20 BAB II Pendidikan Karakter dan Teater A. Pendidikan Karakter 1

advertisement
BAB II
Pendidikan Karakter dan Teater
A. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan istilah dari bahasa Inggris education
yang berasal dari bahasa Latin educare atau bahasa latinnya educo. Educo
berarti mengembangkan dari dalam; mendidik; melaksanakan hukum
kegunaan.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan
sebagai proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.2
Menurut Muhammad Al-Naquib Al-Attas, pendidikan adalah
“suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. Dalam
pengertian ini, suatu proses penanaman mengacu pada metode dan
sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan”
secara bertahap. “Sesuatu” mengacu pada kandungan yang ditanamkan
dan “diri manusia” mengacu pada penerima proses dan kandungan itu.3
Dalam pengertian tersebut, pendidikan tidak hanya dimaknai
sebagai transfer pengetahuan. Pendidikan berarti proses pengembangan
berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan
1
Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam. (Yogykarta: Fadilatama,
2011), hlm. 3
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 263.
3
Muhammad Al-Naquuib At-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan,
1988), hlm. 35.
20
21
akademis, relasional, bakat-bakat, talenta, kemampuan fisik, dan dayadaya seni.4
Pada dasarnya pendidikan adalah laksana eksperimen yang tidak
pernah selesai sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di
dunia ini. Pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban
manusia yang terus berkembang.5
Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan merupakan sebuah proses dengan metode-metode
tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan
tingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.
Secara etimologi istilah karakter berasal dari bahasa Yunani,
yaitu karasso yang berarti cetak biru, format dasar, dan sidik seperti
dalam sidik jari. Dalam hal ini karakter diartikan sebagai sesuatu yang
tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi, seperti ganasnya laut
dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya. 6 Orang yang
memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh
sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sananya. Sementara
orang yang memiliki karakter lemah ialah orang yang tunduk pada
4
Muhammad Fadillah & Lilif Mualifatu Khorida, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini,
((Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 17
5
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm.1
6
Doni Koesumo, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global
(Jakarta: Grasindo, 2011), hlm. 90
22
sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat
menguasainya.7
Pendapat lain menyebutkan bahwa karakter berarti to mark
(menandai) dan memfokuskan, bagaimana
mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Dalam konteks ini,
karakter erat kaitannya dengan kepribadian atau personality seseorang.
Adapula yang mengartikannya sebagai identitas diri seseorang.8
Karakter dapat didefinisikan sebagai kecenderungan tingkah
laku yang konsisten secara lahiriyah dan batiniyah. Karakter adalah hasil
kegiatan yang sangat mendalam dan kekal yang nantinya akan membawa
ke arah pertumbuhan sosial.9
Menurut Al Wasol, karakter diartikan sebagai gambaran tingkah
laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, berbeda dengan
kepribadian karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai.
Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter
berwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial, keduanya
relatif permanen serta menuntun, mengarahkan, dan mengorganisasikan
aktivitas individu.10
Karakter
(Character)
mengacu
pada
serangkaian
sikap
(Attitude), perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan
7
Ibid, hlm. 91
Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter, Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 12
9
Djaall, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 48-49
10
Arismanto, Tinjauan Berbagai Aspek Character Building, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2008), hlm. 27-28
8
23
(skill). Karakter meliputi sikap, seperti keinginan untuk melakukan hal
yang terbaik, kapasitas intelektual, seperti berfikir kritis, dan alasan moral
perilaku seperti jujur dan bertaqwa, bertanggung jawab mempertahankan
prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidak adilan kecakapan
interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi
secara efektif dalam berbagai keadaan dan komitmen untuk berkontribusi
dengan komunitas dan masyarakatnya.11
Dari pengertian pendidikan dan pengertian karakter di atas,
maka pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk pola
sifat atau karakter baik mulai dari usia dini, agar karakter baik tersebut
tertanam dan mengakar pada jiwa anak.
Pendidikan karakter memiliki makna yang lebih tinggi dari
pendidikan moral. Karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan
dengan masalah benar – salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan
tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan. Sehingga individu memiliki
kesadaran, dan pemahaman tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk
menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.12
Sedangkan dalam perspektif pendidikan Islam, pendidikan
karakter secara teoritil sebenarnya sudah ada sejak zaman Islam
diturunkan di dunia seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad saw.
untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlak (karakter) manusia.
Ajaran Islam sendiri mengandung sistematika ajaran yang tidak hanya
11
12
Ibid, hlm. 27
E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), hal. 3
24
menekankan pada aspek keimanan, ibadah dan muamalah, tetapi juga
akhlak. Pengamalan ajaran Islam secara utuh merupakan model karakter
seorang muslim, bahkan dipersonifikasikan dengan model karakter Nabi
Muhammad saw. yang memiliki sifat Shidiq, Amanah, Thabligh dan
Fathonah.13
2. Tujuan Pendidikan Karakter
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pemerintah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah untuk
berkembangnya potensi peserta didik agara menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.14
Tujuan pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan
pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga tewujud dalam perilaku anak
baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus
dari sekolah).15
Tujuan pendidikan karakter tersebut tidak hanya bertujuan
untuk mencerdaskan pelajar atau mahasiswa dalam aspek kognitif saja,
akan tetapi juga melibatkan emosi dan spiritual, tidak sekedar memenuhi
otak pelajar atau mahasiswa dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan
mendidik akhlak. Pelajar atau mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi
13
Ibid, hal. 5
Muhammad Fadlillah, Op.Cit. hal. 24
15
Dharma Kusuma, Pendidikan Karakter (Kajian Teori dan Praktik di Sekolah),
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 6
14
25
anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan tanggap terhadap
lingkungan sekitarnya.
3. Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Berdasarkan kajian berbagai nilai agama, norma sosial,
peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah
teridentifikasi butir-butir nilai yang telah dikelompokkan menjadi lima
nilai utama, yaitu:
a. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
Nilai ini bersifat religius. Dengan kata lain, pikiran, perkataan dan
tindakan seseorang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai
ketuhanan atau ajaran agama.
b. Nilai karakter hubungannya dengan diri sendiri
Ada beberapa nilai karakter yang berhubungan dengan diri sendiri,
yaitu:
1) Jujur merupakan perilaku yang didasarkan upaya menjadikan diri
sebagai orang yang selalu dipercaya.
2) Bertanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan
tugas
dan
kewajibannya,
sebagaimana
yang
seharusnya ia lakukan tehadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
3) Bergaya hidup sehat merupakan upaya menciptakan hidup yang
sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu
kesehatan.
26
4) Disiplin merupakan perilaku yang tertib patuh pada ketentuan dan
aturan.
5) Kerja
keras
merupakan
upaya
sungguh-sungguh
dalam
menyelesaikan tugas maupun pekerjaan.
6) Percaya diri merupakan sikap yakin akan kemampuan diri sendiri.
7) Berjiwa usaha merupakan sikap yang mandiri dan pandai, mampu
mengenai produk baru, mampu menentukan dan memasarkan
produk baru, serta mengatur modal operasinya.
8) Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif merupakan sikap berfikir
dan
melakukan
sesuatu
secara
nyata
atau
logika
untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dan mutakhir dari sesuatu yang
telah dimiliki.
9) Ingin tahu merupakan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajari, dilihat dan didengar.
10) Cinta ilmu merupakan cara berfikir, bersikap dan berbuat yang
menunjukan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi
terhadap pengetahuan.16
c. Nilai karakter hubungannya dengan sesama
Ada beberapa nilai karakter yang berhubungan dengan sesama,
yaitu:
16
Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter Di Sekolah,
(Yogyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 36-37
27
1) Sadar hak dan kewajiban diri dan orang lain merupakan sikap tahu
dan mengerti serta melaksanakan sesuatu yang menjadi milik atau
hak diri sendiri dan orang lain, serta tugas atau kewajiban diri
sendiri dan orang lain.
2) Patuh pada aturan-aturan sosial merupakan sikap menurut dan taat
terhadap
aturan-aturan
berkenaan
dengan
masyarakat
dan
kepentingan umum.
3) Menghargai karya dan prestasi orang lain merupakan sikap dan
tindakan yang mendorong diri untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat. Serta, mengakui dan menghormati
keberhasilan orang lain.
4) Santun merupakan sikap yang halus dan baik dari sudut pandang
bahasa maupun tata perilakunya kepada semua orang.
5) Demokratis merupakan cara berfikir, bersikap dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain.
d. Nilai karakter hubungannya dengan lingkungan
Hal ini berkenaan dengan kepedulian terhadap sosial dan
lingkungan. Nilai karakter tersebut berupa sikap dan tindakan yang
selalu berupaya mencegas kerusakan pada lingkungan alam dan
sekitarnya,
serta
mengembangkan
lingkungan yang rusak.
dalam
upaya
memperbaiki
28
e. Nilai karakter hubungannya dengan kebangsaan
Ada beberapa nilai karakter yang berhubungan dengan kebangsaan,
yaitu:
1) Nasionalis merupakan cara berfikir, bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan
politik bangsanya.
2) Menghargai keberagaman merupakan sikap hormat terhadap
berbagai hal, baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku,
maupun agama.17
4. Tahapan membentuk karakter
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing),
perbuatan (acting), menuju kebiasaan (habit). Hal ini berarti, karakter
tidak sebatas pada pengetahuan. Menurut William Kalpatrik seseorang
yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu
bertindak sesuai pengetahuannya itu kalau ia tidak terlatih untuk
melakukan kebaikan tersebut.
Menurut Anis Matta dalam bukunya “Membentuk Karakter Cara
Islam” menyebutkan beberapa kaidah pembentukan karakter sebagai
berikut: 18
17
Ibid. hlm. 39-41
M.Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam, (Jakarta: Al-I‟thisom Cahaya Umat,
2006), hlm. 34
18
29
a) Kaidah kebertahapan
Proses pengembangan atau pembentukan karakter harus
dilakukan secara bertahap. Orang tidak bisa dituntut untuk berubah
sesuai yang diinginkan secara tiba-tiba dan instan. Namun ada tahapantahapan yang harus dilalui dengan sabar dan tidak terburu-buru.
Orientasi kegiatan ini adalah pada proses bukan pada hasil. Proses
pendidikan adalah hasilnya lama namun hasilnya paten.
Karakter tidak sebatas pengetahuan, karena lebih dalam lagi
menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian,
diperlukan tiga komponen karakter baik (components of good
character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral
feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau perbuatan
bermoral. 19
Moral Knowing atau pengetahuan tentang moral adalah
kesadaran moral (moral awereness), pengetahuan tentang nilai-nilai
moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective
taking), logika moral (moral reasoning), dan pengenalan diri (self
knowledge).20 Dengan pengetahuan tentang moral ini peserta didik akan
mengetahui hal-hal dasar tentang moral yang nantinya akan
berpengaruh pada perasaan moral peserta didik.
Moral feeling atau perasaan moral merupakan penguatan aspek
emosi siswa untuk menjadi manusia yang berkarakter. Penguatan ini
19
20
Arismanto, Op. Cit., hlm. 30
Ibid
30
berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa,
yang meliputi perasaan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem),
kepekaan terhadap orang lain (empathy), cinta kebenaran (loving the
good), pengendalian diri (self control), perasaan kerendahan hati
(humanity).21
Untuk menjadikan karakter yang kuat maka perasaan moral ini
sangat dibutuhkan sebagai pengalaman batin yang nantinya akan
berpengaruh pada tindakan yang dilakukan dalam menjalani kehidupan.
Moral action atau tindakan moral merupakan tindakan moral
yang merupakan hasil dari kedua komponen karakter sebelumnya.
Dengan mengerti pengetahuan dan perasaan moral, maka karakter
peserta didik akan muncul sebagai jati diri yang membedakan dengan
orang lain.
Dengan demikian pembentukan atau pengembangan karakter
membutuhkan suatu prosses atau tahapan-tahapan yang harus dilalui,
tidak serta merta karakter seseorang dapat terbentuk.
b) Kaidah kesinambungan
Seberapa kecilnya porsi latihan atau proses pembelajaran akan
mempengaruhi
pengalaman
seseorang.
Untuk
itu
proses
berkesinambungan harus dilakukan. Proses yang berkesinambungan
inilah yang nantinya membentuk rasa dan warna berfikir seseorang
21
Ibih. hlm. 31
31
yang lama-lama akan menjadi kebiasaan dan seterusnya menjadi
karakter pribadi yang khas.
c) Kaidah momentum
Dalam hal ini seorang guru atau pembimbing mempunyai
kreatifitas dalam memodifikasi setiap moment untuk fungsi pendidikan
dan latihan agar menjadi lebih bermakna untuk pembentukan karakter
peserta didik.
d) Kaidah motivasi instrinsik
Karakter yang kuat akan terbentuk sempurna jika dorongan
yang menyertainya benar-benar lahir dari dalam diri sendiri. Jadi,
proses merasakan sendiri, melakukan sendiri, adalah penting. Hal ini
sesuai dengan kaidah umum bahwa mencoba sesuatu akan berbeda
hasilnya jika dilakukan sendiri dengan yang hanya dilihat atau
diperdengarkan saja.22
e) Kaidah pembimbingan
Pembimbingan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang
guru/pembimbing. Kedudukan seorang guru/pembimbing ini adalah
untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan seseorang.
22
M. Anis Mata, Op. Cit. hlm. 25
32
B. Teater
1. Pengertian Teater
Teater berasal dari bahasa Yunani yaitu Theatron yang berarti
takjub memandang. Secara etimologis, teater adalah gedung pertunjukan
atau auditorium. Dalam istilah bahasa Indonesia, kata sandiwara lebih
dipopulerkan oleh para seniman sebelum kemerdekaan.
Sandiwara berasal dari bahasa sandi yang berarti rahasia dan
warah yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang disampaikan
secara rahasia atau tidak terang-terangan, karena lakon drama sebenarnya
mengandung pesan atau ajaran (terutama ajaran moral) bagi penontonnya.
Penonton menemukan ajaran secara tersirat dalam lakon drama.
Sementara, dalam arti luas teater ialah segala tontonan yang
dipertunjukkan di depan orang banyak. Namun dalam arti sempit, teater
adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di
atas pentas dengan media: percakapan, gerak, dan laku didasarkan pada
naskah yang tertulis. Ditunjang dengan dekorasi, musik, nyanyian, tarian,
dan sebagainya.23
Menurut Harymawan, teater berarti drama, kisah hidup dan
kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh
orang banyak, dengan media percakapan, gerak dan laku, dengan atau
23
M.Noor Said, Mengenal Teater di Indonesia, (Semarang: Aneka Ilmu, 2010), hlm. 1
33
tanpa dekor (layar dan sebagainya), didasarkan pada naskah yang
tertulis (hasil seni sastra), dengan atau tanpa musik, nyanyian, tarian.24
Teater dapat diartikan sebagai (1) Gedung atau ruangan tempat
pertunjukan film, sandiwara atau lain sebagainya. (2) Ruangan besar
dengan deretan kursi-kursi ke samping dan kebelakang untuk mengikuti
kuliah atau untuk peragaan ilmiah. (3) Seni drama, sandiwara,
pementasan drama sebagai suatu seni atau profesi drama.25
Meskipun hubungan
kata “teater” dan “drama” bersandingan
sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang
mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon
atau karya sastra.26
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater”
berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan
dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater
adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas
panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan
“teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah
satu unsur dari “teater”.
24
Haryawan RMA, Drama Turgi, (Bandung: Rosda Karya, 1988), hlm. 2.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit, hlm. 1151
26
http://pengertianadalahdefinisi.blogspot.com/2013/09/pengertian-teater-definisimenurut-para.html. Diakses, 14 November 2013.
25
34
2. Sejarah Perkembangan Teater
a. Teater Primitif
Teater hadir lebih dahulu daripada agama-agama wahyu.
Penelitian
Macgowan-Melnitz
(1955)
menemukan
bahwa
perkembangan teater dan drama dimulai ketika manusia berusaha
meniru tingkah laku binatang untuk meningkatkan siasat dan
memantapkan buruan. Megi meniru kemudian dilengkapi dan
dikembangkan manusia dengan tarian, musik dan penggunaan topeng.
Manusia kemudian menyempurnakannya dengan dialog.27
b. Teater Yunani Klasik
Teater Yunani muncul di hadapan kita dengan seluruh dirinya,
bagaikan dewi Athena muncul dari kepala Zeus. Tiba-tiba saja teater
itu hadir begitu megah dan utuh dalam bentuk tragedi karya
Aeschylus, Sophocles, Aristophones, dan Euripedes, yang dipentaskan
di kota-kota dan disaksikan seluruh penduduk Athena.28
c. Teater Romawi
Teater pertama kali dipertunjukkan di kota Roma pada tahun
240 B.C. pertunjukkan dikenalkan oleh Livius Andrenicus, seniman
Yunani. Teater Romawi merupakan hasil adaptasi bentuk teater
Yunani. Hampir disetiap unsur panggungnya terdapat unsur
pemanggungan Yunani. Namun demikian teater Romawi pun
27
Yudiaryani, Panggung Teater Dunia, Perkembangan dan Perubahan Konvensi,
(Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli, 2002). hlm. 36
28
Ibid, hal. 47
35
memiliki kebaruan-kebaruan dalam penggarapan dan penikmatan
yang asli oleh masyarakat Romawi.29
d. Teater Abad Pertengahan
Pada zaman ini pengaruh gereja katolik atas drama sangat
besar. Dalam pementasan terdapat nyanyian-nyanyian yang dilakukan
oleh padri dan paduan suara secara berganti-ganti.30
Asmara membagi drama-drama yang berkembang dalam abad
pertengahan itu menjadi tiga golongan, yaitu (1) drama-drama
perjanjian lama, bentuk drama ini sering memperbincangkan
kejatuhan manusia; (2) drama-drama perjanjian baru, biasanya bentuk
drama ini selalu berhubungan dengan Jesus Kristus; dan (3) dramadrama kematian dan kebangkitan kembali manusia.31
Konstruksi teater pada abad pertengahan menurut Harymawan
sangat primitif (disebut teater kereta), tetapi kadang-kadang bisa lebih
luas dan mewah (simultan). Secara sederhana, panggung teater pada
zaman ini dapat dibongkar pasang dan dibawa kesana-kemari oleh
kelompok teater yang mengembara.32
e. Teater Renaissance
Pada zaman renaissance, perkembangan dunia tidak hanya
terjadi pada bidang industri saja. Bidang teater pun juga mengalami
perkembangan yang semarak di Eropa. Istana dan akademi-akademi
29
Ibid. hlm. 80
Harymawan. Op. Cit. hlm. 81
31
Cahyaningrum Dewojati, DRAMA, Sejarah, Teori dan Penerapannya, (Yogyakarta;
Javakarsa Media, 2012), hlm. 61
32
Ibid, hlm. 61
30
36
merupakan pusat-puasat aktivitas drama dan taeter, terutama di Italia.
Terdapat tiga jenis drama yang berkembang dengan baik, yaitu tragedi,
komedi dan pastoral.33
f. Teater Elizabeth
Pada awal pemerintahan Ratu Elizabeth I di Inggris (15581603), drama berkembang dengan sangat pesatnya. Gedunggedung pementasan besar bermunculan mengikuti gedung pementasan
yang telah lebih dulu dibangun atas prakarsa sang ratu. Salah
satu gedung
pementasan
terbesar yang
disebut
Globe,
bisa
menampung 3.000 penonton. Globe mementaskan drama-drama karya
William Shakespeare, penulis drama terkenal dari inggris yang hidup
dari tahun 1564 sampai tahun1616.34
g. Teater di Indonesia
1) Teater Tradisional Indonesia
Teater tradisional merupakan suatu bentuk teater yang
dihasilkan oleh kreativitas kolektif masyarakat dari berbagai suku
dan etnis Indonesia. Teater ini bertolak dari sastra lisan yang
berakar dari budaya dan tradisi masyarakat pendukungnya.
Mulanya, teater tradisional ini merupakan bagian dari upacara adat
yang telah ada sejak zaman pra-Hindu. Selain itu, teater tradisional
merupakan warisan budaya nenek moyang yang diyakini lahir dari
33
Ibid. hlm. 63
http ://teater-damar.blogspot.com/2012/08/mengenal-sejarah-drama_4401.html, diakses
pada 9 Maret 2014
34
37
spontanitas
kehidupan
yang
dihayati
oleh
masyarakat
pendukungnya.
Adapun pendapat serupa juga dikemukakan oleh Rendra
yang menyatakan bahwa teater tradisional adalah sandiwara yang
bentuknya biasanya mengikuti adat kebiasaan yang turun temurun;
dan tidak mengikuti kepribadian seniman pencipta tertentu. Dalam
teater tradisional, proses kreatifnya pada umumnya didukung oleh
prinsip kebersamaan, sehingga tidak ada penonjolan individu
tertentu sebagai pencipta karya. Hal yang demikian itu merupakan
salah satu ciri esensial kesenian tradisional. Ciri utama dari teater
tradisional itu biasanya disasarkan pada intuisi para pemainnya,
dan penggunaan berbagai media ekspresi yang padu.35
2) Teater Modern di Jaman Kolonial
Pada zaman kolonial dunia teater Indonesia bergerak
dengan warna yang berbeda. Teater profesional kurang aktif,
sebaliknya, teater amatir justru sangat aktif. Teater mulai dipakai
oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai alat propaganda dan
banyak mendapat sensor dari pemerintah pendudukan Jepang.
Meski pun demikian banyak penulis yang bisa menyelipkan nilainilai perjuangan.36
35
36
Cahyaningrum Dewojati, Op. Cit., hlm. 83
M. Noor said. Mengenal Teater di Indonesia, (Semarang; Aneka Ilmu, 2010), hlm.14
38
3) Teater Modern era Orde Lama
Dunia teater di Indonesia belum sepenuhnya mempunyai
gambaran yang jelas sebagai dunia yang mandiri. Eksperimeneksperimen berjalan, pertunjukan untuk „kalangan sendiri‟ juga
berjalan, tetapi teater modern sebagai sebagai pilihan hiburan bagi
masyarakat secara umum masih belum terbentuk. Teater modern
masih milik kalangan „elit‟, yaitu para akademisi dan intelektual,
itu pun belum mapan.37
4) Teater Modern Era Orde Baru
Ada yang menyebut pada tahun 1970-an sebagai “Musim
Semi Teater”. Ini diawali dengan diresmikannya Pusat Kesenian
Jakarta tahun 1968, yang kemudian dikenal dengan nama Taman
Ismail Marzuki. Musim seni teater ini tidak hanya menobatkan
aktifis-aktifis teater yang paling kreatif dan produktif di Jakarta,
tetapi juga di kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya,
Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan
lain-lain. Masa inilah yang melambungkan nama-nama seperti
Rendra dengan Bengkel Teater-nya, Putu Wijaya dengan Teater
Mandiri-nya, N. Riantiarno dengan Teater Koma-nya, atau
dasawarsa berikutnya, 1980-an, Butet Kartarajasa dengan Teater
37
Ibid, hlm. 16
39
Gandring-nya. Disamping itu ada juga kelompok-kelompok yang
lain dengan segala eksperimen mereka.38
5) Teater Modern Indonesia Pasca Orde Baru
Kelompok-kelompok baru bermunculan atau muncul
kembali di awal pasca orde baru, tetapi sebagian besar masih tetap
dalam format amatir secara manajemen dan eksperimental dalam
bentuk.39
3. Jenis-jenis Teater
Menurut Eko Santoso, dkk jenis-jenis teater terbagi menjadi 5
macam, yaitu:
a. Teater Boneka
Pertunjukan boneka telah dilakukan sejak Zaman Kuno. Sisa
peninggalannya ditemukan di makam-makam India Kuno, Mesir, dan
Yunani. Boneka sering dipakai untuk menceritakan legenda atau kisahkisah religius.
Berbagai jenis boneka dimainkan dengan cara yang berbeda.
Boneka tangan dipakai di tangan sementara boneka tongkat digerakkan
dengan tongkat yang dipegang dari bawah. Marionette, atau boneka tali,
digerakkan dengan cara menggerakkan kayu silang tempat tali boneka
diikatkan.
Dalam pertunjukan wayang kulit, wayang dimainkan di
belakang layar tipis dan sinar lampu menciptakan bayangan wayang di
38
39
Ibid, hlm. 16-17
Ibid, hlm. 18
40
layar. Penonton wanita duduk di depan layar, menonton bayangan
tersebut. Penonton pria duduk di belakang layar dan menonton wayang
secara langsung.
b. Drama Musikal
Merupakan pertunjukan teater yang menggabungkan seni
menyanyi, menari, dan akting. Drama musikal mengedepankan unsur
musik, nyanyi, dan gerak daripada dialog para pemainnya. Di panggung
Broadway jenis pertunjukan ini sangat terkenal dan biasa disebut
dengan pertunjukan kabaret.
Pada pertunjukan tersebut kemampuan aktor tidak hanya pada
penghayatan karakter melalui baris kalimat yang diucapkan tetapi juga
melalui lagu dan gerak tari. Disebut drama musikal karena memang
latar belakangnya adalah karya musik yang bercerita seperti The Cats
karya Andrew Lloyd Webber yang fenomenal. Dari karya musik
bercerita tersebut kemudian dikombinasi dengan gerak tari, alunan lagu,
dan tata pentas.
Selain kabaret, opera dapat digolongkan dalam drama musikal.
Dalam opera dialog para tokoh dinyanyikan dengan iringan musik
orkestra dan lagu yang dinyanyikan disebut seriosa. Di sinilah letak
perbedaan dasar antara Kabaret dan opera.
Dalam drama musikal kabaret, jenis musik dan lagu bisa saja
bebas tetapi dalam opera biasanya adalah musik simponi (orkestra) dan
seriosa. Tokoh-tokoh utama opera menyanyi untuk menceritakan kisah
41
dan perasaan mereka kepada penonton. Biasanya juga berupa paduan
suara. Opera bermula di Italia pada awal tahun 1600-an. Opera
dipentaskan di gedung opera. Di dalam gedung opera, para musisi
duduk di area yang disebut orchestra pit di bawah dan di depan
panggung.
c. Teater Gerak
Teater gerak merupakan pertunjukan teater yang unsur
utamanya adalah gerak dan ekspresi wajah serta tubuh pemainnya.
Penggunaan dialog sangat dibatasi atau bahkan dihilangkan seperti
dalam pertunjukan pantomim klasik.
Teater gerak, tidak dapat diketahui dengan pasti kelahirannya
tetapi ekspresi bebas seniman teater terutama dalam hal gerak menemui
puncaknya dalam masa commedia del’Arte di Italia. Dalam masa ini
pemain teater dapat bebas bergerak sesuka hati (untuk karakter tertentu)
bahkan lepas dari karakter tokoh dasarnya untuk memancing perhatian
penonton. Dari kebebasan ekspresi gerak inilah gagasan mementaskan
pertunjukan dengan berbasis gerak secara mandiri muncul.
Teater gerak yang paling populer dan bertahan sampai saat ini
adalah pantomim. Sebagai pertunjukan yang sunyi (karena tidak
menggunakan suara), pantomim mencoba mengungkapkan ekspresinya
melalui tingkah polah gerak dan mimik para pemainnya. Makna pesan
sebuah lakon yang hendak disampaikan semua ditampilkan dalam
42
bentuk gerak. Tokoh pantomim yang terkenal adalah Etienne Decroux
dan Marcel Marceau, keduanya dari Perancis.
d. Teater Dramatik
Istilah dramatik digunakan untuk menyebut pertunjukan teater
yang berdasar pada dramatika lakon yang dipentaskan. Dalam teater
dramatik, perubahan karakter secara psikologis sangat diperhatikan dan
situasi cerita serta latar belakang kejadian dibuat sedetil mungkin.
Rangkaian cerita dalam teater dramatik mengikuti alur plot
dengan ketat. Mencoba menarik minat dan rasa penonton terhadap
situasi cerita yang disajikan. Menonjolkan laku aksi pemain dan
melengkapinya dengan sensasi sehingga penonton tergugah. Satu
peristiwa
berkaitan
dengan
peristiwa
lain
hingga
membentuk
keseluruhan lakon.
Karakter yang disajikan di atas pentas adalah karakter manusia
yang sudah jadi, dalam artian tidak ada lagi proses perkembangan
karakter tokoh secara improvisatoris. Dengan segala konvensi yang ada
di dalamnya, teater dramatik mencoba menyajikan cerita seperti halnya
kejadian nyata.
e. Teatrikalisasi Puisi
Pertunjukan teater yang dibuat berdasarkan karya sastra puisi.
Karya puisi yang biasanya hanya dibacakan dicoba untuk diperankan di
atas pentas. Karena bahan dasarnya adalah puisi maka teatrikalisasi
puisi lebih mengedepankan estetika puitik di atas pentas.
43
Gaya akting para pemain biasanya teatrikal. Tata panggung dan
blocking dirancang sedemikian rupa untuk menegaskan makna puisi
yang dimaksud. Teatrikalisasi puisi memberikan wilayah kreatif bagi
sang seniman karena mencoba menerjemahkan makna puisi ke dalam
tampilan laku aksi dan tata artistik di atas pentas.40
C. Pendidikan Karakter melalui Teater
Muhammad Nuh mengatakan setiap manusia memiliki tiga potensi,
yaitu logika, etika dan estetika. Jika ketiga potensi bisa dikembangkan secara
maksimal, akan tumbuh sebagai manusia yang utuh yang mempunyai
kecerdasan, keterampilan dan berkarakter. Seni akan menjunjung tinggi
harkat dan martabat seseorang, sehingga harus didukung seiring dengan
keinginan mencetak generasi emas tahun 2045.41
Di dalam seni terdapat transisi perasaan, demikian pula dalam seni
teater. Karena itu seni teater merupakan alat penyaluran perasaan yang
menggelora. Di dalam seni teater orang juga secara tidak langsung berkenalan
kehidupan. Di dalam sandiwara kehidupan telah dikristalisasi dan ekspresi
watak dan emosi lebih nyata. 42 Sehingga memalui teater mahasiswa dapat
berkenalan dengan watak-watak manusia dan kehidupan. Juga seringkali
memalui sandiwara atau teater, mahasiswa dapat berkenalan dengan nilainilai yang amat penting bagi pembentukan karakter.
40
Eko Santoso, dkk, SENI TEATER, Jilid I untuk SMK, (Jakarta: Direktoran Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan, 2008), hlm. 47-51
41
Derap Guru, Jawa Tengah, Edisi 174/Th.2014. (Semarang: Lontar Media Semarang,
2014). hlm. 17
42
Brahim, Drama Dalam Pendidikan. (Jakarta: PT Gunung Agung, 1968 ). hlm. 154
44
Dengan begitu pendidikan karakter dapat diintegrasikan melalui
proses
teater.
Melalui
kegiatan
teater,
mahasiswa
berlatih
untuk
berkomunikasi secara bersuara ataupun tanpa suara dengan berkesan. Mereka
juga mempelajari laras bahasa mengikut konteks dan situasi yang sesuai
melalui aktiviti simulasi, main peranan dan improvisasi. Di samping itu
pembelajaran melalui aktiviti-aktiviti teater ini menjadikan mahasiswa lebih
memaknai arti dari kehidupan.
Teater tidak hanya sebagai pertunjukan bahasa kata ataupun bahasa
metafisis, tetapi teater adalah bahasa bentuk melalui pelatihan praktis spiritual.
Kondisi kehidupan individual mengalami perubahan menjadi kondisi kolektif
yang bernuansa ritual dan ilmiah. Kolektivitas, penyatuan, dan kesederhanaan
adalah esensi dari seni berteater.43
Dengan demikian teater sebagai sebuah karya seni tidaklah hadir
sebagai sebuah seni kegiatan keindahan atau pertunjukan semata, tetapi teater
telah memasuki proses kerja untuk memperbaiki dan mengembangkan
kehidupan manusia, yaitu melalui pengembangan karakter pada masingmasing pelakunya.
Teater juga bermaksud proses, proses manusia menghasilkan sesuatu.
Dari teks membawa ke pementasan adalah satu proses yang melatih manusia
dalam banyak perkara. Dalam berorganisasi, mengenal peranan dan
bertanggung jawab, memahami teks dan memahami objektif bersama. Selama
latihan semua anggota dalam organisasi teater coba memberi dan melakukan
43
hlm. 114
Nur Sahid, Interkulturalisme (dalam) Teater. (Yogyakarta: Tarawang Press. 2000),
45
peranan mereka demi mencapai objektif kumpulan. Proses latihan ini juga
mengajar menusia mengenal kemanusiaan, kelemahan dan kelebihan rekan,
memperbaiki kekurangan, meningkatkan disiplin pada masa dan tugas.
Teater telah menggambarkan kodrat manusia karena ia telah menjadi
ekspresi keberadaan kebudayaan manusia, pada kenyataannya manusia telah
melakukan gerakan teatrikal dalam kehidupan sehari-hari (dunia ini panggung
sandiwara), dan teater juga dapat bersifat sebagai wacana identifikasi diri atas
persoalan zaman atau atas persoalan manusia itu sendiri untuk membangun
budaya yang lebih baik. Seperti ungkapan dari seniman sekaligus teaterawan
Indonesia putu wijaya mengatakan:
"Teater itu adalah peristiwa spiritual, di mata saya banyak sekali hal yang
dapat dilakukan dalam teater, karena krisis terbesar yang sedang dihadapi
oleh negara Indonesia menurut pemahaman saya adalah krisis spiritual,
teater bisa menjadi senjata moral untuk menghancurkan ketidakseimbangan
spiritual itu, bersama agama, pendidikan menjadikan manusia lebih
beradab".44
Dari pernyataan tersebut, teater mempunyai perluasan makna, tidak
hanya bentuk pementasan yang dipentaskan dihadapan orang banyak tetapi
teater menjadi sebuah peristiwa spiritual bagi manusia.
Hal tersebut selaras dengan ucapan Mbah Tohir salah satu seniman di
Indonesia yang mengartikan teater sebagai media untuk mengenal diri sendiri
dan mengenal hidup dalam kehidupan. Maka teater menjadi kebutuhan hidup,
meskipun tidak melulu pada pertunjukan di atas panggung. Sebenarnya dalam
44
Putu Wijaya, Esai- Esai Budaya, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), hlm. 52-53.
46
kehidupan sehari-haripun secara sadar ataupun tidak sadar kita sudah
berteater.45
Dari beberapa pendapat di atas maka teater adalah salah satu media
untuk mempelajari kehidupan, menambah pengalaman jiwa dan raga untuk
terwujudnya karakter yang berguna bagi kehidupan pribadi maupun sosial.
45
Dukumentasi UKM Teater Zenith, diambil pada 15 November 2013.
Download