Penyelesaian Damai Ambalat

advertisement
Penyelesaian Damai Ambalat
11-04-05
Oleh Hikmahanto Juwana
SENGKETA antara Indonesia dan Malaysia atas blok Ambalat yang telah
memasuki babak baru setelah Menteri Luar Negeri Malaysia bertemu dengan
Menteri Luar Negeri Indonesia bulan lalu kembali menghangat setelah terjadi
insiden serempetan KRI Tedong Naga dengan kapal perang Malaysia, KD
Rencong, yang tampaknya sengaja melakukan provokasi, Jumat pekan lalu
(Kompas, 10/4).
Padahal, Menlu Malaysia bulan lalu telah diterima oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Di Malaysia beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
pun telah menemui Perdana Menteri Abdullah Badawi.
Komunikasi antarpemerintah telah dibuka dan diharapkan melalui komunikasi ini
ketegangan hubungan antarnegara dapat didinginkan. Tanpa adanya penurunan
ketegangan tidak mungkin sengketa diselesaikan secara damai. Memang
penyelesaian secara damai adalah cara penyelesaian yang paling ideal.
Bagi kedua negara, penyelesaian damai merupakan kewajiban karena keduanya
adalah peserta dari Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia tahun
1976. Pasal 13 dari perjanjian tersebut menentukan bahwa "In case disputes on
matters directly affecting them should arise, especially disputes likely to disturb
regional peace and harmony, they shall refrain from the threat or use of force and
shall at all times settle such disputes among themselves through friendly
negotiations."
Bukan opsi
Pengerahan kapal perang dan pesawat pengintai TNI bukanlah untuk merebut
kembali blok Ambalat dari tangan Malaysia. Pengerahan harus dipahami sebagai
tindakan Indonesia untuk mempertahankan status quo di blok Ambalat. Status
quo ini adalah Indonesia mengklaim blok tersebut berdasarkan Konvensi Hukum
Laut 1982 dan telah melakukan penguasaan secara efektif berupa pemberian
konsesi kepada dua perusahaan minyak, ENI dan Unocal; sementara Malaysia
mengklaim atas dasar peta yang dibuat pada tahun 1979 tanpa menerjemahkan
dalam tindakan nyata ataupun fisik.
Merebaknya sengketa antarkedua negara dalam dua pekan awal Maret lalu
karena Malaysia telah melanggar status quo saat memberi konsesi blok Ambalat
kepada Petronas untuk dikerjasamakan dengan Shell. Tindakan Malaysia
didasarkan pada putusan Mahkamah Internasional (MI) yang memberi
kedaulatan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Malaysia pada saat
memberi konsesi telah menerjemahkan secara sepihak bahwa putusan MI
memberi hak kepada Malaysia untuk melebarkan wilayah perairannya.
Bahkan Malaysia bisa dianggap melanggar status quo dengan mengirim kapal
patrolinya ke wilayah perairan di sekitar blok Ambalat.
Bagi Indonesia, tidak ada jalan lain untuk merespons pelanggaran status quo
yang dilakukan oleh Malaysia dengan kehadiran fisik berupa pengerahan kapalkapal perang dan pesawat pengintai. Untuk itu, tindakan TNI dapat dibenarkan
dan memiliki legitimasi.
Pengerahan TNI tidak seharusnya dijadikan opsi untuk menyelesaikan sengketa
blok Ambalat. Penyelesaian dengan menggunakan kekerasan (use of force)
bukanlah suatu opsi. Hal ini karena sejak berakhirnya Perang Dunia II, hukum
dan masyarakat internasional tidak lagi membenarkan perolehan wilayah yang
didasarkan pada penggunaan kekerasan.
Kalau saja Indonesia ataupun Malaysia menggunakan kekerasan dalam
menyelesaikan sengketa mereka, siapa yang terlebih dahulu memuntahkan
peluru akan dianggap sebagai agresor. Konsekuensinya, agresor akan dikutuk
(condemned) oleh dunia internasional dan wilayah yang direbut tidak akan
diakui.
Alternatif
Dalam pertemuan antarmenlu telah disepakati bahwa kedua belah pihak akan
membentuk tim teknis yang akan melakukan perundingan ke arah penyelesaian
blok Ambalat. Pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 22 dan 23 Maret lalu.
Pertemuan ini merupakan langkah awal penyelesaian secara damai yang
diistilahkan di Indonesia sebagai upaya atau penyelesaian diplomasi.
Penyelesaian damai akan terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah
pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing
negara atas klaimnya di blok Ambalat.
Indonesia akan mengklaim bahwa ia memiliki dasar yang kuat, sementara klaim
Malaysia tidaklah kuat, bahkan tidak ada (groundless atau baseless). Inilah hasil
akhir yang diharapkan oleh publik Indonesia. Namun, sudah tentu Malaysia akan
berargumentasi sebaliknya.
Dari saling argumentasi ini, Indonesia tentu berharap Malaysia menyadari
ketidakabsahannya mengklaim blok Ambalat. Bila ini terjadi, berarti perundingan
akan bisa segera terselesaikan tanpa memasuki fase berikutnya.
Namun, ternyata Malaysia tetap bersikukuh bahwa ia memiliki dasar yang sama
kuatnya dengan Indonesia. Karena ini yang terjadi, maka perundingan akan
memasuki fase kedua.
Fase kedua dalam penyelesaian damai adalah bagaimana kedua negara bisa
menyepakati jalan keluar dari klaim tumpang tindih (overlapping claims) atas blok
Ambalat. Dalam menyepakati jalan keluar dapat dirujuk pengalaman beberapa
negara sebagai alternatif bagi solusi sengketa Indonesia-Malaysia.
Alternatif pertama adalah negara yang bersengketa tidak menyepakati solusi dan
membiarkan permasalahan ini tidak terselesaikan (baca: mengambang) dengan
catatan negara yang bersengketa menyepakati suatu status quo. Alternatif ini
ditempuh, misalnya, oleh negara-negara yang mengklaim Kepulauan Spratly di
Laut China Selatan. Bila alternatif ini yang disepakati oleh Indonesia dan
Malaysia, setiap negara yang melanggar status quo akan mendapat perlawanan
dari negara lainnya untuk mengembalikan status quo.
Alternatif kedua adalah negara yang bersengketa tidak menyepakati batas, tetapi
bersepakat untuk melakukan pengelolaan bersama (joint management).
Alternatif ini pernah ditempuh oleh Indonesia yang bersengketa dengan Australia
di wilayah Palung Timor (Timor Gap) sewaktu Timor Timur masih menjadi
wilayah Indonesia.
Keunggulan alternatif ini adalah sengketa tidak akan menghindari negara yang
bersengketa untuk memperoleh keuntungan sumber daya alam dari wilayah
yang dipersengketakan.
Alternatif ketiga adalah negara yang bersengketa sepakat untuk membawa
sengketa mereka ke forum penyelesaian sengketa. Forum penyelesaian
sengketa bisa dipilih, seperti MI, lembaga yang dibentuk oleh para pihak, bahkan
forum yang disediakan oleh organisasi regional. Alternatif inilah yang juga
pernah ditempuh oleh Indonesia pada saat bersengketa dengan Malaysia atas
Pulau Sipadan dan Ligitan.
Perunding Indonesia
Siapa pun yang akan ditunjuk oleh pemerintah menjadi anggota perunding harus
memerhatikan alternatif yang diuraikan di atas. Berbagai alternatif dapat
dijadikan strategi dalam bernegosiasi sehingga bisa didapat hasil yang optimal.
Dalam memilih alternatif yang terbaik, para perunding harus memerhatikan lima
hal mendasar.
Pertama, bagi Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar sengketa untuk
mendapatkan sumber daya alam, seperti halnya Malaysia. Blok Ambalat
merupakan wujud dari wilayah kedaulatan Indonesia. Kehilangan blok Ambalat
berarti kehilangan sebagian wilayah kedaulatan. Bahkan blok Ambalat bisa
menjadi taruhan bagaimana Indonesia mempertahankan kedaulatannya di
wilayah yang dipersengketakan oleh negara lain.
Bila Indonesia terkesan lemah, tentunya negara-negara yang memiliki sengketa
batas wilayah dengan Indonesia akan menempuh cara yang dilakukan oleh
Malaysia. Sebaliknya bila Indonesia tough, tentu negara tetangga tidak akan
main-main atau coba-coba.
Kedua, tim perunding Indonesia harus memerhatikan betul suara rakyat. Jangan
sampai tim perunding ataupun pengambil kebijakan tertinggi di negeri ini
mengambil keputusan berdasarkan intuisi pribadi, bahkan popularitas belaka.
Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah
kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber
daya alam.
Tim perunding ataupun pengambil kebijakan tertinggi di negeri ini jangan sampai
mengambil keputusan yang didasarkan pada pertimbangan ingin memelihara
hubungan baik kedua negara. Tim perunding ataupun pengambil keputusan
harus menahan diri untuk bertindak ramah pada Malaysia, padahal tindakan
tersebut merupakan tindakan bodoh.
Di samping itu, harus juga diperhatikan suara rakyat yang tidak menginginkan
penyelesaian melalui pihak ketiga. Penyelesaian Pulau Sipadan dan Ligitan
masih menyisakan trauma bagi bangsa ini.
Lebih lanjut, perlu diperhatikan suara rakyat yang menghendaki adanya
transparansi atas setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Bahkan, bila
perlu setiap kebijakan perlu disosialisasikan ke publik sehingga tidak ada
keputusan yang membuat rakyat terkejut. Rakyat Indonesia jelas tidak
menghendaki penyelesaian Timor Timur terulang kembali.
Hal ketiga yang perlu diperhatikan oleh tim perunding adalah masalah koordinasi
antarinstansi. Koordinasi perlu untuk diperkuat.
Lemahnya koordinasi antarinstansi berpotensi menjadi penyebab kegagalan
Indonesia dalam berunding dengan Malaysia. Bisa jadi setiap instansi yang
terlibat dalam blok Ambalat ingin mengedepankan perspektifnya. Lebih parah
lagi bila kelemahan ini dimanfaatkan oleh Malaysia. Malaysia, jelas, akan
memanfaatkan perbedaan kepentingan antar instansi Indonesia. Bahkan,
Malaysia akan mendekati satu instansi untuk menyuarakan kepentingannya.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah anggota tim perunding harus memiliki
keterampilan (skills) bernegosiasi. Keterampilan tidaklah cukup dengan
kepiawaian berbahasa Inggris ataupun memahami terminologi hukum dalam
bahasa Inggris. Keterampilan lain yang harus dimiliki adalah keterampilan untuk
meyakinkan lawan. Argumentasi, dasar hukum, dan bukti kadang bisa
dikalahkan oleh keterampilan untuk meyakinkan.
Selanjutnya, para perunding harus memiliki keterampilan untuk menelusuri
berbagai instrumen hukum internasional, kasus-kasus yang pernah diputus
terkait dengan penyelesaian sengketa wilayah dan keterampilan untuk
menelusuri berbagai bukti.
Hal terakhir yang harus diperhatikan adalah tim perunding tidak sekadar direkrut
berdasarkan nama besar dari individu yang ditunjuk ataupun jabatan dalam
instansi. Tim perunding harus dibentuk secara ad hoc berdasarkan kriteria
ketersediaan waktu, keahlian, dan tenaga untuk mengumpulkan amunisi dan
berargumentasi di meja perundingan. Bila perlu, senioritas individu tidak menjadi
pertimbangan.
Sudah saatnya nasionalisme yang tergalang tidak diterjemahkan secara fisik
belaka, tetapi juga diterjemahkan dengan otak dan keahlian. Akhirnya, kita
ucapkan "Selamat berjuang tim perunding Indonesia."
Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional pada Fakultas Hukum
UI, Jakarta
Download