Bab IV Pembahasan IV.1 Ekstraksi selulosa Kayu berdasarkan

advertisement
Bab IV Pembahasan
IV.1 Ekstraksi selulosa
Kayu berdasarkan struktur kimianya tersusun atas selulosa, lignin dan
hemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin
sebagai bahan pengikat sel-sel dan memberikan kekakuan kepada dinding sel.
Hemiselulosa adalah heteropolimer dengan berbagai monomer gula, dan rantai
molekul yang lebih pendek dari selulosa. Hemiselulosa adalah senyawa amorf,
karena banyak percabangan pada rantai molekulnya. Selain ketiga komponen
tersebut terdapat zat-zat dalam kayu yang bukan penyusun kayu yang
dikelompokkan sebagai zat ekstraktif.
Pada percobaan ini ekstraksi dilakukan untuk menghilangkan senyawa – senyawa
ekstraktif yang tercampur pada serbuk gergaji kayu. Pelarut dari campuran
alkohol benzen yang digunakan untuk ekstraksi mula-mula jernih, setelah 4 jam
kemudian berubah menjadi larutan kuning kecoklatan, yang mengindikasikan
alkohol benzen sudah mengekstraksi senyawa-senyawa lain yang terdapat dalam
serbuk gergaji selain lignin, selulosa atau hemiselulosa. Selain warna ekstrak yang
berubah, warna sampel juga mengalami perubahan, yang semula berwarna coklat
kelam menjadi warna coklat agak cerah, seperti ditunjukkan pada Gambar IV.1
dan IV.2 berikut:
Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi
.
Gambar IV 2 Serbuk gergaji kayu setelah diekstraksi
Hasil ekstraksi serbuk gergaji kayu dapat dilihat pada Tabel IV.1 berikut:
Tabel IV.1 Hasil ekstraksi Serbuk Gergaji kayu
Massa
Massa sampel
serbuk kayu
yang dihasilkan
1
10,00 gram
7,48 gram
74,8 %
2
10,00 gram
8,69 gram
86,9 %
Ekstraksi
Randemen
IV.2 Isolasi selulosa
Isolasi ini dimaksudkan untuk memisahkan selulosa dari lignin atau senyawasenyawa lain. Pada percobaan ini lignin dirusak oleh buffer natrium sulfida
(Na2S) dalam NaOH panas, sehingga lignin mudah larut. Reaksi dengan larutan
NaOH pada temperatur tersebut menyebabkan molekul lignin terdegradasi akibat
pemutusan ikatan aril-eter, karbon-karbon, aril-aril dan alkil-alkil. Adanya lignin
pada senyawa tersebut ditandai dengan adanya larutan yang berwarna hitam pekat
(black liquor).
Warna hitam yang ditimbulkan saat pemasakan dengan NaOH merupakan indikasi
dari terlarutnya senyawa-senyawa yang memiliki gugus kromofor yaitu gugus
yang memiliki ikatan rangkap terkonyugasi yang menyebabkan suatu senyawa
memiliki warna dan dapat menyerap cahaya dengan panjang gelombang antara
29
200 nm - 400 nm (UV). Untuk mengetahui bahwa sampel tidak mengandung
lignin, maka pada sampel filtrat berwarna jernih. Untuk lebih meyakinkan
ligninnya telah terekstraksi, maka filtrat ditetesi dengan asam sulfat pekat, dan
jika lignin sudah terekstraksi filtrat tidak memberikan endapan atau gumpalan,
karena lignin dalam asam sulfat pekat akan membentuk endapan .
Pengendapan ini terjadi karena lignin memiliki gugus hidroksil fenolat yang pada
suasana asam mengalami protonasi, gugus hidroksil fenolat yang terionisasi akan
berubah menjadi gugus hidroksil fenolat yang tidak terionisasi, akibatnya lignin
tidak larut dan dapat dipisahkan dengan penyaringan.
Mekanisme sederhana dari degradasi lignin oleh nukleofil basa kuat (OH) dapat
dilihat pada Gambar IV.3
O
26
H
O
H 3CO
OCH3
OH H
HOH 2C
C
O
R
+ ROH
H+
CH
C-O
HO 2 HC
C
O
H
H
OCH
OCH3
3
-
O
OC H
CH
+
3
+
C H
2
O H
CH
O
H
3
CO
Gambar IV 3 Mekanisme degradasi lignin oleh nukleofil OH
30
Degradasi lignin diawali oleh penyerangan atom H yang terikat pada gugus OH
fenolik oleh ion hidroksi (OH) dari NaOH. Atom H pada bagian tersebut bersifat
asam karena terikat pada atom O yang memiliki keelektronegatifan besar. Atom O
yang lebih elektronegatif akan menarik elektron pada atom H, sehingga atom H
akan bermuatan parsial positif (∂+) dan mudah lepas menjadi ion H+. Keasaman
juga dipengaruhi oleh efek resonansi dari gugus alkil pada posisi para, sehingga
atom H pada gugus fenolik akan bersifat lebih asam.
Reaksi selanjutnya adalah pemutusan ikatan aril-eter dan karbon-karbon
menghasilkan fragmen yang larut dalam NaOH. Indikasi banyaknya lignin yang
larut dapat dilihat dari randemen yang berkurang dan warna sampel lebih cerah.
Perbedaan ke dua selulosa sebelum dan setelah dihilangkan ligninnya dapat dilihat
pada Gambar IV.4 dan IV.5 berikut ini :
Gambar IV 4 Sampel selulosa sebelum lignin dipisahkan
Gambar IV 5 Sampel selulosa sesudah lignin dipisahkan
31
Tabel IV.2 Masa hasil isolasi
Masa Serbuk
Masa hasil
Massa Selulosa
gergaji kayu
ekstraksi
yang dihasilkan
1
10,00 gram
7,48 gram
4,35 gram
43,5 %
2
10,00 gram
8,69 gram
5,45 gram
54,5 %
Perc
Randemen
Alkali kuat juga akan mengubah monosakarida maupun gugus-gugus ujung dalam
polisakarida menjadi berbagai asam karboksilat. Polisakarida dengan ikatan 1,4
glikosida dan hemiselulosa akan terdegradasi dengan mekanisme pemutusan
ikatan dari ujung ke ujung . Bagian rantai selulosa yang tersisa dari proses ini
adalah senyawa yang disebut
α selulosa (pulp). Mekanisme reaksi yang terjadi pada polimer selulosa adalah
sebagai berikut :
OH
H
HOH2C
OH
H
O
selulosa
O
H
OH
OH-
OH
O
H
O
OH
CH2OH
H
HOH2C
OH
O
H
OH
H
O
O
selulosa
HO
O-
OH
H
HOH2C
H
selulosa
OH
OH
OH
H
O
O
OH
H
O
O-
selulosa
HOC
OH
OH
H
O
HOOC
32
O-
Atau dapat juga terjadi oksidasi pada OH skunder
H
OH
O
H
OH
H
O
selulosa
O-
OH
H
O
O
selulosa
OO
HOH2C
HOH2C
OH
HOH2C
O
O
O
O-
H
selulosa
O
selulosa
O-
O
COOH
HOH2C
COOH
Gambar IV 6 Reaksi degradasi selulosa 27
Degradasi selulosa dapat juga terjadi akibat pemanasan (degradasi termal).
Degradasi termal selulosa tidak terbatas pada pemutusan rantai molekul saja,
tetapi terjadi juga reaksi dehidrasi dan oksidasi. Pemanasan dalam udara
menyebabkan oksidasi gugus hidroksil yang menghasilkan gugus karbonil dan
kemudian menjadi gugus karboksil. Jika suhu di atas 200oC degradasi selulosa
akan membentuk senyawa yang mudah menguap dengan cepat. Jadi proses
pulping dengan pemasakan soda memungkinkan terjadinya degradasi selulosa.27
Produk pulp yang dihasilkan umumnya berwarna putih, namun pada percobaan ini
berwarna coklat, hal ini dimungkinkan masih ada sisa lignin hasil depolimerisasi.
Sisa kromofor ini dapat dihilangkan dengan proses bleaching (pemutihan).
Proses bleaching bertujuan untuk menghilangkan sisa lignin dalam pulp. Pada
proses ini molekul-molekul penyerap warna (mengandung kromofor) akan
dioksidasi sehingga menjadi polar dan larut dalam air. Proses bleaching akan
membuat warna pulp menjadi lebih cerah atau putih .28,31
33
Sebagian besar reagen pemutih adalah oksidator kuat, dan reagen pemutih lebih
menyerang lignin dibandingkan selulosa, karena molekul lignin banyak gugus
kromofor atau ikatan rangkap yang kaya akan elektron. Pada percobaan ini reagen
yang digunakan sebagai pemutih adalah larutan hipoklorit (kaporit) yang dibeli
dipasaran dengan konsentrasi 30%, mengingat reagen tersebut murah, mudah
didapat, serta tidak berbahaya. Ion hipoklorit yang bermuatan negatif merupakan
nukleofil yang mudah diadisikan pada tempat –tempat yang bermuatan positif
pada lignin. Tempat-tempat tersebut adalah struktur karbonil dan ikatan rangkap
terkonyugasi. Ion hipoklorit merupakan pengoksidasi kuat dan akan memecah
ikatan C-C dalam struktur tersebut. Karbokation dan ikatan rangkap pada lignin
dapat dilihat pada Gambar IV.7 berikut :
OH
H
H
-H2O
OCH3
OCH3
OH
O
Gambar IV 7 Karbokation dan ikatan konyugasi pada lignin
Proses bleaching menggunakan kaporit berjalan lambat, akan tetapi dengan
penambahan 1 gram NaOH padat proses bleaching berjalan lebih cepat, karena
hipoklorit bekerja optimum pada pH 7 (netral).31 Selain itu penambahan NaOH
membantu proses pelarutan sisa sisa lignin yang sudah teroksidasi menjadi
senyawa polar yang mudah larut dalam pelarut polar.
Reaksi oksidasi lignin saat bleaching dapat dilihat pada Gambar IV. 8 berikut :
34
Bleaching
COOH
COOH
OCH 3
O-
Gambar IV 8 Reaksi Bleaching Selulosa
Selulosa hasil isolasi dapat dilihat pada Gambar IV. 9 dan IV.10 berikut
:
Gambar IV 9 Selulosa hasil Isolasi sebelum proses pemutihan
Gambar IV 10 Selulosa hasil isolasi sesudah proses pemutihan
35
IV.3 Asetilasi
Reaksi asetilasi dilakukan dengan menggunakan asam anhidrida asetat sebagai zat
pengasetilasi (acylating agent), asam sulfat sebagai katalis, dan asam asetat glasial
sebagai pelarut. Proses asetilasi dilakukan selama 20 dan 42 jam pada suhu 37°C
dengan pengadukan secara teratur. Dari 2 gram selulosa yang diasetilasi, massa
selulosa asetat yang dihasilkan pada proses 20 jam sebesar 2,4480gram,
sedangkan pada proses 42 jam sebesar 2,2500 gram.
Pada dasarnya reaksi yang terjadi adalah penggantian satu, dua atau tiga gugus
hidroksil dalam unit glukosa dengan adanya katalis asam. Gugus–gugus hidroksil
pada selulosa dapat diesterifikasi dengan asam karboksilat menghasilkan suatu
gugus ester.
Mekanisme reaksi asetilasi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Ο
Ο
Ο
CH 3
O
O
Η+
H
CH 3
O
O
O
C
CH 3
H
O+
O
-H +
CH 3
CH3
O
CH 3
CH3
O
+
O
CH 3
CH 3
H
CH3
H
O
CH 3
OH
Gambar IV 11 Mekanisme reaksi asetilasi
Reaksi ini diawali dengan terjadinya protonasi pada atom O pada gugus karbonil
dalam asam asetat anhidrida membentuk karbo kation. Karbokation yang cukup
reaktif ini merupakan suatu senyawa antara dimana terjadi muatan positif pada
atom C yang berikatan dengan atom O yang terprotonasi. Dengan adanya
karbokation ini maka substitusi nukleofilik akan mudah terjadi. Pada reaksi ini
pasangan elektron yang tidak berikatan pada atom O pada gugus hidroksil akan
36
menyerang karbo kation tersebut dan diikuti oleh eliminasi asam karboksilat dan
H positif.
Dalam reaksi asetilasi ini kedudukan OH pada atom C menentukan kereaktifan
atom pada reaksi esterifikasi. Halangan sterik yang dimiliki gugus hidroksil pada
atom C6 lebih kecil dibandingkan dengan atom C2 dan C3, sehingga reaksi
esterifikasi cenderung terjadi pada atom C6 dibandingkan pada atom C2 dan atom
C3. Dengan alasan yang sama kemungkinan tahap reaksi esterifikasi selanjutnya
terjadi pada atom C3 dan terakhir pada C2. Dengan demikian reaksi esterifikasi
triasetat pada selulosa berlangsung secara bertahap.
Selulosa asetat hasil asetilasi dapat dilihat pada Gambar berikut :
Gambar IV 12 Selulosa asetat dengan proses asetilasi 20 jam
Gambar IV 13 Selulosa asetat dengan proses asetilasi 42 jam
37
IV.4 Penentuan Kadar Asetil
Analisis ini bertujuan untuk menentukan kandungan asetil yang terdapat dalam
molekul selulosa asetat, agar mengetahui golongan selulosa asetat yang terbentuk,
apakah termasuk mono, di atau triasetat.
Penentuan asetil ini didasarkan pada reaksi safonifikasi, yaitu mereaksikan suatu
basa dengan ester membentuk sabun dan gugus asetat yang lepas sebagai asam.
Tahap reaksi safonifikasi dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut :
Tahap 1 :
O
O
C
Rsel
+
O
NaOH
Rsel
CH3
ONaa
+
C
H3C
OH
Tahap 2 :
O
Rsel
ONa
a+
H3C
O
Rsel
C
OH
+
C
H3C
OH
ONa
Persamaan 1. Reaksi safonifikasi selulosa asetat
Persentase asetil dihitung dengan terlebih dahulu menentukan kandungan asam
bebas sampel, melalui titrasi dengan NaOH
Selanjutnya reaksi safonifikasi dilakukan dengan mereaksikan selulosa asetat
dengan
larutan NaOH, dan digunakan etanol sebagai swelling agent untuk
membantu proses safonifikasi. Setelah reaksi berlangsung 3 hari, larutan hasil
safonifikasi dititrasi dengan larutan HCl. Kemudian campuran ditambahkan HCl
berlebih dan reaksi dibiarkan berlangsung 22 jam, dan campuran dititrasi balik
dengan larutan NaOH.
Berdasarkan metode ini diasumsikan semua gugus asetil terdeasetilasi. Selulosa
asetat berubah menjadi garamnya dan asam asetat. Setelah 3 hari semua garam
selulosa asetat dan asam asetat dianggap telah berubah menjadi selulosa dan asam
38
asetat. Banyaknya NaOH yang bereaksi dengan selulosa asetat sama dengan
jumlah gugus asetil yang dilepas. Mekanisme reaksi safonifikasi dapat dilihat
pada Gambar IV. 14 berikut ini :
Tahap 1 Penyerangan gugus karbonil oleh nukleofil
O
Rsel
O
O-
C
OH-
CH3
Rsel
O
C
CH3
OH
Tahap 2 Pembentukan asam asetat dan selulosa
O
ORsel
O
C
O-
Rsel
CH3
HO
C
CH3
OH
O
H3C
C
O-
Rsel
OH
Gambar IV 14 Mekanisme reaksi safonifikasi selulosa asetat
Secara teoritis jika kadar asetil lebih kecil dari
35% digolongkan selulosa
monoasetat, antara 35%-43,5% termasuk selulosa diasetat, dan diatas 43,5%
termasuk selulosa triasetat. Dari hasil perhitungan pada lampiran 15 didapatkan
kadar asetil untuk proses asetilasi selama 20 jam 44,3%, dan proses asetilasi 42
jam sebesar 40,7%.
Memperhatikan hasil perhitungan hasil titrasi dapat disimpulkan bahwa asetilasi
20 jam menghasilkan selulosa triasetat (persen asetil 44,32 % lebih besar dari
43,5%), dan untuk asetilasi 42 jam menghasilkan selulosa diasetat (kadar asetil
40,92 % lebih kecil dari 43,5%). Fakta ini didukung juga oleh analisis FTIR yang
menunjukkan kadar asetil pada proses 20 jam lebih besar dibandingkan 42 jam.
39
Dari perbandingan serapan gugus karbonil dan hidroksil didapatkan fakta bahwa
perbandingan karbonil dan hidroksil proses asetilasi 20 jam lebih besar
dibandingkan proses asetilasi 42 jam. Pada asetilasi 20 jam diperoleh rasio gugus
karbonil (C=O) dan OH adalah 3 : 2, sementara pada proses 42 jam diperoleh
rasio gugus C=O dan OH adalah 1: 1. Selain dipengaruhi pelarut, perbedaan ini
dapat disebabkan oleh transesterifikasi selama 42 jam terjadi deasetilasi kembali
selulosa asetat.
Menurut peneliti sebelumnya proses asetilasi selulosa asetat dari pulp eucalyptus
alba membutuhkan waktu asetilasi optimal 2 jam dan terjadi hidrolisis kembali
setelah 24 jam.
29
Demikian juga penelitian lainnya tentang asetilasi pulp kenaf
membutuhkan waktu asetilasi 3 jam dan terjadi hidrolisis kembali setelah 20 jam.
30
IV.5 Karakterisasi FTIR (Fourier Transform Infrared)
Analisis gugus fungsi secara kualitatif pada selulosa sebelum atau sesudah
asetilasi dilakukan dengan menginterpretasikan puncak-puncak serapan dari
spektrum inframerah. Berdasarkan data literatur12, selulosa dapat dianalisa
berdasarkan serapan gugus OH ulur yang muncul pada daerah serapan antara 3500
cm-1-3700 cm-1. Spektrum selulosa sebelum diasetilasi memiliki gugus fungsi OH
ulur yang muncul pada sekitar 3427 cm-1. Secara teori struktur siklik piranosa
akan muncul pada puncak serapan sekitar 1150 cm-1, 1059 cm-1, 1022 cm-1.
Spektrum ini diwakili oleh serapan yang muncul sekitar 1159 cm-1, 1058 cm-1 dan
1022 cm-1. Dan pada daerah sidik jari terlihat puncak serapan C-O ulur diwakili
oleh spektrum dengan puncak serapan pada bilangan gelombang 1022 cm-1 dan
1058 cm-1.
Pada puncak-puncak spektrum yang diperlihatkan menunjukkan
adanya pengotor yang disebabkan adanya udara (CO2) yang terperangkap dalam
pelet karena ketika membuat pellet tidak dilakukan dibawah sinar inframerah
seperti yang disarankan dalam literatur atau masih adanya pelarut air (H2O) yang
menyebabkan puncak yang teramati kurang bagus.
40
Spektrum IR selulosa dapat dilihat pada Gambar IV.15 berikut:
100
%T
3 4 2 7 .5 1
85
1 1 5 9 .2 2
1 0 5 8 .9 2
1 0 2 2 .2 7
1 5 0 6 .4 1
1 6 2 0 .2 1
90
1 4 3 1 .1 8
1 3 7 3 .3 2
1 3 2 7 .0 3
2 9 0 0 .9 4
95
80
75
70
65
60
4500
4000
selulosa 2
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500
1/cm
Gambar IV 15 Spektrum IR selulosa
Analisis gugus fungsi selulosa asetat dapat dilihat dari adanya puncak yang tajam
pada bilangan gelombang 1755 cm-1 untuk gugus karbonil (C=O) dan sebaliknya
terjadi penurunan intensitas gugus OH pada bilangan gelombang 3487 cm-1 yang
menunjukkan adanya substitusi gugus OH oleh asetil. Kemudian teramati puncak
serapan pada daerah 1238 cm-1 yang merupakan serapan gugus C-O ulur untuk
ester. Serapan C-C cincin piranosa terlihat pada bilangan gelombang sekitar
1163 cm-1 dan 1122 cm-1, 1043 cm-1. Pada proses 20 jam secara perhitungan %
asetil menunjukkan gugus hidroksil seluruhnya tergantikan oleh gugus asetil.
Namun kenyataannya masih ada serapan lebar OH pada panjang gelombang 3487
cm-1, hal ini kemungkinan sampel masih mengandung air (H2O) yang belum
menguap seluruhnya ketika dilakukan pengeringan dalam oven 80oC.
41
Spektrum IR selulosa asetat proses asetilasi selama 20 jam dapat dilihat pada
Gambar IV.16 berikut :
100
40
3000
2500
2000
1750
1 2 3 8 .3 0
1 7 5 5 .2 2
50
1500
1250
1 0 4 3 .4 9
1 3 7 5 .2 5
3 4 8 7 .3 0
60
6 0 1 .7 9
1 1 6 3 .0 8
1 1 2 2 .5 7
1 4 3 3 .1 1
2 9 5 8 .8 0
70
30
4500
4000
3500
Selulosa asetat 1
4 7 6 .4 2
4 4 9 .4 1
9 0 0 .7 6
1 6 3 1 .7 8
8 7 5 .6 8
80
6 9 0 .5 2
6 4 6 .1 5
2 1 2 1 .7 0
2 6 2 5 .1 2
90
2 3 7 2 .4 4
%T
1000
Gambar IV 16 Spektrum IR selulosa asetat asetilasi 20 jam
42
750
500
1/cm
Spektrum IR selulosa asetat proses asetilasi selama 42 jam dapat dilihat pada
Gambar IV.17 berikut :
100
%T
4 6 2 .9 2
6 0 1 .7 9
1 1 5 7 .2 9
1 7 4 7 .5 1
3 4 4 6 .7 9
1 2 4 4 .0 9
60
50
1 1 2 4 .5 0
1 3 7 5 .2 5
70
1 0 4 5 .4 2
1 6 3 5 .6 4
2 9 3 5 .6 6
80
1 5 0 8 .3 3
1 4 6 0 .1 1
1 4 3 1 .1 8
9 0 0 .7 6
90
401 19
40
30
4500
4000
3500
Selulosa asetat 2
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500
1/cm
Gambar IV 17 Spektrum IR selulosa asetat asetilasi 42 jam
Dari dua spektrum memberikan informasi bahwa gugus asetil dari selulosa asetat
yang dihasilkan pada proses asetilasi 20 jam intensitas serapannya lebih besar
dibandingkan selulosa asetat hasil asetilasi selama 42 jam
43
IV.6 Analisi DTA/TGA
Termogram hasil analisis TGA /DTA untuk selulosa memperlihatkan adanya garis
datar yang menunjukkan berat konstan serta memperlihatkan fase yang stabil pada
selang temperatur tertentu. Sedang garis belok menurun berhubungan dengan
pembentukan senyawa antara atau adsorbsi senyawa yang mudah menguap pada
fase padat yang baru terbentuk. Pada suhu dibawah 100oC tidak mengubah
struktur selulosa , pada termogram terlihat pengurangan massa sekitar 10,2%,
karena hilangnya gas H2O, CO2 dan CO menguap akibat pemanasan. Sampai suhu
264oC massa selulosa masih stabil, kemudian mengalami penurunan massa
sampai suhu 339,7oC
sebesar 52,6%.
Penurunan massa ini terjadi karena
putusnya ikatan glikosida menghasilkan glukosa, selanjutnya terjadi hidratasi
menghasilkan 1,6–anhidro-β-D-glukopiranosa dan oligosakarida, dan selanjutnya
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana (asam-asam karboksilat), senyawa
aldehid dan keton.
CH2OH
O
O
CH2
O
O
O
OH
OH
OH
OH
OH
Unit selulosa
1,6–anhidro-β-D-glukopiranosa
Gambar IV 18 Degradasi termal selulosa menjadi 1,6–anhidro-β-D-glukopiranosa
Pada suhu ini uap air (H2O) , gas CO2, dan gas CO menguap dengan sempurna.
Sekitar suhu 450oC senyawa-senyawa yang mudah menguap tidak ada lagi,
akhirnya yang tersisa adalah char karbon (arang).
dilihat pada Gambar berikut :
44
32, 33
Termogram selulosa dapat
Gambar IV 19 Hasil analisis DTA/TGA selulosa
Analisis pada selulosa asetat mulai suhu 30oC sampai suhu 273oC terjadi
penurunan massa sekitar 27,2% akibat menguapnya gas CO2, CO dan H2O,
kemudian mengalami penurunan massa selulosa asetat secara drastis sebesar
45,3% sampai suhu 315oC. Penurunan ini diakibatkan pecahnya ikatan siklik
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana terutama asam karboksilat,
selanjutnya pemanasan berlanjut menghasilkan massa stabil, sampai suhu 450oC.
Pada suhu ini zat-zat yang mudah menguap sudah tidak ada lagi, yang tersisa
adalah arang karbon. 28
Hasil analisis DTA/TGA untuk selulosa pada Gambar IV.19 dan selulosa asetat
pada Gambar IV. 20 memperlihatkan temperatur degradasi untuk selulosa murni
didapatkan sekitar 340oC, dan selulosa asetat didapatkan sekitar 315oC. Dari data
itu dapat disimpulkan bahwa kestabilan termal selulosa lebih tinggi dibanding
dengan selulosa asetat.
45
Gambar IV 20 Hasil analisis DTA/TGA selulosa asetat
IV.7 Uji Kelarutan
Adanya gugus asetil yang terikat pada selulosa asetat menyebabkan mudah larut
dalam pelarut polar seperti aseton. Sebanyak 0,2 gram selulosa asetat proses
asetilasi selama 20 jam dilarutkan dalam 2,0 ml aseton (massa jenis 0,79 gram/ml)
ternyata hanya 0,13 gram yang terlarut. Maka prosentase kelarutan selulosa asetat
yang didapatkan adalah 8,2 % atau 0,07 gram/ml untuk sampel 20 jam dan 10,1 %
atau 0,08 gram/ml untuk sampel proses 42 jam
(perhitungan terlampir).
Kandungan asetil antara 36,5 % - 42,2 % dengan derajat substitusi 2,2 – 2,7
mudah larut dalam aseton, sedangkan kandungan asetil 43,0% - 44,8% dengan
derajat substitusi 2,8–3,0 mudah larut dalam khloroform.18
Hal inilah yang
menyebabkan sampel proses 20 jam, % kelarutannya dalam aseton lebih kecil
dibandingkan proses asetilasi selama 42 jam .
46
Download