ABSTRACT

advertisement
RINGKASAN EKSEKUTIF
IKA ARSIANTI DEWI. 2010. Analisis Efektifitas Tata Ruang sebagai Instrumen
Pengendali Perubahan Penggunaan Lahan Sawah menjadi Penggunaan Lahan Non
Pertanian di Kabupaten Bekasi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Budi Mulyanto dan Ir.
Iwan Taruna Isa, MURP.
Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup
dari sektor pertanian. Swasembada beras semestinya terjadi di Indonesia karena menjadi
sumber pangan dominan, tetapi pada kenyataannya produk pangan domestik tidak bisa
memenuhi permintaan konsumen akan beras. Luas areal persawahan yang ada tidak
mencukupi untuk mewujudkan swasembada beras karena produkivitasnya rendah.
Permasalahan lain adalah lahan sawah yang ada mengalami penyusutan secara terus
menerus. Oleh sebab itu perlu adanya upaya-upaya perlindungan dan pengendalian
terhadap tanah-tanah pertanian yang produktif. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan
melalui 3 (tiga) strategi yaitu memperkecil peluang terjadinya konversi, mengendalikan
kegiatan konversi tanah, dan yang ketiga, adanya instrumen pengendali konversi tanah.
Saat ini, salah satu instrumen utama dalam pengendalian pemanfaatan ruang untuk
mencegah konversi lahan sawah adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
mekanisme perijinan misalnya izin lokasi.
Namun demikian, pada kenyataannya laju konversi tanah sawah irigasi masih
terus berlangsung. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan kajian sejauh mana
efektifitas RTRW sebagai instrumen dalam mempertahankan keberadaan tanah sawah.
Sosialisasi dari pemerintah tentang RTRW beserta kebijakannya harus dilaksanakan
secara berkala, karena keberhasilan suatu pembangunan dan implementasi kebijakan
pemerintah dalam hal ini RTRW tidak akan berhasil pelaksanaannya jika tidak mendapat
dukungan dari masyarakat sebagai pelaku hukum tersebut. Hal ini sangat diperlukan
untuk membentuk persepsi masyarakat.
Kabupaten Bekasi sebagai salah satu hinterland wilayah Jakarta telah menjadi
daerah limpahan perluasan kawasan perkotaan untuk sektor pemukiman, industri dan
pariwisata.
Secara demografis, jumlah penduduk kabupaten Bekasi mengalami
peningkatan yang sangat pesat. Disamping itu terdapat jalan tol Jakarta-Cikampek yang
menunjang aksesibilitas kegiatan industri yang berkembang. Sebagai akibatnya konversi
lahan sawah terjadi dengan cepat.
Penelitian ini bertujuan untuk: (a) Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah menjadi non pertanian; (b) Menganalisis
efektifitas instrumen tata ruang sebagai upaya menekan penyusutan tanah sawah; (c)
Menganalisis persepsi masyarakat tentang instrumen tata ruang; (d) Menganalisis
persepsi masyarakat tentang adanya alih fungsi sawah.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif melalui metode survey.
Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling untuk
responden ahli/praktisi, sedangkan untuk responden petani digunakan teknik simple
random sampling. Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder,
sedangkan sumber data berasal dari responden, BPS, Direktorat Penatagunaan Tanah, dan
Bappeda Kabupaten Bekasi. Data tersebut diperoleh melalui observasi langsung,
wawancara, kuesioner dan studi pustaka. Tahapan yang dilakukan dalam analisis data
adalah: (1) analisis spasial, yang digunakan untuk menganalisis perubahan penggunaan
tanah; (2) analisis deskriptif kualitatif dan statistik deskriptif digunakan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah
dan implementasi RTRW; dan (3) analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui
persepsi petani tentang tata ruang dan alih fungsi lahan.
Berdasarkan hasil analisis spasial diketahui bahwa dari tahun 1988 sampai 2009
terjadi penyusutan lahan sawah yang diiringi dengan bertambah luasnya penggunaan
lahan untuk kampung, emplasemen/industri, perumahan, tegalan dan tanah kosong. Alih
fungsi lahan sawah paling besar terjadi lima tahun terakhir (2004-2009) yaitu seluas
13.700 Ha dibandingkan 10 tahun sebelumnya (1994-2004) seluas 10.685 Ha. Perubahan
penggunaan lahan sawah irigasi menjadi penggunaan lain paling luas menjadi kampung,
tegalan perumahan, dan tanah kosong. Sedangkan lahan sawah tadah hujan paling luas
berubah menjadi kampung, emplasemen/industri, tegalan, dan perumahan. Dari hasil
perbandingan dua RTRW yaitu dari tahun 1999 dan 2007, diketahui terjadinya
inkonsistensi RTRW. Pada RTRW tahun 1999 luas kawasan pertanian lahan basah
dialokasikan 66.937 Ha, sedangkan pada RTRW tahun 2007 luasannya menurun menjadi
51.093 Ha. Dari hasil analisis spasial juga diketahui bahwa sawah irigasi yang
direncanakan untuk dikonversi adalah seluas 18.400 Ha. Hal ini dapat dilihat dari total
luas sawah beririgasi teknis pada tahun 2009 adalah 58.680 Ha dan luas sawah tadah
hujan 2.486 Ha. Sementara dalam RTRW Kabupaten Bekasi (2007), luas kawasan
pertanian lahan basah adalah 51.039 Ha. Berarti dari luas sawah yang ada (58.680 Ha)
hanya 51.039 Ha yang direncanakan dipertahankan sebagai sawah. Apabila luas kawasan
pertanian lahan basah tersebut dirinci lebih lanjut, maka dalam kawasan tersebut terdapat
40.280 Ha sawah beririgasi, dan 475 Ha sawah tadah hujan. Dengan demikian ternyata
sawah irigasi yang direncanakan diperuntukkan sebagai pertanian lahan basah lebih kecil
yakni seluas 40.280 Ha.
Hasil analisis deskriptif kualitatif dan statistik deskriptif diketahui faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan yaitu (1) Faktor ekonomi dan sosial
yaitu perbedaan antara land rent pertanian yang jauh dibawah land rent non pertanian
sehingga banyak masyarakat yang mengubah lahan pertaniannya untuk dijadikan
perumahan; (2) Infrastruktur yaitu pembangunan jalan tol berakibat berubahnya kawasan
disekitar (di pinggir-pinggir jalan tol) seiring kemudahan aksesibilitas; (3) Industri, salah
satu prioritas pembangunan terutama industri pengolahan karena memberikan sumbangan
yang besar terhadap PAD sehingga mendukung perkembangan wilayah Kabupaten
Bekasi dari sektor ekonomi; (4) Peraturan Perundang-undangan. Belum adanya undangundang yang tegas untuk menjaga dan melindungi lahan sawah terutama sawah irigasi
sehingga masyarakat dengan mudah mengalih fungsikan lahannya dengan mencari celahcelah hukum karena tidak adanya sanksi yang tegas.
Penelitian menunjukkan persepsi masyarakat terhadap alih fungsi lahan
dipengaruhi oleh faktor demografi yaitu usia, tingkat pendidikan, pendapatan, luas lahan
yang dimiliki, status kepemilikan tanah, dan lama penguasaan. Mayoritas masyarakat
tidak mengetahui atau paham tentang tata ruang (RTRW) begitu juga dengan manfaat
RTRW, oleh karena itu sebagian besar masyarakat tidak merujuk ke RTRW jika akan
menggunakan lahan mereka. Dari persepsi masyarakat tentang alih fungsi lahan diketahui
bahwa sebagian besar petani akan mempertahankan lahan sawah mereka dengan alasan
bahwa bertani merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian bagi mereka.
Sedangkan jika petani akan melakukan konversi maka hal tersebut dilakukan karena
mereka sudah tidak mampu lagi mengusahakan lahan pertaniannya akibat tingginya biaya
produksi. Demikian pula petani untuk menjual lahan sawahnya dikarenakan desakan
ekonomi yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagai modal usaha disamping
untuk biaya sekolah anak. Namun demikian mayoritas petani setuju akan adanya
larangan untuk mengkonversi lahan sawah.
Berdasarkan hasil analisis di atas maka ada tiga hal yang dapat direkomendasikan
kepada pembuat kebijakan agar implementasi RTRW lebih efektif di dalam
mengendalikan konversi lahan sawah yaitu : (1) memperhatikan aspirasi masyarakat
dalam menyusun perencanaan RTRW, hal ini dapat dilakukan misalnya dengan
mengadakan sosialisasi tentang RTRW melalui pertemuan-pertemuan dengan
masyarakat; (2) memperhatikan faktor-faktor yang mendorong petani menjual dan atau
mengkonversi lahan pertaniannya, serta (3) memasukkan program perlindungan sawah ke
dalam RTRW.
Kata Kunci : Tata Ruang, Alih Fungsi Lahan, Konversi Lahan Sawah, RTRW,
Perubahan Penggunaan Lahan Sawah, Kabupaten Bekasi
Download