan cara kerja filsafat, al-Kindi membagi filsafat menjadi
dua bagian utama yakni studi-studi teoritis dan studi praktis. Studi teoritis
mencakup di dalamnya fisika, matematika dan metafisika dan studi praktis
mencakup etika, ekonomi dan politik.41 Pembagian ini agaknya dilakukan
al-Kindi untuk menunjukkan keselarasan antara filsafat dan agama. Dimana
ia mendudukkan kajian metafisika, yang notabene wilayah kajian agama
bersama dengan matematika dan fisika. Lebih lanjut, keselarasan tersebut
disampaikannya dalam tiga alasan: pertama, Ilmu agama merupakan bagian
dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran
filsafat saling bersesuaian dan ketiga, Menuntut ilmu secara logika
diperintahkan oleh agama.42
Meskipun begitu, al-Kindi menegaskan bahwa wahyu tetaplah yang terbaik,
setingkat lebih tinggi dari akal. Ajaran agama diterangkan al-Kindi adalah
ilmu ilahiah dan filsafat serta bagian-bagiannya adalah ilmu insani. Ajaran
agama perlu diresapi dengan keimanan dan merupakan sebuah kepercayaan
yang tidak bisa diganggu gugat, adapun filsafat adalah proses pengolahan
akal.43 Itu sebabnya, pengetahuan Nabi diperoleh langsung melalui wahyu
menjadi semacam “given" sedangkan pengetahuan para filosof diperoleh
melalui logika dan pemaparan.
Oleh karena itu, setiap manusia menurut al-Kindi perlu dan harus menerima
filsafat dan mempelajarinya. Karena hanya seorang Nabi sajalah yang dapat
diberi ilmu ilahiah sedangkan manusia hanya diberi ilmu insani sehingga
perlu diolah dan dipahami untuk dapat mencapai kebenaran yang
sesungguhnya. Dengan demikian, orang yang menolak filsafat, dapat
digolongkan menjadi kufr, karena orang tersebut menghindarkan diri dari
upaya pencarian kebenaran.44
Di samping itu, karena penyampaian kebenaran adalah juga upaya
memahami Tuhan, mengenal dan menerima pengetahuan tentang Tuhan,
tentang keesaan-Nya, tentang ciptaan-Nya dan juga sebagai dasar bagi
manusia untuk mengerti makna baik dan buruk. Maka, dari manapun
datangnya kebenaran, kebenaran itu perlu direspon dengan baik, meski dari
Yunani sekalipun yang tidak muslim. Adapun seseorang yang mengingkari
kebenaran tidak berbeda dengan orang yang memperjualkan agama, karena
agama adalah kebenaran itu sendiri, sehingga orang seperti itu yang
beranggapan bahwa kebenaran hanyalah miliknya, asumsinya, pemikirannya
dan madzhabnya saja lalu mengkafirkan orang lain, maka sebenarnya dialah
yang kafir, karena dia menolak kebenaran dan memperdagangkan agama.45
Disebabkan posisi filsafat sebagai ilmu insani, al-Kindi mengakui bahwa
pencapaian-pencapaian filosofis tidak bersifat kepastian dan perlu
dikembangkan serta direnungkan lebih jauh yang untuk pengembangannya
dilakukan melalui proses belajar secara terus menerus. Dan agama
menawarkan beragam ilmu untuk kemudian ditakwilkan dan ditafsirkan, ini
terlihat dari kedudukan bahasa Arab yang memungkinkan untuk dilihat
maknanya secara majazi atau hakiki. Namun seluruh usaha itu semua tetap
dibawah kepastian ilmu-ilmu ilahiah sehingga tetap membutuhkan penelitian
secara terus menerus.
Pemahaman al-Kindi ini menunjukkan bahwa meski ia merupakan seorang
yang menggandrungi filsafat Yunani, ia tetaplah seorang muslim yang shalih.
Al-Kindi berupaya mengingatkan umat untuk menghindarkan diri dari
fanatisme jiwa, dimana kebenaran diklaim secara sefihak. Rasionalisme
adalah bagian dari prosedur keilmuan di alam ini, tetapi akal dalam beberapa
hal tidak dapat menyentuh hal-hal ilahiah, akal hanya berupaya memahami
implementasi dari keesaan lllahi. Keshalehan dan upaya penyelarasan filsafat
dan agama ini rupanya belum cukup menunjukkan keseriusan al-Kindi untuk
membuktikan bahwa al-Kindi berusaha menjaga kemurnian ajaran islam
dengan berfilsafat. Al-Kindi tetap dituduh sebagai pembuat bid’ah dan
dianggap mempersoalkan kedudukan yang sudah benar, fitnah lainnya alKindi dituduh memanfaatkan kekuasaan demi kedudukannya sebagai seorang
lilsafat. Tuduhan-tuduhan ini kemudian menggiringnya pada kesepian
menjelang akhir hayatnya, la dipecat dari jabatannya sebagai seorang !iuru
bagi kerajaan, diasingkan dan perpustakaannya disegel dan ti.igisnya 270
karya yang ditulisnya menghilang, hanya tersisa sedikit uija yang bias
dinikmati oleh umat Islam belakangan. Sebuah tragedi keilmuan karena
klaim kebenaran yang tak kunjung usai. Semoga umat Islam belajar banyak
dari tragedi ini, sebagaimana yang diajarkan al- I' mdi bahwa ilmu adalah
usaha terus-menerus yang tak kunjung usai.
B.
AL-RAZI
Nama al-Razi sangat dikenal di kalangan intelektual Eropa, dia dikenal
dengan nama Rhazes. Tokoh yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad
ibn Zakaria al-Razi ini lahir di Rayy, dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H
(865 M). Al-Razi adalah seorang dokter, filosof, kimiawan dan pemikir
bebas, bahkan menurut riwayat, al-Razi menguasai teknik musik baik teori
maupun praktik, dan seorang alkemi sebelum belajar formalnya di bidang
kedokteran. Pada masa mudanya, al-Razi pernah menjadi tukang intan,
penukar uang dan seorang pemain musik kecapi tetapi ghirah belajarnya yang
tinggi membuatnya menjadi seorang ahli dalam berbagai bidang.46
Di Rayy, al-Razi belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban al- Thabari (w.
240 H) dan mempelajari filsafat kepada al-Balkhi, ilmuwan yang menguasai
filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Kecermelangan keilmuan al-Razi juga didukung
patronage penguasa pemerintahannya.47 Dinasti Saman yang menguasai
wilayah dimana al-Razi hidup dikenal sebagai dinasti yang sangat mencintai
pengetahuan. Ini terbukti dengan kedekatan sang penguasa terhadap seorang
pemikir rasionalis sekelas al-Razi. Pada masa Mansyur ibn lshaq, al-Razi
ditugaskan untuk memimpin rumah sakit di Rayy selama enam tahun (290296 H). Setelah menunaikan tugasnya memimpin rumah sakit di Rayy, atas
permintaan Khalifah al- Muktafi (289-295 H) ia memimpin rumah sakit di
Baghdad.48 Dan untuk menghormati Mansyur ibn lshaq, al-Razi menulis
buku al-Thibb al- Manshuri. Selain menulis kitab al-Thibb al-Manshuri, juga
menulis dua ratus karya dan dijuluki sebagai seorang “dokter Islam yang
tidak tertandingi”. Namun, karena pemikirannya yang sangat bebas dan
rasional, al-Razi memiliki lawan-lawan dalam pemikiran, bahkan para filosof
sesudahnya kurang menyetujui beberapa ide-ide al-Razi.49
Perbedaan yang paling signifikan dari wacana yang dicetuskan al-Razi adalah
pembahasannya tentang agama dan kenabian. Karena rasionalitasnya, al-Razi
mengingkari kenabian, meski ia tetap meyakini bahwa Allah adalah Tuhan
Yang Esa, yang diyakini sebagai pencipta dan Tuhan alam semesta. Kritiknya
terhadap teori kenabian ditulis dalam buku Naqdh al-Nubuwwah, pada buku
ini al-Razi mengatakan bahwa kenabian sangat membahayakan manusia,
menyebabkan kemalasan, kepasrahan dan kesempitan akal. Selain itu,
kenabian juga menyebabkan timbulnya permusuhan dan peperangan.50
Meski pemikiran filsafatnya kontroversial, al-Razi dikenal sebagai seorang
yang murah hati, santun pada pasien-pasiennya dan dermawan. Kepada para
fakir dan miskin, al-Razi tidak memungut bayaran sedikit pun. Al-Razi pun
adalah seorang yang ulet bekerja dan belajar, karena aktifitas belajarnya yang
tinggi, al-Razi sampai mengalami kebutaan. Tulisan-tulisannya di bidang
kedokteran hingga kini tetap menjadi rujukan bahkan oleh intelektualintelektual Eropa sekalipun. Tulisan-tulisan al-Razi meliputi pula karyakaryanya tentang diet dan perawatan terhadap kelumpuhan, diabetes, radang
sendi, mulas dan encok juga anatomi liver, mata, kandung kemih, telinga dan
jantung serta pembahasan komperhensifnya mengenai penyakit cacar.
Disamping kedokteran, al-Razi juga menulis di bidang astronomi, etika,
psikologi dan filsafat.51
Tulisan-tulisan al-Razi membuktikan kehebatan intelektualnya, meski
merujuk pada beberapa pemikiran Yunani, al-Razi juga mereform ide-ide
Yunani dengan pemikiran-pemikiran dirinya. Al-Razi merujuk pada Galen,
Plato, Phorphyry, Democritus dan Aristoteles dalam beberapa karyanya.
Adaptasi karyanya terhadap karya Galen sampai membuat al- Razi disebut
dengan seorang Galenis karena ia mencantumkan dalam daftar pustakanya
karya-karya Galen yang tidak tercantum dalam catalog Galen sendiri atau
katalog penerjemah besar, Hunain ibn lshaq.52
Perjalanan hidupnya yang sangat menarik sekaligus kontroversial menjadi
warna tersendiri. Al-Razi adalah filosof rasionalis, ia berbeda dengan
mu’tazilah yang rasionalis murni, dari rasionalismenya, pemikiranpemikiran al-Razi berkembang dan mesti menuai kritik ia dikagumi. Orangorang Oaramithah dari kalangan muslim dan orang-orang yang murtad dari
Nasrani banyak yang terpengaruh oleh pandangannya tentang kenabian.
Tokoh yang dijuluki dengan TheArabic Galen ini wafat pada 5 Sya’ban 313
H, setelah penyakit kebutaan selama bertahun-tahun.
1. Filsafat al-Razi Metafisika
Sebagaimana filosof-filosof muslim sebelumnya, metafisika al- Razi juga
membahas kekekalan dan kebaharuan. Kekekalan dan kebaharuan ini adalah
bagian dari pemahaman mengenai penciptaan, yang di dalamnya
diperdebatkan “bagaimana proses penciptaan ?", "apakah diciptakan dari
ketiadaan ?", “mana yang bermula dan mana yang berakhir Dari setiap
wacana yang diperdebatkan itu kemudian filosof berijtihad untuk
menentukan kekekalan dan kebaharuan.
Al-Razi mempostulatkan lima wujud kekal yang dari interaksi kelimanya
membentuk dunia ini. Lima kekekalan itu adalah Tuhan, Jiwa universal,
Materi pertama, Ruang Absolut dan Masa Absolut. Meski kelimanya disifati
“kekal” tetapi posisi dan kedudukan setiap unsur dalam lima kekekalan
tersebut tidak sama, perbedaannya terletak pada unsur yang disebut al-Razi
dengan potensi hidup (aktif) dan pasif.53 Daya aktif dan pasif ini
menunjukkan kelebihan satu kekekalan dengan kekekalan lainnya, dan ini
akan menjawab paradoks-paradoks yang dimunculkan filosof penganut
creatio ex nihiilo mengenai asal usul dunia.
Sesuatu yang maujud (berwujud-ada) dikatakan al-Razi tersusun dari lima hal
yakni materi yang terbentuk dan tersusun, ruang sebagai tempat, berada
dalam lintasan waktu dan ruh. Ruh adalah esensi dari sesuatu yang maujud,
itu sebabnya dari lima kekekalan al-Razi menetapkan Tuhan dan Ruh (Jiwa
Universal) sebagai dua unsur kekekalan yang berdaya hidup dan aktif.54
Adapun materi, waktu dan ruang yang merupakan unsur-unsur pengikat
sesuatu yang maujud, maka perlu ada tata hukum yang mengatur semua
proses itu dengan sempurna. Pengaturan itu meliputi kedudukan materi yang
harus dibentuk atau disusun dan keterlibatan ruh di dalamnya. Hubungan
antara materi, ruang, waktu dan ruh membuktikan bahwa untuk setiap
hidupnya yang maujud perlu ada Pencipta, Pengatur yang bijaksana, maha
mengetahui, dapat melakukan segala hal dengan sempurna, dan Dia adalah
maha di atas maha.55
Al-Razi meyakini benar bahwa Tuhan adalah pencipta dan pengatur alam ini,
Tuhan lah yang memberikan pengetahuan pada jiwa dan tatanan gerak alam.
Al-Razi mengandaikan pengetahuan ini seperti cahaya yang bersinar. Dari
cahaya inilah materi pertama memiliki gerak dan jiwa aktif untuk membaur
dengan ruh, mencegah katalisme dan memungkinkan jiwa mengenal bahwa
dunia yang dihidupkan oleh gerak- geraknya bukan “tempat" sejatinya.
Tuhan membiarkan jiwa bergerak dengan pengalamannya bersama materi,
dari pengejawantahan jiwa dan materi di alam dunia, jiwa kemudian kembali
kepada dunia spiritual, yang di dalamnya semua jiwa adalah satu. Pergerakan
jiwa kepada materi adalah sebuah gerak spontan yang dibantu Tuhan melalui
sinar-Nya,56
Gerak spontan jiwa dan pembaurannya terhadap materi merupakan dilema
yang tampaknya hendak dipecahkan oleh al-Razi dengan menggunakan mitos
gnostik/ Neoplatonik, yakni sebuah pertanyaan, jika Tuhan menciptakan
dunia dengan tindakan berkehendak, ada pertanyaan kenapa Tuhan
berkehendak sekarang, kenapa tidak sebelumnya atau nanti ?. Apakah Tuhan
mengubah pikiran atau esensi-Nya menjadi pencipta setelah sebelumnya
bertindak tanpa tujuan semacam itu ?. Dengan demikian, jika asal dunia
adalah peristiwa alamiah, berarti Tuhan berada dalam temporalitas, sama
dengan peristiwa-peristiwa yang didasari oleh tindakan-Nya, sehingga
manusia selalu berfikir untuk memulai suatu pencarian tak berujung pangkal
akan sebab dari segala sebab. Satu-satunya solusi ditegaskan al-Razi adalah
dengan menemukan alternatif ketiga bagi peristiwa-peristiwa yang
dikehendaki. Alternatif ini, menurut E. Goodman diambil al-Razi dari
gagasan Aristoteles tentang spontanitas, atau pemberian spontan atom-atom sejenis gerak yang langsung terkait dengan jiwa, tetapi bukan dengan
Tuhan.57
Kembali pada lima kekekalan, al-Razi menekankan kekekalan pertama
adalah Tuhan, Tuhan adalah sumber kekekalan yang hidup dan aktif. Sumber
kedua adalah Jiwa Universal, tetapi jiwa universal memiliki dorongandorongan yang dikuasai oleh naluri untuk bersatu dengan materi pertama.58
Dorongan-dorongan itu muncul dari sinar yang dipancarkan Tuhan, yang
mengiringi pertemuan antara ruh dan materi. Al-Razi menegaskan bahwa
sinar itu kemudian akan memancar dalam diri manusia pada alat yang
disebutnya dengan akal. Perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya
menurut al-Razi adalah intensitas sinar yang dipancarkan Tuhan. Pada tingkat
sinar terendah, akal tidak akan terbentuk sehingga memunculkan sesuatu di
luar manusia seperti hewan dan tumbuhan dan manusia merupakan penerima
sinar terbaik sehingga disebut dengan hayawanun nathiq,59
Fungsi akal adalah untuk menyadarkan jiwa jika terlena dalam fisik manusia,
bahwa tubuh (materi) bukan tempat yang sebenarnya, bukan tempat
kebahagiaan dan tempat keabadian. Kesenangan dan kebahagiaan yang
sesungguhnya adalah dengan melepaskan diri dari materi dengan berfilsafat.
Ketika ruh melakukan gerak spontannya pada materi, Tuhan membantunya
dengan menciptakan alam semesta dan tubuh sebagai wadah perpaduannya
tersebut.
Jika jiwa/ ruh adalah kekekalan kedua yang hidup dan aktif, materi adalah
kekekalan ketiga yang tidak hidup dan pasif. Kemutlakan materi pertama
terdiri atas atom-atom, setiap atom mempunyai volume, yang karena
volumenya pengumpulan atom dapat dibentuk dan disusun.
Sehingga bila dunia dihancurkan, materi terpecah dalam bentuk-bentuk atom.
Bumi ini sendiri tersusun dari atom-atom yang terkumpul menjadi elemenelemen kehidupan, misalnya tanah adalah elemen yang paling padat, air
adalah elemen yang lebih renggang dari tanah, udara adalah elemen yang
lebih renggang lagi dari air, sedangkan yang sangat renggang lagi adalah
api.60
Elemen-elemen kehidupan merupakan dasar utama dalam siklus hidup. AlRazi menyebutkan bahwa air, api, udara dan tanah unsur- unsur yang terdapat
dalam diri manusia.61 Empat elemen dasar ini mengukuhkan al-Razi sebagai
rasionalis murni, selain itu al-Razi juga menunjukkan bahwa dalam dunia ini
selalu terjadi dua hal yang berlawanan, besar kecil, baik jahat dan lainnya. Ini
menurut al-Razi membuktikan bahwa alam ini tersusun dalam hukum sebab
akibat. Terdapat peraturan tak terlihat yang menjaga alam bergerak dalam
poros tertentunya. Pada taraf inilah menurut al-Razi, materi memiliki
ketergantungan pada Tuhan sebagai pencipta hukum alam dan
keteraturannya.62
Berdasarkan kekekalan yang sama sekaligus berbeda antara materi, ruh dan
Tuhan, al-Razi meyakini bahwa Tuhan tidak menciptakan dari ketiadaan.
Filosof ini diduga mencoba merevisi tradisi secara menyeluruh dan seksama
terhadap pemikiran creation ex nihillo. Untuk idenya ini, al-Razi beralasan
bahwa segala penciptaan membutuhkan pencipta dan yang diciptakan, selain
itu jika kita berasumsi bahwa wujud tercipta dari kekuatan agen (ruh) dan
kita mengatakan bahwa agen ini kekal dan tidak dapat diubah kecuali dengan
kehendak-Nya, maka tentu yang menerima kekuatan ini (materi) kekal
sebelum menerima proses penciptaan tersebut. Alasan lainnya, jika
diasumsikan bahwa yang ada di muka bumi ini adalah hasil dari penciptaan,
maka segala sesuatu di dunia ini selayaknya adalah sebuah hasil ciptaan dan
tidak terbentuk dari susunan.63 Namun, realitasnya segala sesuatu yang ada
di dunia ini dihasilkan oleh susunan dan bukan oleh penciptaan. Al-Razi
menambahkan bahwa induksi alam semesta membuktikan hal ini.
Dari ide kekekalan materi ini, al-Razi kemudian menyimpulkan kekekalan
ruang dan waktu karena keterikatan keduanya pada materi. Tetapi kekekalan
ruang dan waktu tidak hidup, tidak aktif dan juga tidak pasif. Ruang
dipahami oleh al-Razi sebagai konsep yang abstrak, berbeda dari Aristoteles
yang mengartikan ruang sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari materi
yang menempatinya. Al-Razi membagi ruang menjadi ruang particular dan
ruang universal, yang pertama terbatas dan terikat dengan wujud yang
menempatinya, sedangkan yang kedua tidak terikat dengan wujud dan tidak
terbatas.64
Ruang itu sendiri bagi al-Razi bisa saja berupa tempat tetapi bisa juga
abstrak, hampa dan tidak berwujud. Teori kehampaan ruang ini dikaitkan alRazi dengan paham mengenai wujud, menurut al-Razi, wujud yang
memerlukan ruang tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa
berwujud meski tidak ada wujud. Artinya jika di ruang tersebut ada wujud
(benda) maka ruang itu dan wujud adalah satu kesatuan, tetapi jika di dalam
ruang tidak ada wujud, maka ruang tetap ada dan tetap dinamakan ruang.
Ruang bagi al-Razi tidak terikat dengan wujud, tetapi wujud -meski tidak
semua- terikat dengan ruang.65
Peran ruang yang menjadi tempat segala yang berwujud tidak berarti
kemudian bahwa ruang bereksistensi bergantung pada wujud. Al- Razi
menegaskan bahwa ruang dapat eksis meski tak ada wujud di dalamnya, dan
wujud yang telah berada dalam ruang, esensinya menjadi terbatas, karena
terikat dengan esensi tidak terbatas yang tidak mempunyai potensi. Wujudwujud yang berada dalam ruang merupakan pecahan-pecahan materi sejati,
sesuatu yang tersusun dari atom-atom. Ruang tak lain adalah tempat bagi
wujud-wujud yang membutuhkan ruang, yang berisi keduanya yang
berwujud maupun yang tidak berwujud. Artinya, bila berwujud,ia harus
berada dalam ruang, bila tidak ada wujud hanya ada ruang hampa, Untuk
ruang tanpa wujud, al-Razi menyebutnya dengan kehampaan ruang.
Kehampaan mempunyai kekuatan untuk menarik wujud-wujud agar
bersemayam di dalamnya. Al-Razi mengilustrasikan kehampaan ruang dan
potensi menariknya dengan misal sebagai berikut; air tetap berada di dalam
botol yang dimasukkan ke dalam air, meskipun botol tersebut terbuka dan
terbalik.66
Al-Razi menganalogkan ruang hampa berdaya tarik ini dengan jasmani
sebagai ruang hampa saat pertama kali muncul ke dunia. Dari kekosongan
jasmani ini, muncul daya tarik untuk memenuhi kekosongan dirinya dengan
teori tentang hasrat dan, dengan demikian gagasan sentralnya bahwa
kenikmatan (kinetic) adalah sensasi pemenuhan. Hasrat terjadi akibat
penggelembungan progresif dari organ-organ tubuh terkait, yang diduga
akibat dari penipisan atau kekurangan (rarefaction). Hasrat inderawi akan
menjadi pasangan sadar kekurangan jasmaniah yang nyata. Dan segala yang
bebas dipilih akan bersesuaian dengan gerak spontan organisme untuk
mengisi sebagian dari kekosongan spesifik.17
Adapun argument kekekalan waktu, yang juga seperti materi tidak hidup,
tidak aktif dan tidak pasif, al-Razi berpendapat bahwa waktu adalah substansi
yang mengalir dan bersifat kekal. Waktu dibagi al-Razi menjadi waktu
mutlak dan waktu relatif. Al-Razi menentang Aristoteles dan filosof- filosof
lainnya yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak benda, karena
jika demikian, tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak untuk bergerak
dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda.68
Waktu mutlak adalah waktu yang tidak memiliki awal dan akhir, artinya
universal, tidak memiliki batasan. Dan waktu relatif adalah waktu yang
dibatasi, waktu relatif ini adalah waktu yang ditetapkan berdasarkan ikatan
alam semesta dan gerakan falak, gerakannya timbul bersama gerakan timbul
dan tenggelamnya matahari. Sedangkan waktu mutlak adalah sebuah
konsekuensi kekekalan materi, sehingga pembagian waktu sama dengan
pembagian materi.69
5.
Teologi dan Teori Kenabian
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, teori kenabian al-Razi
merupakan teori yang sangat controversial tetapi ini tidak dapat menjadi
acuan bagi siapapun untuk menanggapinya dengan menyesatkan dirinya. AlRazi hanya berbeda dalam memahami konsep kenabian, dan itu tidak
memberi pengaruh bahwa kemudian dia menolak Islam dan ajaran-ajarannya.
Al-Razi tetaplah bertuhan dan menyembah Allah, hanya saja dia menolak
kenabian, karena kenabian menurut al-Razi membuat umat malas dan enggan
berjuang serta bekerja keras. Sepertinya yang ingin dikritik al-Razi bukan
pada keberadaan Nabi, tetapi pada kebiasaan umat yang salah
mempersepsikan ajaran Nabi dan membuaikan dirinya pada syafa'at Nabi.70
Fahamnya ini dapat dipahami, karena al-Razi adalah seorang yang dikenal
ulet, tegas dan pekerja keras.
Al-Razi beranggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan manusia tidak
memerlukan seorang Nabi. Cukup dengan akal, setiap manusia dapat
memberikan keteraturan dalam kehidupan ini, akal adalah anugerah terbesar
dari Tuhan untuk manusia. Akal dapat membantu manusia membedakan baik
dan buruk, memperoleh manfaat sebanyak- banyaknya dan memberikan
informasi pada manusia.71 Dengan demikian, terlihat al-Razi adalah seorang
yang mengkultuskan akal, sehingga dijuluki rasionalis murni.
Pandangannya mengenai keagungan akal dan keraguannya terhadap kenabian
diutrakannya dalam Naqdal-Adyan awfi al-Nubuwwah. Dikatakannya bahwa
seorang Nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai seorang yang memiliki
keistimewaan khusus, karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang
sama, dan fithrah yang sama, perbedaan antara satu dengan lainnya
disebabkan pengembangan potensi dilakukan oleh setiap individu.72 Al-Razi
juga menegaskan bahwa terdapat kekeliruan di dalam kitab-kitab suci, baik
itu dalam Islam, Nasrani, Yahudi atau bahkan Manichaenisme. Al-Razi
mencoba mengkritik setiap ajaran dalam kitab suci dengan ajaran kitab suci
agama lainnya, sehingga baginya tidak ada yang sempurna di dalam kitab
suci.73
Lebih lanjut, keberlangsungan agama hanyalah tradisi, kepentingan ulamaulama yang didukung oleh penguasa. Agama dalam beberapa hal hanya
menyebabkan manusia menjadi malas dan bodoh, apalagi jika penguasa
menndoktrinkannya dengan berbagai aturan yang membuat manusia semakin
terperangkap dan tidak memperbaharui dirinya. Yang paling buruk dari
agama, adalah penganut agama mengklaim dia-lah yang paling benar.
Sehingga setiap agama menyulitkan dirinya untuk bertoleransi dengan agama
lainnya, akibatnya seringkali terjadi pertengkaran dan perpecahan atas nama
agama.
Al-Razi pun menolak mu’jizat al-Qur’an dari segi kebahasaan, karena
mungkin saja seseorang dapat menulis yang lebih baik dari al- Our'an. Bagi
al-Razi, buku-buku ilmiah jauh lebih menawarkan kecerdasan daripada alQur'an. Dan terbukti para pendahulu (filosof Yunani) telah mendapat
kecerdasan mereka sendiri tanpa bantuan para Nabi.74 Menurutnya, ilmu
pengetahuan berasal dari tiga sumber yakni pemikiran yang didasarkan pada
logika, tulisan atau warisan ilmiah para penulis terdahulu yang telah ditelaah
dan diketahui bukti-bukti keilmuannya secara akurat, serta naluri yang
menuntun manusia tanpa perlu menggunakan pemikiran terlebih dahulu.
Warisan ilmiah dari para pendahulu termasuk di dalamnya sejarah yang
terjadi yang kemudian diambil ibrahnya,75 Ide-ide rasionalitasnya yang agak
berlebihan inilah yang kemudian membuatnya berhadapan dengan banyak
intelektual muslim yang membela teori kenabian. Misalnya saja Abu Hatim
al-Razi, seorang muhaddis yang juga pendakwah yang menulis responnya
dalam A’lam al-Nubuwwah; Abu Qasim al-Balkhi, tokoh mu’tazilah yang
merespon teori waktunya al-Razi dalam buku ‘llm Ulahi; Abu Bakr Husain
al-Tammar, seorang tabib yang menerangkan perbedaannya dari al-Razi
mengenai materi.76
Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan al-Razi, dia tetaplah seorang
filosof muslim yang melepaskan ide-idenya dengan baik. Bahkan
pengetahuan kimia dan kedokterannya yang memukau membantunya untuk
menjelaskan pemikiran metafisika. Al-Razi adalah nuansa baru dalam filsafat
Islam yang liberal, rasionalis dan reformis. Karena sebelum dan sesudahnya
tak ada seorang pemikir muslim yang seberani dirinya.
3.
Etika dan Moral
Pemikiran moral dan etika al-Razi dijelaskan dalam karyanya al-Tibb alRuhani dan al-Shirat al-Falsafiyyah. Seperti pemikiran al-Razi lainnya dalam
dua karyanya ini pun al-Razi menekankan pentingnya rasio dalam tingkah
laku manusia. Etika al-Razi, menurut E. Goodman, banyak memanfaatkan
unsur-unsur Epicurus.77 Seperti seorang penganut Epicurisme, al-Razi
adalah naturalis dan empiris dalam etika, dan menawarkan hedonisme asketis
lunak. Menurut al-Razi, kesenangan tidak dapat ditimbun dan ditumpuk
menjadi sensasi yang intens memberikan kesenangan bagi diri manusia.
Kesenangan yang sesungguhnya bagi al-Razi adalah kedamaian pikiran
dengan memaksimalkan kebahagiaan manusia, yakni dengan gaya hidup
bijak, yang di dalamnya hal ini hasrat-hasrat paling sederhana yang
disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan alam, mudah dipenuhi dengan cara-cara
yang sederhana. Kehidupan bermewah-mewah merupakan perangkap yang
tidak mengantarkan manusia pada kesenangan, tetapi justru pelenyapan
kesenangan yang sesungguhnya.78
Kesenangan itu sendiri didefinisi al-Razi sebagai suatu bentuk ketenangan.
Kesenangan adalah kembalinya badan ke keadaan alaminya yang sempat
terampas baik secara mendadak dan bijak, ataukah berangsur-angsur dan tak
bijak. Karena itu, semua kesenangan mengandaikan kepedihan sebelumnya
atau semacam keterlepasan dari sesuatu yang lain yang mungkin tidak
terasakan.79 Menurut al-Razi, kesenangan berbeda dengan kebahagiaan,
kesenangan disandarkan pada hawa nafsu, dan kebutuhan hawa nafsu selalu
menuntut pemenuhan tinggi. Sehingga kesenangan menuntut secara terus
menerus kesenangan lainnya, hingga kemudian semakin besar kebutuhan
hawa nafsu semakin sulit dipenuhi karena menjadikan hidup tercurah untuk
memuaskan nafsu secara terus menerus. Akan tetapi, al-Razi menegaskan
bahwa kesenangan dan kepedihan tidak kekal sehingga bisa terlepaskan
dengan memulihkannya secara terindera ke keadaan alam.
Al-Razi mengutip Plato tentang aspek jiwa yang terdiri dari nalar, kemarahan
dan hasrat. Untuk mengendalikan semua aspek jiwa tersebut, al-Razi
menegaskan bahwa manusia harus kembali ke alam. Ini dideskripsikannya
dengan gambaran orang yang meninggalkan tempat yang teduh menuju
tempat yang disinari panas matahari, akan senang kembali ke tempat yang
teduh tadi.80
Prinsip etika dan moral al-Razi juga dikaitkannya dengan keberlangsungan
jiwa dan tubuh secara bersama-sama. Jiwa dan tubuh sudah seharusnya
dalam kondisi sehat, dan seorang dokter harus menguasai dua bidang
tersebut. Pengetahuan tentang tubuh jelas kewajiban bagi seorang dokter dan
pemahaman yang tepat tentang jiwa adalah untuk menjaga keseimbangan
dalam aktivitas-aktivitasnya, agar tidak kurang dan juga tidak berlebihan.
Oleh karena itu, jiwa adalah juga factor penting dalam pengobatan.81
Al-Razi pun menekankan bahwa terdapat hubungan erat antara tubuh dan
jiwa, emosi tidak akan terjadi kecuali dengan persepsi inderawi. Emosi jiwa
yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga dapat
menimbulkan keragu-raguan dan melankolik. Sifat dengki akan
mendatangkan marabahaya bagi tubuh dan kekhawatiran berlebihan akan
membuat terjadinya halusinasi bahkan kemalasan.82
Inti ajaran moral dan etika al-Razi adalah menghindari sikap berlebihlebihan, tidak hanya untuk jiwa tapi juga tubuh. Al-Razi menyatakan bahwa
dalam hidupnya ia tidak pernah melanggar kedua batas ini. la tidak mengabdi
pada kerajaan untuk mendapatkan posisi- posisi tertentu, atau berupaya
mendapatkan kedudukan di menteri atau militer. Dia menjalankan sesuai
keahliannya sebagai seorang dokter, ia juga berupaya bertenggang rasa pada
hak-haknya. Makan, minum, persetubuhan dan kebutuhan hidup lainnya
ditatanya hanya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukannya. Ini terlihat
dari sikapnya saat ia tengah menderita kebutaan akibat frekuensi belajarnya
yang tinggi, dikisahkan, ketika seorang muridnya datang untuk
mengobatinya, al- Razi menolak, dia beralasan bahwa ia sudah cukup melihat
dunia dan ia telah siap meninggalkannya.83
Meski al-Razi seorang rasionalis, tetapi sikapnya menunjukkan akhlak yang
sangat mulia, bahkan kepasrahan dan keikhlasannya menunjukkan identitas
keislamannya dengan baik. Al-Razi pun mengingatkan setiap manusia tidak
perlu takut dengan kematian, karena kematian adalah kehancuran tubuh
manusia. Disini, al-Razi menolak kehidupan setelah kematian, karena jika
tubuh telah mati, maka ruh pun akan hancur sehingga tidak ada kehidupan
apa pun setelah kematian.84
Seluruh pemikiran al-Razi ini, memang membuatnya dituding sebagai
seorang zindiq, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa meski memiliki
ide-ide yang controversial, al-Razi tetap seorang penganut dan menjalankan
syari’ah Islam dengan baik. Idenya mengenai kehidupan setelah kematian
adalah upayanya untuk menghindarkan umat dari sikap bermalas-malasan,
tetapi sesungguhnya al-Razi tidak pernah menolak adanya hari akhirat.
Menurut Abd al-Lathif Muhammad al-Abbad, al-Razi juga menulis
pembahasan mengenai hari akhirat dan juga Pencipta alam (Allah). Bahkan
dalam kitabnya Sirr al-Asrar dan Bar’u al-Sa’ah, al-Razi bertahmid serta
mengucapkan sahalawat pada Nabi, al-Abbad mengkhawatirkan umat Islam
memahami al-Razi dengan keliru, karena tidak semua karyanya sampai ke
tangan kita, kebanyakan bahkan menemukan pemikirannya melalui tulisantulisan yang menggugat pendapatnya.
Sehingga meski kemungkinan pemikirannya mengenai kenabian ataupun
kehidupan setelah kematian adalah benar. Tetapi tidak selayaknya kita
menjudge al-Razi dengan zindiq, apalagi banyak riwayat yang
mengungkapkan keluhuran akhlak dan pribadi al-Razi. Termasuk di
dalamnya sikapnya sebagai seorang dokter, guru, dan filosof yang sangat
santun dan tawadhu’.
C.
AL-FARABI
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi
atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil
di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 258 H/ 870 M.
Beberapa riwayat mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang Turki tapi ada
juga yang mengatakan bahwa ayahnya seorang Persia yang kemudian
menjadi tentara perang Turki. Karena pemikiran-pemikirannya mengenai
filsafat Yunani sangat memukau, al-Farabi sangat dikenal di kalangan
intelektual Eropa, mereka menyebut al-Farabi dengan al-Farabius atau
Avennaser.85
Farab, tempat kelahiran al-Farabi adalah kota yang mayoritas penduduknya
bermadzhab Syafi’iyah. Di kota kecil ini, al-Farabi belajar al-Qur'an, tata
bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan
aritmetika dasar. Setelah menyelesaikan studi dasarnya, al-Farabi pindah ke
Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya.
Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius
dinasti Samaniyah. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di
bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Seorang khalifah yang
menggalakkan kembali budaya dan filsafat Persia dalam Islam.86 Pada masa
inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat
Persia. Di Bukhara juga al-Farabi pertama kali belajar tentang musik.
Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang
berjudul Kitab al- Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad
ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.87
Dari Bukhara, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami
logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn
Hailan.88 Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks- teks dasar
logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah
dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus.
Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan
Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut
baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun- tahun setelah al-Farabi
mempelajarinya dalam bahasa aslinya.89
Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun
900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), ia berangkat ke
Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia
sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang
filosof Nestorian, yang memiki reputasi tinggi dalam bidang filsafat dan
mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang
logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi,
kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya
dalam bidang logika.90
Pada akhir tahun 330 M (941 H), ia pindah ke Damaskus karena situasi
politik Bagdad yang memburuk.91 Dia sempat tinggal di sana selama dua
tahun dimana di siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun
dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat.
Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir!l? untuk pada akhirnya
kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus
yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota
penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya,
Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya
dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai
bahasa.93 Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap
berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk
karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di
tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.94
1.
Filsafat al-Farabi Logika, Filsafat Bahasa dan Epistemologi
Kepakaran al-Farabi dibidang logika dibuktikannya melalui tulisantulisannya mengenai logika dan filsafat. Al-Farabi menulis syarh mengenai
pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles,95 dimana di dalamnya ia
menekankan pentingnya memahami pemikiran dua tokoh besar ini, karena
sesungguhnya metode-metode akal (logika) dicetuskan oleh Plato dan
Aristoteles. Disini ia membahas teori-teori yang terdapat dalam Organon-nya
Aristoteles, juga menjelaskan pencapaian-pencapaian dari Aristoteles dan
Plato. Kemampuannya yang menguasai Isagoge-nya Porphyry, Rhetoric dan
Poef/'cs-nya Aristoteles dan De Interpretatione membantunya memahami
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam metode-metode Aristoteles dan
Plato.96 Tulisan-tulisannya banyak dipengaruhi pemikiran Aristoteles, tetapi
juga dikembangkan interpretasi-interpretasinya sendiri terhadap logika
Aristotelian dan tradisi dari madzhab yang muncul darinya. Di antara karyakaryanya yang lebih pribadi sebagian besar isi Kitab al-Hurufdan Kitab alAifazh al-Musta’malah fi al-Manthiq, dimana ia mencurahkan seluruh
energinya untuk membahas topik-topik logika dan kebahasaan, yang
menekankan perlunya memahami hubungan terminologi filsafat dengan
bahasa dan tata bahasa yang lazim.97
Konsentrasi logika al-Farabi berhasil mengurai filsafat bahasa dan sistem
epistemologi keilmuan Yunani yang dianggap asing di mata bangsa Arab. AlFarabi percaya bahwa setiap bahasa memiliki struktur linguistiknya sendirisendiri, sehingga ia berupaya mempertemukan kebahasaan antara filsafat
Yunani dan bahasa Arab, karena baginya memahami filsafat Yunani bukan
dengan cara mengarabisasikannya, tetapi dengan mengetahui maksud yang
disampaikan para filosof Yunani hingga kemudian dapat diterima sejelasjelasnya oleh bangsa Arab.
Maka al-Farabi merubah paradigma di zamannya yang mengupayakan untuk
menggantikan tata bahasa Arab dengan Yunani. Sebaliknya, al Farabi
melakukan penyelarasan pendekatan-pendekatan yang saling berlawanan
dalam studi bahasa dengan menggunakan logika.98
la menyatakan bahwa seni logika, umumnya, memberikan aturan-aturan,
yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang benar dan mengarahkan
manusia secara langsung pada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahankesalahan. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah
dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata.
Logika adalah kaidah-kaidah yang menunjukkan pemahaman dapat diuji
melalui aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume dan massa
ditentukan oleh ukuran.99
Karena kedudukan logika sebagai kaidah sebagaimana pula tata bahasa yang
juga adalah kaidah, maka keduanya berada untuk saling melengkapi, bukan
bertentangan. Tata bahasa membantu seorang logikawan dan filosof untuk
mengartikulasikan doktrin-doktrin mereka dengan idiom suatu bangsa
tertentu. Pada saat bersamaan tata bahasa juga bergantung pada logika,
karena
logika-lah
yang
membantu
klasifikasi
partikel-partikel
kebahasaan.100 Walaupun mengakui hubungan dialogis logika dan tata
bahasa, al-Farabi memisahkan kedua pengetahuan ini menjadi tata bahasa
dan logika. Memperjelas kaitan antara logika dan tata bahasa, misalnya
adalah ketika seseorang berpidato atau berdialog atau ketika tengah
mempelajari geometri dan ilmu hitung, logika tidak pernah dapat
dikesampingkan. Logika membantu tata fikir seseorang yang berpidato dan
berdialog, membantu agar setiap kata yang disampaikan berada dalam jalur
yang bersesuaian sejak dari pengucapan pertama kali sampai kemudian
pidato atau dialog tersebut berakhir. Namun, tata fikir tersebut juga berkaitan
langsung dengan tata bahasa, karena pidato dan dialog berkaitan langsung
dengan kata-kata yang mesti disampaikan. Artinya, tata bahasa hanya
berkaitan dengan kata-kata yang disampaikan dan logika berkaitan dengan
arti dari kata-kata yang merupakan penjelmaan makna. Terlebih, tata bahasa
selalu berhubungan dengan aturan-aturan bahasa, sedang bahasa itu berbedabeda, tetapi logika berkaitan dengan pemikiran manusia yang selalu sama
kapan dan dimanapun.
Di sepanjang karya linguistiknya, al-Farabi mengangkat suatu konsepsi
tentang logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang memberikan kaidahkaidah yang harus diikuti guna berfikir secara benar dalam bahasa apa pun.
Tata bahasa, di sisi lain, senantiasa wajib memberikan kaidah yang dibangun
di atas dasar konvensi dalam pemakaian bahasa tertentu dari budaya tertentu.
Namun, al-Farabi juga membuka kemungkinan terjadinya pinjam-meminjam
dasar-dasar teori kebahasaan sepanjang garis-garis kebahasaan tersebut
secara logika tepat.101
Cara kerja logika dikatakan al-Farabi adalah sebagai pedoman atau peraturan
yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkannya pada kebenaran dalam
lapangan yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kedudukan logika dalam
lapangan pemikiran dikiaskan al-Farabi dengan kedudukan ilmu nahwu
dalam lapangan bahasa.102 Mengikuti Aristoteles, al-Farabi kemudian
menetapkan ilmu semantik sebagai alat atau sarana untuk menetapkan hukum
umum guna memperkuat kesanggupan berfikir yang dapat membawa
manusia ke jalan yang tepat dalam menjelaskan kebenaran.103
Sumbangan penting al-Farabi pada aspek-aspek logika yang lebih formal
seperti silogisme, teori demonstrasi dan masalah-masalah epistemologis
terkait, dibuktikannya dengan mengelompokkan topik- topik dalam logika
menjadi delapan kelompok, yang seluruhnya merupakan aturan-aturan
pemahaman. Masalah pokok logika ialah topik-topiknya yang membahas
aturan-aturan pemahaman. Topik-topik itu dikelompokkan menjadi delapan,
yakni pengelompokkan dan penafsiran yang merupakan bagian dari
sillogisme, pendahuluan dan penerapan serta perbandingan untuk
menghindari dari kesalahan dan kebingungan adalah bagian dari dialektika,
adapun topik, sofistik, retorik dan puisi merupakan bagian dari teori
demonstratif.104
Peran teori demonstratif dalam retorika dan puisi dijelaskan al- Farabi dalam
pembahasan awal Kitab al-Jadal. Al-Farabi berusaha memperlihatkan peran
dialektika dalam filsafat dengan mengidentifikasi lima cara bagaimana
kontribusi bagi pencapaian pengetahuan demonstratif. (1). Dengan
memberikan latihan keterampilan berargumentasi; (2). Dengan memberikan
pengenalan awal kepada prinsip masing-masing ilmu demonstratif; (3).
Dengan membangkitkan kesadaran akan prinsip-prinsip bawaan demonstrasi
yang terbukti dengan sendirinya (self evident), khususnya untuk ilmu-ilmu
kealaman; (4). Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan yang
berguna untuk berkomunikasi dengan massa; dan (5). Dengan menolak
sofistri.105
Al-Farabi juga menekankan teori imajinatif dalam proses demonstratif,
khususnya puisi. Takhyil, atau pembangkitan gambaran imajinatif suatu
objek adalah tujuan epistemologis unik bagi wacana puitis, karena ia menjadi
sarana yang dapat menjelaskan daya tarik emosional dan kognitif terhadap
puisi dan wacana puitis. Tetapi dalam retorika, al- Farabi menekankan
perlunya pengetahuan yang pasti mengenai massa yang akan diajak
berkomunikasi. Persuasi retorika menurut al-Farabi bergantung pada apa
yang disebut al-Farabi “diterima secara luas pada pandangan pertama”.
Artinya, menjadi filosof yang sempurna, bagi al- Farabi, harus memiliki
ilmu-ilmu teoritis dan daya untuk menggali ilmu- ilmu itu demi kemanfaatan
orang lain sesuai dengan kapasitas mereka.106
Epistemologi pengetahuan itu sendiri dituturkan al-Farabi didasari oleh dua
tindakan kognitif dasar, yakni konseptualisasi (tashawwur) dan pembenaran
(tashdiq). Tashawwur ditujukan agar seseorang dapat memahami dan
menyerap esensi objek melalui konsep-konsep sederhana sampai menjadi
pengetahuan yang seutuhnya. Dan tashdiq adalah pertimbangan atau
penilaian benar dan salah, penilaian ini mendorong pengetahuan pada
kepastian kebenaran.107 Singkatnya, kepastian tidak hanya mensyaratkan
bahwa kita mengetahui sesuatu adalah suatu hal yang jelas, tetapi juga
pengetahuan kita bahwa kita mengetahuinya. Artinya, kebenaran mesti
sesuatu yang telah dipahami dan diketahui benaroleh setiap individu. Adapun
kepastian terbagi menjadi dua, kepastian-niscaya dan kepastian tak niscaya.
Kepastian niscaya ialah apa yang diyakini seseorang sebagai suatu hal
mustahil merupakan hal lain untuk selama-lamanya, kepastian ini
mensyaratkan suatu objek yang niscaya dan abadi keberadaannya. Sedangkan
kepastian tak niscaya ialah kepastian “hanya pada saat-saat tertentu saja”.108
Agaknya teori kepastian niscaya berkaitan dengan keyakinan akan
keberadaan Tuhan, sebuah pengetahuan yang pasti dan yang objeknya adalah
abadi keberadaannya. Konsep ini agaknya dekat sekali dengan teori wajib alwujud dan mumkin at-wujud yang menjadi penjelasan filsafat emanasi-nya
al-Farabi.
2.
Metafisika dan Tuhan
Sebelum mengembangkan teori emanasi yang menghubungkan antara Tuhan
sampai dengan alam di dunia ini, al-Farabi sebenarnya merasa kecewa
dengan buku Metafisika Aristoteles, karena ternyata kitab metafisik tersebut
tidak terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, yang dalam pandangan Islam,
merupakan tema pokok dalam metafisika. Dikatakan, hanya dalam kitab
Lambda dari bukunya itu Aristoteles berbicara tentang Tuhan. Namun,
bahkan ketika berbicara tentang Tuhan, tidak ada keterangan yang
memuaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam. Rasa
keingintahuan al-Farabi terjawab melalui teori emanasi Plotinus, karena teori
emanasi telah dapat menjawab pertanyaan mendasar, yaitu, bagaimana dari
Tuhan Yang Esa, bisa muncul dunia yang beraneka. Padahal dari Yang Esa
tentu hanya bisa muncul yang tunggal juga. Disesuaikan dengan teori
astronomis yang berkembang saat itu didominasi oleh teori Ptolomius dalam
kitab Aimagest.109
Karena pemilihan teori emanasi untuk menggambarkan pemikiran
filosofisnya, ditambah dengan penyebutan akal aktif (al-‘aql al-fa’al) sebagai
pemberi bentuk (wajib al-shuwar). Konsep metafisika al-Farabi menurut
Mulyadhi Kartanegara menunjukkan aliran filsafat peripatetik. Sebutan
peripatetic disematkan pada al-Farabi, karena ide hylomorfis yang kuat
terlihat dari bagaimana al-Farabi menetapkan dua unsur utama yang
melatarbelakangi terjadinya alam ini yakni materi (hyle/al-hayula) dan
bentuk (morphis/ shurah).110 Al-Farabi juga menggunakan modus diskursif,
menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal, dengan
prosedur penalaran “silogisme”. Ciri lainnya secara metodologis al-Farabi
sangat menekankan daya rasio pada pembahasannya.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil wajib alwujud dan mumkin al-wujudm Menurutnya, segala yang ada ini hanya dua
kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Dan seperti al- Kindi, alFarabi menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonisme, dengan
meyakini bahwa Tuhan adalah al-Maujud al-Awwal sebagai sebab pertama
bagi segala yang ada. Hanya saja, al-Farabi berhasil membuat semacam
struktur bagaimana dari Tuhan muncul keanekaan alam, sesuatu yang tidak
dilakukan al-Kindi karena keterkacauannya terhadap pemikiran Plotinus yang
dinisbahkan pada Aristoteles.
Proses dari yang esa sampai kemudian menjadi beraneka di alam ini,
kemudian dikenal dengan teori sepuluh kecerdasan. Teori ini menempati
bagian penting dalam filsafat muslim, bahkan menjadi semacam identitas
filsafat peripatetik Islam. Filosof berikutnya, Ibnu Sina mencoba
mengembangkan teori ini dan menjadikan emanasi adalah ciri khas filsafat
emanasi Islam. Sebelum kemudian membahas teori sepuluh kecerdasan, perlu
diperjelas dahulu makna wujud yang disampaikan oleh al-Farabi.
Al-Farabi berpendapat bahwa setiap yang maujud (ada), termasuk ke dalam
kategori wajib al-wujudatau mumkin al-wujud. Ketika yang maujud itu
tergolong kepada kategori mumkin al-wujud, maka maujud itu harus
didahului oleh adanya suatu sebab yang menjadikan keberadaannya. Dan
ketika sebab-sebab itu tidak mungkin tidak berakhir, maka dia harus berhenti
pada maujud yang tergolong wajib al-wujud, yang tidak ada sebab bagi
keberadaannya. Yakni ‘azali yang tidak mengalami perubahan sama sekali,
yaitu akal murni yang merupakan demonstrasi (al-burhan) atas segala
sesuatu. Makna wajib al-wujud ialah bahwa Dialah satu-satunya zat yang
tidak ada sesuatu baginya, yaitu Allah Swt.112
Tentang sifat Tuhan, al-Farabi sebagaimana al-Kindi sejalan dengan faham
Mu’tazilah, bahwa sifat Tuhan tidak berbeda dengan zat-Nya. Bagi al-Farabi,
asma’ al-husna yang disebut sebagai sifat-sifat dari Allah Swt. tidak
menunjukkan adanya bagian-bagian dari Tuhan, artinya tidak terpisah dari
Tuhan, sehingga sifat-sifat itu adalah zat-Nya itu sendiri. Tuhan, menurut alFarabi adalah ‘Aqlmurni, la adalah wujud Yang Esa, Tunggal dan yang
menjadi objek pemikirannya (karena Tuhan adalah ‘Aql mumi) hanya
substansi-Nya saja, la tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan
substansi-Nya. Artinya Tuhan adalah ‘Aql, ‘Aqil dan Ma’qul, maka, Dia
adalah akal, zat Yang Maha berfikir sekaligus adalah zat yang difikirkan.113
Dari konsepsinya ini, al-Farabi kemudian mengembangkan teori sepuluh
kecerdasan atau yang dikenal juga dengan teori emanasi al-Farabi. Dengan
menggambarkan Tuhan sebagai "Akal” yang berfikir, dan dari hasil proses
berfikirnya Tuhan menurut al-Farabi muncullah apa yang disebut dengan
akal pertama. Karena Tuhan itu Esa maka dari-Nya hanya akan muncul satu
akal saja, maka akal pertama adalah satu, yang dari sudut dan sifatnya sangat
dekat dengan Tuhan. Ketika akal pertama terbentuk, keanekaan alam ini
belum terbentuk, tetapi ketika akal pertama berfikir maka akal pertama telah
dapat melahirkan potensi keanekaan (alam). Karena akal pertama, menurut
al-Farabi, telah bisa berfikir bukan hanya tentang Tuhannya tetapi juga
tentang dirinya sendiri. Sehingga akal pertama dapat memunculkan sesuatu
yang beragam dan tidak tunggal, sebab ia berfikir tidak hanya dirinya tapi
juga Tuhan dan itu menunjukkan keberagaman berfikir, sementara Tuhan
hanya berfikir mengenai dirinya sendiri maka hanya muncul satu saja dari
proses berfikir tersebut.114
Disinilah kita bisa melihat akal pertama memiliki dua jenis prinsip, pertama
prinsip keesaan, dari hasil memikirkan Tuhan, yang bisa menghasilkan akal
berikutnya dan kedua prinsip keanekaan, dari hasil proses memikirkan
dirinya sendiri yang kemudian menghasilkan benda-benda samawi. Hal ini
juga terjadi pada akal-akal berikutnya, dari akal kedua sampai akal
kesepuluh.
Untuk memudahkan pemahaman kita mengenai emanasi atau teori sepuluh
kecerdasan ini, berikut kami kemukakan dalam bagan sebagai berikut.115
Tuhan = Yang Pertama (al-Wujud at-Awwal)
■f- Hasil berfikir Tuhan terhadap dirinya sendiri = Akal Pertama (al-wujud
al-Tsanify
Hasii memikirkan Tuhan =
| Akal Kedua (al-wujud al-tsalits)'\, Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal
Pertama) = Jiwa dan Badan langit Pertama
> Hasil memikirkan Tuhan =
| Akal Ketiga (al-wujud al-rabi) \
Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal
Kedua) = bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah)
Hasil memikirkan Tuhan =
| Akal Keempat (al-wujud al-khamis)'
Hasil
memikirkan
dirinya
sendiri (Akal Ketiga) = ^ Saturnus (kurah al-zuhal)
Hasil memikirkan Tuhan =
* Akal Kelima (al-wujud al-sadis) Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal
Keempat) = Jupiter (kurah al-musytari)
1 Hasil memikirkan Tuhan = Akal Keenam (al-wujud al-sabi)
'n Hasil
memikirkan dirinya sendiri (Akal Kelima) = Mars (kurah al-marrikh)
Hasil memikirkan Tuhan =
Akal Ketujuh (al-wujud al-tsamin^ 'n Hasil memikirkan dirinya sendiri
(Akal Keenam) = Matahari (kurah al-syams)
1 Hasil memikirkan Tuhan =
Akal Kedelapan (al-wujud al-tasi) i \ Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal
Ketujuh) = Venus (kurah al-zuhara)
1 Hasil memikirkan Tuhan =
*►
Akal Kesembilan (al-wujud al-. ‘asyir)
Hasil
memikirkan
dirinya
sendiri (Akal Kedelapan) = Mercury (kurah at-'alharid)
Hasil memikirkan Tuhan =
+
Akal Kesepuluh (al-’aql al-fa’al) i i Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal
Kesembilan) =
Bulan (kurah al-qamar)
—i
♦ Mengaktualkan akal manusia V Memberi ^ Materi bentuk
Manusia dan segala yang ada di alam ini S
Akal sepuluh atau ‘aql al-fa’at atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk)
diidentifikasi dengan malaikat Jibril yang mengurusi kehidupan di muka
bumi. Akal-akal dan planet-planet tersebut dalam prosesnya menurut alFarabi adalah terpancar dengan cara berurutan dalam tingkatannya, tetapi
terjadi dalam waktu bersamaan seperti rantai pemancaran. Perbedaan dalam
satu tingkatan dengan tingkatan lainnya disebabkan setiap lingkungan atau
situasi mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya.116 Beginilah
Tuhan berfikir tentang diri-Nya menghasilkan daya atau energi yang
karenanya menghasilkan sesuatu secara cepat dan tepat, sehingga terciptalah
akal satu sampai dengan akal sepuluh.
Teori emanasi ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara cara
pandang seorang filosof dan teolog tentang cara Tuhan menciptakan alam.
Bagi para teolog (Mutakallimun), alam dicipta melalui kehendak Tuhan, bagi
para filosof penciptaan nampaknya merupakan keniscayaan, sebagai
konsekuensi logis dari aktivitas Tuhan berfikir. Tuhan sering digambarkan
filosof sebagai matahari yang secara niscaya bukan atas kehendak,
memancarkan sinarnya. Karena jika Tuhan mempunyai kehendak, hal itu
membawa Tuhan pada ketidaksempurnaan, termasuk jika Tuhan dapat
melimpahkan dari diri- Nya yang banyak secara sekaligus. Pelimpahan yang
banyak dan Kehendak Tuhan membuat Tuhan terikat dengan waktu dan itu
dapat menafikan kekekalan Tuhan. Berbeda dengan al-Kindi, al-Farabi
berargumen bahwa konsep kekekalan didasarkan pada ruang dan waktu, itu
sebabnya al-Farabi menyatakan alam adalah taqaddum zamani bukan
taqaddum zati.m Konsep ini dalam sejarah, mendapat serangan gencar dari
para teolog, termasuk yang paling menonjol al- Ghazali dalam bukunya
Tahafut al-Falasifah.
Untuk memperjelas konsep wujudnya, al-Farabi mengkategorisasi wujud
dengan wajib al-wujud dan mumtani’ al-wujud. Kategorisasi tersebut
diterangkan Mulyadhi terkait erat dengan aktivitas ketika akal pertama
berfikir, dimana ia bisa berfikir tentang Yang Esa (wajib al-wujud), yakni
Tuhan, sehingga muncullah akal ketiga, bisa juga tentang esensinya sebagai
mumkin al-wujud, sehingga muncullah dari sini Langit Pertama (al-sama’ alula). Oleh karena itu, pemikiran tentang Tuhan dalam setiap aktivitas akal
dari akal pertama sampai dengan sepuluh adalah apa yang disebut sebagai
murajjih (the sufficient reason) bagi munculnya yang lain, khususnya dalam
hal ini kemunculan akal kedua dan langit pertama.118
Teori emanasi al-Farabi ini ditegaskan Deborah L. Black, bergantung pada
dua pilar kosmologi geometrik Ptolemaik (berhubungan dengan Ptolemaus)
dan metafisika ketuhanan. Kerangka acuan emanasi yang digunakan al-Farabi
diberikan oleh kosmologi alam semesta dipandang sebagai serangkaian bolabola langit (sphere) konsentris, yang paling luar disebut langit pertama; bola
langit bintang-bintang tetap. Yakni, bola langit Saturnus, Yupiter, Mars,
Matahari, Venus, Merkurius dan akhirnya Bulan.119
Dan dalam beberapa hal, menurut Deborah, emanasi al-Farabi juga kuat
dipengaruhi oleh Aristoteles, tetapi anggapan Deborah tersebut tidak
sepenuhnya benar. Misalnya saja, pemikiran al-Farabi bahwa Tuhan adalah
esa, immateri, kekal dan bertindak niscaya, mungkin bagian dari Aristotelian,
atau bagian dari Islam. Meskipun begitu,tak dapat dipungkiri ketika Tuhan
dicirikan oleh al-Farabi sebagai intelek (akal) yang aktivitas utamanya adalah
"merenungkan dirinya sendiri" adalah juga konsepsi Aristoteles mengenai
aktivitas Tuhan sebagai “berfikir tentang berfikir”.120 Aktifitas Tuhan ini
yang kemudian memunculkan sepuluh akal dimana ujung proses emanasional
ini adalah dunia di bawah alam bulan, yakni dunia kita sendiri.
Al-Farabi bagi Deborah, telah berhasil memposisikan dirinya sebagai pewaris
pemikiran Yunani yang sebenarnya. Dengan mengadopsi metafisika emanasi
Neoplatonik, al-Farabi memberikan sarana sehingga filsafat Aristoteles dapat
ditempatkan dalam kerangka acuan yang lebih sistematis daripada yang
dimungkinkan oleh karya- karya Aristoteles itu sendiri. Hal ini disebabkan
dalam definisi Aristotelian, filsafat alam meliputi studi psikologi: sehingga
wujud yang esa dan yang sama, yakni akal pertama, merepresentasikan batasbatas fisika dan batas bawah metafisika. Dengan cara demikian, emanasi
memungkinkan al-Farabi mengisi ruang kosong antara unsur-unsur teologis
dan ontologism dalam metafisika, tetapi juga menunjukkan kaitan antara
ilmu-ilmu metafisika teoritis dan fisika yang secara samar- samar
diartikulasikan oleh Aristoteles sendiri.121
3.
Akal dan Jiwa
Pembahasan metafisika selanjutnya adalah akal dan jiwa, pembahasan ini
sengaja didudukkan terpisah dari pembahasan mengenai Tuhan, karena
pembahasan Tuhan al-Farabi sangat fenomenal. Ini tidak berarti pembahasan
mengenai jiwa dan akal al- Farabi tidak sebaik pembahasannya mengenai
Tuhan. Namun, karena teori emanasi Tuhan adalah inspirator perkembangan
teori emanasi lainnya selama beberapa abad dan merupakan teori yang
berhasil menggabungkan pemikiran Yunani; dari aspek astronomi Ptolemaik,
emanasi Plotinus dan aliran Alexandria dengan ajaran-ajaran Islam.122 Teori
ini telah berhasil baik di kalangan filosof Timur dan Barat abad pertengahan,
meski juga menuai kontroversi, teori ini dipegang kuat dan dikembangkan
oleh Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tetapi kemudian ditolak dengan keras oleh alGhazali.
Pembahasan al-Farabi dibahasnya melalui Risalah fi al-‘Aql yang didefinisi
Deborah sebagai bagian dari pembahasan tentang Psikologi dan Filsafat
Pikiran. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai akal, perlu
dikemukakan terlebih dahulu bagaimana jiwa versi al-Farabi, karena akal
adalah bagian dari daya jiwa tersebut. Menurut al-Farabi, kesatuan jiwa dan
badan merupakan kesatuan yang accident, sebagaimana al-Kindi, al-Farabi
menjelaskan accident tersebut dengan melihat substansi yang berbeda di
antara keduanya, dimana binasanya badan (jasad) tidak berimplikasi pada
binasanya jiwa. Karena jiwa berasal dari alam illahi, sedangkan jasad berasal
dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak.123
Jiwa itu sendiri, menurut al-Farabi mempunyai daya-daya, yang mencakup
daya gerak (montion), daya mengetahui (kognitif) dan daya berfikir (intelek).
Setiap daya dikatakan Deborah tersusun secara hierarkis satu sama lainnya
dan dalam masing-masing daya tersebut terdapat unsur-unsur “yang
menguasai" dan “dikuasai”.124 Pada daya gerak (montion) merupakan “yang
menguasai" dan “yang dikuasai” adalah daya makan (nutritive), daya
memelihara (preservation) dan daya berkembang (reproduction). Sedangkan
daya mengetahui (kognitif), membawahi daya merasa (sensation) dan daya
imaginasi (imagination), dan daya berfikir (intelek) terbagi dengan akal
teoritis dan akal praktis.125
Seperti halnya al-Kindi yang juga membagi daya jiwa pada daya bernafsu,
berfikir dan pemarah, dimana akal/ daya berfikir adalah yang sebaiknya atau
seharusnya menjadi pengendali dua daya lainnya, agar jiwa menjadi terarah
dan terkendali. Al-Farabi juga menetapkan bahwa akal sehat yakni daya
berfikir adalah daya “yang berkuasa” dalam jiwa inderawi, maka daya
berfikir adalah pengatur jiwa inderawi manusia. Seperti Aristoteles, al-Farabi
menentukan letak fisiologis posisi daya berfikir ini dalam hati, sesuatu yang
nantinya akan dikembangkan oleh filosof kemudian berdasarkan fisiologi
Galenik dengan menempatkan daya berfikir/ intetect di dalam otak.126
Adapun daya gerak dan daya mengetahui terkait erat dengan aktifitasaktifitas apef/Y/7(nafsu/ hasrat) jiwa, yang oleh al-Farabi dikaitkan dengan
indera dan rasio. Daya gerak terkonektifitas dengan indera sedangkan daya
mengetahui (kognitif) pada rasio. Al-Farabi memandang setiap daya kognitifsensasi dan imajinasi- berhasrat kepada objek-objek yang diterima dan
dipersepsikan secara alamiah dan timbul bersamaan dengan pemahaman
mereka.127
Berbeda dengan kedua daya di atas, manusia memiliki potensi penerima
pengetahuan melalui daya berfikir (intellek) yang dikelompokkan menjadi
akal praktis yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan dan teoritis
yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal praktis adalah
implementasi akal teoritis, sedangkan akal teoritis adalah potensi untuk
menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau
universal-universal.128 Dalam proses penerimaan pengetahuan ini, akal
teoritis tersusun dari akal potensial, akal aktual dan akal mustafad. Akal
potensial adalah jiwa atau bagian jiwa yang mempunyai kekuatan
mengabstraksi dan menyerap esensi kemaujudan. Bila dibandingkan, maka
akal potensial adalah akal fisik, akal material, akal ini seperti materi yang di
dalamnya setiap yang terlihat terlukiskan dalam akal menjadi persepsi atau
sesuatu yang diketahui. Tetapi, pengetahuan disini baru sampai dengan
persepsi belum mewujud ke dalam bentuk menangkap semua pengertian dan
menghasilkan pemahaman.129
Pengetahuan yang sekedar persepsi akan berubah menjadi pengertianpengertian jika ia disinari oleh intellek aktif (Akal Fa’al) -akal kesepuluhsering juga dimaknai dengan Malaikat Jibril, pada perubahan ini, akal telah
berhasil melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya sehingga
melahirkan ragam pengetahuan yang kemudian tersusun menjadi sebuah
pemahaman yang komperhensif. Dari pencerahan oleh intellek aktif (Akal
Fa’al) akal dimungkinkan untuk bertransformasi dari akal potensial dan
obyek potensial ke dalam aktualitasnya, berbeda dengan akal potensial, akal
actual telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya dan arti-arti itu telah
mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya bukan lagi dalam bentuk
potensi tetapi dalam bentuk actual.130
Untuk menggambarkan peran intellek aktif (Akal Fa’al) dalam perubahan
akal dari potensial menjadi actual, Al-Farabi menganalogkan hubungan
antara akal potensial dengan intellek aktif (Akal Fa’al) seperti mata dengan
matahari. Mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam
kegelapan, tetapi dia menjadi actual ketika menerima sinar matahari. Bukan
hanya objek-objek inderawi saja yang bisa dilihat tapi juga cahaya dan
matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri. Jadi akal potensial tidak
akan bisa menjadi aktual tanpa campur tangan intellek aktif.
Di samping itu, menurut al-Farabi intelek manusia sendiri memiliki apa yang
disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan
sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan
penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka
ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya. Intelek potensial
yang sudah disinari oleh Akal Fa’al akan berubah menjadi bentuk yang sama
dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk
menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda
yang masuk ke dalam lilin cair, benda tersebut tidak hanya tercetak pada lilin,
tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu
sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan
sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Artinya, perolehan
aktualitas pada akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya
berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang
diupayakannya. Pada tahap Akal Mustafad, akal aktual merefleksikan dirinya
sendiri, kandungan akal aktual adalah pengetahuan murni, dan akal aktual
beranalisis untuk mengetahui dirinya sendiri, dan mengembangkan
pengetahuan yang dimilikinya. Ketika akal aktual sudah sampai pada tahap
ini, ia akan menjadi apa yang disebut al- Farabi dengan akal perolehan atau
al-aql al-mustafad atau acquired /nfe/ecf.131 Akal dimana pengetahuan telah
bersemayam dan kedekatannya dengan Akal Fa’al terjaga dan terbangun,
sehingga untuk mendapatkan pengetahuan akal aktual hanya perlu
menyingkapkan keilmuan dalam Akal Fa’al.
Dengan demikian, akal perolehan merujuk pada akal aktual ketika mencapai
tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self- intelligible) dan
bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (selfintellective). Akal perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi.
Akal perolehan adalah yang paling dekat dengan Intelek Aktif [Akal Fa’al)
karena keduanya memiliki hubungan sinergi. Di samping itu, akal perolehan
juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan
kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya. Dari sini, terlihat bahwa
akal potensial ini tidak dapat menjadi akal actual, begitu juga akal actual
tidak dapat menjadi akal mustafad kecuali dengan pertolongan Intellek Aktif
(Akal Fa’al) yang terpisah darinya. Melalui penyinaran Intellek Aktif (Akal
Fa’al) akal potensial dapat naik ke akal actual, dan kemudian akal actual
disinari oleh Akal Fa’al naik menjadi akal mustafad (acguired intellek).132
Dengan demikian, akal mampu meningkat secara bertahap dari akal dalam
bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi dan akhirnya ke akal yang diperoleh.
Akal dalam bentuk daya hanyalah penerima bentuk- bentuk yang dapat
dirasa, sedang akal dalam bentuk aksi mempertahankan pengertianpengertian dan serapan-serapan pengetahuan. Dan akal yang diperoleh naik
ke tingkat komuni, ekstase dan inspirasi, pada tahap ini pemahamanpemahaman merupakan bentuk-bentuk abstrak yang tidak pernah ada dalam
materi. Di setiap tahap perubahan Akal Fa'al memainkan peran yang sangat
signifikan. Karena pengetahuan manusia bergantung pada radiasi intelegensiintelegensi yang terpisah, dan intelegensi agen atau akal fa’al memiliki
hubungan terdekat dengan akal manusia seperti analogi mata dan matahari
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Artinya, akal manusia dapat
menyerap pengetahuan bila ia tersibakkan oleh akal fa’al yang menerangi
jalannya. Disini terlihat, bahwa al-Farabi meleburkan mistisisme dengan
filsafat dan pengetahuan rasional terjadi bersamaan dengan ekstase dan
inspirasi.
Majid Fakhry menyimpulkan gerakan akal al-Farabi mengandung tiga
komponen penting, epistemologi, kosmologi dan metafisika. Di tahap
potensial akal menunjukan perannya sebagai bagian dari pencarian
pengetahuan (epistemologi), di tahap aktual akal berhubungan dengan
pengetahuan di atasnya, dengan kemampuan elaboratif diri untuk
berhubungan dengan intelek-intelek immaterial dan ini berhubungan dengan
teori emanasi yang bersifat kosmologis. Dalam posisi akal perolehan ini,
intelek individu manusia mencapai derajat yang setingkat dengan intelekintelek immaterial lainnya, temasuk dengan intelek agen (Akal Fa’al), dan
menjadi sama atau mirip jenisnya dengan mereka. Sebagai akibatnya, ia kini
dapat berkontemplasi (berfikir dan merenung) tidak hanya tentang dirinya
tetapi juga tentang intelijibel yang telah diperoleh dari substansi-substansi
immaterial yang terpisah darinya.133
Melalui doktrin-doktrin al-Farabi tentang akal perolehan dan akal fa’al juga
daya imajinasi, serta aspek-aspek psikologis atau kejiwaan, al-Farabi
kemudian menyusun sebuah konsepsi teori kenabian. Teori yang kemudian
mengiringi pendapatnya mengenai kesatuan filsafat, kesatuan ilmu dan
filsafat praktis yang berkaitan dengan politik dan konsepsi Negara idealnya,
Negara Madinah.
4.
Teori Kenabian
Teori kenabian al-Farabi merupakan bukti sukses reformasi pemikiran yang
dilakukan al-Farabi terhadap pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Disini, alFarabi menjelaskan mengenai wahyu dan inspirasi, sesuatu yang ditolak oleh
pemikiran filosofis pada masanya seperti Ahmad ibn lshaq al-Ruwandi
(berkebangsaan Yahudi) dan Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi
yang meragukan eksistensi kenabian. Menurut mereka para filosof juga
berkemampuan untuk mengadakan komunikasi dengan Intelek Agen.
Pemahaman inilah yang kemudian ditolak al-Farabi, menurutnya, kenabian
dalam berbagai perwujudannya merupakan hasil interaksi antara intelek dan
kapasitas-kapasitas imitatif dari daya imajinasi.
Menurut al-Farabi, imajinasi berada di tengah-tengah antara indera dan
logika, ketika aktivitas daya indera, daya rasional (kognitif), dan daya hasrat
(apetitive) terhenti saat tidur, imajinasi terus menjalankan perannya.
Imajinasi adalah agen dari daya indera, ia melaksanakan tugas sebagai
penyusun dan pemisah sketsa-sketsa inderawi (sensible) setelah mereka
lenyap dari indera termasuk di dalamnya pengontrolan atas citra/ kesan
tersebut dengan menyusunnya dan mengurainya untuk kemudian membentuk
citra/ kesan yang baru.134 Selain kedua fungsi ini, al-Farabi menambahkan
fungsi imitasi; peniruan (muhakah), dengan kemampuan ini, daya imajinasi
dapat menggambarkan objek melalui citra objek lainnya. Dan dengan itu
memperluas kemampuan penggambarannya melalui gambaran kualitaskualitas indera sehingga mencakup pengimitasian temperamen, emosi,
keinginan tubuh bahkan realitas-realitas immaterial.135
Dalam membangun hubungan dengan akal fa’al, manusia, terdapat dua cara
yang pertama dengan penalaran atau renungan pemikiran; cara inilah cara
yang digunakan para filosof dan hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi
pilihan yang memiliki kualitas ruh atau jiwa yang suci sehingga dapat
menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan
cara kedua, yakni dengan imajinasi atau instuisi hanya dapat dilakukan Nabi.
Adapun perbedaan antara kedua cara tersebut, bukan karena yang satu lebih
tinggi setingkat dari yang lainnya sebagaimana sebaliknya. Tetapi, pada
esensinya, artinya, bagi seorang Nabi, pancaran Tuhan adalah given
sedangkan bagi seorang filosof, pribadi pilihan merupakan sebuah upaya,
usaha setelah mensucikan ruh atau jiwanya.136
Ciri khas seorang Nabi bagi al-Farabi adalah memiliki daya imajinasi yang
kuat dimana objek inderawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika
ia berhubungan dengan Akal Fa’al yang juga diidentifikasi al-Farabi dengan
Jibril, seorang Nabi dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam
bentuk wahyu. Wahyu tersebut adalah limpahan dari Tuhan melalui Akal
Fa’al (Jibril), disini seorang Nabi dapat berhubungan langsung dengan Jibril
tanpa latihan, karena Allah menganugerahinya akal mempunyai kekuatan
suci (qudsiyah) dengan daya tangkap yang luar biasa yang disebutnya dengan
hads. Sedangkan filosof memulai hubungannya dengan Akal Fa’al dengan
pelatihan dari potensial, actual sampai mencapai akal mustafad itupun jika
akal mustafad tersebut telah terlatih kuat dan mendapatkan perolehan dari
akal murni Tuhan -dalam bahasa lslam= “hidayah”-. Maka, seorang filosof
memiliki kans untuk mencapai derajat seorang Nabi, seorang Nabi adalah
filosof sejati, tetapi tidak setiap filosof adalah seorang Nabi, karena Nabi pun
adalah seorang pilihan dari Allah, Yang Esa, Yang Tunggal, Pencipta alam
ini.137
Imajinasi memiliki kedudukan yang penting dalam psikologi¬nya al-Farabi,
ia berhubungan dengan perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakantindakan rasional. Imajinasi dapat menjadi gambaran- gambaran mental
seseorang, seperti sebuah gerakan alam bawah sadar yang nyata-nyata bukan
tiruan, dan terkadang dapat menjadi sumber mimpi. Dan bila imajinasi
terlepas dari aktifitas-aktifitas yang dasar seperti tidur, maka ia sepenuhnya
dipengaruhi oleh gejala psikologis. Prilaku- prilaku yang dalam keadaan
sadar memberikan perasaan-perasaan emosi atau konsepsi-konsepsi tertentu
dapat mempengaruhi imajinasi dan memunculkan mimpi-mimpi yang
berkaitan erat dengan alam emosi pada saat terjaga.138
Disini, jika ruh/ jiwa itu telah suci atau telah mencapai akal mustafad, mimpimimpi tersebut dapat menggambarkan pola dunia spiritual. Nabi, karena
hubungannya yang sangat erat dengan Akal Fa’al, mimpi seorang Nabi dapat
menjadi jalan untuk berkomunikasi dengan Akal Fa’al, melalui hubungan ini,
kenabian dapat diterangkan karena ia sumber mimpi yang benar yakni
wahyu. Dengan demikian, mimpi adalah daya imajinasi imitasi, karena
mimpi adalah fasiliitator antara jiwa dengan intelegensi agen (Akal Fa’al),
maka seorang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al, yang darinya
(intelegensi agen-akal fa’al) tercerminlah gambaran-gambaran tentang yang
paling indah dan sempurna, yang kemudian diserap secara imitatif, siapapun
yang melihat gambaran- gambaran tersebut, ia menyaksikan keagungan
Tuhan. Penyaksian ini yang misalnya saja terjadi ketika tidur, dapat tetap
terserap dengan baik dan tetap terpelihara sampai kondisi terjaga. Bahkan
dalam kondisi terjaga pun, gambaran-gambaran tersebut memberinya
pengetahuan sehingga seorang Nabi tetap bisa meramalkan masalah-masalah
ketuhanan.139
Melanjutkan konsepsinya mengenai integrasi ilmu, antara filsafat dan agama,
al-Farabi berpendapat karenanya wahyu dan filsafat tidak bertentangan. Dan
mu’jizat yang dikonotasikan di luar logika atau akal fikir manusia tetaplah
logis dan sesuai fikir manusia. Karena mu’jizat sama-sama berasal dari akal
sepuluh yang memang berfungsi menata dan mengatur dunia ini.140
Masih berkaitan dengan elemen-elemen yang dapat menghubungkan antara
filosof dan Nabi, al-Farabi kemudian mengembangkannya dengan teori
mengenai “Kota Model”. Al-Farabi menggambarkan kotanya sebagai suatu
keseluruhan dari bagian- bagian yang terpadu, serupa dengan organisme
tubuh, dimana jika ada satu bagian yang sakit, maka bagian lainnya akan
bereaksi dan menjaganya. Konsep tubuh ini kemudian dikembangkan dengan
individu individu yang menjalankan tata kota (pemerintahan). Disini, setiap
individu yang mendapat amanah menjalankan pemerintahan haruslah
memiliki keahlian dan kecakapan di bidang tersebut. Setiap individu dan
kinerjanya adalah bagian-bagian dari tubuh yang harus menjalankan
fungsinya dengan sebaik-baiknya. Dan pengendali tubuh ini adalah otak
yakni seorang penguasa atau pemimpin kota.141
Menurut al-Farabi, penguasa atau yang menjadi pimpinan kota haruslah
orang yang paling unggul di bidang intelektual maupun moralnya di antara
semua orang yang ada, dia haruslah yang terbaik dari yang terbaik. Kualitaskualitas kecerdasan tersebut terdiri dari kecerdasan, ingatan yang baik,
pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, tidak berlebih-lebihan dalam
makanan, minuman dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,
kesederhanaan, mencintai keadilan, ketegaran dan keberanian, serta sehat
jasmani dan memiliki kefasihan bicara.142
Yang sangat menarik adalah criteria pemimpin atau penguasa yang
diupayakan al-Farabi tercakup di dalamnya religiusitas dan filosofis. Seorang
pemimpin mesti seorang yang memiliki kombinasi antara identitas kenabian
dan filsafat, artinya al-Farabi mencoba mengumandangkan sebuah
keselarasan antara agama dan ilmu pengetahuan bagi seorang pemimpin.143
Ide “Kota Model" ini dekat sekali dengan raja filosof dalam dunia
“Republika’-nya Plato,144 tetapi al-Farabi menambahkan pentingnya
religiusitas di dalamnya.
Religiusitas juga dianggap al-Farabi sebagai landasan masyarakat, disini alFarabi mengungkapkan bahwa warga kota yang baik adalah mereka yang
mempertimbangkan kehidupannya untuk kehidupan kebahagiaannya kelak di
akhirat. Warga kota yang mengarahkan kehidupannya untuk mencapai
kebahagiaan di akhirat ini, yang akan mendapatkan akal perolehan (acquired
intellect). Dan jika seseorang telah sampai tahap ini, mereka akan kekal
bersama intelek agen-agen lainnya, sebaliknya jika seseorang tidak sampai ke
tahap ini, mereka hanya akan berakhir dengan kematian dan jiwanya akan
tetap mati selamanya.145
Ide “Kota Model" ini diduga disebabkan oleh kondisi social dimana al-Farabi
hidup yang terus menerus berada dalam chaos, sehingga al-Farabi tergerak
menunjukkan tata kota yang sebenarnya harus ada dengan mengadaptasi teori
‘7cfea"nya Plato. Ketika al-Farabi hidup, dinasti Abbasiyah tengah
diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan dengan
berbagai motivasi, diperkirakan saat itu Abbasiyah dipimpin oleh khalifah alMu’tamid dan al-Muthi’, khalifah-khalifah yang sangat lemah dari dinasti
Abbasiyah.
D.
IBNU MISKAWAIH
Ahmad ibn Muhammad ibn Ya'qub ibn Miskawaih atau dikenal juga dengan
Abu Ali al-Khazin, lahir di kota Rayy, Iran pada 320 H dan wafat di Asfahan
pada 9 Safar 421 H. Seorang politikus dan filosof ini dikatakan merupakan
seorang Majusi sebelum kemudian menjadi seorang muallaf. Namun Yaqut
al-Baghdadi menolak pendapat tersebut, dan menyatakan bahwa yang Majusi
adalah neneknya, ayah Ibnu Miskawaih sendiri adalah seorang muslim, ini
terlihat dari nama ayahnya; Muhammad.146 Ibnu Miskawaih adalah
intelektual muslim dan pejabat kenegaraan yang memperoleh kemajuan pesat
di bawah perlindungan dinasti Buwaihiyah (sekitar abad ke-4 sampai dengan
abad ke-5 Hijriyah/ abad ke-10 sampai dengan ke-11 Masehi).147
Ibnu Miskawaih (selanjutnya ditulis Miskawaih) membangun karier
politiknya dengan mengabdi kepada al-Muhallabi (w. 325 H), seorang wazir
pangeran Buwaihiyah Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya alMuhallabi, ia diterima Ibn al-’Amid, seorang wazir dari saudara Mu’iz alDaulah, Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Rayy. Disini, Miskawaih
ditempatkan untuk menjadi pustakawan, kedudukannya sebagai pustakawan
digunakannya untuk menuntut ilmu secara otodidak. Sampai Ibn al-Amid
wafat dan digantikan putranya Abu al-Fath, Miskawaih masih tetap menjadi
pustakawan, namun saat Abu al-Fath wafat dan digantikan al-Shahih ibn
‘Abbad, Miskawaih meninggalkan Rayy menuju Baghdad untuk kembali
mengabdi pada dinasti Buwaih. Di sini, Miskawaih menjadi bendaharawan
Negara dan mengaktifkan dirinya pada keilmuan serta memulai penulisan
karya-karyanya.148
Tokoh ini diperkirakan hidup sezaman dengan Ibnu Sina dan al-Tauhidi. Ibnu
Miskawaih juga dikabarkan belajar pengetahuan dan keilmuan Yunani pada
Ibn al-Khammar, seorang pensyarah terkenal karya-karya Aristoteles, dan
juga mempelajari al-Kimia pada Thayyib al- Razi. Dalam banyak bidang
ilmu pengetahuan, Miskawaih adalah seorang pakar yang sangat aktif.
Tulisan-tulisannya dan informasi- informasi tentang dirinya dalam berbagai
sumber menjadi saksi tentang keluasan ilmu pengetahuannya dan kebesaran
kultur di masanya. Miskawaih dicatat Margouliouth sebagai seorang ahli
sejarah dan etika, namun selain dua bidang tersebut, Miskawaih juga
memiliki perhatian dan kontribusi lain, dia digambarkan pada masanya
sebagai seorang ahli biografi para dokter, dan menulis semacam rangkuman
dari berbagai risalah medis, seorang ahli aritmatika, sastra dan memiliki
kemampuan yang memukau di bidang retorika, dan menulis beragam
antologi puisi.149
Kendati tulisannya mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran,
bahasa, sejarah dan filsafat, tetapi ia lebih popular sebagai filosof etika.
Tulisan-tulisannya mengenai etika kemungkinan besar dimotivasi dari
kondisi masyarakatnya yang kacau, akibat minuman keras, perzinahan dan
bermewah-mewahan. Literatur etika ini memperoleh konsep dan metode
pembahasannya dari karya-karya etika Yunani yang dikenal oleh para pakar
muslim. Seperti karya Aristoteles, Bryson, Galen,Porphyry, Themistius,
kaum Naturalis dan Stoic. Di antara semua ini, pengaruh Neo-platonis adalah
yang paling kuat dan hasilnya berupa sebuah sistem Neo-platonis yang
terpadu. Tetapi tentu saja, etika muslim juga diupayakan Miskawaih yang
didasarkan pada al-Qur’an dan hadis.
Karena pembahasannya yang terkonsentrasi pada etika dan hanya
memberikan sedikit perhatian saja pada masalah ketuhanan, Miskawaih
seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari filosof muslim. Namun
beberapa alasan dapat menjawab segala tuduhan tersebut, pertama, secara
praktis setiap filosof berurusan dengan etika, karena ilmu ini merupakan
bagian dari filsafat, berdasarkan skema Aristotelian yang digunakan para
filosof muslim. Kedua, pembahasan mengenai etika berkaitan erat dengan
pembahasan psikology atau ilmu mengenai jiwa, dan jiwa adalah bagian dari
tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam. Ketiga, pembahasannya
mengenai jiwa secara tidak langsung berhubungan dengan akal, alam dan
juga Tuhan. Artinya, meski dalam porsi kecil pembahasan mengenai Tuhan,
tetapi pengkajian mengenai jiwa membutuhkan landasan yang kuat dan
berhubungan dengan teori ketuhanan.
Selain dikenal sebagai filosof etika, Ibnu Miskawaih juga adalah seorang
sejarahwan. Karyanya Tajarub al-Umam (Pengalaman Bangsa- bangsa),
merupakan karya tulis di bidang sejarah yang memaparkan sebuah sejarah
universal sampai dengan tahun 369 H, yang khususnya penting bagi periode
setelah al-Thabari juga sebagai catatan sejarah yang kaya informasi dari
sumber aslinya, dan penjelasan mengenai model- model administrasi, strategi
peperangan, perekonomian Negara sampai dengan manuver politik dan
dimana, menurut editor dan penerjemah dalam edisi Inggrisnya, D.S.
Margoliouth, Miskawaih memperlihatkan bahwa dirinya jelas-jelas lebih
unggul dibandingkan sejarahwan terkemuka sebelumnya.150
1. Filsafat Ibnu Miskawaih
Metafisika
Ibnu Miskawaih memang tidak memberikan perhatian besar terhadap
masalah ketuhanan, namun itu tidak berarti ia tidak memiliki pemikiran
mengenai hal tersebut. Risalah Ibnu Miskawaih al-Fawz al- Asghar,
merupakan risalah yang mengetengahkan uraian tentang ketuhanan, meski
dalam porsi kecil. Risalah al-Fawz al-Asghar dibagi menjadi tiga bagian,
bagian pertama berkenaan dengan pembuktian adanya Tuhan; bagian kedua
tentang ruh dan ragamnya dan bagian ketiga tentang kenabian. Di dalam
risalahnya ini, Ibnu Miskawaih menyuguhkan penjelasan mengenai Tuhan
dan alam ini dengan teori Neo-platonisme yang dikatakan Oliver Leaman
agak tidak lazim.151
Sebelum menjelaskan teori emanasinya, Ibnu Miskawaih terlebih dahulu
mengklaim bahwa para filosof Yunani tidak meragukan eksistensi dan
keesaan Tuhan, sehingga tidak ada pertentangan yang berarti antara
pemikiran mereka dengan Islam. Salah satu contohnya, dikutip Ibnu
Miskawaih dari teori Aristoteles mengenai sang Pencipta yang merupakan
“Penggerak pertama yang tidak bergerak". Ide sang Pencipta Aristoteles ini
dikatakan Ibnu Miskawaih sama sekali tidak bertentangan dengan agama.
Dengan demikian Ibnu Miskawaih berusaha menyelaraskan ide-ide filosof
Yunani dengan ajaran-ajaran dalam Islam.
Penyelarasan filosofis-religius ini semakin terlihat ketika Ibnu Miskawaih
membahas teori Neo-platonismenya atau emanasi. Ibnu Miskawaih
sebagaimana filosof pendahulunya yang lain, menggunakan emanasi sebagai
deskripsi penting penciptaan dari Pencipta pada ciptaan- Nya. Tetapi
emanasinya terlihat berbeda dengan penggambaran filosof lainnya.
Menurutnya, Tuhan menciptakan akal aktif, jiwa dan lelangit serta merta,152
yang dalam tradisi Neo-platonisme Islam, emanasi ilahiah ini biasanya
muncul agak di bawah tingkatan wujud dan tidak bersamaan. Konsep ini
membuat semacam kerancuan antara makna emanasi dan makna
menciptakan.
Jika dalam emanasi al-Farabi dan Ibnu Sina, Tuhan memancarkan dengan
proses berfikir dan memunculkan akal pertama sampai dengan akal
kesepuluh (akal aktif). Menurut Ibnu Miskawaih entitas pertama yang
memancar dari Tuhan adalah akal fa’al (yang oleh al-Farabi diletakkan
menjadi akal sepuluh), artinya akal fa’al atau akal aktif adalah yang pertama
mewujud dari pancaran Tuhan, akal aktif ini karena muncul tanpa perantara
lainnya kecuali pancaran Tuhan membuatnya kekal, sempurna dan tidak
berubah-ubah. Dari akal aktif ini timbul jiwa, yang dari perantara jiwa timbul
planet-planet. Pencaran secara terus menerus dari Tuhan ini yang memelihara
tatanan di alam ini, dan sekiranya pancaran Tuhan tersebut berhenti, maka
berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini. Teori emanasi ini dikatakan
Oliver Leaman sebagai emanasi nirputus Neoplatonisme karena
perbedaannya dengan pemikiran filosof lainnya.153
Penciptaan itu sendiri dikatakan Ibnu Miskawaih tercipta dari ketiadaan, dan
akal aktif serta jiwa adalah abadi. Tetapi keabadian akal aktif dan jiwa adalah
berbeda, akal aktif menjadi kekal, sempurna dan tidak berubah karena
pemancaran Tuhan terus menerus berhubungan dengannya dan kekal, sumber
pemancaran itu adalah kekal. Untuk menjelaskan keabadian jiwa, Ibnu
Miskawaih mengutip pendapat Plato dengan menjelaskan esensi ruh yakni
gerak. Gerak ini terdiri dari dua macam, pertama; gerak ke arah inteligensi
dan kedua; gerak ke arah materi, yang pertama diterangi dan yang kedua
menerangi. Tetapi gerak ini kekal dan tidak di dalam ruang dan oleh karena
itu, ia tidak berubah. Melalui gerak pertama, ruh mendekati akal aktif yang
merupakan ciptaan pertama dan melalui gerak kedua, ruh beresensi dari
dirinya. Sehingga pada gerak pertama, ruh mendekati Tuhan dan pada gerak
kedua ruh menjauhi Tuhan dan mendekati materi.154
Meski beberapa teorinya terkesan rasionalis, Ibnu Miskawaih juga adalah
seorang religius sejati. Pertama karena ia berpendapat bahwa Tuhan
menciptakan dari ketiadaan dan kedua pemikirannya mengenai Tuhan yang
disimbolkan dengan simbol penegatifan. Simbol penegatifan ini juga adalah
teori al-Kindi dan mutakallim mu’tazilah. Tuhan harus disimbolkan dengan
penegatifan karena Tuhan berbeda dari segala yang ada di dunia ini. Tuhan
bersifat abadi dan non-materi, Tuhan secara mutlak terbebas dari materi,
terbebas dari entitas-entitas apapun yang tunduk kepada hukum perubahan.
Karena perbedaan Tuhan dengan entitas- entitas yang tunduk kepada hukum
perubahan, maka Tuhan hanya dapat dikenal proposisi negatif dan tidak bisa
dikenai dengan proposisi positif, karena menisbahkan proposisi positif sama
dengan menyamakan Tuhan dengan ciptaanNya.155
Emanasi Ibnu Miskawaih dari Tuhan sampai dengan alam ini dideskripsikan
Ibnu Miskawaih sebagai berikut; Kemaujudan pertama yang memancar dari
Tuhan adalah akal aktif, akal aktif ini sempurna dan kekal tetapi ia tidak
sesempurna Tuhan, karena keberadaannya bergantung pada pancaran Tuhan.
Dari akal aktif ini timbullah ruh, ruh memerlukan gerak sebagai ekspresi
hasrat kesempurnaan untuk mengikuti akal aktif. Ruh juga kekal dan
sempurna dibandingkan dengan benda-benda alam, benda-benda alam ini
mewujud dari ruh langit. Dan karena benda-benda alam jauh tidak
sesempurna ruh maka benda-benda ini memerlukan gerak fisik yang terikat
dalam ruang dan waktu. Lingkungan benda-benda alam ini bergerak dalam
ketetapan Tuhan, dan manusia adalah evolusi dari benda-benda alam ini.
Rantai perantara yang panjang ini membuat manusia adalah fana.156
Menariknya, Ibnu Miskawaih juga mengakui evolusionisme. Evolusi tersebut
terdiri dari empat tahapan, pertama; evolusi mineral, merupakan kombinasi
substansi-substansi primer di alam ini dan merupakan kehidupan pertama.
Kedua; tumbuh-tumbuhan, adalah bentuk kehidupan yang jauh lebih tinggi
dari kehidupan sebelumnya, dan diduga merupakan kombinasi dari mineralmineral yang tersusun. Ketiga; hewan, disini Ibnu Miskawaih
mengungkapkan terdapat beberapa tumbuhan yang menyentuh dunia hewan
seperti misalnya saja koral/ batu karang yang tidak hanya tumbuhan tetapi
juga memiliki cirri-ciri hewaniah. Keempat; manusia, seperti teori evolusi
Darwin, teori evolusi belakangan, Ibnu Miskawaih telah berpendapat bahwa
manusia “mungkin" berasal dari hewan. Beberapa indera hewan yang juga
ada dalam diri manusia dan bentuk struktur tubuh hewan yang ada dalam
manusia menurut Ibnu Miskawaih membuktikan evolusi tersebut.157
Teori evolusi ini menjadi pijakan Ibnu Miskawaih untuk menjelaskan
teorinya tentang moral dan kenabian. Ibnu Miskawaih menekankan sebuah
“pelayanan", antara satu makhluk dengan makhluk lainnya, misalnya saja
manusia melayani hewan dan tumbuhan begitupun sebaliknya, semakin
banyak melayani semakin besar kesempatan untuk menuntut (meminta) lebih
banyak. Jika sedikit melayani, sedikit pula ia dapat meminta dan menerima.
Konsep ini adalah konsep mengenai kedudukan manusia sebagai Khalifah di
muka bumi, itu sebabnya bagi Ibnu Miskawaih, kenabian adalah pencapaian
manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, tempat dimana dia memberi
pelayanan terbaiknya bagi alam ini, tempat manusia mengalami evolusi
kosmis di bawah rasionalitasnya.158
Seperti al-Farabi, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi adalah manusia
pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal
aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat ini dapat juga diperoleh oleh
filosof, namun terdapat perbedaan dalam cara memperolehnya, filosof
berupaya mendapatkannya dari efektifitas penggunaan daya inderawi menuju
ke daya khayal dan naik lagi ke daya fikir sehingga dapat berhubungan dan
menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Tetapi Nabi menerima
seluruh hakikat kebenaran sebagai rahmat Tuhan. Artinya hubungan filosof
dengan akal aktif adalah dari bawah ke atas, dan Nabi dari akal aktif sampai
ke Nabi.159
Pemikirannya mengenai kenabian ini menunjukkan bahwa apa yang
disampaikan Nabi dan filosof bisa jadi tidak bertentangan. Karena Nabi
membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal dan filosof
menggunakan akal sebagai landasan berfikirnya. Tetapi, menurut Ibnu
Miskawaih dalam beberapa hal, seperti memahami Tuhan, tidak ada jalan
rasional. Hanya dengan mengikuti petunjuk-petunjuk agama dan pandanganpandangan umum komunitas religius, seseorang dapat memahami Tuhan dan
mengetahui Tuhan dengan lebih baik.160
2.. Filsafat Etika
Ide-ide Miskawaih tentang etika dituangkannya dalam risalah Tahdzib alAkhlaq, sebuah risalah yang kini telah dijadikan rujukan baik di Timur dan
Barat, bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dan tampaknya
karyanya ini menempati posisi sentral dalam tradisi etika filosofis muslim.
Ini terlihat dari pengaruh karyanya terhadap tulisan-tulisan intelektual
muslim lainnya setelah Miskawaih. Misalnya saja, Akhlaq-i Nashiri karya
Nashir al-Din al-Thusi (±672 H) dan Akhlaq- i Jatah karya Jalai al-Din alDawwani (+_908 H) yang juga bergantung pada karya Thusi, juga pada Ihya’
’Ulum al-Dirmya al-Ghazali, teolog Islam besar, yang juga besar
pengaruhnya pada tradisi pemikiran Sunni.
Inti ajaran etika Ibnu Miskawaih adalah ilmu tentang jiwa (,psikology), jiwa
menurut Miskawaih adalah entitas yang berdiri sendiri, bukan bagian dari
tubuh. Analoginya adalah lilin, jika lilin dicairkan untuk kemudian dibentuk
menjadi lukisan maka lilin tersebut kemudian merubah bentuk menjadi
lukisan tetapi identitas dirinya adalah lilin tidak hilang karena ia hanya diberi
bentuk. Jiwa juga demikian, jiwa hanya diberi bentuk karena ada jasad atau
tubuh tetapi entitas dirinya adalah jiwa yang berbeda dengan tubuh.161
Dengan demikian, jiwa adalah tetap, tidak berubah meski ia menerima
beragam bentuk. Tetapi tubuh mengalami setiap perubahan, tubuh dapat
menjadi semakin tua, semakin rapuh tetapi jiwa tetap. Ibnu Miskawaih
mencoba menerangkan identitas tubuh dengan keberadaan indera, karena
indera adalah sistem pengenal yang dimiliki tubuh. Tubuh membutuhkan
indera untuk memenuhi kebutuhan jasadinya seperti keinginan untuk menjadi
pemenang, keinginan untuk balas dendam. Secara garis besar, setiap apa yang
dapat ditangkap indera, tubuh akan merasa senang, karena tubuh seakan
mendapatkan eksistensinya. Adapun jiwa semakin jauh dari kebutuhankebutuhan jasadi itu semakin sempurna dan semakin terbebas dari indera, dan
semakin kuatlah jasad untuk menangkap ma’qulaf yang terpancar dari akal
aktif.162
Fakta bahwa jiwa melepaskan kebutuhan-kebutuhan jasadi ini diketahui
ketika manusia melakukan perenungan atau yang kita kenal dengan meditasi.
Dalam proses perenungan ini akan diketahui bahwa jiwa mempunyai prinsip
lain dan tingkah laku lain yang sama sekali bukan indera. Jika indera cuma
mengetahui obyek yang diinderai, jiwa mampu mengetahui sebab-sebab yang
harmonis dan bertolakbelakangnya hal- hal yang dapat diinderai tadi. Sebabsebab ini merupakan hal yang dapat dilihat jiwa tanpa bantuan tubuh, artinya
jiwa memiliki kekuatan untuk dapat mengendalikan tubuh. Karena jiwa dapat
memutuskan bahwa indera itu benar atau salah, karena indera tidak memiliki
kemampuan untuk menentang dirinya dari apa yang diterimanya.163
Contohnya, ketika indera cium melakukan kesalahan ketika mencium benda
busuk, apalagi jika baunya berubah-ubah, akal menolak penginderaan ini,
mempertanyakannya lalu mencari sebabnya dan membuat penilaianpenilaian yang benar.
Secara garis besar, akal adalah esensi dan substansi jiwa, dengan begitu, jiwa
itu tahu, karena ia mengetahui dari esensi dan substansinya sendiri yaitu akal.
Dan itu berarti, bahwa ia tidak membutuhkan sesuatu untuk mengetahui
kecuali dengan dirinya sendiri Maka, akal, dan yang berfikir dan yang obyek
yang difikirkan adalah jiwa. Karena perbedaannya dengan indera maka jiwa
memiliki pembawaan tersendiri yakni kebajikan.164 Dan kecenderungan
manusia pada jiwa dan indera dapat dideteksi melalui kebajikan yang
terpancar dari dirinya, semakin kuat kecenderungan jiwa semakin kuat
kebajikan dan keutamaan terpancar dan sebaliknya semakin kuat
kecenderungan indera atau jasad semakin menipis kebajikan yang
terpancar.165
Kebutuhan jiwa dan indera pada manusia ini telah membedakannya dengan
makhluk-makhluk lainnya, karena jiwa pada manusia memiliki bakat atau
tindakan tertentu yang berbeda dengan yang terdapat pada hewan dan
tumbuhan. Ini tidak berarti bahwa jiwa dalam makhluk lainnya tidak
berpembawaan kebajikan, tetapi karena dalam indera manusia pun
ditempatkan indera berfikir yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Yang
pengefektifan indera berfikir ini adalah dengan melatih jiwa, dan sebenarnya
pada hewan dan binatang kemampuan tersebut ada dengan porsi yang kecil.
Misalnya saja seekor kuda, dianugerahkan bakat dan tindakan untuk dapat
bergerak dengan cepat, jadi kuda yang baik adalah kuda yang paling cepat
geraknya, yang paling cepat dan gesit larinya. Begitu pula manusia, manusia
yang paling baik adalah yang paling mampu melakukan tindakan yang tepat
bagi dirinya, yang paling memperhatikan syarat-syarat substansinya, yang
membedakan dirinya dari seluruh benda alam yang ada.166
Dengan demikian, manusia perlu mengupayakan kebaikan yang merupakan
kesempurnaan dirinya. Tetapi karena kebaikan manusiawi berikut bakatnya
ini ternyata banyak jumlahnya dalam jiwa, dan karena seseorang tidak akan
mampu mencapai semuanya sendiri, maka harus ada sejumlah individu yang
bersatu dan bersama-sama mencapai kebahagiaan bersama ini. Untuk tujuan
ini, maka manusia harus saling mencintai karena setiap individu akan
mendapatkan kesempurnaan dari individu lainnya.167
Demi mendapatkan kesempurnaan individual ini, manusia perlu mengetahui
watak dari jiwa. Ibnu Miskawaih membagi watak jiwa pada tiga bagian yakni
berfikir, marah dan nafsu syahwat
Namun, sebelum membahas etika Ibnu Miskawaih, kita perlu memahami
konsep manusia menurut Miskawaih terlebih dahulu. Menurut Ibnu
Miskawaih, penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah
adalah materi, dan jiwa ada di antara keduanya. Akal dan jiwa merupakan
sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya
tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya
adalah akal yang berasal dari pencaran Tuhan, jiwa berfikir ini yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Jiwa dikatakan Miskawaih
dengan mengutip pemikiran Plato, adalah entitas atau substansi yang berdiri
sendiri, jiwa tegas Ibnu Miskawaih dapat dipandang berbeda dari badan,
karena jiwa dapat mendorong manusia untuk memperoleh watak-watak yang
lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar secara
terorganisasi dan tersistem. Karenanya jiwa bukan aksiden, jiwa mempunyai
kekuatan untuk berhubungan dengan entitas immaterial dan abstrak. Jika jiwa
adalah aksiden maka jiwa terikat dengan badan dan ruang lingkupnya akan
terbatas seperti aspek-aspek fisik. Jiwa adalah substansi independen yang
mengendalikan jiwa dan bersifat kekal, itu sebabnya jiwa tidak mati meski
badan/jasad hancur binasa. Tetapi karena esensinya yang tidak mati ini, jiwa
berada dalam gerak abadi, gerak yang memungkinkan jiwa untuk memilih
untuk melebur bersama materi dan memuaskan hasratnya bersama materi,
atau menuju akal, dan memuaskan hasratnya bersama akal. Semakin dekat
jiwa pada akal, semakin kekal dan semakin sempurna posisinya, dan semakit
dekat jiwa dengan materi, semakin rapuh dan binasa ia, karena ia
dikendalikan oleh materi.
Teori jiwanya ini ditujukan Ibnu Miskawaih untuk menjawab pendapat kaum
materialis yan beranggapan bahwa hanya ada satu tubuh saja dan menafikan
keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa diargumentasikan Miskawaih dengan
bukti-bukti sebagai berikut; pertama, Ibnu Miskawaih menerangkan bahwa
dalam diri manusia ada indera dan ada mental intuisi/ kognisi. Indera
berkaitan dengan fisik dan intuisi adalah bagian dari jiwa, indera dapat
mempersepsi suatu rangsangan dengan kuat, tapi cara kerja indera hanya
pada satu arah, ketika menerima rangsangan kuat, indera dapat mengabaikan
rangsangan-rangsangan lemah lainnya. Misalnya saja, orang yang kurang
pendengarannya sulit untuk kemudian membangkitkan kemampuan
bicaranya, karena indera bergerak dengan aturan-aturan yang mesti. Tetapi
intuisi dapat menerima rangsangan dari manapun dalam bentuk apapun meski
indera sudah tidak dapat digunakan, dan ini membuktikan bahwa jiwa
terdapat dalam tubuh kita. Argumen kedua adalah bahwa seseorang yang
telah rapuh fisiknya, tidak dapat mempengaruhi kekuatan mentalnya, bisa
jadi mentalnya menjadi semakin kuat dan bisa jadi fisiknya menguat tetapi
mentalnya menjadi lemah. Argumen ketiga dalam pembuktian jiwa, adalah
hasrat manusia untuk mengisi dahaga spiritualnya dengan merenungkan
sesuatu yang kemudian dengan segala daya upaya berusaha menjauhkan
materi, misalnya saja seseorang yang berusaha keras menutup matanya,
menjauhkan pendengarannya dari kebisingan dan memejamkan matanya
untuk dapat menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya. Usaha ini yang
sekarang dikenal dengan “meditasi” membuktikan bahwa jiwa adalah entitas
yang berbeda, karena jika jiwa adalah materi maka jiwa tidak perlu
melepaskan identitas-identitas materi, tidak perlu menutup mata dan menjauh
dari kebisingan, tetapi karena jiwa berbeda dan harus berbicara dengan zat
lain di luar materi, maka jiwa menghentikan diri dari kebutuhan- kebutuhan
materi.
Dengan demikian, jiwa bukan hanya pengendali dari jasad, tetapi juga jiwa
adalah unsur yang setingkat lebih tinggi dari materi. Jiwa adalah suatu
kekuatan tertentu yang disadari atau tidak mengatur organ-organ fisik,
membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi dan menyatukan semua
pengetahuan. Prinsip penyatuan pengetahuan yang merenungkan materi yang
diserap oleh indera dan menentukan bukti- bukti sampai kemudian
disimpulkan adalah suatu perbuatan yang dilakukan jiwa.
Jiwa itu sendiri sebelum menyatu dengan jasad/ tubuh memiliki pembawaan
kebajikan, tetapi karena kebajikan manusiawi berikut bakatnya ini ternyata
banyak jumlahnya dalam jiwa, dan karena seseorang tidak akan mampu
mencapai semuanya, maka perlu bergabung sekelompok besar orang untuk
mencapai semua ini. Untuk tujuan itu, setiap individu harus saling mencintai,
bergaul dan bekerja sama. Namun sebelum kerjasama tersebut tercipta, setiap
individu harus mengelaborasi jiwanya untuk menjadi individu yang “baik".
Setiap jiwa dikatakan Ibnu Miskawaih memiliki watak atau daya yang terdiri
dari tiga bagian; pertama, daya berfikir (melihat dan mempertimbangkan
sesuatu); kedua, daya yang terungkapkan dalam marah, berani, ingin
berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam kehormatan; ketiga,
daya yang membuat manusia memiliki nafsu syahwat dan makan, atau yang
lebih dikenal dengan daya hasrat dan keinginan. Ketiga watak jiwa ini
berbeda satu dengan lainnya, ini diketahui dengan jika berkembangnya satu
dari ketiganya dapat meniadakan tindakan dari lainnya. Dan tiga watak
tersebut bisa menjadi kuat atau lemah tergantung pada temperamen,
kebiasaan dan disiplin.
Dalam hubungannya dengan tubuh, watak berfikir menggunakan organ tubuh
yakni otak, watak nafsu syahwat menggunakan organ tubuh yakni hati, dan
watak amarah menggunakan organ tubuh yakni jantung.
Dua watak; nafsu syahwat dan amarah dimiliki juga oleh binatang. Ibnu
Miskawaih menekankan keselarasan ketiga jiwa ini, karena keselarasan
ketiganya akan menghadirkan kebajikan lain, watak yang sangat kuat yakni
keadilan. Pengendalian watak berfikir akan membuat seseorang menjadi
kearifan, dari pengendalian watak nafsu syahwat memunculkan
kesederhanaan dan dari pengendalian watak amarah menimbulkan
keberanian. Kearifan, kesederhanaan, keberanian dan keadilan adalah
keutamaan-keutamaan jiwa, sebaliknya jika tidak ada pengendalian pada
jiwa, keutamaan-keutamaan itu juga hilang, yang ada hanya kebodohan,
kerakusan, pengecut dan lalim.
Untuk mencapai keutamaan-keutamaan tersebut Ibnu Miskawaih
mengajarkan teori jalan tengah (Nadzar al-Awsath), inti teori ini
menyebutkan bahwa keutamaan etika secara umum diartikan posisi tengah
antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa
manusia. Posisi tengah daya nafsu syahwat adalah iffah (menjaga kesucian
diri) yang terletak antara mengumbar nafsu dan mengabaikan nafsu. Posisi
tengah daya amarah adalah syaja’ah (keberanian) yang terletak antara
penakut dan nekad. Posisi tengah daya berfikir adalah a\- hikmah
(kebijaksanaan) yang terletak di antara kebodohan dan arogan. Kombinasi ini
menghasilkan keadilan yang merupakan posisi tengah antara menganiaya dan
teraniaya.
Selanjutnya, setiap keutamaan yang dihasilkan oleh setiap daya jiwa
merupakan hasil dari olah kebajikan jiwa yang terbagi dalam beberapa
bagian. Kearifan misalnya merupakan hasil olah jiwa pada tujuh perbuatan
yakni ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih
ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. Kesederhanaan merupakan
hasil olah jiwa pada dua belas cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar,
dermawan, kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan,
keteraturan, menghias diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik,
ketenangan, dan kehati-hatian. Adapun keberanian berkembang menjadi
sembilan cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan,
kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan memiliki daya tahan
yang kuat atau senang bekerja berat. Sementara keadilan oleh Miskawaih
dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat dan
keadilan Tuhan. Untuk mencapai posisi tengah dalam setiap jiwa tersebut
manusia harus dapat memadukan fungsi syari'at dan filsafat. Syari'at
berfungsi bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa amarah
sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah wata
berfikir.
Dari penjelasan mengenai watak jiwa ini, kemudian Ibn Miskawaih
membangun kriteria karakter manusia. Karakter adalah suat keadaan jiwa
yang menyebabkan jiwa bertindak tanpa difikir ata dipertimbangkan dengan
mendalam. Karakter ini terbagi menjadi du£ pertama, alamiah dan muncul
dari watak, misalnya saja ada orang yan< mudah marah hanya karena hal
kecil, atau yang mudah tersinggung yan mana sikap-sikap ini telah terlihat
sejak manusia itu dilahirkan. Kedui tercipta melalui kebiasaan dan latihan,
pada mulanya keadaan ini terjac karena dipertimbangkan dan difikirkan
namun kemudian melalui prakte terus menerus, menjadi karakter.168
Sebelumnya, kaum Stoik berpendapat bahwa karakter manusii secara alami/
fithrah itu buruk karena tercipta dari lumpur yang hins yang merupakan
sekotor-kotornya unsur alam, tetapi manusia dape berubah menjadi baik
dengan disiplin dan pengajaran. Dan Galei berpendapat bahwa sebagian
manusia secara alami ada yang terlahi baik tetapi ada juga yang terlahir
buruk/ jahat tetapi kemudian seiri™ pertumbuhannya manusia dapat berubah
dari yang jahat menjadi bai dan dari yang baik menjadi jahat atau tetap pada
kondisi awalnya sesuc dengan pengajaran yan diterimanya.169 Miskawaih
sendiri berpendapat bahwa pada manusia terdapat karakter alami, yang dapat
berubah ceps atau lambat melalui disiplin atau nasihat-nasihat atau bahkai
lingkungannya. Karakter alami itu bisa saja baik, bisa juga buruk dai bisa
juga diantara keduanya, yang di tengah-tengah inilah yang bis; berubah
menjadi baik akibat bergaul dengan orang-orang baik atai bisa juga buruk
jika bergaul dengan orang-orang berperilaku buruk.171
Untuk memahami karakter yang dijelaskan Miskawaih ini dicontohkannya
dengan anak-anak yang baru terlahirkan, mereka menuru Miskawaih
memiliki sikap-sikap yang berbeda, yang tidak sama, ada anal yang sejak
kecil telah menunjukkan watak yang “keras", tetapi ada yan< sangat
“penurut", “lembut'' dan “pemarah”. Seluruh watak bawaai tersebut, dapat
berubah seiring pertumbuhannya, sebelum dewasa, anal hanya menggunakan
dua daya jiwa yang juga dimiliki binatang yakni day; nafsu syahwat dan daya
amarah. Secara perlahan daya berfikir kemudiar tumbuh dalam dirinya dan
siap menerima pengajaran dan disiplin semakin cepat pengajaran dan disiplin
itu diterapkan pada anak, semakir cepat pula daya berfikir terolah di dirinya.
Dan semakin diabaikan, karakter-karakter alami mereka ini yang semakin
kuat tumbuh dan daya berfikir semakin tumpul karena tidak digunakan.171
Untuk mendidik mereka, Ibnu Miskawaih menekankan pentingnya syari’at
agama. Karena agama adalah arah terbaik sikap manusia, semakin besar anak
kemudian perlu diajari filsafat dan cara berfikir secara filosofis. Manusiamanusia seperti inilah yang akan mencapai kesempurnaan akhlak.
Selain masalah-masalah di atas, Ibnu Miskawaih menekankan tiga tujuan dari
etika atau akhlak yang diperbuat manusia; kebaikan (a/- khair), kebahagiaan
(al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan
dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan
mutlak yang tertinggi adalah identik dengan wujud tertinggi, dan semua
bentuk kebaikan manusia di dunia ini berusaha meraih kebaikan tertinggi
tersebut. Usaha setiap masing-masing orang dengan kebaikan dirinya menuju
kebaikan tertinggi inilah yang kemudian disebut Miskawaih dengan
kebahagiaan, artinya kebahagiaan bergantung pada upaya orang-orang untuk
memperolehnya.172
Kebahagiaan menurut Ibnu Miskawaihn terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa dan
raga. Kebahagiaan sendiri berada dalam dua komponen tersebut, terdapat
orang-orang yang merasa bahagia dengan keterikatannya pada benda, namun
kemudian karena kerinduannya pada jiwa berusaha memperoleh kebahagiaan
jiwa. Dan kedua, manusia yang memfokuskan kebahagiaannya pada jiwa.
Miskawaih menegaskan siapapun yang merasa terikat dengan benda dan
merasa bahagia dengan kedudukan tersebut pasti tetap merasa hampa dan
kesepian sehingga berupaya keras meraih kebahagiaan jiwa.173
Menariknya, meski menempatkan kebahagiaan jiwa sebagai komponen
terpenting, Miskawaih menolak kebiasaan “uzlah” atau mengasingkan diri
dari masyarakat sebagai sikap yang benar. Sikap ini, adalah sikap yang juga
identik dengan zalim dan bakhil serta sikap mementingkan diri sendiri. Sikap
ini juga dapat menolak keutamaan (al-fadhilah) diantara manusia dengan
manusia lainnya, keutamaan itu sendiri adalah cinta kepada semua
manusia.174 Cinta ini dapat diaplikasikan dengan baik jika manusia itu
sendiri berada di tengah masyarakatnya dan saling berintegrasi di dalamnya.
Penyakit moral, terutama yang telah dinyatakan tercela dari segala hal yang
menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas adalah rasa takut, terutama
takut akan mati. Perasaan takut ini yang menggerogoti fikiran, hanya akan
menimbulkan sakit bagi jiwa dan raga itu sendiri, kematian itu sendiri
menurut Miskawaih, hanyalah proses perjalanan jiwa. Yakni perubahan jiwa
dari keterikatannya pada materi menuju kebahagiaan sejati. Penyakit berat
lain jiwa adalah kesedihan, karena kesedihan adalah suatu bentuk penolakan
terhadap kondisi atau keadaan yang dialami. Kesedihan ini sebenarnya
menurut Miskawaih adalah bentuk dari ketidakpuasan manusia pada
kenikmatan duniawi, yang sebenarnya sangat temporal dan tidak
membahagiakan.175
E.
IBNU SINA
Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Sina lahir pada tahun 980 M di Afshinah,
dekat Bukhara (Turkistan). Ayahnya Abdullah, berasal dari Balkh,
ditugaskan untuk memimpin Bukhara dan kemudian diangkat menjadi
gubernur Samanite. Di kota Bukhara inilah, Ibnu Sina memperoleh
pendidikan mudanya, sejak kecil Ibnu Sina telah memperlihatkan kecerdasan
luar biasa. Dalam sepuluh tahun ia telah hafal al-Qur’an dan mengenal
berbagai cabang literatur ilmu. Sejak usianya belum genap tujuh belas tahun,
Ibnu Sina telah menguasai fiqh, matematika, ilmu ukur dan semantik. Bahkan
menurut riwayat, Ibnu Sina mempelajari buku Ocledus, buku mengenai ilmu
ukur dan juga buku-buku mengenai kedokteran. Dan ketika genap delapan
belas tahun, Ibnu Sina telah mempelajari semua ilmu tersebut.176
Bila al-Kindi dan karya-karyanya memperindah istana Khalifah al-Mu'tashim
Billah dan al-Farabi dengan pemikiran-pemikirannya menghiasi istana Saif
al-Dawlah, al-Razi mewarnai pemerintahan Mansyur ibn lshaq, Ibnu Sina
menyemarakkan daulah Bani Buwaih. Masyarakat yang hidup pada masa itu,
yaitu pada akhir abad keempat dan awal abad kelima hijriyah mengenal Ibnu
Sina dengan julukan al-Syaikh.
Bahkan karena kecerdasannya, Sultan Mahmud Ghaznawi meminta Ibnu
Sina untuk tinggal di istananya di Afghanistan, tetapi Ibnu Sina menolaknya,
ia memilih tinggal di Persia. Meski beberapa tahun kemudian ia pergi
meninggalkan Persia (Bukhara) menuju istana Sultan 'Ali ibn al-‘Abbas di
Khawarizmi (Turkistan). Tujuan keberangkatannya adalah untuk menemui
ahli ilmu di kota itu, di sana ia bertemu banyak ulama dan kaum cendekiawan
seperti Abu Raihan al-Biruni; seorang ahli falak, Abu Sahi al-Masihi dan
Abu al-Khair al-Khammar; seorang ahli kedokteran.177 Setelah orang tuanya
meninggal dunia, Ibnu Sina meninggalkan Bukhara dan pergi ke Jurjan untuk
bekerja di Istana Pangeran Ali ibn al-Ma’mun. Selanjutnya, ia pindah ke
Hamdan dan selama disana ia pernah diangkat dua kali menjadi Menteri di
Istana Syams al-Dawlah. Tetapi karena terlibat dalam urusan politik, ia
kemudian dipenjara namun kemudian melepaskan diri dengan menyamar
sebagai sufi dan melarikan diri ke Isfahan. Di Isfahan, ia bekerja di istana
A’la al-Dawlah sampai akhir hayatnya pada tahun 1037 M.178
Menurut Abu 'Ubaid al-Juzjani, Ibnu Sina sibuk menulis baik sewaktu dalam
penjara maupun dalam perjalanan. Karya tulisnya baik berupa risalah atau
berupa buku berjumlah kurang lebih dua ratus, kebanyakan dalam bahasa
Arab dan sebagian kecil dalam bahasa Persia. Karya fenomenalnya, al-Qanun
fi al-Thibb dan al-Syifa’. Al-Qanun (The Canon), suatu ensiklopedia tentang
ilmu kedokteran, diterjemahkan ke dalam bahasa latin di abad kedua belas
masehi dan untuk masa lima ratus tahun menjadi buku pegangan di
universitas-universitas Eropa. Al- Syifa merupakan ensiklopedi tentang
filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan, di dalamnya terdapat tambahantambahan orisinil dari Ibnu Sina sendiri. Ringkasan dari isi al-Syifa’
terkandung dalam buku lain dengan nama al-Najah, buku-buku penting Ibnu
Sina lainnya adalah ‘Uyun al-Hikmah,al-lsharat wa al-Tanbihat, Mantiq alMasyriqiyah dan lainnya.179
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna (Spanyol Aven Sina),
karena kemasyhurannya sebagai filosof, ia pun digelari "The Prince of The
Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama “al-Syaikh al-Rais”,
pemimpin utama (dari filosof-filosof).180
1.
Filsafat Ibnu Sina
Teori Emanasi dan Filsafat Wujud
Salah satu pemikiran terpenting bagi Ibnu Sina ialah emanasi, emanasi adalah
teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat
yang wajib al-wujud (zat yang mesti ada; Tuhan). Teori emanasi disebut juga
dengan “teori urut-urutan wujud". Teori emanasi Ibnu Sina diperkirakan
merupakan pengembangan selanjutnya dari teori emanasi gurunya, al-Farabi.
Dalam salah satu karyanya al-lsyarat wa al-Tanbihat, Ibnu Sina merumuskan
teori emanasi dengan menerangkan bahwa “emanasi adalah sesuatu yang
dengannya sebuah eksistensi dilahirkan dari yang lain, dan bergantung pada
eksistensi lain tanpa perantara materi, instrument ataupun waktu. Tetapi,
suatu yang didahului oleh non- eksistensi dalam waktu tanpa membutuhkan
perantara, tindakan emanasi karenanya mempunyai derajat yang lebih tinggi
dari tindak penciptaan dan kontingensi”. Sistem emanasi menjelaskan bahwa
seluruh alam, dengan semua kejamakan khasnya telah beremanasi dari dan
tereduksi kepada Tuhan sebagai prinsip pertama eksistensi. Setiap wujud
emanatif dicirikan Ibnu Sina keadaannya sebagai efek immanen, atau aksi
emanatif prinsipnya tersendiri.181
Demi memudahkan pemahaman kita mengenai emanasi Ibnu Sina, perlu
dipahami terlebih dahulu filsafat wujud Ibnu Sina. Ibnu Sina membagi wujud
menjadi tiga kategori; yang mesti ada (wajib al-wujud), yang mungkin ada
(mumkin al-wujud) dan yang mustahil ada (mumtani’ al-wujud). Yang
mustahil ada (mumtani’ al-wujud) dan Yang mesti ada (wajib al-wujud),
tidak pernah tidak ada di masa lampau dan tidak akan pernah tidak ada di
masa depan, la selamanya ada, keberadaannya tidak mempunyai permulaan
dan zaman dan juga tidak mempunyai akhir, la terus menerus ada,
keberadaannya tidak mempunyai sebab. Sedangkan yang mungkin ada
(mumkin al-wujud), pernah tidak ada di masa lampau, kemudian ada dan
dapat tidak ada kembali di masa depan. Adanya mempunyai permulaan
dalam zaman dan juga mempunyai akhir, ia bermula dari tiada dan berakhir
dengan tiada.182
Dari kategori wajib ai-wujud dan mumkin al-wujud, Ibnu Sina berpendapat
bahwa wajib al-wujud adalah sebab dari segala sesuatu dan mumkin al-wujud
adalah efek atau yang keberadaannya berasal dari wajib al-wujud. Dan setiap
yang maujud terdiri dari dua elemen yakni bentuk dan materi.183 Bentuk
menurut Aristoteles adalah jumlah total dasar dan kualitas-kualitasnya yang
dapat diuniversalkan yang membentuk definisinya, adapun materi pada setiap
sesuatu memiliki kemampuan untuk menerima kualitas-kualitas tersebut dan
dengan bentuk itu, maka terjadilah eksistensi.184 Tetapi teori ini
dipertanyakan Ibnu Sina, karena pertama, bentuk yang digambarkan
Aristoteles menunjukkan bahwa bentuk adalah universal, bentuk sendiri
adalah hal yang abstrak sehingga mendekati tidak ada, demikian pula materi,
sebagai wujud potensialitas murni menjadi tidak ada, karena materi hanya
dapat terwujud melalui bentuk. Sedangkan bentuk itu sendiri abstrak dan
universal.185
Ibnu Sina kemudian berkeyakinan jika hanya dari materi dan bentuk saja,
tidak akan didapati eksistensi yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas
esensi kebetulan. Bentuk dan materi itu baru akan bereksistensi jika ada
campur tangan esensi yang dapat menyatukan keduanya. Diterangkannya
eksistensi yang tersusun tidak hanya dapat disandarkan pada bentuk dan
materi saja, tetapi harus ada hal lain, yang disebut Ibnu Sina dengan
“kejadian". Disini, Ibnu Sina berpendapat eksistensi sesungguhnya bukan
penyerahan bentuk pada materi, tetapi merupakan hubungan yang terjalin
dengan Tuhan.186
Bagi Ibnu Sina, eksistensi lebih utama dari esensi, esensi hanyalah sesuatu
yang abstrak dan hanya bisa berada di dalam akal saja. Esensi tidak mewujud
menjadi gabungan materi dan bentuk, sedangkan eksistensi nyata, berwujud
dan dapat bermanifestasi di luar akal. Filsafat wujud Ibnu Sina ini
membawanya berkesimpulan bahwa wujud (eksistensi) lebih penting dari
esensi, dengan bahasa yang lebih sederhana; “eksistensi adalah lebih utama
dari esensi’’.187 Oleh karena itu, timbul pendapat bahwa eksistensialisme
(suatu aliran filsafat yang muncul dan popular pada abad kedua puluh) telah
lebih dahulu dikemukakan oleh Ibnu Sina pada abad kesembilan masehi.
Teori “kejadian” yang diartikan sebagai hubungan dengan Tuhan
menunjukkan bahwa kejadian tersebut adalah kejadian yang sangat special
dan tidak biasa. Karena jika kejadian tersebut adalah kejadian yang biasa,
maka seseorang dapat memikirkannya sesaat saja lalu tetap melanjutkan
fikiran lainnya dengan terus berargumen tentang obyeknya persis
sebagaimana ia dapat melakukannya untuk kejadian- kejadian lain. Hal yang
spesial ini diargumentasikan Ibnu Sina dengan penekanan bahwa ketiadaan
adalah juga wujud, yakni mumtani' al-wujud. Sebuah pemahaman yang
ditolak oleh banyak kalangan, karena ketiadaan diartikan tidak ada, tidak
maujud dan bukan bagian dari wujud.188 Dari ketiadaan inilah, Tuhan
menyatukan bentuk dan materi menjadi eksistensi.
Untuk menerangkan ketiadaan adalah juga wujud, dijelaskan Ibnu Sina
dengan logika. Menurut Ibnu Sina, setiap manusia seringkali membicarakan
sesuatu yang tidak ada atau tidak maujud. Dalam hal ini manusia
menggunakan imajinya untuk menggambarkan ketiadaan demi ketiadaan
sehingga membentuk makna-makna dari wujud-wujud ini karena kita
mengadakan objek-objek ini di dalam fikiran kita. Misalnya, makhluk ruang
angkasa, yang tidak diketahui keberadaanya, tetapi fikiran membuat
gambaran-gambaran tertentu sehingga seakan-akan makhluk ruang angkasa
itu ada/ berwujud. Tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh manusia
bukan obyeknya (makhluk ruang angkasa) melainkan suatu kumpulan
sifat.189
Dari teori kejadian dan pembagian wujudnya, Ibnu Sina kemudian
berpendapat bahwa wajib at-wujud yakni Tuhan adalah wujud yang niscaya,
Tuhan ada karena diriNya sendiri, tetapi pada saat yang bersamaan Tuhan
pun menjadi Tuhan karena keberadaan zat lainnya meski begitu tidak berarti
bahwa Tuhan bergantung dan membutuhkan zat lain itu. Meski memiliki dua
kemungkinan, Tuhan adalah satu-satunya wajib al-wujud lidzatihi, karena
segala sesuatu kecuali Tuhan, yang esensiNya adalah Tunggal dan Maujud,
memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain. Itu sebabnya meski
keberadaanNya diakui melalui keberadaan lain, tetapi tidak bergantung dan
membutuhkan zat lain tersebut. Pembagian Wajib al-wujud menjadi wajib alwujud lidzatihi (wujud actual karena dirinya sendiri) dan wajib al-wujud
lighairihi (wujud actual karena yang lain) ini yang menjadi dasar teori Ibnu
Sina untuk membedakan Tuhan dan peran manusia serta perubahan manusia
dari mumkin al-wujud menjadi wajib al-wujud.190
Karena wajib al-wujud dibaginya menjadi wajib al-wujud lidzatihi dan wajib
al-wujud lighairihi, maka Ibnu Sina berpendapat bahwa mumkin al-wujud
berpotensi untuk berubah menjadi wajib al-wujud. Ibnu Sina
mengilustrasikan teorinya ini dengan menjelaskan eksistensi pembakaran
adalah niscaya, tetapi bukan karena pembakaran itu sendiri, melainkan karena
bertemunya dua hal, yang satu adalah secara alamiah dapat membakar dan
yang lainnya secara alamiah dapat terbakar. Dengan demikian, eksistensi
dapat berarti niscaya jika terdapat eksistensi yang mungkin, atau eksistensi
tidak bisa menjadi niscaya dari dalam dirinya. Dengan bahasa yang lebih
sederhana, sesuatu dapat bereksistensi niscaya jika ada penyebab yang
mungkin, kebakaran dapat terjadi karena ada eksistensi yang dapat membakar
dan yang dapat terbakar. Dan eksistensi kebakaran adalah keniscayaan atau
keharusan yang terjadi, sedangkan jika kedua mumkin al-wujud itu tidak ada,
maka tidak terdapat eksistensi atau yang disebut Ibnu Sina dengan mumtani’
al-wujud. Namun, Ibnu Sina juga menegaskan adanya eksistensi yang
niscaya karena dirinya dan tidak bergantung pada eksistensi-eksistensi
lainnya yakni Tuhan.191
Berlandaskan dari pembagian wujudnya ini, Ibnu Sina mengembangkan teori
emanasi al-Farabi. Berbeda dari al-Farabi, yang berpendapat bahwa akal
pertama berfikir mengenai dua objek, yakni Tuhan dan dirinya sendiri. Ibnu
Sina berpendapat bahwa akal berfikir mengenai tiga objek, yaitu Tuhan
sebagai wajib al-wujud linafsihi, akal sebagai mumkin al-wujud linafsihi dan
akal sebagai wajib al-wujud lighairihi (yang actual karena sebab yang lain),
maka akibat yang muncul dari pemikiran akal-akal tersebut adalah juga tiga
macam. Dan Tuhan tidak hanya berfikir mengenai diri-Nya tetapi juga
berfikir mengenai dua objek; wajib al-wujud linafsihi (dirinya sendiri) dan
wajib al-wujud lighairihi. Itu sebabnya dari Tuhan timbul Akal pertama dan
Malaikat Utama atau cherub, sedangkan versi al-Farabi hanya melimpahkan
akal pertama, sebagai wujud tsani.192 Dan dari akal pertama, yang
memikirkan tiga objek melahirkan tiga limpahan. Berikut bagan emanasi
Ibnu Sina193:
Tuhan = Wujud Niscaya t
f
Hasil berfikir Tuhan terhadap dirinya sendiri = Akal Pertama
AI-‘Aql
al-Awwall Malaikat utama atau cherub
akal pertama berfikir tentang Tuhan (wajib al-wujud lidzatihi) =
Akal Kedua Hasil memikirkan waiib al-wuiud liphairihi = Jiwa/ Malaikat
langit pertama
^ Hasil memikirkan mumkin al-wujud= Tubuh langit pertama
► Akal Ketiga
I
► Jiwa/ Malaikat langit kedua
Tubuh langit kedua Bintang-bintang tetap atau tanda-tanda zodiac
L*. Akal Keempat
► Jiwa/ Malaikat langit ketiga
Tubuh langit ketiga
Akal Kelima
I
^ Jiwa/ Malaikat langit keempat Tubuh langit keempat (Yupiter)
!-► Akal Keenam
Jiwa/ Malaikat langit kelima Tubuh langit kelima
(Mars)
Akal Ketujuh
► Jiwa/ Malaikat langit keenam
Tubuh langit keenam (Matahari)
Akal Kedelapan
Jiwa/ Malaikat langit ketujuh Tubuh langit ketujuh
(Venus)
( Akal Kesembilan Ls— ► Jiwa/ Malaikat kedelapan)
Tubuh langit kedelapan (Mercury)
Akal Kesepuluh l
^ Jiwa/ Malaikat lanait kesembilan- Pemberi bentuk
(wahib al-shuwar)\ Malaikat Jibril
^ Tubuh langit kesembilan (Bulan)
Dunia yang fana (generation and Corruption)
Menurut Ibnu Sina, rasul dan nabi diberi Tuhan akal materil yang luar biasa
kuatnya, sehingga tanpa latihan dapat berhubungan dengan akal kesepuluh.
Akal materil yang serupa itu mempunyai daya suci (qudwah qudsiah) dan ini
merupakan bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan itu hanya
diperoleh oleh nabi-nabi dan rasul-rasul.194
Sebagaimana pendahulunya al-Farabi, Ibnu Sina juga membahas filsafat
kenabian. Perlu diketahui, pada zaman kedua filosof ini, ada orang-orang
non-lslam yang tidak senang dengan kekuasaan politik Islam di negeri
mereka dan mengungkapkan rasa ketidaksukaannya itu dengan mengkritik
ajaran-ajaran Islam diantaranya soal kenabian.195 Dengan filsafat pancaran
(emanasi atau al-faidh) yang berasal dari filsafat Yunani inilah Ibnu Sina dan
al-Farabi membawa argument filosofis bahwa kenabian tidak bertentangan
dengan rasio. Tuhan memancarkan akal-akal yang masing-masing
mempunyai planet untuk diatur. Akal terakhir, akal kesepuluh adalah akal
yang mengatur bumi. Akal kesepuluh meneruskan pancaran Tuhan ke
manusia di permukaan bumi. Yang dipancarkan Tuhan itu adalah ilmu dan
ilmu ini dapat ditangkap oleh akal perolehan filosof. Disini terdapat kontak
antara akal filosof dan akal kesepuluh.
Dalam filsafat Ibnu Sina, Nabi mempunyai akal potensial yang dayanya jauh
lebih tinggi dari daya perolehan filosof, sehingga tanpa usaha, seorang Nabi
dapat dengan langsung berhubungan dengan akal kesepuluh yang juga adalah
Jibril. Yang menurut al-Farabi, kontak terjadi melalui imajinasi Nabi. Disini
letak perbedaan antara al-Farabi dan Ibnu Sina, bagi al-Farabi hubungan
antara Nabi dan akal kesepuluh adalah imajinasi, sedangkan bagi Ibnu Sina,
hubungannya dapat dilakukan dalam berbagai cara, karena Nabi dan akal
kesepuluh diberi akses untuk berkomunikasi. Bagi al-Farabi dan Ibnu Sina
perbedaan antara Nabi dan filosof adalah bahwa filosof dalam kontak dengan
akal kesepuluh atau Jibril sebagai upaya menerima ilmu, sedangkan Nabi
selain ilmu juga menerima wahyu.196 Dengan filsafat kenabian inilah al-
Farabi dan Ibnu Sina menentang serangan-serangan musuh-musuh Islam
pada zaman lampau saat itu.
2.
Filsafat Manusia, Jiwa dan Akal
Ibnu Sina memandang manusia sebagai benda alam (natural matter) yang
mempunyai bentuk (yang disebut “jiwa”) yang merupakan kesempurnaan
yang pertama. Jiwa adalah titik pemusatan fungsi manusia dan tak
terpisahkan dari jasmaninya. Bagi Ibnu Sina, manusia terdiri dari dua
substansi yaitu jiwa dan raga, substansi jiwa bersifat kekal dan substansi raga
terbatas, keduanya meski berpadu menjadi satu subjek yakni manusia, namun
keduanya adalah berbeda, terpisah, terutama setelah manusia mati.197
Tentang substansi jiwa, Ibnu Sina menampilkan tiga dalil pembuktian.
Pertama, pada saat seorang manusia merenungkan diri, dia akan mengetahui
bahwa ada esensi di dalam dirinya; kedua, bila manusia menumpahkan
seluruh perhatiannya pada suatu persoalan, tanpa disadarinya, dia
menghadirkan zatnya dan seakan-akan berkata “aku akan berbuat begini
begitu atau begitu". Dalam keadaan itu, dia lupa pada semua anggota
tubuhnya. Fokusnya tertuju pada jiwanya dan tidak pada raganya; ketiga, bila
manusia berkata “aku melihat dengan mataku, aku mengambil dengan
tanganku, aku berjalan dengan kakiku”, maka itu menunjukkan bahwa pada
manusia memiliki sesuatu yang menghimpun semua penglihatan dan
perbuatan yang dilakukannya, itulah jiwa manusia.198
Jiwa dibagi ke dalam beberapa bagian dan di setiap bagian terdapat dayadaya yang tercakup padanya. Pembagian jiwa menurut Ibnu Sina terdiri dari;
(1) Jiwa tumbuhan dengan daya-daya; makan, tumbuh dan berkembang, (2)
Jiwa binatang dengan daya-daya; gerak, menangkap, representasi/ indera
penggambar, imaginasi/ indera penggerak, estimasi/ indera penganggap,
rekoleksi/ indera pengingat, (3) Jiwa manusia, dengan dua daya; praktis dan
teoritis.199
Ketiga jiwa tadi secara menyeluruh tercakup dalam diri manusia, dengan
demikian jika tumbuh-tumbuhan hanya memiliki satu komponen daya yaitu
daya dari dirinya sendiri, binatang memiliki dua komponen daya, yaitu
komponen pertama dari tumbuhan dan komponen kedua dari dirinya sendiri
(jiwa binatang), dan manusia memiliki tiga komponen daya, dari tumbuhan,
binatang dan manusia.200
Daya-daya dalam jiwa binatang201 adalah;
1.
daya penggerak; berbentuk nafsu serta amarah dan gerakan fisik dari
satu tempat ke tempat lainnya
2.
daya menangkap; terdiri dari dua bagian; dari luar dengan panca
indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan lidah dan
perasaan tubuh. Dan dari dalam; indera bersama yang menerima segala apa
yang ditangkap oleh panca indera luar dan meneruskannya ke indera batin
berikutnya, daya ini bertempat di bagian depan dari otak.
3.
representasi; atau indera penggambar berkemampuan menyimpan
segala apa yang diterima indera bersama (daya menangkap dari dalam),
melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya,
daya ini juga terdapat di bagian depan otak.
4.
imajinasi; indera penggerak yang menyusun apa yang telah disimpan
dalam representasi, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari
materi itu dengan memilah-milahnya kemudian menghubungkannya satu
sama lain, daya ini terletak di bagian tengah otak.
5.
estimasi; atau indera penganggap yang dapat menangkap hal-hal
abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi
kambing yang melihat serigala, kambing menangkap arti-arti yang dikandung
gambaran-gambaran yang diterima, daya ini terletak di bagian tengah otak.
6.
rekoleksi; atau indera pengingat yang menyimpan hal-hal abstrak
yang disusun oleh estimasi, bertempat di bagian belakang otak.
Adapun dalam jiwa manusia terdapat daya praktis dan daya teoritis,
disamping seluruh daya yang ada di binatang. Daya praktis ialah daya yang
tersimpan dalam jiwa manusia, yang berhubungan dengan badan dan materi,
daya ini menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat
seperti pada jiwa binatang. Sedangkan Daya teoritis ialah daya yang
hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak, menangkap arti-arti murni,
arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, ruh dan
malaikat.202
Pembagian terinci tentang jiwa dan daya-dayanya ini murni pemikiran Ibnu
Sina dan tidak akan kita jumpai dalam filsafat Aristoteles dan filosof-filosof
Yunani lainnya. Melalui pembagian daya jiwa, filsafat Ibnu Sina menjelaskan
bagaimana kesan-kesan atau gambaran- gambaran berdimensi diabstrakkan
menjadi arti.
Sistem kerjanya adalah sebagai berikut; seluruh kesan dan gambaran yang
diterima jasad/ badan atau materi diproses oleh daya penganggap atau
wahmiyah dari otak binatang (terdapat pada binatang dan manusia) untuk
diabstraksikan menjadi arti ke panca indera dalam. Berarti daya penganggap
inilah yang mentransfer gambaran-gambaran yang diberikan panca indera
luar kepada panca indera dalam.
Sampai di panca indera dalam, jiwa binatang tidak memproses apapun lagi,
tetapi pada jiwa manusia terdapat daya berfikir yang disebut akal. Akal hanya
bisa menarik yang abstrak dan tidak dapat menangkap yang berdimensi.
Proses penerimaan pengetahuan ke dalam akal dimulai dari dilepaskannya
arti-arti atau definisi-definisi yang berupa kumpulan sifat dari suatu materi
oleh daya penganggap yang kemudian diteruskan oleh daya pengingat ke akal
manusia. Akal manusia mempunyai empat tingkatan; akal potensial, akal
bakat, akal actual dan selanjutnya menjadi akal perolehan. Dengan akal
perolehan inilah seseorang menjadi filosof.203
Filsafat jiwa Ibnu Sina bertentangan dengan pendapat umum yang
mengatakan bahwa tubuh manusialah yang membutuhkan jiwa. Bagi Ibnu
Sina yang membutuhkan bukanlah tubuh kepada jiwa, tetapi sebaliknya jiwa
yang membutuhkan tubuh. Ibnu Sina mengilustrasikan kebutuhan tersebut
dengan keberadaan janin dalam tubuh seorang ibu. Janin ini tidak meminta
jiwa, tetapi diberikan jiwa, sehingga dalam perspektif Ibnu Sina, jiwalah
yang membutuhkan tubuh, tanpa tubuh jiwa tidak dapat bereksistensi.
Bersama dengan tubuh pula, jiwa berevolusi dan berkembang. Dengan
bantuan panca indera luar dan dalam yang terdapat pada tubuh, daya jiwa
meningkat dari potensial menjadi bakat, actual dan selanjutnya menjadi
perolehan.204
Seperti telah disebutkan daya berfikir (jiwa rasional) mempunyai dua bagian,
akal praktis; yang memiliki kapasitas untuk bertindak dan akal teoritis; yang
potensinya baru akan dieksplorasi jika jiwa bertemu dengan badan. Akal
praktis terletak konsentrasinya pada badan, dengannya seseorang dapat
membedakan antara apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, dan
juga hal-hal particular yang baik dan buruk. Akal ini disempurnakan melalui
kebiasaan dan pengalaman Sedangkan yang kedua, akal teoritis, mengarah
pada dunia ilahiah dan memungkinkan seseorang menerima intelijibel.205
Akal teoritis jika dihubungkan dengan nafsu binatang akan menimbulkan
rasa malu, sedih dan lainnya; jika dihubungkan dengan daya penganggap dari
indera batin binatang akan membedakan yang baik dan buruk dan akan
menghasilkan kecakapan mencipta dalam diri manusia.206 Akal teoritis
mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
1.
akal materiil (intelek potensial): yang baru mempunyai potensialitas
untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit, sehingga baru berupa
potensi saja. Kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang
tak pernah berada dalam materi, belum keluar.
2.
akal bakat (intelek habitual); yang telah mulai dilatih untuk berfikir
tentang hal-hal yang abstrak, kesanggupannya untuk berfikir secara murni
abstrak telah mulai kelihatan; ia telah mulai dapat menangkap pengertian dan
kaedah umum, seperti "seluruh lebih besar dari sebagian"
3.
akal actual (intelek actual); yang telah dapat berfikir tentang hal-hal
abstrak, telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap
pengertian dan kaidah umum dimaksud. Akal actual ini merupakan gudang
bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki
4.
akal perolehan (acquired intellect); yang telah sanggup berfikir
tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu lagi daya upaya, arti-arti abstrak
tersebut selamanya dapat dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal dalam
tingkatan ini telah dilatih begitu rupa sehingga hal-hal yang abstrak
selamanya terdapat di dalamnya. Akal dalam tingkatan inilah yang dapat
menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif yang berada di luar diri
manusia.
Akal dalam derajat keempat ini, adalah akal yang tertinggi dan terkuat
dayanya. Akal serupa inilah yang dimiliki filosof dan akal inilah yang dapat
memahami alam murni abstrak yang tidak pernah berada dalam alam materi.
Akal perolehan yang telah bergelimang dalam keabstrakan inilah yang dapat
menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke alam materi melalui akal
kesepuluh -pembahasan akal kesepuluh merupakan bagian dari teori emanasi
Ibnu Sina yang diduga melengkapi pembahasan emanasinya al-Farabi-.207
Karena kemampuan jiwa rasional menerima bentuk-bentuk yang intelijibel,
maka substansinya pasti merupakan sifat dasar (nature) dari bentuk-bentuk
ini. Jika yang menerima bentuk-bentuk intelijibel itu adalah jasmani atau
daya dalam jasmani, maka berarti bentuk-bentuk itu dapat dibagi, dan
bentuk-bentuk yang dapat dibagi tidak mungkin menjadi intelijibel. Dengan
demikian jiwa rasional pastilah bukan jasmani, bukan badan dan bukan
material. Jiwa rasional adalah immaterial, konsekuensinya jiwa rasional itu
tunggal karena kemajemukan terletak dalam materialitas.208 Karena ia
tunggal, ia tidak dapat rusak, berbeda dari al-Farabi yang percaya bahwa jiwa
manusia yang terjamin dari kerusakan hanyalah yang mengetahui paling
tidak beberapa realitas sedangkan jiwa yang sama sekali tidak memiliki
pengetahuan seperti itu akhirnya akan hancur. Ibnu Sina menganggap semua
jiwa manusia atau jiwa rasional tidak dapat rusak. Baginya, pengetahuan
tentang realitas segala sesuatu hanya diperlukan untuk kebahagiaan, tetapi
bukan untuk eksistensi setelah mati.209
Sedikit gambaran, agar kita tidak kesulitan memahami faham Ibnu Sina
antara jiwa dan akal adalah dengan memandang jiwa sebagai subjek utama
yang tunggal yang di dalamnya akal pun bersemayam. Jiwa telah dapat
dinamakan jiwa jika ia telah bertindak dalam tubuh, jika ia terpisah dari
tubuh/ materi, dia (dapat disinonimkan dengan ruh) yang merupakan
limpahan dari akal-akal yang beremanasi.
Dengan demikian jiwa dalam keberadaan hakikinya merupakan suatu
substansi yang independen dan adalah diri kita yang transcendental. Ibnu
Sina meyakini bahwa jiwa adalah abadi didasarkan atas pandangan bahwa
jiwa merupakan suatu substansi dan bukan suatu bentuk tubuh, yang kepada
bentuk itu jiwa dikaitkan erat-erat oleh suatu hubungan mistik tertentu.210
Dari jiwa ini muncul intelegensi aktif, kemunculannya bersamaan dengan
hubungannya dengan tubuh yang memiliki temperamen tertentu dan
kecenderungan tertentu, sehingga mengikat jiwa atau substansi terpisah untuk
membaur bersamanya (tubuh). Keduanya (jiwa-substansi terpisah dan tubuh)
saling merawat dan mengarahkannya dengan baik sehingga terjadi simbiosis
mutualisme. Selanjutnya jiwa sebagai non-badani, merupakan suatu substansi
yang sederhana dan substansi ini menjamin kesinambungan hidupnya bahkan
bila tubuh itu sendiri telah rusak.
Simbiosis mutualisme antara jiwa dan tubuh dibuktikan Ibnu Sina dengan
menjelaskan hubungan mistik yang terjalin antara jiwa dan tubuh. Hubungan
mistik ini adalah keterikatan antara jiwa dan tubuh, dimana jiwa telah
memilih tubuhnya dan tubuh mengikatkan diri pada jiwa. Sehingga bagi Ibnu
Sina tidak ada perpindahan jiwa ke tubuh lain atau tidak ada tubuh yang
berpadu dengan jiwa lain selain jiwanya sendiri. Karenanya hubungan tubuh
dan jiwa adalah hubungan yang sangat erat, maka hubungan ini dapat
mempengaruhi akal.211
Melalui hubungan tubuh dan jiwa, Ibnu Sina menekankan pentingnya
eksistensi individual. Eksistensi individual ini menekankan pentingnya
karakter emosi dan kata hati. Meski ia seorang Dokter, bagi Ibnu Sina
pengaruh fikiran adalah komponen terpenting dari individu, karena kapan
pun fikiran ingin menggerakkan tubuh, maka tubuh akan menaatinya. Dalam
uraiannya yang terperinci mengenai gerak hewan, Ibnu Sina membaginya
dalam empat tingkatan. Yang sebelumnya dibagi Aristoteles dengan tiga
tingkatan (imajinasi/ penalaran, keinginan dan gerak otot), adapun Ibnu Sina,
imajinasi/ penalaran, kata hati, keinginan dan gerak otot. Ibnu Sina berkata,
bahwa hasrat dan dorongan memang dipengaruhi oleh imajinasi, tetapi ketika
dalam kepedihan fisik, dorongan hati alamiah kita mencoba menghilangkan
sebab kepedihan tersebut dan dengan demikian menimbulkan pergolakan
imajinasi.212
Dari pergolakan ini, Ibnu Sina beralih pada bagaimana pengaruh imajinasi/
penalaran atau fikiran pada pengaruh emosi dan kemauan. Berdasarkan
pengalaman medisnya, bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang yang sakit
hanya dengan kekuatan kemauannyalah, dapat menjadi sembuh dan begitu
pula orang-orang sehat dapat menjadi benar-benar sakit bila terpengaruh oleh
fikirannya bahwa ia sakit.213
Dan sungguh emosi yang kuat seperti rasa takut dapat benar- benar merusak
temperamen organisme dan menyebabkan kematian dengan mempengaruhi
fungsi-fungsi vegetatif (lih. daya tumbuhan). Gembira dan sedih juga
merupakan keadaan-keadaan mental yang dapat mempengaruhi fungsi untuk
tumbuh dan berkembang. Keadaan-keadaan mental ini dapat mempengaruhi
imajinasi/ fikiran, meski imajinasi bukan suatu pengaruh fisik, tetapi bila
suatu gagasan tertanam kuat dalam imajinasi, maka gagasan tersebut
mengharuskan adanya perubahan temperamen. Perubahan sel-sel fisik, organorgan tubuh yang dapat semakin kuat tumbuh dan berkembang atau
sebaliknya.214
Dari sini, Ibnu Sina dapat dikatakan sebagai orang pertama yang
menunjukkan bukti dari fenomena hypnosis dan sugesti. Menurut Ibnu Sina,
jiwa yang secara eksklusif menyatu dengan tubuh dapat melampaui tubuhnya
untuk mempengaruhi jiwa yang lain. Hal ini menjadi mungkin hanya apabila
jiwa menjadi sama dengan seluruh jiwa. Dari sini, Ibnu Sina menolah stigma
sihir dan mistis pada kebiasaan- kebiasaan Hellenis yang menggunakan
logam dan hewan yang biasanya ahli sihir beraksi. Ibnu Sina melogikakan
perilaku tersebut dan menegaskan bahwa setiap orang dapat melakukannya
dengan logis.215
Fikiran secara kodrati memang dipersiapkan untuk dapat mempengaruhi
materi dan sebaliknya materi secara kodrati memang menaati fikiran. Maka
fikiran yang kuat akan mampu mempengaruhi, mengalihkan atau bahkan
mengacaukan fikiran lain. Ini terjadi dikarenakan jiwa (ruh) berasal dari
prinsip-prinsip tertentu yang lebih tinggi dari materi, ruh ini yang memberi
materi bentuk-bentuk yang terkandung di dalamnya, sehingga bentuk-bentuk
ini membuat rupa pada materi. Nah, jika prinsip ini kemudian ditularkan pada
spesies-spesies lainnya di alam, dengan memberikan bentuk untuk
me"rupa"kannya maka tidak mustahil prinsip ini dapat memberikan kualitaskualitas tanpa perlu perantara (baik sihir, magic atau jin), juga tanpa kontak
fisik.
3.
Epistemologi dan Kenabian
Ibnu Sina mendefinisikan pengetahuan sebagai sejenis abstraksi untuk
memahami bentuk sesuatu yang telah diketahui. Abstraksi pengetahuan
sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya merupakan hasil persepsi
indera bagian luar yang kemudian diolah oleh persepsi bagian dalam.
Persepsi bagian luar adalah kerja panca indera, sedangkan indera bagian
dalam bekerja untuk memilah-milah pesan, memaknai pesan dan menyusun
pesan yang ditangkap oleh indera luar.216
Indera dalam pertama yakni indera bersama, indera ini menjadikan data-data
indera indera luar sebagai persepsi-persepsi. Artinya indera bersama
merupakan wadah data dari apa yang telah ditangkap oleh indera luar dan
kemudian dipersepsikan oleh indera bersama. Indera internal kedua;
representasi, indera ini telah mulai melakukan imajinasi dari persepsipersepsi yang diterima dari indera bersama, dengan imajinasi ini, indera
representasi melakukan pemaknaan ulang (representasi) dengan melepaskan
persepsi-persepsi awal yang diberikan panca indera. Indera internal ketiga
adalah imajinasi yang sesungguhnya, pada manusia indera ini dikuasai oleh
nalar sehingga imajinasi dapat bekerja dengan cermat, indera ini bertugas
melakukan pemilahan persepsi-persepsi yang diterima dari indera internal
ketiga. Imajinasi berupaya mengkaji baik dan buruknya kesan-kesan yang
telah diterima, karena kecermatan dan ketepatan imajinasi inilah, maka akal
praktis bersemayam di dalamnya. Indera internal keempat dan indera internal
terpenting yakni estimasi bertugas menyerap gerak-gerak non bendawi
seperti kegunaan dan ketidakgunaan, cinta dan benci kepada obyek-obyek
materi dan sesungguhnya merupakan dasar karakter manusia. Dan indera
internal kelima, rekoleksi; menyimpan dalam ingatan semua gagasan-gagasan
yang diterima yang oleh Ibnu Sina disebut sebagai tempat niat dimulai.217
Doktrin estimasi (wahm) yang digambarkan psikolog modem dengan “respon
syaraf' subyek terhadap obyek tertentu, dapat bersifat instingtif murni seperti
domba yang mengenali serigala dan memerintahkan dirinya untuk segera
melarikan diri atau seperti seorang ibu yang mencintai anaknya.218 Instingtif
murni didapati tanpa perlu ada pengalaman terlebih dahulu, sifatnya sangat
naluriah dan alami. Sifat lainnya adalah “empiris semu", respon ini
merupakan gabungan antara imajinasi dan estimasi (indera internal ketiga dan
keempat) yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman di masa lalu atau
sebelumnya. Anjing yang sebelumnya pernah dipukul dengan tongkat kayu
dan merasakan sakitnya merekam ingatan itu, sehingga ketika anjing melihat
seseorang membawa tongkat kayu, ia dengan sesegera mungkin menghindar.
Gejala penghubungan kejadian masa lalu tersebut bisa jadi tidak langsung
atau bahkan tidak rasional. Beberapa orang dengan irasional menghubungkan
warna-warna tertentu dengan kejadian-kejadian tertentu, hanya karena ia
mendengar asumsi-asumsi yang belum tentu benar. Atau seseorang yang
mengalami ketakutan meminum obat yang kemudian berlangsung secara
terus-menerus tanpa perlu melihat perbedaannya, misalnya dia ketakutan
karena obat itu pahit sehingga ia ragu meminum obat meski obat itu
manis.219
Artinya, gabungan imajinasi dan estimasi yang didasarkan pada pengalaman
akan mempengaruhi emosi yang dapat mengacaukan fikiran dan melahirkan
temperamen-temperamen tertentu. Dan akal praktis memiliki peran penting
untuk memanage imajinasi, estimasi dan gabungan keduanya. Doktrin ini
merupakan inti ajaran epistemologis Ibnu Sina yang juga dasar teori
kenabiannya.
Seperti dijelaskan sebelumnya akal praktis terdiri dari empat tingkatan,
habitual, potensial, actual dan perolehan. Ibnu Sina menekankan pentingnya
akal potensial, karena kesanggupannya untuk berfikir secara murni abstrak
telah mulai dapat dilakukan. Akal ini telah mampu dilatih untuk membuat
hubungan dengan akal aktif (akal kesepuluh) di luar manusia. Yang karena
latihan untuk mengenal akal aktif itu, akal potensial dapat berkembang dan
menjadi matang. Ibnu
Sina beranggapan akal potensial pada manusia adalah unsur yang tidak dapat
dibagi-bagi, tidak bersifat materi dan tidak dapat dirusak sekalipun akal ini
dibangkitkan pada waktu tertentu dan sebagai sesuatu yang bersifat bagi
setiap individu.220 Ide ini berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi
keagamaan, yang menurut al-Farabi, hanya akal yang maju yang dapat
bertahan hidup sedangkan yang lainnya sirna dalam kematian untuk selamalamanya. Tetapi Ibnu Sina beranggapan jiwa adalah kekal dan akal karena tak
dapat dibagi-bagi yang juga merupakan unsur jiwa, maka ia juga kekal
bersama jiwa.221
Pengetahuan itu sendiri menurut Ibnu Sina diperoleh manusia sedikit demi
sedikit dan sambung menyambung, tidak diterima secara sekaligus dan
universal. Karena pengetahuan sulit diketahui dari mana dan kemana arah
pemahamannya ditujukan. Agaknya pemahaman pengetahuan dikatakan Ibnu
Sina adalah sambung menyambung atau terperinci, merupakan bagian dari
konteks “cara pandang’’. Karena menurutnya, gagasan-gagasan itu datang
dan pergi secara bergantian, dengan demikian penguasaan mereka tentang
realitas tidak menyeluruh. Seseorang dapat menerima pengetahuan dari sisi
kiri, yang lainnya dapat menerimanya dari sisi kanan dan yang lainnya lagi
dapat melihat garis besarnya saja.222
Itu sebabnya Ibnu Sina menolak doktrin umum Yunani yang mengatakan
identitas mutlak dari subyek dan obyek dalam kerja akal, karena menurut
pendapat Ibnu Sina dalam kesadaran normal, akal manusia menerima
kesilihbergantian gagasan. Jika fikiran identik dengan sebuah objek, maka
bagaimana mungkin fikiran itu dapat merespon objek lainnya. Gagasan-
gagasan yang keluar masuk fikiran tentu saja tidak serta merta tersimpan dan
digunakan dalam pengakalan. Sehingga bagi Ibnu Sina, gagasan-gagasan
yang direspon akal tidak selalu teringat, sebaliknya Ibnu Sina menegaskan
peran imaji-imaji perasaan, menurutnya gagasan-gagasan imaji perasaan jauh
tersimpan dan terpendam dalam memori manusia atau dengan kata lain
sebenarnya tidak ada ingatan akal seperti ingatan tentang imaji-imaji
perasaan.223
Fikiran manusia tidak dapat melestarikan setiap ingatan terhadap pengertian/
pengetahuan. Tetapi perasaan dapat merekam/ mengingat setiap ingatan
tentang peristiwa-peristiwa masa silam bahkan peristiwa masa kini. Memang
terdapat perbedaan antara peristiwa yang diingat oleh fikiran dengan yang
diingat dalam imaji perasaan, Ibnu Sina berpendapat seperti yang
disampaikan Aristoteles, bahwa ingatan bila diterapkan pada obyek-obyek
perasaan dan peristiwa-peristiwa tertentu di masa lalu, sama sekali berbeda
dari ingatan tentang yang universal dan proposisi-proposisi universal. Fikiran
menurut Aristoteles bahwa yang universal yang diingat oleh manusia hanya
diingat peraccidents.22* Ibnu Sina menjelaskan konsep accidents tersebut
dengan mengibaratkan cermin yang kepadanya ada serangkaian gagasan yang
direfleksikan dari akal aktif. Ini tidak berarti bahwa suatu kebenaran telah
dicapai, karena gagasan-gagasan tersebut harus tetap berada di depan cermin
agar dapat terus terkoneksi dengan akal aktif. Jika gagasan-gagasan tersebut
menggeser/ menjauh atau menghilang, maka hubungannya dengan akal aktif
dapat menghilang dan karenanya kebenaran belum tentu dapat tercapai.
Gagasan-gagasan atau pengetahuan ini jika telah keluar dari fikiran, harus
dipelajari kembali secara keseluruhan untuk diingat kembali. Artinya dengan
pencapaian kita terdahulu (yang telah mampu mengingat pengetahuan)
kemudian perlu dipelajari kembali, menghubungkan kembali pada akal aktif,
analogi pendapatnya dituturkan Ibnu Sina, melalui teori cermin; Ibnu Sina
mengatakan bahwa sebelum menguasai pengetahuan, cermin tersebut
berkarat; apabila kita berfikir kembali, cermin itu menjadi mengkilat, dan
senantiasa menghadap ke arah matahari yaitu akal sehingga senantiasa
merefleksikan cahaya.225
Menambahkan seluruh pengertian mengenai fikiran dan imaji, Ibnu Sina
memperkenalkan kesadaran filosofis, kesadaran ini pada umumnya bersifat
parsial atau terpisah-pisah tetapi kemudian kesadaran ini menjadi terhubung
secara menyeluruh oleh kreatifitas dan penguasaan realitas. Kesadaran ini
bukan kesadaran yang berakal aktif, akan tetapi dalam proses-proses
pengertian kita yang biasa pun, ada petunjuk- petunjuk ke arah kemaujudan
suatu jenis kesadaran dimana parsialitas dan rangkaiannya ini bisa diatasi dan
yang biasa sepenuhnya berifat kreatif, disertai pula realitas penuh dalam
penguasaannya. Teori ini dicontohkan Ibnu Sina dengan seseorang yang tibatiba berhadapan dengan seorang penanya yang menanyakan kepadanya
tentang sesuatu yang dia sendiri belum pernah dipertanyakan kepadanya
sebelumnya dan oleh karena itu, ia tidak dapat memberikan jawaban
terperinci secara langsung. Namun demikian, dia yakin bahwa dia dapat
menjawab pertanyaan tersebut, karena ia merasa jawabannya telah ada di
benaknya, terlintas begitu saja, anehnya menurut Ibnu Sina, jawaban yang
diberikannya memberi petunjuk bagi si penanya sekaligus bagi diriir
sendiri.226
Wawasan sederhana ini menurut Ibnu Sina adalah hai penalaran kreatif,
bentuk yang telah terumuskan dan teruraikan itu adai; pengetahuan “fisik",
bukan benar-benar pemahaman akal. Orang yai memiliki penalaran kreatif
yang sederhana ini, patut dikatakan sebag orang yang berakal aktif dan
karena dia benar-benar yakin akan d? mana ke mana arah pengetahuan itu, dalam bahasa Ibnu Sina adai; keyakinan diri-, orang tersebut menyadari
secara penuh akan kontel keseluruhan dari kebenaran dan oleh karenanya
juga memiliki kesadar; penuh akan makna setiap istilah dalam proses realitas.
Orang-orar seperti inilah yang dapat memberi arti pada sejarah duniaw
mempolakannya dan memberi makna baru padanya, inilah dia sar Nabi.227
Gejala kenabian dibangun dari empat tingkatan: intelektu; imajinatif,
keajaiban dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan i memberi petunjuk
yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikir? keagamaan. Teori ini
dibangun dari pemikirannya tentang “kejadiar tentang kebergantungan setiap
makhluk pada Tuhan, juga tentar hubungan jiwa dan raga, serta keajaibankeajaiban imajinasi, fikiran ser perasaan. Disini terlihat Ibnu Sina seorang
filosof yang religius, d menguasai filosof hellenis dan spiritualis sekaligus.
Pemikiran filosofis hellenisnya terlihat dari bagaimana menjelaskan alQur’an sebagai firman Tuhan. Al-Qur’an dinyatakan Ibr Sina sebagai
kebenaran simbolis dan kebenaran harfiah sekaligu simbolis ini terlihat dari
hukum dan pedagogic yang disampaikan e Our'an. Teori simbolisitas wahyu
ini adalah inti ajaran Hellenistic yar juga mengakui kenabian, tetapi
kebenaran harfiah ditolak pemikir-pemih hellenis. Kebenaran harfiah ini
dibuktikan melalui kebenaran firman-firmE yang disampaikan dan pada diri
seorang Nabi sebagai pembawa risalal itu sebabnya Nabi harus memiliki
kapasitas intelektual dan sosio-politis.J
Di tingkat intelektual, Ibnu Sina berpendapat seorang Nal memiliki
pengalaman intuitif yang sangat memukau, pengalaman intuil ini yang
membantu mengembangkan imajinasi. pPrlu diingat teori Ibn Sina; bahwa
kekuatan intuitif manusia berbeda-beda kualitas da kuantitasnya. Nabi,
memiliki pengalaman intuitif yang sangat tingg sehingga Nabi adalah gudang
kebenaran dan memiliki hubunga menyeluruh dengan realitas. Seperti
sebelumnya telah dijelaska mengenai penalaran kreatif, yang berkaitan
dengan pertanyaan seor; penanya pada orang lainnya, Nabi telah memiliki
“semacam" rekan untuk setiap pertanyaan yang diajukan karena wawasannya
yc menyeluruh mengenai realitas.229
Wawasan kreatif tentang pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibnu
Sina dengan ilmu yang disingkapkan oleh akal £ dan diidentikkan dengan
malaikat pembawa wahyu. Tetapi kedudul Nabi sebagai seorang Nabi dan
manusia sekaligus, menempatkan N untuk tidak dapat bertindak kreatif dalam
sejarah semata-m berdasarkan kekuatan wawasan itu. Sifat pembawaan
kedudukan y; dijabatnya menghendaki agar ia seyogyanya menghadap umat
manu berbekal risalah, mempengaruhi mereka dan benar-benar berhasil dai
misinya. Dengan demikian, Nabi meski memiliki kemampuan luar bi; untuk
berhubungan dengan akal aktif, tetapi Nabi secara esensial ada manusia, dan
secara “aksidental” berhubungan dengan akal aktif.230
Perbedaan yang signifikan antara filosof dan seorang N terletak pada
kemampuannya untuk mengolah imajinasi yang kuat c hidup, bahkan
kekuatan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia ha mempengaruhi bukan
hanya fikiran orang lain melainkan juga selu materi umumnya dan bahwa ia
harus mampu melontarkan suatu syst social politik.
Dengan imajinasi yang luar biasa, fikiran Nabi, melc keniscayaan psikologis
mengubah kebenaran-kebenaran akal murni c konsep-konsep menjadi imajiimaji dan symbol-simbol kehidupan y£ demikian kuat sehingga orang yang
mendengar atau membacanya tic hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong
untuk melakukan sesuc Dorongan itu digambarkan Ibnu Sina seperti
kebutuhan ketika kita merc lapar dan haus, imajinasi kita menyuguhkan di
hadapan kita imaji-irr tentang makanan dan minuman. Bahkan tatkala
seseorang sedang tic bergairah untuk melakukan hubungan seksual, tetapi
kondisi fi menerima rangsangan mencoba untuk menerimanya, imajinasi b
berperan dan dengan membangkitkan imaji-imaji yang hidup d sesuai, bisa
benar-benar mengembangkan gairah seks melalui suge belaka.231
Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila diberlakuk pada jiwa dan
akal Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian ki dan hidup sehingga
apa pun yang dipikirkan Nabi dan dirasakan os jiwa Nabi, Nabi benar-benar
mendengar dan melihatnya. Itulah pi sebabnya Nabi perlu berbicara tentang
surga dan Negara yang melambangkan keadaan-keadaan spiritual murni dari
kebahagiaan d.m kesengsaran. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam
Kitab-kitab suci keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan
kiasan, sehingga perlu ditafsirkan untuk mendapat kebenaran yang lebih
tinggi, mendasar dan spiritual.232
Jadi, wahyu menurut Ibnu Sina, secara teknis mendorong umat untuk berbuat
baik dengan menunjukkan simbol-simbol untuk memperjelas fungsi agama,
seperti surga dan neraka dan kehidupan keabadian di akhirat nanti. Demi
memperkuat seluruh simbolitas dan memperjelas wawasan kewahyuan
tersebut, maka seorang Nabi harus dapat menyatakan wawasan moralnya ke
dalam prinsip-prinsip moral yang memadai, untuk menunjukkan kebenaran
ajarannya. Prinsip-prinsip tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan ke dalam
masyarakat melainkan perlu dicontohkan, ditauladankan, karena tanpa contoh
dan tauladan kekuatan kekuatan wahyu imajinatifnya tidak akan banyak
berfaedah. Maka dari itu, seorang Nabi perlu menjadi seorang pembuat
hukum negarawan tertinggi. Hukum ini mesti dapat berhasil guna dalam
membentuk masyarakat yang baik, harus memperingatkan mereka akan
Tuhan pada setiap langkah dan harus menjadikannya sebagai tolak ukur
pendidikan bagi mereka dalam rangka membuka mata mereka terhadap apa
yang ada di balik bentuk lahiriahnya, sehingga mereka bisa memahami
tujuan-tujuan spiritual sejati Sang Pembuat Hukum. Hukum ini takkan bisa
ditolak oleh siapapun, tetapi hanya wawasan filosofis tentang kebenaran yang
memberi makna sebenarnya dari hukum tersebut. Artinya, hukum-hukum
tersebut dapat memberikan perkembangan lain, atau dapat ditafsirkan untuk
berjalan sesuai perkembangan zaman, para penafsir dan reformer itu adalah
orang-orang yang memilki wacana filosofis dan kekuatan pengetahuan yang
baik.233
Sebaliknya, hukum-hukum tersebut akan stagnan bahkan hanya menjadi
dogma-dogma bagi orang awam. Maka wahyu diterima orang-orang awam
sebagai kebenaran harfiah semata tanpa mengetahui makna-makna simbol
yang terkandung di dalamnya. Dari sini, terlihat Ibnu Sina menampilkan
sebuah ide tentang ketauladanan Nabi, sikap yang membuat seorang Nabi
adalah Nabi karena ajaran, sikap, keseharian dan pendapatnya menunjukkan
kesempurnaan untuk diteladani dan artinya Nabi tidak serta-merta merupakan
pilihan Tuhan tanpa kekuatan dan kepribadian yang mumpuni.
IKHTISAR
a al-Kindi merupakan filosof muslim pertama dalam sejarah dunia Islam, inti
utama ajarannya adalah keterpaduan filsafat dan agama. Melalui tulisannya
inilah terbuka gerbang umat Islam untuk berfilsafat. Kariernya sebagai
penerjemah dan editor memudahkan al-Kindi mentransfer banyak pemikiran
Yunani ke dunia Islam b al-Razi adalah seorang filosof sekaligus dokter
ternama di masa Dinasti Samaniyyah. Al-Razi dikenal sebagai seorang
rasionalis murni, alur fikir kontroversialnya adalah penetapan lima kekekalan
yang terdiri dari Tuhan, ruh, materi, ruang dan waktu. Tetapi sesungguhnya
al-Razi menegaskan nilai dari setiap lima yang kekal tersebut berbeda-beda
dan Tuhan adalah substansi kekal yang menciptakan empat kekekalan lainnya
menjadi kekal dan bereksistensi. Pada tahap ini, sesungguhnya al-Razi
berupaya menunjukkan bahwa Tuhan tetaplah yang Maha dari segalanya.
Konsep lima kekekalan ini sebenarnya ditujukan untuk menempatkan Tuhan
sebagai “pencipta” dan melepaskannya dari teori emanasi yang sudah mulai
digaungkan al-Kindi. c Al-Farabi merupakan ahli manthiq, disebut dengan
Guru Kedua, karena kemampuannya menerjemahkan ide-ide Aristoteles dan
mengakulturasikannya dengan tradisi intelektual islam, khususnya dengan
tata bahasa Arab. Dengan kemampuan logikanya, al-Farabi berhasil
melogikakan penciptaan melalui teori emanasi yang tersusun secara
sistematis. Keberhasilannya menjelaskan teori emanasi pada masa berikutnya
menjadi acuan banyak filosof muslim untuk meneliti sekaligus
memperbaharuinya. d Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filosof etika dari
pada filosof metafisika. Ide etikanya secara umum berkaitan dengan peran
dan fungsi jiwa dan bagaimana jiwa berperan dalam kehidupan manusia.
Memahami etika Ibnu Miskawaih adalah suatu keharusan, karena filosof
berikutnya merujuk pada teori jiwanya dan mengembangkannya dalam suatu
pemikiran metafisis. e Ibnu Sina adalah puncak filsafat peripatetik, Ibnu Sina
menggabungkan keseluruhan teori peripatetik. la mengambil teori al-Kindi
untuk menjelaskan hubungan filsafat dan agama lalu mengembangkan
emanasi al-Farabi dan menyempurnakan ide jiwanya Ibnu Miskawaih serta
merevisi lima kekekalan al-Razi.
f Perbedaan utama dalam emanasi Ibnu Sina dari al-Farabi adalah idenya
mengenai mumtani’ al-wujud -sesuatu yang mustahil diantara wajib dan
mumkin al-wujud. Keberadaan mumtani’al-wujud menjadikan ide creatio ex
nihillo menjadi terbukti dan logis, g Pemikiran Ibnu Sina mengenai jiwa kini
menjadi trend baru dalam dunia kedokteran. Ibnu Sina menekankan bahwa
jiwa memiliki peran yang sangat kuat dengan raga. Jiwa dapat menyebabkan
raga menjadi sehat atau sebaliknya dengan sugesti-sugesti tertentu yang
tertanam di jiwa. Beberapa penjelasannya mengenai peran jiwa menunjukkan
bahwa hal-hal yang dianggap mistis adalah real. Idenya juga diduga menjadi
dasar dari ilmu hypnosis
1
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic
Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 9
2
M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof
Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 11
3
George N.Athiyeh./U-K/nd/; The Philosopherof The Arabs,
(Rawalpindi, Islamic Research Institute, 1966), hal. 1
4
Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Kindi Failasuf al-Arab, (Kairo,
Mu’assasah al- Mishriyyah al-Ammah, tth.), hal. 33
6 Menurut Majid Fakhry, ide-ide Yunani mempengaruhi umat Islam dengan
lahirnya teologi Mu’tazilah. Konon al-Ma'mun adalah seorang penguasa
rasionalis yang menetapkan mu’tazilah sebagai ideologi Negaranya, dan
menurut Majid Fakhry ketetapan itu didorong oleh interestnya yang sangat
tinggi pada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Keputusannya ini sempat
menjadi kontroversi karena banyak berlawanan dengan yang diyakini oleh
ahlu al-hadis dan ulama-ulama salaf di masa itu. Majid Fakhry, A History of
Islamic Philosophy; second edition, (New York & London, Columbia
University Presss, 1970), hal. 12
6
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan
Imam Madzhab, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1997), hal. 442
7
Ahmad Fuad al-Ahwani mencatat beberapa alasan yang membuat alKindi kurang disukai oleh masyarakat dan intelektual muslim yang ada saat
itu. Pertama kedekatannya dengan penguasa yang notabene adalah seorang
mu’tazilT, kedua karena pada saat itu kata “Filosof’ berkonotasi negatif,
apalagi al-Kindi adalah seorang filosof pertama yang belum membudaya di
zamannya. Al- Ahwani, al-Kindi..., hal. 44-45
8
Al-Ahwani, al-Kindi.... hal. 72
9
Felix Klein Franke, al-Kindi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman,
ed., History of Islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama,
2003), hal. 218
10
Klein Franke, al-Kindi..., hal. 218
11
Klein Franke, al-Kindi..., hal. 218
12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 21
13
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta, Lentera Hati,
2006), hal. 27
14
Keterkacauan ini terutama dikarenakan
ia
merevisi
bagianbagian yang
diterjemahkan dari fnneadsnya Plotinus,
sebuah buku, yang secara salah
dianggap sebagai karya Aristoteles. M. M, Syarif, History of Muslim
Philosophy, terj., (Jakarta, Mizan, 1998), hal. 25
15
Majid Fakhry, A History of..., hal. 79
16
Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (Oxford,
One World, 2000), cet. II, hal. 25
17
Muhammad Athif al-lraqi, Tajdid al-Madzhab al-Falsafiyyah wa alKaliimiyyah, (Kairo, Dar al-Ma'arif, 1979), hal. 90-91
18
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1997), hal. 70
’9 Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun aw ‘Inayat allslamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (ttp, Dar al-Fikr al-Arabiy, tth), hal.
216-219
20
Al-Ahwani, al-Kindihal. 123
21
Klein Franke, al-Kindi...,
hal. 212-213
22
Kaum Mu'tazilah yang
semasa dengan al-Kindi menegaskan
konsep
transendensi Tuhan dengan mengagungkan ketauhidan Tuhan. Namun, kaum
ini mengabaikan immanensi Tuhan dimana Tuhan hadir di alam ini. Fungsi
Tuhan yang transenden saja menunjukkan bahwa Tuhan hanya pencipta dan
yang menetapkan peraturan alam, selanjutnya Tuhan bersemayam dalam
‘arsyNya. Tuhan tidak turut campur dengan peredaran alam. Mengenai
konsep- konsep Mu'tazilah, lih., Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif
Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 62-74
23
Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 19
24
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1973), hal. 12-13
25
Klein Franke, al-Kindi...,
hal. 214
26
M.M. Syarif, History of..., terj., hal.
21
27
Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1991), hal. 130-131
26
Klein Franke, al-Kindi..., hal. 215
29
AI-AhwanT, al-Kindihal. 238
30
Muhammad ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ‘inda al‘Ulama al- Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 24-25
31
‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 30
32
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection
with Poiilical and social Circumtances from the Earliest Times to the Present
Day, terj., (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 184-185
33
Sesuai dengan kesiapan daya fantasi atau imajinasi dalam mencapai
pengetahuan jiwa, al-Kindi membagi mimpi menjadi empat macam; 1. ar
ru'yl) at-tanbi’iyyah, yaitu mimpi dimana seseorang melihat segala sesuatu
yang belum terjadi; 2. ar-ru’ya ar-ramziyah, yaitu mimpi dimana orang
melihat segala sesuatu yang melambangkan sesuatu yang lain; 3. mimpi
dimana seseorang melihat sesuatu yang menunjukkan atas kebalikannya; 4.
mimpi dimana seseorang melihat sesuatu yang tidak benar. Jika seseorang
memiliki daya imajinasi yang rendah, maka mimpi-mimpinya akan rancu dan
tidak terpahami, sehingga tidak memiliki makna apa-apa selain hanya bunga
tidur belaka. Lih., Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 3233
34
Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 28-29
35
Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 23
36
Klein Franke, al-Kindihal. 213
37
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 21
38
Al-Ahwani, Filsafat ..., hal. 69
39
Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 131
40
Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 130
41
M.M. Syarif, History ofterj., hal. 15
42
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 15
43
Majid Fakhry, Islamic Philosophy ..., hal. 23
44
M.M. Syarif, History ofterj., hal. 17
45
Majid Fakhry, Islamic Philosophy ..., hal. 23
46
M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para
Filosof Muslim,
(Bandung, Mizan, 1998), hal. 31
47
Mohammad Sharif Khan dan Mohammad Anwar Saleem, Muslim
Philosophy and Philosophers, (Delhi, Ashish Publishing House, 1994), hal.
57
48
Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 57
49
Sharif Khan mendaftar nama-nama lawan al-Razi; 1.
Abu alQasim al-Balhi,
tokoh Mu'tazilah yang mengomentari al-Raz? dalam bukunya ‘llm al-llahi; 2.
Shuhaid ibn al-Husain al-Balkhi, yang berkorfrontasi dengan al-Raz?
khususnya dalam Teori Kesenangan; 3. Abu Hathim al-RazT, seorang
misionaris Isma'ilT yang berlawanan dalam Teori Kenabian; 4. Ibn Tammar,
seorang ahli fisika, yang tidak sependapat dengan pemikiran al-Razi dalam
al-Tibb al-Ruhanr, 5. al-Mismai, yang mengkritik teori materialisme al-RazT;
6. Mansur ibn Talhah yang mengkritik teori wujudnya al-Razi; 7.
Muhammad ibn al-Laith al-Rasuli yang bertentangan dengan al-RazT di
bidang kimia; dan beberapa nama lainnya seperti Jarir seorang dokter
ternama; al-Hasan ibn Muberik al-Ummi; al-Kayyal, seorang teolog dan
Ahmad ibn al-Tayyab al-SeraksT. Lih. Keterangannya dalam Sharif Khan,
Muslim Phiosophy hl. 57-58
30
Sharif Khan, Muslim Philosophy
hal. 60
51
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 36-37
52
Lenn E. Goodman, al-Razi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media
Utama, 2003), hal. 248
53
Sharif Khan, Muslim Philosophy ..., hal. 58
54
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 41
* Konsep lima kekekalannya ini dikritikAbu Hatim al-Razi, namun kemudian
dijawab dengan tegas oleh al-Razi bahwa kekekalan antara yang satu dengan
yang lainnya berbeda. Dan Allah adalah pengatur utama empat kekekalan
lainnya.
Lih. Perdebatannya dalam ‘Abd al-Lathif Muhammad al-'Abd, Ushul al-Fikr
nl- Falsafi ‘indaAbi Bakr al-Razi, (Mesir, Maktabash al-Mishriyyah, 1977),
hal. 67
56
AI-‘Abd,
Ushul al-Fikr hal.
81
57
E. Goodman, al-Razi, hal. 253
a M.M. Syarif, History ofterj., hal. 43
50
AI-‘Abd,
Ushul al-Fikr ...,
hal.
81
60
Al-'Abd,
Ushul al-Fikr ....
hal.
83
61
Al-'Abd,
Ushul al-Fikr hal.
82
62
Al-'Abd,
Ushul al-Fikr...,
hal.
83-84
63
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 45
64
Al-'Abd,
Ushul al-Fikr hal.
112
55
M.M. Syarif, History ofterj., hal. 46
66
E.Goodman menduga ajaran al-Razi mengenai kehampaan ruang
adalah kebutuhan untuk menjelaskan penyimpangan tanpa sebab Epicurean,
clinamen, yang oleh al-Razi tampaknya dipakai sebagai model gerak spontan
jiwa. E. Goodman, al-Razi, hal. 254
67
E.
Goodman,
al-Razi,
hal.
254
68
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 46
69
Sharif Khan, Muslim Philosophy
hal.
59
70
Sharif Khan, Muslim Philosophy
hal.
59
71
Sharif Khan, Muslim Philosophy
hal.
60
72
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47
73
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47
74
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47
75
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47
76
Sharif Khan, Muslim Phiosophy ..., hl. 57-58
77
E.
Goodman,
al-Razi,
hal.
257
K
E.
Goodman,
al-Razi,
hal.
258
79
E.
Goodman,
al-Razi,
hal.
258-259
®
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49
81
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49
82
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49
83
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 33
n' Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press,
2005), hal. 42
Fakhry, A History of..., hal. 125 " Muhammad Ghulab, Min Amajid
Mufakiri al-Muslimin al-Farabi wa Ibnu Sini),
(ttp., al-Majlis al-A’la Ii al-Syu’uni al-lslamiyyah Wizarat al-Awqaf, 1961),
hal. 33-34
Fakhry, A History of..., hal. 126 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 34
89
M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof
Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 57
90
Ghulab, Min Amajid ..., hal. 34
91
Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam,
(Bandung,
Remaja Rosdakarya,
1991), hal. 133
®
Ghulab, Min Amajid hal. 33
33
M.M. Syarif, ed., History of...,
hal. 11
M Ghulab, Min Amajid hal. 33
95
Komentar-komentar tersebut diantaranya: Commentary on Analytica
Posteria,
Commentary on Analytica Priora, Commentary on Isagoge, Commentary on
Topica, Commentary on Sophistica, Commentary on De Interpretatione,
Commentary on De Categoriae, a Treatise on Necessary and Existential
Premises, dan a Treatise on the Propositions and Syllogisms Employed in all
the Sciences; lih. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy; second
edition, (New York & London, Columbia University Presss, 1970), hal. 109
96
Muhammad Ghulab menyebutkan bahwa al-Farabi menekankan
pentingnya
memahami pemikiran Plato dan Aristoteles. Dari pemikiran dua tokoh ini,
sebenarnya menurut al-Farabi metode pemahaman akal (logika)
dicetuskan
oleh keduanya, dan melalui pemahaman terhadap
pemikiran
keduanya
seseorang akan mampu berfilsafat. Itu sebabnya al-Farabi banyak menulis
komentar, syarah bahkan perbaikan-perbaikan dari pemikiran Plato dan
Aristoteles; lih. Karya-karya al-Farabi mengenai Plato dan Aristoteles dan
tempat diterbitkannya buku-buku itu dalam Ghulab, Min Amajid ..., hal. 3637
97
Deborah L. Black, al-Farabi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media
Utama, 2003), hal. 223
96
Deborah, al-Farabi ..., hal. 223
99
M.M. Syarif, History of.... terj., hal. 62
100
Fungsi logika disebutkan al-Farabi adalah untuk membantu manusia
membedakan yang benar dan salah dan
memperoleh cara benar
dalam berfikir
atau dalam menunjukkan orang lain kepada cara ini,
logika
juga
menunjukkan
dari mana kita mulai berfikir dan bagaimana mengarahkan pikiran itu kepada
kesimpulan-kesimpulan akhir. M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 62
101
Ide pinjam meminjam kebahasaan ini dipopulerkan juga oleh Noam
Chomsky. Chomsky menyebutnya dengan tata bahasa generatif, dimana
manusia sejak dalam keadaan dini sudah memiliki rangsangan berbahasa
tanpa perlu dipelajari secara mendalam, terdapat semacam aturan tak tertulis
yang mengilhami seorang anak untuk mengetahui 1 2 dan 3 hingga
seterusnya. Lih., Noam Chomsky, The New Horizons in the Study of
Language and Mind, terj., (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000), hal. 7-8
102
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang,
1990), hal 88
103
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1997), hal. 76
104
M.M. Syarif, History ofterj., hal. 63
105
Deborah,
al-Farabi
hal.
227
106
Deborah,
al-Farabi.... hal.
227-228
107
Deborah,
al-Farabi
hal.
228-229
“
Al-Farabi
menggunakan logika ini untuk menunjukkan Tuhan
sebagai kepastian
niscaya yang satu dan ada dengan sendirinya. Kepentingannya
mengungkapkan teori kepastian menurut penjelasan Mehdi Ha'iri Yazdi
adalah karena al-Farabi banyak dipengaruhi Aristoteles dalam memandang
Tuhan sebagai Penyebab Pertama dari alam ini. Logikanya berjalan
mempertanyakan mengenai sebab dari Tuhan itu sendiri dan sebab bagi alam
ini karena tentunya semua yang ada di alam merupakan efficient cause, sebab
utama yang membuatnya menjadi nyata. Al-Farabi mencoba melogikakan
sebab musabab ini dalam teori kepastian untuk menunjukkan eksistensi,
esensi dan sesuatu yang nyata dalam alam. Lih., Mehdi Ha'iri Yazdi, The
Principles of Epistemology in Islamic Philosophy Knowledge byPresence,
(New York, Albany State University of New York Press, 1992), hal. 10-11
109
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta, Lentera
Hati, 2006), hal. 32
™
Mulyadi, Gerbang hal. 30
'11
Muhammad ‘Athif al-lraqi, Tsauratu al-‘Aql fi al-Falsafah al'Arabiyyah, (Kairo,
Dar al-Ma’arif, 1978), cet. 8, hal. 95
1,2
‘Athif al-lraqi, Tsauratu al-'Aql..., hal. 95
113
Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta,
UIN Jakarta Press,
tth), hal. 68-69
1.4
Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (Oxford,
One World, 2000), cet. II, hal. 41-42
1.5
Disadur dari Mulyadi, Gerbang ..., hal. 36-37
"6
M.M. Syarif, History ofterj., hal. 67
117
‘Athif al-lraqT, Tsauratu alJAql..., hal. 88
118
Mulyadi, Gerbang hal. 33
1,9
Deborah, al-Farabi hal. 236
120
Deborah, al-Farabi ..., hal. 237
121
Deborah, al-Farabi ..., hal. 237
122
Aspek astronomi ptolemaik ditunjukkan melalui sepuluh planet,
emanasi plotinus digambarkan melalui teori emanasi, aliran-aliran alexandria
dideskripsikan melalui fungsi akal dan ajaran Islam ditegaskannya melalui
konsep wujud
123
Muhammad ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ‘inda al'Ulamii al Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 63
124
Deborah, al-Farabihal. 237
125
Ghulab, Min Amajid ..., hal. 44
126
Deborah, al-Farabi hal. 230
127
Ghulab, Min Amajid hal. 45
128
M.M. Syarif, History ofterj., hal. 70
129
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 71-72
130
M.M. Syarif, History ofterj., hal. 72
131
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta
Press, 2005), hal. 44
132
Disimpulkan dari penjelasan Majid Fakhry, A History ofhal. 120-121
133
Majid Fakhry, A History ofhal. 123
134
Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj.,
hal.
79
135
Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj.,
hal.
79
136
M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 77
137
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 44
138
Al-Farabi, Risalah fi Ara'Ahl al-Madinat al-Fadhilah (Leiden, 1895),
hal. 68-69
139
Al-Farabi, Risalah fi..., hal. 69
140
Al-Farabi, Risalah fi..., hal. 69
141
Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 41
142
Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 41
143
Sinergi religiusitas terlihat dari penekanan al-Farabi terhadap
hubungan manusia dengan Tuhan dan identitas filosofisnya ialah autokrasi
dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Disini nyata
teori kenegaraannya itu parallel dengan filsafat metafisikanya tentang
kejadian alam (emanasi yang bersumber pada yang satu).,
144
Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 139
145
Berkaitan dengan teori jiwa al-Farabi; 1. Jiwa kholidah yaitu jiwa
yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan dari
ikatan jasmani, jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan; 2. Jiwa fana
yaitu jiwa jahiliah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat
melepaskan diri dari ikatan materi, ia akan hancur dengan hancurnya badan.
Amsal, Tema- tema ..., hal. 44
146
M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof
Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 83
147
Ibrahim Zaki Khursyid, et. al., Dairah al-Ma‘arif al-lslamiyyah, Vol I,
(Kairo, al- Sya'ab, tth), hal. 388
148
Khursyid., Dairah ..., hal. 388
149
Khursyid., Dairah ..., hal. 389
150
M.M. Syarif, History ..., hal. 98
151
Oliver Leaman, Ibn Miskawaih, dalam Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan
Media Utama, 2003), hal. 311
152
Leaman, History of..., hal. 311
153
Leaman, History ofhal. 311
154
M.M. Syarif, History ..., hal. 87
155
Ide ini diduga diterima Miskawaih dari konsep al-Kindi, Miskawaih
konon lebih menerima ide-ide al-Kindi dibanding pemikiran al-Razi.
Kemungkinan yang paling jelas bahwa Miskawaih lebih memilih al-Kindi
karena ide-idenya lebih lunak dan taat daripada al-Razi yang sangat dan amat
rasionalis. M.M. Syarif, History hal. 97
156
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York,
Columbia University Press, 1970), hal. 210-211
157
M.M. Syarif, History ..., hal. 88
158
M.M. Syarif, History ..., hal. 90
1® Muhammad Yusuf Musa, Baina al-Din wa al-Falsafah, (Kairo, Dar alMa'arif, 1971), hal. 70
160
Leaman, History ofhal. 311
161
Jiwa bagi Miskawaih adalah jauhar ruhani yang kekal, tidak hancur
dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan
mengetahui tentang aktivitas dirinya. Itu sebabnya, kebahagiaan dan
kesengsaraan jasmani bukanlah rasa yang hakiki. Amsal Bakhtiar, Tematema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 42
162
Abu AliAhmad al-Miskawaih (Ibn Miskawaih), Tahdzib al-Akhlaq,
terj., (Bandung, Mizan, 1998), hal. 37
163
Miskawaih, Tahdzib
...,
hal.
38-39
164
Miskawaih, Tahdzib
...,
hal.
39
165
Miskawaih, Tahdzib
...,
hal.
39
166
Miskawaih, Tahdzib
...,
hal.
41
167
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 65
’®
Miskawaih, Tahdzib
...,
hal.
56
169
Miskawaih, Tahdzib
...,
hal.
57
170
Miskawaih, Tahdzib
hal.
57-58
171
Miskawaih, Tahdzib
...,
hal.
59
172
Miskawaih membahas doktrin-doktrin yang berlainan dan
menyimpulkan dengan mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang
mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang mengatakan bahwa
kebahagiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahwa hal
itu dapat pula dicapai di dunia ini. Artinya kebahagiaan adalah sesuatu yang
dupayakan untuk keabadian di akhirat. M.M Syarif, History of..., hal. 93
173
Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 93
174
Hasyimsyah, Filsafat hal. 65
175
Hasyimsyah, Filsafat hal. 65-66
176
T. J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York,
Dover Publications, tth), hal. 131-133
177
T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-lslam, terj., (Kairo, Lajnah alTa’lif wa al- Tarjamah wa al-Nasyr, 1938), hal. 165
178
De Boer, Tarikh al-Falsafah ..., hal. 166
179
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York &
London, Columbia University Press, 1970), hal. 150-151
180
Ahmed Foad El-Ehwany, Islamic Pilosophy, (Cairo, Anglo-Egyptian
Bookshop, 1957), hal. 79
181
Michael E. Marmura, Islamic Theology and Philosophy: Studies in
Honor of George F. Hourani, (New York, Albany State University of New
York, tth.), hal.
173
182
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat
Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 38
183
El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96
184
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection
with Political and social Circumstances from the Earliest Times to the
Present Day, terj., (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 223-225
185
El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96-97
186
Marmura, Islamic Theology hal.
174-175
187
Marmura, Islamic Theology ...,
hal.
176
188
Marmura, Islamic Theology ...,
hal.
175
189
M.M. Syarif, History of Muslim
Philosophy, terj.,
(Jakarta,
Mizan, 1998), hal.
108-109
190
El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96
191
Fakhry, A History of ..., hal. 158-159
192
Mohammad Sharif Khan dan Mohammad Anwar Saleem, Muslim
Philosophy and Philosophers, (Delhi, Ashish Publishing House, 1994), hal.
70
133
Dikutip dari Mulyadi Kertanegara, Gerbang ..., hal. 40-41
194
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 75
195
Tokoh yang mengingkari kenabian tersebut diriwayatkan bernama
lshaq al- Ruwandi
196
El-Ehwany, Islamic ..., hal. 115
197
Hubungan jiwa dan raga ini digambarkan Ibnu Sina sebagai usaha
dari raga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhani (jiwa), mengantarkan
jiwa untuk berbuat kebajikan dan memuaskannya dengan pengetahuan. Jiwa
rasional akan hidup kekal, meski terpisah dari badan, adapun jiwa tumbuhan
dan binatang akan hancur bersama badan karena perannya sangat kuat
berkaitan dengan fisik. Balasan kepuasan untuk dua jiwa di atas adalah
kehidupan mereka di dunia. Sedangkan jiwa rasional mencapai
kebahagiaannya di akhirat dengan catatan tidak memiliki keterkaitan dengan
fisik atau hawa nafsu secara berlebihan Semakin kuat ikatannya dengan hawa
nafsu semakin sulit jiwa rasional hidup di akhirat, dan ini menyiksa dirinya,
membuatnya sengsara dalam penyesalan dan usahanya melepaskan diri dari
hawa nafsu. Lih. Hasyimsyah, Filsafat .... hal. 74
186
M.M. Syarif, History ofhal. 113-114 ’* El-Ehwany, Islamic ..., hal.
107
200
Fakhry, A History of..., hal. 156
201
Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 72-73
202
Fakhry,
A History ofhal.
162
203
Fakhry,
A History ofhal.
162
204
Teori ini sekaligus menolak pandangan yang menyebutkan bahwa
jiwa dapat berpindah dari satu badan ke badan lainnya. Ibnu Sina meyakini
ada hubungan mistik antara jiwa dan raga, hubungan mistik ini terkait dengan
pembentukan individualitas, dimana jiwa telah memilih raga tertentu untuk
menjadi tempat bersemayamnya. M. M. Syarif, History ofhal. 116
205
El-Ehwany, Islamic ..., hal. 110
205 Hasyimsyah, Filsafat hal. 73 207 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 109 ™
Fakhry,
A History ofhal.
163
259
Fakhry,
A History ofhal.
167
2,0 M.M Syarif, History ofhal. 115 211 M.M Syarif, History ofhal. 116
2,2
M.M Syarif, History ofhal. 117
213
Fakhry,
A
History of.... hal.
166
214
Fakhry,
A
History of..., hal.
164
2'5 M.M Syarif, History ofhal. 119
216
217
2,8
Fakhry,
A
History ofhal. 162
Fakhry,
A
History of..., hal.
161-163
Shams Inati, Ibn
Sina, dalam Seyyed Hossein
Nasr dan
Oliver Leaman,
ed.,
History of islamic
Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama,
2003), hal.
294
219
M.M Syarif, History of..., hal. 122
220
Fakhry, A History
ofhal. 162
221
Inati, Ibn Sina hal. 297
222
M.M Syarif, History
ofhal. 124
223
M.M Syarif, History
ofhal. 125
224
Lihat mengenai perbedaan antara yang universal, individual dan
hubungannya dengan form atau bentuk yang menyifati materi dalam Russel,
History ol Western ..., hal. 223-224
225
M.M Syarif, History
ofhal. 126
226
M.M Syarif, History
ofhal. 126-27
227
M.M Syarif, History
ofhal. 127
228
El-Ehwany, Islamic hal. 115
229
M.M Syarif, History of..., hal. 130-131
230
M.M Syarif, History of..., hal. 130
231
M.M. Syarif, History ofhal. 117
232
El-Ehwany, Islamic hal. 115 2X3 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 76
BAB 4
PERGULATAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBN RUSYD
Al-Ghazali hampir senada dengan Ibnu Rusyd, bahwa kebenaran hanya
terletak pada orang-orang tertentuNdan merekalah yang dapat
menyingkapnya. Selain mereka, hanya sedikit orang yang diberi
pengetahuan (Sulayman Dunya).1
C
alah satu dalih mengenai buramnya potret filsafat Islam menurut banyak
kalangan adalah kritik al-Ghazali terhadap filsafat dalam bukunya Tahafut alFalasifah. Buku ini disebut-sebut telah membuat filsafat kehilangan
peminatnya, dan konon buku ini dianggap telah melahirkan ide bahwa ijtihad
telah mati. Isu ini digunakan Orientalis untuk mematikan semangat umat
Islam selama beberapa waktu, sehingga mampu membungkam setiap potensi
intelektual umat Islam untuk berkembang. Di sisi lain, para Orientalisme
berhasil meyakinkan umat bahwa intelektualisme barat jauh lebih “ilmiah"
dari pemikiran-pemikiran muslim. Dampak dari isu ini adalah gelombang
keawaman dan apatisme intelektual yang merata di kalangan Islam, tetapi
juga melahirkan akademisi akademisi Islam yang mengkiblatkan dirinya pada
Barat.
Itu sebabnya banyak fihak menuding al-Ghazali sebagai penyebab kebuntuan
berfikir umat Islam. Namun, apakah kritik al-Ghazali ditujukan untuk
melemahkan filsafat dan pemikiran dalam Islam ? Pertanyaan berikutnya
adalah bagaimana sikap para filosof saat itu menghadapi kritik yang
dilontarkan al-Ghazali ?. Dan benarkah pasca al-Ghazali tidak terdapat
filosof-filosof Islam yang mumpuni dan benarkah pemikiran Islam benarbenar mati atau hanya sekedar mengalami “transisi" ?.
Dengan data-data yang akurat, Hossein Nasr menyatakan bahwa filsafat
Islam pasca kritik al-GhazalT tidak pernah mati, dan rasionalitas Islam terus
berjalan sampai dengan masa kontemporer. Asumsinya ini menjawab segala
tuduhan yang beranggapan rasionalitas Islam telah mati, bersama
meninggalnya Ibnu Rusyd, yang dianggap sejumlah kalangan sebagai tokoh
rasionalisme Islam. Hossein Nasr juga menolak anggapan yang menyatakan
al-Ghazali sebagai seorang yang menumbangkan pemikiran di kalangan
muslim. Sebaliknya Nasr menyebut kritik al-Ghazali dan bantahan yang
dilakukan Ibnu Rusyd sebagai masa transisi yang mengarahkan pemikiran
Islam yang awalnya didominasi oleh penggunaan akal bergeser pada
penggunaan instuisi (qalb).2
A.
KRITIK AL-GHAZALI
Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-GhazalT, lahir di Thus, Khurasan,
Iran pada 450 H. Nama al-GhazalT konon dinisbahkan pada pekerjaan
ayahnya sebagai seorang ghazzal yakni tukang pintal benang, riwayat lainnya
menyebutkan laqab tersebut dinisbahkan pada ghazalah, kampung kelahiran
al-Ghazali. Al-GhazalT lahir di tengah keluarga sufi, ayahnya merupakan
seorang sufi yang saleh. Ayahnya meninggal dunia sebelum al-Ghazali
dewasa, akan tetapi sebelum wafatnya, ayahnya menitipkannya pada seorang
sufi untuk dididik dan dibimbing.3
Rihlah ilmiyyahnya dimulai ketika al-Ghazali didaftarkan bersekolah di Thus
oleh sufi yang membimbingnya. Di zamannya, seorang yang menuntut ilmu
diberi santunan pendidikan oleh pemerintah, sehingga siapapun dapat dengan
mudah bersekolah tanpa perlu memikirkan biaya. Al-Ghazali pertama-tama
belajar ilmu agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan dan
akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini sampai Imam al-Juwaini wafat
pada tahun 478 H. Kemudian ia berkunjung ke wilayah Nizam al-Mulk di
kota Mu’askan. Di kota inilah, al-Ghazali masuk ke dalam lingkaran istana
Nizham al-Mulk dan menjadi teman dekat wazir tersebut. Nizham al-Mulk
mengangkatnya menjadi pengajar fiqh Syafi'iyyah di Madrasah Nizhamiyah
Baghdad (484 H).4
Karena kecerdasannya, al-Ghazali menjadi ulama tersohor dan guru yang
paling dikagumi di Madrasah Nizhamiyah. Sehingga tak lama setelah
diangkat sebagai seorang pengajar, al-Ghazali menjadi intelektual istana dan
memiliki hak istimewa untuk berhubungan langsung dengan keluarga Istana.
Kedudukannya ini membuatnya melihat secara langsung bagaimana intrikintrik politik istana dan itu menimbulkan keragu-raguan akan pekerjaan yang
ditempuhnya. Sehingga pada tahun 488 H, al-GhazalT memutuskan
meninggalkan pekerjaannya dan berkhalwat di Damsyik. Di kota ini, al-
Ghazali menghabiskan waktunya untuk merenung, membaca, dan menulis,
selama kurang lebih 2 tahun dengan tasawwuf sebagai jalan hidupnya.5
Selama masa perenungannya al-GhazalT dikisahkan mengadakan perjalanan
ke Palestina dan menunaikan ibadah haji sampai kemudian kembali ke kota
kelahirannya di Thus. Di Thus, ia tetap berkhalwat dan beribadah, keadaan
itu berlangsung selama 10 tahun sejak dia hijrah ke Damsyik. Dalam masa
ini, lahir karya-karya monumentalnya seperti Ihya ’Ulumuddm dan Tahafut
al-Falasifah. Melalui karya-karyanya ini, nama al-Ghazali semakin masyhur,
dan pemerintah memintanya untuk mengajar kembali di sekolah Nizhamiyah
di Naisabur pada tahun 499 H. Tetapi pekerjaan ini hanya berlangsung
selama dua tahun, al-Ghazali kembali ke Thus dan mendirikan sekolah untuk
fuqaha dan sebuah biara untuk para mutasawwifin. Kiprahnya ini kemudian
membuatnya digelari Hujjah al-lslam atau pembela Islam, gelar ini diberikan
karena al-Ghazali dianggap telah meletakkan dasar-dasar keilmuan Islam. AlGhazali wafat di Thus pada tahun 505 H dalam usia 54 tahun.6
Meski sebagian kalangan menempatkan al-Ghazali sebagai seorang filosof
muslim, al-Ghazali sendiri menurut Massimo Campanini tidak menganggp
dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai filosof Meski begitu sulit
bagi kita untuk memungkiri bahwa al-Ghazali bukanlah seorang filosof
karena ide-idenya dalam Maqashid al-Falasifah membuktikan bahwa alGhazali mengasimilasikan filsafat secara mendalam dan menunjukkan
bagaimana filsafat juga berbaur dengan model sufinya.
Beberapa tulisannya memang ditujukan untuk mengkritik "rasionalitas" yang
saat itu digaung-gaungkan para filosof dan teolog- teolog muslim. Kritiknya
terhadap rasionalitas bukan tanpa penelitian mendalam, al-Ghazali mengaku
melakukan pencarian kepastian dan kebenaran selama bertahun-tahun.
Pencarian kebenaran ini awalnya dia serahkan pada kemampuan indera,
kemudian pada penalaran atau akal, kemudian dia mengikuti ajaran-ajaran
imam-imam atau ulama- ulama. Tetapi dari sekian pencariannya, al-Ghazali
tidak menemukan kebenaran yang diharapkannya, sampai kemudian alGhazali berkhalwat dan menggunakan hatinya untuk menemukan kebenaran.
Sebuah langkah yang ditempuh kaum sufi, yakni dengan menghadapkan
seluruh hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata dan menganggap
sepi dunia dengan segala godaannya.8
Idenya mengenai epistemologi intuisi (qalb) menurut Nasr kemudian
mengarahkan filsafat di dunia muslim ke arah tasawwuf. Lahirnya Ibnu
'Arabi dengan aliran 'irfani dan Suhrawardi dengan aliran illuminasionis
membuktikan bahwa al-Ghazali tidak mematikan gairah pemikiran di dunia
muslim, sebaliknya memberikan warna baru terhadap filsafat Islam yang
sebelumnya didominasi oleh peripatetik.
1. TahafutAl-Falasifah; Kritik Al-Ghazal!
Kritik yang disampaikan al-Ghazali terhadap filsafat dikemukakannya dalam
Tahafut al-Falasifah. Kekeliruan para filosof menurut al-Ghazali terdapat
dalam 20 hal, 16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika. Dalam
17 soal mereka harus dinyatakan sebagai ahl al-bida’, sedangkan dalam tiga
soal lainnya mereka dinyatakan sebagai kafir, karena fikiran-fikiran mereka
dalam tiga soal tersebut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua
kaum muslimin.
Dua puluh perkara yang dimaksud adalah:9
1.
Pendapat bahwa alam tidak bermula atau qadim
2.
Pendapat bahwa alam, masa dan gerak adalah abadi
3.
Penjelasan mengenai bagaimana cara Tuhan menciptakan alam ini,
dalam hal ini al-Ghazali mengkritik teori emanasi sebagai jalan dalam
menciptakan alam ini
4.
Analogi-analogi mengenai keberadaan Tuhan sebagai pencipta
5.
Argumen akan kemustahilan adanya Tuhan selain Allah, termasuk di
dalamnya argumen mengenai wajib al-wujud, mumkin al-wujud dan
mumtani’ al-wujud
6.
Argumen mereka dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan
7.
Argumen para filosof mengenai Tuhan yang tidak dapat dibagi
dengan genus dan differensia
8.
Asumsi para filosof mengenai wujud Tuhan yang sederhana, murni
tanpa kuiditas atau esensi
9.
Asumsi para filosof bahwa Tuhan tidak ber-jism
10.
Penjelasan mengenai pencipta dan yang diciptakan, termasuk di
dalamnya pengg/yasan keabadian antara pencipta dengan yang diciptakan
11.
Penjelasan mengenai pengetahuan Tuhan dan bagaimana Tuhan
mengetahui hal yang partikular dan universal
12.
Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diriNya sendiri dengan
pengetahuanNya; dengan esensiNya
13.
Penolakan para filosof bahwa Tuhan mengetahui hal-hal partikular
14.
Penjelasan mengenai langit dan bintang yang bergerak dengan
kehendak
15.
Penjelasan mengenai tujuan dari gerakan langit dan bintang
16.
Penjelasan bahwa setiap bagian langit mengetahui dan berkuasa
terhadap wilayahnya atau jenis-jenisnya
17.
Penolakan pandangan mereka bahwa mustahil terdapat sesuatu yang
sifatnya mu’jizat
18.
Asumsi para filosof mengenai jiwa sebagai esensi yang ada sendiri,
tanpa jasad dan tidak terikat dengan ruang dan tubuh
19.
Pendapat yang menyatakan bahwa jiwa sifatnya abadi
20.
Penolakan terhadap kebangkitan jasmani termasuk di dalamnya
keberadaan surga dan neraka
Dari dua puluh perkara ini terdapat tiga perkara yang menurut al-Ghazali
dapat menyebabkan seorang filosof dihukumi kafir, tiga perkara tersebut
adalah:
1.
Filosof yang berpendapat bahwa alam ini adalah qadim dalam arti
tidak bermula
2.
Filosof yang berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal
yang partikular
3.
Filosof yang mengingkari kebangkitan jasmani dan menolak
keberadaan surga dan neraka
Memperhatikan dua puluh perkara yang disampaikan al Ghazali, dapat
disimpulkan empat maksud yang hendak diperkarakan oleh al-Ghazali.
Pertama, persoalan penciptaan Tuhan; kedua, persoalan mengenai
pengetahuan dan sifat-sifat Tuhan; ketiga, persoalan mengenai qadim dan
baharu dan keempat, persoalan mengenai kebangkitan jasmani.10
Dalam tujuh belas perkara di luar tiga perkara yang menyebabkan kekafiran,
menurut al-Ghazali merupakan perkara-perkara yang memiliki kedekatan
faham dengan pemikiran mu’tazilah. Karenanya para filosof yang
berpendapat mengenai tujuh belas hal tersebut tidak perlu dikafirkan,
disebabkan pendapat-pendapatnya masih dapat ditolerir dalam Islam.
Meskipun sebenarnya bagi al-Ghazali pendapat-pendapat mereka kurang
sesuai dengan ajaran Islam karena banyak dipengaruhi ide-ide Yunani. Selain
itu, ide-ide filosof yang senada dengan faham mu’tazilah berpotensi
menggiring kaum awam pada kekafiran sehingga al-Ghazali menyarankan
untuk mengabaikan pemikiran-pemikiran filsafat ini. Atas alasan-alasan
tersebut al-Ghazali beranggapan bahwa pemikiran mereka adalah bid’ah,
sehingga sebaiknya dijauhi.11
Al-Ghazali mengakui bahwa dirinya sulit menerima penjelasan yang
disampaikan filosof khususnya mengenai bagaimana Tuhan menciptakan
alam ini. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia menegaskan bahwa para filosof
mendemonstrasikan penciptaan Tuhan karena dipengaruhi oleh pemikiranpemikiranYunani, seperti Aristoteles dan Plato. Ide-ide Aristoteles dan Plato
dituding al-Ghazali banyak menolak detail-detail agama dan mengandaiandaikan penciptaan dengan menggunakan akal. Sedangkan dalam Islam,
Tuhan adalah wujud tertinggi yang memiliki kuasa mutlak, Tuhan
berkehendak untuk melakukan apa saja yang dikehendakiNya.12
Penekanan al-Ghazali pada kehendak Tuhan ini menjadi landasan utama
kenapa ia membid’ahkan sekaligus mengkafirkan para filosof. Selain karena
pada pemikiran para filosof, Tuhan menjadi kurang berkehendak, al-Ghazali
juga tidak meyakini silogisme fikiran yang berbasis sebab akibat. Dengan
kuasa mutlak Tuhan, sebab akibat adalah sesuatu yang dapat dihilangkan
selama Tuhan hendak menghilangkannya.
Dalam pengungkapan kritiknya, al-Ghazali menggunakan metode dialog,
sebuah metode yang diimbangkannya untuk menjawab hal-hal filosofis. AlGhazali berpendapat bahwa untuk menghadapi pemikiran-pemikiran filsafat,
seseorang seyogyanya mengetahui dan memahami bagaimana metode yang
digunakan dalam berfilsafat dan landasan penalaran para filosof tersebut.
Maka, ketika menyampaikan kritiknya al-Ghazali menekankan rasionalitas
yang lebih besar dari pandangannya sendiri. Al-Ghazali menyadari bahwa
melemahkan filsafat dengan menggunakan wahyu illahi tidak mungkin dapat
dipertemukan.13
Wilayah kerja filsafat ditetapkan al-Ghazali melingkupi enam bidang;
matematika, logika, fisika, metafisika, politik dan akhlak. Bidang matematika
tidak terkait dengan persoalan keagamaan dan tidak ada larangan
mempelajarinya. Namun karena sifat matematika sebagai ilmu pasti serta
diperlukan pembuktian dalam setiap teorinya, ilmu ini tidak bisa diterapkan
pada hal-hal yang bersifat metafisis. Metafisika sendiri merupakan ilmu
spekulatif, kepastiannya tidak serta merta dapat dibuktikan secara empiris
tetapi membutuhkan intuisi dan keyakinan untuk memahaminya.14
Seperti halnya matematika, logika mengandalkan cara berfikir menurut
silogisme yang menuntut adanya premis, term, syarat-syarat pembuktian dan
susunannya. Dan fisika membicarakan tentang langit, planet-planet, unsurunsur materi seperti air, tanah, udara dan api, termasuk di dalamnya unsurunsur fisik yang terdapat dalam binatang, tumbuhan, barang tambang baik
dari aspek perubahan maupun percampurannya. Keseluruhan ilmu filsafat di
atas menurut al-Ghazali mengandalkan metode demonstrasi (burhan)
sebagaimana logika. Adapun ketika membahas hal-hal metafisis, metode
demonstrasi tidak serta merta dapat digunakan sehingga jika tetap digunakan
akan menyebabkan pembahasannya menyimpang dari maksudnya, al-Ghazali
memastikan untuk membahas hal-hal metafisis seyogyanya melandaskan
pada ajaran-ajaran agama.15
Dalam melontarkan kritiknya al-Ghazali menggunakan metode
argumentatif,16
sehingga
setiap
kritik
yang
disampaikannya
diargumentasikan alasan dan kebenarannya. Berikut argumen al-Ghazali pada
tiga pendapat filosof yang dikafirkannya;
1.
Mengenai qadim-nya alam dalam arti tidak bermula atau pernah ada
sebelumnya tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab dalam Islam,
Tuhan adalah Pencipta yang menciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Jika
disebut alam adalah sesuatu yang qadim yang tidak bermula atau berawal
mengindikasikan bahwa alam tidak diciptakan, ada dengan sendirinya dan
sudah ada tanpa membutuhkan pencipta. Al-Qur’an jelas menolak pendapat
itu, al Our’an dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta yang
menciptakan segala sesuatu, Tuhan juga berkuasa untuk menghentikan dan
menghancurkan segala sesuatu sehingga tak ada satu hal pun dapat disebut
sebagai qadim selain Tuhan. Menggaof/mkan sesuatu bersamaan dengan
Tuhan sama artinya menawarkan kemusyrikan karena menyamakan Tuhan
denga makhlukNya, sebaliknya menetapkan alam sebagai sesuatu yan tidak
bermula dapat mengindikasikan atheisme karen meniadakan peran Tuhan
sebagai pencipta. Untuk itu, merek yang berfikiran alam ada dengan
sendirinya, qadim sebagaiman Tuhan dihukumi sebagai kafir, disebabkan
pendapat-pendapatny telah keluar dari ajaran Islam.17 Lebih lanjut alGhazali berkomenta bahwa Tuhan memiliki kehendak yang tak terbatas.
Kapan pu Tuhan menghendaki sesuatu Tuhan dapat mewujudkannya, artiny
tak ada keterbatasan bagi Tuhan untuk memutuskan sesuati Secara etimologis
kehendak Tuhan menurut al-Ghazali tida semakna dengan berkuasa tetapi
menunjukkan suatu hal yan! mengarah pada suatu tujuan. Maka, ketika
Tuhan memilih wakt' penciptaan pada saat tertentu bukan saat yang lain,
tanpa peri ditanyakan sebabnya karena sebab adalah kehendak-Nya it
sendiri.18 Kalau ditanyakan sebabnya berarti kehendak Tuha terbatas, tidak
lagi bebas. Disini kehendak menentukan hal tersebu Adapun kekuasaan
adalah perbuatan pada saat terlaksanany; kehendak.19
2.
Mengenai pengetahuan Tuhan; dimana para filosof berpendapc bahwa
Tuhan mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kec kecuali dengan cara
umum (kulliyat, universal). Di masanya perdebatan mengenai pengetahuan
Tuhan sedang rama diperbincangkan, argumen filosof tentang pengetahuan
Tuhan yani menyatakan bahwa pengetahuan mengikuti pada yang diketahu
apabila berubah yang diketahui, berubah pengetahuan. Jik; pengetahuan
berubah, maka pasti yang mengetahui juga berubah sedangkan perubahan
dalam diri Allah adalah kemustahilan. Konsei para filosof ini dicontohkan
dengan gambaran pengetahuan manusi; mengenai gerhana matahari. Gerhana
matahari mengalami tig; keadaan, yaitu gerhana belum ada dan dinantikan
adanya, gerhan; sudah berlangsung dan gerhana telah lewat, tetapi pernah
terjadi Dari tiga keadaan tersebut, pengetahuan kita pun berada dalam tig;
kondisi tersebut, berbeda-beda dan bergantian seiring dengai perubahan yang
terjadi, sebab jika seseorang mengatakan bahw; gerhana telah terjadi
sedangkan ketika itu baru terlihat gejalany; maka, itu adalah kebodohan
karena dirinya belum menerim;
informasi mengenai gerhana tersebut.20 Dari prinsip dasar ini, al Ghazali
menganalogkan pengetahuan ini dengan pengetahuan Tuhan pada umatnya
dalam konteks syari’at. Misalnya, Tuhan tidak mengetahui apakah Zaid
mematuhi-Nya atau tidak lantaran Tuhan tidak mengetahui peristiwaperistiwa yang baharu karena Dia tidak mengetahui Zaid sebagai individu.
Tuhan hanya mengetahui ada manusia yang beriman dan ada yang kafir,
karena tersebut adalah pengetahuan universal-Nya. Jika Tuhan hanya
mengetahui hal-hal universal, maka Tuhan tidak mengetahui juga bahwa
Muhammad mengumumkan kenabiannya, akibatnya adalah tidak perlunya
syari’at dan ketentuan-ketentuan Allah. Sebab setiap individu tidak diketahui
Tuhan amalannya secara terperinci, sehingga Tuhan tidak memiliki standar
seseorang dapat seseorang dapat masuk sorga dan tidak. Dengan analoginya
ini, al-Ghazali membantah konsep pengetahuan Tuhan yang dikemukakan
para filosof. Menurut al- Ghazali, Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan
tentang gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang sedang terjadi;
dan setelah terang, pengetahuan ini adalah tentang berakhirnya gerhana.
Semua perbedaan tersebut hanya merupakan relasi yang tidak mengubah
esensi pengetahuan atau yang mengetahui. Jika seseorang yang ada di sebelah
kanan anda pindah ke sebelah depan anda, lalu ke sebelah kiri, maka keadaan
itu adalah relasi yang melewati anda secara bergantian. Dengan demikian
orang itu yang berubah secara teratur bukan Anda, dengan ini al- GhazalT
memastikan bahwa Tuhan mengetahui sesuatu dengan ilmu satu, dulu,
sekarang dan selamanya diri-Nya tidak akan berubah.21 Pendapat ini
sekaligus memperjelas pemikirannya di luar mu’tazilah, artinya al-Ghazali
mengakui bahwa Tuhan memiliki sifat dan sifat itu adalah tambahan bagi
Tuhan. Berbeda dengan mu’tazilah yang mempersepsikan sifat tersebut
dengan zat Tuhan sendiri, ketika berubah sifat berubah zat-Nya. Pendapat alGhazali ini meneguhkan konsep bahwa Tuhan transenden dan immanen,22
berbeda dengan pendapat para filosof yang lebih memilih mentransendenkan
Tuhan. Usaha transendesi Tuhan ini sebenarnya tidak ditujukan untuk
menghilangkan nilai-nilai immanensi Tuhan, tetapi untuk menunjukkan
bahwa Tuhan tidak dapat disandingkan dan dibandingkan dengan makhlukNya. Implikasi dari pendapat para
filosof ini, menurut al-Ghazali adalah “peniadaan syariat”, seperti
diungkapkan Amsal Bakhtiar, pemikiran transendensi ini memunculkan
keengganan untuk melakukan ibadah yang telah disyari'atkan Allah. Mereka
menganggap akal telah mampu berhubungan dengan Tuhan, sehingga ibadah
tidak diperlukan lagi.23
3.
Mengenai kebangkitan jasad di akhirat, sebenarnya tidak ditolak oleh
filosof, yang dikritik al-Ghazali adalah bentuk kebangkitan yang diutarakan
oleh para filosof. Menurut filosof, kebangkitan yang lebih utama adalah
kebangkitan jiwa, sedangkan kebangkitan jasmani adalah pemahaman bagi
orang awam. Manusia disebut sebagai manusia bukan karena fisiknya, tetapi
karena jiwanya, sehingga kelezatan jiwa lebih tinggi dari pada kelezatan
jasad.24 Adapun al- Ghazali tidak sependapat dengan prinsip filosof ini
karena al-Qur'an secara jelas menerangkan adanya kebangkitan jasad di
akhirat. Menurut tinjauan filosof, alam akhirat adalah alam kerohanian,
bukan alam material. Pemikiran antara jiwa dan jasad ini dipicu oleh
pemikiran mereka yang membedakan antara alam materi dan alam ruhani.
Secara tersirat ide tersebut memang disampaikan dalam al- Qur’an, alGhazali sendiri tidak menolak pandangan tersebut, bahwa sesungguhnya
alam ruhani adalah berbeda dari alam jasmani.25 Namun, al-Ghazali
menegaskan bahwa Tuhan dapat menghidupkan kembali manusia artinya
menghidupkan secara ruh dan jasadi.26 Jadi, al-Ghazali berusaha
menguraikan pemikiran yang menyebutkan ruh adalah qadim, dan jasad
adalah fana’. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ghazali tidak mengakui
kegad/man selain pada Tuhan, meski qadim tersebut dimaknai sebagai qadim
yang berbeda dengan keqadiman Tuhan. Menariknya, al-Ghazali
mengargumentasikan jasad sebagai alat yang kembali pada manusia setelah
dipisahkan dalam kematian. Jika alat itu telah dikembalikan pada manusia,
maka memungkinkan manusia untuk dapat merasakan kembali kelezatan atau
kepedihan jasmani. Tanpa jasad, mustahil manusia merasakan kelezatan dan
kepedihan yang dirasakannya selama di dunia.27
Argumen-argumen al-Ghazali meski diupayakan sedemikian rupa mengikuti
alur logika filosof muslim, namun sesungguhnya tetap menekankan alasanalasan syar’i. Dengan sangat kuat, al-Ghazali melandaskan argumenargumennya pada al-Qur'an. la mengkritik asumsi para filosof yang
menyebutkan al-Qur'an merupakan rangkaian simbol-simbol, yang
diungkapkan secara analogis untuk memudahkan manusia memahami
maksud-maksudnya. Bagi al-Ghazali al-Qur'an tidak hanya bersifat analogis,
tetapi juga memiliki kepastian maksud, artinya tidak semua maksud al-Qur'an
sifatnya analog.28 Itu sebabnya dalam beberapa ayat, al-Ghazali tetap
mempertahankan makna langsung dari suatu ayat, tanpa menakwilkan lebih
jauh karena ayat- ayat tersebut menurutnya telah mengandung kepastian.
Esensi kritik al-Ghazali yang umum ini, dicurigai hanya untuk mengendurkan
semangat berfilsafat, karena al-Ghazali tidak menunjuk literatur atau
pendapat salah seorang filosof. Tuduhan ketidakilmiahan tulisan al-Ghazali,
dibantah Sulayman Dunya, Sulayman mencoba memperbandingkan
keterangan al-Ghazali dengan pemikiran yang disampaikan Ibnu Sina dan alFarabi. Sulayman menemukan fakta bahwa apa yang dimaksud al-Ghazali
dalam soal kebangkitan memiliki kesamaan lafadz dan makna dengan tulisan
Ibnu Sina dalam Risalah Adlhuwiyyah fiAmral-Ma’ad, sebuah risalah yang
khusus membahas tentang persoalan kebangkitan. Menariknya, Sulayman
Dunya mengemukakan bahwa Ibnu Rusyd hakikatnya tidak membantah
pendapat al-Ghazali, sebaliknya mengkritik pencampuradukkan ajaran
Aristoteles dengan Neo-Platonisme dengan ajaran Islam, sehingga
memudahkan al-Ghazali melihat kelemahan mereka.29
Prinsip-prinsip seperti keesaan Tuhan (Tauhid) dan realitas sifat- sifat Ilahi
yang harus dibedakan dari esensi (zat) Tuhan yang disampaikan al-Ghazali
memiliki kedekatan faham dengan ide-ide yang berkembang di dunia
Asy’ariyah. Al-Ghazali meyakini ayat-ayat antromorphis al-Our’an mengenai
Tuhan, bahwa Tuhan memiliki penglihatan, pendengaran dan anggotaanggota badan sekalipun tidak diketahui mekanismenya. '" Al-Ghazali
berhasil mempopulerkan teologi Asy’ariyah dengan meletakkan pondasipondasi fahamnya melalui penjelasan-penjelasan yang mematikan lawanlawan kalamnya. Diakui, pasca tulisan al-Ghazflli, perkembangan teologi
Asy’ariyah berkembang cepat bahkan mendominasi, menghapus dominasi
Isma’iliyah Syi’ah yang di zaman al-Ghazali berada di masa keemasannya.
Hingga kini pun, teologi Asy’ariyah adalah teologi yang dominan di
kalangan umat Islam dunia.
Konon, di zamannya, krisis agama sudah menimpa orang banyak. Al-Ghazali
mengungkapkan bahwa ketika itu jiwa keislaman sudah merosot dan
keimanan akan pokok kenabian dan hakikatnya serta pengamalan ajaranajarannya sudah mengendur. Keadaan ini, menurut penglihatan al-Ghazali
disebabkan kebanyakan orang memasuki lapangan filsafat dan tasawwuf
dengan serampangan tanpa arah yang jelas dan pasti. Orang-orang juga
mempertalikan dirinya kepada syi’ah bathiniah yang mengandalkan taqlid
buta pada ulama- ulama yang disebutnya sebagai ulama-ulama ma’shum. Di
sisi lain, ulama-ulama fiqh dan ahli-ahli kalam hanya mengajarkan sesuatu
yang bersifat lahiriah saja, dan mengabaikan nilai-nilai filosofis dari syari’at.
Dengan kondisi ini, al-Ghazali menawarkan epistemologi kebenaran yang
berbeda dari yang ada, dan mencoba mengarahkannya dengan sistematisasi
epistemologi kebenarannya.
2.
Epistemologi Al-Ghazali
Jika kita menyepakati bahwa filosof adalah para pencari kebenaran, dalam
konteks pengetahuan dan kebijaksanaan. Maka, al- Ghazali dapat
dikategorikan sebagai seorang filosof. Tekniknya untuk memahami dan
mempergunakan teori-teori epistemologis dapat dijadikan bukti bahwa alGhazali pun melakukan pencarian pengetahuan dan kebenaran. Kebenaran
sendiri didefinisikan al-Ghazali dalam risalahnya al-Munqidz min al-Dhalal
seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “Sekiranya ada orang yang
mengatakan tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa
tongkat dapat dijadikan ular, dan hal itu memang dapat dilakukannya, saya
akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya
bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah".31
Artinya, kebenaran adalah suatu kepastian yang diakui dan dirasakan benar
oleh banyak orang. Kebenaran versi al-Ghazali adalah hal yang pasti yang tak
tergoyahkan dan tidak menimbulkan keragu-raguan. Sehingga ketika ada
sesuatu yang menciptakan keraguan dalam dirinya, al-Ghazali menolak
sistem epistemologis tersebut. Kebenaran sejati adalah kepastian yang tidak
akan ditolak oleh daya fikir dan hati manusia.
Pada proses pencariannya, al-Ghazali memulai dengan menempatkan “indera
fisik” sebagai alat pencarian pengetahuan dan kebenaran, la melepaskan
seluruh alat untuk menerima pengetahuan dan mempercayakan sepenuhnya
pada indera. Namun, tidak lama, ia menemukan bahwa indera banyak
berdusta. Bayangan suatu benda seakan-akan tidak bergerak, padahal
kenyataannya bayangan itu mengalami perubahan. Demikian pula bintangbintang di langit yang terlihat kecil namun sesungguhnya adalah benda-benda
yang sangat besar. Sehingga al-Ghazali pun menolak indera fisik sebagai alat
utama pencarian kebenaran.32
Selanjutnya, al-Ghazali beralih pada kekuatan akal, al-Ghazali menyebutkan
bahwa mutakallim dan filosof menjadikan akal sebagai alat
epistemologisnya. Para mutakallim menitikberatkan pembahasan mereka
pada kemampuan berdebat dan berfikir. Ilmu kalam membahas berbagai
aliran dalam agama termasuk agama-agama lainnya kemudian
mempertikaikan faham-faham di dalamnya. Tidak semua orang dapat
mengambil ’ibroh dari perdebatan tersebut, kebanyakan malah menjadi sesat
karena meyakini keyakinan orang lain dan ragu pada agamanya sendiri. Ilmu
kalam memang bermanfaat untuk menunjukkan kebenaran agama, tetapi
tidak semua orang dapat mempelajari ilmu kalam ini.33
Al-Ghazali membagi manusia dalam empat kelompok; 1). Mereka yang
sudah beriman kepada Allah dan rasulNya dengan akidah yang benar,
sedangkan sehari-hari mereka disibukkan beribadah dan bekerja di berbagai
lapangan kehidupan; 2). Mereka yang cenderung menolak akidah yang benar
karena kufur atau memeluk akidah bid’ah, baik karena fanatisme maupun
karena dibesarkan di lingkungan akidah seperti itu; 3). Mereka yang sudah
berakidah, baik dengan cara taqlid maupun karena argumen tekstual. Tetapi
karena memiliki kecerdasan yang agak tinggi, mereka terpengaruh oleh
persoalan-persoalan akidah yang dibawa oleh ahli bid'ah dengan argumenargumen rasional, sehingga menjadi ragu dan 4). Mereka yang menganut
akidah yang sesat dari kalangan awam, yang menunggu-nunggu sikap para
cendekiawan mereka dalam menerima akidah yang benar. Ilmu kalam hanya
berlaku untuk golongan ketiga, untuk tiga golongan lainnya, ilmu kalam
hanya dapat menggoyahkan imannya. Karena golongan ketiga membutuhkan
argumen-argumen rasional untuk menyadarkan faham akidah mereka.1'1
Selain ilmu kalam, filsafat pun mengandalkan akal sebagai alat
epistemologisnya. Al-Ghazali membagi para filosof ke dalam tiga aliran;
1)
. Aliran materialisme; yang menentang adanya Pencipta alam. Mereka
beranggapan alam ada dengan sendirinya dan akan tetap ada. Kelompok ini
dibutakan dengan anggapan sesuatu yang empirik adalah benar adanya.
Sehingga mereka mengagungkan hal-hal fisik dan mengingkari hal-hal ghaib.
2). Aliran naturalisme, kelompok ini hanya naik setingkat dari aliran
sebelumnya. Dalam naturalisme, filosof-filosof ini mengakui adanya
Pencipta dan mengagumi ciptaan Tuhan. Mereka sangat berkonsentrasi pada
alam, sampai-sampai mereka memiliki kesimpulan- kesimpulan yang
bertentangan dengan akidah Islam. Seperti meyakini kebangkitan di alam
akhirat bersifat ruhiah bukan jasmani. Atau meyakini akal manusia memiliki
tabiat seperti benda dan binatang, sehingga di akhirat kelak tidak ada pahala
bagi orang yang taat dan siksaan bagi orang yang ingkar, tetapi
keterbelengguan jiwa manusia dalam nafsu binatang. Al-GhazalT menjuluki
mereka dengan kaum zindiq, karena mereka mengingkari apa yang sudah
disampaikan dengan jelas dalam al-Qur'an. 3). Kelompok yang bertuhan,
kelompok ini menolak prinsip materialisme dan naturalisme. Mereka
menyusun sistem berfikir logika untuk memperkuat argumen-argumen
pemikirannya. Sokrates, Plato dan Aristoteles merupakan filosof-filosof yang
berada di kelompok ini, dan filosof muslim mengikuti apa-apa yang terdapat
dalam diri mereka, sedangkan faham-faham mereka belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan dengan tepat dan benar. Kesalahan terbesar mereka
adalah melogikakan hal-hal yang berkaitan dengan akidah, memastikan
akidah melalui premis-premis dan pembuktian logis. Sedangkan untuk halhal yang bersifat metafisis, tidak semuanya dapat dijangkau secara teknik
logika melainkan dengan peran hati.
Dengan melihat bagaimana para mutakallim dan filosof melahirkan
pandangan-pandangan yang saling bertentangan, yang juga sulit diselesaikan
dengan akal. Al-GhazalT menjadi ragu terhadap peran akal sebagai alat yang
tepat untuk mencari kebenaran. Sedangkan yang diharapkan al-GhazalT
adalah ilm al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya.
Konon, setelah meragukan akal, al-GhazalT mencoba berguru pada kaum
batiniah. Menurut penganut faham ini, dalam pandangan al-GhazalT, setiap
orang mesti mengikuti seorang guru yang akan membimbingnya pada
kebenaran dan guru itu adalah seorang yang dianggap ma’shum. Namun, alGhazalT menolak pencarian kebenaran dengan model ini, karena paham yang
semacam ini dikatakannya dapat menyesatkan umat Islam. Umat menjadi
tidak berani berijtihad jikalau tidak ada imam atau guru tersebut. Padahal,
Nabi menganjurkan umatnya untuk melakukan ijtihad. Selain itu, kaum
batiniah bisa terjerumus pada taglfd buta dan fanatisme, sehingga mudah
dimanfaatkan oleh tokoh agama untuk kepentingan merek;i Ditambahkannya
bahwa di muka bumi ini tidak ada guru yang ma'shum kecuali Nabi
Muhammad Saw.36
Pasca menjalani pencariannya, al-Ghazali akhirnya memilih untuk
berkhalwat. Dikisahkan bahwa al-Ghazali mengalami kegalauan yang luar
biasa, sampai-sampai ia jatuh sakit. Setelah dua bulan masa kegalauannya,
secara tiba-tiba ia merasa diberikan nur ke dalam hatinya, dengan nur itu alGhazali serta merta merasakan kenyamanan dan kepuasan hati setelah
sebelumnya dilanda keraguan. Al-Ghazali menyebut penyampaian nur
tersebut dengan ilham, yang jika diberikan pada nabi-nabi adalah berupa
wahyu.37
Proses khalwat sebenarnya adalah proses yang dilakukan oleh sufi-sufi.
Tetapi, yang menarik dari tahapan kesufian ini, al-Ghazali tidak serta merta
meninggalkan hiruk pikuk dunia seperti yang dilakukan banyak sufi di
zamannya. Al-Ghazali tetap bekerja dan mengajar di perguruan Nizhamiyah
meski hanya berlangsung selama dua tahun. Sampai akhirnya, al-Ghazali
mendirikan madrasah bagi fuqaha dan sebuah khanaqahi atau biara untuk
para mutasawwifin.
Dari perjalanan epistemologisnya, al-Ghazali kemudian berkesimpulan
bahwa dzauq atau intuisi merupakan alat pencarian kebenaran sejati. Tetapi,
untuk dapat menggunakan dzauq dan intuisi ini, seseorang diharapkan
menghindarkan dari kesenangan duniawi, kesenangan duniawi ini tidak
berarti melepaskan diri dari ikatan bermasyarakat. Namun, meminimalisir
kebutuhan dunia agar dzauqnya sampai pada tahap kasyf (penyingkapan),
yakni terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan. Sehingga ilmu yang
didapatinya tidak lagi melalui perantara tetapi langsung dari sumber utama.38
Skeptisisme al-Ghazali sebenarnya tidak hanya ditujukan pada filsafat
semata, tetapi juga pada berbagai bentuk otoritas keagamaan yang
berkembang saat itu. Kesan kuatnya adalah untuk mempertahankan syari’at
sebagai satu-satunya pedoman dalam konteks pemahaman syari’at yang tidak
hanya melibatkan sisi permukaannya saja tetapi juga keterlibatan intuisi atau
hati.
Skeptisisme yang dituding banyak kalangan sebagai krisis epistemologis
terhadap akal, dan penolakan al-Ghazali terhadap penalaran juga sama sekali
tidak benar. Al-GhazalT dengan tegas menolak absurditas-absurditas dan
bid’ah-bid'ah yang diakibatkan oleh taqlid buta kaum Bathiniyyah yang
diperlihatkan terhadap ajaran otoriter (ta’lim) para imam mereka. Meski
menggunakan dalil-dalil syar’i untuk membid'ahkan teolog dan filosof, alGhazali mengupayakan argumentasi rasional untuk menempatkan alasanalasan dari tuduhan- tuduhannya. Sehingga tidak ada dasar pasti untuk
menuding al-Ghazali sebagai tokoh utama yang mematikan “ijtihad" kaum
muslimin dan menyebabkan kemunduran umat dalam beberapa dekade.
Osman Bakar dan Thaha ’Abd al-Baqi Surur menduga skeptisisme al-Ghazali
adalah murni skeptisisme metode epistemologis. Dalam Mizan al-’Aml, alGhazali menegaskan; “jika di dalam kata-kata hanya ada suatu pengertian
yang meragukan keyakinan anda yang anda terima secara turun temurun,
sehingga mendorong anda untuk memecahkannya, maka manfaatkanlah
keraguan itu. Sebab keraguan merupakan metode untuk mencapai kebenaran.
Barangsiapa tidak ragu, berarti tidak menganalisis, barangsiapa tidak
menganalisis praktis tidak akan tahu. Sebagai konsekuensinya, barangsiapa
tidak pernah tahu, praktis dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan’’.39
Kritik epistemologis terbaik al-Ghazali juga terlihat dari bagaimana ia
menolak kepastian hukum kausalitas (sebab-akibat). Keinginan kuatnya
mempertahankan keberadaan mukjizat mendorongnya menyatakan sebabakibat bukanlah suatu kepastian. Kausalitas menurutnya hanyalah sebuah
kemungkinan dari berbagai kemungkinan, karena memprediksi alam ini pada
satu hukum adalah kemustahilan. Selalu ada kemungkinan yang akan terjadi
di alam yang tidak pernah diduga dan itu -bisa jadi- atas kehendak Tuhan.40
Adalah salah jika kita menganggap bahwa al-Ghazali menolak secara mutlak
keberadaan kausalitas alamiah. Yang ditolak al-Ghazali adalah keberadaan
hubungan yang niscaya antara seab dan akibat yang terlepas dari kehendak
Tuhan sebagai pencipta. Jika dunia -yang mungkin- adalah dunia tempat
segala kemungkinan, al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan ini hanya
arena tindakan bebas Tuhan. Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan
objektif hal-hal konkret hanya karena Tuhan menciptakan mereka. Problem
epistemologisnya terletak pada ketakmungkinan menghubungkan secara
langsung suatu akibat kepada suatu sebab. Sebab-sebab dapat senantiasa
hipotesis, dan satu-satunya kepastian yang kita miliki adalah bahwa semua
itu merupakan akibat-akibat dari kehendak Tuhan.41
Meski penolakan kausalitasnya ini didasarkan pada konteks syari'at, Massimo
mengagumi pemikirannya yang menyebutkan al Ghazali mendahului David
Humee dalam teorinya bahwa hubungan kausalitas hanyalah penampakan
dan merupakan efek dari kebiasaan manusia mengaitkan dua kejadian yang
terjadi secara konsisten dalam alam. Al-GhazalT berpendapat bahwa
kontinuitas kebiasaan (’adah) berkenaan dengan hal-hal yang kelihatannya
niscaya, tetapi sebenarnya hanya mungkin. Sesuatu yang terbiasa ini dari
waktu ke waktu tertanam dengan kuat dalam fikiran sehingga kontinuitas
seakan tak terpisahkan.42 Ide yang sama, yang mengilhami kejeniusan Albert
Einstein melalui teori relativitasnya pun adalah penolakannya terhadap
kepastian kausalitas.
Keseluruhan ide al-Ghazali sebenarnya dimulai dari keraguan- keraguan
terhadap status quo pemikiran. Bagi al-Ghazali kemapanan dan kebenaran
sejati adalah meyakini adanya sesuatu yang metafisis yang mengelola alam
ini dengan kehendak mutlak nan bijaksana. Untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang sesungguhnya bagi al-Ghazali adalah dengan meyakini
kuasa zat metafisis tersebut dan melihat ada banyak kemungkinan di alam ini
dan kepastian sesungguhnya hanya pada Allah Swt.
Asumsi-asumsi ini tanpa disadari menimbulkan kesalahfahaman umat.
Kehendak dan kuasa Tuhan mendorong kepasrahan berlebihan kepada Allah,
predikat zindiq dan bid’ah menghantui bilamana berijtihad sendiri sehingga
memilih sikap taqlfd. Akhirnya, muncul sebuah pameo untuk memisahkan
agama dan ilmu- ilmu umum. Sebuah frame berfikir yang sesungguhnya
ditolak oleh al Ghazali sendiri, taqlfd buta dan melepaskan diri dari persoalan
agama adalah kesesatan yang sesungguhnya dari manusia-manusia beragama.
Maka, predikat hujjatut Islam (pembela Islam) yang diberikan pada alGhazali adalah karena al-Ghazali berhasil merumuskan kembali ajaran-ajaran
Islam pada tempat yang seharusnya. Sayangnya, umat menerima perumusan
tersebut secara lahiriah saja dan mengabaikan inti yang hendak disampaikan
al-Ghazali. Sehingga pasca wafatnya al- Ghazali, umat bergelut dengan dunia
sufi yang memilih menanggalkan dunia secara utuh. Tanpa daya ijtihad dan
gerakan pembaruan, sambil terus menolak peran akal dalam berbagai bidang,
membuat dikotomisasi akal dan hati dengan mengklaim kebenaran
individual. Kondisi inilah yang mendorong Ibnu Rusyd berupaya
menjelaskan apa yang dimaksud al-GhazalT seraya mendorong terjadinya
keseimbangan antara akal dan intuisi sebagai metode epistemologis
kebenaran sejati.
B.
JAWABAN IBNU RUSYD
Abu al-Waltd Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd lahir di
Cordoba pada tahun 520 H/1126 M. Seorang tokoh terkemuka Islam wilayah
barat, yang namanya sangat masyhur di Eropa, dikenal sebagai Averroes dan
memberi banyak pengaruh pada pemikir-pemikir barat. Terlahir dari keluarga
faqih yang terhormat, qadhf negara terkemuka di Spanyol. Kakeknya, Abu
al-Walid Muhammad (senama dengan Ibnu Rusyd) adalah qadhi Cordova
terkemuka dan memainkan peran penting dalam perlawanan kota itu terhadap
kekuasaan al-Murabithun, meskipun kemudian Cordova ditaklukan alMurabithun. Sang kakek menulis berbagai karya teoritis dalam ushul fiqh dan
dalam studi atas berbagai pendapat yang ditawarkan oleh beberapa madzhab
besar fiqh (ikhtilaf). Ini menghubungkannya dengan gagasan pembaruan fiqh
Maliki yang menganjurkan pengintegrasian penalaran analogis (g/yas).43
Meneruskan sang kakek, ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad menduduki posisi
kepala pengadilan di Andalusia, disamping itu meneruskan tradisi keluarga
sebagai salah seorang ahli hukum terkemuka dari madzhab Maliki. Ibnu
Rusyd pun menjadi seorang Malikiyyah, bersama ayahnya, dia merevisi alMuwatta’ dan menghafal seluruh isinya. Dia juga mempelajari matematika,
fisika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Dia belajar ilmu kedokteran
kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbun. Adapun filsafat dan
theology, dia peroleh dari Ibn Thufayl.44
Di zamannya Cordova terkenal sebagai pusat studi-studi filsafat, sedangkan
Seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Tetapi tradisi ilmiah ini,
seperti tradisi keilmuan di wilayah lainnya mengalami pasang surut.
Keseluruhan tradisi ilmiah ini disesuaikan dengan ide-ide penguasa
(khalifah). Jika sang penguasa seorang rasionalis, dia akan membangun
tradisi filosofis di wilayahnya, jika sang penguasa tertarik pada hal-hal
sufistik, dia akan mendorong rakyatnya untuk mengabaikan tradisi-tradisi
duniawi. Termasuk di dalam hal ini, kepercayaan penguasa terhadap
madzhab-madzhab fiqh, yang bisa jadi menekankan satu madzhab fiqh dan
mengabaikan yang lain.
Di Spanyol, tradisi filosofis mengalami pasang surut yang signifikan. Di
bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912-961) filsafat menjadi sangat
maju, namun pasca Abdurrahman kegiatan ilmiah menurun terutama pada
zaman Hasyim dan penguasa al-Murabithun Ketika dinasti ini ditaklukkan
dinasti al-Muwahhidun, kegiatan filsafat dihidupkan kembali, terutama
zaman Abu Ya’qub Yusuf.45 Ibnu Thufail berjaya di masa ini, dan melalui
Ibnu Thufail pula, Ibnu Rusyd dikenalkan ke dalam lingkungan istana. Hasil
dari pertemuan ini Ibnu Rusyd diangkat sebagai qadhi di Seville. Atas
dorongan Abu Ya'qub pula, Ibnu Rusyd menganalisis karya-karya
Aristoteles.
Kepiawaiannya mengulas ide-ide Aristoteles menghantarkannya menjadi
seorang yang dijuluki dengan “komentator Aristoteles". Kemampuannya
disebut Michael Dante setara dengan Euclid, Ptolemeus, Hippocrates, Ibnu
Sina dan Galen. Komentar- komentarnya ditulis secara ilmiah, dengan
mengutip pemikiran Aristoteles dan menafsirkan maksud pemikiran
Aristoteles berdasarkan perspektifnya.46 Uraian Ibnu Rusyd mirip sekali
dengan tulisan-tulisan tafsir, menyampaikan pemikiran Aristoteles murni dan
ditafsirkan maksudnya pasca penulisan pemikirannya. Sebuah karya
sederhana namun berhasil menunjukkan sisi ilmiah sebuah metode penulisan.
Komentarnya dipadukan pula dengan pemikiran filosof-filosof muslim,
termasuk upayanya mensistensiskan agama dan filsafat. Ibnu Rusyd sendiri
jauh lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada di Timur. Tulisantulisannya lebih banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin, sedangkan
teksnya yang asli dalam bahasa Arab banyak yang hilang dan terbakar dan
dilarang diterbitkan lantaran semangat anti filsafat dan filosof yang berakar
dalam masyarakat. Di sisi lain, bangsa Eropa seakan akan menerima angin
segar, karena selama berabad-abad tidak berhasil mensistensiskan agama
(gereja) dengan ilmu pengetahuan. Sebuah kemampuan skolastik yang
kemudian menggema di Eropa.47
Prestasi filsafat Ibnu Rusyd mengalami antiklimaks ketika Abu Ya’qub
Yusuf wafat dan digantikan oleh Abu Yusuf. Sultan Abu Yusuf
membutuhkan dukungan ulama dan fuqaha untuk mengerahkan massa
menghadapi peperangan melawan kaum Kristen. Tokoh-tokoh filsafat seperti
Ibnu Rusyd yang telah dianggap berseberangan dengan agamawan terpaksa
disingkirkan. Sebuah keputusan politik yang tragis, Ibnu Rusyd diasingkan
ke Lucena, sebuah kota kecil di selatan Cordova yang kebanyakan dihuni
oleh orang Yahudi. Pengasingan dilakukan atas tuduhan sebagian ulama dan
fuqaha bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang zindik dan kafir. Semua tulisannya
dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran,
astronomi dan matematika.48
Sejawat ilmiahnya di Seville berusaha keras membela Ibnu Rusyd dari segala
tuduhan. Sejawat-sejawatnya ini yang mendesak Khalifah Yusuf al-Manshur
untuk direhabilitasi namanya dan diundang oleh Khalifah ke Maroko. Ibnu
Rusyd memilih Maroko sebagai pelabuhan terakhirnya. Di Maroko inilah,
Ibnu Rusyd menghembuskan nafas terakhirnya pada 9 Safar 595 H (10
Desember 1198 M). Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke
Cordova untuk dikebumikan di perkuburan keluarganya.49
Yang menarik dari Ibnu Rusyd, adalah kemampuannya di dua bidang
sekaligus. Sebagai seorang faqih sekaligus seorang filosof ternama.
Kemampuan fiqhnya dibuktikan melalui karya fenomenal Bidayah alMujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, sebuah uraian logis tentang hukum
Islam yang monumental. Karya itu merupakan risalah tentang ikhtilaf (ilmu
perbandingan madzhab) yang menilai dan mempertimbangkan dalam setiap
hal, setiap sudutnya, pendapat- pendapat yang diajukan oleh berbagai mazhab
kecil atau individu terkemuka, bukan hanya oleh mazhab besar. Ikhtilaf
dijadikan metode oleh Ibnu Rusyd, sebagai suatu cara menyoroti prinsipprinsip yang menimbulkan perbedaan. Gagasan utamanya, bahwa
kecenderungan doktrinal sang pemilik madzhab, dan individu madzhab tidak
bersifat memaksa. Setiap doktrin itu diberikan berdasarkan batas-batasnya
sendiri, dan bahkan mungkin terjadi satu mazhab disetujui oleh mazhab
lain.50
Dan sebagai seorang Malikiyyah, Ibnu Rusyd mengkaji peran Qiyas sebagai
alternatif hukum Islam. Uniknya, Ibnu Rusyd pun mengkaji Qiyas dengan
teknik-teknik Aristotelian. Secara umum, Ibnu Rusyd mengajukan Qiyas
sebagai sebuah alternatif ijtihad di luar taqlfd pada mazhab-mazhab yang ada.
Bidayah mengisyaratkan bahwa seorang faqih adalah seseorang yang dapat
menerapkan suatu hukum pada fakta dan situasi yang nyata. Tujuannya
adalah, memberi kesempatan pada umat untuk memihak pada satu hukum
sesuai dengan situasi yang dijalaninya tanpa mengandalkan fanatisme
berlebihan pada satu madzhab.51 Dengan demikian bidayah berperan sebagai
bagian dari evolusi yang membawa metodologi ke sistem klaim-klaim
universal.
Fakta terpenting dari Ibnu Rusyd adalah kemuliaan akhlaknya yang sangat
masyhur, la dikenal sebagai seseorang yang selalu mengenakan pakaian
sederhana dan tidak pernah dituduh berkorupsi, la dengan tekun
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai qadhi, selalu menjaga
kesopanan, kedermawanan dan kerendahan hati, bergaul dengan rakyat biasa
dan sultan. Kemasyhurannya dalam kemuliaan akhlaknya menunjukkan
bahwa la adalah tokoh besar yang sangat bijaksana.52
1.
Filsafat dan Agama
Sebagaimana filosof muslim lainnya, Ibnu Rusyd pun melakukan
“pembelaan” akan keterlibatannya pada dunia filsafat. Filsafat sampai dengan
masa Ibnu Rusyd juga dianggap sebagai ilmu yang menyesatkan ajaran
agama. Perdebatan utamanya sesungguhnya terletak pada perbedaan
epistemologis antara Ahlu al-Sunnah dan Ahlu al-Ra’yi. Kekuatan setiap
paradigma epistemologis bergantung pada patronage yang memerintah di
wilayah tersebut.
Tradisi ilmiah di Spanyol mengalami pasang surut, sesekali memihak pada
intelektual rasionalis sesaat kemudian menjadi hak milik intelektual
tasawwuf mistis atau bahkan dikuasai oleh Ahlu Sunnah. Pada masa Bani
Umayyah di bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912- 961), kegiatan
ilmiah sangat maju karena kecintaannya pada ilmu dan filsafat. Khalifah
memerintahkan ulama belajar ke Baghdad dan juga mendatangkan para
ilmuwan dari Bagdad ke Spanyol. Pasca al-Nashir, kegiatan ilmiah menurun,
terutama pada zaman Hasyim dan penguasa Murabithun. Penguasa
Murabithun sangat memfokuskan diri pada militer dan taktik perang,
sehingga keilmuan terabaikan. Ketika dinasti Muwahhidun menaklukkan
Murabithun, situasi keilmuan kembali membaik. Namun kondisi ini tidak
bertahan lama, karena serangan Kristen terus merongrong, dan Khalifah perlu
mempersiapkan diri pada strategi militer dan perang.53
Pada kondisi inilah, Ibnu Rusyd diasingkan, Sang Khalifah konon
memerlukan dukungan ulama dan ahli-ahli tradisional untuk dapat menarik
massa. Sehingga Ibnu Rusyd perlu diasingkan agar tujuannya dapat
terlaksana. Meski begitu, kerabat-kerabat dekat Ibnu Rusyd dan sejawatnya
berupaya membebaskannya.
Beberapa tulisan menyebut bahwa Ibnu Rusyd adalah murid Ibnu Thufail,
Ibnu Thufail pula yang merekomendasikan Ibnu Rusyd pada kalangan istana.
Rekomendasi ini ditujukan untuk menunjukkan “siapa sebaiknya yang
menggantikan peran Ibnu Thufail yang telah tua. Ibnu Thufail mengajak Ibnu
Rusyd bercengkerama dengan Sultan Abu Ya'qub, sampai kemudian sang
Sultan bertanya “Apa pendapat para filosof tentang langit?", “Apakah ia
substansi kekal ataukah mempunyai permulaan?”. Ibnu Rusyd awalnya
mencoba menjaga jarak untuk menjawab hal ini, sampai kemudian Sang guru
terlibat diskusi serius dengan Sultan, dan Ibnu Rusyd pun mulai terlibat di
dalamnya.54
Dalam riwayat lain, keterlibatan Ibnu Rusyd pada dunia filsafat didorong
oleh guru kedokterannya Ibnu Harun, yang menceritakan bahwa sang Sultan
berharap ada seseorang yang mampu mengomentari buku- buku Aristoteles
dan menjelaskannya secara gamblang buku-buku itu agar maksud dan
maknanya diketahui banyak orang. Ibnu Thufail menolak tugas ini, karena
terlalu tua menerimanya, dan Ibnu Rusyd diajukannya untuk menjalankan
tugas ini.55 Kemungkinan kedua riwayat ini saling berhubungan dan terjadi
dalam waktu yang sama. Yang terpenting dari riwayat ini adalah bagaimana
Ibnu Rusyd kemudian atas dukungan patronagenya mulai mengkaji setiap
pemikiran filsafat.
Melalui Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-lttishal,
Ibnu Rusyd melakukan pembelaan bagi filsafat. Ibnu Rusyd membuka
risalahnya dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah filsafat itu sah,
dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam Syari’ah (Hukum Islam).
Ditegaskannya, bahwa filsafat diwajibkan atau setidaknya dianjurkan dalam
agama (syari’ah). Sebab fungsi filsafat hanyalah membuat spekulasi atas
yang maujud dan memikirkannya selama membawa kepada pengetahuan
akan Sang Pencipta.56
Prosedur yang paling jelas dalam agama, menurut Ibnu Rusyd adalah
perintah melakukan i’tibar (mengambil pelajaran). Al-I’tibar merupakan
suatu ungkapan qur'ani yang berarti sesuatu yang lebih dari spekulasi atau
refleksi.57 Proses i'tibar inilah yang akan menjadi titik tolak utama yang
diajarkan dalam filsafat. I'tibar menurut Ibnu Rusyd sudah seharusnya
melalui logika dan tata penalaran yang benar, sehingga seseorang yang
mengimani kebenaran Syari'at dianjurkan untuk memahami tata alur
penalaran dengan sebaik-baiknya.58
Konteks paling sederhana dari i'tibar adalah qiyas, Ibnu Rusyd menegaskan
bagaimana mungkin seseorang dapat melakukan analogi- analogi jika tidak
memiliki alur berfikir yang benar. Posisinya sebagai seorang qadhi
memudahkan Ibnu Rusyd memberi penekanan hubungan antara filsafat dan
syari'at. Menghubungkan kebutuhan tata berfikir logika, Ibnu Rusyd
menjelaskan bahwa adalah sebuah kewajaran jika kemudian logika ini juga
dijadikan alat oleh manusia untuk membaca alam ini. Keingintahuan dan
usaha meneliti semua wujud di alam adalah curiousity manusia untuk
mengenal makhluk-makhluk sekaligus mengenal Sang Khalik.
Secara jelas, Ibnu Rusyd menunjuk ilmu Ushul fiqh sebagai ilmu fiqh yang
logis dan berbasis rasio. Ilmu ini menggunakan premis- premis tertentu yang
kemudian diistinbath (disimpulkan) oleh para pemikir madzhab berkenaan
dengan berbagai masalah khilafiyah yang menjadi pokok-pokok perdebatan
yang terjadi di antara para pemikir Islam di banyak negara.59 Melalui Ushul
fiqh, Ibnu Rusyd berusaha membukakan bahwa filsafat juga telah menjadi
bagian dari Islam dan merupakan sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan.
Penekanan dari hubungan ini adalah memberikan wawasan bahwa
mempelajari filsafat adalah hal yang wajib dan bukan haram sebagaimana
yang dituding banyak kalangan ketika itu. Adapun penyimpanganpenyimpangan yang terjadi dalam proses penalaran tersebut adalah sebuah
kebetulan yang tidak esensial. Sesuatu yang secara karakteristik dan esensial
mampu memberikan manfaat, tidak bisa disia-siakan hanya karena adanya
fenomena dlarar (bahaya) yang terkait dengannya secara aksidental. Karena
itu Rasulullah pernah bersabda kepada seseorang yang pernah
diperintahkannya untuk memberi minum madu kepada saudaranya yang
terkena diare, namun ternyata membuat penyakitnya bertambah parah, dan
kemudian orang itu mengadu pada Nabi, lalu dikatakan; "Allah tetaplah
benar dan perut saudara yang berbohong”.60
Artinya, perumpamaan orang yang melarang mereka yang memiliki cukup
kapasitas untuk mempelajari buku-buku filsafat hanya dengan alasan bahwa
ada sekelompok orang yang lemah kualitasnya dicurigai telah menempuh
jalan sesat akibat mempelajari filsafat, adalah seperti halnya seseorang yang
sangat haus ingin minum air dingin tawai tapi dilarang, sampai akhirnya ia
menemui ajalnya karena dahaga, dengan alasan bahwa pernah ada
sekelompok orang tersedak air yang mati dan itu sesungguhnya merupakan
kasus kebetulan semata. Sedangkan kehausan adalah suatu fakta esensial dan
dlaruri.
Mempertegas korelasi antara filsafat dan syari’ah, Ibnu Rusyi menunjukkan
bahwa syari'at mengajak kepada penalaran yang akai menggiring ke arah
pengetahuan kebenaran, maka kita tahu pasti bahw; suatu penalaran burhani
(logika) tidak akan membawa konflik apa pui dengan syari'at. Kebenaran
yang satu jelas tidak akan berlawanan dengai kebenaran lainnya bahkan
justru saling mendukung dan menepatka posis masing-masing.61
Lebih lanjut, Ibnu Rusyd menunjukkan jika syari’at tida memberikan signalsignal negatif pada penalaran demonstratif atai burhani (logika) maka
sesungguhnya tidak ada yang buruk dari hc tersebut. Artinya, tidak ada
permasalahan yang signifikan yang mes diperdebatkan di dalamnya. Namun,
jika syari'at mempermasalahkannya sebaiknya didahulukan takwil dan tidak
dengan menghukumi bahw; hal tersebut salah atau bertentangan dengan
syari’at sebelum dilakukai takwil.
Yang ingin disampaikan oleh Ibnu Rusyd melalui konsep takw adalah
objektivitas penilaian yang mesti diberikan kepada seorang filosol Karena
melalui takwil makna lahir apapun yang terdapat dalam syari’c yang secara
lahiriah dianggap bertentangan dengan suatu makna yan< disimpulkan oleh
metode burhan (logika), akan diteliti dan ditelaah semu; bagian dan
partikelnya. Selama pertentangan itu bersifat aksidental tida esensial, maka
seyogyanya hal itu tidak menjadi masalah.62 Ibnu Rusyi meyakinkan bahwa
syari’at mengandung makna lahir (eksetoris) dan batil (esoteris) disebabkan
adanya keanekaragaman (pluralitas) kapasita: penalaran manusia dan
perbedaan karakteristik mereka dalam menerim; (pembuktian) kebenaran.63
Itu sebabnya syari’at disiratkan melali ungkapan-ungkapan tekstual yang
menjadi kewajiban umatny; menakwilkan dan menggabungkan beragam
makna tekstual tersebut.
Inti utama penjelasannya ini adalah pengingkaran terhadai vonis kafir yang
disematkan kepada para filosof. Karena ungkapan kafi tidak selayaknya
diberikan kepada seseorang yang melakukai penakwilan terhadap syari’at dan
tidak bertentangan dengan syari’a secara esensial.
Melalui penjelasannya ini, Ibnu Rusyd hendak menunjukkai bahwa dalil
demonstratif (logika) merupakan alat yang tepat untul digunakan dalam
memahami syari’at. Ibnu Rusyd membagi perbedaai pemahaman dalam
syari’at ini pada tiga bagian,64 pertama, golongai orang-orang yang bukan
ahli interpretasi sama sekali, yaitu golongai retorika. Golongan ini
merupakan bagian terbesar manusia, untuk golongan ini kemampuan mereka
hanya menerima penjelasan retoris yang mudah dan sederhana. Pendekatan
pada golongan ini adalah dengan cara penuturan yang baik (al-maw’izhah alhasanah).
Golongan kedua, ialah orang-orang yang ahli dalam interpretasi dialektis,
yang berbicara pada mereka adalah dengan dialog yang baik, wa jadilhum
billatihiya ahsan. Kemungkinan besar golongan ini memiliki fanatisme
terhadap pemikiran atau ajaran tertentu. Adapun golongan ketiga, adalah dari
kalangan ta’wil yaqini, mereka inilah kaum filosof. Interpretasi golongan
filosof tidak boleh dibeberkan pada golongan dialektis, apalagi kepada
golongan umum. Karena interpretasi adalah pengalihan dari makna lahir ke
makna majazi. Mereka yang tidak mampu memahami makna majazi
seyogyanya menghindarinya karena akan menimbulkan kebingungan dalam
diri.
Dikisahkan, bahwa Ibnu Rusyd merupakan muballigh masjid di zamannya.
Uraian-uraian Ibnu Rusyd sangat ringkas dan mudah dicerna oleh orang
awam, namun ketika ditanyakan masalah kebangkitan jasmani dan ruh, Ibnu
Rusyd memilih menyembunyikannya dan beralasan bahwa pembahasan
tersebut bukanlah pembahasan yang mesti dibahas secara umum dan
kalangan awam.65
Fashl al-Maqal adahal karya pendahuluan Ibnu Rusyd mengenai metodologi
filosofis dan religius. Buku ini menegaskan bahwa al-Qur'an sendirilah (QS.
Al-Hasyr ayat 2 dan QS. Al-lsra’ yang menganjurkan kajian rasional.
Hubungan metodologis antara Fashl al- Maqal dan Bidayah sangat jelas, Ibnu
Rusyd hendak menunjukkan peran filsafat khususnya logika, interpretasi
demonstratif dan kaitannya dengan syari'at.
2.
Tahafuttahafut
Peran fenomenal Ibnu Rusyd dalam kancah filsafat Islam adalah bukunya
Tahafut at-Tahafut, sebuah karya yang ditulisnya sebagai upaya kounterisasi
dari merebaknya pemahaman umat terhadap karya al-Ghazali, Tahafut al-
Falasifah. Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd hendak membeberkan fakta bahwa
buku al-Ghazali yang sampai kepada orang awam membuat orang awam
menjadi bingung, karena pembahasan pembahasan tersebut tidak seharusnya
dibahas pada umum. Karyanya Tahafut al-Tahafut ditujukan untuk
menjelaskan fakta-fakta yang tidak semestinya disematkan kepada para
filosof. Tujuannya adalah mengembalikan nama baik para filosof tersebut
dari tuduhan kafir.
Seperti yang diketahui, al-GhazalT mengkafirkan para filosof atas tiga tesis;
keqadiman alam, tidak ada pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular
dan tidak ada kebangkitan jasad di akhirat. Catatan terpenting dalam Tahafut
Tahafut sebagaimana judul yang diberikan Ibnu Rusyd adalah menjelaskan
“kerancuan" dalam “kerancuan”. Sulayman Dunya memperkirakan bahwa
Ibnu Rusyd sesungguhnya hendak mendudukkan problema yang telah
dianggap rancu oleh al-GhazalT. Kata Tahafut yang disandarkan kepada kata
Fatasifah menunjuk secara langsung siapa subjek yang telah berbuat
“kerancuan” tersebut. Indikasi buruk dari kata Tahafut adalah lemahnya nalar
yang dimiliki para filosof dalam memahami -khususnya- soal-soal
metafisika.66
Titik perbedaan yang paling jelas diantara al-GhazalT dan Ibnu Rusyd adalah
pembagian keilmuan yang dilakukan keduanya. Bagi al- Ghazali terdapat
perbedaan yang signifikan antara metafisika dan ilmu- ilmu lainnya yang
dikategorikannya sebagai bagian filsafat seperti matematika, astronomi,
kedokteran dan logika. Menurut al-GhazalT untuk menggali hal-hal metafisis
tidak dapat digunakan kaca mata filosofis seperti astronomi, matematika dan
kedokteran. Untuk memahami hal- hal metafisis hanya dapat dilakukan oleh
wahyu (al-Qur’an dan hadis), artinya tidak diperlukan pembuktianpembuktian secara detil seperti halnya dalam ilmu matematis. Jika al-Qur’an
dan hadis telah mengisyaratkannya maka sudah cukuplah pembahasan
tersebut.67
Sebaliknya bagi Ibnu Rusyd, siapapun memiliki hak memahami hal-hal
metafisis melalui kaca mata apapun asalkan tidak berubah fahamnya secara
esensial. Pemahaman ini disebut Ibnu Rusyd sebagai interpretasi alegoris,
majazi. Jika keterangan para filosof ini disebut racun bagi manusia lain, Ibnu
Rusyd menegaskan bahwa tidak sesuatu yang disebut racun membahayakan
bagi komunitas lainnya. Bisa jadi bagi kelompok lain, racun itu adalah obat
mujarab atau makanan bagi komunitas lainnya. Maka, barangsiapa
menuangkan racun itu kepada orang yang menganggap hal itu adalah racun,
maka baginya hukuman. Dan barangsiapa yang menjauhkan racun dari orang
yang perlu diobati dengan hal tersebut ditimpakanlah hukuman yang
setimpal.68
Untuk mengetahui racun atau tidakkah hal tersebut, tentu diperlukan seorang
dokter yang memahami fungsi dari dosis yang hendak diberikan. Dokter pula
yang dapat menerapi orang-orang yang kelebihan dosis atau kurang dari dosis
yang diberikan. Inti alegorinya ini adalah bahwa pembahasan mengenai hal-
hal filosofis dan anggapan-anggapan yang disematkan kepada mereka
(filosof) adalah hal yang tidak sewajarnya disampaikan pada kalangan awam.
Jika sudah merebak dan menyebabkan kesalahfahaman berkepanjangan maka
tugas orang yang mengerti untuk menjelaskannya.
Al-GhazalT dan Ibnu Rusyd sesungguhnya memiliki kesamaan dalam
memandang bagaimana sebenarnya filsafat disajikan. Keduanya meyakini
bahwa bahasa simbolis merupakan bahasa orang awam dan bahasa
demonstratif bagi para filosof. Problem yang muncul adalah efek dari
pemahaman awam yang menerima ide-ide filosof atau sebaliknya yang
menerima "kerancuan-kerancuan” yang ditulis al-Ghazali. Kegalauan alGhazali adalah merebaknya pemikiran bahwa hanya dengan menggunakan
penalaran sudah cukup untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan
mengabaikan syari'at. Sebaliknya, Ibnu Rusyd galau tradisi rasionalitas
menghilang karena jumud dan taqlid berkepanjangan.
Artinya, tulisan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tidaklah ditujukan sebagai
Sarkasme Mutual sebagaimana yang dituding Sulayman Dunya. Keduanya
berupaya merespon kondisi umat yang menurut mereka perlu segera
diingatkan. Tujuan utamanya adalah menjaga kemaslahatan umat dan
kemurnian Islam. Sayang, tak mudah mencapai tujuan dan maksud yang
hendak disampaikan keduanya. Karena forum khusus untuk kajian filosofis
ini tak terdeteksi, maka lebih mudah menimbulkan anarkhisme ideologis dan
chaos pemikiran hingga terjerumus dalam bias.
Perdebatan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun seakan-akan menunjukkan alian
teologis mereka. Al-Ghazali diduga mengutip banyak ide-ide Asy’ariyyah
dan Ibnu Rusyd mengutip ide-ide Mu’tazilah. Meski dalam beberapa hal, alGhazali mempertegas maksud yang hendak disampaikan Asy’ariyyah
sehingga dapat disebut sebagai orang yang kemudian secara tak disadari
membuat teologi Asy’ariyyah menjadi mudah berkembang dan diterima
daripada sebelumnya.69 Sebaliknya Ibnu Rusyd menghidupkan kembali
teori-teori Mu’tazilah dan mengembalikan nama baiknya dalam kancah
teologis masa itu. Sayang, ide-ide Ibnu Rusyd lebih banyak diadaptasi Barat
dibanding dalam dunia Timur. Dan ini bukan kesengajaan, faktor tempat
dimana Ibnu Rusyd tinggal dan komunitas Islam yang belum membudaya
sebagaimana di Baghdad atau di Nizham al-Mulk tempat al-Ghazali
berdomisili
Disebabkan alasan-alasan tersebut, dimana al-Ghazali tinggal di dekat pusat
atau sesungguhnya di pusat umat Islam dan Ibnu Rusyd di Spanyol yang
berjarak cukup jauh dari pusat kekuatan Islam dan lebih dekat dengan dunia
Barat. Menjadikan pemikiran al-Ghazali lebih populer daripada pemikiran
Ibnu Rusyd. Diakui atau tidak, kitab Tahafut al- Falasifah jauh lebih banyak
beredar dibanding Tahafut al-Tahafut. Dengan demikian tidak dapat
disangkal lagi, bahwa al-Ghazali dengan kitabnya tersebut, telah memberikan
pengaruh yang lebih dalam pada benak kaum muslimin. Sehingga terdapat
semacam anggapan bahwa kemunduran pemikiran dalam dunia Islam adalah
akibat karya besar al-Ghazali.70 Meskipun asumsi tersebut perlu diselidiki
lebih lanjut, namun sesungguhnya terdapat anggapan umum yang masyhur
akan asumsi tersebut dan sulit dielakkan.
Dalam Tahafut a/-Tafraftyf terdapat kesan kuat bahwa Ibnu Rusyd hendak
menyerang al-Ghazali karena penulisannya yang menjabarkan pemikirannya
dengan mencatat butir-butir keberatan al-Ghazali pada filosof dan
menyanggahnya. Sesungguhnya sanggahan tersebut disampaikan bukan pada
al-Ghazali tetapi pada kitab Tahafut al-Falasifah, itu sebabnya dinamai
Tahafut al-Tahafut atau “keracuan dalam kerancuan". Artinya tulisan tersebut
secara intelektual adalah sebuah penyampaian dialogis menjawab dari
sesuatu yang disampaikan dala suatu wacana dan direspon melalui wacana
lain. Tentu hal ini adalah hal yang wajar dalam dunia intelektual dan dunia
muslim, perlu dipertegas bahwa sanggahan Ibnu Rusyd ditujukan pada
pemikiran al-Ghazali bukan pada sosok al-Ghazali. Wa bil khusus pada
maksud-maksud yang disampaikan dalam Tahafut al-Falasifah.
Sebaliknya, al-Ghazali pun tidak secara jelas menuding seorang filosof, tetapi
pada ide-ide filosofis yang telah menyebar dalam umat dan menjadi racun
bagi beberapa kelompok. Yakni mereka yang mengabaikan syari'at dan
beranggapan dapat mencapai derajat yang mendekati Tuhan dengan
meninggalkan syari’at. Tentu saja, bagi seorang ulama besar sekelas alGhazali hal itu sangat merisaukan dan mendorong al-Ghazali melakukan hal
ini. Sekali lagi, perlu dipertegas bahwa tidak ada sarkasme dalam tulisan
keduanya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil merespon kondisi umat
di zamannya.
Sebagai sebuah pembelaan terhadap ide-ide filosof, ulasan Ibnu Rusyd lebih
dekat pada penegasan akan ide-ide filosof yang sudah dibahas sebelumnya.
Sanggahan pertamanya ditujukan pada persoalan eternalitas alam (Qidam al'Alam). Menurut Ibnu Rusyd tidak ada yang salah dalam ide filosof mengenai
eternalitas alam, karena para filosof pada dasarnya menyepakati ada tiga
macam wujud. Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya, wujud ini
menjadi maujud karena ada penyebab yang mewujudkannya (sabab fa’it);
wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak
disebabkan dan tidak didahului oleh zaman.71 Dua bentuk wujud ini
disepakati oleh semua fihak. Wujud pertama sifatnya adalah ciptaan atau
makhluk dan wujud kedua adalah Khalik. Bagi filosof ditemukan wujud
ketiga, yakni wujud yang ada diantara keduanya yakni wujud yang
keberadaanya tidak berasal dari sesuatu apapun, tida didahului oleh zaman
akan tetapi keberadaannya disebabkan oleh suatu Penggerak. Sisi wujud ini
adalah alam semesta dengan segala perangkatnya.72
Pada wujud yang ketiga inilah perdebatan dimulai, al-Ghazali dan
kebanyakan teolog Asy’ariyah berpendapat bahwa zaman tidak mendahului
alam semesta, karena bagi mereka zaman adalah sesuatu yang menyertai
gerak benda, mereka juga menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dari
ketiadaan tanpa substansi apapun. Sehingga mereka beranggapan bahwa alam
ini hadits yang keberadaannya tergantung pada kuasa Tuhan,73 sedangkan
bagi para filosof menekankan penciptaan adalah terbuatnya sesuatu atau
tersusunnya sesuatu.
Anggapan ini tidak berarti bahwa mereka menolak penciptaan dari ketiadaan,
mereka (filosof) pun mengakui ketiadaan sebagai sesuatu yang kemudian
menjadi ada. Namun, filosof menetapkan substansi- substansi tertentu yang
menjadi qadim termasuk alam ini. Substansi substansi tersebut mereka sebut
dengan unsur-unsur utama yang menjadi dasar terbentuknya alam ini.
Meskipun begitu, para filosof menekankan bahwa eternalitas alam berbeda
dengan qadimnya Tuhan. Artinya qadimnya alam, materi ruh dan sebagainya
adalah bergantung pada Tuhan.74 Tanpa Tuhan tidak ada qadimnya alam,
tidak ada ruh yang membaur bersama materi dan tidak akan ada kebangkitan
di akhirat
Ibnu Rusyd menyimpulkan bahwa perdebatan huduts dan qidam bukan
perbedaan yang esensial melainkan soal penamaan belaka. Perbedaan hanya
terlihat di permukaan dan tidak dalam hal yang sesungguhnya. Filosof pun
mengakui Tuhan adalah satu-satunya wujud yang mengatur alam dan
seisinya. Adapun anggapan bahwa Tuhan menciptakan melalui substansisubstansi tertentu, Ibnu Rusyd berujar bahwa hal tersebut memang
diindikasikan oleh Allah dalam firmanNya; “Dan Dialah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam hari, dan singgasananya berada di atas air” (QS.
Hud; 7); “Kemudian Dia mengarah menuju ke langit dan langit itu adalah
asap” (QS. Fushilat;
11)
. Dua ayat diatas mengindikasikan bahwa alam ini tersusun dan
diciptakan melalui substansi-substansi tertentu.75
Banyak kalangan menduga bahwa Ibnu Rusyd menolak penciptaan dari
ketiadaan. Meski tidak mengatakan menolak atau mendukung gagasan
tersebut, Ibnu Rusyd mengajukan bahwa tidak ditemukan dalil dalam agama
yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan. Bagi Ibnu
Rusyd sebagaimana filosof, yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah
menjadi “ada” dalam bentuk lain. Dijelaskannya bahwa tidak ada ayat yang
mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada
wujud selain diriNya, dan kemudian baru dijadikan alam.76
Ibnu Rusyd pun meyakini bahwa alam ini benar diciptakan, tetapi alam ini
juga memerlukan tenaga penggerak. Penciptaan sendiri menurut Ibnu Rusyd
adalah penciptaan yang terus menerus dan berkelanjutan, pencipta aktif yang
terus menerus mencipta inilah menurut Ibnu Rusyd yang patut disebut
pencipta, dibanding dengan pencipta yang penciptaannya hanya sekali
dilakukan dan selesai.77
Teori Ibnu Rusyd mengenai penggerak pertama terkait langsung dengan
pemahamannya terhadap sesuatu yang maujud. Maujud adalah eksistensi
yang nyata entah dalam bentuk potensi atau tindakan. Skala wujud tersusun
dari potensi dan aktualitas, materi pertama adalah potensi murni, ia hanya
dapat maujud dalam suatu wujud yang berpadu dengan bentuk. Perubahan
dari potensial menjadi aktual inilah yang disebutnya sangat membutuhkan
Penggerak.78
Akibatnya, selalu ada penggerak yang membuat suatu benda bermaujud
dalam aktualitas. Kadang, ada lebih dari satu sebab penggerak yang
menggerakkan alam ini. Itu sebabnya Ibnu Rusyd membagi sebab tersebut
pada sebab efisien dan sebab penggerak semata. Sebab efisien adalah
Penggerak Pertama yang menggerakkan potensi materi pertama pada bentuk
dan menjadi teraktualisasi. Dan sebab penggerak adalah hukum sebab-akibat
yang menjadi ruh penggerak dalam alam ini. Benda-benda di angkasa
digerakkan oleh sebab penggerak bukan sebab efisien karena mereka tetap
dan tidak berubah. Gerakan yang diciptakan Penggerak Pertama menurut
Ibnu Rusyd adalah digerakkan oleh hasrat bukan penggambaran. Maka, dunia
ini pun bagi Ibnu Rusyd adalah sesuatu yang hidup, ia memiliki jiwa dan
intelegensi.79 Teorinya ini sesungguhnya ditujukan untuk mendukung teori
akal pertama sampai kesepuluhnya para filosof.
Lebih jauh mengenai keabadian alam, Ibnu Rusyd membedakan dua macam
keabadian, keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Penggerak
atau perantara itulah yang menjadi sebab abadinya alam, seperti abadinya
penggerak itu sendiri. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam
menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara, sebab dan perantara
tersebut adalah kuasa Tuhan.80
Masalah kedua yang digugat al-Ghazal? adalah masalah pengetahuan Tuhan
yang tidak mengetahui hal-hal partikular di alam. Dikatakan Ibnu Rusyd ini
adalah kesalahfahaman belaka, karena para filosof tidak beranggapan bahwa
Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Menurut Ibnu Rusyd
penyebab kesalahfahaman ini adalah al-GhazalT dan filosof memaknai
pengetahuan Tuhan sebagaimana pengetahuan manusia.81
Dalam kritiknya Ibnu Rusyd juga menyampaikan ketidaksetujuannya pada
ide-ide al-Farabi dan Ibnu Sina yang menurutnya telah mencampuradukkan
ajaran Aristoteles dan Neo- Platonisme. Sebab, Ibnu Sina mengatakan bahwa
ilmu Tuhan tentang yang detail berdasarkan ilmu universal (kulli), padahal
menurut Ibnu Rusyd, ilmu Tuhan bukan berdasarkan pada ilmu universal,
tetapi adalah ilmu sebab. Karena itu, ilmu kita tidak dapat dianalogikan
dengan ilmu Tuhan. Tuhan mengetahui hal-hal detail dari ciri dan sebabnya,
sedangkan ilmu manusia berdasarkan sebab akibat.82
Bagi Ibnu Rusyd, pengetahuan Tuhan merupakan sebab yang tidak berubah
oleh perubahan yang dialami juziyyah. Tuhan mengetahui apa-apa yang akan
terjadi dan sesuatu yang telah terjadi Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh
waktu yang telah lampau, sekarang dan akan datang. Pengetahuan-Nya
bersifat qadim, yaitu semenjak zaman azali Tuhan mengetahui segala hal-hal
yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya. Meskipun demikian pengetahuan
Tuhan tidak dapat diberi sifat kulliyat (universal) atau juziyyat (partikular).83
Asumsi pembedaan pengetahuan antara manusia dan Tuhan adalah karena
alat pengetahuan manusia tentu saja tidak dapat disandingkan dengan Tuhan.
Manusia mengetahui segala sesuatu diawali dengan panca indera dan panca
indera mengalami keterbatasan dalam melihat segala sesuatu. Panca indera
hanya menangkap sesuatu secara partikular dan memerlukan kondisi untuk
membacanya secara universal, adapun akal hanya mampu melihat sesuatu
secara universal dan memerlukan waktu untuk memahami hal-hal partikular
di dalamnya.84
Pengetahuan manusia merupakan akibat dari segala yang maujud, sedangkan
pengetahuan merupakan sebab dari adanya segala sesuatu. Karenanya
sifatnya temporal, tergantung dari sebab yang diserap oleh indera dan akal.
Sedangkan pengetahuan Tuhan kekal, karena pengetahuan Tuhanlah yang
menyebabkan segala kemaujudan dan bukan kemaujudan yang menyebabkan
Dia mengetahui.
Pemahaman Ibnu Rusyd mengenai pengetahuan didominasi oleh pemikiran
filosofis dan teologis secara bersamaan. Seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu
Rusyd pun mengadopsi ide mengenai jiwa tumbuhan dan hewan dalam diri
manusia. Hewan menerima pengetahuan melalui perasaan dan imajinasi,
sedangkan manusia menggunakan akalnya.85 Pengetahuan partikular
merupakan hasil dari perasaan dan imajinasi sedangkan pengetahuan
universal merupakan hasil kerja akal. Tindakan akal ialah menyerap gagasan,
konsep yang bersifat universal. Akal memiliki tiga kerja dasar:
mengabstraksi, mengkombinasikan dan menilai. Akal tidak sekedar
mengabstraksikan pengertian-pengertian dari materi, tetapi ia juga
mengkombinasikan pengertian-pengertian tersebut dan menilai sebagian dari
mereka, dinilai sebagai benar dan sebagai salah.86 Seperti filosof peripatetis
lainnya, Ibnu Rusyd membagi akal pada teoritis dan praktis. Akal praktis
lazim dimiliki oleh semua orang. Unsur ini merupakan asal daya cipta
manusia, yang diperlukan dan bermanfaat bagi kemaujudannya. Hal-hal yang
dapat diakali secara praktis dihasilkan lewat pengalaman yang didasarkan
pada perasaan dan imajinasi.87 Konsekuensinya, akal praktis dapat rusak
karena kemaujudan hal-hal yang terakali bergantung kepada perasaan dan
imajinasi. Maka mereka berkembang bila persepsi dan gambaran berkembang
dan rusak bila hal-hal ini rusak.
Melalui akal praktisnya manusia mencinta dan membenci, hidup
bermasyarakat dan berteman. Kebajikan adalah hasil akal praktis,
kemaujudan kebajikan tak lebih dari kemaujudan gambaran, yang dari situ
kita menuju tindakan-tindakan yang baik secara benar; seperti, berani pada
tempat dan waktunya serta sesuai dengan ukuran yang benar.
Adapun akal teoritis adalah akal yang kekal, karena hubungannya secara
langsung pada Akal Aktif. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa akal teoritis tidak
berwujud secara bendawi, seperti filosof lainnya, Ibnu Rusyd meyakini
bahwa akal teoritis adalah sebuah potensi yang menjadi aktualitas di dalam
diri manusia. Memiliki sifat seperti ruh (jiwa) dan berhubungan aktif dengan
Akal Aktif atau Jibril.88
Perkembangan akal teoritis berjalan seiring dengan pertumbuhan manusia.
Manusia dapat meraih Akal Aktif dalam kehidupannya kalau dia tumbuh
dewasa. Di masa dewasa ini akal mencapai nilai aktualisasi dirinya. Sehingga
dapat berhubungan langsung dengan Akal Aktif. Namun hubungan ini
bukanlah hubungan mistis seperti yang digaungkan oleh para sufi, melainkan
suatu kerja rasional dari akal, usaha manusia dalam menggunakan alat-alat
epistemologisnya.
Gugatan al-GhazalT selanjutnya adalah pengingkaran terhadap kebangkitan
jasmani di akhirat kelak. Ide filosof ini menurut al-GhazalT bertentangan
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa
manusia akan mengalami perlbagai kenikmatan jasmani di dalam surga, atau
kesengsaraan jasmani di dalam neraka. Ibnu Rusyd sendiri terlihat lebih
menyepakati kebangkitan ruhiah saja, meski dalam beberapa tulisannya Ibnu
Rusyd pun menyepakati kebangkitan jasmani.89
Ibnu Rusyd mengakui bahwa dalam al-Qur'an persoalan akhirat digambarkan
dengan keadaan fisik. Menurut Ibnu Rusyd gambaran ini sangat tepat karena
kan mendorong seseorang untuk berbuat baik sebanyak mungkin di dunia ini.
Oleh sebab itu, sebagian perumpamaan bersifat lahiriah. Disisi lain, terdapat
hadis nabi yang menggambarkan bahwa surga adalah bagian dari hal ghaib.
Sehingga Nabi mengakui bahwa indera dan daya fikir tidak mampu
membayangkan hakikat yang sebenarnya dari surga tersebut. Karena itu yang
paling cocok untuk memisalkannya adalah hal berkaitan dengan dunia lisik.
Artinya
gambaran-gambaran fisik tersebut tak ubah seperti perumpamaan yang
kondisi sebenarnya masih sangat abstrak.90
Karena keabstrakkannya itulah, hal seperti ini tidak perlu diperselisihkan.
Siapapun diizinkan menafsirkannya sebagai kebangkitan ruhiah atau
kebangkitan jasmaniah. Tidak ada yang mengetahui pasti kebenarannya,
intinya setiap manusia akan diminta pertanggungjawaban perbuatannya di
akhirat kelak. Seperti apa apresiasi Tuhan terhadap manusia itu adalah hal
yang masih abstrak.
Tetapi hal abstrak ini bukan hal yang tidak boleh ditafsirkan. Ada kelompok
yang menggiring asumsinya pada hal-hal lahiriah. Tetapi ada kelompok lain
yang menetapkan hal-hal ruhiah sebagai bentuk kebangkitan di akhirat.
Keduanya menggunakan dalil dan alasan-alasan logis untuk memperkuat
pendapatnya, dan karena hal tersebut adalah sesuatu yang abstrak maka sulit
ditemukan mana yang tepat untuk menunjukkan kehidupan pasca kematian
tersebut.91
Yang ingin ditekankan Ibnu Rusyd adalah jika menjelaskan hal ini pada
orang awam sebaiknya digunakan faham al-Ghazali dan teologi Asy'ariyyah
yakni menerangkan bahwa kebangkitan akhirat adalah kebangkitan jasmani.
Ini ditujukan untuk mendorong umat untuk selalu berbuat kebaikan. Adapun
di kalangan filosof gambaran tersebut ditafsirkan menjadi kebangkitan ruhiah
karena mereka beranggapan kesenangan abadi adalah kesenangan ruhiah.
Sehingga perumpamaan- perumpamaan tentang kesenangan harus
menunjukkan sesuatu yang lebih tinggi dan mulia.92
Ibnu Rusyd mengajukan teori ijtihad untuk membela kaum filosof dari
tudingan kafir yang dilontarkan al-GhazalT. Jika para sarjana ini membuat
kesalahan dalam menafsirkan dalam bidang ini maka hal tersebut dapat
dimaafkan karena kesemuanya adalah hasil ijtihad mereka. Jika mereka benar
mereka tentu akan mendapat pahala yang terpenting dalam konteks ini adalah
para filosof mengakui kehidupan setelah mati dan mengakui bahwa pasca
kematian setiap manusia bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya
selama di dunia.
Hal lain yang disorot oleh Ibnu Rusyd dan juga al-Ghazal? adalah hukum
kausalitas dan mu’jizat. Dalam persoalan hukum kausalitas Ibnu Rusyd
sependapat dengan Ibnu Sina yakni peristiwa di alam memiliki hubungan
sebab akibat yang pasti. Sebab, dengan adanya kepastian itu akal dapat
menangkap esensi suatu benda dan memberikan definisi.93 Adapun pendapat
yang mengingkari kepastian hubungan sebab akibat adalah pendapat sofistis.
Benda tidak dapat didefinisikan kalau tidak memiliki ciri-ciri tertentu.
Sesuatu disebut api, karena bersifat membakar, sesuatu disebut air pun karena
sifatnya membasahi. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Rusyd juga mengatakan
bahwa wujud yang baharu memiliki empat sebab, yaitu sebab materi, sebab
bentuk, sebab pembuat dan sebab tujuan. Sebab-sebab inilah yang kemudian
menjadi definisi atau ciri khas tertentu. Dan akal berfungsi melihat ciri-ciri
khas dan batasan-batasan tertentu untuk kemudian didefinisikan dalam termterm tertentu.94
Jadi, pengetahuan tentang akibat bergantung pada sebab. Jika sebab-sebab
tidak diketahui atau sebab itu bersifat kabur, maka tidak ditetapkan suatu
ilmu. Adapun perkataan bahwa hubungan sebab akibat karena kebiasaan (al’adah), bukan suatu kepastian. Ibnu Rusyd mempolemikkan konsep ’adah
yang digunakan al-Ghazali untuk menggambarkan hukum kausalitas dengan
ayat yang menyebutkan; “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan
pada sunnah Allah itu perubahan dan kamu tidak akan mendapatkan pada
sunnah Allah itu pengalihan’’ (QS. 35: 43).
Jika yang dimaksud dengan kebiasaan adalah kebiasaan wujud, maka yang
memiliki kebiasaan itu tidak lain adalah yang memiliki jiwa (makhluk hidup
seperti manusia). Sebab, sesuatu yang tidak memiliki jiwa, seperti benda mati
tidak memiliki kebiasaan tetapi memiliki tabiat. Jika benda mati menetapkan
sesuatu tidak mungkin karena tabiat benda itu tidak aktif.95
Pada manusia sebagai makhluk hidup kebiasaan-kebiasaan itu mengandung
perubahan. Seperti misalnya kebiasaan si fulan untuk melakukan hal ini dan
itu, tetapi pada benda mati, tidak ada perubahan perubahan kebiasaan tersebut
karena sifatnya tetap dan statis. Setiap perubahan akan menghasilkan definisi
yang berbeda dari definisi yang sudah ada.
Pertentangan dalam dunia filsafat adalah pembuat penggerak atau pembuat
pengaturan dalam alam. Sebagian berpendapat bahwa penggerak ini diatur
oleh falak, sebagian lainnya oleh zat yang tidak bermateri. Hal ini dapat
dikembalikan bahwa wujud bukan hanya sesuatu yang menjadi nyata atau
aktual tetapi juga potensial. Maka, penggerak penggerak versi filosof bukan
meniadakan Tuhan atau menyekutukannya melainkan menunjukkan ciptaan
Tuhan yakni penggerak-penggerak tersebut dalam wujud potensial dan
gerakan alam inilah aktualisasinya.
Terkait dengan persoalan ini, Ibnu Rusyd menekankan bahwa pembahasan
mengenai Penggerak Pertama, Penyebab Utama dan sebab-sebab gerak
adalah pembahasan yang dibahas untuk kaum filsafat yang tidak boleh
dibicarakan bersama kaum awam.
Bagi Ibnu Rusyd mu'jizat adalah bagian dari perubahan yang diciptakan oleh
Allah. Ingat, Ibnu Rusyd beranggapan penciptaan adalah pembaharuan secara
terus menerus. Meski, terdapat aturan-aturan dalam hukum kausalitas,
mu'jizat adalah hal yang berada di luar daya nalar manusia. Sehingga
memperdebatkan hal ini adalah kesia-siaan.
Mu’jizat adalah salah satu prinsip agama sedangkan hukum kausalitas adalah
tonggak ilmu. Artinya, dari satu sisi mu’jizat ditujukan untuk memperkuat
keimanan dan di sisi lain hukum kausalitas dianggap menentang mu'jizat.
Seperti halnya ulama Islam lain, Ibnu Rusyd memaknai mu’jizat sebagai
identitas kenabian yang ditujukan untuk melemahkan tuduhan-tuduhan yang
dituding kepada seorang Nabi.96
Identitas kenabian adalah bukti bahwa seseorang diakui sebagai seorang
Nabi. Ibnu Rusyd menganalogkannya dengan sebutan dan anggapan yang
diberikan pada kehebatan seseorang. Jika seseorang memiliki kemampuan
berjalan di atas air, dan yang lain dapat menyembuhkan orang sakit, tentu
yang disebut sebagai dokter adalah orang yang dapat menyembuhkan orang
sakit.97 Meski keduanya memiliki kehebatan namun tidak semua kelebihan
dan kehebatan itu diseragamkan dan diberi identitas yang sama.
Mu'jizat ini adalah identitas atau bukti yang hendak dibawa oleh Nabi. Yang
mendukung risalahnya dan menjadi lambang dari kenabiannya. Dan ini tidak
bisa disandingkan dengan hukum kausalitas, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa
hukum kausalitas dan mu’jizat adalah dua hal yang berbeda yang sama-sama
terjadi di alam ini.98 Konsistensi Ibnu Rusyd mempertahankan hukum
kausalitas adalah untuk menegakkan prinsip ilmiah dan rasional. Lagipula hal
itu juga sudah diisyaratkan oleh al-Qur'an dan tidak bertentangan dengan
agama. Adapun mu’jizat adalah sesuatu yang diluar nalar dan tidak
dilogikakan. Perbedaan dasar ini membuat mu’jizat dan hukum kausalitas
tidak dapat deperdebatkan satu sama lainnya.
Agaknya Ibnu Rusyd menyadari benar bahwa jika hukum kausalitas
diperdebatkan dan dipertentangkan upaya untuk menggali keilmuan dan
rasionalitas akan melemah. Apalagi jika kemudian keilmuan diserahkan
sepenuhnya pada tradisi sufi melalui berkhalwat dan menjauhkan diri dari
dunia. Berkali-kali dalam seluruh kitabnya Ibnu Rusyd menekankan bahwa
setiap ilmu memiliki audiensinya masing-masing. Kalangan awam tidak
sepatutnya diberikan pemahaman-pemahaman filosofis, dan sesuatu yang
filosofis sebaiknya terus digali oleh orang-orang yang diberi kemampuan
oleh Allah dalam mencapai kapasitas keilmuan-Nya.
IKHTISAR
a Al-GhazalT mengajukan teknik epistemologi terbaru dalam dunia filsafat,
yakni teknik intuisi. Sebuah upaya menggabungkan konsep filsafat dan
tasawwuf b Kritik al-GhazalT secara umum ditujukan untuk mengurangi
dominasi akal dalam pencarian kebenaran. Kritik al-GhazalT secara umum
dilandaskan pada konsep-konsep syari’at. Penolakannya ditujukan pada
masalah eternalitas alam, pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular dan
kebangkitan jasad di hari akhir, c Eternalitas alam, pengetahuan Tuhan
terhadap partikular dan kebangkitan jasad di akhirat dituding al-Ghazali
menolak konsep- konsep syari’at dan menolak kehendak bebas Tuhan, d Ibnu
Rusyd mengajukan sanggahan terhadap teori-teori yang disampaikan alGhazali atas dasar pengaruh ide-ide al-GhazSli yang kemudian dianggap
mendiskreditkan filsafat e Teori-teori Ibnu Rusyd yang ditujukan untuk
menyanggah al-Ghazali sesungguhnya ditujukan untuk membela pemikiran
rasional bukan untuk membela para filosof karena Ibnu Rusyd sendiri
mengkritik pendapat-pendapat para filosof f Inti utama dari pemikiran Ibnu
Rusyd adalah bahwa filsafat bukan konsumsi orang awam. Filsafat adalah
bagian dari keilmuan yang hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki
kapasitas secara ’aqli di dalamnya.
1
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj., Epilog oleh Sulayman Dunya,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hal. 23
2
Disimpulkan dari tulisan Seyyed Hossein Nasr pada pendahuluan
editingnya, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of
Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 15-25
3
Usman Amin, Syakhsiyyah wa Madzahib al-Falsafah, (Kairo, alHallabi, tth.), hal. 71
4
Usman, Syakhsiyyah wa ..., hal. 72
5
Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, (Kairo, al-Matba’ah alIslamiyyah, 1977), hal. 21-22
6
Usman, Syakhsiyyah wa hal. 72-73
7
Massimo Campanini, al-Ghazali, dalam Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan
Media Utama, 2003), hal. 319
8
Al-Ghazali, al-Munqidz ..., hal. 35-37
9
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy; second edition, (New
York & London, Columbia University Presss, 1970), hal. 250
10
Fakhry, A History ..., hal. 251
11
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
1999), hal. 84
12
Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran dalam Filsafat Islam, (Jakarta,
UIN Jakarta Press, 2004), hal. 45
13
Massimo Campanini, al-Ghazali, History ..., hal. 324
14
Amsal, Pergulatan
....
hal.
28-29
15
Amsal, Pergulatan
....
hal.
29
16
Yang dimaksud dengan argumentatif, adalah mengargumentasikan
ide- idenya setelah menampilkan hal-hal yang dikritiknya. Argumentasi ini
didasarkan pada metode solo-dialogis, yakni mendialogkan ide-idenya
dengan ide para filosof.
17
Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 84-85
18
Amsal, Pergulatan
...,
hal.
48-49
19
Amsal, Pergulatan
....
hal.
49
20
Amsal, Pergulatan
...,
hal.
60
21
Amsal, Pergulatan
...,
hal.
61
22
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta, UI Press, 1986), hal. 46
23
Amsal, Pergulatan ..., hal. 65
24
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Kairo, Dar al-Ma’arif, tth.,), hal.
283
25
Firman Allah yang menjadi landasan pemikiran al-Ghazfili adalah
AlQur’an surat al-Imran ayat 169
26
Al-GhazalT, Tahafut ..., hal. 296-298
27
Al-GhazalT, Tahafut ..., hal. 305
28
Amsal, Pergulatan ..., hal. 71
29
Al-GhazalT, Tahafut ..., Sulayman Dunya dalam Kata Pengantar, hal.
35
30
Ide-ide al-Ghazali memiliki kedekatan konsep dan makna dengan
teologi Asy’ariyah, al-Ghazali mengakui ayat-ayat antromorphisme namun
hanya sekedar untuk diimani bukan untuk ditakwil dan ditafsirkan.
31
Al-GhazalT, al-Munqidz hal. 3
32
Al-GhazalT, al-Munqidz ..., hal. 4-5
33
Amsal, Pergulatan ..., hal. 25
34
Amsal, Pergulatan hal. 25-26
35
Amsal, Pergulatan ..., hal. 26-28
36
Amsal, Pergulatan ..., hal. 31-32
37
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazali, (Jakarta,
Rajawali Press, 1988), hal. 42
3* Teori al-GhazalT ini menjadi cikal bakal epistemology ilmu hudhuri,
yakni ilmu yang diberikan oleh Allah bukan ilmu yang diusahakan. Ilmu
hudhuri inilah yang kemudian dikembangkan Ibnu ‘Arabi, Suhrawardi dan
Mulia Shadra. Jika dalam dunia peripatetic ilmu adalah sesuatu yang
diupayakan, disebut ilmu hushuli dalam tradisi mistis disebut dengan ilmu
hudhuri.
''' Amsal, Pergulatan ..., hal. 33
40
Massimo
Campanini, al-Ghazali, History ..., hal. 326
41
Massimo
Campanini, al-Ghazali, History hal.
326
42
Massimo
Campanini, al-Ghazali, History ..., hal. 326
41
Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, dalam Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver
Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mi/an Media
Utama, 2003), hal. 414-415
44 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 415
1 Amsal, Pergulatan ..., hal. 101-102
4,1 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj.. Para Filosof
Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 201
" Upayanya mengomentari ajaran-ajaran Aristoteles yang dipelajari orangorang Latin melalui terjemahan yang dilakukan kaum muslim Spanyol
melahirkan pemikiran skolastik Latin. Terdapat kecenderungan NeoPlatonisme dalam ide-ide skolastik latin kemudian, ini terlihat dari ajaran
Siger van Brabant, Berner van Nijvel dan Boethius de Dacia. Tetapi
pengaruh Ibnu Rusyd terhadap skolastik latin adalah di bidang psikologi.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak saja akal yang aktif, tetapi juga akal
yang receptive itu bagi semua orang adalah sama dan satu yaitu berupa
“intelegensi bulan”. Lih. A. Epping O.F.M dkk., Filsafat Ensie Erste
Nederlandse Systematisch Ingerichte Encyclopaedide, (Bandung, Jemmars,
1983), hal. 160-161
48
Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 114
49
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1975), hal. 62
50
Dominique
Urvoy, Ibnu Rusyd, History
...,
hal.
419-420
51
Dominique
Urvoy, Ibnu Rusyd, History
...,
hal.
420
52
Dominique
Urvoy, Ibnu Rusyd, History
...,
hal.
419
53
Badri Yatim mencatat konflik dengan Kristen adalah penyebab
kemunduran dan kehancuran kekuasaan Islam di Spanyol disamping unsurunsur internal dan eksternal lainnya. Lih. Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 107108
54
Dominique
Urvoy, Ibnu Rusyd, History
hal.
417
55
Dominique
Urvoy, Ibnu Rusyd, History
...,
hal.
417
56
M.M. Syarif, ed., History of...,
hal. 204
57
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah wa
al-Syari
’ah
min al-Ittishal, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus,
1993), hal.
4
58
Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1991), hal. 201
59
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 10-11
60
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 13-14
61
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 18
62
M.M. Syarif, ed., History ofhal. 206
63
Ibnu Rusyd, Fashl
al-Maqal ..., hal.
21-22
64
Amsal, Pergulatan
..., hal. 114
65
Amsal, Pergulatan
..., hal. 114
66
Ibnu Rusyd, Tahafut
..., hal. 8-9
67
Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 82
68
Ibnu Rusyd, Tahafut
..., hal. 18
69
Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN
Jakarta Press, tth), hal. 83
70
Ibnu Rusyd, Tahafut
..., hal. 16
71
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal
..., hal. 32
72
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 33
73
Ibnu Rusyd, Fashl
al-Maqal ..., hal.
34
74
Ibnu Rusyd, Fashl
al-Maqal ..., hal.
35
75
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 36-37
76
T. J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York, Dovei
Publications, tth), hal. 260
77
Hasyimsyah, Filsafat hal. 122-123
78
M.M. Syarif, ed.,
History ofhal. 229
79
M.M. Syarif, ed.,
History of..., hal.
230-231
80
Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 123
81
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 29-30
82
Amsal, Pergulatan .... hal. 139-140
83
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 29-30
84
Amsal, Pergulatan ..., hal. 141
85
M.M. Syarif, ed.,
History ofhal. 214-215
86
M.M. Syarif, ed.,
History of..., hal.
216
87
M.M. Syarif, ed.,
History of..., hal.
217
88
M.M. Syarif, ed.,
History of.... hal.
217
89
Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 125
90
Amsal, Pergulatan hal. 148-149
91
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 50-51
92
Hasyimsah, Filsafat ..., hal. 126
93
Amsal, Pergulatan ..., hal. 157
94
M.M. Syarif, ed., History ofhal. 215
95
Amsal, Pergulatan .... hal. 159
96
Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 228
97
Amsal, Pergulatan ..., hal. 164
98
Poerwantana, Seluk Beluk hal. 229
BAB 5
FILSAFAT DAN TRADISI MISTIS
C
ejak perbenturan intelektualitas antara al-Ghazali dan filosof Islam yang
kemudian coba dicounter oleh Ibnu Rusyd, filsafat Islam disebut-sebut
mengalami masa kebuntuan. Setelah masa Ibnu Rusyd, bangsa mongol
menginvasi khilafah Islam, dan sampai saat itu dunia Islam hanya
menghasilkan komentator-komentator belaka tanpa ide-ide kreatif dan
orisinal. Keyakinan ini bila diarahkan ke dunia sunni, agaknya dapat
dibenarkan karena perlu diakui, di dunia sunni pemikiran Islam mengalami
stagnasi, dan ini diduga karena pengaruh kuat al-Ghazali yang menekankan
pencarian kebenaran dan pengetahuan dengan intuisi dan tidak dengan akal.
Gerakan intuisi memiliki tempat yang sangat baik dalam tradisi sufisme atau
dalam mistisisme Islam.
Konsep intuitif ini sebenarnya telah direspon dengan baik oleh Ibnu Thufail
dan Ibnu Rusyd, meski mereka juga tetap berkeyakinan bahwa fungsi akal
masih mendominasi pencarian kebenaran. Sayang, metode al-Ghazali yang
menekankan pencarian kebenaran dengan tasawwuf, dimana metode intuitif
digunakan jauh lebih dominan dari akal. Akibatnya secara perlahan filsafat di
dunia Sunni khususnya menjadi tidak popular. Hebatnya, di dunia Syi’ah,
muncul imperium filsafat Islam yang berusaha mewacanakan penyatuan hasil
pencarian intuitif dan rasionalitas ‘aqli. Yakni dengan menyatukan metode
filsafat dengan metode sufisme, dilakukan oleh teosof-teosof Persia semisal
Syihab al- Din Suhrawardi (1153-1191), Nasir al-Din al-Thusi (w. 1274),
Ibnu Turkah (w. 1432), Baha al-Din al-Amili (w. 1622), Mir Damad (w.
1631) dan Mulia Sadra (1571-1640).
Imperium intelektualisme Syi’ah yang mencapai puncaknya setelah tokohtokoh tersebut berhasil mengawinkan berbagai aliran tradisi dalam sistem
filsafatnya, yang pada dasarnya dirintis oleh Syihab al-Din al-Suhrawardi.
Tokoh inilah yang pertama kali secara terbuka mengajarkan filsafat
esoteriknya, meski di zamannya ide-ide ini sempat menimbulkan fitnah dan
berujung pada eksekusi kematian bagi Suhrawardi, namun pasca
kematiannya, ajaran ini diakui kebenarannyadan mendapatkan tempat yang
cukup baik dalam perkembangan Islam.
Pengembangan kolaborasi filsafat dan sufisme berhasil dirangkum dengan
cermat juga oleh Ibnu ‘Arabi, seorang Sunni. Dan dari ide-idenya aliran
‘irfani muncul sebagai aliran dalam filsafat Islam. Sebenarnya pertalian
antara filsafat dan mistisisme (secara umum tidak hanya Islam) ini dikatakan
Hossein Nasr telah terjadi selama berabad- abad, bahkan sebelum kelahiran
al-Ghazali itu sendiri. Dan dalam konteks-konteks sufisme yang
menganjurkan ‘uzlah dan sikap menghindari kenikmatan dunia juga
dilakukan oleh filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Uniknya,
semenjak Barat memutuskan untuk mengagungkan empirisme dan data
ilmiah, sufisme semakin kuat berkembang dalam dunia Islam. Yang sisi
negatifnya, membuat umat Islam terbuai dengan konsep esoterik dan
melepaskan cara kerja akal dalam pencarian kebenaran, sayangnya, umat
Islam tidak mempersiapkan perangkat untuk membangun konsep esoterik ini
dengan tanpa melupakan eksistensi akal. Akibatnya, umat muslim terbuai
dengan konsep esoterik ini, yang secara perlahan memandulkan akal,
menggiring pada kemunduran ilmu pengetahuan, menyerahkannya dengan
sukarela pada Barat.
Konsep esoterik atau bathini ini jika dapat dipahami dan disandingkan
dengan filsafat sesungguhnya dapat menjadi suatu pencapaian kebenaran
yang komperhensif dan menyeluruh. Keterpaduan inilah yang ditawarkan
Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi, yang melahirkan dua aliran baru, illuminasionis
dan ‘irfani. Yang kemudian karena kevakuman ide di kalangan Sunni,
seorang Syi’i, Mulia Shadra mencoba mengembangkan pemikiran filosofis
dari dua aliran ini.
A.
SUHRAWARDI AL-MAQTUL
Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu al-Futuh Suhrawardi
sangat masyhur dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru Iluminasi (Syaikh
al-lsyraq), suatu aliran baru yang berkembang setelah peripatetik. Lahir di
Suhraward, Persia -sekarang Iran- pada tahun 549 H/1191 M, dalam usia
muda, Suhrawardi telah belajar filsafat dan teologi pada Majd al-Din al-Jili di
Maraghah dan kemudian diteruskannya ke Isfahan, belajar pada Fakhr al-Din
al-Mardini dan Zhahir al-Farsi, seorang logikawan ternama. Suhrawardi patut
dianggap sebagai the right man in the right time, sebab karya iluminasinya
lahir di tengah- tengah lingkungan yang kondusif. Dari segi pemikiran, karya
ini muncul pada akhir fase pertama perkembangan kebudayaan Islam, ketika
filsafat Islam mencapai tahap kematangannya di tangan Ibnu Rusyd,
tasawwuf di tangan Ibnu ‘Arabi (1165-1240), ilmu kalam di tangan al-'ljli (w.
1355) dan Ushul Fiqh di tangan al-Syatibi (w. 1388). Jadi, Suhrawardi
muncul setelah matangnya pemilahan metode antara penalaran diskursif dan
intuisi.
Sayang, usianya tak panjang, Suhrawardi meninggal saat usianya baru
menginjak 35 tahun, tuduhan bahwa ia adalah penyebar aliran sesat yang
disebarkan ulama Suriah saat itu membuatnya dijatuhi hukuman mati. Itu
sebabnya mengapa ia dikenal dengan Suhrawardi al-Maqtul, al-Maqtul
adalah yang terbunuh atau yang telah dieksekusi. Tetapi, meski ia wafat di
usia muda, pemikirannya jauh melampaui usianya. Tulisan dan ide-idenya
yang termaktub dalam kitab Hikmah al- lsyraq menjadi fenomena yang tidak
tergantikan, kitab ini telah mendapat banyak komentar dari murid-muridnya
seperti al-Sahrazuri dan Quthb al-Din al-Syirazi atau simpatisannya seperti
Ibnu Kammunah, seorang filosof Yahudi. Suhrawardi sendiri adalah penulis
produktif yang banyak menulis banyak karya tentang hampir semua pokok
persoalan filsafat, termasuk, untuk pertama kali dalam sejarah filsafat Islam,
sejumlah narasi simbolik filosofis Persia.
Namun, teks-teks yang terpenting dalam filsafat iluminasi adalah; alTaiwihat, al-Muqawamat, al-Masyari’ wa al-Mutarahat dan Hikmah allsyraq. Selain tulisan-tulisan ini, Suhrawardi pun memiliki kumpulan karya
yang berupa do’a-do'a dan zikir-zikir yang terkait dengan peribadatan dan
ketaatan. Dalam do’a-do’anya, Suhrawardi menggunakan bahasa sastra dan
simbolik yang amat kaya, misalnya saja, Suhrawardi menyebut “Matahari
Langit yang Agung” dan menyebut- nyebut otoritas “Wujud Bercahaya
Agung", sebagai simbol Tuhan, yang kepadanya ia memohon diberi
pengetahuan dan keselamatan. Sayang, upaya simbolisme dalam do’a-do’a
pendeknya dituding sejumlah sarjana pada saat itu sebagai upaya
menyebarkan kembali pemujaan Persia kuno kepada benda-benda astronomis
bercahaya seperti matahari.
Filsafat Suhrawardi sebenarnya adalah sebuah upaya memadukan filsafat dan
tasawwuf, yang ia sebut dengan isyraq (illuminasi). Ide filosofisnya ini
kemudian menjadi salah satu aliran filsafat Islam, yang berbeda
karakteristiknya dengan aliran peripatetis yang lebih menekankan penalaran
rasional sebagai metode berfikir dan pencarian kebenaran, filsafat
illuminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode
intuitif sebagai pendamping atau bahkan menjadi dasar bagi penalaran
rasional. Bagi Suhrawardi pencari kebenaran terdiri dari tiga kelompok; 1).
Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam yakni para sufi,
tetapi tidak mampu mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif; 2).
Mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki
pengalaman mistik, yang dalam hal ini dapat berperan sebagai hubungan
langsung dengan realitas sejati, seperti yang terjadi pada para filosof
peripatetik dan 3). Mereka yang memiliki kemampuan poin 1 dan 2.
Pengalaman mistik adalah pengalaman langsung melihat realitas sejati,
karena dalam pengalaman mistik seperti itu “objek" yang diteliti telah “hadir”
pada diri seseorang, sehingga modus pengenalan seperti ini sering disebut
dengan “ilmu hudhuri”. Arti dari pengalaman mistik bagi seorang pencari
kebenaran adalah bahwa melalui pengalaman tersebut seseorang dapat
menyaksikan kebenaran (al Haqq), yang penyaksian tersebut takkan bisa
terjadi dengan pendekatan apapun baik indera maupun akal. Ketika salah
seorang muridnya bertanya pada Suhrawardi apakah kitab Hikmah al-lsyraq
adalah karya mistik atau filsafat, Suhrawardi menjawabnya bahwa Hikmah
al-lsyraq adalah kitab filsafat yang didasarkan pada pengalaman mistik
Dalam penjelasan filsafatnya, Suhrawardi adalah sastrawan terbaik, dia
mengungkapkan berbagai istilah dengan pengungkapan pengungkapan sastra.
Misalnya saja, dia mengungkapkan Barzakh sebagai ungkapan pemisah
antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan dan bukan berkaitan dengan
soal kematian. Suhrawardi juga menggunakan kata Timur (Masyriq) -tempat
terbitnya matahari untuk menggambarkan dunia cahaya atau dunia malaikat
yang bebas dari kegelapan dan materi, dan kata Barat (Maghrib) adalah dunia
kegelapan atau materi. Selain itu, Suhrawardi dalam filsafat illuminasinya
menyebutkan sumber dan hasil illuminasi dengan istilah Nur (cahaya). Istilah
cahaya dan gelap ini adalah ciri khas dari filsafat Suhrawardi, bahkan ia
menyebut Tuhan dengan Nur al-Anwar, Cahaya dari segala cahaya.
Ungkapan Nur al-Anwar sebagai analogi sifat sejati Tuhan sebagai cahaya
dan sumber bagi cahaya lainnya. Juga dengan ungkapan al-Ghani, dilihat dari
segi kemandirian-Nya yang absolut dari alam, sedangkan alam sendiri
disebut dengan al-Fakir, karena ketergantungannya dengan Tuhan. Karena
kemampuan membahasakan sesuatu dengan sastra yang sangat baik,
Suhrawardi juga dikenal dengan penulis bercorak alegori dan simbolikal.
1.
Filsafat Illuminasi Suhrawardi Epistemologi
Suhrawardi sebagaimana telah diterangkan sebelumnya adalah orang yang
berhasil memadukan dua metode epistemologis yakni penalaran diskursif dan
zauqi. Metode penalaran diskursif adalah metode yang digunakan oleh
Mutakallim dan filosof sedangkan yang kedua dilakukan oleh para sufi.
Kedatangan Suhrawardi seakan-akan mengobati kejenuhan para filosof
muslim terhadap metode peripatetic yang ketika itu mulai meredup dan
kehilangan gaungnya. Melalui konsep filsafatnya, Suhrawardi menuangkan
ide isyraqiyyah. Isyraqiyyah merupakan kata yang multi arti, pertama
ditujukan untuk menggambarkan ilmu khuduri yakni pencapaian
pengetahuan tentang suatu objek tanpa objek tersebut digambarkan di dalam
akal, la mempunyai objek immanen yang menyebabkannya menjadi
pengetahuan tanpa membutuhkan objek yang transitif. la hadir dengan
sendirinya melalui bimbingan intuitif cahaya keilahian.
Isyraq dalam bahasa Arab berarti “pencahayaan" dan masyriq berarti “timur”.
Kesatuan antara “cahaya" dan “timur” dalam Hikmah lsyraqiyyah berkaitan
dengan simbolisme matahari yang terbit di timur dan mencahayai segala
sesuatu, cahaya diidentifikasi dengan gnosis dan illuminasi. Dengan
demikian isyraqiyyah dipahami sebagai ketimuran dan illuminatif, ia
memancar karena ia berada di timur, dan ia berada di timur karena ia
memancar. Isyraqiyyah adalah pengetahuan melalui pencahayaan di mana
manusia dapat menyesuaikan dirinya di dunia wujud semesta, tidak masalah
di mana pun ia hidup secara geografis, akhirnya ia menyadari bahwa timur
adalah tempat kediaman azali, sementara bayangan, kegelapan dan
kesuraman hidup manusia terdapat di barat.
Epistemologi Suhrawardi dibangun dari konsep esensialisme, dimana
baginya esensi adalah yang prinsipil dan bukan eksistensi. Untuk menguatkan
argumentasinya, Suhrawardi bertanya pada kaum eksistensialis, apa yang
dimaksud dengan wujud. Nah, ketika orang itu menjawab apa itu wujud, ia
mengatakan apa yang dipahaminya tentang wujud tersebut pada hakikatnya
bukanlah wujud, tetapi esensi, yaitu esensi wujud.
Namun, karena setiap realitas adalah sesuatu yang tersusun dari partikelpartikel yang terpisah yang ada kalanya sederhana dan simpel dan ada
kalanya bersifat majemuk, rumit dan kompleks. Esensi yang diketahui oleh
akal adalah pengetahuan yang didapati dari esensi general, misalnya saja
pada binatang, kita melihat esensi keseluruhannya adalah binatang rusa,
tetapi sebenarnya rusa tersebut adalah tersusun dari organ- organ tubuh dan
nyawa. Dimana bagian-bagian yang menjadi ciri seekor rusa yang terpisah-
pisah seperti nyawanya, bentuk kakinya, dan lainnya adalah esensi spesifik
karena terjadi secara perse.
Suatu makna spesifik yang dilekatkan pada objek, dapat beriringan dengan
sifat-sifat spesifik lainnya. Misalnya sifat “bersiap-siap berfikir” pada objek
manusia, bisa beriringan dengan makna spesifik lain seperti “kelelakian".
Tetapi sesuatu yang spesifik atau esensi spesifik harus dibedakan dengan
aksiden-aksiden yang melekat pada objek Aksiden-aksiden yang melekat ini
bisa jadi adalah sesuatu yang terpisah, yang hanya melekat dalam kondisikondisi tertentu. Misalnya; tertawa dan menangis, kedua sifat ini adalah
aksiden yang terpisah yang hanya terjadi berdasarkan kondisi tertentu saja.
Selain aksiden yang terpisah, setiap realitas pun memiliki aksiden yang
permanen. Aksiden permanen ini dapat dianggap sempurna, bila
hubungannya dengan realitas tersebut bersifat pasti, seperti hubungan antara
“tiga sudut" dan bentuk “segitiga”. Aksiden ini tidak mungkin bisa
dihilangkan karena seseorang tidak mungkin merekayasa kenyataan bahwa
bentuk segitiga selalu memiliki tiga sudut; sebab bila ini terjadi, maka ada
kemungkinan ganda untuk menyertakan atau tidak menyertakan aksiden
tersebut dalam “realitas" bentuk segitiga. Kemungkinan semacam ini bisa
menyebabkan bentuk segitiga ada tanpa tiga sudut dan ini mustahil.
Untuk dapat mengetahui aksiden apa saja yang secara primer dalam
esensinya, anda dapat mencoba memandangi realitas tersebut secara an sich,
dan mengabaikan segala pengaruh eksternal di luar realitas tersebut. Pada
tahap selanjutnya, akan diketahui bahwa aksiden yang mustahil terlepas dari
realitas, yang mengikuti laju eksistensinya, muncul dan mengada karena
realitas itu. Salah satu tanda permanensi aksiden itu adalah bahwa
rasionalisasinya mendahului rasionalisasi atas keseluruhan realitas dan ia
punya “peluang” merealisasikan keseluruhan realitas. Suatu bagian kecil
aksiden yang menjadi karakteristik suatu benda seperti sifat “kebinatangan"
dalam diri manusia dan semacamnya, dikatakan Suhrawardi, telah
diistilahkan para pengikut Peripatetik sebagai “esensialis" (zati) dan
diistilahkan Suhrawardi dengan “aksiden yang primer” (ma yajibu).
Sedangkan sifat non-permanen, prioritas rasionalisasinya terjadi agak lambat
dibanding realitas dan tidak memiliki peluang merealisasikan realitas. Sifat
aksidental kadang kala lebih general dari pada realitas, seperti aktivitas
“berjalan” atau “tertawa”. Dua sifat ini adalah sifat yang tidak hanya terjadi
pada manusia, binatang kemungkinan dapat melakukan itu, dan tanpa aksiden
“tertawa" sekalipun, manusia tetaplah manusia.
Namun komponen yang paling jelas dari epistemologi illuminasionis
Suhrawardi, adalah bagaimana ia mematahkan argumen- argumen
peripatetik, dalam hal ini filosof muslim dan para filosof Yunani. Dimana
Suhrawardi berusaha menolak dominasi akal dalam pencarian pengetahuan,
fakta bahwa ia merumuskan kembali masalah-masalah filsafat, menolak
sebagian atau memperbaiki sebagian lainnya merupakan indikasi akan tujuan
filsafatnya sendiri. Dimana modus intuisi adalah keunggulan pencarian
pengetahuan, dan simbolisasi “cahaya" adalah penjelasan yang diberikannya
untuk menggambarkan intuisi.
Itu sebabnya, Suhrawardi menekankan makna “esensi” dari pada eksistensi
karena mengetahui “esensi” adalah dengan instuisi dan mengetahui
“eksistensi" adalah dengan rasionalitas.dan menyebut sifat-sifat yang
mencirikan esensi sebagai aksiden, sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya.
Untuk memahami bagaimana illuminasi dapat berhubungan erat dengan
modus intuisi Suhrawardi, digunakanlah cahaya sebagai metafornya.
Tampaknya, simbolisme cahaya adalah deskripsi yang tepat, dan lebih mudah
difahami. Karena cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda
meskipun esensinya sama. Dan juga dianggap lebih dapat diterima untuk
membahas “kedekatan” dan “kejauhan” dari sumber sebagai indikasi akan
derajat kesempurnaan. Simbolisme yang juga diterapkan pada keutamaan
epistemologis tindakan intuisi, yang mengajukan, sebagai aksioma pertama,
pemikiran bahwa pengetahuan jiwa (ruh) tentang diri sendirinya sebagai
entitas cahaya merupakan landasan dan titik tolak pengetahuan.
Pengetahuan ini diibaratkan cahaya abstrak yang berasal dari sumber cahaya.
Dimana sumber cahaya memancarkan cahayanya, dan cahaya itu merambat
dengan sendirinya begitu memancar dari sumbernya, dan tidak dipancarkan
secara sengaja serta tidak dipancarkan secara terputus-putus. Ini berarti
bahwa semua entitas cahaya diperoleh atau berasal dari sumbernya bukan
dalam waktu, melainkan dalam suatu saat nirselang ketika sumber bercahaya,
kapan saja terjadi.
Modus ini membuktikan dengan tegas bagaimana intuisi berperan dalam
pengetahuan dan tidak melalui kerja akal. Pertama, Suhrawardi mengkritik
teori definisi peripatetik, yang juga merupakan cara kerja peripatetis yang
banyak didominasi akal. Dalam peripatetik, sesuatu yang didefinisikan dilihat
dari posisi premis sebagai langkah pertama dalam melakukan pembuktian,
misalnya saja ketika mendefinisikan “manusia"; seorang peripatetik melihat
manusia dari sifat-sifatnya dan menentukan manusia dalam satu jenis
berdasarkan kesamaan dengan makhluk lain. Sehingga kemudian
disimpulkan bahwa manusia sejenis dengan hewan, lalu dilakukan perbedaan
dari kesatuan jenis itu, untuk membedakan manusia dari jenis lainnya, dan
perbedaannya adalah karena manusia dianugerahi akal untuk berfikir.
Sehingga manusia didefinisikan dengan “hewan yang berfikir"; hayawan
nathiq.
Artinya, dalam peripatetik mendefinisikan adalah merumuskan sesuatu yang
menunjukkan esensi dan menggabungkan segenap unsur penyusunnya yang
dalam realitas-realitas prinsipal, rumusan itu adalah sintesis dari genus-genus
dan diferensia-diferensia mereka. Sedangkan menurut illuminasionis, semua
unsur pembentuk sesuatu itu harus masuk dalam rumusan tersebut, suatu
persyaratan yang tidak ditetapkan secara khusus oleh rumusan peripatetik. Ini
berarti, menurut pandangan illuminasionis, sesuatu tidak dapat didefinisikan
begitu saja dengan hanya melihat jenis-jenis dan diferensianya.
Suhrawardi menyebutkan bahwa untuk dapat memperoleh definisi jika
seseorang telah melihat hal-hal yang tampak atau yang dapat diindera dengan
cara berhubungan secara khusus dengan jumlah total hal-hal yang tampak
dan yang dapat diindera sebagai suatu keseluruhan organik. Pandangan
Suhrawardi menegaskan bahwa untuk mengetahui sesuatu melalui esensialesensialnya, seseorang harus dapat memerikan masing-masing esensial dari
sesuatu itu, yang secara eksplisit dituturkan Suhrawardi bahwa mengetahui
jumlah total hal-hal yang esensial dengan metode pemerian pun adalah hal
yang mustahil. Akhirnya, Suhrawardi menyimpulkan bahwa unsur-unsur
pembentuk sesuatu tidak dapat dipisahkan dari sesuatu itu sendiri, baik secara
“hakiki” maupun secara “fikiran”. Oleh karena itu, suatu definisi esensialis
tidak dapat dikonstruksi, karena akan mensyaratkan pemisahan unsur-unsur
pembentuk sesuatu ke dalam genus dan diferensia, tetapi mendefinisikan
adalah menggambarkan sesuatu sebagaimana yang dilihat, yang kemudian
ditentukan realitasnya.
Maka, mendefinisikan dalam illuminasionis adalah menggambarkan sesuatu
apa adanya seperti yang “dilihat”, oleh karenanya teori Suhrawardi pada
dasarnya eksperinsial. la didasarkan pada perolehan pengetahuan langsung
tentang sesuatu yang riil dan yang lebih dahulu ada, yang disamakan dengan
“cahaya”. Cahaya adalah definisi yang menjelaskan dirinya sendiri, dan kita
tidak bisa mendefinisikan cahaya meski kita telah melihat dan
mengetahuinya, tetapi karena cahaya adalah sesuatu yang telah jelas dengan
sendirinya. Sebab tidak ada yang lebih jelas dari pada cahaya, melebihi
sesuatu yang lain, sehingga cahaya tidak membutuhkan definisi.
Melalui simbolisme cahaya, pengetahuan iluminasionis yang secara umum
dikenal dengan “pengetahuan dengan kehadiran (al-'ilm al-hudhuri)" turut
dielaborasi Suhrawardi. Seperti cahaya yang mampu menelisik ke relungrelung kegelapan terdalam, pengetahuan bagi Suhrawardi sebelum mencapai
akal adalah sesuatu yang berhubungan dengan intuisi, pengetahuan itu
terasakan, terinderai dalam intuisi, akal bekerja setelah intuisi bekerja. Oleh
karenanya pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan dihadirkan dalam
intuisi. Maka paradigma Illuminasionis bergantung pada pengalaman yang
dirasakan manusia, sebuah ide dan pengetahuan jiwa seperti yang
diterangkan Ibnu Sina.
Disebabkan pengetahuan itu dihadirkan, tidak berarti kemudian pengetahuan
adalah sesuatu yang tidak diusahakan. Teori intensitas cahaya, yang
menunjukkan kedekatan dan kejauhan adalah bukti bahwa pengetahuan
adalah sesuatu yang juga mesti diupayakan. Artinya, kita sendiri perlu
memberikan ruang agar cahaya tersebut dapat dengan mudah menelisik ke
dalam dan tidak membiarkannya menjadi gelap. Disinilah kemudian
Suhrawardi menjelaskan tiga tahap yang menggarap persoalan pengetahuan,
yang diikuti oleh tahap keempat yang memaparkan pengalaman.
Tahap pertama, ditandai dengan kegiatan persiapan pada diri filosof, yakni
dengan menghindari kehidupan dunia agar mudah menerima “pengalaman".
Tahap kedua adalah tahap illuminasi (pencerahan), ketika filosof mencapai
visi (melihat) cahaya Ilahi. Tahap ketiga atau tahap konstruksi yang ditandai
dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas, yakni
pengetahuan illuminasionis dan tahap keempat adalah pendokumentasian,
atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang.
Empat tahapan tersebut adalah penggabungan cara kerja filosof dan
mistisisme Islam atau tasawwuf. Dimana tahap pertama merupakan bagian
dari maqam yang juga dilakukan oleh sufi dan filosof, tahap ini menggiring
langkah selanjutnya pada tahap kedua. Karena di tahap pertama, seseorang
yang telah menjauhkan diri dari dunia, membersihkan diri dari hal-hal yang
berindikasi kegelapan sehingga cahaya Ilahi dapat memasuki wujud manusia.
Hingga kemudian cahaya ini membentuk serangkaian cahaya yang berfungsi
sebagai pondasi ilmu sejati. Tahap ketiga adalah tahap mengonstruksi suatu
ilmu yang benar. Dalam tahap ini, digunakan analisis diskursif, pengalaman
diuji coba dan diterapkan digali kebenarannya dan dipastikan keabsahannya.
Setelah diketahui keabsahannya ini, lalu didemonstrasikan pada manusia
lainnya dan ini adalah tahap keempat.
Pengetahuan esensialistik adalah modus pengetahuan yang tidak pernah
berubah, karena tidak adanya perubahan objek-objeknya, mengingat
perubahan pada suatu pengetahuan mengikuti perubahan pada objek
pengamatan, sehingga jika objeknya tidak berubah, pengetahuan tersebut
tidak berubah. Objek-objek ini antara lain adalah Sang Pencipta, Intelek,
jiwa-jiwa, bintang kosmik dan seluruh universalia dari unsur-unsur elementer
dan esensi-esensi terstruktur. Pengetahuan esensialistik ini juga merupakan
pengetahuan-pengetahuan teoritis, seperti juga pengetahuan spekulatif yang
didasarkan pada akal.
Tetapi, pengetahuan-pengetahuan teoritis menurut Suhrawardi harus
didasarkan pada pengalaman intuitif atau pengalaman mistik.
Yakni pengalaman langsung melihat realitas sejati, sehingga “objek"
penelitian “hadir” pada diri seseorang, sehingga modus ini disebut “ilmu
hudhuri" yang kemudian dibedakan dengan “ilmu hushuli", di mana objek
penelitian diperoleh tidak secara langsung, melainkan melalui sebuah
representasi, baik itu berupa simbol atau konsep. Kelebihan epistemologi
Suhrawardi inilah yang menjadi kelebihan dari filosof lainnya, di mana
intuisi berperan penting begitu pula akal. Hubungan antara intuisi dan akal ini
ditujukan Suhrawardi untuk menegasikan ungkapan-ungkapan syatahat dari
seorang sufi. Bahkan kemampuan seorang filosof untuk mengungkap
pengalaman mistik secara diskursif ini merupakan kriteria dari benar atau
tidaknya pengalaman mistik tersebut. Dengan kata lain, pengalaman mistik
harus diuji kebenarannya justru lewat bahasa diskursif.
Hikmah al-lsyraq, telah memperkenalkan kita pada metode yang tidak hanya
logis tapi juga spiritualis. Dimana ketika kita hendak memperoleh kebenaran
yang beremanasi dari pencahayaan-Nya, kita harus menjadi “cahaya” bagi
diri kita sendiri. Caranya, ialah dengan mengenal diri kita sendiri bahwa kita
secara esensial diciptakan sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan hati,
rasionalitas spiritualitas, untuk mencapai kodrat kemanusiaan dan keilahian
dalam diri kita. Bahwa “diri” kita adalah cahaya, atau cerminan dari CahayaNya, akhirnya, hanya dengan “diri yang bercahaya” ini, kita dapat memeluk
kesejatian insani yang sesungguhnya, menjadi figur pencerah bagi dunia, dan
memancarkan pesona yang tak habis-habisnya memberi kedamaian di muka
bumi.
2.
Emanasi Kosmologi Cahaya
Ciri khas lainnya dari illuminasionis adalah bagaimana kemajemukan
makhluk dan materi alam ini dinisbahkan melalui pemancaran cahaya yang
bergerak dari sumber cahaya menuju entitas cahaya lainnya. Melalui teori
emanasi illuminasionis, Suhrawardi mendeskripsikan bagaimana alam
semesta memancar dari Tuhan. Namun teori ini lebih ekstensif dari teori
emanasi kaum peripatetik. Dalam teori emanasi Suhrawardi, selain terdapat
istilah-istilah yang berbeda terdapat juga struktur kosmik yang berbeda dalam
jumlah maupun tatanannya. Suhrawardi membahasakan Wajib alWujuddengan Nural-Anwar, Cahaya dari segala cahaya, karena sifat
sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya lainnya. Disebut juga
dengan al-Ghani (yang independen) dilihat dari kemandirian-Nya yang
absolut dari alam. Sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakir
(berbanding dengan mumkin al wujud-nya Ibnu Sina), untuk menunjukkan
ketergantungan alam pada Tuhan.
Selain perbedaan istilah, teori emanasi illuminasionis juga berbeda dalam
strukturnya, jika dalam peripatetik, alam semesta dibagi ke dalam dua bagian;
langit dan dunia bawah bulan (bumi). Maka dalam skema kosmik
illuminasionis, di atas langit ditambah lagi satu wilayah di dunia spiritual
murni, yang disebut dengan Masyriq -timur-, sedangkan langit dan bumi
disebut Maghrib -barat-, dimana langit disebut barat tengah dan bumi disebut
barat saja.
Seperti alegori yang ditimbulkannya mengenai isyraq yakni cahaya, dan
gharb sebagai kegelapan. Suhrawardi menyebutkan bahwa di dunia timur,
hanya ada entitas-entitas murni yang tidak tercampur dengan kegelapan, di
dunia timur inilah, cahaya dan malaikat bersemayam dan bergerak
memperbaharui energi mereka. Sedangkan barat tengah adalah tempat
bercampurnya cahaya dan kegelapan, kemurnian cahaya di sini mulai
meredup, bintang-bintang dan matahari adalah sesuatu yang
termanifestasikan di dunia ini. Adapun dunia barat, adalah dunia kegelapan
berupa benda-benda material, yang menjadi gelap karena jauhnya dari cahaya
lllahi.
Suhrawardi pun berhasil melogikakan bagaimana kegelapan yang merupakan
lawan dari sifat cahaya dengan sempurna. Kegelapan diartikan Suhrawardi
sebagai sesuatu yang tidak hidup, yang tidak memiliki realitas objektif, yang
menunjukkan ketiadaan, oleh karena itu bagaimana sesuatu yang tiada yang
tidak hidup dapat menjadi dasar dari keberadaan Cahaya. Kegelapan adalah
ketiadaan cahaya, maka kegelapanlah yang bergantung pada cahaya dan tidak
cahaya yang bergantung pada kegelapan. Karenanya kegelapan bukan sumber
eksistensi cahaya, cahaya hanya bergantung pada cahaya yang tidak akan ada
lagi cahaya setelahnya.
Jawabannya ini menjawab dualisme yang disodorkan para penganut agama
Magi yang menduga bahwa Cahaya dan kegelapan adalah dua realitas yang
berbeda, yang tercipta oleh dua agensi yang berbeda. Cahaya dan kegelapan
dikatakan Suhrawardi bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan
eksistensi dan non eksistensi.
Menegaskan cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai kenyataan
yaitu kegelapan yang harus diteranginya agar ia menjadi dirinya sendiri.
Cahayalah yang membuat semua hal menjadi nyata, cahaya pula yang
membuat semua hal menjadi hidup. Maka cahaya adalah sumber gerak, yang
merupakan gejala bagi sesuatu yang hidup. Tetapi gerak dari cahaya bukan
gerak yang menunjukkan perubahan tempat, gerakannya didasarkan pada
intensitas cahaya yang menyinari yang membentuk esensinya. Sifat Nur alAnwar ini adalah esa, dan karena esa pancaran dariNya pun esa, dengan
kemajemukan alam ini muncul dengan proses emanasi, melalui pancaran
Nural-Awwal, cahaya pertama yang terpancarkan dari Nur al-Anwar. Nur alAwwal ini seperti Wajib al- Wujudnya filsafat peripatetik, yang jumlahnya
satu dan tidak tersusun, cahaya pertama ini berbeda dengan sumbernya hanya
dalam tingkat kesempurnaannya.
Dalam struktur emanasi illuminasionis, kosmologi cahaya adalah inti
ajarannya. Sistim kerjanya mungkin tidak jauh berbeda dengan emanasi
peripatetis, namun karena cara kerja cahaya dan konsekuensi kegelapan,
emanasi illuminasionis menjadi jauh elaboratif dan ekstensif dari emanasi
peripatetik. Pada emanasinya, Suhrawardi mendeskripsikan cahaya yang
memancar dari Tuhan (Nur al-Anwar) tersebut ke dalam dua jenis, cahaya
yang bersifat vertikal (thuli), dan yang memancar dari Tuhan secara vertikal
melalui serangkaian cahaya yang merentang dari cahaya pertama (al-nur alaqrab) hingga dunia barat tengah.
Cahaya dibagi Suhrawardi menjadi dua; 1). Cahaya abstrak yang sifatnya
individual yang darinya datang berbagai bentuk cahaya, yang dari satu
bentuk dengan bentuk lainnya hanya dapat diketahui dari perbandingan
intensitas cahayanya. Cahaya abstrak ini mengetahui dirinya melalui dirinya
sendiri dan tidak memerlukan suatu non-ego (keakuan) untuk
mengungkapkan eksistensinya kepada dirinya sendiri. Dan 2). Cahaya
aksidental yakni cahaya yang mempunyai suatu bentuk, dan mampu menjadi
atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri. Cahaya aksiden atau cahaya yang
dapat diinderai ialah suatu refleksi jauh cahaya abstrak, yang disebabkan
jaraknya telah kehilangan intensitas cahayanya. Karenanya hubungan cahaya
aksiden dan cahaya abstrak adalah hubungan sebab dan akibat, dimana
cahaya aksiden ada disebabkan oleh keberadaan cahaya abstrak. Maka, jika
cahaya abstrak tersebut menjauh dari bentuk-bentuk cahaya aksiden maka
karakter dari bentuk bentuk cahaya aksiden menjadi buram dan meski tidak
kehilangan karakter kebendaannya -yang terbentuk dari cahaya aksiden,
benda- benda atau bentuk-bentuk tersebut mengarah pada kegelapan atau
bahkan ketiadaan hidup.1
Selain itu, dalam teori illuminasionis ini dikenal gradasi cahaya dilihat dari
intensitasnya, yang disebabkan oleh hadirnya barzakh-barzakh yang
menyekat di antara dua cahaya: cahaya yang ada di atasnya dan cahaya yang
ada di bawahnya. Barzakh ini adalah tubuh atau materi, yang sebagian
kehilangan cahayanya dan berbentuk kegelapan dan sebagian lainnya
mendapat sinar dari cahaya-cahaya yang memancar secara vertikal.
Kegelapan itu sendiri hanyalah istilah bagi kondisi tidak adanya cahaya
tersebut. Tetapi, ia bukan termasuk kategori non-eksistensi yang
mensyaratkan status kemungkinan; karena andaikan alam semesta
diasumsikan sebagai kekosongan atau planet yang cahayanya redup, ia akan
tetap berada dalam kegelapannya, dan berkurangnya gelap ini memastikan
tidak ada relativitas cahaya pada dirinya.
Maka, barzakh sepertinya dapat diasumsikan sebagai potensi gelap dari
cahaya. Karena setiap cahaya yang memancar semakin jauh dari sumbernya
akan semakin redup dan menyimpan potensi gelap. Itu sebabnya terdapat
barzakh yang cahayanya tidak pernah redup seperti matahari dan sejenisnya,
tetapi terdapat barzakh yang sama sekali tidak berelasi dengan cahaya sedikit
pun. Untuk memahami bagaimana cahaya terpancar dari Sumber Cahaya dan
bagaimana barzakh-barzakh atau materi-materi alam ini terciptakan, berikut,
bagan Teori2 Emanasi3 Suhrawardi;4
Korelasi emanasi cahaya antara satu dan lainnya dijelaskan Suhrawardi
dengan korelasi dominasi dan korelasi cinta. Hubungan “qahi" atau dominasi
adalah hubungan antara cahaya yang di atas dengan cahaya di bawahnya,
seperti misalnya hubungan antara Nur al-Anwm pada cahaya pertama.
Sedangkan hubungan cahaya yang lebih rendah pada cahaya yang lebih
tinggi dirumuskan dalam istilah-istilah atraksi menarik atau cinta
(mahabbah). Dua kekuatan inilah; dominasi dan cinta yang mengatur dunia.
Nur al-Anwar memancarkan cahayanya ke bawah, sebagai bentuk berbagi
kesenangan tertinggi -kesadaran pada milik dan perenungan tenang yang
paling sempurna-. Dan cahaya pertama, barzakh-barzakh mengabdi pada Nur
al-Anwar sebagai tanda cinta terhadap kesempurnaan, sesuatu yang lebih
tinggi dan lebih indah.
jg
E ra g’ ro
S. g>
CD
co OJ 03
J5 XJ
«2 S
O
CO
Z3
I
<S
CO
CO
C7>
5.
jfS
^
-tr
^
O
O
Cahaya keempat
ti is
«3 .£ CQ -O
Karena ketergantungannya pada Nur al-Anwar, cahaya pertama memiliki
watak ganda, pertama kekurangan dalam dirinya yang harus bergantung pada
limpahan karunia Nur al-Anwar dan kedua ia memiliki kekurangan karena ia
memiliki sifat gelap disebabkan tingkat terangnya yang meredup jika
dibandingkan Sumber Cahaya. Seperti al-Wujud al Awwal yang muncul
pertama dari Wajib al-Wujud, yang kemudian memikirkan dirinya sendiri
dan Tuhannya dalam proses menuju kemajemukan, cahaya pertama dari sisi
gelapnya melahirkan “bayangan pertama1' yang disebut Suhrawardi dengan
barzakh tertinggi. Dan dari dominasi pancaran cahayanya, cahaya pertama
memunculkan cahaya kedua.
Tetapi yang lebih khas lagi dari teori emanasi Suhrawardi adalah munculnya
cahaya yang bersifat horizontal (’ardhi), yang tidak muncul secara langsung
dari Tuhan, tetapi dari cahaya-cahaya vertikal. Cahaya- cahaya dalam tatanan
horizontal ini disebut Arbab al-Ashnam, yakni semacam prototipe bagi
makhluk apapun yang ada di alam fisik. Oleh karena itu, ia mirip sekali
dengan dunia ide platonik yang bertindak sebagai bayang-bayang bagi apa
pun yang ada di alam ide. Satu lagi tatanan cahaya yang bersifat horizontal,
yaitu yang disebut dengan al-Anwar al- Mudabbirah (cahaya-cahaya yang
mengatur).
Cahaya-cahaya yang mengatur ini adalah daya-daya yang memiliki pengaruh
besar terhadap segala makhluk yang ada di bawah pengaruhnya. Cahayacahaya yang mengatur ini dideskripsikan Suhrawardi dengan malaikatmalaikat atau daya-daya yang mengatur manusia dan menggerakkan bendabenda langit. Cahaya-cahaya ini membentuk sebuah hierarki dan
mempengaruhi bola-bola angkasa melalui perantaraan benda-benda samawi,
dimana mereka adalah penguasa-penguasa mutlak. Hurakhsy atau matahari,
sumber cahaya diurnal, adalah salah satu pemimpin puncak hierarki ini,
kemana penghormatan Ilahi (ta’zhim) diberikan sebagai pemimpin atau
tuannya angkasa.
Pancaran cahaya vertikal jauh lebih terang dari pada pancaran cahaya
horizontal, hal ini disebabkan fokus cahaya yang terkuat adalah yang
memancar secara vertikal. Mempermudah teori ini, anda dapat mencoba
menyalakan senter di tengah kegelapan, perhatikan sinar yang terpancar
darinya, sinar yang paling terang adalah sinar yang lurus sejajar dengan
sumber cahaya dari senter. Dan sinar horizontal atau sinar yang berada di sisi
kanan dan kiri sinar vertikal terlihat lebih redup dari sinar yang bergerak
vertikal, sinar ini adalah bias dari sinar-sinar vertikal, atau pancaran dari sinar
yang fokus. Itu sebabnya sinar horizontal ada di antara pancaran Cahaya yang
satu dengan cahaya lainnya.
Adapun barzakh, adalah potensi gelap dari pancaran cahaya. Jika fokus
cahaya senter bergerak vertikal dan biasnya bergerak horizontal, barzakh
adalah keadaan-keadaan gelap yang terjadi dari cahaya yang terus menerus
memancar. Pancaran cahaya sebagaimana yang dikatakan Suhrawardi
berbeda-beda intensitasnya, semakin dekat dengan Sumber Cahaya semakin
terang dan semakin jauh dari sumber cahaya sinarnya semakin redup. Begitu
pula barzakh, barzakh tertinggi adalah potensi gelap yang masih
mendapatkan sinar karena cahaya yang memancar adalah cahaya yang sangat
kuat dan terang. Anda dapat menganalogkan proses ini dengan lampu pijar
berkekuatan tinggi yang dipasang di langit-langit kamar anda, perhatikan
langit-langit atau atap tempat lampu terpasang, diperkirakan di sekitar itu
bayang-bayang hampir tidak terlihat, bayang-bayang yang ada seakan-akan
substansi terang, namun semakin jauh dari sumber cahaya -lampu-, bayangbayang tersebut akan semakin terlihat. Proses inilah yang dikatakan
Suhrawardi dengan gradasi cahaya, dimana barzakh atau bayang-bayang
gelap menyekat di antara cahaya yang bersinar satu dengan lainnya.
Itu sebabnya, terdapat barzakh yang memiliki kemampuan bersinar atau
bercahaya dan terdapat barzakh yang sama sekali kehilangan cahaya, menjadi
substansi gelap karena jarak yang teramat jauh dari sumber cahaya. Matahari
adalah barzakh yang memiliki cahaya yang cahayanya tidak pernah redup;
barzakh ini berasosiasi dengan barzakh lainnya hanya pada keadaannya
sebagai barzakh dan berdiferensiasi dengan cahaya yang abadi. Kondisi yang
membuatnya berdiferensiasi dengan cahaya adalah sifat eksternal dan
permanen keadaannya sebagai barzakh, sehingga ia menjadi Cahaya
Aksidental dengan faktor utamanya berupa substansi gelap.
Terakhir, selain berbeda dalam istilah dan struktur kosmik, emanasi
Suhrawardi pun berbeda dengan emanasi peripatetis yang terbatas sampai
dengan langit kesepuluh, emanasi illuminasionis tidak secara tegas
menetapkan bilangannya, meski perwujudan materinya pun mendekati teori
peripatetis. Bagi llluminasionis, karena setiap benda angkasa membutuhkan
murajjih (sufficient reasons) untuk keberadaannya, maka akal-akal itu tidak
bisa hanya dibatasi pada sepuluh tetapi berbanding dengan jumlah bendabenda angkasa tersebut, yang karena banyaknya tidak mungkin hanya
dibatasi pada angka sepuluh. Inilah karakteristik iluminasionis, yang
sekaligus merupakan kritik dan perbaikan atas teori emanasi sebelumnya.
3.
Metafisika
Alegori filosofis illuminasionis dengan menggunakaan cahaya, dinisbahkan
Suhrawardi pada ayat al-Qur’an surat al-Nur; ayat 35 yakni Allah NurCahaya- bagi langit dan bumi. Penisbahan terhadap ayat ini sebenarnya
bukan pertama kali dilakukan oleh seorang filosof, Ibnu Sina diduga telah
menggunakannya untuk memperjelas emanasi Neo- platonisnya yang dari
sinar pemancaran tersebut terdapat Kebaikan, lalu al-Ghazali menyebut
Tuhan dengan Misykat al-Anwar atau cahaya di atas cahaya, dan Suhrawardi
mengistilahkan Tuhan dengan Nur al-Anwar. Tetapi konsep cahaya Ibnu Sina
masih didominasi oleh emanasi peripatetik dan konsep cahaya al-Ghazali
baru sebatas metafor dari sebuah spekulasi filsafat, dan bukan jantung filsafat
itu sendiri.
Suhrawardi-lah yang berhasil memanfaatkan simbolisme cahaya, dan
mengungkapkan ide-ide filosofisnya dengan brilian. Suhrawardi
mendasarkan tesis dan kesimpulannya seraya mengkritik filosof peripatetik,
pada kosmologi kebercahayaan: bahwa semakin esensi mendekati puncak
cahaya yang tidak lain adalah Allah Swt, semakin tinggi dan berkualitaslah
mutu eksistensinya. Pergerakan menuju Nur al-Anwar selalu dinamis dan
melibatkan banyak esensi. Oleh karenanya, refleksi filosofis Suhrawardi
senantiasa berpijak pada pertautan antar esensi dan interrelasionisme yang
universal dan holistik. Mendekati Sumber Cahaya tidak lagi menjadi sematamata aktifitas spiritual, tetapi juga tindakan filosofis. Tak ada lagi
keberpisahan antara rasio dan hati sebagai batu pijak untuk menaiki tangga
kebenaran.
Alasan pilihan Suhrawardi menggunakan metafor Cahaya dikatakannya
karena cahaya adalah sesuatu yang eksistensinya tidak membutuhkan definisi
dan penjelasan, karena tidak ada sesuatu pun yang lebih swamandiri dari
definisi selain cahaya. Sumber Cahaya adalah al-Ghani; esensi yang
swamandiri, yakni sesuatu yang zat dan kesempurnaan dirinya tidak
bergantung kepada objek lainnya, sedangkan esensi yang tidak swamandiri
adalah yang zat dan kesempurnaan dirinya bergantung kepada obyek lain,
esensi tidak swamandiri ini adalah al-fakir (benda-benda) yang bergantung
pada esensi swamandiri (al-Ghani)
Selain itu, menurut Suhrawardi, segala sesuatu yang ada di dunia ini terdiri
dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang memiliki wujud
positif, sedang kegelapan adalah negatif, dalam arti tidak memiliki realitas
objektif, la ada hanya sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya, ketika
cahaya datang, maka kegelapan sirna. Sehingga segala sesuatu yang ada di
alam ini tidak dapat dibedakan secara kategoris melalui esensinya tetapi
disebabkan oleh intensitas cahaya yang dimiliki setiap makhluk.
Dengan demikian, aliran filsafat iluminasionis merupakan kritik yang cukup
fundamental atas prinsip hylomorfis, karena sementara bagi hylomorfisme
bentuk-bentuk benda bersifat kategorik, bagi kaum iluminasionis bersifat
relatif “lebih atau kurang" -more or less- dan tidak dibagi secara kategorik ke
dalam substansi-substansi yang tetap (fixed).
Metafisika adalah inti penting emanasi iluminasi, metafisika
mempertanyakan kekekalan, baharu, Tuhan dan makhluk-makhluknya dan
bagaimana sesuatu yang non-fisik menjalankan geraknya. Tuhan seperti
dijelaskan sebelumnya adalah Cahaya Maha Cahaya, Nur al- Anwar, Esensi
Swamandiri, al-Ghani, subjek yang bersinar dan terang dan tidak memiliki
bayang-bayang karena kemurnian cahayanya. Tuhan dengan keesaannya,
adalah realitas tunggal, dan sesungguhnya realitas tunggal ditinjau
sebagaimana adanya, tidak memunculkan lebih banyak dari satu objek kausa
(ma’luf). Maka, yang pertama kali muncul dari Cahaya Maha Cahaya adalah
cahaya murni yang tunggal.
Cahaya murni yang tunggal ini adalah cahaya pertama (nur a!- aqrab), cahaya
ini menghasilkan barzakh dan cahaya abstrak, di mana lalu muncul cahaya
abstrak dan barzakh lain, maka jika ia melakukannya hingga lahir sembilan
planet dan alam elementer, kesemua rangkaiannya akan berakhir pada cahaya
yang tidak dapat lagi menghasilkan cahaya abstrak, mengingat kenyataan
yang anda ketahui bahwa mata rantai cahaya yang terstruktur pastilah
berakhir dan final. Jika kita temukan suatu bintang dari setiap barzakh yang
termasuk dalam dunia eter (unsur yang sangat halus yang memenuhi lapisan
teratas ruang angkasa), dan sesuatu yang tidak mungkin dihitung jumlahnya
oleh manusia dalam setiap lingkaran konstan bintang-bintang, maka ada
banyak hal dan modalitas yang tak terhingga dalam keseluruhan ruang
kosmik ini. Banyaknya bintang dan barzakh yang terdapat dalam kosmik kita
saja, atau hanya dalam ruang angkasa saja, memutuskan Suhrawardi bahwa
emanasi tidak dibatasi dengan sembilan atau sepuluh kategoris, bisa jadi
emanasi ini mencapai dua puluh atau kelipatan seratus dua ratus.
Artinya dari Cahaya pertama (nur al-aqrab) muncul cahaya kedua, cahaya
ketiga hingga bilangan yang tak terbatas.
Masing-masing cahaya menyaksikan Cahaya Maha Cahaya dan terkena
pancaran sinarNya. Sedangkan pada jajaran Cahaya pendominasi -cahaya
pertama, kedua dst.-, cahayanya saling berbalik satu sama lain. Setiap cahaya
tinggi menerangi apa yang ada di bawah hierarkinya, dan setiap cahaya
rendah menerima sinar dari Cahaya Maha Cahaya lantaran hierarki yang ada
di atasnya secara bertahap, dimana cahaya kedua menerima cahaya melintas
dari Cahaya Maha Cahaya sebanyak dua kali; satu kali dari Cahaya Maha
Cahaya tanpa perantara dan satu kali lewat perantaraan cahaya pertama.
Rangkaian ini berjalan terus, cahaya ketiga menerima empat kali, dua kali
kebalikan dari yang diterima cahaya kedua, dari Cahaya Maha Cahaya tanpa
perantara, dan dari cahaya pertama. Proses ini terus berlipat ganda hingga
jumlah tak terhingga.
Proses yang dibangun dari “dominasi” dan “cinta” ini adalah hubungan
korelatif yang tak terhenti. Cahaya Maha Cahaya terus menerus melimpahkan
cahayanya tanpa keputusan akan habis cahaya yang dipancarkan, dan cahayacahaya rendah berupaya keras mendapatkan penyaksian atas-Nya. Dan dari
radiasi-radiasi sinar atau cahaya muncullah barzakh dan beragam kosmik,
yang tetap dalam gelapnya atau yang teraksiden dengan cahaya. Kesemuanya
juga berada dalam relasi yang sama, bergantung pada dominasi Cahaya Maha
Cahaya dan mengharapkan penyaksian, (ma’rifah) dengan-Nya.
Karena seluruh alam ini adalah penumbra Cahaya Maha Cahaya dan
hubungan yang dibangunnya adalah dominasi dan cinta, maka alam dan
seisinya adalah abadi sebagaimana keabadian Cahaya Maha Cahaya. Namun,
keabadian ini tidak berarti penyetaraan atau sama dengan Cahaya Maha
Cahaya, tetapi bergantung pada Cahaya Maha Cahaya. Keputusan keabadian
ini bergantung pada dominasi cahaya yang diberikan, itu sebabnya seluruh
energi di alam ini berlomb; i lomba meraih cinta terhadap substansi tertinggi.
Setelah memperjelas keabadian dan kekekalan alam ini dan pemancarannya,
tersisa satu pertanyaan, “bagaimana bentuk bentuk yang beragam muncul
dari alam ini, dan bagaimana keteraturan yaiuj berkaitan dengan esensi-esensi
spesifik alam, begitu pula dengan ruh dan materi". Kesemua ini dijawab
dengan baik dan cerdas oleh
Suhrawardi, dan lagi-lagi melalui kosmologis cahaya dan tidak dengan proses
penciptaan sebagaimana identifikasi “mencipta".
Keluasan sinar cahaya yang tersusun secara vertikal menyebabkan
munculnya kategori-kategori cahaya. Cahaya-cahaya abstrak dibagi
Suhrawardi menjadi Cahaya-cahaya pemaksa dan Cahaya-cahaya pengatur,
Cahaya-cahaya pemaksa yaitu esensi yang tidak memiliki keterpautan dengan
barzakh, baik dalam tipografi dan perubahan bentuknya. Dalam cahaya
pemaksa terdapat cahaya pemaksa tertinggi dan cahaya pemaksa berbentuk,
yaitu para pemilik ikon. Dan yang kedua adalah cahaya-cahaya pengatur atas
barzakh, sekalipun secara tipografis tidak mempengaruhi barzakh. Cahaya ini
muncul dari setiap barzakh pemilik ikon, khususnya dalam kaitannya dengan
arah ketinggian kebercahayaan, berbeda dengan barzakh yang muncul dari
modalitas rasa butuh yang rendah, sehingga cahaya ini muncul dan terjadi
jika barzakh membuka diri untuk diatur cahaya ini.
Cahaya pengatur dan cahaya pemaksa adalah esensi yang berperan penting
dalam proses barzakh-barzakh, cahaya pemaksa adalah cahaya dominasi,
cahaya ini takkan pernah berubah, karena pancarannya tetap dan bergantung
pada pancaran Cahaya Maha Cahaya. Tetapi cahaya pengatur adalah cahaya
“cinta" yang dari pancarannya substansi-substansi beragam barzakh timbul
dan bergerak. Itu sebabnya, cahaya pengatur dan substansi gelap merupakan
esensi yang saling membutuhkan, cahaya dan kegelapan dikatakan
Suhrawardi bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan eksistensi dan
non eksistensi. Menegaskan cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai
kenyataan yaitu kegelapan yang harus diteranginya agar ia menjadi dirinya
sendiri.
Keterikatannya (cahaya pengatur) dengan barzakh atau materi menurut
Suhrawardi bukan karena kebutuhannya terhadap eksternal dirinya agar ia
dapat mengindera, tetapi kebersatuannya disebabkan oleh sifat dari dirinya
(watak). Kebersatuan itu menjadi kondisi permanen, yang cahaya pengatur
menjadi inti dari penampakan tersebut, menjadi cahaya bagi dirinya dan
secara otomatis berubah menjadi cahaya murni. Watak pengenalan atas
objek-objek lain kemudian mengikuti diri keterikatan ini, dan tindakan untuk
mengenal bersifat aksidental dalam dirinya.
Substansi gelap memiliki substansialitas yang rasional dan kegelapan yang
non-eksisten, sehingga ia tidak bereksistensi secara mental, melainkan hanya
secara riil bersama sifat-sifat spesifiknya. Dan Cahaya Pengatur
memanifestasikan substansi gelap, menjadikan substansi gelap tampak dan
hidup. Tetapi karena Cahaya Pengatur ada karena keberadaan Cahaya
Pemaksa dan Cahaya Pemaksa ada karena pancaran Cahaya Maha Cahaya,
barzakh pun bersifat yang sama, berada dalam dominasi dan cinta.
Dominasinya bergantung dari pancaran Cahaya Pemaksa tetapi cintanya
bergantung pada relasi antara dirinya sebagai substansi gelap dengan cahaya
pengatur. Jika substansi gelap ini mendominasi hubungannya dengan cahaya
dan mengurangi cinta Cahaya Pengatur maka esensi cahaya yang diterima
substansi gelap semakin meredup, sebaliknya jika cinta Cahaya Pengatur ini
tertata dengan baik, maka substansi gelap ini akan dapat mencapai
penyaksian Cahaya Maha Cahaya (ma’rifah).
Relativitas Cahaya Pengatur dan substansi gelap dan gerakan “dominasi dan
cinta"-nya ini menghasilkan kompleksitas cahaya, menghasilkan radiasi,
pantulan-pantulan dan bayang-bayang. Substansi gelap yang menjadi hijab
dalam gradasi cahaya Abstrak menghasilkan bintang-bintang barzakh yang
menerima cahaya di antara dominasi cahaya di atas dengan cahaya di
bawahnya. Dan substansi-substansi gelap yang tidak bercahaya yang tidak
menerima sinar yang memancar tetapi juga memiliki hubungan dominasi
dengan cahaya adalah unsur- unsur eter yang menghindar dari kerusakan
yang mempengaruhi sinar csahaya pemaksa dan mengikat pada cahaya
pengatur, dan substansi gelap lainnya yang memiliki hubungan cinta, adalah
unsur eter yang tunduk dan merindu pada segenap sinar Cahaya Maha
Cahaya.
Penjelasan di atas menunjukkan kompleksitas cahaya, radiasi radiasinya,
pantulannya bahkan bayang-bayangnya sekalipun Kompleksitas cahaya ini
menunjukkan bahwa setiap kausa kebercahayaan selalu memiliki cinta dan
dominasi dalam relasinya dengan objek kausa. Sedangkan objek kausa
memiliki rasa cinta yang membuatnya hina di hadapan kausa kebercahayaan.
Itulah mengapa eksistensi kosmik didasarkan pada hierarki kebercahayaan
dan kegelapan, cinta dan dominasi, keagungan yang secara tetap
mendominasi, dikaitkan dengan kehinaan yang tetap mencinta Cahaya
Tinggi. Semua berjalin-kelindan secara biner. Seperti firmanNya: “Dan Kami
ciptakan segala sesuatu saling berpasangan, agar kalian selalu ingat (tanda
kebesaran-Nya) -Q.S. 51:49Dari penjelasan pancaran ini, Suhrawardi berhasil mengkritik kaum
peripatetis yang menyatakan pengetahuan Tuhan adalah esensiNya atau
penolakan sifat-sifat Tuhan seperti yang digaungkan para mu’tazili.
Pengetahuan Tuhan, adalah sesuatu yang mutlak terjadi, karena segala
sesuatu bersumber dariNya, sehingga Tuhan mengetahui segala yang terjadi
di alam ini. Namun, pengetahuan ini tidak berarti Tuhan adalah otoritatif
segala gerak, segala ketentuan seperti yang disampaikan jabariah. Tuhan
mengetahui dengan dominasinya, dan makhluk-makhluknya bergerak, dan
diizinkan mengelaborasi diri karena “cinta", karena kebutuhan terhadap
dominasi Tertinggi.
Untuk memahami cara kerja cahaya ini dengan sempurna, setiap kita
diharapkan mampu memahami bagaimana cahaya muncul memancar,
beradiasi dan substansi gelap. Sulit memahami seluruh kerja yang
dideskripsikan Suhrawardi jika kita tidak memahami benar prosedurprosedur cahaya ini. Sedikit mengulas sebelum kemudian kita membahas ruh
dan raga sebagai subjek terpenting di muka bumi ini, mari kita fahami kinerja
cahaya abstrak dan cahaya aksidental, dua cahaya inilah fokus yang
kemudian memunculkan beragam energi, dan barzakh-barzakh. Cahaya
abstrak adalah cahaya yang dalam kosmologi illuminasionis adalah cahaya
yang memancar langsung dari Cahaya Maha Cahaya secara berurutan, cahaya
ini melalui partikel-partikelnya bersifat memaksa dan mengatur. Memaksa
karena dia hendak mendominasi dan mengatur karena cinta. Dan gelap adalah
sebuah keharusan yang terjadi, karena hijab antara satu cahaya dengan
cahaya di bawahnya adalah substansi gelap atau barzakh. Barzakh-barzakh
ini pun beremanasi sebagaimana cahaya, keberadaannya ada bersama dengan
cahaya, dan cahaya pun beremanasi karena ada substansi gelap.
Maka, emanasi terjadi pula pada barzakh-barzakh dan karena barzakh adalah
sesuatu yang bergantung pada esensi lainnya maka emanasi barzakh ini
memunculkan objek-objek temporal (baharu). Ini disebabkan karena
keabadian barzakh adalah ketergantungannya pada esensi lain di luar dirinya,
artinya barzakh disebut abadi jika ia tetap bergantung pada cahaya-cahaya
abstrak, dan jika kebergantungan itu terlewati, barzakh menjadi temporal.
Keabadian barzakh sangat bergantung pada esensi cahaya pengatur, yang
menetapkan “gerak-gerak" kosmik mereka. Gerakan ini dideskripsikan
Suhrawardi dengan gerakan sirkular, atau gerak peredaran. Matahari, bulan
dan planet-planet abadi karena gerakan peredaran mereka. Gerakan peredaran
memungkinkan subjek-subjek ini abadi, karena gerakan peredaran adalah
gerakan tanpa ujung, sebuah gerakan yang berulang-ulang. Tetapi gerak
peredaran ini terus menerus mengalami pembaruan diantara dominasi dan
cinta sehingga barzakh pun memiliki kehendak mandiri, kehendak untuk
menjalankan cintanya atau menerima dominasi. Kehendak-kehendak ini
dibahasakan oleh Syahrazuri dengan gerakan-gerakan terpaksa barzakh.
Gerakan- gerakan terpaksa ini lah yang kemudian memunculkan barzakhbarzakh temporal, ini dikarenakan barzakh-barzakh terlepas dari gerakan
terstrukstur.
Itu sebabnya gerakan-gerakan kosmik kita sangat variatif, beberapa berada
dalam gerakan yang tetap, beberapa gerakan lainnya lurus dan berubah-ubah.
Gerakan-gerakan dengan segenap variasi dan multiplisitasnya harus difahami
dalam kerangka relasi-relasi sinar dan cahaya pada subjek-subjek merindu,
sampai gilirannya seluruh perputaran kosmik berlangsung di atas relasi-relasi
kebercahayaan cahaya Pemaksa yang memungkinkan untuk saling
menyerupai, bersenyawa dan begitulah setiap kosmik bermula, berubah dan
berakhir.
Persenyawaan paling sempurna dimiliki oleh manusia; karena ia menerima
kesempurnaan dari Cahaya Pemberi Kesempurnaan (Nur al-Anwar). Cahaya
pemaksa seperti anda ketahui, mustahil berubah, karena perubahan mereka
berarti perubahan pada esensi aktif, yaitu Cahaya Maha Cahaya dan ini
mustahil. Perubahan hanya terjadi pada sebagian subjek penerima (barzakh),
karena subjek ini mampu melakukan perubahan dan pembaharuan diri sebagai bagian dari relasi “cinta”-. Di antara sebagian Cahaya Pemaksa
adalah pemilik teurgi “genus” yang berfikir; yaitu Jibril, pemuka alam
malakut yang mendominasi, dan keutamaan untuk persenyawaan paling
sempurna, sebuah Cahaya Abstrak; cahaya yang mewahyukan (ruh) untuk
ubun-ubun manusia, Cahaya Pengatur yang menjadi isfahbad bagi realitas
nasut, esensi yang menunjuk dirinya dengan “Keakuan".
Raga adalah ikon bagi Cahaya Pengatur, dan Cahaya Pengatur tidak
beroperasi dalam barzakh tanpa perantara korespondensi atau keterkaitan
relasi tertentu, yaitu antara ia dan substansi halus yang disebut para filusuf
dengan “ruh”. Ruh bersumber dari arah sekitar hati, karena di sana terdapat
sesuatu yang menyerupai barzakh-barzakh langit dalam hal keseimbangan
dan keterhindarannya dari kontradiksi. Di dalamnya pula, terdapat sifat
eklektik (moderat) yang memanifestasikan bentuk imajiner-arketipnya
{misal). Setiap sesuatu yang eklektik dan jernih akan memperoleh bentuk ini
secara maksimal, dan unsur-unsur lainnya menjadi medan penampakan
baginya. Benda yang kasar dapat pula menerima cahaya, menyerap dan
memelihara bentuk-bentuk formal dan imajinernya. Ini sebagaimana halnya
sifat halus dan panas yang kesemuanya berkoresponden dengan cahaya. Ada
juga gerak yang berkorespondensi dengan Cahaya Aksidental. Jika tidak ada
sifat permanen pada benda- benda ini, mengingat ia cepat mengalami
keteruraian pada kadar kehalusan dan kepanasannya, maka ia dapat permanen
dengan “anugerah". Hal ini berlaku pada seluruh korespondensi cahaya.
Ruang angkasa tidak menerima sinar (karena ia hampa), tetapi
berkorespondensi dengan cahaya pada kadar panas dan kecepatannya
bergerak. Karena itu, ia menghadap ke arah dunia cahaya yang bersifat
barzakh dan abadi dalam gerak, mendekat dan merindukannya, la adalah
subjek kasar di bawah stratum cahaya; dan ia dapat menjaga posisinya. Di
titik inilah, ia berelasi dengan cahaya. Sedangkan subjek eklektik menjaga
cahaya dan memanifestasikan bentuk imajiner Cahaya Menyala dan
Penerima Cahaya, tetapi tidak berkorespondensi dengan cahaya dalam hal
suhu dingin dan sejenisnya.
Ruh ini memiliki sejumlah relasi, menguasai seluruh rongga tubuh,
membawa kekuatan-kekuatan bercahaya, dan memproses Cahaya Isfahbad
dalam tubuh, dengan perantara tubuh yang diilhami cahaya. Cahaya pemaksa
yang berasal dari Cahaya Melintas berbalik dari arah tubuh, karena adanya
ruh ini. Ruh yang berfungsi khusus untuk meraba dan bergerak naik ke atas
otak dan mengembang lurus, sembari menerima sapaan Intuisi, dan kembali
mengisi sekujur anggota tubuh. Karena terdapat korespondensi positif antara
kebahagiaan dan cahaya, maka setiap sesuatu yang timbul sebagai ruh
bercahaya selalu dalam keadaan bahagia. Karena korespondensi antara jiwa
dan cahaya inilah, jiwa-jiwa terhindar dari kegelapan dan terbentang setiap
kali menyaksikan cahaya. Seluruh binatang menghadap menuju Cahaya pada
saat tergelincir dalam kegelapan dan merindukannya. Dan pada Cahaya
Isfahbad, meskipun ia tidak bertempat atau memiliki modalitas, seluruh
kegelapan yang berada di raganya tunduk pada otoriitasnya.
Seperti emanasinya yang tak berbilang, Suhrawardi juga tidak membatasi
indera manusia hanya pada lima, atau menentukan indera batin manusia.
Semuanya menurut Suhrawardi tergantung pada pergerakan struktur-struktur
di dalamnya, karena jika ditetapkan dalam bilangan, kita sulit merasionalisasi
indera-indera ini dalam kondisi menyimpang, seperti ketika kita lupa, kita
celaka, atau segala sesuatu yang tidak sempurna seperti manusia lainnya. Itu
sebabnya semua bergantung dari Cahaya dan energi panasnya yang
menggerakkan dan bersemayam dalam raga.
Berdasarkan alasan ini, Suhrawardi menolak bentuk-bentuk khayalan yang
ditetapkan peripatetik dan menolak emanasi terbilang. Menolak pula waktu
dalam konteks bermula dan berakhir, waktu bersifat abadi, tanpa awal
maupun akhir. Sebab jika waktu mempunyai awal, maka haruslah didahului
baik oleh ketiadaan maupun oleh beberapa entitas lainnya. Dalam kedua
kasus itu, harus ada sebuah waktu yang mendahului permulaan waktu. Itu
sebabnya, Suhrawardi menekankan gerakan sirkular sebagai tartib ‘aqli
gerakan pancaran ini, karena gerakan ini menolak temporalisasi, berputar
dalam formatnya, berhubungan dengan dominasi dan cinta dan kegelapankegelapan tidak terstruktur sajalah yang akan keluar dari gerakan sirkular ini
dan mati karena kehilangan cahaya dan energi panasnya.
Jangan bayangkan kebersatuan ini antara ruh dan tubuh adalah kesatuan fisik.
Kesatuan yang mengikat keduanya bersifat rasional, karena cahaya pengatur
memiliki keterkaitan dengan barzakh dan menjadikan raga sebagai
manifestasinya. Jangan bayangkan pula bahwa kemudian cahaya pengatur
bersemayam dalam barzakh, atau sebaliknya barzakh berada di dalam Cahaya
ini. Hubungan ini terbangun untuk mencapai penyaksian berdasarkan cinta
pada Cahaya Maha Cahaya. Disebabkan kebersatuan antara dua hal yang
berbeda, cahaya dan kegelapan (barzakh). Maka, manusia mesti menerapkan
prinsip-prinsip keseimbangan agar kesemuanya tidak mengakibatkan
munculnya sejumlah hal yang berlebih-lebihan, dan mengakibatkan satu
dengan yang lainnya menjadi tidak seimbang. Dan karena tubuh
membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal dan hal-hal lainnya yang
bersifat menyenangkan, yang keseluruhannya pun bersifat materi -identik
dengan kegelapan- maka perlu dilakukan sebuah upaya purifikasi moral
secara internal dan eksternal. Sebab kesibukan kita yang semata-mata tertuju
pada indera-indera lahiriah-batiniah, birahi dan rasa amarah adalah
penghalang bagi ruh dan pencegah terjadinya kondisi yang menghasilkan
pengetahuan. Sebaliknya, sikap-sikap yang diupayakan pada penyucian dari
kegelapan, dan penyeimbangan, membuat pengetahuan berhasil
menghantarkan Cahaya Isfahbad mencapai ma’rifat, sebaliknya Cahayacahaya Isfahbad lainnya yang terjebak dalam kegelapan atau yang tidak
menyucikan dirinya, akan bangkit kembali dengan raga-raga yang sesuai
dengan apa yang telah dilakukannya.
Kematian menurut Suhrawardi tidak mengakhiri kemajuan spiritual ruh
(jiwa). Jiwa-jiwa individual sesudah mati tidak disatukan menjadi satu jiwa,
tetapi terus berbeda satu sama lain sebanding dengan penerangan yang
diterima oleh mereka selama mereka bersama dengan organisme fisik.
Bilamana mesin materi yang digunakannya untuk maksud memperoleh
penerangan bertahap habis terpakai, kemungkinan jiwa mengambil tubuh lain
yang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya dan
semakin tinggi dalam berbagai lingkungan maujud, dengan menggunakan
bentuk-bentuk yang khusus bagi lingkungan-lingkungan tersebut, sampai ia
mencapai tujuannya, yaitu ketiadaan mutlak. Tetapi jiwa-jiwa ini tidak
bereinkarnasi dengan dunia yang sama, ada tempat lain, alam lain tempat ruhruh yang telah berkaitan dengan raga dengan materi. Doktrin perpindahan
tidak dapat disangkal, karena Tuhan mengklaim perpindahan manusia dari
dunia ke akhirat dalam bentuk Neraka dan Surga. Semua jiwa dengan
demikian terus menerus berkelana menuju sumber bersama mereka, dan
kematian barzakh adalah disebabkan oleh kegagalan persenyawaannya,
karena dari sesuatu yang keabadiannya juga bergantung, temporalisasi adalah
realitasnya.
B.
IBNU ‘ARABI
Abu 'Abdallah Muhammad ibn al-‘Arabi al-Tha’l al-Hatimi dan lebih dikenal
dengan Muhyi al-Din (pembangkit agama) ibn 'Arabi dan lebih populer
dengan Ibnu 'Arabi. Lahir di Murcia, Andalusia pada 17 Ramadhan 560 H/
28 Juli 1165 M dan meninggal di Damasskus pada 22 Rabi' al-Tsani 638
H/10 November 1240 M. Dikenal sebagai seorang penulis yang paling
berpengaruh tentang Sufisme dalam sejarah Islam, hingga dijuluki kaum sufi
sebagai al-Syaikh al-Akbar (Guru Teragung). Walaupun tidak dipandang
sebagai pendiri ordo sufi, pengaruhnya secara cepat meresap kepada muridmuridnya dan sufi-sufi lain yang mengekspresikan ajarannya dalam termterm intelektual dan filosofis. Dia mampu menggabungkan berbagai ajaran
esoterik yang ada di dunia Islam seperti Phytagorianisme, al-Kemia,
Astrologi, dan pandangan- pandangan yang berbeda dalam sufisme dalam
perpaduan yang dibentuk oleh al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Terlahir dari keluarga bangsawan, membuatnya mudah sekali menuntut ilmu
di berbagai bidang keilmuan. Konon, ayahnya adalah seorang pejabat
pemerintah dan salah satu iparnya, Yahya ibn Yushan adalah penguasa kota
Tlemcen di Algeria. Fakta lainnya yang sangat menarik adalah bahwa salah
seorang pamannya, meninggalkan jabatan- jabatan dunia dan memilih
menjadi seorang eskatis (wara) atau sufi. Sikap ini pula yang menginspirasi
Ibnu ‘Arabi untuk menjadi seorang penulis tentang sufi dan menjadi sufi itu
sendiri.
Karena kemasyhurannya di bisang sufistik, Ibnu ‘Arabi jauh lebih dikenal
sebagai seorang Sufi daripada seorang filosof. Karenanya sebagian kalangan
tidak menempatkannya sebagai seorang filosof tetapi menempatkannya
sebagai seorang sufi. Sejauh mana Ibnu ‘Arabi disebut filosof menurut
William C. Chittick, bergantung pada definisi yang diberikan tentang
“filsafat". Jika menggunakan kata falsafah untuk menyebut madzhab
pemikiran tertentu dalam Islam yang menggunakan namanya, Ibnu ‘Arabi
tidak dapat disebut sebagai failasuf. Namun, apabila filsafat difahami sebagai
tradisi kebijaksanaan, pencarian kebenaran baik yang berakar pada sumbersumber Islam maupun warisan pra-Islam, Ibnu 'Arabi dapat dikategorikan
sebagai seorang filosof.
Lagi pula kata falsafah atau juga filosof bukanlah kata yang mengandung
makna sebagai madzhab pemikiran, karena jika ditujukan untuk madzhab
atau pemikiran, beberapa nama bisa jadi dikualifikasi sebagai filosof. Ibnu
Rusyd adalah seorang faqih, mutakallim dan juga filosof, Suhrawardi pun
adalah seorang sufi dan filosof, al-Ghazali adalah teolog, sufi dan filosof. Itu
sebabnya Ibnu ‘Arabi adalah seorang sufi dan filosof, kedua bidang ini tak
terpisahkan, saling berkaitan dan saling mengisi. Filosofi Ibnu ‘Arabi pada
para sufi, membantu memberikan gambaran lain dari metodologi sufistik dan
teori sufi Ibnu ‘Arabi memperkaya wawasan filsafat Islam.
Karena perannya yang sangat kuat dalam memadukan sufi dan filsafat, Ibnu
‘Arabi dinobatkan sebagai salah seorang filosof yang berhasil memunculkan
aliran baru dalam filsafat Islam, aliran Irfani atau aliran Tasawwuf.
Pengakuan terhadap keberadaan aliran ini, lagi lagi tidak dapat dipisahkan
dari peran al-Ghazali dan Suhrawardi al Maqtul, al-Ghazali adalah orang
pertama yang mencetuskan metode tasawuf dalam pencarian kebenaran dan
Suhrawardi al-Maqtul adalah orang yang berhasil menjelaskan cara kerja
metode intuitif dalam proses pencarian kebenaran. Keduanya, al-Ghazali dan
Suhrawardi al-Maqtul sama-sama menekankan pengalaman mistik yang
bersifat supra- rasional, berkhalwat dan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk
masyarakat. Sementara itu, seperti dikatakan Ibnu Khaldun, baik teologi
maupun tasawwuf, pada masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan
persoalan-persoalan filsafat, sehingga menurutnya cukup sulit dibedakan.
Dua cabang ilmu Islam yang bersifat naqliyah tersebut, kini bergeser ke
wilayah ‘aqliyyah.
Kepopuleran Ibnu ‘Arabi tidak lepas dari peran salah seorang muridnya, alQunawi, semua sumber setuju bahwa al-Qunawi adalah juru bicara utama
ajaran Ibnu 'Arabi. Al-Qunawi adalah penulis 30 karya, yang lima
diantaranya adalah yang terpenting untuk penyebaran ajaran Ibnu 'Arabi,
yang turut menentukan bagaimana pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi
diinterpretasikan oleh sebagian besar pengikutnya. Bahkan sebagian karya
Ibnu ‘Arabi hanya dapat difahami melalui ungkapan-ungkapan yang
disampaikan al-Qunawi, dalam kata-kata pujangga Sufi terkenal, Jami,
“Adalah tidak mungkin untuk mengerti ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi mengenai
Keesaan Wujud dalam cara yang konsisten, baik dengan inteligensi maupun
hukum agama, tanpa mempelajari karya-karya al-Qunawi. Di antara yang
terpenting adalah Miftah al-Ghaib (The Keyto the Unseen), sebuah ulasan
sistematik tentang metafisika dan kosmologi Ibnu ‘Arabi; Tafsir al-Fatihah
(Commentary on the Opening Chapter ofthe Qur’an), sebuah eksposisi
tentang sifat “tiga buku" (al-Qur'an, semesta dan manusia), dan sebuah
korespondensi dengan Nasir al-Din al-Thusi representasi ternama filsafat
peripatetik Ibnu Sina. Dalam karya terakhir ini, al-Qunawi menunjukkan
kesamaan antara ajaran Ibnu ‘Arabi dengan ajaran peripatetik mereka,
sedangkan secara prinsipil keduanya adalah berbeda.
Beberapa karya Ibnu ‘Arabi adalah deskripsi-deskripsi mengenai hasil-hasil
pernungan sufistiknya. Sehingga kebanyakan berupa lembaran-lembaran tipis
yang menceritakan hasil dari pengalaman mistiknya. Osmen Yahya mencatat
850 karya Ibnu ‘Arabi dan hanya tersisa 400 karya saja yang masih bisa
diakses oleh kita. Dan dari 400 karya tersebut, kebanyakan adalah kumpulan
lembaran- lembaran tipis, tetapi ditemukan juga beberapa yang seukuran
buku.
Yang terpopuler dari semua karyanya adalah al-Futuhat al-Makkiyuh, Fusus
al-Hikam dan Tarjuman al-Ashwaq. Al-Futuhat al-Makkiyah adalah
ringkasan ilmu-ilmu gnostik dan agamis dalam Islam, di dalamnya dibahas
filosofi praktek-praktek spiritual Islam, makna dan sifat tiap tingkat ontologis
dalam alam semesta, makna spiritual dan ontologis huruf-huruf dalam alQur'an dan filosofi Asma’ al-Husna. Fusus al-Hikam adalah karya yang telah
dikomentari oleh lebih dari 100 komentar dalam berbagai bahasa. Karya ini
dikatakan Henry Corbin adalah ikhtisar terbaik doktrin-doktrin esoterik Ibnu
'Arabi, di dalamnya Ibnu 'Arabi membahas hikmah illahi yang diwahyukan
kepada dua puluh tujuh nabi yang berbeda atau kalam Tuhan dari Adam
sampai Muhammad; Ibnu ‘Arabi menunjukkan bagaimana tiap-tiap nabi
adalah pengejawantahan hikmah yang diimplikasikan oleh satu dari Namanama Ilahi. Dan Tarjuman al-Ashwaq; diwan pendek tentang puisi cinta ini
adalah karya pertama Ibnu ‘Arabi yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris. Konon, karya ini menurut cerita, ditulis Ibnu ‘Arabi dari rasa
cintanya pada putri Syeikh Isfahan. Namun, Ibnu 'Arabi menjelaskan bahwa
kandungan Tarjuman adalah berhubungan dengan kebenaran spiritual dan
bukan cinta yang profan. Selain ketiga karya tersebut, masih banyak karyakarya Ibnu ‘Arabi lainnya yang berhasil mensistensiskan beragam ilmu
pengetahuan.
Seluruh upayanya mensistensiskan ilmu pengetahuan dengan setiap dimensi
intelektual Islam menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah seorang pemikir
yang cukup berpengaruh, “kepribadian dan pemikiran cemerlang” Ibnu
'Arabi, yang disebut Franz Rosenthal, terus mengundang dan mengilhami
para pemikir muslim hingga kini.
1.
Filsafat Ibnu ‘Arabi Aliran ‘Irfani
Aliran ‘irfani atau tasawuf dalam istilah lainnya merupakan salah satu aliran
dalam filsafat Islam. Aliran ini mendasarkan pengenalan mereka pada
pengalaman mistik atau religius, pengalaman mistik ini, sesuai dengan
namanya, berbeda dengan penalaran, yang merupakan hasil pengalaman
intelektual. Para sufi menyebut modus pengenalan seperti itu dengan istilah
ma’rifat. Dan berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertumpu pada akal,
pengenalan sufistik bertumpu pada hati (qalb atau intuisi). Persepsi intuitif/
hati berbeda dengan persepsi intelektual, karena sementara akal
membutuhkan “perantara" dalam mengenal objeknya, misalnya dalam bentuk
huruf, konsep atau representasi. Persepsi intuitif “dikatakan" dapat
menembus langsung “jantung" objeknya.
Jalai al-Din Rumi mengatakan, akal dengan logika sebagai andalannya adalah
ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan sebagaimana kita tahu, kaki
palsu adalah selemah-lemahnya kaki. “Cinta”, misalnya, menurut para Sufi
tidak bisa difahami oleh akal diskursif karena sebanyak apapun teori cinta
dibaca dan diteliti, sebab cinta hanya bisa difahami dengan mengalaminya
secara langsung. Inilah yang dimaksud dengan pengenalan langsung intuitif,
sehingga sering disebut ilmu laduni, yaitu ilmu yang diperoleh secara
langsung. Tetapi pengenalan secara langsung itu terjadi, karena objek
penelitiannya tidak dianalisis sebagai objek yang terpisah dari subjeknya.
Objek itu justru hadir dalam jiwa penelitinya dan karena itu tidak bisa
dipisahkan dari subjeknya. Oleh karena objeknya hadir, maka modus
pengenalan yang seperti ini disebut juga ilmu hudhuri, yang dibedakan
dengan modus pengenalan rasional yang tidak langsung dan diperoleh lewat
representasi, sehingga ia disebut sebagai “ilmu hushuli". Selain itu karena
ma’rifah ini tidak bisa diperoleh melalui penalaran rasional, tetapi dicapai
hanya melalui pengalaman dengan cara merasakannya, maka ma’rifah
disebut ilmu dzauqi yang dapat dibedakan dengan penalaran akal, yang
disebut bahtsi (diskursif).
Disebabkan ketergantungan kuatnya pada akal, filosof dikatakan Ibnu ‘Arabi
telah menyembunyikan kebenaran (kuffar). Para filosof ini mencoba
menerangkan kebenaran dengan kosmologi langit dan melogikakannya, serta
melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan spiritual atau melepaskan dari
perolehan Tuhan. Ketika para filosof berkata bahwa tujuan filsafat adalah
untuk mendapatkan dan mencapai suatu kemiripan dengan Tuhan atau
teomorfisme (al-tasyabbuh bil ilah), yang mereka maksudkan adalah sama
dengan maksud kaum sufi ketika mereka berbicara tentang menjalankan
karakter Tuhan (al-takhalluq bi akhlaq Allah). Meskipun demikian, gagasan
para filosof tentang tasyabbuh sulit dipertahankan.
Meskipun Ibnu ‘Arabi kerap kali bersikap kritis terhadap para filosof, secara
umum ia lebih menyukai pandangan mereka dari pada pandangan
mutakallimin. Salah satu kelemahan kalam adalah bahwa kalam tidak
memasuki bidang kosmologi atau psikologi. Seperti dikatakan Ibnu ‘Arabi,
filosof adalah “orang yang menggabungkan dan memadukan pengetahuan
tentang Tuhan, alam, matematika, dan logika". Namun, teolog sebagai teolog
tidak memiliki pengetahuan tentang alam. Tetapi, dalam beberapa hal, Ibnu
‘Arabi memilih pandangan teologis dari pada filosofis. Misalnya, ia
mendukung teori kenabian doktrin Asy'ariyyah yang menyebutkan bahwa
kenabian hanya dapat dicapai oleh penunjukan Tuhan (ikhtishash), bukan
karena usaha (iktisab). Artinya, meski ia seorang sufi, ia juga memahami
kajian-kajian filosof dan ahli kalam serta mengupayakan perpaduan keduanya
dengan metodologi sufi itu sendiri.
Berbeda dengan aliran illuminasionis atau ide isyraqi-nya Suhrawardi yang
mensistensiskan filsafat dengan tasawuf melalui kosmologi cahaya, Ibnu
‘Arabi menjelaskannya berdasarkan maqam- maqam yang merupakan
langkah-langkah yang mesti ditempuh oleh seorang sufi. Yang dari setiap
maqam menawarkan maqam lanjutan sampai mencapai kesempurnaan
tertinggi yang disebutnya dengan insan al-kamil;manusia sempurna yang
telah mencerap nama-nama Tuhan ke dalam dirinya. Pencapaian ini
melampaui pencapaian yang disampaikan Suhrawardi yang hanya sampai
pada tahap penyaksian Tuhan (ma’rifah).
Konsep Tuhan digambarkan melalui teori wahdat al-wujud (kesatuan wujud),
yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada
satu wujud sejati, yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lain dari
sekedar manifestasi (tajalliat) dari wujud sejati tersebut, yang pada dirinya
tidak memiliki wujud sejati seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati dengan
alam digambarkan Ibnu ‘Arabi dengan “wajah" dengan “gambar".
Dikatakannya; “Wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah
yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin,
demikian juga kualitasnya, berbeda antara satu cermin dengan cermin yang
lainnya, maka pantulan Wajah yang sama dan satu itupun nampak berbedabeda. Itulah sebabnya, maka sekalipun Tuhan itu esa, tetapi pantulannya
(yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis-jenis.
Pelukisan hubungan Tuhan dan alam sebagai wajah dan cermin juga
menjelaskan pelajaran berharga lainnya. Yakni tentang kehadiran Tuhan dan
ketidakhadiran Tuhan, karena keberadaan kita sangat bergantung pada
keberadaan Tuhan atas cermin-cermin kita.
Ketergantungan alam pada Tuhan adalah seperti gambar yan< bergantung
pada pelaku yang bercermin, jika pelaku menggeser dai cermin, maka
penampakannya di cermin pun turut bergeser, jika pelak menjauh dari
cermin, penampakannya di cermin serta mert; menghilang. Itulah sebabnya,
“kehadiran Tuhan sangat jelas, karea sesaat saja Tuhan menarik kehadiranNya di alam ini, niscaya alar semesta ini akan hilang sebagaimana kalau kita
beranjak dari depai cermin, maka gambar wajah kita akan hilang dari
permukaan cermii saat itu juga. Dengan demikian kehadiran Tuhan di alam
semesta bis, diketahui dari keberadaan alam itu sendiri. Selama alam semestc
sebagai pantulan wajahnya ada, maka selama itu juga kehadiran Tuhai di
alam semesta dapat dipastikan, “tetapi begitu jelasnya,” kata Ibn' ‘Arabi,
“sehingga manusia tak dapat melihatnya, sebagaimana kelelawa tidak bisa
melihat matahari, bukan karena gelap, tetapi justru karen. terangnya.
Alegori “wajah, cermin dan gambar dalam cermin menghasilkan teori yang
menakjubkan, yaitu tentang kesejatia keberadaan Tuhan, dibanding
keberadaan alam dan segala isinye Seperti bayangan dalam cermin,
keberadaan alam adalah sesuatu yan tidak nyata, tidak kekal dan semu. Dan
realitas sejati yang nyata da kekal adalah Tuhan yang dari-Nya lah segala
kemajemukan bermulc maka kemajemukan dapat muncul dari Tuhan yang
esa, ide ini aga berbeda dengan kebanyakan filosof sebelumnya yang
menyataka bahwa dari Yang Esa hanya akan muncul sesuatu yang esa pula.
Jadi, Tuhan adalah satu-satunya realitas yang hak, seperti waja asli kita dihadapan cermin-, sebaliknya benda-benda di alam ini da juga manusia
meskipun nyata terlihat, terindera oleh diri kita, adala gambar dalam cermin,
yang kita tahu bahwa keberadaan mereka tida ada dalam arti yang
sesungguhnya, dan keberadaan mereka tergantun< secara mutlak pada
keberadaan “wajah" Tuhan yang sejati. Artinya, ap pun yang ada di alam
semesta hanyalah manifestasi-manifestasi llah yang tidak mungkin ada tanpa
keberadaan Tuhan, Sang Wujud Seja yang digambarkan Ibnu ‘Arabi dalam
gerakan sirkular, berawal da Tuhan dan berakhir pada Tuhan.
Seluruh manifestasi Tuhan dimulai dengan akal pertama, jiw universal, tabiat
universal, al-Haba', tubuh universal, bentuk, arsy, kurs al-falak al-athlas,
lingkaran bintang-bintang tetap, empat unsur, tujui planet, malaikat dan jin,
mineral, tumbuhan dan hewan lalu manusi.
dan kembali lagi ke Tuhan. Manifestasi ini dimulai dari sesuatu yang sangat
tinggi, yang mulia dan memiliki kedekatan dengan Tuhan (Akal Pertama),
secara perlahan menghasilkan manifestasi-manifestasi rendah sesuai dengan
jarak yang semakin jauh dari Tuhan, tapi manifestasi ini kemudian meningkat
kembali menjelang kedekatannya pada Tuhan. Tetapi prosesnya berbeda
dengan akal pertama, karena diturunkan dari Tuhan dan manusia manifestasi
terakhir berupaya menaikkan diri pada Tuhan. Maka, tingkat manusia
menjadi sarana yang sangat potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh
sifat Tuhan.
Perbedaan yang sangat signifikan antara aliran ini dan aliran lainnya dalam
filsafat Islam adalah pada konsep “manifestasi”. Dalam konsep ini, Tuhan
dan ciptaan-Nya tidak dipandang terpisah, tetapi justru menjadi prinsip dasar
yang “berada” dalam jantung alam semesta. Tuhan adalah immanen karena
hadir di alam ini, tetapi Tuhan juga transenden karena berbeda dari alam ini.
Hubungan keduanya adalah “manifestasi” dan “yang dimanifestasikan”,
manifestasi adalah akibat, maka yang dimanifestasikan adalah sebab, dan
tentu saja sebab akan jauh lebih real dan fundamental dari akibat. Itu
sebabnya, alam sangat bergantung pada Tuhan, yang dimanifestasikan,
Tuhan sama sekali tidak tergantung keberadaan-Nya pada apa pun.
Konsep immanen transenden ini berbeda dengan konsep emanasi peripatetik,
karena dalam peripatetik, alam bergerak dengan kehendaknya sendiri. Tuhan
diposisikan dengan “sangat” transenden, karena keterlibatannya dengan alam
akan mengganggu transendensitasnya. Itu sebabnya, mencapai pengetahuan
Tuhan adalah menggerakkan diri setiap alam untuk mendekati Tuhan dengan
memaksimalkan kekuatan akal. Dan meski memiliki kedekatan dengan
illuminasionis, aliran ‘irfani berbeda dengan illuminasionis. Pertama, karena
bagi ‘irfani, Tuhan bukanlah cahaya, yang pada proses menciptakan
membutuhkan proses-proses emanasi. Kedua, karena bagi ‘irfani, Tuhan
tetap melakukan pengawasan langsung pada segala ciptaan-Nya, dan
sebaliknya gerakan-gerakan alam ini mengikuti kehendak Tuhan karena
Tuhan bermanifestasi di dalamnya.
2.
Wahdah al-Wujud
Konsep transendensi (tanzih) dan immanensi (tasybih) Tuhan adalah satu dari
sekian karakter filosofis Ibnu ‘Arabi. Tuhan adalah Yang
Esa dan Yang Jamak sekaligus, kesemuanya diinspirasikan Ibnu 'Arabi dari
teori asma’ al-husna. Teori ini dinisbahkan pada surat al-Baqarah ayat 31;
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-Nama seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama itu jika memang yang benar’’. Sebagai Yang
Mengetahui nama-nama dan mencakup di luar nama-nama tersebut, Allah
adalah Realitas dari realitas-realitas. Dan manusia sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, sebagai manifestasi Tuhan, bentuk Tuhan atau cerminan Tuhan,
merupakan sosok yang tidak sempurna karena manusia hanya mewujudkan
sedikit dari Nama-Nama-Nya. Manusia sempurnalah yang mampu hidup
melebihi potensialitas manusiawi ini dan benar-benar mewujudkan keadaan
itu.
Nama-nama Tuhan yang terangkum dalam asma' al-husna, juga merupakan
entitas yang kekal, tidak ada perbedaan dalam eksistensi Tuhan meski
memiliki beragam Nama. Hanya ada satu wujud dan masing- masing nama
menekankan satu mode-ontologis-Nya. Tapi Tuhan dalam setiap esensi-Nya,
adalah melebihi batas-batas yang ditunjukkan setiap Nama-Nya, adalah Yang
Esa dalam arti yang berbeda ketimbang Tuhan yang dianggap sebagai
Pemilik Nama-Nama (dzatal-asma). Setiap Nama menunjukkan kekuatan
yang melebihi dari Nama-Nya tersebut, dan setiap Nama menunjukkan
kekuatan Tuhan dengan sempurna. Seluruh teori inilah yang kemudian
menginspirasi ide-idenya tentang wujud dan kemudian melalui komentarkomentar murid-muridnya terlahirlah ide “wahdah al-wujud' atau kesatuan
wujud.
Dalam menggunakan istilah wujud, Ibnu 'Arabi biasanya mempertahankan
pengertian etimologisnya. Baginya, wujud bukan hanya berarti “menjadi"
atau “mengada", melainkan juga “menemukan" dan “ditemukan". Ketika
diterapkan pada Tuhan, kata itu berarti bahwa Tuhan ada dan mustahil tidak
ada, dan bahwa Dia menemukan Diri- Nya Sendiri dan segala sesuatu serta
tidak mungkin tidak menemukan mereka. Dengan kata lain, wujud bukan
hanya menunjukkan eksistensi, melainkan juga kesadaran, keinsafan dan
pengetahuan. Pada makhluk, kata wujud dibedakan menjadi wujud mumkin,
yang keberadaannya bergantung pada wujud niscaya.
Dalam beberapa bagian pembahasannya, Ibnu ‘Arabi mengikhtisarkan
pandangannya dengan pernyataan “Dia/ bukan Dia". Sifat wujud dunia hanya
dapat difahami dengan menegaskan sekaligus menolak kesamaannya dengan
wujud Tuhan. Dimana melihat wujud adalah dengan melihat sisi yang
menegaskan “perbedaan"nya dengan Tuhan dan sekaligus menegaskan
“persamaan'’nya dengan Tuhan Konsep wahdah al-wujud adalah merujuk
pada makna bahwa Tuhan adalah realitas tunggal, satu dalam wujud-Nya dan
banyak dalam pengetahuan-Nya. Seperti analogi cermin yang majemuk dan
wujud Tuhan yang satu dan esa, dan alam yang majemuk.
Penting untuk difahami bagaimana upaya Ibnu 'Arabi mengaitkan
transendensi (tanzih) dan immanensi (tasybih) dengan dua kategori luas
Sifat-sifat Ilahi yang sering dibahas para pemikir muslim. Sifat-sifat yang
dimaksud adalah Rahmah, Ghadhab, Fadhl, ‘Adil, Jamal, Jalai, Luthf dan
Qahr. Al-Qur’an dan hadis mempertautkan Sifat-sifat yang berkonotasi
positif dengan kedekatan Tuhan pada makhluk-Nya, sedangkan Sifat-sifat
keras -tidak mesti berkonotasi negatif- dengan ketidakdekatan Tuhan dengan
makhluk-Nya. Pandangan Ibnu 'Arabi ini berhubungan erat dengan
epistemologinya, yang mensistensiskan intuisi dan penalaran rasional.
Dikatakan Ibnu ‘Arabi, penalaran rasional mengajarkan kita untuk membuat
perbedaan-perbedaan tertentu antara kita dengan Tuhan. Sehingga Tuhan
dipandang “transenden"dengan menempatkan-Nya jauh dari jangkauan
manusia. Tuhan didefinisikan dengan ungkapan-ungkapan negatif karena
Tuhan mesti selalu berbeda dengan manusia, karena penalaran membangun
jarak di antara Sang Khalik dengan makhluk-Nya. Tetapi, intuisi bekerja
dengan merasakan, mengharapkan kedekatan dan kehadiran, sehingga intuisi
memposisikan Tuhan menjadi “immanen” karena kebutuhan manusia untuk
menjadi dekat dengan Tuhan-Nya. Melatih intuisi secara terus menerus
membuatnya mengalami kasyf atau penyingkapan, memberikan jalan bagi
tubuh dan ruh untuk mengakui dan menerima kehadiran Tuhan dalam segala
sesuatu.
Transendensi dan immanensi Tuhan adalah dua hal yang tidak terpisahkan,
keduanya harus selaras dalam diri manusia. Transendensi membangun rasa
hormat pada Tuhan, Sang Pencipta dan immanensi membangun kedekatan,
Kasih Sayang dan Rahmat Tuhan. Bagi Ibnu ‘Arabi sendiri, Tuhan melalui
ayat-ayat-Nya menegaskan bahwa Rahmat-Nya adalah sifat yang mendasari,
serba meliputi realitas dari pada Kemarahan-Nya.
Menarik kemudian, ketika Ibnu ‘Arabi menjelaskan bagaimana perbuatan
jahat terbentuk. Karena ketika menggulirkan ide immanensi, di mana Tuhan
hadir pada setiap ciptaan-Nya memunculkan premis lain; “mungkinkah
Tuhan berperan dalam kejahatan yang dilakukan makhluk- Nya”. Ketika
Tuhan menciptakan, menurut Ibnu ‘Arabi, Tuhan membawa entitas dari
esensial menjadi eksistensi, dari zat yang tidak terlihat menjadi terbentuk dan
terlihat. Saat menjadi eksistensi itulah, manusia diberi kebebasan untuk
menentukan, bagaimana mereka akan bertindak dan apa takdir akhir mereka
yang akan terjadi". Itu sebabnya, dikatakan Ibnu ‘Arabi, Tuhan menurunkan
firman-Nya dalam bentuk perintah dan larangan, yakni untuk memperjelas
batasan-batasan yang dapat dilakukan oleh makhluk-Nya.
Lalu dari mana kejahatan berasal, karena alam semesta berada dalam kuasa
Yang Maha Baik, Ibnu 'Arabi melogikakannya dengan teori wujud. Di mana
Tuhan adalah Wujud Total, Yang Maha dari segala Maha, dan setiap
makhluknya adalah wujud yang mungkin. Karena kedudukannya sebagai
“wujud mungkin" bukan wujud total, maka ia adalah sesuatu yang noneksisten. Untuk segala hal yang maujud karena posisinya sebagai wujud
mungkin, maka kejahatan berasal dari sini, dari sisi non-eksisten atau yang
diistilahkan dengan sisi kegelapan. Al-Qunawi mencoba mengurai makna
kejahatan ini dengan “Yang tidak sesuai dengan tujuan manusia dan tidak
cocok dengan sifat dan keadaannya”. Al-Qunawi menunjukkan bahwa ketika
jiwa meninggalkan keadaan seimbang (equilibrium) yang ditentukan oleh
syari’ah dan tariqah, ia jatuh di bawah kekuasaan Nama-nama Kekerasan,
seperti orang yang tersesat, orang yang murka, orang yang membahayakan
dan pendendam. Sebagai sebuah akibat, pengaruh Nama-nama tersebut
menjadi nyata di dunia, atau di dunia lain, dalam bentuk yang tidak sesuai
dengan jiwa seperti penderitaan, hukuman, penyakit, terasing dari Tuhan dan
kejahatan.
Dari semua makhluknya, manusia adalah sosok yang memiliki komponen
keduanya, nama-nama dari kebaikan dan nama-nama dari sisi kekerasan.
Karena manusia adalah sarana yang sangat potensial; tempat tajalliseluruh
sifat Tuhan. Adapun alam ini, adalah teofani Nama- nama yang Baik, alam
merupakan sumber kecantikan dan objek cinta (mahabbah). Dan seluruh alam
ini, makhluk Tuhan mencintai Tuhan, mencintai segala yang
termanifestasikan di dalam yang tercinta, di mata setiap pecinta. Dan tidak
ada sesuatu pun kecuali para pecinta, juga semua yang ada di alam ini adalah
pecinta dan tercinta, dan semua dapat direduksi kepada-Nya. Manusia pun
mencintai segala hal yang menjadi manifestasi cinta Tuhan, manusia
mencintai lawan jenisnya (manusia lain) karena lawan jenisnya pun
manifestasi Tuhan, mencintai alam ini, mencintai uang, mencintai jabatan,
mencintai segala hal yang termanifestasikan dan segala hal yang
termanifestasikan inilah yang non- eksisten.
Melalui filosofi transendensi dan immanensi inilah ide “Wahdatul Wujud"
terlahir. Dimana Tuhan adalah realitas tunggal yang melingkupi segala
sesuatu, dalam beberapa hal, ide ini bukan tanpa kritik. Ibnu Taimiyah
misalnya mengkritik Ibnu ‘Arabi karena dianggap menyamakan Tuhan
dengan makhluk-Nya. Tetapi, jika dikaji lebih dalam, pandangan Ibnu ‘Arabi
terhadap transendensi dan immanensi memperlihatkan proyeknya untuk
mengintegrasikan seluruh ilmu Islam di bawah naungan Tauhid.
Mensistensiskan hasil kerja filosof yang menekankan penalaran dan hasil sufi
yang menekankan kedekatan dengan Tuhan-Nya, kehadiran dan merasakan
Tuhan-Nya. Itu sebabnya, manusia sempurna atau insan al-kamil adalah
seseorang yang dapat memadukan keduanya. Tidak hanya berkhalwat dan
menjauhkan diri dari dunia untuk mendekatkan diri pada Tuhan melalui
pengalaman mistis, tetapi juga menjalankan fungsinya sebagai khalifah di
muka bumi, menjaga dan mencintai manifestasi-manifestasi Tuhan.
3.
Manusia Sempurna
Seperti pemikiran sufi lainnya yang menegaskan proses tertinggi dari
perjalanan spiritual, Ibnu 'Arabi pun menegaskan insan kamil atau manusia
sempurna sebagai tempat tertinggi dari fase demi fase perjalanan spiritual.
Kesempurnaan manusia disini mencakup semua realitas dan "dimunculkan"
yakni dia memahami dunia ini, dia juga menghubung antara Tuhan dan alam,
karena dia mengetahui Yang Ilahi dan realitas-realitas yang timbul (maujud).
Karena kesempurnaannya, manusia ini dapat merangkum yang jamak (alam)
dan Yang Esa (Tuhan). Perangkuman diantara alam dan Tuhan ini adalah
potensi manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya, manusia
dituturkan Ibnu 'Arabi dianugerahi persepsi indera yang berpotensi untuk
menggali dan memahami yang terjadi di alam ini dan dianugerahi imajinasi
yang berhubungan erat dengan wilayah jiwa, yang dapat berkomunikasi
dengan Tuhan dalam kadar-kadar tertentu. Komunikasi inilah yang
dideskripsikan sufi melalui maqam demi maqam sampai dengan maqam
tertinggi, “ma’rifah", “mahabbah" dan “wahdat al-wujucf'.
Konsep insan kamiI Ibnu ‘Arabi ini berusaha diurai al-Qunawi dengan
menyatakan bahwa manusia sempurna mengandung "Kehadiran Sifat Ilahi
yang lima"; yakni 1). Realitas dari realitas-realitas atau kehadiran
pengetahuan; 2). Dunia Ruh; 3). Dunia Imajinasi; 4). Dunia Badaniah dan 5).
Kehadiran semua secara menyeluruh, yaitu manusia sempurna dengan
totalitas tugasnya. Maka, manusia sempurna adalah makrokosmos sedang
manusia adalah mikro kosmos, prototipe ontologis baik bagi alam maupun
manusia individu. Khalifah Tuhan di muka bumi ini dan merealisasikan
asma’ al-husna dalam sikap-sikapnya.
Gagasan tentang manusia sempurna melengkapi pandangan Ibnu 'Arabi
tentang Tuhan dan alam semesta, atau tentang wujud dan imajinasi, dengan
suatu teleologi. Tuhan menciptakan alam semesta dengan tujuan agar Dia
dikenali dan diketahui, karena Tuhan memiliki beragam kekayaan
tersembunyi. Namun, pengetahuan ini hanya dapat diaktualisasikan melalui
manusia. Diciptakan menurut citra atau bayangan Tuhan, manusia memiliki
potensi untuk menghidupkan semua Sifat-Nya. Orang-orang yang mampu
melakukan ini dengan tingkat imajinasi yang tinggi dan terkontrol yang
menghubungkan diri- Nya dengan Tuhan, yang lazimnya disebut para Nabi
dan Wali Tuhan.
Imajinasi adalah kata kunci penting dalam filsafat Ibnu 'Arabi, dari kata
imajinasi ini pula, Ibnu ‘Arabi menjelaskan segala kemungkinan di alam ini.
Ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi tentang imajinasi (khayal, mitsal) memakai
ontologi Dia/ bukan Dia pada setiap tingkat eksistensi, la menggunakan kata
imajinasi untuk menyebut segala yang berkaitan dengan suatu keadaanantara, bukan hanya dengan daya fikir yang melengkapi akal. Contoh baku
tentang realitas imajinal adalah citra atau bayangan cermin, yang bukan
merupakan cermin dan bukan pula sesuatu (benda) yang dipantulkan,
melainkan merupakan kombinasi dari keduanya.
Dari term imajinasi ini ada dua makna mendasar yang dapat diturunkan, arti
pertama adalah ‘segala sesuatu yakni selain Tuhan’ adalah imajiner. Atau
gambaran di dalam cermin, realitas imajinasi ini dapat berubah dalam setiap
keadaan dan nyata dalam setiap bentuk. Karena itu selain Tuhan adalah
imajinasi dalam proses perubahan, dari faham ini, bagi Ibnu ‘Arabi segala
sesuatu yang ada di dunia ini harus diinterpretasikan (tilta’bir) karena
segalanya hanyalah berupa mimpi- mimpi. Kedua, “imajinasi" mengacu pada
wilayah ontologis antara dunia spiritual dan dunia lahiriah, juga disebut
“isthmus” (barzakh) dan dunia “lembar-lembar imaji" (mitsal). Dunia
imajinasi adalah penegas antara ruh yang tidak nyata dengan dunia lahiriah,
dunia “antara" ini terbagi ke dalam dua bentuk imajinasi, satu diantaranya
berdampingan (muttasil) bagi jiwa kita dan satu lagi tidak berdampingan
(munfasil).
Untuk memahami posisi alam imajinasi ini, Ibnu ‘Arabi membagi alam
semesta dari dua alam besar, yang disebut dalam al- Our'an dan hadis; alam
yang tampak (at-Syahadah) dan yang tidak tampak (al-Ghaib) atau alam
jasmani dan alam ruhani. Dan diantara kedua alam itu dikatakan Ibnu ‘Arabi
terdapat alam imajinasi yang tidak murni jasmani dan tidak murni spiritual.
Di alam imajinasi inilah kasyf atau penyingkapan berlangsung, malaikat
turun kepada nabi membawa wahyu Tuhan, dan semua kejadian setelah mati
seperti yang dilukiskan dalam al-Qur'an dan hadis berlangsung di dunia ini.
Pada tingkat mikrokosmik, imajinasi berhubungan erat dengan wilayah jiwa,
yang berada di antara ruh dan badan. Tempat konektifitas ini khususnya
terjadi pada intuisi, yang dapat menggerakkan seluruh potensialitas dirinya
sebagai manusia. Untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya, alQunawi mencoba mengurainya dengan “teori keseimbangan". Manusia
seperti dituturkan Ibnu ‘Arabi meliputi tiga dunia; ruh, imajinasi dan jasmani,
ketiganya harus berada dalam porsi yang tepat, keseimbangan yang
menyeluruh, jika satu dari lainnya menjadi kurang atau lebih, maka
penyimpangan akan terjadi.
Demi keseimbangan tersebut, Ibnu 'Arabi menganjurkan ketaatan terhadap
sunnah Nabi dan Syari'ah. Jalan ini adalah jalan penyucian dan
penyempurnaan diri yang tidak hanya diterapkan bagi seorang Sufi tapi juga
bagi seorang muslim, dan Ibnu ‘Arabi menekankan betul tingkat konsentrasi
setiap peribadatan ini, karena konsentrasi ini menghubungkan tiga kekuatan
manusia dalam ketepatan yang sesuai. Untuk kekuatan konsentrasi ini, al-Jani
meringkas ajaran-ajaran Ibnu 'Arabi ke dalam sepuluh prinsip: 1). Shalat
tepat waktu dan menjaga kesucian moral; 2). Tak henti-hentinya mengingat
(dzikr) kepada Tuhan; 3). Menghilangkan semua fikiran kotor; 4). Senantiasa
memeriksa kesadaran (muraqabah)\ 5). Meninjau perbuatan sehari-hari
(muhasabah)', 6). Perhatian pada kesadaran bathiniah dari seorang Syeikh; 7).
Puasa; 8). Waspada; 9). Berbicara baik atau diam; 10). Rendah hati dan
wajahnya berlinang air mata.
Keseluruhan ajaran Ibnu ‘Arabi yang ini dikatakan murid- muridnya sebagai
“penutup kesucian Muhammad’1. Klaim ini diberikan, karena ajaranajarannya mencakup seluruh ajaran Islam, dan yang ketika itu dalam praktek
sufi, selalu ada cara-cara berbeda mencapai pengetahuan dan kebenaran dan
konon dapat menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri. Dan Ibnu 'Arabi
berhasil menyederhanakannya melalui bahasa-bahasa doktrinal yang selama
ini diuraikan dengan rumit oleh para guru sufi dengan menguraikan misteri
gnosis. Agaknya, kemampuannya menguraikan karena Ibnu ‘Arabi berupaya
juga memahami tingkat logika manusia melalui filsafat dan teologi.
Catatan:
1
Gibril adalah simbolisasi yang diberikan Suhrawardi untuk
menjelaskan esensi- esensi “Malakut".
2
Murdad adalah simbolisasi yang juga disepakati oleh teosof Persia
untuk menunjukkan cahaya yang memancar dari pepohonan
3
Khurdad adalah simbolisasi yang juga disepakati oleh teosof Persia
untuk menyatakan bahwa air memiliki cahaya pemilik ikon tertentu.
r Urbibihisyt adalah simbolisasi yang juga disepakati oleh teosof Persia untuk
mendeskripsikan “api”.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata dkk., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta,
UIN Press, 2003)
Edward W. Said, Orientalism, (New York, Vintage Books, 1979)
Ibrahim Madkur, Fial-Falsafatal-lslamiyah Manhaj wa Tathbiqihi, (Mesir,
Dar al-Ma'arif, 1976)
John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation, terj.,
Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog, (Jakarta, Mizan,
2004)
Moeflich Hasbullah, ed., Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta, Cesindo, 2000)
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Flsafat Islam,
(Jakarta, Lentera Hati, 2006)
Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN
Press, 2003)
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy,
terj., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung, Mizan, 2003)
Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, World Spirituality:
Manifestations, terj., Islam Intelektual; Teologi, Filsafat dan Ma’rifat,
(Depok, Perenial Press, 2001)
Drs. H. Achmad Ghalib, MA, lahir di Purworejo pada tanggal 15 Oktober
1954. Setelah menamatkan Madrasah Wajib Belajar tahun 1966, ia memasuki
Pendidikan Guru Agama (PGA) al-Ma’arif II Purworejo 4 tahun dan lulus
tahun 1970, langsung melanjutkan pada PGA Negeri Purworejo 6 tahun dan
lulus tahun 1972. Gelar Sarjana Muda Pendidikan Agama (BA) diperoleh
dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 3
Maret 1976 dengan judul risalah: “Sistem Pengajian di Desa Sucenjurutengah
dalam Mensukseskan Pembangunan Mental Spiritual”. Gelar Sarjana
Lengkap (Drs.) diperolehnya tahun 1989 pada Jurusan Pendidikan Agama
Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan judul skripsi
“Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surat an-Nisa ayat 59 Bagi
Remaja Komp. Departemen Agama Bambu Apus”. Kemudian ia melanjutkan
ke Program Magister (S2) Studi Islam Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ), gelar Magister Agama (M.A) Konsentrasi
Pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 1999 dengan judul tesis
“Kedudukan Akal dalam Pemikiran Teologi Harun Nasution”.
Setelah Sarjana Muda (BA) di samping mengajar di Madrasah Tsanawiyah
dan Aliyah mulai 15 September 1976 sampai 30 September 1979, selama 2
tahun beliau juga menyempatkan diri menjadi Tenaga Kerja Sukarela (TKS)
BUTSI di Rantau Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan, dengan tugas
menjadi pelopor dan penggerak pembangunan dan pembaruan di pedesaan
khusus sebagai dinamisator kegiatan remaja.
Pada tahun 1980, ia menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Tenaga
Administrsasi di bagian registrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
dijalaninya dengan penuh keyakinan, ketekunan dan semangat tinggi untuk
melanjutkan studi lebih tinggi, sehingga semangat untuk melanjutkan studi
itu pun dapat terwujud. Dengan penuh kesabaran karena berbagai aturan dan
peraturan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, maka baru pada tahun 1987
memperoleh kesempatan kuliah di luar jam dinas (sore hari) pada Fakultas
Tarbiyah Universi¬tas Muhammadiyah Jakarta Jurusan Pendidikan Agama.
Sepuluh tahun kemudian baru memperoleh kesempatan mengikuti kuliah
program magister (S2) Studi Islam di Univer¬sitas yang sama dengan
konsentrasi Pemikiran Islam.
Setelah selesai sarjana lengkap pada tahun 1989, ia juga mendapat
kesempatan mengajar sebagai Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dulu Fakultas
Tarbiyah IAIN Jakarta) dalam mata kuliah Dirasah Islamiyah (Studi Islam)
dari tahun 1989-1998. Pada tahun yang sama juga, ia juga bertugas sebagai
tutorial Program Penyetaraan GPAI SD/MI di Satgas Jakarta Timur dan
Jakarta Selatan. Pada tahun 1998-2003 ia menjabat sebagai Kabag
Perencanaan dan Sistem Informasi UIN Jakarta. Di samping itu, juga tercatat
sebagai Dosen Fakultas Sain dan Teknologi pada Universitas yang sama. Di
tengah kesibukannya sekarang, sebagai Pembantu Dekan Bidang
Administrasi Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, ia juga menyempatkan mengadakan penelitian dan
menulis, baik di berbagai jurnal yang terbit di lingkungan UIN Jakarta
maupun dalam bentuk buku. Sekarang, status kepegawaiannya adalah sebagai
Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta dengan
pangkat Lektor Kepala sejak tahun 2003.
Download