BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mata Gambar 2.1: Diambil dari

advertisement
22
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mata
Gambar 2.1: Diambil dari (Netter, 2003) Atlas of Human Anatomy yang
menunujukkan gambaran anatomi mata.
2.1.1. Anatomi Retina
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatas dengan koroid dengan sel
pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan:
1. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang
mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.
2. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi
Universitas Sumatera Utara
23
3. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang.
Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.
4. Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aseluler dan merupakan tempat
sinapsis fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel
Muller Lapis ini mendapat metabolisme dari ateri sentral.
6. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aseluler merupakan tempat sinaps
sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.
8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arah saraf
optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah
retina.
9. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan
kaca (Ilyas, 2005).
2.1.2. Fisiologi Mata
Fungsi utama mata adalah untuk memfokuskan berkas cahaya dari
lingkungan ke sel-sel batang dan kerucut, sel fotoreseptor retina. Fotoreseptor
kemudian mengubah energi cahaya menjad sinyal listrik untuk disalurkan ke SSP.
Bagian retina yang mengandung fotoreseptor sebenarnya adalah perluasan dari
SSP dan bukan merupakan suatu organ terpisah. Selama perkembangan masa
mudiga, sel-sel retina ”mundur” dari sistem saraf, sehingga lapisan-lapisan retina,
secara mengejutkan, dan menghadap ke belakang. Bagian saraf dari retina terdiri
dari 3 lapisan:
1. Lapisan paling luar (terdekat ke koroid) mengandung sel batang dan sel
kerucut yang ujung-ujung peka-cahayanya berhadapan dengan koroid (yakni
menjauhi cahaya yang datang)
Universitas Sumatera Utara
24
2. Sebuah lapisan tengan neuron bipolar
3. Lapisan bagian dalam sel ganglion
Akson sel ganglion membentuk saraf optikus yang keluar dari retina sedikit
keluar dari titik tengah. Titik di retina tempat keluarnya saraf optikus dan tempat
lewatnya pembuluh darah adalah diskus optikus. Daerah ini sering disebut sebagai
bintik (titik) buta; tidak ada bayangan yang dapat dideteksi didaerah ini karena
daerah ini tidak mengandung sel batang dan sel kerucut. Dalam keadaan normal
kita tidak menyadari adanya titik buta ini karena pengolahan di sentral sedikit
banyak ”mengisi” bagian yang hilang ini (Sherwood, 2001).
Cahaya dapat melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai
fotoreseptor disemua daerah retina, kecuali fovea. Di fovea, yaitu cekungan
sebesar pangkal jarum pentul dan tepat di tengah retina, lapisan bipolar dan
ganglion tertarik ke samping, sehingga cahaya secara langsung megenai
fotoreseptor. Sifat ini, ditambah dengan kenyataan bahwa hanya sel kerucut (yang
memiliki ketajaman atau kemampuan diskriminatif lebih besar daripada sel
batang) yang dijumpai di tempat ini, menyebabkan fovea adalah titik untuk
penglihatan tajam. Dengan demikian, kita memutar mata kita sehingga bayangan
benda yang kita lihat jatuh terfokus di fovea. Daerah tepat di sekitar fovea, yaitu
makula lutea, juga memiliki konsentrasi sel kerucut yang tinggi dan memilki
ketajaman yang cukup besar. Namun, ketajaman makula lutea lebih rendah
daripada ketajaman fovea karena adanya sel-sel ganglion dan bipolar di atas
makula (Sherwood, 2001).
Fotoreseptor terdiri dari tiga bagian :
1.Sebuah segmen luar, yang terletak paling dekat dengan eksterior mata,
menghadap ke koroid dan mendeteksi rangsangan cahaya.
2. Sebuah segmen dalam yang terletak di pertengahan panjang fotoreseptor dan
mengandung perangkat metabolik sel.
3. Sebuah terminal sinaps, yang terletak paling dekat dengan interior mata,
menghadap ke neuron bipolar; dan menyalurkan sinyal yang dihasilkan di
fotoreseptor setelah mendapat rangsangan cahaya ke sel-sel berikutnya pada jalur
Universitas Sumatera Utara
25
penglihatan. Segmen luar, yang berbentuk seperti batang pada sel-sel batang dan
seperti kerucut pada sel-sel kerucut, terdiri dari tumpukan lempeng-lempeng
membranosa pipih yang banyak mengandung molekul-molekul fotopigmen. Lebih
dari sejuta molekul fotopigmen mungkin terdapat di bagian luar setiap
fotoreseptor. Fotopigmen mengalami perubahan kimiawi apabila diaktifkan oleh
cahaya. Suatu fotopigmen terdiri dari proein enzimatik yang disebut opsin yang
berikatan dengan retinen, suatu turunan vitamin A. Terdapat empat jenis
fotopigmen, satu di sel batang dan satu di masing-masing dari ketiga jenis sel
kerucut. Retinen identik di keempat fotopigmen, tetapi opsin fotoreseptor sedikit
berbeda, sehinga fotopigmen dapat menyerap berbagai panjang gelombang cahaya
secara berlebihan. Rodopsin, fotopigmen sel batang, tidak dapat membedakan
berbagai panjang gelombang spektrum cahaya tampak; pigmen ini menyerap
semua panjang gelombang cahaya tampak. Dengan demikian, sel batang hanya
memberi gambaran bayangan abu-abu apabila mendeteksi berbagai intensitas
cahaya, bukan memberi warna. Fotopigmen di tiga jenis sel kerucut--sel kerucut
merah, hijau dan biru — berespons secara selektif terhadap berbagai panjang
gelombang, sehingga penglihatan warna dapat terjadi (Sherwood, 2001).
Fototransduksi, yaitu mekanisme eksitasi, pada dasarnya sama untuk semua
fotoreseptor. Ketika menyerap cahaya, molekul fotopigmen berdisosiasi mejadi
komponen retinen dan opsin, dan bagian retinennya mengalami perubahan bentuk
yang mencetuskan aktivitas enzimatik opsin. Melalui serangkaian reaksi,
perubahan biokimiawi pada fotopigmen yang diinduksi oleh cahaya ini
menimbulkan hiperpolarisasi potensial reseptor yang mempengaruhi pengeluaran
zat perantara dari terminal sinaps fotoreseptor (Sherwood, 2001).
2.1.3. Ketajaman Penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh kelaianan yang
timbul di sepanjang jaras optik dan jaras visual neurologik. Jadi, pemeriksa harus
mempertimbangkan adanya kelainan refraksi (fokus), ptosis, pengeruhan atau
gangguan media mata (misalnya edema kornea, katarak, atau perdarahan dalam
Universitas Sumatera Utara
26
vitreous atau ruang aqueous), dan gangguan fungsi retina (makula), nervus
optikus, atau jaras visual intrakranial (Vaughan & Asbury, 2010).
2.2. Kebutaan
2.2.1. Definisi
Ketajaman penglihatan (visus) seseorang dapat diukur secara subjektif dengan
optotype, yaitu lembar papan yang memuat gambar / huruf atau tanda – tanda lain.
Bila seseorang tidak mampu menyebutkan huruf atau gambar pada papan
Optotype itu maka dinyatakan orang itu tergolong low vision. Pengukuran
visusnya dengan cara mengenal jari (finger counting) dan tangan (hand
movement) dari pemeriksa. Bila tidak dapat melihat jari dan tangan pemeriksa,
maka diminta mengenal pacuan sinar yang biasanya digunakan lampu senter
(Wilardjo, 2001).
Departemen Kesehatan telah menetapkan batasan dari kebutaan, ialah
golongan social blind bila visusnya finger counting jarak satu meter (visus = 1/60)
dan medical ophthalmological blind bila tidak ada persepsi (visus = nol)
(Wilardjo, 2001).
Terminologi kebutaan didefinisikan berbeda – beda ditiap negara seperti
kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan sosial. Begitu
banyak definisi kebutaan, ada sekitar 65 definisi yang tertera dalam publikasi
WHO tahun 1966. Di dalam oftalmologi, terminologi kebutaan terbatas pada titik
dapatnya melakukan aktifitas sampai tidak adanya persepi cahaya. Di Amerika
Serikat dan beberapa negara Eropa, kebutaan didefenisikan sebagai tajam
penglihatan dengan koreksi terbaik kurang dari atau sama dengan 6/60. Supaya
ada perbandingan secara statistik baik nasional maupun internasional, WHO pada
1972 telah mengajukan kriteria yang seragam dan definisi kebutaan sebagai suatu
tajam penglihatan yang kurang dari 3/60 (Snellen) atau yang ekuivalen
dengannya. Pada 1979, WHO menambahkan dengan ketidaksanggupan hitung jari
pada jarak 3 meter di ruang terbuka dengan cahaya matahari (Hutasoit, 2010).
Universitas Sumatera Utara
27
Menurut International statistical classification of diseases, injuries and
causes of death, 10th revision (ICD-10): H54 (9) definisi gangguan penglihatan,
penurunan visus dan kebutaan adalah penurunan visus dan kebutaan yang
merupakan pecahan dari ganguan penglihatan. Penurunan visus atau visual acuity
adalah kurang dari 6/18, tetapi sama atau lebih baik dari 3/60 atau kehilangan
lapangan pandang kurang dari 20 derajat di mata lebih baik dengan sebaik
mungkin dikoreksi (ICD-10 visual impairment categories 1 and 2) dan kebutaan
adalah visual acuity kurang dari 3/60 atau kehilangan lapangan pandang kurang
dari 10 derajat di mata lebih baik dengan sebaik mungkin dikoreksi (ICD-10
visual impairment categories 3, 4 and 5) (Resnikoff et al, 2002).
2.2.2. Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO kebutaan terjadi akibat katarak 43%, glaukoma
15%, retinopati diabetik 8%, trakoma 11%, defisiensi vitamin A 6%, dan
onchocerciases 1% (Ramanjit Sihota, 2007).
Kecacatan sebagai akibat dari penyakit mata masih memerlukan perhatian
dari berbagai pihak. Sejak tahun 1967 kebutaan telah dinyatakan sebagai bencana
nasional berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan No.19 Birhub.1967. Tahun
1982, Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Dit.Jen.Bin.Kes Mas)
Dep.Kes.RI pernah melakukan survei morbiditas mata dalam survei tersebut
didapatkan hasil kebutaan dua mata di Indonesia 1,2%. Dalam hal ini termasuk
kebutaan yang dialami oleh penderita retinopati 0,03%. Sebagian besar dari kasus
retinopati didapatkan pada penderita diabetes melitus. Disamping itu didapatkan
enam macam penyakit sebagai penyebab kebutaan, yang terbanyak adalah katarak
sebesar 0,76% dan yang disebabkan oleh kelainan retina menempati urutan kelima
(Wilardjo, 2001).
Dengan perubahan pola kehidupan ke arah moden diperkirakan pada tahun –
tahun mendatang penyakit diabetes melitus juga sebagai penyebab utama
kebutaan di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Berbeda dengan
kebutaan yang disebabkan oleh katarak yang dapat ditanggulangi, kebutaan yang
disebabkan oleh komplikasi diabetes melitus pada retina (retinopati diabetik) tidak
Universitas Sumatera Utara
28
dapat ditingkatkan tajam penglihatannya dengan upaya apapun, sehingga terjadi
buta permanen (Wilardjo, 2001).
2.2.3. Klasifikasi
Tabel 2.1: Diambil dari International Statistical Classification of Disease and
Related Health Problems, tenth revision. Geneva, World Health Organization,
1992 (Ramanjit Sihota, 2007).
Kategori gangguan
Koreksi ketajaman penglihatan/visus terbaik
penglihatan/visus *
pada mata yang terbaik
O ‘Normal’
6/6 hingga 6/18, yaitu visus 6/18 atau lebih baik
1 ‘Gangguan penglihatan’
< 6/18 hingga 6/60
2 ‘Gangguan penglihatan
< 6/60 hingga 3/60
berat’
3 ‘Buta’
< 3/60 hingga 1/60
4 ‘Buta’
< 1/60 persepsi hanya terhadap cahaya
5 ‘Buta’
Tidak ada persepsi terhadap cahaya
9 ‘Tidak dapat ditentukan’
Pada tahun 1977 International Classification of Diseases (ICD) membagi
berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam
penglihatan kurang dari 6/18 (Snellen), dimana kategori 1 dan 2 termasuk dalam
low vision sedangkan kategori 3,4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan
lapangan pandangan 5° - 10° ditempatkan pada kategori 3 dan lapangan
pandangan kurang 5° ditempatkan pada kategori 4 (Lihat table 2.2).
Universitas Sumatera Utara
29
Tabel 2.2: Berdasarkan International Classification Diseases (ICD) terhadap
penurunan penglihatan.
Kategori penurunan
Tingkat ketajaman visus (Snellen)
penglihatan/visus
Visus normal
6/6 hingga 6/18
Visus rendah
Kurang dari 6/18 hingga 6/60
(Low vision)
Kurang dari 6/60 hingga 3/60
Kebutaan
1. Kurang dari 3/60 (Hitung jari pada jarak 3 meter)
hingga 1/60 (Hitung jari pada jarak 1 meter) atau luas
pandangan antara 5°-10°
2. Kurang dari 1/60 (Hitung jari pada jarak 3 meter)
hingga 1/60 (Hitung jari pada jarak 1 meter) hingga
persepsi terhadap cahaya atau luas pandangan kurang
dari 5°
3. Tiada persepsi terhadap cahaya
2.3. Retinopati Diabetik
2.3.1. Definisi Diabetes Melitus
Menurut WHO, Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan kadar
glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) akibat dari kerusakan sekresi insulin,
aksi insulin, atau keduanya. Diabetes melitus bukan merupakan penyakit
berpatogen tetapi sekelompok penyakit metabolik dengan etiologi yang berbeda
(Reinauer, 2002).
Menurut American Optometric Association (AOA), diabetes melitus (DM)
adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat
kerusakan sekresi insulin dan / atau meningkatkan resistensi seluler terhadap
insulin (Cavallerano et al, 2009).
Universitas Sumatera Utara
30
Diabetes adalah penyebab utama keempat kematian di negara-negara industri.
Diabetes merupakan suatu penyakit di bidang medis yang memerlukan perhatian
yang cukup besar karena komplikasi parah jangka panjangnya, seperti termasuk
gangguan kardiovaskular, retinopati, neuropati dan nefropati. Diabetik retinopati
adalah penyebab paling tinggi menyebabkan kebutaan, dan merupakan satu
masalah yang semakin berkembang di dunia ini (Shrestha, 2007).
2.3.2. Definisi Retinopati Diabetik
Retinopati Diabetik (RD) secara klasik telah dianggap sebagai penyakit
mikrosirkulasi dari retina karena efek metabolik akibat hiperglikemia sendiri dan
jalur metabolik dipicu oleh hiperglikemia (jalur poliol, jalur hexosamine, jalur
DAG-PKC, advanced glycation end-products dan stres oksidatif). Namun,
neurodegeneration retina sudah ada sebelum kelainan mikrosirkulasi dapat
dideteksi dengan pemeriksaan oftalmoskopi. Dengan kata lain, neurodegeneration
retina adalah sebuah peristiwa awal patogenesis RD yang mendahului dan
berpartisipasi dalam kelainan mikrosirkulasi yang terjadi pada RD (Villarroel,
2010).
2.3.3. Epidemiologi
Menurut Peter J. Watkins, diabetes adalah penyebab paling umum kebutaan
pada orang berusia 30 – 69 tahun. Dua puluh tahun setelah onset diabetes, hampir
semua pasien dengan DM tipe I dan lebih dari 60% pasien DM tipe II akan
memiliki beberapa derajat retinopati (Watkins dalam Barceló, 2001). Bahkan pada
saat diagnosis DM tipe II, sekitar seperempat pasien telah membentuk gejala
retinopati (Shrestha, 2007). Lebih dari 20% pasien dengan DM tipe II menderita
retinopati diabetik dan sekitar 5% menjadi buta (Barceló, 2001).
2.3.4. Klasifikasi
Secara umum retinopati diabetik dibagi menjadi dua yaitu retinopati diabetik
non proliferatif atau dikenali juga dengan retinopati diabetik dasar dan retinopati
diabetik proliferatif (Lubis, 2007).
Universitas Sumatera Utara
31
Gambar 2.2: Retinopati diabetik non proliferatif
Gambar 2.3: Retinopati diabetik proliferatif
(Gambar 2.1 dan 2.2: Berdasarkan klasifikasi oleh The International
Classification of Diabetic Retinopathy, retinopati diabetik dibagi menjadi 3
bentuk, yaitu Mild Nonproliferatif Retinopati Diabetik: Microaneurysm only,
Moderate Nonproliferatif Retinopati Diabetik dan Severe Nonproliferatif
Retinopati Diabetik (Lubis, 2007).
2.3.5. Patofisiologi
Bentuk patofisiologi retinopati diabetik yang paling umum dijumpai adalah
cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh darah yang
terkena. Hal ini disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler, mekanisme
perubahannya tidak diketahui tetapi telah diteliti adanya perubahan endotel
vaskuler (penebalan membran basalis dan hilangnya perisit) dan gangguan
hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi platelet). Di sini perubahan
mikrovaskuler pada retina terbatas pada lapisan retina (intra retina). Karakteristik
pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multipel yang dibentuk oleh
kapiler – kapiler yang membentuk kantong-kantong kecil yang menonjol seperti
titik – titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, serta bercak
perdarahan intra retina. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan
berbentuk nyalaan api karena lokasinya di dalam lapisan serat saraf yang
berorientasi horizontal. Perdarahan dengan bentuk titik-titik atau bercak terletak di
Universitas Sumatera Utara
32
lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal (Lubis,
2007).
Edema makula merupakan stadium yang paling berat dari retinopati diabetik
non proliferatif. Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler
dan kebocoran plasma yang lanjut disertai iskemik pada dinding retina (cotton
wall spot), dan infark pada lapisan serabut saraf. Hal ini menimbulkan area non
perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang rusak.
Ciri khas dari edema makula adalah cotton wall spot, intra retina mikrovaskuler
abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti manik-manik. Bila satu dari
keempatnya dijumpai maka ada kecenderungan progresif (Lubis, 2007).
Retinopati diabetik non proliferatif dapat mempengaruhi fungsi penglihatan
melalui dua mekanisme yaitu: perubahan sedikit demi sedikit dengan
pembentukan kapiler dari intra retina yang menyebabkan iskemik makular dan
peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema makular
(Lubis, 2007).
Gambar 2.4: Diambil dari Advances in Diabetic Retinopathy menunjukkan alur
patogenesis berlakunya retinopati diabetik (Feener, 2008).
Universitas Sumatera Utara
33
2.3.6. Pemeriksaan Penunjang
Untuk dapat membantu mendeteksi secara awal adanya edema makula pada
retinopati diabetik non – poliferatif dapat digunakan Stereoscopic Biomicroscopic
dengan lensa +90 dioptri. Selain itu, Angiografi Fluoresens juga sangat
bermanfaat dalam mendeteksi kelainan mikrovaskularisasi pada retinopati
diabetik. Manakala dijumpai kelainan pada elektroretinografik juga memiliki
hubungan dengan keparahan retinopati dan dapat membantu memperkirakan
perkembangan retinopati (Lubis, 2007).
Gambar 2.5: Contoh gambar fundus berwarna. Dua yang pertama menunjukkan
gambar mata yang sehat sementara dua terakhir gambar berisi eksudat,
manifestasi dari retinopati (Silberman, 2010).
Gambar 2.6: Gambaran retina yang membingungkan. Gambar pertama berisi
Patch dengan intensitas warna yang sama dengan diskus optik dan dapat
menimbulkan kekeliruan dengan eksudatnya. Namun, komponen ini tidak
berhubungan dengan retinopati diabetik. Gambar kedua berisi artefak besar
Universitas Sumatera Utara
34
oftalmoskopi yang digunakan untuk melihat retina dan hasilnya mirip/hampir
sama dengan retinopati jika diperiksa dalam skala yang kecil (Silberman, 2010).
Tabel 2.3: Diagnosis tingkat klinis retinopati diabetik dan rujukan yang tepat
untuk dokter spesialis mata, berdasarkan grading gambar JVN lebih baik
dibandingkan dengan gradasi menggunakan Pengobatan Dini Retinopati Diabetika
Study (ETDRS) tujuh standar lapangan 35-mm stereo warna slides dan
pemeriksaan retina oleh dokter spesialis mata melalui saiz pupil yang melebar
(Cavallerano et al, 2005).
2.3.7. Penatalaksanaan
Pasien retinopati diabetik non-proliferatif tanpa edema makula dilakukan
pengobataan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik yang lainnya. Terapi
laser argon fokal terhadap titik – titik kebocoran retina pada pasien yang secara
klinis menunjukkan edema bermakna dapat memperkecil resiko penurunan
penglihatan dan meningkatkan fungsi penglihatan, sedangkan mata dengan edema
makula diabetik yang secara klinis tidak bermakna maka biasanya hanya dipantau
secara ketat terapi laser (Lubis, 2007).
Universitas Sumatera Utara
35
Pasien retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan pengobatan
dengan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan
kemungkinan perdarahan massif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara
menimbulkan regresi dan pada sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluh –
pembuluh darah yang baru tersebut. Diharapkan kemungkinan fotokoagulasi
panretina laser argon ini berkerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari
retina yang mengalami iskemik. Tekniknya berupa pembentukan luka – luka
bakar laser dalam jumlah sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur diseluruh
retina, tidak mengenai bagian sentral yang dibatasi oleh diskus dan pembuluh
vaskular temporal utama (Lubis, 2007).
Tabel 2.4: Diambil dari American Academy of Opthalmology menganjurkan
beberapa manajemen yang umum. Terapi berbeda mengikut individu, derajat
keparahan pasien, faktor resiko, penyakit sistemik lain dan lain – lain.
Universitas Sumatera Utara
36
Tabel 2.5: Diambil dari Current Diabetes Reviews, 2009, Metabolic Control and
Diabetic Retinopathy menunjukkan pengurangan atau penurunan resiko dengan
terapi yang intensif dan convensional (Rodriguez-Fontal*, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Download