Analisis Split-Ticket Voting, Muh Qodari Raih Doktor

advertisement
Analisis Split-Ticket Voting, Muh Qodari Raih Doktor
Kamis, 14 Januari 2016 WIB, Oleh: Agung
Split-ticket voting merupakan fenomena yang lahir akibat adanya bermacam-macam pemilihan,
seperti pemilihan legislatif (DPR) maupun eksekutif (presiden). Tidak hanya di Indonesia, fenomena
split-ticket voting terjadi juga di negara lain yang menyelenggarakan pemilihan langsung.
Bahkan di Amerika Serikat dan Eropa, kajian split-ticket voting sudah cukup lama dan karena itu
telah terbangun sejumlah teori dominan. Sementara, di Indonesia, fenomena ini tampak semenjak
pemberlakuan pemilihan presiden secara langsung di tahun 2004.
"Untuk pemilu legislatif memilih Partai Golkar, sedangkan untuk Pilpres memilih calon yang diusung
oleh Partai Demokrat. Disini pemilih membagi suara (split) untuk bermacam partai pada beberapa
jenis pemilihan. Ini kerap terjadi di pemilu pasca Orde Baru,"ujar Muhammad Qodari, di Fisipol
UGM, Kamis (14/1) saat menempuh ujian program doktor.
Mempertahankan disertasi Split-Ticket Voting dan Faktor-Faktor yang Menjelaskannya pada Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden Indonesia Tahun 2004, Muh Qodari menyatakan setidaknya ada lima
teori dominan yang dipakai untuk menjelaskan terjadinya split-ticket voting. Teori keseimbangan,
teori konflik harapan, teori kepemilikan isu, teori chek and balance dan teori pemasaran. Semua
teori tersebut melihat pemecahan (split) sebagai bagian dari strategi pemilih dengan tujuan
tertentu.
"Misalnya, untuk moderasi atau keseimbangan ideologi, untuk memuaskan kebutuhan pemilih yang
beragam, cara pemilihan yang berbeda, menciptakan kontrol pemerintahan dan untuk memenuhi
ekspektasi pesan kampanye," papar Qodari didampingi promotor Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A dan
ko-promotor Dr. Kuskridho Ambardi.
Karena itu, tidak mengherankan jika di tahun 2004, pemilu legislatif yang dimenangkan oleh Partai
Golkar (21,6 %) disusul PDIP (18,5%), namun pemilu presiden dimenangkan oleh Partai Demokrat
yang hanya menduduki peringkat kelima pemilu legislatif (7,5%). Salah satu penyebab kegagalan
calon yang diusung Golkar dan PDIP, karena pembelahan suara (split) yang dilakukan oleh pemilih
Golkar dan PDIP.
"Fenomena split-ticket voting ini bagi partai besar sesungguhnya menggelisahkan dan bagi partai
kecil memberi harapan. Yang terjadi pemerintah pun terbelah, karena dikuasai oleh partai-partai
berbeda, demikian juga legislatif karenanya untuk melahirkan undang-undang atau peraturan dan
lain-lain akan sangat sulit sekali," papar Direktur Eksekutif Indo Barometer itu.
Lebih lanjut Muh Qodari menjelaskan, meski motivasi pemilih berbeda, namun yang menyatukan
semua teori adalah pemilih dianggap cukup pengetahuan, cukup kemampuan, dan melakukan
pemecahan suara (split) atas dasar intensi tertentu. Karena itu, dalam konteks yang berbeda, yakni
konteks pemilih, sistem pemilu, serta sejarah dan praktik kepartaian yang berbeda, maka menurut
Qodari teori-teori split-ticket voting dinilai kurang relevan untuk negara berkembang dan demokrasi
muda seperti Indonesia.
Untuk itu, Muh Qodari selaku peneliti merumuskan penjelasan split-ticket voting yang cocok untuk
Indonesia, yaitu model low information. Karena berdasar hasil survei dan analisis memperlihatkan
model dominan yang banyak diterapkan di AS dan Eropa tidak bisa menjelaskan fenomena splitticket voting di Indonesia.
"Sementara, model low information cukup baik dalam menjelaskan perilaku split-ticket voting di
Indonesia dalam pemilu 2014," tandas Qodari dalam ujiannya yang dihadiri sejumlah pimpinan dan
tokoh nasional. (Humas UGM/ Agung)
Berita Terkait
●
●
●
●
●
Raih Doktor Usai Teliti Managemen Laba Perspektif Oportunistik dan Efisien
Raih Doktor Usai Teliti Bentuk Pengulangan Dalam Al-Qur’an
Pemerintahan Jokowi-JK Harus Siap Hadapi Kebuntuan Politik
Pemilu 2014, Pertaruhan Kredibilitas Partai dan Praktek Demokrasi
Raih Doktor Usai Teliti Cacat Pengelasan Citra Digital Radiograf Industri
Download