bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ketika Republik Islam Iran dipimpin oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad (20052013), pembicaraan tentang program nuklir Iran selalu menjadi isu internasional yang
‘panas’. Banyak negara, khususnya negara-negara Barat, menaruh kecurigaan terhadap Iran
yang diasumsikan tidak sekedar menjadikan nuklir sebagai energi alternatif untuk
kepentingan kemanusiaan, namun juga sebagai cikal-bakal kekuatan militer. Bahkan Iran
dituding akan membuat senjata pemusnah masal dari pengembangan dan pembangunan
proyek nuklir tersebut. Tudingan itu utamanya datang dari Barat yang dimotori oleh Amerika
Serikat (AS),1 yang selalu menentang keinginan Iran memperkaya khazanah teknologi
nuklir. AS khawatir Iran akan menggunakan kemampuan nuklirnya untuk membuat weapon
of mass destruction sekaligus akan menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan
internasional. AS kemudian memberikan label untukIran sebagai bagian dari negara ’poros
setan’ (axis of evil), yang juga meliputi Irak, Pakistan, Korea Utara,serta Venuezela, Kuba
dan Bolivia.2 Negara-negara ini menjadi musuh AS; mereka menentang keras kebijakankebijakan AS pada abad ke-20 yang selalu ingin mengintervensi wilayah kedaulatan negara
lain.
Di sisi lain, secara terbuka Iran menepis tudingan pihak-pihak yang tidak menyetujui
program nuklir mereka, mulai dari Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB) sampai International
Atomic Energy Agency(IAEA) yang berwenang mengawasi pengembangan dan program
reaktor nuklir internasional.3 Iran menegaskan bahwa pengembangan program nuklirnya
semata-mata hanya untuk tujuan damai.4Iran juga mengklaim bahwa ia tidak bersalah dengan
1
A. Muhammad, Iran - Sejarah Persia & Lompatan Masa Depan Negeri Kaum Mullah, Liris, Surabaya,
2010, p. 19.
2
M.R. Sihbudi, Timur Tengah, Dunia Islam & Hegemoni Amerika, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1993, p. 50.
3
Oktavianus, GA, Peranan Internasional Atomic Energy Agency Terhadap Peace Building Dunia
Internasional, E-jurnal Gloria Yuris Prodi Ilmu HukumUNTAN, vol. 1, no. 3, 2013, p. 1.
4
Muhammad, p. 21.
5
Muhammad, p.22.
1
meratifikasi NPT (Non Proliferation Treaty) sekaligus mempersilakan PBB dan IAEA serta
pengawas pengembangan nuklir lainnya untuk menginvestigasi program pengembangan
nuklir Iran.Sudah untuk kesekian kalinya PBB menggunakan otoritasnya untuk
menginvestigasi masalah nuklir Iran, namun hingga saat ini belum ada bukti nyata dan data
yang valid yang menunjukan bahwa Iran membangun instalasi senjata nuklir. Meski
demikian, tetap saja AS berulang kali mendesak Dewan Keamanan (DK) PBB untuk
mengutus IAEA melakukan investigasi sekaligus memberi sanksi ke negeri mullah tersebut.
Beberapa investigasi yang dilakukan pihak asing dan PBB terhadap fasilitas Iran antara
lain dijalankan dibawah kewenangan Direktur IAEA Mohammad Elbaradai sampai Yukia
Alamano. Sebagai negara yang telah meratifikasi perjanjian NPT, Iran telah melakukan
kerjasama proaktif dengan PBB dan IAEA dengan cara membuka fasilitas dan akses yang
diminta oleh IAEA. Para petinggi IAEA mengakuistatus pengembangan program nuklir Iran,
tetapi mereka tidak bisa menunjukan bukti nyata bahwa Iran benar-benar mengembangkan
program nuklir untuk membuat peluru kendali yang memiliki hulu ledak dahsyat. Ini
merupakan sikap ambigu dari IAEA yang dampaknya bisa menjatuhkan kredibilitasnya, juga
PBB, di kancah internasional. Terdapat indikasi bahwa PBB dan IAEA mendapat tekanan
dari AS.5Jika indikasi itu benar, maka DK PBB tidak independen dalam menjalankan
tugasnya. Padahal, tugas utama PBB yang didirikan pada 24 Oktober 1945 adalah untuk
menjaga perdamaian dan keamanan internasional dengan kewenangan untuk bertindak
terhadap suatu negara jika melakukan hal-hal yang dapat mengancam perdamaian atas
prinsip penghormatan terhadap kedaulatan negara.
Apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Amerika Serikat terhadap negara dengan
penganut paham Syi’ah terbesar di dunia ini? Jika merujukpada sejarah hubungan Iran dan
AS,di masa laluAS memiliki hubungan yang dekat dengan Iran, yang saat itu dipimpin oleh
Shah Muhammad Reza Pahlevi. AS tidak hanya sekedar mengamini proyek nuklir Iran:pada
tahun 1957 ia juga membantu, mendukung dan bekerjasama untuk membangun instalasi
nuklir di Iran.6Pada akhir tahun 1960 pusat atom dan riset didirikan di universitas Teheran.
Beberapa dekade kemudian, AS dan negara-negara barat lainnya melanjutkan kerja sama
D. Albright, ‘Timeline of Iran’s Path to Nuclear Weapons,’ dalam Judith S Yaphe, Charles D Lutes,
Reassessing the Implications of Nuclear-Armed Iran,Institute for National Strategic Studies (INSS),
Washington, D.C., 2005, p.49.
6
2
dalam pengembangan nuklir Iran. Di tahun 1974 Amerika Serikat dan Iranmenandatangani
perjanjianuntuk membelidelapanreaktor. Di tahun yang sama Iran menandatangani perjanjian
denganJermanuntuk membangun reaktorlistrikdiBushehr, lalu pada tahun 1977 Iran
menandatangani perjanjian dengan Perancis untuk membangunduareaktor diDarkhovin.7
Namun, kerjasama yang dilakukan AS, Jerman Barat dan Prancisdengan Iran tidak
berlangsung lama.8Pada bulan Februari 1979terjadi revolusi Islam Iran yang dipelopori oleh
para mullah untuk menjatuhkan dinasti Pahlevi sekaligus mengusir eksistensi dan intervensi
asing, khususnya AS, dari Iran.9 Setelah jatuhnya raja kedua10 dari dinasti Shah Muhammad
Reza Pahlevi dan digantikan oleh Ayatullah Khomeini, Iran menunjukkan wajah baru
dimana Khomeini menghentikan kerjasama dengan Amerika Serikat. Khomeini menganggap
bahwa kehadiran AS di Iran hanya akan menambah sengsara rakyat Iran. Sejak saat itulah
muncul sejarah baru dalamhubungan AS dengan Iran. Iran dibawah kepemimpinan
Khomeini berbenah untuk memperbaiki sistem pemerintahaan pasca runtuhnya rezim Shah
Muhammad Reza Pahlevi. Berdasarkan hasil referendum, masyarakat Iran menyetujui
gagasan Republik Islam Iran dibawah kepemimpinan Revolusi Islam Iran yang
diproklamasikan oleh Ayatullah Khomeini pada tanggal 1 April 1979.11
Seiring dengan berjalannya waktu, pengembangan tekhnologi nuklir Iran semakin
maju dan pesat. Iran merasa tekhnologi nukir begitu penting: ia tidak sekedar sebagai energi
alternatif, namun juga bisa sebagai deterrencejika sewaktu-waktu Iran mendapat ancaman
dari pihak luar. Realisme mengatakan bahwa bila suatu negara menghendaki keamanan
nasionalnya terjaga, tidak ada pilihan lain kecuali dengan memiliki power yang kuat. Salah
satu power yang dapat diandalkan adalah senjata nuklir.Pengembangan teknologi nuklir Iran
menjadikan AS khawatir sehingga ia mengintervensi program nuklir Iran agar kepentingankepentingannya dapat berjalan tanpa hambatan. Kepentingan-kepentingan Amerika di Iran
diantaranya adalah menjaga stabilitas keamanan pangkalan militer di Timur Tengah, meraup
G.Bahgat, ‘Nuclear Proliferation: The Islamic Republic of Iran’, Iranian Studies, vol. 39, no. 3, September
2003, p. 308.
8
Muhammad, p.58.
9
M.S. Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam Persia, Tazkia, Jakarta, 2012, p.87.
10
Antonio, p.84.
11
Antonio, p.96.
7
3
keuntungan dari sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi, serta melindungi eksistensi
Israel dari ancaman dan serangan negara-negara Arab.12
B. Pertanyaan penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis mengajukan pertanyaan penelitian
”mengapa Amerika Serikat “menyerang” program nuklir Iran, khususnya di era
Ahmadinejad?”
C. Tinjauan pustaka
Di antara pustaka yang penulis jadikan acuan dalam peneltian ini adalah buku yang
ditulis oleh Ardison Muhammad yang berjudul Iran, Sejarah Persia & Lompatan Masa
Depan Negeri Kaum Mullah, yang diterbitkan di tahun 2010. Dalam buku tersebut Ardison
membahassejarah Iran dengan sumberdaya alamnya dan hubungan internasional yang ia
miliki dengan negara-negara yang menjadi sahabat maupun lawan. Ardison menyatakan
bahwaIran pernah menjadi sekutu dekat Amerika Serikat dan Barat. AS tidak sekedar
mendukung program nuklir Iran di masa itu, namun juga membantu Iran merintis program
nuklir. Di tahun 1974,Perancis, Jerman Barat dan AS mendukung Iran untuk
mengembangkan sumber energi alternatif yang tidak berbasis minyak dan gas. AS
memberikan kesempatan transfer knowledgekepada Iran dengan menerima delegasi generasi
pertama teknisi nuklir Iran berlatih di Massachussets Institute of Technology.13
Dalam kurun waktu tiga tahun (1975-1978), AS sudah menjual fasilitas proses dan
pengayaan uranium ke Iran. Iran membeli delapan reaktor nuklir dengan harga $15 miliar.
Namun ketika rezim Shah Muhammad Reza Pahlevi berakhir dan digantikan oleh Ayatullah
Khomeini, sistem pemerintahaan Iran berubah, dari tadinya sekuler menjadi republik
Islam.Salah satu kebijakan Ayatullah Ruhullah Khomeniadalah tidak menghendaki
intervensi dan eksistensi asing, khususnya ASdan negara Barat lainnya.14Penolakan dan
perlawanan masyarakat Iran ketika dibawah penguasaan asing juga disebutkan dalam buku
karya M. Riza Sihbudi yang berjudul Dinamika Revolusi Islam Iran. Sihbudi menjelaskan
12
Muhammad, p. 69.
13
Muhammad, p.59.
14
Muhammad, p.viii.
4
bahwa politik dan kebijakan luar negeri Iran secara yuridis formal berlandaskan pada tujuh
prinsip yang tertuang dalam Pasal 152 dan 154 Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran.
Adapun ketujuh prinsip tersebut adalah: (1) Menolak segala bentuk dominasi, (2)
Mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan wilayah, (3) Mempertahankan hak-hak umat
Islam, (4) Menjadi negara nonblok, (5) Berdamai dengan negara-negara yang tidak agresif,
(6) Menganggap kemerdekaan, kebebasan, dan keadilan sebagai hak-hak universal, serta (7)
Menyokong setiap perjuangan kaum mustaz’afin, tapi menahan diri dari segala bentuk
intervensi.15
Dalam artikel jurnal International Society for Iranian Studies yang berjudul ‘Nuclear
Proliferation: The Islamic Republic of Iran’, Gawdat Bahgat menulis bahwa sejak
pertengahan dekade 1980-an, Israel, Amerika Serikat, dan negara-negara Barat lainnya
menuduh Iran yang terus-menerus berambisimengembangkan kemampuan senjata nuklir.
Artikel ini juga membahas sejarah program nuklir Iran sejak akhir dekade 1950-an
dan menganalisis kekuatan-kekuatan yang membentuk kebijakan nuklir negara itu.
Termasuk
juga
persepsi
ancaman
keamanan
dari
Pakistan,
Irak,
Israel,
dan
AS, dinamika ekonomi dan politik dalam negeri, serta beberapa prediksi dan analisis tentang
bagaimana program nuklir Iran akan berkembang dalam beberapa dekade mendatang.16
Di jurnal Third World Quarterly, Adam Tarock menulis artikel ‘Iran’s Nuclear
Programme and the West’. Tarock menulis tentang kegagalan diplomasi antara Iran dan AS
dan Barat dalam mengatasi masalah nuklir. AS dan Barat disebut akan mengambil tindakan
militer terhadap Iran jika Iran menolak untuk menghentikan program energi nuklir. Lebih
lanjut, Tarock mengatakan bahwa tidak ada negara yang lebih hebat selain AS sehingga ia
dilabeli sebagai negara yang arogan, agresif dan destruktif, yang menjalan kebijakan politik
berdasarkan kehendak dan kepentingan sendiri. Menurut Tarock, keterlibatan AS sebagai
aktor utama yang mengintervensi program nuklir Iran dikarenakan alasan geoekonomi, yaitu
bahwa Iran memiliki cadangan minyak dan gas alam.17 Senada dengan Tarock, David Dunn
menyebutkan dalam esainya bahwa tugas utama pemerintah AS untuk mengantipasi
ancaman-ancaman yang dianggap paling menantang bagi keamanan dan kepentingannya.
15
M.R. Sihbudi,Dinamika Revolusi Islam Iran, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1989, p. 144.
Bahgat, p. 307.
17
A. Tarock, ‘Iran’s Nuclear Programme and West’, Third World Quarterly, vol. 27, no. 4, 2006, p. 645.
16
5
Lebih lanjut Dunn menyebutkan bahwa AS mengajak Uni Eropa dan Rusia untuk menekan
Iran dalam program nuklirnya. Bahkan Wakil Presiden AS Dick Cheney mengatakan bahwa
negaranya tidak akan mengizinkan Iran untuk memiliki senjata nuklir dan Iran harus
menghentikan aktivitas program nuklirnya: “We will not allow Iran to have a nuclear
weapon and that ‘meaningful consequences’ will follow Tehran’s failure to end its
dangerous nuclear activity.”18
Barry Posen, dalam esainya yang berjudul How Dangerous is a nuclear Iran
menyatakan bahwa AS akan meningkatkan kekuatan militernya di Timur Tengah sekaligus
membawa visi perdamaian.19Hal senada dikemukakan oleh John Mearsheimer dan
StephenWalt dalam buku mereka yang berjudul The Israel Lobby and US Foreign Policy.
Secara garis besar buku Mearsheimer dan Walt menitikberatkan pada sebelas poin yang
berkaitan dengan kebijakan AS di Timur Tengah. Salah satu yang terpenting dari kesebelas
poin tersebut adalah menjaga eksistensi Israel dari serangan gerakan politik Islam di Timur
Tengah.20Sementara itu, Muhammad Syafii Antonio dalam bukunya yang berjudul
Ensiklopedia Peradaban Islam Persia menyebutkan bahwa gerakan politik Islam Syi’ah
menjadikan AS dan negara-negara Barat lainnya marah. Menurut AS dan negara-negara
Barat, kekuasaan Syi’ah di Iran dapat menghambat intervensi mereka sekaligus sewaktuwaktu dapat mengancam eksistensi Israel.21
Dari beberapa pustaka di atas, penulis ingin mengulas kebijakan luar negeri AS di
Timur Tengah, khususnya dalam hal intervensi program nuklir Iran di era Mahmoud
Ahmadinejad. Berdasarkan pembacaan atas pustaka-pustaka di atas, penulis menemukan
bahwa setidaknya terdapat dua hal yang menjadi alasan Amerika Serikat (AS) “menyerang”
program nuklir Iran, yaitu untuk mempertahankan hegemoni, khususnyamenjaga stabilitas
politik, militer dan ekonominya di Timur Tengah, dan mencegah kekuatan gerakan politik
Islam yang mengancam kepentingan AS, termasuk eksistensi Israel.
D.H. Dunn, ‘Real men want to go to Tehran – Bush, Pre-Emption and The Iranian Nuclear Challenge’,
International Affairs, vol. 83, no.1, January 2007, p. 20.
19
Barry Posen, The Containment Conundrum, How Dangerous Is a Nuclear Iran? foreignaffairs.com
(daring), agustus 2010, http://www.foreignaffairs.com/articles/66744/barry-r-posen-barry-rubin-and-james-mlindsay-and-ray-takeyh/the-containment-conundrum, diakses pada 12 Oktober 2014.
20
J. Mearsheimer &S. Walt, The Israel Lobby and US Foreign Policy, edisi bahasa Indonesia Dahsyatnya
Lobi Israel, diterjemahkan oleh Alex Tri Kantjono Widodo, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
21
Antonio, p. 68.
18
6
D. Kerangka teori
Dalam tesis ini, penulis menggunakan realisme, khususnya berpusat pada teori tentang
hegemoni. Amerika Serikat menerapkan pendekatan realisme dan menggunakan konsep
hegemoni agar dapat menjaga stabilitas politik, militer dan ekonominya di Timur Tengah.
Thucydides, salah satu penggagas realisme, menyatakan bahwa realisme menepis
pernyataan
idealisme
yang
menganggap
bahwa
semua
manusia
adalah
baik.
Thucydidesmencontohkan kisah peperangan antara Athena dan Melos dalam TheMelian
Dialogue. Inti dari dialog tersebut adalah penolakan Melos terhadap penyerangan yang akan
dilakukan Athena. Namun, sebagai negara yang memiliki power lebih kuat dibanding Melos,
Athena tetap melancarkan niatnya untuk menyerang Melos. Dari sinilah keluar sebuah
pernyataan yang hingga kini menjadi acuan para penganut realisme: ”since you know as well
as we do that right, as the world goes, is only in question between equals in power, while the
strong do what they can and the weak suffer what they must.”22
Berbeda dengan idealisme, realisme percaya bahwa pada dasarnya manusia itu
berwatak jahat dan hidupnya dipenuhi dengan konflik. Manusia juga memiliki sifat dasar
mau menang sendiri dan serakah, sehingga manusia dijuluki sebagai ”binatang politik” yang
haus akan kekuasaan (animus dominandi)oleh Hans Morgenthau, salah satu pemikir utama
realisme. Dalam karya besarnya Politics Among Nations, Morgenthau berargumen bahwa
sudah menjadi kecenderungan bagi mereka yang memiliki power untuk mempertahankan
eksistensinya, bahkan akan menjadi ancaman bagi mereka yang lemah.23
Realisme menganjurkan bahwa jika negara menginginkan wilayah politik yang bebas
dari intervensi dan penguasaan pihak asing, mereka harus mempunyai basis power yang
kuat. Aktor yang sangat dominan dalam menjalankan perannya sebagai basis power adalah
negara. Negara dalam pandangan realisme merupakan aktor utama dalam menentukan
kebijakan dalam dan luar negeri.Menurut Graham Allison dalam bukunya Essence of
Decision, dalam mengambil kebijakan suatu negara harus mempertimbangkan tiga hal:
22
G.Sorensen & R. Jackson, Introduction to International Relations, edisi bahasa Indonesia Pengantar Studi
Hubungan Internasional, diterjemahan oleh Dadan Suryadipura, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, p. 93.
23
H.J. Morgenthau, Politics Among Nations, The Struggle for power and peace, edisi bahasa Indonesia
Politik Antar Bangsa, diterjemahkan oleh S Maimoen, Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010.
7
rational actor, organizational process dan govermental politics. Dari ketiga elemen tersebut,
rational actormemiliki peranan yang sangat penting dalam memutuskan suatu kebijakan.
Tujuan dari rational actor adalah untuk membuktikan apakah kebijakan yang diambil suatu
negara merupakan kebijakan yang rasional.24
Secara substansial, dapat ditemukan bahwa terdapat empat asumsi dasar dari kaum
realis. Mereka adalah: (1) pandangan pesimis pada sifat manusia; (2) keyakinan bahwa
hubungan internasional pada dasarnya adalah konfliktual dan bahwa konflik internasional
pada akhirnya harus diselesaikan dengan perang; (3) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan
negara dan kelangsungan hidup negara; dan (4) skeptisisme akan terdapatnya kemajuan
dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik.25 Dari
keempat asumsi dasar tersebut tampak sangat jelas bahwa realisme sangat skeptis pada
terciptanya kedamaian dalam hubungan internasional. Basis utamanya adalah sifat mendasar
manusia yang selalu cemas akan keselamatan dirinya dalam hubungan persaingan dengan
yang lain. Skeptisisme pada sifat manusia ini tergambar jelas dalam teori hubungan
internasional Morgenthau, misalnya, yang menyatakan bahwa politik adalah perjuangan
memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan
terpentingnya. Pemikiran yang sama juga dimiliki oleh para pemikir realis klasik, seperti
Thucydides, Niccolo Machiaveli, dan Thomas Hobbes. Kaum realismemandang bahwa
politik dunia berkembang dalam sistem internasional yang anarkis, dimana sistem berjalan
tanpa adanya kekuasaan yang berlebihan dan tidak ada pemerintahan dunia.26
Kecenderungan realisme adalahstate-centric, yaitu negarasebagai aktor prinsipal dalam
hubungan internasional.Berkaitan dengan itu, agar dapat menjalankan kepentingan nasional
dan mempertahankan eksistensinya negara perlu memiliki hegemoni.Dean Minix dan Sandra
Hawley dalam buku Global Politics mendefinisikan kekuatan hegemonik sebagai ”a
regional or world economic and/or political-millitary power that seeks to impose the existing
world order on others for the sake of its own stability.”27 Dalam konteks ini, hegemoni
dimiliki dan dijalankan oleh suatu negara yang memiliki kekuatan ekonomi, politik, dan
militer terhadap suatu wilayah tertentu atau bahkan seluruh dunia. Sebelumnya, pada masa
24
G. Allison, Essence of Decision, 2nd edn, Pearson Education, New York, 1999.
Sorensen & Jackson, p. 88.
26
Sorensen & Jackson, p. 110.
27
D. Minix&S.Hawley,Global Politics, Wadsworth Publishing Company, Ohio, 1998, p. 564.
25
8
perang dingin dunia internasional hanya diwarnai dengan sistem bipolar. Ada dua kekuatan
adidaya di masa itu, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun setelah berakhirnya
perang dingin, hanya ada satu negara yang memiliki powerutama di bidang ekonomi, politik,
militer, penguasaan teknologi dan sumber daya manusia yang dapat mengintervensi negara
lain, bahkan dapat menguasai dunia. Amerika Serikat saat inimerupakan satu-satunya
kekuatan hegemonik; ia merupakan aktor yang memiliki semua poweryang dibutuhkan untuk
berkuasa di kancah internasional.
Secara bahasa, hegemoni memiliki arti sebagai suatu kekuatan ekonomi, militer,
teknologi, politik di suatu wilayah atau di seluruh dunia yang menetapkan tatanan dunia
untuk stabilitas dirinya sendiri sehingga negara hegemonik tersebut berkuasa terhadap
negara-negara lainnya.28 Dengan kata lain, hegemoni merupakan sebuah kekuatan dan
pengendalian yang dijalankan oleh suatu negara yang berkuasa atas negara-negara lainnya.29
Sejauh ini hanya terdapat dua negara yang merealisasikan hegemoninya di dunia
internasional, yaitu Inggris sebelum Perang Dunia I dan AS pada saat Perang Dunia II.30
Meskipun AS menjadi satu-satunya negara yang memiliki hegemoni saat ini, ia harus
berkomitmen secara ideologis untuk melegitimasi tatanan dunia. Dengan kata lain, sebagai
negara hegemon AS bertugas menjaga stabilitas internasional.31 Jika negara hegemon tidak
mampu menjaga stabilitas internasional, atau berbuat semaunya dengan menyalahgunakan
kekuatan yang dimiliki, maka akan menimbulkan ketidakstabilan sistem dan terjadinya
konflik serta peperangan antarnegara.
Dalam kasus program nuklir Iran, jika dikaitkan dengan teori hegemoni, Amerika
Serikat tampak inkonsisten dalam menjaga stabilitas internasional. AS berasumsi bahwa Iran
memelihara gerakan politik Islam fundamentalis yang sewaktu-waktu dapat membahayakan
kepentingannya di Timur Tengah dan juga membahayakan dunia internasional. Bagi AS dan
negara-negara sekutunya, Iran yang berbasis negara Islam sangat berbahaya karena
cenderung anti-Barat dan anti-Yahudi (Israel).32 Terlebih lagi ketika Iran dipimpin oleh
Presiden Mahmoud Ahmadinejad, banyak terjadi kecaman dan perang urat saraf antara Iran
28
Minix & Hawley, p. 231.
Sorensen & Jackson, p. 4.
30
S.M. Setyawati, et.al., Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampak bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan
Reaksi Rakyat Indonesia, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2004, p. 55.
31
Minix & Hawley, p. 232.
32
Muhammad, p. 3.
29
9
dan Barat. Misalnya, pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada sidang
Majelis Umum PBB di New York, 25 September 2009: “Ancaman terbesar di muka bumi
kita adalah perkawinan antara fundamentalisme agama dan senjata pemusnah massal.”33
E. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teoritik, penulis mengajukan hipotesis
bahwa Amerika Serikat melakukan intervensi terhadap program nuklir Iran agar ia dapat
mempertahankan hegemoni di Timur Tengah, baik secara geopolitik maupun geoekonomi.
Selain itu, AS juga tidak menghendaki suatu negara dipimpin oleh rezim gerakan politik
Islam yang mengancam kepentingannya, termasuk eksistensi Israel, di Timur Tengah.
F. Sistematika Penulisan
Tesis ini akan terdiri dari lima bab. Setelah Bab Pertama Pendahuluan, pada Bab
Kedua penulis akan membahas sejarah dan perkembangan nuklir Iran. Bagian penting dari
bab ini akan diuraikan lebih lanjut dalam konteks hubungan Iran dan Amerika Serikat yang
menjadi inti dari Bab Ketiga. Bab ini akan menerangkan pasang surut hubungan kedua
negara sampai dengan tekanan AS terhadap program nuklir Iran di bawah Ahmadinejad.
Sebagai inti dari tesis, Bab Keempat akan memberikan analisis penulis dalam
menjawab pertanyaan penelitian dengan mengacu kepada pustaka dan landasan teoritik yang
digunakan. Bab Kelima, yang berisikan kesimpulan dan inferens yang bisa ditarik dari hasil
penelitian, akan menutup tesis ini.
33
lipsus.kompas.com, Netanyahu Desak Paus Kecam Iran (daring), 15Mei 2009,
http://lipsus.kompas.com/grammyawards/read/2009/05/15/08432399/Netanyahu.Desak.Paus.Kecam.Iran,
diakses 18 September 2014.
10
Download