Konflik Sosial

advertisement
I. Pengantar
Dalam kehidupan sosial manusia, di mana saja dan kapan saja, tidak pernah
lepas dari apa yang disebut “konflik” (Chandra, 1992; Lauer, 1993). Istilah “konflik”
secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere”
yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian “konflik” dalam kehidupan
sosial berarti benturan k epentingan, keinginan, pendapat, dan lain- lain yang paling
tidak melibatkan dua pihak atau lebih. William Chang (2001) mempertanyakan
“benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri
hati, kebencian, masalah perut, masalah
tanah, masalah tempat tinggal, masalah
pekerjaan, masalah uang, dan masalah kekuasaan?”, ternyata jawabnya “tidak”; dan
dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya
konflik sosial.
Dalam International Encyclopaedia of The Social Sciences Vol. 3 (halaman
236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni
ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana
tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu
komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu
organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu (Nader, t.t.).
Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak
macam bentuk dan ukurannya. Selain itu dapat pula dipahami bahwa pengertian
konflik secara antropologis tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan secara bersamasama dengan pengertian konflik menurut aspek-aspek lain yang semuanya itu turut
ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia
(Chang, 2001).
Kehidupan sosial itu, kalau dicermati komponen utamanya adalah interkasi
antara para anggota. Sehubungan dengan interaksi antaranggota itu ditemukan
berbagai tipe. Tipe-tipe interaksi sosial secara umum meliputi: cooperative
(kerjasama), competition (persaingan) dan conflict (pertikaian). Dalam kehidupan
sosial segari -hari tampaknya selain diwarnai oleh kerjasama, senantiasa juga diwarnai
oleh berbagai bentuk persaingan dan konflik.
1
II. Gejala-gejala konflik
 Ketidaksepahaman lagi pada anggota kelompok tentang tujuan bersama yang
semula menjadi pegangan kelompok yang bersangkutan.
 Norma-norma dalam kelompok satu sama lain saling bertentangan.Sanksi
menjadi lemah karena tidak dilaksanakan secara konsekuen.
 Tindakan anggota masyarakat sudah bertentanggan dengan norma kelompok.
Terjadi perbedaan pendapat mengenai persoalan yang prinsip dalam
masyarakat.
Terjadi perselisihan paham yang berkepanjangan pada masing-masing pihak.
III. Faktor / Akar Penyebab Konflik
 Perbedaan Individu
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian
dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di
lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang
merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. Demikian
banyak hal yang dapat dicontoh, terdapat kelompok yang merasa paling kuat, paling
benar sehingga kurang menghargai kelompok lain atau perbedaan.
 Perbedaan latar belakang kebudayaan
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya
akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
 Perbedaan Kepentingan
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang
atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh
masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari
kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani
2
menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk
membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan
kemudian diekspor guna mendapatkan keuntungan uang dan membuka pekerjaan.
Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga
harus dilestarikan. Di sini jelas terdapat perbedaan kepentingan antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat.
Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara
kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan
pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh
menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan
yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha
mereka. Sering terjadi pada industri-industri yang sedang berkembang seperti banyak
terdapat di Indonesia, bahkan dalam pengamatan terdapat konflik antara perusahan
dengan pemerintah sehingga banyak perusahana besar dan terkenal menghentikan
produksinya dan memindahkan ke negera lain.

Perubahan-Perubahan Nilai yang Cepat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan
itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilainilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat
berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti
nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang
disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi
hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai
kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu
yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti
jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi
seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di
masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan
karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
3
IV. Jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi :

konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara perananperanan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))

konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).

konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).

konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)

konflik antar atau tidak antar agama

konflik antar politik.
V. Akibat-Akibat Bentuk Pertentangan atau Konflik
Dapat di bagi menjadi 2 yaitu segi negatif dan segi positif.
Segi Negatif dari konflik :
- Bertambahnya Solidaritas in Group
- Retaknya Persatuan dalam Kelompok
- Perubahan Kepribadian Para Individu
- Jatuhnya Korban Manusia dan Hancurnya Harta Benda Akomodasi
Segi Positif dari konflik :
- Memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas.
- Dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatankekuatan yang ada dan berkembang dalam masyarakat.
4
- Dapat membantu proses penghidupan norma-norma lama danmenciptakan normanorma yang baru.
- Menjadi media mengurangi ketergantungan antarindividu maupun kelompok.
- Menjadi media dalam rangka mencapai keseimbanagan antara kekuatan-kekuatan
dalam
masyarakat.
VI. Cara Menanggulangi Konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan
dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan
diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :
1. Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu,
guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya :
untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau
mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lainlain.
2. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga
yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak.
Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam
masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih
maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan
keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan
antara Indonesia dengan Belanda.
4. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang
berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap
penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas
menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan
lain-lain.
5
5. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki
kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang.
Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau
mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada
masa Perang dingin.
6. Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di
pengadilan.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam
konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami
keluar, dan sebagainya.
2. Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan
terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang
tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang
terlibat.
3. Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk
mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.
4. Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan
senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak
merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok
mayoritas.
5. Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di
dalam konflik.
6. Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali
pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.
6
VII. Konflik dan Kekerasan
Kekerasan tidak akan terjadi apabila kelompok-kelompok yang saling
bertentangan
dapat
memenuhi
beberapa
syarat
sebagai
berikut.
Adanya kesadaran masing-masing kelompok yang terlibat konflik tentang situasi
konflik yang terjadi da antara mereka, sehingga dengan adanya kesadaran tersebut
muncul pulakesadaran untuk melaksanakan prinsip keadilan secara jujur bagi semua
pihak dan menyelesaikan konflik yang terjadi dengan jalan yang terbaik bagi semua
pihak.
Apabila kelompok-kelompok yang berkonflik terorganisir dengan jelas, maka
pengendalian atas konflik yang terjadi dapat dengan mudah dilakukan, karena apabila
kelompok-kelompok sosial yang berkonflik terorganisir dengan jelas maka akan lebih
mudah dilakukan pelembagaan sosial sehingga konflik lebih mudah dikendalikan.
Adanya kemauan dan kesadaran masing-masing kelompok yang berkonflik untuk
mematuhi aturan-aturan main tertentu sehingga menjamin keberlangsungan hidup
kelompok-kelompok itu sendiri. Sehingga ketidakadilan akan dapat dihindarkan, dan
akhirnya
dapat
menghindarkan
terjadinya
konflik
dan
provokasi.
VIII. Integrasi Sosial
Definisi Integrasi Sosial
Integrasi sosial merupakan proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang
saling berbeda dalam kehidupan sosial, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan
yang serasi bagi masyarakat tersebut.
Para penganut paham fungsionalisme struktrua menyatakan bahwa sistem
sosial terintegrasi di atas dua landasan yaitu:
Masyarakat terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar
anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental.
Masyarakat terintegrasi oleh karena anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota
dari berbagai kesatuan sosial. Hal tersebut dikenal dengan cross cuting affiliations
yaitu adanya loyalitas ganda para anggota masyarakat. Hal ini akan meminimalisir
terjadinya suatu konflik karena dengan adanya loyalitas ganda maka konflik yang
akan segera dinetralkan.
7
Sedangkan para penganut paham pendekatan konflik, menyatakan bahwa
suatu integrasi dapat terwujud atas adanya coecion (paksaan) dari suatu kelompok /
satuan sosial dominan terhadap kelompok / satuan kelompok lain, atau pun adanya
saling ketergantungan di bidang ekonomi antara berbagai kelompok / satuan sosial
yang ada dalam masyarakat.
Syarat-syarat Integrasi Sosial
Integrasi sosial dapat tebentuk apabila para anggota masyarakat bersepakat
mengenai stuktur kemasyarakatan, nilai-nilai, dan norma serta pranata sosial yang
berlaku dalam masyarakat tersebut. Di samping itu juga diperlakukan adanya
kesepakatan mengenai batas teretorial / wilayah yang jelas akan tempat / negara yang
mereka tinggali.
William F. Ogburn dan Mayer nimkoff mengemukakan tentang syarat
berhasilnya suatu integrasi sosial yaitu:
Kemampuan untuk mengisi kebutuhan anggota masyarakat satu dengan
lainnya, sehingga terjalin hubungan yang baik dan saling menjaga keterikatan satu
dengan yang lain.
Keberhasilan menciptakan kesepakatan (consensus) mengenai norma dan
nilai-nilai sosial sebagai pedoman dalam menjalin interaksi satu dengan yang lain.
Nilai-nilai dan norma-norma sosial tersebut berlaku dalam waktu yang cukup lama
dan telah dilaksanakan secara konsisten.
Bentuk-Bentuk Integrasi Sosial
Tertib Sosial
Suatu masyarakat dinyatakan telah mencapai kondisi tertib sosial apabila
dalam masyarakat telah terjadi keselarasan antara tindakan masyarakat dengan nilai
dan norma yang berlaku.
Adapun ciri-ciri dari tertib sosial :
- Terdapat suatu sistem nilai dan norma yang jelas.
- Individu dan kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami dengan benar
norma-norma sosial dan nilai-nilai yang berlaku.
- Individu atau kelompok dalam masyarakat menyesuaikan tindakan-tindakannya
dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
8
Sosial Order: Merupakan suatu sistem atau tatanan norma dan nilai sosialyang diakui
dan dipatuhi oleh warga masyarakat.
Keajengan
Merupakan suatu keadaan yang memperlihatkan kondisi keteraturan sosial yang tetap
dan berlangsung terus-menerus.
Pola
Merupakan suatu bentuk umum dari interaksi sosial yang menunjukkan adanya
keteraturan yang lebih baku apabila dibandingka dengan tertib sosialmaupun
keajegan.
Faktor-Faktor Pendorong Integrasi Sosial
Integrasi
sosial
dapat
terjadi
apabila
didukung
oleh
berbagai
faktor,
- Homogenitas Kelompok
Integrasi sosial akan lebih mudah di capai ketika tingkat kemajemukan suatu
masyarakat tersebut kecil.
- Besar Kecilnya Kelompok
Tingkat kemajemukan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh besar kecilnya
kelompok yang ada.
- Mobilitas Geografis
Terjadinya perpindahan (mobilitas) menyebabkan terjadinya penyesuaian diri dengan
keadaan sosial budaya masyarakat yang dituju.
- Efektivitas dan Efisiensi Komunikasi
Komunikasi merupakan media yang sangat penting dari proses integrasi sosial yang
akan diciptakan.
9
Daftar Pustaka
Chandra, Robby I. 1992. Konflik dalam hidup sahari-hari. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Chang, William. 2001. “Dimensi etis konflik sosial”. Dalam KOMPAS Rabu 2
Februari 2001.
Lauer, Robert H. 1993. Perspektif tentang Perubahan Sosial (terjemahan). Edisi
kedua. Jakarta: Rineka Cipta.
Nader, Laura. (t.t.). “Conflict: Anthropological Aspect”, dalam David L. Silla
(ed.) International Encyclopaedia of The Social Sciences. Vol. 3. New York: The
Macmillan Company & The Free Press. Halaman 236-241.
www.wikipedia.org
10
Download