isi vol 1 no 1 17x24.pmd

advertisement
Pendekatan Interaksi Sosial
dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Laksmi*
Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Abstrak:
Penelitian ilmu perpustakaan yang sering terjadi adalah penelitianpenelitian teknis dan membahas seputar kegiatan-kegiatan rutin yang
terjadi di perpustakaan. Sebagian besar penelitian di bidang ilmu
perpustakaan dan informasi, seperti evaluasi koleksi, analisis kepuasan
pemakai, analisis kompetensi pustakawan, melihat fenomena hanya
sebagai objek. Jarang sekali penelitian di bidang ini yang menggunakan
landasan teoritis. Bahkan seringkali penelitian di bidang ilmu perpustakaan dan informasi dianggap kurang ilmiah, karena dapat dikatakan
hamper sama dengan laporan. Meski secara kasat mata, sebenarnya
perpustakaan memiliki multi kegiatan, termasuk di dalamnya kegiatan
yang dapat ditinjau dari berbagai aspek. Salah satu diantaranya adalah
aspek sosial dimana terkait pula hal yang bersingunggungan dengan
kultur yang memang sudah ada di dalamnya. Untuk itu tulisan ini
memberikan kontribusi pemikiran tentang perpustakaan yang dilihat dari
kaca mata sosial dengan fokus pembahasan tentang penelitian dengan
pendekatan sosial.
Kata kunci:
Penelitian sosial, interaksi sosial, penelitian ilmu perpustakaan
*Penulis adalah Dosen pada Departemen Ilmu Perpustakaan Universitas
Indonesia, Jakarta
Vol.1, No.1, Juli 2011
11
Laksmi
Penelitian dalam ilmu perpustakaan dan informasi
Belum lama ini, laporan hasil penelitian saya yang berjudul
Sinergi ilmuwan, praktisi, dan masyarakat dalam meningkatkan
aksesibilitas pada informasi sanitasi lingkungan di Depok, berdasarkan
pendekatan EBP ditolak oleh salah satu jurnal ilmiah terakreditasi di
lingkungan universitas. Editor menyatakan bahwa, penelitian saya yang
sudah melalui dua kali evaluasi oleh tim reviewer tersebut, belum
mencerminkan ciri khas penelitian disiplin social humaniora, sehingga
perlu diperbaiki. Laporan penelitian tersebut memang membahas
masalah hubungan sosial antara ilmuwan, praktisi, dan masyarakat,
yang dikaitkan dengan fakta atau evidence. Karena pendekatan EBP
(evidence-based practice) mengakar pada disiplin manajemen,
kesimpulan akhir mengacu pada kegiatan yang tampak, seperti
kurangnya komunikasi, tidak memedulikan hasil penelitian, hubungan
tidak harmonis, dan seterusnya. Akhirnya saya menggunakan konsep
peran sosial dalam konteks masyarakat sebagai sistem untuk melihat
fenomena tersebut.
Artikelnya yang dimuat di dalam jurnal internasional di lingkungan universitas Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa penelitian
di bidang ilmu perpustakaan dan informasi dianggap kurang ilmiah,
karena hanya berupa laporan. Sebagian besar penelitian di bidang
ilmu perpustakaan dan informasi, seperti evaluasi koleksi, analisis
kepuasan pemakai, analisis kompetensi pustakawan, melihat fenomena
hanya sebagai objek. Jarang sekali penelitian di bidang ini yang menggunakan landasan teoritis. Salah satu penelitian yang menggunakan
teori social justru dilakukan oleh peneliti di bidang bahasa. Ia meneliti
mengenai pengelolaan arsip melalui perspektif konstruksi social.
membahas tentang kearsipan, dengan judul Regulasi memori dalam
pengarsipan: rekonstruksi sejarah, 2002. Artikel tersebut ditulis oleh
Harfiyah Widiawati, dari Prodi Studi Bahasa dan Sastra Inggris,
Universitas Padjadjaran. Ia tidak mendeskripsikan pengolahan arsip,
seperti yang biasa diteliti oleh peneliti bidang ilmu perpustakaan dan
informasi, tetapi ia menuturkan proses yang terjadi di baliknya. Proses
tersebut menggambarkan bahwa keberadaan arsip merupakan hasil
dari konstruksi manusia. Jadi penelitian yang dilakukan bukan sekedar
teknik pendataan dan pengelolaan, tetapi juga memori sejarah yang
disusun sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan sebagai bagian
dari proses mengkonstruksi identitas seseorang atau kelompok. Dapat
disimpulkan bahwa mengelola substansi lebih penting daripada
fisiknya.
12
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Pendekatan Interaksi Sosial dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Selain itu, pendekatan yang paling sering digunakan oleh para
peneliti adalah pendekatan komunikasi atau psikologi. Padahal kedua
pendekatan tersebut dianggap sebagai terapan, bukan termasuk ilmu
dasar seperti sosiologi humaniora. Para peneliti juga menggunakan
pendekatan dari bidang ilmu komputer, tetapi terbatas pada aplikasinya
bukan proses pembuatan program. Perspektif dari ilmu-ilmu social
yang memiliki landasan ilmiah yang tinggi banyak berkaitan dengan
manusia, mulai dari kerja sama para pengelola dalam pengolahan
koleksi, perilaku dalam membangun jaringan yang keberhasilannya
sepenuhnya tergantung pada interaksi di antara mereka, hubungan
antara pustakawan dan pengguna dalam proses transaksi. Penelitian
ilmu perpustakaan dan informasi di luar negeri sudah sejak lama
menggunakan sosiologi. Pendekatan yang digunakan disesuaikan
dengan masalah yang ada di lapangan, misalnya bila ingin memahami
mengapa pustakawan sekolah berkembang pesat, maka pisau
analisisnya dapat menggunakan etnografi atau life history.
Pendekatan interaksi social di bidang perpustakaan dan
informasi
Berdasarkan fakta di atas, penelitian dalam bidang perpustakaan
dan informasi membutuhkan paradigm baru dalam memahami suatu
fenomena secara kritis (Leckie, 2010, p. xi). Alasan pertama, teori
social yang tergolong dalam ilmu dasar sangat mampu mengakomodasi
permasalahan dalam bidang perpustakaan dan informasi yang semakin
lama semakin berkembang ke arah masyarakat informasi. Kedua, teori
social menuntut peneliti untuk terus mengikuti perkembangan ilmu
dalam disiplin ilmu lain, sehingga disiplin ilmu perpustakaan dan
informasi tidak tertinggal dan terisolasi. Ketiga, penggunaan teori sosial
diharapkan dapat menjembatani riset dan praktik untuk merespon isu
yang muncul di lapangan. Alasan terakhir, teori social memungkinkan
periset dapat memahami masyarakat.
Teori mikro-sosiologi tumbuh sebagai perlawanan dari dominasi
struktural fungsional pada pertengahan abad duabelas (Calhoun, 2005,
p. 26). Teori struktural fungsional berfokus pada sistem sosial, di
mana manusia diatur oleh peraturan, struktur organisasi, dan fungsifungsinya. Sebaliknya, teori konstruktivis, yang mendasari kajiannya
dengan analisis mikro, melihat bahwa sistem sosial adalah hasil dari
ciptaan manusia. Sistem sosial dalam bentuk masyarakat bukan
merupakan struktur yang sudah ada dengan sendirinya, yang
gerakannya dibatasi oleh aturan-aturan. Melainkan, mereka terbentuk
Vol.1, No.1, Juli 2011: 11-26
13
Laksmi
dari hasil interaksi di antara individu-individu atau kelompok. Hampir
semua tindakan manusia merupakan tindakan yang disengaja, artinya
dilakukan berdasarkan suatu pemikiran, dan memiliki tujuan. Berbeda
dengan tindakan yang dilakukan oleh hewan. Interaksi di antara mereka
adalah dikondisikan, reaktif, dan bertindak berdasarkan naluri semata.
Realitas sosial dipahami melalui makna yang muncul dari gejalagejala yang dapat diobservasi. Di dalam perpustakaan, konstruksi makna
layanan merupakan hasil bentukan dari interaksi yang terjadi di antara
para aktor yang terlibat, yaitu petugas perpustakaan, pengunjung,
dan mitra, yang mencakup berbagai jenis perpustakaan lain, toko
buku, penerbit, lembaga sekolah, mal, bioskop, tempat-tempat hiburan
lain, dan berbagai lembaga lain. Berbagai makna senantiasa mengiringi
tindakan sosial, dibalik tindakan sosial pasti ada berbagai makna yang
“bersembunyi”/”melekat”. Dalam teori konstruktivis, individu yang
berpikir tentang ‘apa yang terjadi?’, lalu memilih tindakan tertentu,
adalah individu yang sedang menginterpretasi lingkungannya. Namun
interpretasi tersebut hanya dapat dianggap benar atau tepat bagi orangorang tertentu yang melakukan interpretasi. Maka, makna dari suatu
peristiwa tergantung pada bagaimana individu memandangnya.
Selanjutnya, pandangan tersebut juga tergantung pada apa yang dipikir
orang lain berpikir tentang hal yang sama. Apa yang dipikirkan orang
lain adalah generalized others. Artinya, individu menginterpretasi suatu
realita berdasarkan referensi dari individu lainnya. Tetapi tidak berarti
bahwa nantinya ia akan memilih tindakan yang sama dengan individu
yang dipikirnya berpikir sama dengannya.
Mengkonstruksi makna di bidang perpustakaan dan informasi
dilakukan oleh semua orang, baik petugas, masyarakat, badan induk,
serta mitra perpustakaan. Proses konstruksi makna di bidang perpustakaan dan informasi dibentuk oleh lingkungan eksternal. Kebanyakan pustakawan memaknai perpustakaan sebagai lembaga yang tidak
disukai oleh masyarakat, karena mereka lebih suka pergi ke bioskop,
toko buku, atau rumah makan, dan tempat-tempat hiburan lain. Sedangkan masyarakat mengatakan bahwa koleksi di perpustakaan tidak
menarik dan judul buku yang itu-itu saja. Sementara itu, lingkungan
internal mencakup masalah-masalah yang bersumber dari pihak pustakawan maupun lembaga. Lembaga informasi selalu mengeluhkan kekurangan dana, sehingga tidak mampu membeli koleksi terbitan baru
dengan harga yang agak mahal. Selain itu, mereka juga tidak dapat
membuat fasilitas yang nyaman bagi pengguna karena masalah dana.
Ditambah pula dengan pemahaman pustakawan atas layanan publik.
14
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Pendekatan Interaksi Sosial dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Interaksi dibedakan dalam dua tingkatan, yaitu interaksi nonsimbolis dan simbolis. Dalam interaksi non-simbolik, individu bertindak
secara spontan dan tanpa proses interaktif. Misalnya, ketika seorang
pustakawan yang sedang menata buku di rak tertimpa buku, ia akan
berteriak ‘aduh!’. Ia bertindak secara instingtif. Sementara itu, interaksi
simbolis merupakan proses ketika individu memberikan respon terhadap tindakan orang lain berdasarkan interpretasinya. Misalnya, seorang pustakawan akan melayani seorang pengunjung yang memakai
dasi dengan senyum ramah, tetapi ia akan melayani dengan muka
cemberut seseorang yang berpakaian kaos singlet dan mengenakan
sandal jepit. Sementara itu, interaksi sosial dibedakan ke dalam tiga
bentuk hubungan interaksional keseharian (Salim, 2008, p. 6-8):
1) Hubungan interaksional antar individu
Hubungan tersebut meliputi jenis transaksi yang dibangun, pola
hubungan, dan tingkat kedekatan hubungan. Seorang pekerja
informasi pria seringkali menggoda seorang pengunjung wanita,
di mana si wanita menjadi salah tingkah. Hubungan mereka bukan
sekedar hubungan petugas dan konsumen, tetapi interaksi di antara
keduanya membentuk jenis hubungan tertentu, yang dapat
berkembang pada hubungan dengan kelembagaan keluarga.
2) Hubungan interaksional antara individu dan kelompok atau lembaga
Hubungan ini menyangkut keterkaitan seorang pekerja informasi
dengan lembaganya. Pekerja tersebut akan berdaptasi dengan lingkungan kerja, menentukan rencana dan aturan, berhak mendapatkan
fasilitas, berhubungan dengan pimpinan dan kolega, yang pada
intinya segala interaksinya ditujukan untuk membantu organisasi
mencapai tujuan.
3) Hubungan interaksional antar kelompok
Hubungan tersebut muncul dalam bentuk kelembagaan sosial, jenis
hubungan tertentu, munculnya norma dan nilai yang mengikat
hubungan. Individu dilihat dari lingkungan yang menaunginya,
seperti keluarga, sekolah, institusi pekerjaan, dan sebagainya.
Seorang pustakawan memahami lingkungannya dengan cara
tertentu, sementara seorang pengunjung akan memahami
lingkungan perpustakaan dengan interpretasinya sendiri. Meskipun
keduanya akan menciptakan makna dan melakukan tindakan
berbeda, keduanya memiliki kesepakatan bersama yang dituangkan
dalam bentuk simbol, yaitu peraturan atau tata tertib.
Vol.1, No.1, Juli 2011: 11-26
15
Laksmi
Membangun konstruksi dari berbagai perspektif
Konsep konstruksi sosial menegaskan bahwa suatu fenomena
sosial dibangun oleh individi-individu yang menciptakan secara terusmenerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara
subyektif. Kebudayaan adalah diciptakan, dipertahankan, atau diubah
melalui tindakan dan interaksi manusia, serta kesepakatan-kesepakatan,
bukan warisan atau ajaran yang diturunkan oleh nenek moyang
(Abdullah, 2006, p. 9).
Setiap individu berupaya menampilkan kesan tertentu untuk
mempengaruhi orang lain agar ia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Individu lain bisa saja tidak mempercayai, menolak, menjauhi, atau
melakukan resistensi, namun dipastikan bahwa tindakan tersebut merupakan upaya negosiasi, penolakan, negosisiasi, dan seterusnya sampai
tercapai kesepakatan. Mereka akan membentuk pola tertentu dan
berkonfigurasi membentuk institusi atau melembaga. Perspektif positivistik melihat kenyataan tersebut sebagai terbalik. Karena sudah
melembaga, masyarakat yang hidup dalam suatu kelompok seolaholah tidak dapat berbuat apa-apa karena terikat dan diatur oleh aturan
dan hukum yang berlaku. Gambar 1 berikut ini menunjukkan proses
konstruksi social:
Negosiasi
Interaksi
Kesepakatan
Resistensi
Konflik
Konfigurasi
sosial
Interaksi
Gambar 2. Konstruksi sosial
Individu dilihat sebagai objek, yang terlihat pasif dan tidak
mampu mengubah lingkungannya, sehingga ia harus menyesuaikan
diri dengan lingkungan agar dapat terus bertahan. Gambar menunjukkan
bahwa di dalam sebuah sistem sosial di mana individu-individunya
16
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Pendekatan Interaksi Sosial dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi
saling berinteraksi, terjadi bermacam-macam respon atau reaksi, baik
berupa kesepakatan, konflik, dan resistensi atau penolakan. Interaksi
sosial membentuk konfigurasi tertentu yang penuh dengan kontestasi
kekuasaan, bias gender, stratifikasi sosial, dan lain sebagainya. Karena
itu interaksi yang terjadi sehari-hari pada kehidupan masyarakat menjadi
arena paling fundamental bagi manusia untuk membangun dunia.
Dalam proses mengkonstruksi, suatu kelompok masyarakat dibatasi
oleh aturan, nilai, dan norna, yang ditentukan berdasarkan hasil interaksi
yang berulang-ulang dan hubungan yang terjadi antara para pelakunya.
Inreraksi yang terus-menerus yang ditunjukkan dengan dua panah di
setiap ujungnya, menciptakan kondisi atau kebudayaan yang baru.
Di Indonesia, layanan public secara umum dianggap masih
memprihatinkan (Surjadi, 2009, p. 1). Pelayanan public yang merupakan
salah satu agenda reformasi birokrasi, sebagian besar masih dikendalikan oleh aparatur pemerintah yang kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Alih-alih melayani public dengan kasih sayang,
para pekerja yang terdiri dari pimpinan dan bawahan masih memiliki
pemahaman bahwa pimpinan adalah raja yang harus dilayani oleh
para pengawalnya. Kondisi ‘asal bapak senang’ tersebut terjadi pula
di lembaga informasi dan di banyak lembaga lainnya, bahwa seorang
kepala menjadi satu-satunya orang yang harus dihormati dan dilayani,
serta memegang kekuasaan absolut. Oleh karena itu, proses pengalihan
nilai layanan public seperti yang diharapkan merupakan proses yang
sangat sulit dan membutuhkan kerjasama antar pelakunya.
Pada tulisan ini dijelaskan empat perspektif yang dianggap
paling sering digunakan, yaitu fenomenologi, interaksionisme simbolik,
etnografi komunikasi, dan dramaturgi. Seluruh perspektif merupakan
metode yang digunakan dengan dasar interaksi sosial.
Fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam
dari individu mengenai pengalaman atau peristiwa yang dialaminya
dan cara individu dalam memaknai pengalaman tersebut. Sebuah
peristiwa tidak dapat memiliki makna sendiri, kecuali manusia
menjadikannya bermakna. Dalam proses membangun tersebut mereka
menggunakan bahasa. Cara seseorang menginterpretasi pengalaman
tersebut merupakan hasil konstruksi bersama-sama dengan orang lain,
termasuk bersepakat dan negosiasi. Suatu masyarakat yang hidup
bersama memiliki pengetahuan bersama tentang sebuah realitas.
Kebersamaan, kesepakatan, dan negosiasi tersebut melahirkan pengetahuan bersama, sehingga mereka meyakini bahwa sesuatu yang terjadi
itu adalah sebagaimana tampaknya.
Vol.1, No.1, Juli 2011: 11-26
17
Laksmi
Dalam interaksionisme simbolik (symbolic interactionism),
makna muncul dari individu tetapi dari interaksi antar individu. Pendekatan ini dilandasi oleh tiga premis yang dikemukakan oleh Blumer
(1969, p. 2), yaitu: pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna yang dimiliki sesuatu tersebut; kedua, makna
tersebut berkaitan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan
seseorang ketika berada bersama orang-orang lain; ketiga, makna tersebut diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui proses penafsiran
yang dipergunakan oleh orang tersebut dalam berhubungan dengan
sesuatu yang dihadapinya.
Salah satu metode dalam memahami interaksi sosial yaitu dengan
menggunakan metode etnografi komunikasi (ethnography of
communication), yang diperkenalkan oleh Dell Hymes tahun 1962,
memfokuskan kajian pada penggunaan bahasa dalam berinteraksi,
yang terjadi dalam peristiwa komunikasi. Karakter lainnya adalah komponen tutur, yang disingkat menjadi akronim S.P.E.A.K.I.N.G, kepanjangan dari: Situation, Participants, Ends, Acts, Key, Instrumentality,
Norms, dan Genres. Situasi, mencakup latar yang berkaitan dengan
lingkungan fisik komunikasi atau tempat, termasuk waktu, dan suasana,
yang berkaitan dengan suasana psikologis, misalnya situasi formal
atau santai. Partisipan, mencakup orang-orang yang terlibat dan peran
yang mereka mainkan, serta hubungan di antara mereka, termasuk
mitra tutur dan juga adressor (juru bicara) yang terkadang hanya diwakili,
karena tidak berada di tempat, seperti pendengar. End (tujuan),
mencakup maksud dan hasil yang akan dicapai dari peristiwa tutur
dan tujuan dari masing-masing partisipan. Act sequence (urutan tindak),
mencakup tindakan yang bermakna bagi partisipan, bentuk pesan
(bagaimana pesan itu disampaikan dan isi pesan (apa yang
disampaikan). Key (kunci), yang mengacu pada bagaimana suatu tuturan
disampaikan, misalnya serius, khidmat, lucu, sinis, dan sebagainya.
Instrumentalities mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan bentuk
tutur (misalnya mengacu pada bahasa, dialek, kode, dan sebagainya).
Norms (norma) mencakup norma interaksi dan norma interpretasi,
seperti norma interaksi antara pimpinan dan bawahan, antara petugas
informasi dan masyarakat pengguna, atau norma kesantunan pada
orang Jawa sebagai norma interaksi. Genre mengacu pada jenis wacana
yang dipakai, misalnya puisi, khutbah, perkuliahan, dan sebagainya.
Metode berikutnya yang dapat digunakan dalam menganalisis
fenomena sosial dalam konteks interaksi sosial adalah dramaturgi.
Realitas sosial disajikan sebagai sebuah drama di atas panggung.
18
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Pendekatan Interaksi Sosial dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Layanan perpustakaan dianalogikan sebagai bentuk teatrikal yang
menyajikan realitas sosial di atas panggung. Erving Goffman (1969)
menekankan bahwa dunia dianalogikan sebagai panggung teater, yang
menyajikan sebuah pertunjukan, di mana individu-individu yang terlibat,
secara sendiri maupun kolektif, menciptakan, mempertahankan, menyembunyikan, atau menghapus realitas. Victor Turner mengingatkan
bahwa dalam masa posmodernisme, di mana manusia memiliki hak
dan kewajiban lebih jelas dan bebas, konsep dramaturgi tersebut menjadi lebih prosesual dan dinamis, sebab kondisi di dalam organisasi
menjadi semakin tidak bisa ditebak, dengan munculnya kekacauan,
banyaknya aktor dan sutradara yang tidak terlihat yang ikut menentukan
pengambilan keputusan, fragmentasi dalam organisasi, proses birokrasi
yang terlalu ketat, dan sikap resistensi para aktor. Dengan kondisi
seperti itu, Turner cenderung menyebut pendekatan dramaturgi sebagai
drama social (Turner, 1967).
Dalam pendekatan ini, konteks membingkai lakon dalam waktu
dan ruang. Begitu melihat panggung, penonton akan segera berasumsi
tentang adegan yang akan dimainkan. Seluruh tim akan mengatur
panggung sedemikian rupa untuk membentuk kesan tertentu kepada
penonton. Keberhasilan menata panggung depan ditentukan dari hasil
interaksi para aktor di panggung belakang. Panggung depan dan
belakang tidak mengacu pada tempat secara fisik secara tetap. Ruang
kerja dan ruang baca, merupakan panggung depan bagi pimpinan
dan para karyawan, sebab di ruang itu mereka bertemu dengan kolega,
atasan, bawahan, atau para pengunjung. Tetapi ketika orang-orang
tersebut tidak ada, ruang tersebut menjadi panggung belakang, tempat
individu dapat melakukan apa saja tanpa merasa takut diperhatikan
oleh orang lain.
Pencarian makna
Mengapa perpustakaan di Singapura lebih maju dibandingkan
dengan Indonesia? Banyak yang akan dengan cepat menjawab:
“Budayanya jelas berbeda.” Jawaban tersebut terasa mengambang dan
akan memicu pertanyaan berikutnya, misalnya, “Budaya yang mana?
Kita kan sama-sama orang Asia.” Dari pendekatan konstruktivis,
pertanyaan tersebut dapat dijawab bahwa interaksi antar individu yang
terlibatlah yang berbeda yang menyebabkan pemaknaan yang berbeda.
Menurut sosiolog, interaksi sosial merupakan syarat utama bagi
terjadinya aktivitas dan realita sosial (Narwoko, 2007, p. 20). Pada
saat individu-individu berinteraksi, mereka sedang berusaha bagaimana
Vol.1, No.1, Juli 2011: 11-26
19
Laksmi
memahami tindakan sosial orang lain atau kelompok lain. Individuindividu di dalam masyarakat tertentu yang diharapkan bersikap santun,
tidak saling mencela, menciptakan interaksi yang tertutup. Kritikan
umumnya menimbulkan kesalahpahaman. Individu yang diberi kritikan
akan merasa tersinggung dan menganggap lawan bicaranya tidak
menyukai pribadinya dan seakan-akan berniat menjatuhkannya. Artinya,
individu tersebut tidak memahami tindakan orang yang mengkritiknya.
Karena ia merasa harga dirinya terancam, maka interpretasi demikian
membuatnya mengambil tindakan yang sama, yaitu mengkritik balik
lawan bicaranya, tidak peduli kritikannya benar atau tidak. Pada
masyarakat yang lebih terbuka, interaksi antara manusia berbeda. Jika
individu dikritik, ia akan menyatakan terima kasih, sebab ia meyakini
bahwa kritikan tersebut bukan untuk menjatuhkannya, tetapi untuk
memperbaiki kesalahan yang telah dilakukannya.
Berdasarkan fakta tersebut, jelas terlihat bahwa produk budaya
tergantung pada interaksi antar manusianya. Proses konstruksi budaya
menciptakn pola perilaku yang lama-kelamaan dapat menjadi kebiasaan, sehingga melembaga atau institusionalisasi. Perilaku dari individu, kelompok, atau antar perilaku dan pola-polanya menciptakan
perilaku di tingkat ‘sistem’ atau realita (Coleman, 2008, p. 32). Oleh
karena itu, tindakan kepala perpustakaan yang menolak daftar tersebut
dilatarbelakngi oleh kepentingannya untuk mempertahankan kedudukannya. Pola munculnya sistem sosial tersebut disebut sebagai
konfigurasi sosial, diilustrasikan dalam gambar berikut:
Negosiasi
Kepentingan
Daftar buku
hasil seleksi
Kepentingan
Gambar 2. Konfigurasi sosial
Interaksi sosial membentuk konfigurasi tertentu yang diwarnai
dengan kontestasi kekuasaan, bias gender, stratifikasi sosial, dan lain
sebagainya. Berbagai realita dapat diciptakan melalui interaksi sosial
yang terjadi sehari-hari.
20
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Pendekatan Interaksi Sosial dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Tindakan-tindakan yang sebelumnya muncul pada tataran
individual, akhirnya membentuk konfigurasi sosial dalam tataran sistem.
Terbentuknya konfigurasi sosial di lembaga informasi dapat berbentuk
penyimpangan manajemen seperti diskriminasi, ketidaksetaraan di
antara pekerja; pertentangan nilai; konflik kepentingan; kecemburuan
sosial; dan masih banyak lagi (Coleman, 2008). Dapat disimpulkan
bahwa analisis mikro yang bertumpu pada penelitian induktif merupakan dasar bagi analisis makro, atau dapat juga disebut sebagai abstraksi dari suatu fenomena sosial. Tetapi proses abstraksi tersebut
harus dibedakan dengan generalisasi empiris. Analisis mikro dan makro
bukan sesuatu yang terpisah, karena keduanya melihat fenomena
dengan cara yang sama. Analisis mikro bergerak pada tataran fenomena,
dan analisis makro pada tataran makna. Makna yang dinterpretasikan
dari hasil interaksi di lembaga informasi, bias jadi mengacu pada
diskriminasi dalam akses informasi, masalah multikultur di lembaga
informasi, dan masalah budaya populer. Ketiga permasalahan tersebut
dibuat sebagai contoh, sebab diasumsikan paling banyak ditemukan
dewasa ini.
Di balik persamaan dan kesederajatan, interaksi sosial berpotensi
menciptakan ketidaksetaraan antara individu. Di lembaga informasi,
khususnya perpustakaan, diskriminasi layanan terhadap kelompok
marjinal masih banyak ditemukan. Mereka yang termasuk kelompok
tersebut adalah anak-anak, disfabel, dan masyarakat papa. Diskriminasi
tersebut terlihat pada peristiwa yang diciptakan oleh seorang
pustakawan dan sekelompok anak kecil. Anak-anak selalu dianggap
sebagai perusak suasana, mereka bising, bau matahari, dan pembuat
onar. Meskipun perpustakaan menyediakan fasilitas ruang baca dan
koleksi anak-anak, pelayanan kepada mereka tidak atau kurang
dilandasi dengan cinta dan pemahaman utuh tentang anak. Di
perpustakaan, perlakuan terhadap anak disamakan dengan dewasa.
Mereka dipaksa untuk berlaku seperti orang dewasa, yaitu harus tenang,
tidak boleh bersuara ribut, tidak boleh berlari-larian dan meloncat ke
atas meja, tidak boleh berpakaian kotor tetapi harus rapi dan bersih.
Di perpustakaan umum, isu multikultural sangat ditonjolkan
oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization), yang melihat bahwa perpustakaan umum merupakan
tempat yang tepat bagi berkumpulnya seluruh bangsa di dunia, sebagai
tempat tumbuhnya kesederajatan di antara mereka, dan tumbuhnya
demokrasi. Pada tahun 1972, yang kemudian direvisi tahun 1994,
lembaga tersebut mengeluarkan manifesto yang menyatakan bahwa
Vol.1, No.1, Juli 2011: 11-26
21
Laksmi
perpustakaan umum sebagai kekuatan yang nyata bagi pendidikan,
kebudayaan, dan informasi, dan sebagai agen penting untuk membina
perdamaian dan kesejahteraan spiritual melalui pemikiran-pemikiran
umat manusia. Tepatnya, manifesto tersebut menjelaskan bahwa
perpustakaan umum berfungsi memberikan pelayanan kepada
masyarakat umum tanpa memandang latar belakang pendidikan, agama,
adat istiadat, umur, jenis dan lain sebagainya.
Sensor dan plagiarisme merupakan hasil konstruksi sosial. Makna
kedua hal tersebut belum dipahami dan disepakati benar oleh kebanyakan para pelakunya di Indonesia. Selama ini, keduanya dipahami
dalam konteks yang terbatas dan lebih merupakan kontestasi kekuasaan
daripada mengkonstruksi makna yang mementingkan keteraturan sosial.
Sensor biasanya diberlakukan pada media yang dapat dibaca, ditonton,
dan didengar. Sehingga buku, acara di televisi, maupun multimedia
tertentu yang menyebarkan informasi tertentu akan dibatasi ruang
geraknya. Berbagai peristiwa penyensoran buku sudah banyak terjadi
di negeri ini, dengan topic yang selalu sama, yaitu menyangkut politik
dan pornografi, yang juga melibatkan pelaku yang tidak jauh berbeda,
orang-orang pemerintah, politikus, dan para artis.
Isu ke tiga adalah mengenai budaya poper. Gedung perpustakaan tidak berbeda dengan manusia yang menjaga penampilan, mulai
dari busana, perancangnya, kosmetik yang digunakan, lembaga informasi menekankan penampilan sebagai tindakan penting dari gaya
keseharian. Penampilan sesugguhnya dapat mencerminkan identitas
penggunanya. Rangkaian perubahan penampilan perpustakaan yang
dianggap konvensional menjadi perpustakaan yang dianggap kontemporer dan modern membawa pula pergeseran makna dan fungsi
perpustakaan. Perpustakaan bukan lagi menjadi tempat untuk mencari
pengetahuan, tetapi lebih berfungsi sebagai tempat bersosialisasi,
bahkan dicurigai sebagai komodifikasi. Kondisi tersebut menyebabkan
ketidakseimbangan sebagian atau seluruh makna dan fungsi
perpustakaan itu sendiri, yaitu fungsi edukatif, informatif, dan budaya.
Fungsi rekreatif menjadi lebih menonjol dibandingkan ketiga fungsi
lainnya. Pengakuan terhadap pentingnya sebuah buku dan makna
membaca menjadi kabur.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu tujuan
munculnya budaya populer di lembaga informasi, khususnya perpustakaan dan museum, adalah agar perpustakaan dapat mempertahankan eksistensinya, artinya perpustakaan berharap masyarakat mau
berkunjung ke perpustakaan dan museum. Tujuan tersebut
22
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Pendekatan Interaksi Sosial dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi
memunculkan pertanyaan, mengapa perpustakaan dan museum ingin
memiliki pengunjung dalam jumlah banyak? Jumlah pengunjung yang
banyak bukan indikator bahwa perpustakaan atau museum tersebut
berhasil mencapai tujuan utamanya, yaitu untuk membuat masyarakat
berpengetahuan. Bisa jadi, masyarakat yang datang ke perpustakaan
atau museum, adalah untuk bertemu dengan temannya, sekedar
menumpang tempat yang sejuk, atau ingin menemui pustakawan cantik
yang sedang diincar. Berbagai kepentingan menjadi alasan seseorang
datang ke perpustakaan atau museum. Sebaliknya, justru jumlah pengunjung yang kecil, tetapi bila mereka benar-benar mendapat pencerahan di dalam perpustakaan atau museum tersebut, lembaga tersebut
dapat dikategorikan sebagai perpustakaan dan museum yang berhasil
mencapai tujuan yang sesungguhnya.
Makna yang dibangun dari hasil interaksi manusia, terutama yang
terkait dengan lembaga informasi, antara lain adalah sebagai berikut:
Kekuasaan dan Pengucilan Unit Layanan
Dalam konfigurasi sosial yang terjadi di dalam lembaga
informasi, konsep kekuasaan muncul sebagai konsep yang mendominasi
hubungan antara anggota organisasi. Ketika terjadi penyimpangan
situasi, maka definisi situasi tersebut muncul dari kelompok yang
berkuasa. Kelompok tersebut biasanya memiliki wewenang lebih besar
untuk menentukan siapa yang menyimpang, menentukan sanksi, dan
mengambil keputusan untuk menyelesaikannya.
Rendahnya Nilai Solidaritas dan Kesetiakawanan dalam Tim
Untuk mendefinisikan situasi agar dapat memberikan penampilan yang sesuai dengan yang diinginkan, individu-individu di dalam
organisasi harus bekerjasama sebagai tim yang kompak (Goffman,
1959, p. 79). Anggota tim tersebut merujuk pada individu-individu
yang melakukan pekerjaan dalam pertunjukan yang sama. Tim tersebut
harus melakukan latihan atau rehearsal sebelum pertunjukan dimulai.
Keberhasilan tim tergantung pada hubungan di antara para anggotanya,
pimpinan sebagai orang yang mengarahkan kinerja tim, dan nilai yang
mendasarinya, yaitu kesetiaan.
Realita yang diyakini ‘demikian adanya’, seakan-akan dianggap
sebagai sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi karena dianggap
sudah jelas dan sulit untuk diubah, sebenarnya adalah realita yang
bukan apa adanya. Interaksi dan tindakan para pekerja di lembaga
informasi untuk membangun layanan informasi, merupakan proses
Vol.1, No.1, Juli 2011: 11-26
23
Laksmi
dimana mereka melakukan sesuatu bersama-sama dengan orang lain
yang pada akhirnya membentuk realita atau kenyataan sosial. Proses
yang mereka alami menyimpan banyak persoalan sosial yang jika
dianalisis akan mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Dengan
menganalisis proses interaksi sosial tersebut, permasalahan mengapa
informasi tidak sampai ke masyarakat, mengapa lembaga informasi,
khususnya perpustakaan dan museum tidak laku, mengapa masyarakat
tidak suka membaca, dapat ditemukan jawabannya dengan memahami
proses konstruksi sosial.
Kesadaran para pekerja di lembaga informasi akan ‘realita’ yang
BUKAN adanya demikian perlu ditumbuhkan pada setiap individu.
Kesadaran tersebut akan membuat mereka berpikir kritis dan mengasah
kepekaan terhadap fenomena yang dihadapinya. Kondisi tersebut
memungkinkan terjadinya perubahan perilaku dalam berinteraksi
sehari-hari, setiap individu akan saling menginterpretasi tindakan
individu lain, kemudian memaknai situasi tersebut, setelah itu individu
mengambil tindakan yang dianggapnya sesuai.
Pernyataan bahwa tindakan yang sesuai atau tidak sesuai, atau layanan informasi yang baik dan buruk, bersifat sangat subjektif. Dalam
konsep konstruktivis, hasil akhir bukan sesuatu untuk dinilai, yang
penting adalah memahami proses individu-individu berinteraksi. Menilai perilaku manusia memang sulit. Bidang perpustakaan dan informasi terbiasa menilai perilaku secara kuantitatif, yaitu dengan ukuran,
seperti standar dan rumus-rumus kepuasan. Tetapi di dalam penelitian kualitatif, peilaku manusia tidak dapat diukur, tetapi diamati
dan ditanyai. Hasil observasi dan jawaban yang diberikan diinterpretasi berdasarkan konsep yang ingin diteliti. Oleh karena itu, penilaiannya dianggap tidak objektif. Berdasarkan konsep emik, penelitian kualitatif harus bertumpu pada sudut pandang informan, bukan
peneliti. Penelitian merupakan suatu usaha menghubungkan bagianbagian ke dalam suatu keseluruhan, sehingga memunculkan makna.
Penutup
Pendekatan interaksi sosial sebenarnya adalah upaya memahami
suatu fenomena sosial di dalam konteks sosial yang berada dalam
waktu tertentu. Dengan analisis yang tepat dan jeli, penelitian konstruksi
makna layanan publik di lembaga informasi dapat digunakan untuk
mengakomodasi semua kepentingan dari atasan dan bawahan dan
meningkatkan kerjasama, sehingga dapat mengkonstruksi makna layanan publik sesuai dengan nilai yang terdapat di dalam masyarakat.
24
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Pendekatan Interaksi Sosial dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Saran yang dapat disampaikan untuk mengembangkan penelitian di bidang ilmu perpustakaan dan informasi melalui pendekatan
interaksi social adalah membangun situasi yang kondusif dengan
menggunakan strategi berikut ini:
- mengubah mindset atau pola berpikir dalam melihat fenomena
sosial. Bukan hanya untuk para akademisi di bidang ini, tetapi
juga untuk para pekerja di lembaga informasi, perlu diingatkan
bahwa interaksi sehari-hari merupakan sesuatu yang penting diperhatikan, sebab merupakan dasar terciptanya kebudayaan.
- membangun jaringan antara praktisi dan ilmuwan, agar setiap individu dapat berdiskusi, berbagi pengetahuan dan pengalaman, dan
mengembangkan ilmju pengetahuan.
- meningkatkan pengetahuan. Para akademisi di bidang ilmu
perpustakaan dan informasi perlu meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam melakukan kegiatan penelitian. Mereka dapat
melakukannya dengan melanjutkan studi ke jenjang lebih ttinggi,
banyak melakukan praktik penelitian, dan membuka pikiran.
Mereka juga perlu mendukung mahasiswa untuk melakukan inovasi
dalam topic interaksi sosial, memberi kesempatan kepada mereka
untuk mengeksplorasi dan untuk menyatakan opini yang berbeda.
- merevisi kurikulum ilmu perpustakaan dan informasi. Fokus
pelajaran ditekankan pada pengenalan teori sosiologi dan
antropologi, pendekatan interdisiplin, menyediakan bacaan yang
diperlukan, sehingga penelitian dengan pendekatan ini dapat
memperkaya penelitian di bidang ilmu perpustakaan dan informasi.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan reproduksi kebudayaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berry, David. (2003). Pokok-pokok pikiran dalam sosiologi. Editor dan
pengantar, Paulus Wirutomo. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Blumer, Herbert (1969) Symbolic interactionism: perspective and
method. Berkeley: University of California Press.
Budd, John M. (2003, Jan.). The Library, Praxis, and Symbolic Power.
The Library Quarterly, Vol. 73(1), 19-32. (JSTOR).
Busha, Ch & Harret, S.P. (1980). Research methods in librarianship:
techniques and interpretation. New York: Academic Press
Calhoun, Craig, et al (eds.). (2002). Contemporary sociological theory.
Malden, USA: Blackwell.
Vol.1, No.1, Juli 2011: 11-26
25
Laksmi
Coleman, James S. (2008). Dasar-dasar teori social. Diterjemahkan
dari James S. Coleman, Foundation of social theory, 1994. Diterjemahkan oleh Imam Muttaqien, dkk. Bandung: Nusa Media.
Geertz, Clifford. (1973). The interpretation of cultures: selected essays.
New York: Basic Books.
Goffman, Erving. (1971). Relations in public: microstudies of the public
order. New York: Harper Colophon Books.
Gumperz, John J. & Hymes, Dell (Eds.). (1972). Directions in sociolinguistics: the ethnography of communication. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Leckie, Gloria J., Lisa M. Given, & John E. Buschman (eds.). (2010).
Critical theory for library and information science: exploring
the social from across the disciplines. Santa Barbara, California:
Libraries Unlimited.
Little, Daniel. (1991). Varieties of social explanation: an introduction
to the philosophy of social science. Oxford: Westview Press.
McMenemy, David. (2009). The Public Library. London: facet.
Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto (eds.). (2007). Sosiologi: teks
pengantar dan terapan. Jakarta: Kencana.
Pendit, Putu Laxman (ed.). (2009). Merajut makna: penelitian kualitatif
bidang perpustakaan dan informasi. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.
Pheysey, Diana C. (1993). Organizational cultures: types and
transformations. London: Routledge.
Ritzer, George. (1996). Modern sociological theory. Fourth ed. New
York: The McGraw-Hill.
Saifuddin, Achmad Fedyani (2005) Antropologi kontemporer: suatu pengantar kritis mengenai paradigma. Edisi pertama. Jakarta: Kencana.
Salim, Agus. (2008). Pengantar sosiologi mikro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saville-Troike, Muriel. (2003). The ethnography of communication:
an introduction. Third edition. Oxford: Blackwell.
Surjadi, H. (2009). Pengembangan kinerja pelayanan publik. Bandung:
Refika Aditama.
Turner, Victor. (1967). The forest of symbols: aspects of Ndembu Ritual.
Ithaca: Cornell University Press.
Weber, Max. (1978). Economy and society: an outline of interpretive
sociology. Edited by Guenther Roth dan Claus Wittich. Berkeley:
University of California.
Widiawati, Harfiyah. (2002, Oktober). Regulasi memori dalam pengarsipan:
rekonstruksi sejarah. Wacana, Vol. 4(2), 162-172.
26
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Download