BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Laporan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu entitas pada
suatu periode akuntansi. Laporan keuangan merupakan laporan periodik yang
disusun menurut prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum dengan
tujuan untuk melaporkan status keuangan dari suatu entitas. Laporan keuangan
dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja perusahaan (Usman,2013). Dapat
dikatakan bahwa laporan keuangan adalah suatu laporan yang digunakan untuk
melaporkan kinerjanya.
Laba dalam proses akuntansi adalah salah satu tolak ukur kinerja
perusahaan, yang secara akuntansi didefinisikan sebagai selisih dari pendapatan
dan beban perusahaan (Ghozali & Chariri, 2007). Laba pada dasarnya adalah
pengembalian atas sumber daya yang digunakan perusahaan pada proses
berjalannya perusahaan. Tingkat pengembalian ini menjadi salah satu alat ukur
kinerja perusahaan. Selain itu, laba dapat memberikan informasi untuk menduga
aliran kas pembagian dividen kepada shareholder (Usman,2013).
Manajemen laba adalah tindakan manipulasi akuntansi dengan tujuan
menampilkan laporan keuangan yang terkesan lebih baik (Mulford, 2002).
Beberapa teknik mengenai manajemen laba adalah dengan memanfaatkan
estimasi akuntansi, penggunaan metode akuntansi, merubah waktu pengakuan
biaya atau beban (Setiawati & Na'im, 2000 dalam Rahmawati et. al. 2006).
1
Manajemen laba dapat mengurangi transparansi bila keterangan terkait
manajemen laba tidak diberikan secara penuh. Saat perusahaan melakukan
manajemen laba secara ekstensif, laporan keuangan tidak lagi melaporkan
informasi perusahaan secara akurat (Chih et. Al, 2008). Dalam keadaan itu,
manajemen laba dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan
oleh pengguna laporan keuangan.
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep kewajiban
organisasi bisnis untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang bertujuan
melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan
(Yuliana et.al, 2008). CSR merupakan bentuk kontribusi perusahaan untuk
keberlangsungan kehidupan masyarakat di sekitarnya, baik secara sosial, ekonomi
maupun lingkungan masyarakat berdasarkan pertimbangan etis (Hadi, 2014). Di
Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan Terbatas mewajibkan kegiatan CSR untuk perusahaan yang
terkait dengan sumber daya alam (hukum-online.com), namun mekanisme bentuk
dan pelaporan masih diserahkan kepada perusahaan.
Pelaporan praktik CSR oleh perusahaan diperlukan sebagai bentuk
informasi pertanggungjawaban atas kegiatan CSR perusahaan. Selain itu, banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa pengaruh pengungkapan CSR dapat
berdampak positif bagi perusahaan. Yuliana et.al (2008) mengemukakan bahwa
luas cakupan pengungkapan CSR berpengaruh positif pada reaksi investor yang
diproksikan dengan abnormal return dan trading volume activity. Penelitian
2
Bidhari (2012) menunjukkan hal yang sama dengan menggunakan Return-OnAssets, Return-On-Eequity dan Return-On-Sales sebagai ukuran kinerja keuangan
perusahaan. Selain itu, perusahaan melakukan pelaporan CSR untuk memenuhi
ekspetasi stakeholder(Hadi, 2014).
Penelitian mengenai hubungan CSR dan manajemen laba dilakukan oleh
Scolten & Kang (2012) yang menyatakan bahwa perusahaan yang berkomitmen
dalam melakukan CSR akan mengurangi tindakan manajemen laba bila
dibandingkan dengan perusahaan yang kurang berkomitmen dalam melakukan
CSR. Jones (1995, dalam Scholtens & Kang, 2012) menyatakan bahwa
perusahaan dapat menghindari manajemen laba dengan melakukan pengungkapan
yang lebih. Peningkatan informasi dalam pengungkapan laporan keuangan akan
menurunkan asimetri informasi. Dengan demikian, peningkatan pengungkapan
menyebabkan fleksibilitas manajer untuk melakukan manajemen laba akan
berkurang karena berkurangnya asimetri informasi antara manajemen dengan
stakeholders. Penelitian Chih et.al.(2008), juga menemukan bahwa semakin
perusahaan berkomitmen dalam melakukan CSR semakin sedikit pula indikasi
perusahaan dalam melakukan manajemen laba. Lebih jauh Chih. et. al (2008)
mengemukakan perusahaan yang berkomitmen dalam melakukan CSR dan mau
ikut berkotmitmen dalam pembangunan sosial tidak akan menyembunyikan
pengakuan
pendapatan
dan
beban
yang
dapat
merugikan
perusahaan.
Sebagiamana dilihat dari prespektif etis, perusahaan yang mau berkomitmen
dalam CSR tidak hanya berfokus pada pertumbuhan perusahaan saja namun juga
ikut andil dalam perkembangan sosial dan masyarakat.
3
Selain itu, Scholtens & Kang (2012) juga menemukan bahwa karakteristik
perusahaan akan berpengaruh terhadap hubungan manajemen laba. Mereka
menggunakan ukuran perusahaan, profitabilitas dan leverage sebagai proksi
karakteristik perusahaan. Karaktristik perusahaan dianggap dapat mempengaruhi
keputusan manajemen atas kebijakan mengenai CSR dan manajemen laba.
Sebagai contoh, semakin besar ukuran perusahaan maka tekanan untuk melakukan
CSR akan semakin besar, hal ini sesuai dengan teori stakeholder dimana
perusahaan akan mendapatkan tekanan dari stakeholder. Di sisi lain insentif untuk
melakukan manajemen laba akan semakin kecil, dikarenakan perusahaan yang
relatif besar akan lebih diawasi oleh stakeholder.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bukti empiris dan mengetahui
apakah praktik pengungkapan CSR akan mengurangi perilaku manajemen laba
oleh perusahaan, dengan menggunakan penelitian Scholten & Kang (2012)
sebagai dasar dari penelitian ini. Scholten & Kang melakukan penelitian di daerah
asia untuk menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat pengungkapan CSR
memiliki tingkat manajemen laba yang kecil. Scholten & Kang menggunakan data
laporan Asian Sustainability Rating(ASR) untuk mengukur kegiatan CSR dari 200
perusahaan di 10 negara. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang memiliki laporan keuangan tahun 2013.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, rumusan
masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana pengaruh pengungkapan CSR dan karakteristik perusahaan terhadap
4
manajemen laba di Indonesia?”
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
dari
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
hubungan
pengungkapan CSR dan praktik manajemen laba, serta bagaimana karakteristik
perusahaan mempengaruhi hubungan tersebut.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
 Bagi peneliti, peneilitian ini diharapkan dapat mampu memberikan
kontiribusi pada dalam pengembangan teori mengenai CSR dan
manajemen laba.
 Penelitian ini diharapkan membantu perusahaan mengevaluasi kembali
mengenai kebijakkan penerapan CSR
 Penelitian ini diharapkan dapat membantu pengguna laporan keuangan
untuk lebih memahami kinerja perusahaan
1.4
Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis ke dalam lima bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN, bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang
penelitian, tujuan, dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, bab ini berisi landasan teori yang menguraikan
pengertian dari manajemen laba, CSR, dan karakteristik perusahaan. Bab ini juga
berisi kerangka pemikiran teoritis dan hipotesis penelitian yang disajikan dalam
penelitian ini.
BAB III METODE PENELITIAN, menguraikan tentang variabel penelitian,
definisi operasional, penentuan sampel, jenis dan sumber data, metode
5
pengumpulan data serta metode analisis.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN, bab ini akan menguraikan tentang hasil
dari penelitian yang telah dilakukan.
BAB V PENUTUP, baba ini berisi kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian dan
pembahasan pada bab-bab sebelumnya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu
Bagian ini akan membahas teori-teori yang ada dan mencoba menjelaskan
variabel-variabel dalam penelitian ini.
2.1.1 Corporate Social Responsibility (CSR)
Dalam teori stakeholder dikatakan bahwa perusahaan bukan entitas yang
beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus juga memberika manfaat
bagi stakeholdernya Ghozali dan Chariri, 2007). Stakeholder adalah pihak-pihak
yang dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi perusahaan. Hadi (2014)
menjelaskan terjadi pergeseran paradigma perusahaan, yang selama ini lebih ke
shareholder atau pemilik menjadi ke arah stakeholder-nya, dimana perusahaan
yang lebih berfokus pada kepentingan shareholder saja namun juga pada
kepentingan stakeholder. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah satu
bentuk kegiatan perusahaan untuk menjalin hubungan dengan stakeholder (Hadi
2014). Hal ini dikarenakan, ada konntrak sosial yang terjadi antara perusahaan
dengan masyarakat secara luas. Perusahaan menggunakan sumber-sumber daya
yang
berada
di
masyarakat.
Stakeholder
memiliki
kemampuan
untuk
mempengaruhi pemakaian sumber-sumber daya tersebut (Ghozali dan Chariri,
2007). Ketika stakeholder mengendalikan sumber daya yang penting bagi
perusahaan, maka perusahaanakan bereaksi dengan cara memuaskan keinginan
stakeholder (Ullman 1985, dalam Ghozali dan Chariri, 2007).
7
2.1.1.1 Definisi dan Motivasi Corporate Social Responsibility(CSR)
World Business Council for Sustainabale Development (WBCSD)
mendefinisikan CSR sebagai komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk
memberikan kontribusi kepada pengembangan secara sosial maupun ekonomi
untuk komunitas setempat ataupun masyarakat luas. Hadi (2014) mendefinisikan
CSR sebagai tindakan perusahaan dengan pertimbangan etis yang diarahkan untuk
pengembangan kualitas masyarakat secara luas. Urip (2010) beranggapan CSR
secara luas dinilai sebagai ikatan tanggung jawab yang layak dijalankan untuk
mencapai manfaat berkelanjutan. UU. No. 40 tahun 2007 menegaskan tanggung
jawab sosial dan lingkungan merupakan komitmen perusahaan untuk berperan
serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas dan
lingkungan yang bermanfaat.
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulakan CSR merupakan strategi
perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya
untuk tujuan pertumbuhan berkelanjutan, selain itu perusahaan mempunyai fokus
tidak hanya pada manfaat bagi diri sendiri, namun ikut ambil berperan dalam
proses pertumbuhan masyarakat dan lingkungan. Dalam konsep triple bottom line
yang dikembangkan John Elkington (Urip 2010), dikenal konsep 3P yaitu profit,
people dan planet, profit yaitu, tujuan perusahaan untuk mencapai keberlanjutan
ekonomi, people yaitu menjamin kemakmuran masyarakat, dan planet menjamin
lingkungan yang kondusif. Ketiganya harus berjalan secara sinergis dan
berkesinambungan agar tercipta iklim perusahaan yang baik sehingga eksistensi
perusahaan juga terjamin dengan citra atau reputasi positif yang didapatkan dari
8
legitimasi masyarakat (Urip 2010).
Ada beberapa motivasi perusahaan dalam melakukan kegiatan CSR.
Ambadar (2008 dalam Anatan 2010) mengemukakan beberapa motivasi dan
manfaat yang diharapkan perusahaan dengan melakukan tanggung jawab sosial
perusahaan meliputi :
1. perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya
mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan akibat dari
perilaku buruk perusahaan,
2. kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan
karyawan menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja di
lingkungan dimana perusahaan bekerja,
3. perusahaan mendapat rasa hormat dari kelompok inti masyarakat yang
membutuhkan keberadaan perusahaan khususnya dalam hal penyediaan
lapangan pekerjaan
4. perilaku etis perusahaan aman dari gangguan lingkungan sekitar sehingga
dapat beroperasi secara lancar.
2.1.1.2 Pengungkapan CSR
Pengungkapan sosial merupakan proses mengungkapkan informasi terkait
kinerja dan manfaat kebijakan CSR perusahaan (Ghozali & Chariri, 2007). Hadi
(2014) mendefinisikan laporan CSR sebagai laporan aktivitas CSR perusahaan
berkaitan dengan masalah sosial dan lingkungan. Jadi, praktik pengungkapan CSR
adalah proses komunikasi dan pertanggungjawaban perusahaan mengenai
kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan kepada stakeholder-nya.
9
Di Indonesia, pengungkapan CSR diatur dalam peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam) No. KEP-431/BL/2012 poin 2g. Peraturan tersebut
mengatur pelaporan CSR meliputi kebijakan, jenis dan biaya yang dikeluarkan,
terkait aspek lingkungan, ketenagakerjaan, pengembangan sosial dan produk.
Selain itu UU. No. 40 tahun 2007, juga mengatur kewajiban pelaporan kegiatan
CSR pada perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam.
Namun elemen pelaporan CSR terus diperdebatkan. Salah satunya adalah,
pandangan bahwa pelaporan CSR seharusnya tidak hanya mengukur data-data
keuangan yang dikeluarkan perusahaan saja namun juga mengukur manfaat dan
keefektifan dari program tersebut (Hadi, 2014). Sehingga diperlukan sebuah
mekanisme pelaporan yang diperlukan untuk mengukur dan menjelaskan kegiatan
dan mafaat CSR perusahaan secara detail. Konsep yang dikenal dengan Laporan
CSR adalah bagian dari laporan berkelanjutan yang berfokus pada kegiatankegiatan CSR perusahaan dan bersifat sukarela dalam pengungkapannya.
Ada beberapa alasan yang menjadi motivasi bagi manajer dalam
melakukan pengungkapan CSR. Deegan (2002, dalam Ghozali & Chariri 2007)
berpendapat antara lain :
1. Keinginan untuk patuh terhadap persyaratan.
2. Pertimbangan rasionalitas ekonomi.
3. Keyakinan dalam proses akuntabilitas.
4. Keinginan untuk mematuhi persyaratan peminjaman.
5. Memenuhi ekspetasi masyarakat.
6. Kosekuensi dari ancaman terhadap legitimasi masyarakat.
10
7. Untuk memanage stakeholder.
8. Untuk menarik dana investasi.
9. Mematuhi persyaratan industri.
10. Untuk memenangkan penghargaan pelaporan tertentu.
Post (2002, dalam Hadi 2014) secara ringkas, membagi motivasi
perusahaan dalam melakukan pengungkapan CSR dapat kedalam :
1.
Motivasi ekonomi. CSR sebagai alat untuk menarik dana investasi, menaikan
nilai perusahaan, mendapatkan nilai IPO tinggi, mematuhi persyaratan debitor
dan sebagainya.
2.
Motivasi hukum. Berkaitan dengan usaha perusahaan dalam mendapatkan
legitimasi dalam menjalankan operasinya. Dengan mematuhi peraturanperaturan yang berlaku.
3.
Motivasi sosial. Memenuhi ekspetasi dari stakeholder terhadap perusahaan
atau sebuah aktualisasi visi dan misi perusahan.
Global Reporting Initiative (GRI) sebuah organisasi non-profit yang
mempromosikan konsep economic sustainability dan sustainability reporting.
Mereka mengenalkan sebuah pedoman untuk melaporkan kegiatan CSR.
Pedoman ini, yang dikenal dengan GRI Sustainabilty Reporting Guidelines atau
lebih dikenal dengan inisial GRI, telah secara resmi diluncurkan di Asia Tenggara
dan diterbitkan dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia dan mencapai versi 4
(Globalreporting.org). Walau telah mencapai versi 4, penelitian ini akan
menggunakan GRI versi 3.1. Alasan dalam hal ini adalah, GRI versi 4 dirilis pada
pertengahan tahun 2013 secara internasional (Globalreporting.org) dan pada
11
umumnya perusahaan yang menggunakan pedoman GRI masih dalam masa
transisi dari GRI 3 ke GRI 4. Dalam GRI3.1, informasi pengungkapan mengenai
CSR dibagi menjadi aspek-aspek :
 Ekonomi
 Lingkungan
 Tenaga kerja
 HAM
 Masyarakat
 Produk
2.1.2 Manajemen Laba
Pada teori agensi dikatakan bahwa perusahaan adalah sekumpulan
hubungan kontraktual, dimana perusahaan merupakan hubungan kontrak prinsipal
sebagai pemberi dan agen sebagai penerima (Jensen & Mackling, 1976, 2000) dan
berfokus pada hubungan kontraktual antara pemilik dan manajer. Dalam teori
tersebut pemilik mendelegasikan wewenang untuk mengurus perusahaan kepada
manajer untuk mengurus perusahaan dan manajer mendapatkan imbalan atas
kinerjanya. Terdapat dua masalah dalam hubungan ini yaitu perbedaan
kepentingan dan perbedaan informasi antara pemilik dan manajer (Djuitaningsih
& Marsyah, 2012). Jensen & Meckling (1976, 2000) mengatakan jika kedua belah
pihak hubungan tersebut adalah utility maximizer, ada alasan kuat untuk percaya
bahwa agen tidak akan bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal dan
dapat mengakibatkan konflik kepentingan dimana masing-masing pihak berusaha
untuk memaksimalkan kepentingan masing-masing. Selain itu perbedaan
12
informasi yang didapat masing-masing pihak dapat merupakan masalah lain yang
terjadi (Djuitaningsih & Marsyah, 2012). Manajer yang terlibat langsung dalam
proses operasi perusahaan sehari-harinya akan mempunyai informasi yang lebih
baik dibanding pemilik (Sutedja, 2004). Perbedaan informasi antara manajemen
dan pemilik perusahaan tersebut dapat memberikan kesempatan kepada manajer
untuk melakukan manajemen laba untuk menyesatkan pemilik perusahaan
mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Teori akuntansi positif yang dikembangkan Watts dan Zimmerman (1986,
dalam Ghozali & Chariri) adalah suatu teori akuntansi yang berusaha
mengungkapkan bahwa faktor-faktor ekonomi tertentu atau ciri-ciri suatu unit
usaha tertentu bisa dikaitkan dengan perilaku manajer atau para pembuat laporan
keuangan.
Teori
ini
menjelaskan
dan
memprediksi
kosekuensi
yang
melatarbelakangi perilaku manajer (Ghozali & Chariri, 2007). Manajemen laba
diduga dilakukan oleh manajer dalam proses pelaporan keuangan suatu organisasi
karena mereka mengharapkan suatu manfaat dari tindakan yang dilakukan,
dengan mengasumsikan perilaku manajer adalah tindakan rasional dan
mempunyai kewenangan dalam menentukan metode akuntasi (Gumanti, 2000).
Manajemen laba dalam teori akuntasi positif adalah tidak hanya sebagai sebuah
perilaku oportuistik manajemen saja, dan mencoba menjelaskan
beberapa
motivasi lain yang melatarbelakangi manajemen laba. Salah satunya adalah
Debt/Equity hypothesis dimana manajemer dalam menghindari rasio debt/equity
yang tinggi akan menggunakan metode-metode akuntansi yang akan mengurangi
rasio tersebut. Selain itu dalam political cost hypothesis dikatakan manajemen
13
laba bisa saja terjadi untuk mengurangi biaya-biaya politik yang dapat terjadi.
2.1.2.1 Definisi dan Motivasi Manajemen Laba
Mulford (2002) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan
manipulasi akuntansi dengan tujuan yang terkesan lebih baik untuk keperluan
manajer atau perusahaan. Healy dan Wahlen (1999) mengatakan manajemen laba
terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan dalam pelaporan keuangan dan
penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan. Schipper (1989)
mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu
terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja. Gumanti (2000)
berpendapat bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer, mempunyai dorongan
untuk melakukan manajemen laba untuk mempengaruhi hasil-hasil dari sebuah
kontrak. Jadi dapat disimpulkan bahwa, manajemen laba adalah tindakan manajer
atau perusahaan dalam merubah item-item dalam laporan keuangan menggunakan
kebijakan akuntansi untuk mempengaruhi laba perusahaan.
Magnan dan Cormier (1997 dalam Gumanti, 2000) menjelaskan tiga
sasaran yang dapat dicapai oleh manajer sehubungan dengan praktek manajemen
laba , yaitu minimalisasi biaya politis, maksimalisasi kesejahteraan manajer, dan
minimalisasi biaya finansial. Watts & Zimmerman (1986, dalam Ghozali &
Chariri, 2007) berhipotesis motivasi-motivasi manajer dan perusahaan dalam
melakukan manajemen laba :
1. Bonus Plan Hypothesis, yaitu manajer menggunakan metode akuntansi
yang meningkatkan laba dengan harapan meningkatkan nilai bonus.
2. Debt/equity Hypothesis, semakin tinggi rasio debt/equity semakin
14
perusahaan mendekati batas perjanjian kredit. Semakin mendekati batas
tersebut maka besar kemungkinan manajer menggunakan metode
akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengendurkan
batasan kredit (Ghozali dan Chariri, 2007)
3. Political
Cost
Hypothesis,
diduga
perusahaan
besar
cenderung
menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodik
dibandingkan perusahaan kecil untuk menghindari tekanan politik
(Ghozali dan Chariri, 2007).
2.1.2.2 Teknik Manajemen Laba
Mulford (2002) membagi perilaku manajemen laba menjadi tiga jenis,
yaitu praktik income smoothing (perataan laba), dimana tujuan dari manajemen
adalah untuk menstabilisasikan laba), aggresive acounting (akuntansi agresif),
dimana
dilakukan
pemilihan
metode
akuntansi
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan laba dalam laporan laba rugi, dan laporan keuangan bermuatan
kecurangan (fraudulent financial reporting) dimana dilakukan pelaporan peristiwa
ekonomi yang tidak terjadi atau penghilangan akun dalam akuntansi. Setiawati &
Na'im (2000 dalam Rahmawati et. al. 2006) membagi teknik manajemen laba
terkait dengan akuntansi, ke dalam tiga teknik yaitu:
 pemilihan metode akuntansi, dilakukan dengan cara memilih metode
akuntansi yang dapat menaikkan atau menurunkan laba.
 klasifikasi sistem akuntansi, dengan menetapkan standar tentang
penggolongan dan pengungkapan pos luar biasa.
 pengaturan waktu transaksi, menaikkan atau menurunkan laba melalui
15
pengukuran waktu transaksi, sperti pengakuan pendapatan.
2.1.2.3 Manajemen laba dan Akrual
Akrual dapat didefinisikan sebagai selisih laba buku dengan kas (Kustinah
2011), yang terjadi karena kebijakkan akuntansi akrual sedangkan laba adalah
selisih antara pendapatan dan biaya. Akrual muncul karena metode-metode
akuntansi seperti depresiasi, cadangan kerugian, dan sebagainya. Dalam riset
akuntansi, akrual total adalah seluruh akrual yang timbul dalam satu periode
waktu. Total akrual memiliki dua bagian yaitu: nondiskresioner dan diskresioner.
Akrual diskresioner adalah akrual yang tidak memiliki hubungan dengan
fenomena ekonomik perusahaan dan muncul dari kebijakan manajemen saja.
Akrual nondiskresioner adalah bagian akrual yang variasinya dapat dijelaskan
oleh variasi fenomena ekonomik perusahaan. Sebagai contoh, ketika aset semakin
besar maka akrual melalui beban depresiasi juga akan makin besar. Akrual
diskresioner adalah penambahan akrual yang disebabkan keputusan-keputusan
manajer terkait metode ataupun estimasi dalam akuntansi (Rahayu, 2009).
Pada riset akuntansi umumnya, pendeteksian akrual dilakukan dengan
menggunakan persamaan model Jones. Model Jones dianggap paling baik dalam
memperhitungkan akrual karena memperhitungkan item akuntansi yang diduga
dapat mempengaruhi akrual (Rahayu, 2009). Secara umum, model Jones dianggap
baik untuk mendeteksi manajemen laba. Namun terdapat kelemahan mengenai
model Jones, yaitu model Jones menggunakan pendapatan sebagai bagian dari
perumusan akrual total, yang menandakan bahwa asumsi model Jones adalah
pendapatan bukan bagian dari diskresioner akrual. Bila ternyata manipulasi
16
dilakukan dengan menggunakan pendapatan maka
akrual diskresioner akan
cenderung bias ke nilai nol (Jones 1991, dalam Rahayu 2009). Dechow et. al.
(1995 dalam Rahayu 2009) memodifikasi model Jones tersebut dengan
mengurangkan variabel perubahan piutang dari variabel perubahan pendapatan
untuk mengestimasi akrual non-diskresioner. Hal ini berdasarkan asumsi lebih
mudah melakukan manipulasi pendapatan dengan menggunakan penjualan kredit
dibandingkan menggunakan penjualan kas (Rahayu, 2009).
2.1.3 Karakteristik Perusahaan
Penelitian Scholten & Kang (2012) menemukan bahwa karakteristik
perusahaan mempunyai pengaruh terhadap bagaimana CSR mempengaruhi
manajemen laba. Penelitian ini sejalan dengan teori tersebut, menggunakan
ukuran perusahan, profitabilitas dan leverage sebagai proksi dari karakteristik
perusahaan.
2.1.3.1. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya kekayaan yang dimiliki
suatu perusahaan. Pengukuran perusahaan bertujuan untuk membedakan secara
kuantitatif antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil (Purwanto 2011). Ada
dua pandangan mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap manajemen laba.
Pandangan pertama, sejalan dengan political cost hypothesis teori akuntansi
positif (Watts & Zimmerman 1986, dalam Ghozali dan Chariri 2007), berpendapat
bahwa ukuran perusahaan akan berpengaruh secara postif terhadap manajemen
laba, dimana ketika perusahaan semakin besar maka diduga motivasi perusahaan
untuk melakukan manajemen laba semakin besar pula untuk menghindari biaya-
17
biaya politis (Ghozali dan Chariri, 2007). Biaya-biaya politis yang dimaksud
adalah peraturan-peraturan yang dapat meberatkan perusahaan seperti pajak,
ancaman akan peraturan baru maupun pembatasan sumber daya. Chih et. al.(2008)
mengatakan ada tekanan dari pasar modal pada perusahaan besar, yang dapat
menjadi insentif manajemen melakukan manajemen laba untuk membuat laporan
keuangan yang lebih menarik. Di sisi lain terdapat pandangan ukuran perusahaan
mempunyai pengaruh negatif terhadap manajemen laba. Argumen pandangan
tersebut, ketika ukuran perusahaan semakin besar maka semakin besar pula
perhatian stakeholder
mengenai perusahaan yang mengakibatkan keleluasan
manajer dan perusahaan berkurang (Handayani dan Rachadi 2009),dan
mengakibatkan berkurangnya insentif manajemen untuk melakukan manajemen
laba. Penelitian Scholtens dan Kang (2012) mengindikasikan hal yang sama
dimana perusahaan besar lebih sedikit terkait manajemen laba dibandingkan
perusahaan kecil. Ada beberapa cara untuk mengukur ukuran perusahaan.
Beberapa diantaranya ialah, dengan menggunakan penjualan bersih, nilai
kapitalisasi pasar dan total aset. Penelitian ini menggunakan total aset sebagai
proksi ukuran perusahaan, dikarenakan total aset relatif konstan dan tidak
terpengaruh oleh pasar sehingga lebih valid untuk digunakan (Purwanto, 2011).
2.1.3.2 Profitabilitas
Profitabilitas
menunjukkan
tingkat
kemampuan
perusahaan
untuk
menghasilkan keuntungan atau laba. Profitabilitas merupakan tingkat keuntungan
bersih yang berhasil diperoleh perusahaan dalam menjalankan operasionalnya.
Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah diduga memiliki
18
kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan manajemen laba (Scholten
& Kang, 2012). Hal ini karena motivasi manajemen untuk menampilkan laporan
keuangan yang lebih menarik, baik bagi investor, pemilik hingga stakeholder.
Sebaliknya, ketika perusahaan memiliki kinerja perusahaan yang baik maka
perilaku oportunistik dari pihak manajemen dalam tindakan manajemen laba akan
menurun. Di sisi lain, terdapat pandangan bahwa perusahaan dengan profitabilitas
tinggi cenderung melakukan manajemen laba dengan teknik perataan laba (Dewi
& Prasetiono 2012). Hal ini dilakukan untuk menampilkan kesan pertumbuhan
laba yang stabil, dengan menggeser laba pada periode dimana perusahaan
beroperasi dengan baik untuk digunakan pada periode dimana perusahaan
mempunyai kinerja yang buruk. Aryani (2011) menemukan bahwa secara parsial
ROA tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap manajemen laba namun
secara simultan dengan leverage dan ukura perusahaan, ROA mempunyai
pengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
2.1.3.3. Leverage
Leverage adalah penggunaan assets dan sumber dana oleh perusahaan
yang memiliki biaya tetap dengan maksud agar meningkatkan keuntungan
potensial perusahaan. Penelitian ini menggunakan debt-to-equity ratio sebagai
ukuran leverage yang menunjukkan seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh
hutang. Pada debt/equity hypothesis (Watts & Zimmerman 1986, dalam Ghozali
dan Chariri, 2007) dijelaskan bahwa besarnya tingkat
leverage dapat
mempengaruhi tindakan manajemen laba. Leverage yang tinggi mengindikasikan
kekayaan perusahan berasal lebih banyak dari kewajibannya dibandingkan
19
ekuitasnya secara umum dipandang sebagai kondisi perusahaan yang buruk dan
menurunkan minat investor maupun debitor terhadap perusahaan. Ada beberapa
penelitian yang meneliti pengaruh leverage terhadap manajemen laba, diantaranya
Aryani (2011), Naftalia (2013) yang menemukan bahwa pengaruh leverage secara
signifikan berpegaruh signifikan terhadap manajemen laba. Berlawanan dengan
hal itu, Jao & Pagalung (2011) menemukan bahwa pengaruh leverage tidak
signifikan terhadap manajemen laba dan beragurmen bahwa manajemen laba tidak
menyelesaikan resiko default perusahaan, dimana perusahaan tidak dapat
memenuhi kewajibannya. Untuk itu penelitian ini mencoba membantu
mendefinisikan hubungan tersebut.
2.1.4 Penelitian Terdahulu
Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai penelitian-penelitian terdahulu
mengenai
hubungan-hubungan
Manajemen
Laba
dan
Corporate
Social
Responsibility.
Penelitian Scholtens & Kang (2012), melakukan penelitian bagaimana
CSR dan investor protection mempengaruhi EM di wilayah asia. Menggunakan
earning smoothing dan earning aggressiveness sebagai ukuran manajemen laba.
Data CSR berdasarkan data yang dikeluarkan Asian Sustainability Reporting
(ASR) tahun 2009. Hipotesis mereka adalah ada hubungan negatif antara CSR dan
EM. Penelitian dilakukan menggunakana data 139 perusahaan yang tersebar di 10
negara asia periode 2004-2008. Penelitian mereka menemukan bahwa perusahaan
yang melakukan CSR akan sedikit terkait dengan EM.
Penelitian Chih et.al (2008),
meneliti efek CSR terhadap kualitas
20
informasi keuangan. Penelitan tersebut menggunakan sampel 653 perusahaan di
46 negara dengan periode 1993-2002. Pengukuran EM menggunakan 3 proksi,
yaitu earning smoothing, earning aggressiveness dan earning losses avoidance.
Pengukuran CSR menggunakan database FTSE4 Good Global Indexes. Hasil
penelitiannya menunjukkan adanya hubungan negatif antara CSR dengan earning
smoothing dan earning loss avoidance, namun menunjukkan hubungan postif
antara CSR dengan earnings aggressiveness.
Penelitian Kim et.al (2012),
melakukan penelitian dengan mengukur
variabel dependen EM dengan discretionary akrual, real activities manipulation
dan accounting & auditing enforcment releases. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan sampel 23.391 perusahaan di Amerika Serikat dengan rentang
waktu 1991-2009. Mereka mengemukakan bahwa perusahaan yang melakukan
CSR akan lebih sedikit melakukan EM melalui discretionary akrual, melakukan
real activities manipulation dan terdaftar dalam daftar investigasi Securitites &
Exchange Commission.
Penelitian Yip. et. al ((2011), meneliti 110 perusahaan yang terdiri dari 80
perusahaan makanan dan minuman dan 30 perusahaan minyak dan gas. Hubungan
negatif antara CSR dan manajemen laba terjadi pada industri minyak dan gas.
Hubungan positif terjadi pada industri makanan dan minuman. Yip. et. Al
berpendapat bahwa hal ini menunjukan hubungan CSR dan manajemen laba lebih
didasari pertimbangan politis.
Penelitian Prior et.al (2007) meneliti hubungan manajemen laba dan CSR
dengan sampel 593 perusahaan dari 26 negara periode 2002-2004. Mengunakan
21
model jones untuk mengukur manajemen laba dan data Sustainable Investment
Research International Company (SiRi). Hasil peneliitian tersebut menunjukan
adanya manajemen laba berpengaruh positif terhadap CSR.
Penelitian-penelitian tersebut terangkum dalam tabel berikut :
Peneliti
Variabel
Tabel 1.1.
Penelitian Terdahulu
Sampel Hasil
Dependen Inpen Kontrol
den
Scholtens Manajeme CSR
& Kang n Laba (
(2012)
earning
smoothing
, earning
aggressive
ness)
Proteksi
Investor
Ukuran
ROA
Debt-to-equity
rasio
GDP/capita
Inflasi
139
perusah
aan di
10
negara
periode
20042008
CSR
berpengaruh
negatif
terhadap
manajemen
laba
namun
berpengaruh
positih
terhadap
earning aggressiveness
Prpteksi
investor
berpengaruh
negatif
terhadap manajemen
laba
Chih. et. Manajeme CSR
Al (2008) n
Laba
(Earning
smoothing
, earning
loss
avoidance,
earning
aggressive
ness)
Proteksi
Investor
Total aset
Market-to-book
ratio
Debt-to-equity
ratio
Big five auditor
GDP/capita
653
perusah
aan di
46
negara
periode
19932002
CSR
berpengaruh
negatif
terhadap
manajemen
laba
(earning
smoothing,
dan
earning
loss
avoidance)
CSR
berpengaruh
positif
terhadap
earning aggressiveness
Kim. et. Manajeme CSR
Al(2012) n
Laba
(dikresion
er akrual,
real
activities
manipulati
on
dan
Accountin
Ukuran, marketto-book ratio,
ROA, Big 4
auditor,
leverage,
itensitas R&D
dan advertising,
governance,
umur
23.391
tahun
perusah
aan di
Amerik
a
Serikat
CSR
berpengaruh
negatif
terhadap
manajemen
laba
melalui
akrual
diskresioner
dan
manipulasi aktivitas riil
dan perusahaan yang
melakukan CSR jarang
terlapor di AAER.
22
g
and
Auditing
Enforcem
ent
Releases)
Yip et. al Manajeme CSR
(2010)
n Laba
perusahaan,
Fortune's
admired list
Ukuran,
Leverage,
ROA,
Pertumbuhan
Penjualan
Prior et. CSR
Manaj Itensitas R&D
al (2007) CFP
emen Kosentrasi
(Corporate Laba Kepemilikan
Financial
Kepemilikan
Performan
Institutional
ce)
Risk prefrence
Ukuran
Leverage
Sumber
daya
finansial(arus
kas/total aset)
2.2
110
Adanya
hubungan
perusah negatif antara CSR dan
aan
manajemen laba yang
dipengaruhi
pertimbangan politis.
593
perusah
aan di
26
negara
periode
20022004
Manajemen
laba
berpengaruh
positif
pada CSR
CSR
berpengaruh
signifikan pada kinerja
keuangan perusahaan.
Kerangka Pemikiran
Stakeholder membutuhkan informasi mengenai keadaan perusahaan. Salah
satunya ialah pelaporan CSR. Pelaporan CSR dapat membatu perusahaan dalam
mendapatkan legitimasi atas kegiatan perusahaan dengan asumsi stakeholder
mempunyai ekspetasi tersebut terhadap perusahaan. Di Indonesia, UU. 40 tahun
2007 mewajibkan perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam untuk
melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR. Pada peraturan tersebut di bab 1
pasal 2 menyebutkan
“Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang
tidak bertentangan dengan ketentuan perundangan, ketertiban umum
dan/atau kesusilaan”
Pasal 1 ayat 3 juga menyebutkan :
23
“Tanggungjawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk
berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi
perseroan, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya”
Dengan peraturan tersebut, pemerintah secara implisit mengajak
perusahaan untuk merubah prespektif perusahaan untuk tidak hanya fokus pada
pengembangan kesejahteraan entitas yang terkait perusahaan saja. Perusahaan
diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara praktik bisnisnya dan hubungan
sosial ke masyarakat.
Di sisi lain perusahaan dan manajer dituntut untuk terus berkinerja baik
secara finansial. Tuntutan ini dapat menjadi insentif untuk melakukan manajemen
laba. Laba adalah salah satu komponen penting yang dijadikan alat ukur kinerja.
Maanajemen laba walau diperbolehkan hingga tahap tertentu, mengurangi
transparansi laporan keuangan dan secara etis melanggar hak-hak atas transparansi
laporan keuangan perusahaan. Pihak investor yang menentukan keputusan
berdasarkan laporan keuangan dapat terjebak dan melakukan kesalahan dalam
mennetukan keputusan terkait laporan keuangan.
Beberapa penelitian telah mencoba meneliti hubungan antara manajemen
laba dan CSR. Penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Chih et.al (2008),
Yip et.al (2011), Scholtens dan Kang (2012) serta Kim et.al (2012). Penelitian –
penelitian tersebut menemukan bahwa CSR berpengaruh secara negatif terhadap
manajemen laba. Lain halnya dengan penelitian Prior et.al (2008) yang
menemukan bahwa praktik CSR dapat dilakukan manajemen untuk menutupi
24
praktik manajemen laba yang dilakukan. Penelitian tersebut berargumen bahwa
CSR dijadikan alat untuk mengamankan posisi manajer dari ancaman stakeholder.
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran
Pengungkapan
CSR
Manajemen
Laba
Karakteristik
Perusahaan
Berdasarkan permasalahan tesebut, kajian teoritis dan penelitian terdahulu
penelitian ini mencoba untuk menguji hubungan antara pelaporan CSR dengan
manajemen laba. menggali lebih dalam keterkaitan antara manajemen laba
(earnings
management)
dan
pelaporan
CSR
(CSR
disclosure)
dengan
menggunakan hubungan dua arah di antara keduanya.. Berikut adalah kerangka
pemikiran yang dapat digambarkan dalam bentuk diagram skematik
2.3
Hipotesis
2.3.1 CSR dan Manajemen Laba
Telah disebutkan bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan
terhadap masyarakat. Perusahaan yang berkontribusi terhadap CSR tidak hanya
berfokus pada profit, namun juga ikut andil dalam pengembangang kesejahteraan
masyarakat. Menurut Chih et.al (2008) perusahaan yang secara sosial
bertanggungjawab tidak akan menyembunyikan realisasi pendapatan yang tidak
25
diinginkan, dan karenanya tidak akan melakukan manajemen laba. Caroll (1979
dalam Kim et.al 2011) juga menyatakan bahwa CSR adalah tanggung jawab etis
perusahaan, sehingga dalam kewajiban moral perusahaan diduga membatasi
praktik manajemen laba dan membuat kebijakan yang bertanggung jawab.
Penelitian Scholten dan Kang (2012)
menunjukkan hubungan negatif
antara CSR terhadap manajemen laba, dan menemukan perusahaan dengan tingkat
CSR yang relatif baik secara signifikan berhubungan negatif terhadap manajemen
laba. Chih et. al (2008) menemukan hasil serupa dan mengatakan CSR dapat
meningkatkan transparansi dan mengurangi kesempatan manajemen dalam
melakukan manajemen laba. Kim et.al (2011) meneliti kemungkinan perusahaan
yang berkontribusi terhadap CSR dan menemukan praktik manajemen laba melalu
akrual diskresioner cenderung rendah dan berkesimpulan sama. Berdasarkan datadata diatas , maka hipotesis dirumuskan sebagai berikut :
H1a
:
Pengungkapan CSR berpengaruh negatif terhadap Manajemen laba.
2.3.2 Karakteristik Perusahaan, CSR dan Manajemen Laba
Semakin besar perusahaan maka stakeholder perusahaan maka akan
semakin luas. Stakeholder mempunyai ekspetasi terhadap perilaku perusahaan,
salah satunya berkaitan dengan CSR. Purwanto (2011) menemukan bahwa
semakin besar perusahaan maka semakin luas pengungkapan CSR oleh
perusahaan. Selain itu, Scholten dan Kang (2012) juga menemukan bahwa
perusahaan besar cenderung lebih sedikit dibandingkan perusahaan kecil dalam
melakukan manajemen laba. Hubungan ini dapat didefinisikan sebagai berikut,
ketika perusahaan semakin besar maka ekspetasi stakeholder terhadap perusahaan
26
untuk berprilaku etis akan semakin besar, salah satunya adalah kegiatan dan
pengungkapan CSR. Perilaku etis perusahaan bertentangan dengan tindakan
manajemen laba dan oleh karenanya perusahaan akan lebih bertanggung jawab
dalam melakukan kebijakan akuntansi.
Profitabilitas
adalah
salah
satu
variabel
yang digunakan
untuk
mempredikisi pengungkapan CSR perusahaan. Perusahaan dengan tingkat
profitabilitas baik secara umum memiliki dana yang lebih dan dengan teori etis
perusahaan mempunyai motivasi untuk melakukan kegiatan CSR dan mengurangi
perilaku manajemen laba. Purwanto (2011) menemukan bahwa profitabilitas
perusahaan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR
perusahaan dan berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya tidak
mempunyai tanggung jawab moral untuk tidak melakukan manajemen laba.
Sedangkan berdasarkan pembahasan sebelumnya terdapat dua pandangan tentang
bagaimana pengaruh profitabilitas terhadap manajemen laba. Aryani (2011)
menemukan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh secara parsial. Berlawanan
dengan penelitian Amertha (2013) yang menemukan pengaruh profitabiltas
berpengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian ini akan lebih jauh meneliti
hubungan profitabilitas terhadap pengungkapan CSR dan manajemen laba.
Leverage, dengan proksi debt-to-equity ratio dapat menjadi dorongan
untuk melakukan manajemen laba. Dimana laporan keuangan dengan Leverage
yang tinggi akan menurunkan minat investor dan debitor terhadap perusahaan.
Leverage yang tinggi juga menunjukan komposisi permodalan perusahaan,
dimana leverage yang tinggi menunjukan bahwa kewajiban perusahaan lebih
27
besar daripada modal perusahaan dan secara umum dikategorikan perusahaan
dengan kondisi finansial yang buruk. Scholten dan Kang (2012) berpendapat
bahwa leverage dapat mendorong perusahaan melakukan tindakan oportunistik
seperti manajemen laba. Penelitian Aryani (2011) dan Naftalia (2013) menunjukan
adanya pengaruh signifikan dan positif dari leverage terhadap manajemen laba.
Dengan pembahasan tersebut maka dirumuskan hipotesis berikut :
H2a
:
Karakteristik Perusahaan mempunyai pengaruh terhadap hubungan
CSR dan Manajemen Laba.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Bab ini akan membahas variabel, metode pengukuran dan metode analisis
yang digunakan dalam penelitian ini.
3.1.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Penelitian ini akan menggunakan variabel dependen, variabel independen,
dan variabel kontrol. Earnings management sebagai variabel dependen, CSR
Disclosure sebagai variabel independen, serta ukuran perusahaan, ROA dan
Leverage sebagai variabel moderasi.
3.1.1.1 Manajemen Laba
Pada penelitian ini pengukuran akrual diskresioner menggunakan model
Jones yang telah dimodifikasi Dechow (1995, dalam Rahayu 2009). Alasan
pemilihan model ini adalah model ini mengasumsikan bahwa manipulasi dapat
dilakukan pada pendapatan dan memperhitungkan pendapatan sebagai akrual
diskresioner, sehingga dianggap lebih baik dalam mengukur mendeteksi
manajemen laba. Pengukuran dilakukan dengan cara :
1. Menghitung akrual total.
TAit = (ΔCAit – Δcashit) - (ΔCLit - ΔSTDit – ΔTPit ) - Depit
Keterangan:
ΔCA =
perubahan pada aset lancar
29
ΔCL
=
perubahan pada kewajiban lancar
Δcash =
perubahan pada kas dan setara kas
ΔSTD =
perubahan pada beban pajak pendapatan
Dep
beban depresiasi dan amortisasi
=
2. Mengestimasi koefisien αi, β1i, dan β2i pada Model Jones
Estimasi dilakukan dengan meregresi persamaan dengan menggunakan ordinary
least squares(ols). Data yang digunakan untuk mengestimasi adalah data sebelum
periode manipulasi laba. Koefisien yang diperoleh kemudian merupakan estimasi
αi, β1i, dan β2i .
Model Jones
Tait/Ait-1
=
αi (1/Ait-1) + β1i(ΔREVit/Ait-1) + β2i(PPEit/Ait-1) + error
termit
ket:
TAit
=
akrual total pada tahun t untuk perusahaan i,
ΔREVit =
perubahan pendapatan pada tahun t terhadap t-1
PPEit =
property, plant, and equipment pada tahun t untuk
perusahaan i,
Ait‐ 1 =
aset total pada tahun t-1 untuk perusahaan i,
i
=
indeks perusahaan
t
=
indeks tahun untuk tahun
3. Mengestimasi akrual diskresioner.
Estimat αi, β1i, dan β2i yang telah diperoleh sebelumnya digunakan dalam model
modified Jones dengan data perusahaan terkait saat kejadian atau terjadinya
30
manipulasi laba. Ini akan menghasilkan akrual nondiskresioner (NDA). Untuk
memperoleh akrual diskresioner maka dilakuka pengurangkan NDA dari akrual
total akrual.
Model Modified Jones
NDAit =
α1(1/at-1) + α2((ΔREVt-ΔRECt)/ait-1) + α3(PPE/Ait-1)
ket.
NDA =
Akrual non-diskresioner
ΔREC =
perubahan piutang
4. Akrual diskresioner
Untuk memperoleh akrual diskresioner maka dilakuka pengurangan NDA dari
akrual total.
DAit = TAit – NDAit
3.1.1.2 Pengungkapan CSR
Pengungkapan CSR dapat ditemukan pada annual report maupun
sustainability report. Pengungkapan CSR diukur dengan menghitung item yang
dicantumkan di annual report maupun sustainability report, dan dihitung dengan
menggunakan CSRI (Corporate Social Disclosure Index) edisi 3.1. Jumlah item
dalam CSRI dapat dihitung berdasarkan pedoman indikator yang dikeluarkan oleh
Global Reporting Inisiative (GRI), yang terdiri dari beberapa indikator yaitu :
1. Indikator Kinerja Ekonomi
2. Indikator Kinerja Lingkungan
3. Indikator Kinerja Ketenagakerjaan
4. Indikator Kinerja HAM
31
5. Indikator Kinerja Masyarakat
6. Indikator Kinerja Produk
Metode pengukuran pengungkapan CSR adalah dengan menggunakan
checklist mengenai item-item perusahaan yang sesuai dengan terdapat baik pada
pelaporan keuangan perusahaan. Checklist tersebut berdasarkan item-item dalam
pedoman GRI 3.1 (www.globalreporting.org). Pemberian skor untuk sejumlah 84
item pengungkapan dengan memberikan skors pada item yang diungkapkan
perusahaan. Nilai 0 diberikan apabila ada informasi atau item yang tidak
diungkapkan dan nilai 1 diberikan bila perusahaan mengungkapkan item yang
sesuai dengan kategori pada pedoman GRI (Titisari et al, 2010) . Kemudian
perhitungan CSRI ini dilakukan dengan membagi jumlah item yang diungkapkan
dengan jumlah item keseluruhan.
CSR Disclosure = jumlah skor item CSR/jumlah maksimum item CSR
3.1.1.3 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan digunakan sebagai variabel moderasi atas hubungan
CSR dan manajemen laba. Semakin besar perusahaan, maka semakin besar pula
perhatian ditujukan pada perusahaan tersebut. Kondisi ini adalah insentif negatif
untuk manajer dalam melakukan praktik Manajemen Laba. Dechow & Dichev
(2002 dalam Scholtens & Kang, 2012) menyatakan semakin besar perusahaan
maka operasi perusahaan semakin stabil dan dapat diprediksi, oleh karena itu
manajer akan mengurangi perilaku manajemen laba untuk menghindari
terdeteksinya manipulasi tersebut. Size hypothesis yang diajukan Handayani dan
Rachadi (2009), menyatakan semakin besar ukuran perusahaan semakin
32
cenderung menurunkan praktik manajemen laba dan berpendapat bahwa
perusahaan besar cenderung tidak memanfaatkan kebijakan akrual untuk
melakukan manajemen laba. Ukuran perusahaan akan diukur dengan nilai
logaritma natural dari total aset.
Ukuran perusahaan (SIZE) = log (total aset)
3.1.1.4 Profitabilitas
Profit (laba) yang disajikan pada laporan keuangan digunakan sebagai
indikator kinerja pihak manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan
(Amerta, 2013). Penelitian ini menggunakan ROA sebagai ukuran profitabilitas.
Return-on-Asset (ROA) adalah rasio perbandingan pendapatan dan aset. ROA
berfungsi untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan laba
melalui pengoperasian aset yang dimiliki. Semakin besar ROA yang dimiliki oleh
sebuah perusahaan maka semakin efisien penggunaan aset untuk memperbesar
laba. Semakin besar perubahan ROA menunjukkan semakin besar fluktuasi
kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba (Dewi dan Prasetiono, 2012).
Sehubungan dengan itu, manajemen mempunyai motivasi untuk melakukan
praktik perataan laba agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuatif sehingga dapat
meningkatkan kecenderungan melakukan manajemen laba.
ROA = Laba Operasi /Total Assets
3.1.1.5 Leverage
Leverage,
yang
diproksikan
dengan
rasio
debt-to-equity
(DER)
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Semakin
tinggi nilai rasio tersebut semakin besar pula tingkat utang perusahaan tersebut.
33
(Aryani, 2011). Hal ini dapat berujung pada berkurangnya minat investor maupun
penolakkan dari debitor. Keadaan ini dapat menjadi motivasi untuk melakukan
manajemen laba, dimana manajemen laba dapat melakukan manipulasi laporan
keuangan agar lebih terlihat menarik bagi investor. DER dapat diukur dengan
rumus :
LEV= Total Kewajiban/Total Ekuitas
3.2
Populasi dan Sample
Populasi penelitian ini adalah perusahaan yang telah terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2013. Sampel penelitian diambil dengan
menggunakan metode purposive sampling. Kriteria perusahaan yang akan
digunakan sebagai sampel adalah sebagai berikut :

Perusahaan non-jasa keuangan yang terdaftar di BEI tahun 2013 dan
terdapat di dalam situs web Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id)

Perusahaan yang menerbitkan laporan tahunan periode 2013.

Perusahaan yang menerbitkan laporan mengenai kegiatan CSR baik dalam
bentuk sustainability reporting maupun laporan CSR tersendiri tahun
20113.

Perusahaan yang mempunyai semua variabel yang dijelaskan terlebih
dahulu.
3.3
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang
dapat diukur dengan skala numerik. Sedangkan sumber data penelitian ini adalah
data sekunder yang merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari
34
obyeknya, tetapi melalui sumber lain, baik lisan maupun tulisan. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan
yang diterbitkan oleh Bursa Efek Indonesia(BEI) periode tahun 2013 dan situs
web resmi perusahaan.
3.4
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari metode
dokumentasi, yaitu mengambil data dari dokumen-dokumen yang sudah ada. Data
laporan keuangan dan annual report dalam penelitian ini berasal dari situs
www.idx.co.id serta beberapa situs web resmi perusahaan periode tahun 2013.
3.5
Metode Analisis
Penelitian ini menguji hubungan antara hubungan pengungkapan CSR
dengan earning management. Metode analisis regresi berganda dengan bantuan
pogram SPSS (Statistical Packagefor Social Sciences) digunakan untuk penelitian
ini. Analisis regresi berganda mepunyai syarat-sarat data yang perlu diuji terlebih
dahulu dan memerlukan uji asumsi klasik untuk menentukan kelayakan data yang
diuji.
3.5.1 Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan analis tersebut perlu adanya pengujian atas kelayakan
data sampel. Untuk menetukan kelayakan uji data sampel, dilakukakan set uji
asumsi klasik. Uji asumsi klasik itu sendiri terdiri dari :
1. Uji normalitas. Uji normalitas dilakukan untuk menilai kenormalan
distribusi data sampel. Jika nilai sig. lebih besar dari derajat keyakinan
maka sampel berdistribusi normal. Begitu pula sebaliknya.
35
2. Uji
multikolinearitas.
Uji
multikolinearitas
digunakan
untuk
mengetahui ada atau tidaknya hubungan linear antar variabel
independen dalam model regresi. Apabila nilai VIF di bawah 10, maka
tidak terdapat masalah multikolinearitas.
3. Uji heterosekdasitas. Uji heterokedastitas bertujuan untuk menguji
apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari
residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Jika nilai sig > 0,05
tidak terjadi heterokedastitas.
4. Uji autokorelasi.
uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu
pada periode t dengan periode t-1 sebelumnya.
3.5.2 Model Penelitian
Untuk menguji hipotesis pertama, model penelitian yang digunakan adalah
dengan menggunakan ukuran perusahaan, ROA dan Leverage sebagai variabel
kontrol manajemen laba.
Emi
=
α0+α1CSRi+α2Sizei+α3ROAi+α4LEV
Sedangkan untuk menguji hipotesis kedua, yaitu untuk meguji hubungan
karakteristik perusahaan, CSR dan manajemen laba digunakan model penelitian
berikut :
Emi
=
α0+α1CSRi+α2Sizei+α3ROAi+α4LEV+β1CSRi*Sizei+
β2CSRi*ROAi+β3CSRi*LEVi
ket :
EM
=
Manajemen Laba
36
CSR
=
pengunkapan CSR
Size
=
ukuran perusahaan
ROA
=
return-on-assets
LEV
=
Leverage, debt-to-equity
i
=
kode perusahaan
3.5.3 Uji Statistik
Untuk
menguji
hubungan
variabel-variabel
tersebut,
uji
statistik
digunakan. Uji statistik dilakukan untuk mengetahui besaran koefisien yang dari
model penelitian dan menentukan hubungan variabel-variabel tersebut.
3.5.3.1 Analisis Korelasi Ganda (R)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih
variabel independen terhadap variabel dependen secara serentak. Koefisien ini
menunjukkan seberapa besar hubungan yang terjadi antara variabel independen
secara serentak terhadap variabel dependen. nilai R berkisar antara 0 sampai 1,
nilai semakin mendekati 1 berarti hubungan yang terjadi semakin kuat, sebaliknya
nilai semakin mendekati 0 maka hubungan yang terjadi semakin lemah.
3.5.3.2 Analisis Determinasi (R2)
Analisis determinasi dalam regresi linear berganda digunakan untuk
mengetahui prosentase sumbangan pengaruh variabel independen secara serentak
terhadap variabel dependen. Koefisien ini menunjukkan seberapa besar presentase
variasi variabel independen yang digunakan dalam model mampu menjelaskan
variasi variabel dependen. Bila R2 sama dengan 0, maka tidak ada sedikitpun
prosentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap
37
variabel dependen, atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model
tidak menjelaskan sedikitpun variasi variabel dependen. Sebaliknya, bila R2 sama
dengan 1, maka prosentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel
independen terhadap variabel dependen adalah sempurna, atau variasi variabel
independen yang digunakan dalam model menjelaskan 100% variasi variabel
dependen.
3.5.4.2 Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
independen atau variabel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai
pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau terikat (Ghozali,
2011). Pengujian dilakukan dengan menggunakan derajat keyakinan 0,05 (α =
5%) dan satu arah pada hipotesis pertama. Penerimaan atau penolakan hipotesis
dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
a) Apabila nilai signifikansi ≤ nilai f, maka Ho ditolak dan menerima Ha,
yang berarti koefisien regresi signifikan. Hal tersebut menandakan bahwa
terdapat pengaruh secara bersama-sama yang signifikan antara seluruh
variabel independen terhadap variabel dependen.
b) Apabila nilai signifikansi ≥ nilai f, maka Ho diterima dan Ha ditolak, yang
berarti bahwa koefisien regresi tidak signifikan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa seluruh variabel independen dalam model tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen.
3.5.4.3 Uji Signifikan Parameter Individual (Uji t)
Pengujian ini bertujuan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu
38
variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Cara melakukan uji t adalah dengan membandingkan nilai statistik t
dengan titik kritis menurut tabel menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5%
dan berlaku ketetapan sebagai berikut :
a) Jika t statistik > t tabel, maka hipotesis alternatif diterima bahwa suatu
variabel independen secara individual mempengaruhi variabel dependen.
b) Jika t statistik < t tabel, maka hipotesis alternatif ditolak dan menerima
hipotesis nol dengan implikasi bahwa variabel independen secara
individual tidak mempengaruhi variabel dependen.
39
Download