Analisis Wacana Kritis pada Film Tanda Tanya “?”

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jenis Film dan Unsur Film
2.1.1 Jenis Film
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.VIII tahun 1992 tentang
perfilman, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi
dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil
penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses
kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat
dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,
dan/atau lainnya.
Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan
hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa,
musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum (McQuail,
1987). Jenis-jenis film menurut Sumarno (1996), yaitu:
a. Film cerita
b. Film noncerita
c. Film eksperimental dan film animasi
Film Tanda Tanya “?” merupakan jenis film cerita yang memiliki genre
tertentu. Dalam hal ini Tanda Tanya “?” bergenre film drama. Genre diartikan
sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi tertentu. Ada yang disebut
film drama, film horror, film perang, film sejarah, film fiksi-ilmiah, film komedi film
laga, film khayalan dan film koboi. Penggolonggan jenis film tidaklah ketat karena
sebuah film dapat dimasukkan ke dalam beberapa jenis. Misalnya sebuah film
komedi-laga, dan film drama-sejarah.
Jenis-jenis film cerita itu agar tetap bertahan hidup harus tanggap terhadap
perkembangan jaman. Jadi, cerita adalah bungkus atau kemasan yang memungkinkan
8
pembuat film melahirkan realitas rekaan yang merupakan suatu alternatif dari realitas
nyata bagi penikmatnya. Dari segi komunikasi, ide atau pesan yang dibungkus oleh
cerita itu merupakan pendekatan yang bersifat membujuk (persuasive).
2.2 Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Komunikasi massa menurut Mulyana (2004) adalah komunikasi yang
menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio,
televisi, film) yang dikelola oleh lembaga atau orang yang dilembagakan, ditujukan
kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen.
Oleh karena itu, pesan-pesan dalam komunikasi massa bersifat umum, disampaikan
secara cepat, dan selintas (khususnya media elektronik).
Selanjutnya menurut Rakhmat (2005) komunikasi massa adalah komunikasi
melalui media massa, yakni suratkabar, majalah, radio,televisi, dan film. Sebagai
salah satu media komunikasi massa, film mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
(Effendy, 2001):
a. Pesan dalam film berlangsung satu arah
Tidak ada arus balik antara komunikan dan komunikator. Sutradara film sebagai
komunikator tidak mengetahui tanggapan khalayak terhadap pesan dalam film
yang dibuatnya. Sutradara tidak mengetahui apakah khalayak suka atau tidak
terhadap film yang dibuatnya. Sutradara mengetahui film yang disukai khalayak
melalui penjualan tiket bioskop dan DVD film yang dibuatnya. Semakin banyak
tiket bioskop dan DVD film terjual berarti khalayak menyukai film tersebut.
b. Komunikator film melembaga
Dalam pembuatan film melibatkan sejumlah orang yang terkoordinasi yang
memiliki peran yang berbeda-beda, seperti produser, sutradara, artis dan kru film
lainnya.
c. Pesan film bersifat umum.
Pesan yang disampaikan film bersifat umum karena ditujukan untuk khalayak
banyak.
9
d. Menimbulkan keserempakan
Keserempakan dalam film terlihat ketika film dibuat untuk ditonton oleh khalayak
secara serempak.
e. Komunikan film bersifat heterogen
Khalayak film merupakan kumpulan anggota masyarakat yang keberadaannya
terpencar, berbeda-beda satu sama lainnya. Oleh karena itu film dibuat dalam
berbagai bahasa.
2.2.1. Film Tanda Tanya “?” merupakan produk Komunikasi Massa
Film Tanda Tanya “?” merupakan sebuah produk dari Komunikasi Massa
karena memiliki sifat-sifat berikut ini:
a) Pesan dalam film berlangsung satu arah
Film Tanya Tanya “?” memiliki pesan yang berlangsung satu arah.
Meskipun terdapat feedback namun tidak berlangsung secara langsung.
Sehingga pesan tetap berlangsung satu arah
b) Komunikator film melembaga
Film Tanda Tanya “?” diproduksi oleh sebuah Production House yang
merupakan lembaga produksi film yang bernama Dapur Film
c) Pesan film bersifat umum
Pesan dari film Tanda Tanya “?” bersifat umum, karena toleransi sering
terjadi di kehidupan sehari-hari dan ditujukkan kepada orang banyak tanpa
terkecuali.
d) Menimbulkan keserempakan
Film Tanda Tanya “?” dirilis dan dilihat oleh penoton secara serempak
e) Komunikan film bersifat heterogen
Khalayak film Tanda Tanya “?” berasal dari berbagai daerah, kalangan
maupun golongan
10
2.3 Tokoh
Film secara umum dibagi menjadi dua unsur yaitu, unsur naratif dan unsur
sinematik. Dua unsur tersebut saling berhubungan untuk membentuk sebuah film.
Jika hanya salah satu unsur saja yang terbentuk maka tidak akan menghasilkan
sebuah film.
Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, sedangkan unsur
sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya, dalam film cerita, unsur naratif
adalah perlakuan terhadap cerita film. Sementara unsur sinematik merupakan aspekaspek teknis pembentuk sebuah film salah satunya yakni unsur Mise en scene. Salah
satu unsur tersebut yakni tokoh.
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut
penokohan. Tokoh dalam sebuah cerita memegang peran yang penting untuk
menceritakan sebuah cerita. Seorang pahlawan dalam sebuah novel tidaklah harus
seorang pahlawan tetapi sebagai salah satu karakter yang disebut karakter utama. Jadi
boleh dikatakan bahwa jika tidak ada tokoh maka sebuah cerita tidak dapat diceritakan,
karena tokoh dalam sebuah cerita berperan sebagai pelaku dan pembawa cerita
(Siswanto, 2008:142).
Tokoh dalam cerita tentu mempunyai karakter dan sifat-sifat sesuai dengan cerita
yang dimainkan, tokoh juga mempunyai posisi dalam sebuah cerita tergantung dimana ia
ditempatkan, hal inilah yang disebut dengan penokohan. Jadi secara garis besar, istilah
tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku ceritanya. Sedangkan penokohan berarti
lebih luas daripada tokoh, hal ini juga sering disamakan artinya dengan karakter dan
perwatakan, seperti yang dikatakan Jones dalam Nurgiyantoro (2007: 165) bahwa
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita.
Stanton dalam Nurgiyantoro (2007: 165) mengungkapkan bahwa penggunaan
istilah ’karakter’ (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris mengarah
11
pada dua arti yang berbeda, yaitu tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap,
ketertarikan, keinginan emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut.
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007: 165), tokoh cerita (character)
adalah orang yang ditampilkan dalam suatu naratif atau drama yang disimpulkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Dengan demikian, istilah ’penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ’tokoh’
dan ’perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan serta pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca atau penonton.
Nurgiyantoro (2002: 173) mengungkapkan mengenai tokoh dan tema dimana
sebagai unsur utama sebuah karya fiksi, tokoh dan tema juga saling berhubungan erat.
Apabila sebuah tokoh dimasukkan ke dalam sebuah tema tertentu yang tidak relevan,
maka tokoh itu tidak akan bisa disampaikan kepada penonton. Jika dipaksakan, maka
akan terjadi keanehan dalam sebuah cerita yang membuat kisahnya terasa janggal dan
tidak bisa diterima masyarakat. Oleh sebab itu, biasanya penulis akan memilih karakter
yang sesuai dengan temanya.
Nurgiyantoro (2007: 177) juga mengungkapkan bahwa tokoh cerita dalam sebuah
fiksi dapat dibedakan ke dalam jenis penamaan berdasarkan dari sudut dimana penamaan
itu dilakukan. Misalnya saja pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam
kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tak sama.
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh
yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi
sebagian besar cerita. Tokoh ini disebut sebagai tokoh utama cerita (central character
atau main character).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh utama
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun
yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu
berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, tokoh utama sangat menentukan perkembangan
plot secara keseluruhan. Dalam pembagiannya, tokoh memiliki banyak bagiannya,
12
namun pada dasarnya setiap drama akan memiliki tokoh utama, tokoh pembantu, tokoh
antagonis dan tokoh protagonis. Tokoh-tokoh ini yang akan saling beradu secara
emosional sehingga menimbulkan perasaan ikut terhanyut ke dalamnya, yang
membuktikan bahwa tokoh tersebut terasa relevan dengan penonton.
2.4 Media Sebagai Teks
“Citra merupakan gambaran, angan atau imaji yang timbul dalam proses
pembacaan” (Effendy, 1995:25). Menurut Rakhmat bersamaan dengan proses
pembacaan citra-citra yang disajikan di media massa, khalayak akan membentuk pula
dunia yang berdasarkan persepsi mereka. Media massa bekerja untuk menyampaikan
informasi. Bagi khalayak, informasi itulah yang akan membentuk, mempertahankan,
dan mendefinisikan citra.
Selama ini media massa memegang peranan sebagai sumber informasi yang
sangat penting bagi khalayak. Bahkan, menurut Mc Luhan dalam Rakhmat
(2005:224) media massa bisa dikatakan sebagai perpanjangan alat indra kita. Alasan
utamanya adalah karena kesanggupan media itu sendiri dalam menyampaikan
informasi, baik itu tentang benda, orang-orang, atau tempat yang belum tentu dapat
dialami secara langsung oleh penontonnya. Melihat hal-hal tersebut di atas, maka
penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa media massa juga memiliki
keterbatasan, yaitu
bahwa “realitas yang ditampilkan oleh media adalah sebuah
realitas yang sudah melalui proses seleksi. Media massa melaporkan dunia nyata
secara selektif” (Rakhmat, 2005:225).
Media massa, salah satunya film telah menampilkan realitas tangan kedua
(second hand reality). Bahkan menurut Ernest Van den Haag dalam Rakhmat
(2005:226), media massa bukan hanya menyajikan realitas kedua saja, tetapi karena
distorsi, media massa juga “menipu” manusia dengan memberikan citra dunia yang
keliru (Rakhmat, 2005:226).
Film dipahami sebagai sebuat teks, dimana sebuah pemaknaan di dalam film
merupakan rangkaian tanda-tanda/simbol yang tersusun secara sistematis sehingga
13
membentuk sebuah makna. Penulis mengamati bahwa muncul beberapa tanda-tanda
dalam bentuk simbol-simbol (dialog, gambar, musik, ornamen) dalam film yang
mengandung sebuah nilai. Berbagai simbol baik dalam bentuk dialog (verbal) dan
visualisasi gambar (non verbal) memiliki nilai-nilai atas pemaknaan akan toleransi.
Seperti simbol-simbol visual yang menggambarkan Masjid, Gereja dan Klentheng
dalam film Tanda Tanya, yang didukung oleh simbol-simbol audio dimana Masjid
biasa dideskripsikan dengan musik rebana, Gereja dengan suara alat musik organ
sedangkan penggambaran Klentheng digambarkan dengan karakter musik gesek
ataupun petikan bunyi alat musik harpa.
Sebuah proses komunikasi didukung atas susunan tanda-tanda yang mampu
diintepretasikan menjadi sebuah makna, dimana makna-makna tersebut mendukung
adanya pemaknaan yang utuh atas suatu tanda. Seperti dalam salah satu scene di
rumah Soleh (salah satu tokoh) yang dikenal sebagai keluarga yang memiliki
toleransi agama yang baik. Dalam rumahnya pada hampir setiap dinding terdapat foto
tokoh
Abdurahman
Wahid,
yang
dikenal
sebagai
tokoh
pluralisme
dan
multikulturalisme.
Pemaknaan-pemaknaan tersebut merupakan representasi dari makna teks dan
konteks yang terdapat dalam sebuah film. Pemaknaan realitas yang sebenarnya dan
realitas yang diusung oleh media massa menimbulkan adanya diskursus (wacana).
Wacana di sini dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari
analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam
suatu proses komunikasi. Disini diartikan tidak hanya proses kognisi dalam artian
umum, namun juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai
bahasa disini, memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan
tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi dan sebagainya.
Suatu diskursus/wacana terjadi ketika ternyata teks dan konteks dipengaruhi
dan mempengaruhi sosial. Hal ini akan menimbulkan sebuah perbedaan makna antara
satu golongan dengan yang lainnya, yang dapat dimasukkan kedalam cara pandang
oposisi biner. Oposisi biner yakni suatu pembagian berdasarkan ciri-ciri saling
14
kontras berkebalikan, dan bahkan bertentangan. Pandangan oposisi biner berkembang
lanjut ke dalam pandangan vertikalisme, yang melihat dua perkara atau hal ihwal ke
dalam taratan hierarkis, dimana satu perkara atau suatu hal diletakkan para peringkat
lebih tinggi atau lebih kuat daripada yang lainnya. Pandangan yang bisa disebut
sebagai pandangan dualisme kultural vertikalis ini membuahkan paradigma
ketidaksetaraan, rasisme, arogansi budaya, hegemoni dan dominasi budaya, yang
membutakan pandangan tentang kesetaraan budaya dan adanya budaya alternative
dalam konteks pluralitas budaya (Pamerdi dalam Hari & Madio, 2011:123).
2.5 Toleransi Agama
2.5.1 Pengertian
Gerald O’Collins SJ dan Edward G. Farrugia SJ (1996:335) memberikan
definisi toleransi adalah membiarkan dalam damai orang-orang yang mempunyai
keyakinan dan praktik hidup yang lain. Menurut Soekanto (1985:518) bahwa
toleransi adalah suatu sikap yang merupakan perwujudan pemahaman diri terhadap
sikap pihak lain yang tidak setuju.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran
(Inggris: tolerance, Arab : tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah
kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah
(terminologi), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, memperbolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya
(Hutabarat, 2009).
Jadi, toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak
mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah
penganut agama-agama lain. Toleransi berarti sikap lunak, membiarkan dan memberi
keleluasaan kepada penganut agama lain.
15
Dalam hubungan antar agama toleransi dapat berupa toleransi ajaran atau
toleransi dogmatis dan toleransi bukan ajaran atau toleransi praksis (Hardjana,
1993:115). Dengan toleransi dogmatis maka pemeluk agama tidak menonjolkan
keunggulan ajaran agamanya masing-masing. Dan dengan toleransi praksis maka
pemeluk agama akan membiarkan pemeluk agama yang lain melaksanakan keyakinan
mereka masing-masing. Pemahaman demikian akan melahirkan konsep damai dalam
kehidupan manusia.
2.5.2 Toleransi menurut Negara
a. Landasan Idiil, yaitu Pancasila (sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa)
b. Landasan Kosntitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat 1:
“Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”. Dan Pasal 29 ayat 2:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.
c. Landasan Strategis, yaitu Ketetapan MPR No.IV tahun 1999 tentang Garisgaris Besar Haluan Negara. Dalam GBHN dan Program Pembangunan
Nasional tahun 2000, dinyatakan bahwa sasaran pembangunan bidang agama
adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, yang penuh keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan
yang dinamis antar umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual, moral
dan etika bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam suasana kehidupan
yang harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras
dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila
2.6 Toleransi Agama dalam Konteks Multikulturalisme
Sebelum tahun 1980, bangsa Indonesia mudah membicarakan perihal
kerukunan antar umat bergama, dan setelah itu secara berangsur-angsur muncul
kerumitan di dalam representasi suatu agama, karena menguatnya tuntutan
16
keterwakilan aliran-aliran di dalam suatu agama dan juga di dalam hubungan antar
umat beragama. Ujungnya adalah sejumlah kekerasan yang dikaitkan dengan idiomidiom agama di beberapa daerah tanah air.
Pergeseran itu mengundang para intelektual agama untuk melacak legasi dari
agama-agama mengenai panduan hidup bersama dalam keragaman, termasuk
keragaman budaya. Panduan itu perlu digali dan disegarkan dengan optimisme bahwa
agama menyumbangkan nilai-nilai keluhuran yang mendukung integrasi masyarakat
multikultur. Optimisme itu terkonfirmasi melalui penegasan Habermas bahwa
“religious tolerance the peacemaker fot multiculturalism, correctly understood, and
for the equal coexistence or different cultural forms of life within a democratic
polity” atau toleransi beragama sebagai pembuka jalan bagi multikulturalisme, sudah
dipahami benar dan bagi kehidupan bersama yang setara -dari bentuk-bentuk
kehidupan kultural yang berbeda di dalam kehidupan demokratis (Untoro & Madio,
2011:47-49).
2.7 Teori Multikulturalisme
Terdapat tiga teori sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar individu
dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya
dalam konsep multikulturalisme. Menurut Ricardo L. Garcia (1982: 37-42) ada 3
teori tersebut populer dengan sebutan teori masyarakat majmuk (communal theory).
a. Melting Pot I: Anglo Conformity
Teori ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individuindividu yang beragam latar belakang—seperti agama, etnik, bahasa, dan
budaya—harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling dominan.
Teori ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu
kelompok mayoritas dan minoritas. Bila mayoritas individu dalam suatu
masyarakat adalah pemeluk agama Islam, maka individu lain yang
memeluk agama non-Islam harus melebur ke dalam Islam. Bila yang
17
mendominasi suatu masyarakat adalah individu yang beretnik Jawa, maka
individu lain yang beretnik non-Jawa harus mencair ke dalam etnik Jawa,
dan demikian seterusnya. Teori ini hanya memberikan peluang kepada
kelompok mayoritas untuk menunjukkan identitasnya. Sebaliknya,
kelompok
minoritas
sama
sekali
tidak
memperoleh
hak
untuk
mengekspresikan identitasnya. Identitas di sini bisa berupa agama, etnik,
bahasa, dan budaya.
b. Melting Pot II: Ethnic Synthesis.
Teori yang dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini memandang bahwa
individu-individu
dalam
suatu
masyarakat
yang
beragam
latar
belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk
wadah baru, dengan memasukkan sebagian unsur budaya yang dimiliki
oleh masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas agama,
etnik, bahasa, dan budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas
yang baru, sehingga identitas lamanya menjadi hilang. Bila dalam suatu
masyarakat terdapat individu-individu yang beretnik Jawa, Sunda, dan
Batak, misalnya, maka identitas asli dari ketiga etnik tersebut menjadi
hilang, selanjutnya membentuk identitas baru. Islam Jawa di kraton dan
masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai Islam
dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori ini belum
sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya
asli individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya
yang lain.
c. Cultural Pluralism: Mosaic Analogy.
Teori yang dikembangkan oleh Berkson ini berpandangan bahwa
masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar
belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk
18
mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis. Teori ini sama
sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas
budaya kelompok minoritas sekalipun. Bila dalam suatu masyarakat
terdapat individu pemeluk agama Islam, Katholik, Protestan, Hindu,
Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama diberi peluang untuk
mengekspresikan identitas keagamaannya masing-masing. Bila individu
dalam suatu masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Betawi,
dan
Ambon,
menunjukkan
misalnya,
maka
masing-masing
identitas
budayanya,
bahkan
individu
berhak
diizinkan
untuk
mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini, terdiri dari
individu yang sangat pluralistik, sehingga masingmasing identitas individu
dan kelompok dapat hidup dan membentuk mosaik yang indah.
2.8 Analisis Wacana Kritis (Teun A. Van Dijk)
Dari sekian banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan
dikembangkan, penulis menggunakan tehnik analisis ini karena Van Dijk
mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai
secara praktis. Model analisis wacana Van Dijk menggunakan pendekatan kognisi
sosial. Wacana dilihat bukan hanya dari struktur wacana, tetapi juga menyertakan
bagaimana wacana itu diproduksi. Proses produksi wacana itu menyertakan suatu
proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Oleh karena itu, dengan melakukan
penelitian yang komprehensif mengenai kognisi sosial akan dapat dilihat sejauh mana
keterkaitan tersebut, sehingga wacana dapat dilihat lebih utuh.
Dalam analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis), wacana di sini
tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang
menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di sini
19
agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian lingusitik tradisional. Bahasa
dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga
menghubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa itu dipakai untuk
tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.
Menurut Fairclough dan Wodak dalam (Eriyanto, 2011:7), analisis wacana
kritis melihat wacana, pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk
dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan
sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi,
institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi
menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan
kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok
mayoritas dengan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam
posisi sosial yang ditampilkan. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor
yang penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan
kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana
melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya
masing-masing.
Berikut adalah karateristik penting analisis wacana kritis menurut Teun A. Van
Dijk (Eriyanto, 1997: 1-37)
a. Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action).
Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk
interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal.
Wacana
dipandang
sebagai
sesuatu
yang
bertujuan,
apakah
untuk
mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, ber-reaksi dan sebagainya.
Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar
maupun kecil. Wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara
sadar, terkontrol, bukan sesuatu diluar kendali atau diekpresikan diluar
kesadaran.
20
b. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar
belakang, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi,
dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Analisis Wacana juga
memeriksa konteks dari komunikasi, siapa yang mengkomunikasikan dengan
siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa, melalui medium apa;
bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk
setiap masing-masing pihak. Titik tolak dari analisis wacana di sini, bahasa
tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan
suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Bahasa di sini dipahami dalam
konteks secara keseluruhan.
Guy Cook (Eriyanto, 2011:9) menyebut ada tiga hal sentral dalam
pengertian wacana, yakni Teks, Konteks dan Wacana
-
Teks
Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di
lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik,
gambar, efek suara, citra dan sebagainya.
-
Konteks
Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan
mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi
dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya.
-
Wacana
Wacana disini dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian
dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersamasama dalam suatu proses komunikasi. Di sini diartikan tidak hanya proses
koognisi dalam artian umum, namun juga gambaran spesifik dari budaya yang
21
dibawa. Studi mengenai bahasa di sini, memasukkan konteks, karena bahasa
selalu berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa
partisipan, interteks, situasi dan sebagainya.
c. Historis
Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana
diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa
menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa
mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis
tertentu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk
mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu,
mengapa bahasa yang dipakai seperti itu dan sebagainya.
d. Kekuasaan
Analisis Wacana Kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan
(power) dalam analisisnya. Di sini setiap wacana yang muncul dalam bentuk
teks, percakapan dan atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang
alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan
masyarakat.
e. Ideologi
Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat
kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik
ideologi atau pencerminan dari ideologi-ideologi diantaranya mengatakan
bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan
mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.
Pendekatan Kognisi Sosial Van Dijk menekankan faktor kognisi sebagai
elemen penting dalam produksi wacana. Wacana dilihat bukan hanya dari struktur
wacana, tetapi juga menyertakan bagaimana wacana itu diproduksi. Proses produksi
wacana itu menyertakan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Dari
22
analisis teks misalnya diketahui bahwa wacana cenderung memarjinalkan kelompok
minoritas dalam pembicaraan publik. Akan tetapi menurut Van Dijk, wacana
semacam ini hanya tumbuh dalam suasana kognisi pembuat teks yang memang
berpandangan cenderung memarjinalkan kelompok minoritas. Oleh karena itu,
dengan melakukan penelitian yang komprehensif mengenai kognisi sosial akan dapat
dilihat sejauh mana keterkaitan tersebut, sehingga wacana dapat dilihat lebih utuh.
Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada
analisis atas teks semata, karena teks hanyalah hasil dari suatu praktik produksi yang
harus diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga
kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Inti dari analisis
ini adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana; teks, kognisi sosial dan konteks
sosial ke dalam satu kesatuan analisis.
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi
wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial
dipelajari proses produksi teks. Sedangkan pada aspek ketiga konteks sosial
mempelajari bangunan wacana yang berkembang di masyarakat akan suatu masalah.
Model dari analisis Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:
Teks
Kognisi Sosial
Konteks
Model analisis Teun A. Van Dijk
(Gambar 1)
23
Sumber: Eriyanto, 2011
Struktur Makro, Superstruktur dan Sturktur Mikro
Van Dijk melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur atau tingkatan
yang masing-masing bagian saling mendukung. Ketiga tingkatan tersebut yakni
(Eriyanto, 2001: 227-228) :
a) Struktur Makro
Merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema
yang diangkat oleh suatu teks. Dari struktur ini akan terlihat jelas bagaimana
pandangan sutrada pada suatu peristiwa yang menguntungkan kelompokkelompok tertentu
b) Superstruktur merupakan kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi,
penutup dan kesimpulan. Dari hal ini muncul kesan yang dibuat sutradara
dalam benak khalayak.
c) Struktur Mikro merupakan makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati
dari pilihan kata, klaimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks. Struktur ini
melihat bagaimana pandangan sutradara dalam pemakaian bahasa dalam
struktur pendahuluan, isi, dan penutup film.
2.9 Pengertian Ideologi
Menurut Sukarna (1981) ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata
ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk
mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang
komprehensif,
sebagai
cara
memandang
segala
sesuatu
(bandingkan
Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan
beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan
oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik
ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif.
Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide)
24
yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti
politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun
tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.
2.9.1 Ideologi Liberalisme
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat,
dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan
persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme
mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan
berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan,
khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern,
liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan
keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Ada tiga hal yang
mendasar dari Ideolog Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak
Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang
bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
•
Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human
Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam
segala
bidang
kehidupan baik
politik,
sosial,
ekonomi
dan
kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda,
sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan
berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas
dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang
mutlak
dari
demokrasi. Dengan adanya
pengakuan
terhadap
persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama
untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial,
ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan
dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting
25
untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason
Equally.)[2]
•
Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah.
Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi
harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent
of The People or The Governed)[2]
•
Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk
membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang
merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat
oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya.
Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap
hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan
persamaan sosial.
•
Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis
of Individual)
•
Negara hanyalah alat (The State is Instrument).
[2]
Negara itu sebagai
suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar
dibandingkan negara itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik,
ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat
memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu
langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah
mengalami kegagalan.
•
Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse
Dogatism). Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John
Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu
didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu
adalah berubah.
Terdapat dua paham yang relevan atau menyangkut Liberalisme Klasik, yakni
Demokrasi dan Kapitalisme:
26
 Demokrasi dan Kebebasan Dalam pengertian Demokrasi, termuat nilainilai hak asasi manusia, karena demokrasi dan Hak-hak asasi manusia
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu
dengan yang lainnya. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis
mestilah mempraktekkan dengan konsisten mengenai penghormatan pada
hak-hak asasi manusia, karena demokrasi tanpa penghormatan terhadap
hak-hak asasi setiap anggota masyarakat, bukanlah demokrasi melainkan
hanyalah fasisme atau negara totalitarian yang menindas. Jelaslah bahwa
demokrasi berlandaskan nilai hak kebebasan manusia. Kebebasan yang
melandasi
demokrasi
haruslah
kebebasan
yang
positif
–
yang
bertanggungjawab, dan bukan kebebasan yang anarkhis. Kebebasan atau
kemerdekaan di dalam demokrasi harus menopang dan melindungi
demokrasi itu dengan semua hak-hak asasi manusia yang terkandung di
dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan memiliki
kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang dapat
menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi juga mengisyaratkan
penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan Rakyat.
 Kapitalisme dan Kebebasan Tatanan ekonomi memainkan peranan
rangkap dalam memajukan masyarakat yang bebas. Di satu pihak,
kebebasan dalam tatanan ekonomi itu sendiri merupakan komponen dari
kebebasan dalam arti luas ; jadi, kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri
menjadi tujuan. Di pihak lain, kebebasan di bidang ekonomi adalah juga
cara yang sangat yang diperlukan untuk mencapai kebebasan politik. Pada
dasarnya, hanya ada dua cara untuk mengkoordinasikan aktivitas jutaan
orang di bidang ekonomi. Cara pertama ialah bimbingan terpusat yang
melibatkan penggunaan paksaan – tekniknya tentara dan negara dan
negara totaliter yang modern. Cara lain adalah kerjasama individual secara
27
sukarela – tekniknya sebuah sistem pasaran. Selama kebebasan untuk
mengadakan sistem transaksi dipertahankan secara efektif, maka ciri
pokok dari usaha untuk mengatur aktivitas ekonomi melalui sistem
pasaran adalah bahwa ia mencegah campur tangan seseorang terhadap
orang lain. Jadi terbukti bahwa kapitalisme adalah salah satu perwujudan
dari kerangka pemikiran liberal.
2.10 Kerangka Pikir
FILM TANDA TANYA
TOKOH
TEORI
WACANA TOLERANSI
MULTIKULTRURAL
CDA (Van Dijk)
Critical Discourse Analysis
- Struktur Makro
IDEOLOGI
(Gambar 2)
28
-
Superstruktur
-
Struktur Mikro
Download