pembelajaran materi ajar suplemen berbasis kbk dengan model

advertisement
ISSN 0215 - 8250
782
IMPLEMENTASI MODUL EKSPERIMEN SAINS BERBASIS
KOMPETENSI DENGAN MODEL EXPERIENTIAL LEARNING
DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PELAKSANAAN
KBK DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI
SMP NEGERI SUKASADA
oleh
IB. Mardana
Jurusan Pendiidkan Fisika
Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan pada tahun ajaran
2005/2006, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan KBK
dalam pembelajaran sains di SMP Negeri Sukasada. Penelitian ini
melibatkan 44 orang siswa di kelas IA, dan 42 orang di kelas IIA SMP
Negeri 1 Sukasada. Data penelitian dikumpulkan dengan tes penguasaan
konsep, tes hasil belajar, pedoman observasi dan angket respon siswa. Data
yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada siklus-1, di kelas IA rerata aktivitas belajar siswa
mencapai 3,56 (aktif), rerata kompetensi sains 68,9 (cukup). Di lain pihak
di kelas II A, rerata aktivitas belajar siswa mencapai 3,90 (aktif), rerata
kompetensi sains 69,5 (cukup). Pada siklus-2, rerata aktivitas belajar siswa
di kelas IA mencapai 3, 80 (aktif), rerata kompetensi sains 76,8 (baik).
Rerata aktivitas belajar siswa kelas II A mencapai 3,90 (sangat aktif),
rerata kompetensi sains 79,1(baik). Pembelajaran modul eksperimen
dengan model experential learning dapat meningkatkan aktivitas belajar
dan kompetensi dasar sain siswa SMP Negeri 1 Sukasada. Siswa dan guru
memiliki respon yang positif terhadap pembelajaran.
Kata kunci : modul eksperimen berbasis komptensi, model experential
learning, aktivitas belajar, kompetensi sains, respon.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
783
ABSTRACT
This classroom-action based research was conducted in academic
year 2005/2006, aiming at improving the quality of competency-based
curriculum (CBC) implementation on science teaching at SMP 1 Sukasada.
The study involved 44 students of class IA, and 42 students of class IIA in
that particular school. The data in this study were collected through the use
of concept mastery test, achievement test, observation sheets, and
questionnaire. The data gathered were analyzed both qualitatively and
qualitatively. The result of the study in cycle 1 showed that the average
scores of the student of class IA were 3,56 (active) on their learning
activity, and 68,9 (sufficient) on their science competence. Meanwhile, in
class IIA, the students’ average scores on their learning activity and science
competency were respectively 3,90 (very active) and the 69,5 (sufficient).
In cycle 2, the average scores of the students of class 1I were 3,80 (active)
on their learning activity and 79,1 (good) on their science competence.
Hence, the implementation of competency-based science experiment modul
by using experiential learning model could improve the learning activity
and basic science competency of the students in SMP Negeri Sukasada. The
students and the teachers had good response toward the teaching and
learning processes.
Key words : competency-based science experiment modul, experiential
learning model, learning activity, science competency, and
response.
1. Pendahuluan
Dalam era globalisasi ini diperlukan SDM yang mampu
berkompetisi dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat ditentukan oleh
penguasaan ilmu sains. Teknologi tak dapat berkembang tanpa dukungan
sains. Oleh karena itu penguasaan sains harus diupayakan melalui
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
784
peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran sains mulai dari SD sampai
perguruan tinggi. Salah satu upaya yang telah dilakukan salah satunya
adalah pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) tahun 2004.
Dalam KBK disebutkan bahwa belajar sains tidak sekedar belajar
informasi sains tentang fakta, konsep, hukum dalam wujud pengetahuan
deklaratif (declarative knowledge), akan tetapi belajar sains juga belajar
tentang cara memperoleh pengetahuan sains, cara sains dan teknologi
(terapan sains) yang bekerja dalam wujud pengetahuan prosedural
(procedural knowledge), termasuk kebiasaan bekerja ilmiah dengan
menerapkan metode dan sikap ilmiah (Depdiknas, 2002). Mengingat KBK
merupakan hal yang baru, maka dalam pelaksanaannya pada tataran
pembelajaran di kelas masih mengalami banyak kendala baik dari segi
teknis maupun non teknis, terbukti masih banyaknya keluhan yang datang
dari guru maupun siswa karena pembelajaran yang dicanangkan belum
memberikan hasil belajar yang maksimal (Dantes, 2003), seperti yang
terjadi di SMP Negeri Sukasada, khususnya di kelas IA dan IIA. Rendahnya
penguasaan kompetensi dasar sains yang dicapai siswa merupakan refleksi
dari rendahnya kualitas pelaksanaan KBK dalam pembelajaran sains di
SMP Negeri Sukasada.
Beberapa permasalahan teridentifikasi dalam pembelajaran sains
berbasis KBK di kelas IA dan IIA adalah sebagai berikut 1) guru belum
mengoptimalkan pemberdayaan aktivitas eksperimen dalam kegiatan
pembelajaran sains secara komprehensif dan seimbang; 2) guru jarang
menggali dan menggunakan pengalaman awal sains siswa (prior
experience) sebagai starting point dalam merancang pembelajaran sains; 3)
Guru kesulitan merancang pembelajaran sains yang dapat memberikan
pengalaman sains pada siswa secara holistik-integeratif sehingga
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
785
mendorong terjadinya proses transformasi pengalaman sains sehari-hari
menuju pengalaman sains saintifik.
Mengkaji upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sains
berbasis KBK di SMP Negeri Sukasada, salah satu upaya yang tampaknya
cukup
relevan
adalah
memberikan
suatu
tindakan
berupa
pengimplementasian modul eksperimen sains berbasis kompetensi dengan
model experiential learning sebagai upaya meningkatkan kualitas
pelaksanaan KBK dalam pembelajaran sains di kelas IA dan IIA SMP
Negeri Sukasada. Pemilihan tindakan ini didasarkan pada landasan teoretikempirik bahwa kompetensi sain secara optimal dapat dibangun pada diri
siswa jika pembelajaran sain yang dirancang guru mampu menyediakan
pengalaman belajar holistik-kontekstual menuju transformasi pengalaman
sains yang bersifat sainstifik pada diri siswa.
Dalam penelitian ini dikembangkan beberapa permasalahan yang
secara operasional dirumuskan sebagai berikut; 1) bagaimana profil
pengalaman awal (prior experience) siswa SMP Negeri Sukasada tentang
sains?, 2) Apakah implementasi modul eksperimen sains berbasis
kompetensi dengan experiential learning model dalam pembelajaran sains
dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa SMP Negeri Sukasada?, 3)
Apakah pembelajaran modul eksperimen sains berbasis kompetensi dengan
experiential learning model dapat meningkatkan kompetensi dasar sains
siswa SMP Negeri Sukasada?, 4) Bagimanakah respon siswa dan guru SMP
Negeri Sukasada terhadap implementasi modul eksperimen sains berbasis
kompetensi dengan experiential learning model ?
Ketidakefektifan pembelajaran sains selama ini karena
pembelajaran yang dilaksanakan berlandaskan pada kesalahan asumsi
tentang belajar, yakni 1) belajar bersifat ekclusif (book-oriented), artinya
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
786
tidak menyasar pada kompetensi menuju penguasaan kognitif, skill, dan
sikap pada situasi yang konstekstual, 2) belajar bersifat pasif, artinya tidak
ada proses internalisasi individualistik pada siswa melalui kegiatan
concrete experience, reflective observation, abstract conceptualisation dan
active experiment dalam konteks interaksi sosial, dan 3) lingkungan
pembelajaran yang kurang konstruktivis. Untuk menanggulangi ketidak
efektifan ini, model experiential learning menawarkan pendekatan
instruksional yang dapat 1) mengintegrasikan pengalaman awal siswa
dengan pengalaman saintifik (Boud, D. 1985; Jeremy Roschelle. 1996), 2)
belajar sambil bekerja (work-based laboratory) ( Travers, N. 1998), 3)
pendidikan yang besifat kooperatif dalam konteks sosial (Rogoff, B. 1990;
Mellor, A. 1991), dan 4) menjamin penguasaan kompetensi sains yang
memadai (Hutchings, P., & Wutzdorff, A. 1988; Rutgers, 2004; Henry,J.
1989; Kolb, 1994).
Pengalaman belajar yang diperoleh siswa melalui tahapan concrete
experience, reflective observation, abstract conceptualisation dan active
experiment dapat memperkuat penguasaan sains siswa secara teori
konseptual maupun praktis kontekstual. Tersedianya modul eksperimen
sains berbasis kompetensi akan memandu siswa dalam menginternalisasi
secara individual konsep/keterampilan sains di bawah bimbingan guru dan
teman belajar sesuai dengan karakterisitik prior experience sains siswa.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kemal Ahmet (1994), Mellor, A
(1991), dan Nadine Ryan Bannerman (2003) menunjukkan bahwa model
experiential learning secara signifikan mampu meningkatkan kompetensi
pebelajar dalam bidang sains.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
787
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dirancang
atas 2 (dua) siklus selama enam bulan, masing-masing siklus berjalan
selama tiga bulan. Setiap siklus dalam rancangan ini terdiri atas empat
tahapan kegiatan, yaitu :1) Perencanaan, 2) Tindakan , 3) Observasi dan
Evaluasi, dan 4) Refleksi yang berulang secara siklis (Tantra, 1997).
Subyek penelitian adalah semua siswa kelas IA (44 orang) dan IIA (42
orang) SMP Negeri Sukasada tahun ajaran 2005/2006.
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, maka
data yang dikumpulkan adalah 1) prior experience, 2) proses pembelajaran,
3) aktivitas, 4) kompetensi sains, dan 5) respon guru/siswa. Instrumen yang
digunakan adalah 1) tes penguasaan konsep, 2) pedoman observasi, tes
kompetensi sains, respon. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis
secara kualitatif dan dideskripsikan secara naratif.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Modul eksperimen yang dibelajarkan pada siklus I di kelas IA
adalah (1) mengukur dan mengkonversi satuan panjang, masa dan waktu
secara sederhana, (2) faktor yang mempengaruhi kelarutan, (3)
mengidentifikasi bahan kimia dan zat aditif, sedangkan modul eksperimen
yang dibelajarkan di kelas IIA adalah (1) mengukur suhu zat dengan
termometer, (2) penentuan titik tetap atas dan titik tetap bawah pada
termometer berskala, dan (3) pemuaian zat padat, zat cair dan gas. Dalam
pelaksanaan eksperimen di laboratorium siswa kelas IA dan kelas IIA dibagi
menjadi 8 kelompok, dimana anggota masing-masing kelompok
sepenuhnya diserahkan kepada siswa, namun tetap dipersyaratkan bersifat
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
788
heterogen baik dalam potensi akademik maupun komposisi lakiperempuan.
Dari hasil tes diagnostik dan observasi/wawancara ditemukan
bahwa siswa kelas IA sudah memiliki pengalaman awal berupa konsep dan
keterampilan awal berkaitan dengan materi pengukuran, konsep kelarutan,
dan bahan kimia/zat aditif. Demikian juga siswa kelas IIA juga sudah
memiliki pengalaman awal tentang suhu/ termometer, dan pemuaian.
Namun sebagian besar masih bersifat miskonsepsi. Hampir 75% siswa
kelas I tidak bisa melaksanakan pengukuran secara benar, 65%
mengkosepsi salah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan.
Demikian juga di kelas II, hampir 80% siswa miskonsepsi dalam konsep
suhu dan temperatur. Kesalahan konsep dan randahnya keterampilan
laboratorium siswa diupayakan penanggulangannya selama proses
pembelajaran.
Proses pembelajaran modul dilakukan dengan mengimplementasikan tahapan-tahapan model experential learning, meliputi (1) concrete
experience, (2) reflective observation, (3) abstract conceptualization, dan
(4) active experimentation. Pada Tahap active experience, siswa diberikan
pengalaman nyata berkait dengan modul eksperimen, mulai dari
penggunaan alat, konsep dan masalah real yang terkait. Kemudian pada
tahap reflective-observation siswa didorong untuk melakukan pengamatan
terhadap fenomena yang terdapat saat melaksanakan concete experimen,
terus melakukan refleksi terhadap hasil yang diperolehnya. Selanjutnya
pada tahap abstract conceptualization, siswa dibimbing untuk mampu
memberikan penjelasan konseptual-matematis terhada fenomena tersebut.
Berangkat dari penjelasan konseptual matematis ini siswa didorong untuk
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
789
mampu melaksanakan active experiment lebih lanjut yang link dan match
dengan pengalaman yang sedah diperoleh sebelumnya.
Hasil observasi pembelajaran modul eksperimen dengan model
experiential learning menunjukkan bahwa siswa kela IA maupun kelas IIA
mulai berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Banyak siswa menunjukkan
keantusiasan dan keseriusan belajar, terutama memberikan respon terhadap
pengalaman nyata dalam kegitan praktikum yang sudah dipandu dengan
modul eksperimen. Namun dalam melakukan observasi dan refleksi
terhadap kegiatan eksperimen, siswa kelas kelas IA maupun kelas IIA masih
memerlukan bimbingan dari guru pengajar, karena mereka masih kesulitan
dalam menggunakan beberapa peralatan yang diperlukan seperti, alat ukur,
termometer, dan sarana laboratorium lainnya. Kemandirian siswa dalam
mengabstraksi konseptual hasil eksperimen relatif masih lemah, karena
siswa sangat bergantung pada penjelasan guru. Namun secara keseluruhan
pembelajaran modul eksperimen sains dengan model experential learning
telah mampu mengundang partisipasi aktif siswa terutama dalam upaya
memperoleh pengalaman sains baru melalui keterlibatan mereka dalam
kegiatan eksperimen. Dari hasil analisis diperoleh rerata skor aktivitas
siswa kelas IA maupun kelas IIA beruturut-turut sebesar 3,56 (berkualifikasi
aktif) dan 3,75 (berkualifikasi aktif). Pada siklus I, aktivitas belajar seluruh
siswa belum optimal, karena masih terobservasi dalam eksperimen ada
siswa yang tidak melakukan kegiatan sama sekali karena jumlah kelompok
terlalu besar dan alat laboratorium yang tersedia terbatas. Pada siklus II
penanggulangan dilakukan dengan penyiapan dan pengadaan alat
laboratorium yang dapat memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok kecil
praktikum, penugasan pengerjaan tugas-tugas pre-eksperimen di rumah,
dan membaca modul ekperimen sebelum kegiatan eksperimen berlangsung.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
790
Berdasarkan hasil analisis terhadap pencapaian kompetensi dasar
sains pada siklus I di kelas I A diperoleh rata-rata kelas sebesar 68,9 dengan
ketuntasan klasikal sebesar 64,28%. Sedangkan di kelas IIA diperoleh ratarata kelas sebesar 69,5 dengan ketuntasan klasikal sebesar 68,9%. Hasil
yang diperoleh pada siklus I ini belum memenuhi kreteria keberhasilan
mengingat rata-rata kelas kurang dari 75, dan ketuntasan kurang dari 85%.
Modul eksperimen yang dibelajarkan pada siklus II di kelas IA
adalah (1) jarak dan perpindahan, (2) gerak lurus beraturan, dan (3) gerak
lurus berubah beraturan, sedangkan modul eksperimen yang dibelajarkan
di kelas IIA adalah (1) muai volume zat cair, (2) pengaruh kalor terhadap
perubahan suhu, dan (3) pengaruh kalor terhadap perubahan wujud zat.
Mekanisme yang ditempuh dalam pembelajaran modul eksperimen pada
siklus II hampir sama dengan siklus I, namun dalam kegiatan kelompok
diupayakan untuk memberdayakan beberapa siswa dengan potensi
akademik tinggi untuk membantu kelompok lain yang mengalami kesulitan
dalam melakukan kegiatan eksperimen.
Dari hasil tes diagnostik dan observasi awal, ternyata siswa kelas IA
sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal tentang konsep jarakperpindahan, gerak lurus beraturan dan gerak lurus berubah beraturan,
namun sebagian besar masih mengandung miskonsepsi. Hampir 89%
mengkonsepsi bahwa jarak sama dengan perpindahan. 65% siswa kelas IA
memandang bahwa dalam selang waktu yang sama, jarak yang ditempuh
benda bergerak beraturan dengan benda yang bergerak berubah beraturan
adalah sama. Di samping itu, siswa kelas IA masih kesulitan dalam
menggunakan ticker timer dalam melakukan percobaan untuk gerak lurus
beraturan (GLB) dengan gerak lurus berubah beraturan (GLBB). Pada kelas
IIA, hampir 75 % siswa mengungkapkan bahwa suhu sama dengan kalor.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
791
Sebanyak 68% mengkonsepsi bahwa kalor yang diberikan pada sebuah
benda seluruhnya digunakan untuk merubah wujud zat itu sendiri. Ditinjau
dari aspek keterampilan laboratorium, siswa kelas IIA masih kesulitan
dalam menggunakan termometer sebagai pengukur suhu.
Perbaikan pembelajaran modul eksperimen dengan model
experential learning dilakukan dengan memberikan tugas pendahuluan
kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas awal eksperimen, dan
melatihkan beberapa keterampilan dalam menggunakan beberapa alat
laboratorium sehingga siswa memiliki pengalaman awal (prior experience)
cukup memadai untuk melaksanakan kegiatan eksperimen. Kesulitan siswa
dalam mengabstraksi konseptual hasil eksperimen diupayakan dengan
melakukan diskusi dan sharing pendapat antar kelompok, dan atau
menunjuk siswa yang pintar sebagai model untuk menjelaskan hasil
eksperimen secara teoritik. Aktivitas belajar siswa pada siklus II relatif
lebih tinggi dibandingkan pada siklus I, hal ini dapat dilihat dari rata-rata
skor aktivitas yang diperoleh siswa kelas IA sebesar 3,8 (lebih dari katagori
aktif) dan siswa kelas IIA sebesar 3,90 (sangat aktif).
Berdasarkan hasil analisis kompetensi dasar sains siswa pada siklus
II, diperoleh rata-rata kelas IA sebesar 76,8 dengan ketuntasan klasikal
sebesar 87,19%. Di lain pihak rata-rata kompetensi dasar kelas IIA sebesar
79,1 dengan ketuntasan sebesar 86,4%. Hasil yang diperoleh pada siklus II
ini relatif lebih baik dibandingkan pada sikus I, karena sudah melebihi
target indikator keberhasilan. Berdasarkan penyebaran angket respon siswa
terkait dengan pembelajaran modul eksperimen dengan model experential
learning didapatkan skor rerata respon siswa sebesar 56,78, termasuk
katagori positif. Demikian juga, dari hasil analisis respon guru, diperoleh
skor 58,9, termasuk katagori positif.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
792
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik pada siklus I maupun
pada siklus II, sebelum mempelajari materi pelajaran sains lewat kegiatan
eksperimen, siswa telah memiliki gagasan atau ide-ide tentang konsep yang
dipelajari dan keterampilan awal sains terkait dengan konsep sains tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari profil konsepsi siswa pada pre-tes yang cukup
beragam. Konsepsi awal mereka pada umumnya cukup bervariasi dan
masih bersifat miskonsepsi. Hasil penelitian ini berseuaian dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Euwe van de Berg ( 1991) bahwa siswa tidak
memasuki pelajaran sains dengan kepala kosong yang dapat diisi dengan
pengetahuan sains, tetapi sebaliknya kepala siswa sudah penuh dengan
pengalaman dan pengetahuan yang berhubungan dengan sains, namun
sebagian besar masih bersifat miskonsepsi.
Di samping itu, sebelum
siswa melakukan kegiatan eksperimen formal di laboratorium, mereka
sudah memiliki keterampilan awal atau pengalaman awal berkaitan dengan
topik sains yang akan dieksperimen. Pengalaman awal ini sangat
mempengaruhi keberhasilan siswa dalam memperoleh pengalaman sains
lewat kegiatan eksperimen.
Pembelajaran modul eksperimen dengan model experential learning
telah mampu menyediakan tahapan pembelajaran yang menekankan pada
terjadinya proses transformasi pengalaman sains berangkat dari
pengalaman sehari-hari menuju pengalaman saintifik. Rancangan kegiatan
belajar dengan model experential learning mampu mendorong siswa
berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar, khususnya dalam kegiatan
eksperimen di laboratorium. Aktivitas belajar siswa kelas IA dan kelas IIA
pada siklus I sebesar 3,56 (berkualifikasi aktif) dan 3,75 (berkualifikasi
aktif) menunjukkan bahwa keterlibatan dan partisipasi aktif siswa dalam
belajar ralatif cukup tinggi. Open-ended problem yang diangkat dalam
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
793
tahapan concret experiment, dan terkait dengan pengalaman nyata siswa
sebelumnya, nampaknya menjadi pemicu siswa untuk terdorong
melakukan eksperimen, sehingga mereka dapat mengamati secara langsung
dan merefleksi perolehan eksperimen yang dilakukan, untuk dijadikan
dasar dalam mengabstraksi secara konseptual pengetahuan teoritis dari
fenomena fisis yang diamati. Meskipun pada siklus I, aktivitas belajar
masih didominasi oleh siswa yang punya potensi akdemik tinggi, namun
tetap diupayakan partisipasi aktif seluruh siswa melalui monitoring unjuk
kerja dan pengawasan kerja praktek. Belum optimalnya capaian aktivitas
belajar siswa pada siklus I semata-mata disebabkan okeh terbatasnya jumah
set alat eksperimen yang dapat memberdayakan seluruh siswa.
Pada siklus II, skor aktivitas belajar siswa kelas IA dan kelas IIA
berturut-turut sebesar 3,80 (lebih dari katagori aktif) dan 3,90 (sangat aktif).
Ini berarti ada peningkatan skor aktivitas belajar dari siklus I ke siklus II.
Pada siklus II, skor aktivitas belajar siswa kelas IA dan kelas IIA berturutturut sebesar 3,80 (lebih dari katagori aktif) dan 3,90 (sangat aktif).
Aktivitas belajar siswa pada siklus II sudah melampaui target indikator
keberhasilan (>3,50). Ditinjau dari sudut pandang ini, maka pembelajaran
modul eksperimen dengan model experential learning dapat meningkatkan
aktivitas belajara sains siswa kelas IA dan kelas IIA SMP Negeri Sukasada.
Keterlibatan dan aktivitas siswa dalam pembelajaran modul
eksperimen dengan model experential learning menghasilkan peningkatan
pencapaian kompetensi dasar sains siswa kelas IA dan kelas IIA SMP Negeri
Sukasada. Kegiatan pembelajaran melalui tahap concrete experience,
reflective-observation, abstract conceptualization, dan active experiment,
akan melibatkan proses mental dan fisik dalam memperoleh pengalaman
sains berangkat dari pengalaman awal menuju pembentukan pengetahuan
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
794
sains secara ilmiah. Kompetensi dasar sains yang diperoleh siswa kelas IA
dan kelas IIA pada siklus I beruturut-turut sebesar 68,9 dengan ketuntasan
klasikal sebesar 64,28%. sebesar 69,5 dengan ketuntasan sebesar 68,9%.
Meskipun skor ini masih belum memenuhi target indikator keberhasilan
tindakan, namun tindakan yang diberikan talah mampu meningkatkan
pemahaman konsep dan keterampilan sains ditinjau dari pengetahuan awal
yang dibawa siswa ke kelas. Relatif masih rendahnya capaian kompetensi
dasar sains pada siklus 1 bersumber pada: 1) partisipasi belajar siswa relatif
masih kurang, 2) kesulitan siswa dalam mengabstraksi konseptual hasil
eksperimen yang diperoleh, dan 3) rendahnya kemampuan matematis dalam
persoalan fisika.
Pada siklus II, kompetensi dasar sains siswa kelas IA dan kelas IIA
SMP Negeri Sukasada berturut-turut sebesar 76,8 dengan ketuntasan
klasikal sebesar 87,19%, rata- kelas IIA sebesar 79,1 dengan ketuntasan
klasikal sebesar 86,4%.Dari angka ini dapat dilihat terjadi peningkatan
capaian komptensi dasar sains siswa. Kompetensi dasar sains yang dicapai
siswa kelas IA dan kelas IIA SMP Negeri Sukasada sudah melampaui target
indikator keberhasilan, dengan rerata lebih besar dari 75 dan ketuntasan
klasikal lebih besar dari 85%. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran
modul eksperimen dengan model experential learning dapat meningkatkan
kompetensi dasar sains siswa. Hal ini bersesuaian dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kemal Ahmet (1994); Henry,J. (1989) dan Rutgers
(2004) yang menunjukkan bahwa model experential learnning cukup
efektif digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sains dan
meningkatkan learning outcome siswa.
Respon siswa dan guru terhadap pembelajaran modul eksperimen
dengan model experential learning yang dijaring pada akhir siklus II adalah
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
795
positif, dengan rata-rata masing-masing sebesar 56,78 dan 58,9. Dari sudut
pandang siswa, pembelajaran modul eksperimen dengan menggunakan
model belajar experential learning lebih menantang dan tidak
membosankan. Tahapan pembelajaran lebih bersifat alami karena berangkat
dari pengalaman awal siswa menuju pengalaman sains yang bersifat ilmiah.
Pengetahuan yang terkonstruksi akibat transformasi pengalaman ini lebih
bermakna dan lebih mudah diingat, sehingga sangat membantu siswa pada
saat menghadapi ulangan mata pelajaran sain. Di lain pihak, respon guru
juga bersifat positif. Alasan penting yang dikemukakan adalah bahwa
model experential learning merupakan strategi pembelajaran yang link dan
match dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi, sehingga dipandang
perlu untuk diadopsi dalam pembelajaran materi sains yang menekankan
pembelajaran produk dan proses sains.
Meskipun beberapa indikator keberhasilan tindakan sudah
tercapai, namun masih terdapat beberapa permasalahan yang harus
ditindaklajuti, yakni (1) masih ditemukan siswa yang mengalami
miskonsepsi pada konsen sains tertentu, (2) kurang lancarnya pelaksanaan
eksperimen karena keterbatasan/kerusakan alat laboratorium, (3) jumlah
siswa dalam satu kelas sangat besar. Upaya penanggulangan yang dapat
dilakukan adalah (1) meningkatkan keterampilan guru dalam memfasilitasi
belajar siswa dengan model experential learning, (2) mengintesifkan
persiapan eksperimen awal siswa dengan memberikan tugas tambahan di
rumah, dan (3) mengadakan, membuat, dan memperbaiki alat-alat
laboratorium yang menunjang pelaksanaan eksperimen di laboratorium
4. Penutup
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat dikemukakan
simpulan-simpulan berikut, yakni (1) Pengalaman awal (prior experience)
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
796
siswa kelas IA dan IIA SMP Negeri Sukasada tentang sains sangat
bervariasi dan sebagian besar masih mengandung miskonsepsi, (2)
Implementasi modul eksperimen sains berbasis kompetensi dengan
experiential learning model dalam pembelajaran sains dapat meningkatkan
aktivitas belajar siswa kelas IA dan IIA SMP Negeri Sukasada, (3)
Pembelajaran modul eksperimen sains berbasis kompetensi dengan
experiential learning model dapat meningkatkan kompetensi dasar sains
siswa kelas IA dan IIA SMP Negeri Sukasada, dan (4) Respon siswa dan
guru terhadap pembelajaran berkatagori positif.
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka diajukan beberapa
saran sebagai berikut. (1) Guru pengajar sains disarankan untuk
mengadopsi strategi pembelajaran ini pada pokok bahasan sains yang lain
secara mandiri. (2) Terbatasnya unit peralatan eksperimen yang tersedia di
laboratorium hendaknya diperbanyak melalui proses pengadaan atau
membuat alat laboratorium sederhana dengan memanfaatkan bahan bekas
yang tersedia di lingkungan siswa. (3) Mengatisipasi banyaknya jumlah
siswa dalam kelas, maka disarankan untuk memberdayakan siswa yang
memiliki potensi akdemik tingi dan prior experience yang ilmiah sebagai
mentor/co-learner untuk membantu kelancaran pembelajaran modul
eksperimen.
DAFTAR PUSTAKA
Boud, D. 1985. Reflection. Turning Experience into Learning. London:
Kogan Page.
Dantes. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Harapan Untuk
Peningkatan Mutu Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran.
IKIP Negeri Singaraja.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
ISSN 0215 - 8250
797
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Sains.
Jakarata: Puskur.
Henry, J. 1989. Meaning and Practice in Experiential Learning. In Making
Sense of Experiential Learning: Diversity in Theory and Practice,
eds. S. Warner Weil and Mc.Gill. The Society for Research into
Higher Education & Open University Press.
Hutchings, P., & Wutzdorff, A. 1988. Knowing and Doing: Learning
through Experience. San Fransisco: Jossey-Bass.
Jeremy Roschelle. 1996. Learning in Interactive Environment: Prior
Knowledge an New Experinece. Insitute for Inquiry, Univ. of
Massachusetts Dartmouth.
Kemal Ahmet. 1994. An Experiential Approach to Science Teaching for
Students of Construction. Park Square Luton. University of Luton
Kolb, D.A. 1994. Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development. Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice-Hall.
Mellor, A. 1991. Experiential Learning Through Integrated Project Work:
An Example from oil Science. Journal of Deography in Higher
Education 15(2): 135-149.
Nadine
Ryan Bannerman. 2003. Facilitating Powerfull Learning
Experineces: Experiential Learning & the Experiential Learning
Cycle. Ryan-Bannerman Assosiates. www. ryanbannerman.com.
Rogoff, B. 1990. Apprenticeship in Thinking: Cognitive development in
Social Context. New York: Oxford University Press.
Tantra,
D.K. 1997. Penelitian Tindakan, Konsep Dasar dan
Pelaksanaannya. Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
(P3M) STKIP Singaraja.
Rutgers, 2004. Teaching life skill: The Experiential Learning Process,
http://www.discoverscience.rutgers.edu/learningdydoing.html
Travers, N. 1998. Experiential Learning and Students’ Self-regulation.
Saratoga Spring, NY: The National Centre on Adult Learning.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4 TH. XXXIX Oktober 2006
Download