TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Pembangunan

advertisement
 TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Pembangunan Pembangunan dapat diartikan proses berkelanjutan agar setiap individu mendapatkan kesempatan memilih dan mengembangkan kepercayaan diri agar dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan dating (Norton et.al 2006). Pembangunan adalah memanfaatkan sumberdaya yang ada secara bijaksana agar dapat meningkatkan kesejahteraan baik sekarang maupun yang akan datang. Pembangunan dapat dilakukan dalam segala bidang kehidupan, pertanian, ekonomi, politik dan lain-lain. Sehubungan dengan itu, perlu langkah yang sangat hati-hati dalam memilih dan menyusun strategi pembangunan yang dapat menciptakan pembangunan yang berkesinambungan (sustainable). Pembangunan harus menjamin tercapainya kesejahteraan hidup sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang. Menurut Norton (2004) pembangunan yang berkesinambungan memiliki 5 prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu: economic sustainability; social sustainability; fiscal sustainability; institutional sustainability and environmental sustainability. Pembangunan yang menjamin keberlanjutan ekonomi masyarakat yaitu pembangunan yang menjamin pertumbuhan ekonomi bukan menjadikan ekonomi masyarakat menjadi surut. Keberlanjutan sosial yaitu pembangunan yang menjamin kelangsungan kehidupan dan sistem sosial bukan yang menghilangkan kehidupan dan sistem sosial. Keberlanjutan fiskal artinya pembangunan yang menjamin keberlangsungan pemasukan fiskal bukan meniadakan pemasukan kas negara. Keberlanjutan institusi artinya pembangunan yang menjamin tumbuh dan berperannya berkembangnya kelembagaan bukan yang memandulkan peran kelembagaan. Keberlanjutan lingkungan artinya pembangunan yang tetap memelihara keserasian lingkungan bukan yang merusak lingkungan. Pembangunan juga merupakan proses perubahan yang dikehendaki ke arah yang lebih baik atau lebih maju keadaan sebelumnya (Rogers 1974). Dalam menggerakkan pembangunan dan perubahan yang dikehendaki, peran komunikasi menjadi penting. Artinya kegiatan komunikasi harus mampu berperan dalam
12 mendinamisasi gerak pembangunan. Komunikasi dapat berperan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, pemahaman, sikap, dan kemampuan sehingga tercipta partisipasi dalam pembangunan yang pada gilirannya tercipta kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, yang dalam keselarasannya dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat secara berkesinambungan (Effendy 2005). Komunikasi harus menjadi bagian strategis yang perlu dicantumkan dalam setiap perencanaan pembangunan. Komunikasi yang membuka peluang bagi partisipatif seluruh elemen masyarakat. Komunikasi pembangunan ini harus mengedepankan sikap aspiratif, konsultatif dan relationship. Karena pembangunan tidak akan berjalan dengan optimal tanpa adanya hubungan sinergis antara elemen pembangunan. Fungsi komunikasi pembangunan adalah sebagai katalisator, fasilitator, dan penghubung/mediator yang bebas antara rakyat dengan para penentu kebijakan dalam pembangunan. Komunikasi pembangunan merupakan proses penyebaran informasi, penerangan, pendidikan dan keterampilan, rekayasa sosial dan perubahan perilaku agar tercipta partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam pembangunan (Dilla 2007). Komunikasi Politik Pembangunan yang partisipatif dari berbagai elemen pembangunan akan dapat tercipta bila kebijakan politik yang dirumuskan mampu menampung berbagai kepentingan masing-masing pihak. Tujuan ini akan mudah terwujud apabila sistem politik yang ada memberi ruang terciptanya komunikasi politik yang aspiratif. Sebagaimana dikemukakan oleh Esser & Pfetsch (2004), komunikasi politik adalah suatu mekanisme yang berpusat pada kegiatan bagaimana mengartikulasikan, menyatukan, menghasilkan, dan mengimplementasikan kebijakan yang dirumuskan dari penyatuan berbagai kepentingan. Sedangkan menurut Rush & Althoff (2002) komunikasi politik merupakan proses pertukaran informasi dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya dan di antara sistem-sistem politik. Komunikasi politik merupakan proses yang berkesinambungan, dan
13 melibatkan pertukaran informasi di antara individu-individu yang satu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkat masyarakat. Pertukaran informasi antara sistem politik yang berjalan lancar dan dinamis dapat menciptakan iklim politik yang sehat dan melahirkan kebijakan publik. Menurut Deutsch (2002) pertukaran informasi yang relevan dalam sistem politik harus dinamis sehingga tercipta kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan umum. Sesuai dengan pendapat Nimmo (2004) komunikasi dapat dipandang sebagai politik, jika pesan yang dibawa itu berusaha untuk mempengaruhi proses pembuatan yang menghasilkan kebijaksanaan publik. Komunikasi politik sebagai kegiatan politik yang benar-benar mempertimbangkan segala konsekuensi kebaikan yang mengatur tingkah laku pelaku politik dalam keadaan yang bertentangan agar terjadi keselarasan kepentingan politik. Sementara McQuail (2005) berpendapat, komunikasi politik lebih banyak ditemukan dalam masa kampanye. Komunikasi politik dalam kampanye dilakukan secara priodik dan intensif dengan menggunakan media massa oleh kandidat atau partai yang sedang bertarung pada pemilihan. Para kandidat menyampaikan janji-janji politik kepada pemilih bahwa dirinya akan memperjuangkan kepentingan masyarakat pemilihnya. Dalam pertarungan antara kandidat tadi, dapat ditemukan bentuk komunikasi politik berupa pemberitaan- pemberitaan positif atau negatif tentang aktor politik atau partai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik adalah proses pertukaran informasi antara sistem politik di dalam masyarakat dalam usaha menyelaraskan berbagai kepentingan untuk merumuskan kebijakan publik. Kepentingan-kepentingan tersebut antara lain kepentingan kepentingan partai politik, kepentingan golongan, kepentingan masyarakat, dan kepentingan pribadi. Lembaga legislatif atau parlemen sebagai lembaga politik formal dalam supra struktur politik memiliki fungsi komunikasi politik. Seperti yang dinyatakan oleh Cipto (1995) bahwa parlemen tidak harus diartikan sebagai badan pembuat undang-undang (law - making body) semata, tetapi juga sebagai media komunikasi antara rakyat dan pemerintah. Lembaga legislatif berperan sebagai perwujudan kepentingan rakyat, karena badan legislatif adalah perwakilan rakyat dalam mnejalankan dan mengawasi sistem pemerintahan.
14 Setiap proses politik dalam sebuah sistem politik baik infra struktur maupun supra struktur politik memerlukan fungsi komunikasi. Komunikasi menjadi penyaluran informasi berupa aspirasi dari masyarakat kepada pemerintah dalam perumusan kebijakan maupu informasi rencana atau kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Sastroadmodjo (1995) berpendapat, fungsi komunikasi politik ada dua. Pertama adalah fungsi struktur politik yaitu menyerap berbagai aspirasi, pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan yang berkembang dalam masyarakat dan menyalurkan sebagai bahan dalam penentuan kebijaksanaan. Kedua merupakan fungsi penyebarluasan rencana-rencana atau kebijaksanaan- kebijaksanaan pemerintah kepada rakyat. Dengan demikian fungsi komunikasi politik menciptakan arus informasi timbal balik dari rakyat kepada pemerintah dan dari pemerintah kepada rakyat. Arti pentingnya komunikasi politik sangat dirasakan oleh banyak pihak dalam pemerintahan. Lancarnya komunikasi politik penting bagi masyarakat untuk mengetahui sejauhmana keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan. Masyarakat dapat mengetahui sejauhmana kebijakan pemerintah mewujudkan cita-cita perjuangan seluruh rakyat. (Newman 1999). Oleh karena itu tuntutan dan harapan terhadap berperannya fungsi komunikasi lembaga perwakilan rakyat sangat diperlukan oleh seluruh rakyat. Berperannya komunikasi politik dalam sistem pemerintahan perlu didukung oleh kecepatan dan akurasi informasi. Sebagaimana dikemukakan Norris (dalam Esser & Pfetsch 2004) policy maker need accurate information about citizen, to respond to public concerns, to deliver effective services meeting real human needs and also in democracies to maximize popular electroral support to be returned office. Antara wakil rakyat dengan konstituennya harus dekat dan sering melakukan komunikasi. Hasil dari komunikasi ini akan memberikan keuntungan kepada masing-masing pihak. Rakyat dapat mengungkapkan persoalan dan kebutuhan mereka yang sesungguhnya. Wakil rakyat dapat melakukan pengawasan atas kebijakan konstituen.
pemerintah sekaligus membina kepercayaan kepada 15 Untuk dapat mengetahui secara benar aspirasi atau keinginan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, maka para wakil rakyat harus bermitra dengan masyarakat mengadakan dan melaksanakan mekanisme komunikasi politik secara teratur, Bracht ( dalam Rice dan Atkin 2001). Wakil rakyat mempunyai kewajiban berkomunikasi dengan rakyat. Seperti dikemukakan Cipto (1995) anggota parlemen menghubungi para pemilih mendengar keluhan mereka lalu menyalurkan keluhan-keluhan dan kehendak-kehendak pemilih serta menyuarakan kepentingan mereka dalam sidang-sidang di parlemen maupun dalam bentuk pernyataan-pernyataan politik kepada pemerintah. Dalam menjaring aspirasi konstituen kepekaan dan keperdulian anggota legislatif terhadap konstituen sangat penting. Kepekaan dan keperdulian tersebut dapat terlihat pada kegiatan komunikasi dan upaya membuka berbagai saluran komunikasi dengan masyarakat. Saluran komunikasi seperti komunikasi personal melalui reses, komunikasi kelompok dan melalui media massa perlu dimaksimalkan dalam nampung dan menjaring apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Bila langkah ini dilakukan secara optimal, dapat diduga kandungan komunikasi antara legislatif dengan pemerintah banyak memuat kepentingan rakyat. Pada gilirannya, kebijakan pembangunan yang dirumuskan berpihak kepada kepentingan rakyat. Menurut Swanson (dalam Esser & Pfetsch 2004) kualitas suatu negara dan demokrasi dapat dari kualitas komunikasi politik yang dipertunjukkan. Sejauhmana aspirasi rakyat mendapat tempat dalam kebijakan pemeritah yang berkuasa. Artinya kepentingan rakyat harus dijaring dalam perumusan kebijakan pemeritah. Bila aspirasi rakyat tidak mendapat tempat dalam kebijakan pemerintah, maka pemerintahan tersebut dekat dengan tirani. Antara komunikasi politik dan komunikasi pembangunan sebaiknya terjadi sinergi yang saling mendukung terciptanya kesejahteraan masyarakat. Sebagimana dikemukakan oleh McMillin (2007) komunikasi pembangunan dan politik harus saling mendukung. Komunikasi pembangunan suatu kegiatan penyampaian informasi agar semua elemen berpatisipasi dalam pembangunan. Sementara komunikasi politik penyampaian informasi agar pihak-pihak yang
16 memiliki kepentingan kekuasaan dapat merumuskan kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Hasil pengamalan di beberapa negara berkembang menunjukkan, aktivitas komunikasi antara anggota legilslatif dengan konstituennya berbeda berdasarkan waktu (Swanson (dalam Esser & Pfetsch 2004). Semakin dekat waktu pemilihan anggota legislatif, komunikasi dilakukan semakin sering dan semakin intens. Menjelang waktu pemilu legislatif, calon legislatif menunjukkan peningkatan keperdulian terhadap kepentingan konstituen. Anggota legislatif gencar dan intens mengunjungi konstituen agar dipilih kembali pada priode berikutnya. Setelah pemilu legislatif selesai, frekuensi komunikasi dan intensitas komunikasi semakin menurun. Sebagaimana disinyalir bahwa anggota legislatif banyak melupakan konstituennya setelah pemilu. Bahkan ada kecenderungan anggota legislatif enggan bertemu dengan konstituen karena takut dituntut janji-janji semasa proses kampanye pemilu legislatif. Komunikasi Dalam Rapat Rapat adalah pertemuan beberapa orang atau kelompok untuk membicarakan suatu hal. Para ahli komunikasi mengelompokkan rapat dalam bidang komunikasi kelompok. Sebagaimana dikemukakan Golberg & Larson (1985) komunikasi kelompok adalah komunikasi yang dilakukan lebih dari dua orang untuk tujuan tertentu. Komunikasi kelompok banyak ditemui pada organisasi atau kelompok diskusi atau rapat. Kelompok terbentuk dapat disebabkan oleh adanya tujuan yang sama atau untuk memecahkan masalah bersama. Menurut Goldberg & Larson (1985) komunikasi kelompok adalah suatu bidang studi, penelitian dan terapan yang tidak menitikberatkan perhatiannya pada proses kelompok secara umum, tetapi pada tingkah laku invididu dalam diskusi kelompok tatap muka yang kecil seperti rapat. Pusat perhatian penelitian komunikasi kelompok adalah bagaimana perilaku komunikasi dan bagaimana proses komunikasi antara anggota kelompok berlangsung (Berger et.al. 2010; Beck & Fish 2000).
17 Penelitian perilaku komunikasi kelompok banyak menyoroti pemilihan topik pembicaraan, gaya berbicara, kejelasan pesan yang disampaikan, kepentingan, benyaknya informasi, daya provokasi, arah pendapat, orientasi atau motif berkomunikasi, frekuensi berkomunikasi, panjang informasi dan jumlah waktu (Goldberg & Larson 1985; Berger 2000). Anggota kelompok diskusi mendengar dan bertanya antara sesama anggota. Anggota kelompok belajar dari anggota kelompok lain tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana bersikap, dan bagaimana membangun rasa saling percaya di antara mereka. Pendapat mereka kadang mendukung dan menolak pendapat anggota lainnya. Efektivitas kelompok banyak ditentukan oleh faktor-faktor personal dari anggotanya seperti konsep diri, motivasi, dan kompetensi komunikasi (Anderson & Martin 1995; Gudykunst 2003). Sementara menurut Van Mierlo & Ad Kleingeld (2010) efektivitas kelompok dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh kejelasan tujuan yang akan dicapai. Rapat kelompok banyak dilangsungkan dalam petemuan tatap muka untuk membahas suatu persoalan. Komunikasi dalam rapat dilakukan dengan komunikasi langsung tatap muda. Antara peserta dapat menyampaikan pesan dan langsung mendapat tanggapan dari peserta lain. Komunikasi rapat dapat dikategorikan sebagai komunikasi ujaran (speech act). Perilaku Komunikasi Sebagai makhluk sosial manusia harus berinteraksi dengan manusia lainnya. Melalui komunikasi setiap individu dapat berinteraksi, bertukar informasi atau pendapat sehingga dapat bekerjasama. Komunikasi merupakan darahnya interaksi sosial. Melalui komunikasi perilaku orang lain dalam interaksi sosial dapat dipahami dan terciptanya kerjasama. Karena dalam komunikasi terjadi pertukaran simbol-sombol yang memiliki arti, (Kashima, Klein & Clark dalam Fiedler 2007). Pada prinsipnya komunikasi adalah proses pengoperan pesan dari sumber kepada penerima yang bertujuan untuk mengubah perilaku. Sebagaimana Ruben (1992), mengutip pendapat Barelson, in the main, communication has as its
18 central interest those behavioral situations in which a source transmits a message to receiver(s) with conscious intent to affect the later s behavior. Sementara Shannon dan Weaver mendefinisikan komunikasi mengatakan, communication include(s) all the procedures by which one mind may affect another. This, of course, involves not only written and oral speech. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah proses pengiriman pesan dari satu pihak kepada pihak lain yang bertujuan untuk memperngaruhinya.. Sedangkan pengertian perilaku adalah tindakan atau perbuatan seseorang. Menggambarkan perilaku tidak lepas dari kaitan antara kognisi, afeksi, dan konasi Namun menurut aliran teori belajar (learning theory), perilaku lebih ditekankan pada aspek tindakan berulang yang dapat diamati, dipelajari, dan diramalkan secara obyektif, (Bandura 1997). Sangat berbeda dengan konsep tindakan (action) yang bersifat kontekstual, unik dan tidak dapat diramalkan. Karena yang dimaksud perilaku dalam penelitian ini adalah tindakan atau perbuatan yang diaktualisasikan, ditampilan, dan dapat diamati. Bila dikaitkan antara konsep perilaku dan komunikasi, maka dapat disimpulkan perilaku komunikasi merupakan tindakan atau perbuatan yang ditampilkan seseorang sewaktu menerima atau menyampaikan pesan komunikasi yang dapat diamati. Penelitian komunikasi yang mempelajari strategi komunikasi banyak digolongkan pada tradisi Rethorical. Karena dalam retorika, tema penelitian yang menarik perhatian adalah bagaimana cara berkomunikasi agar efektif yang meliputi pembicara, pesan dan audiens (Litlejohn & Foss 2008; Griffin 2006). Retorika menekankan cara bagaimana berkomunikasi dan memilih argumentasi agar audiens mengikuti keinginan pembicara. Retorika Retorika (Aristoteles dalam Griffin 2006; Fisher 1986) merupakan keterampilan berkomunikasi di depan publik agar audiens mengikuti apa yang disampaikan oleh pembicara. Retorika diperkenalkan oleh Plato dan Aristoteles. Istilah retorika sekarang banyak disejajarkan dengan persuasi, karena persuasi dan
19 retorika menekankan bagaimana menyusun strategi komunikasi agar dapat menguasai audiens , ( Stacks et.al 1991; Dillard 2010). Menurut Aristoteles, dalam retorika yang perlu diperhatikan ada tiga faktor yaitu etiket (ethos), emosional (pathos), dan logika (logos). Ethos atau etiket berhubungan dengan karakter pembicara termasuk kredibilitas di mata khalayak. Pathos berhubungan dengan kemampuan komunikasi pembicara untuk menarik perhatian dan membawa perasaan emosional audiens . Sedangkan logos atau logika berhubungan dengan kemampuan pembicara memilih dan menyusun argumentasi dalam pesan komunikasi yang disampaikan. Ethos Faktor ethos yang meningkatkan efektivitias persuasi adalah kredibilitas pembicara atau komunikator, (Stracks et.al 1991). Kredibilitas pembicara atau kominikator meliputi “„good man, or a„credible speaker or a „ charismatic leader” (Burgoon 1974); kualitas inteligensi pembicara, kejujuran, goodwill (Griffin 2006). Sementara menurut Petty & Cacioppo, (1981) Tan (1981) seorang sumber atau komunikator memiliki daya persuasi yang baik apabila memiliki unsur credibility, trustworthiness, attractiveness, and power. Sedangkan Berlo (1960) menggunakan istilah knowledge. Ethos komunikator dari penjelasan para ahli di atas menunjuk pada suatu nilai bahwa komunikator dipandang kredibel, ahli, dapat dipercaya dan berwibawa, kharismatik atau berpengaruh dalam melakukan komunikasi. Nilai seorang komunikator yang kredibel, ahli, dapat dipercaya, dan berwibawa, atau memiliki pengaruh terdapat pada persepsi audiens nya. Penilaian audiens lah yang banyak menentukan seseorang komunikator kredibel, ahli, menarik, dapat dipercaya atau memiliki pengaruh. Seorang profesor di bidang pertanian dapat saja dinilai oleh petani tidak kredibel dan tidak menarik sewaktu professor berkunjung ke desa, karena tidak dikenal oleh petani. Dalam penelitian komunikasi yang menggunakan analisis isi, faktor ethos ini dapat dilakukan dengan memperhatikan hasil komunikasi yang dilakukan. Hasil komunikasi yang dimaksud adalah pesan komunikasi yang telah diproduksi oleh komunikator. Produksi pesan tersebut dapat berupa ucapan, tulisan, atau
20 gabungan keduanya yang telah direkam. Dalam memudahkan analisis isi tentang faktor ethos diperlukan dokumen komunikasi yang merekam perilaku komunikasi komunikator. Pathos Faktor pathos adalah kemampuan komunikator untuk menyajikan komunikasi yang menarik (Stacks et. al 1991). Kemampuan menarik perhatian dan emosional audiens oleh Reardon (1987) digunakan istilah competence dan Berlo (1960) menggunakan istilah communication skills. Kompetensi atau kemampuan juga menjadi faktor penunjang dalam perilaku komunikasi. Kompetensi yang dimaksud adalah keahlian untuk melakukan sesuatu. Misalnya keahlian melakukan komunikasi, kemampuan berbahasa, kemampuan menggunakan istilah, kemampuan mengemukakan pendapat dan lain-lain, (Anderson and Martin 1995).. Rubin, et.al (2004) berpendapat tentang kemampuan komunikasi. Comunicative competence is ability to choose available communicative behavior to accomplish one s own interpersonal goals during an encounter while maintaining the face and line of fellow interactants within the constraints of the situation. Kemampuan seseorang untuk melakukan komunikasi interpersonal secara efektif dengan memanfaatkan situasi dan berbagai faktor penting yang tersedia agar tujuan komunikasi tercapai. Kemampuan komunikasi tersebut memperhitungkan kemampuan audiens , merumuskan tujuan, memilih media yang tepat, pemilihan lambang, mengetahui faktor-faktor yang membuat komunikasi efektif, dan mengetahui indikasi komunikasi yang efektif. Kemampuan atau kompetensi komunikasi dipengaruhi oleh kompleksitas kognitif pelakunya, (Delia dalam Griffin 2006). Kompleksitas kognitif merupakan gambaran isi otak seseorang. Semakin kompleks kognitif seseorang merupakan indikasi semakin baik dan semakin mampu menggunakan komunikasi dalam menyelesaikan masalah dengan penyusunan argumentasi. Kompleksitas kognitif yang rendah akan semakin tidak mampu menggunakan komunikasi dalam penyelesaian masalah dan cenderung menggunakan kekerasan. Kompetensi komunikasi meliputi cognitive ability dan behavioral ability (Ruben 1992,
21 Anderson & Martin 1995). Kompetensi komunikasi antara lain ditunjang oleh pendidikan dan pengalaman seseorang. Kompetensi komunikasi tersebut akan tergambar pada perilaku komunikasi, misalnya kemampuan memilih dan menyusun argumen, kejelasan pesan yang disampaikan dan cara menyampaikan. Kompetensi komunikasi akan mempengaruhi efektivitas komunikasi. Kompetensi komunikasi dapat dilihat dari kemampuan memilih isi pesan, menyusun pesan dan cara menyampaikan kepada orang lain sehingga komunikasi tersebut dapat dipergunakan dalam menyelesaikan masalah. Selanjunya perilaku komunikasi juga dipengaruhi oleh motivasi atau orientasi. Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau yang menggerakkan. Pentingnya motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal (Koswara 1989; Hasibuan 2003; Robbin & Coulters 2007). Menurut Pace & Faules (2006) eori motivasi menjelaskan bagaimana seseorang menafsirkan lingkungan mereka sejauhmana dapat memenuhi harapan. Sementara Pace & Faules (2006) mengatakan seseorang termotivasi bila mereka percaya bahwa tindakan mereka akan menghasilkan hasil yang dinginkan, bahwa hasil mempunyai nilai positif bagi mereka, dan bahwa usaha yang mereka curahkan akan mencapai hasil. Menurut Rubin, et.al (1995) ada 6 jenis motif seseorang untuk berkomunikasi, yaitu kesenangan (pleasure is for fun), keperdulian (affection is carring), pelarian (escape is the filling of time to avoid other behaviors), relaksasi (relaxation is an unwinding dimension), mengontrol kekuasaan (control concern power), dan menjalin hubungan (inclusion is sharing of feelings and avoiding loneliness). Motif tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga substansi, yaitu motif untuk memecahkan masalah, motif untuk menjalin hubungan, dan motif untuk sekedar menunjukkan eksistensi diri sekaligus mengontrol kekuasaan orang lain. Motif-motif komunikasi seperti di atas oleh Goldberg & Larson (1985) disamakan dengan orientasi komunikasi.
22 Logos Faktor logos adalah kemampuan memilih dan menyusun argumen pesan yang disampaikan sehigga audiens menerima isi pesan, (Stacks et.al 1991). Logos mengkaji tentang susunan argumentasi dalam pesan komunikasi. Ada lima aturan yang menjadi perhatian logos dalam pesan retorika atau persuasi, yaitu invention, arrangement, style, delivery, and memory. (Aristoteles dalam Griffin 2006; Litlejohn & Foss 2008). Invention yang dimaksud adalah kemampuan komunikator menemukan argumentasi sesuai dengan topik yang dibicarakan. Komunikator dapat menemukan alasan yang tepat dan sesuai dengan topik pembicaraan yang sedang dilakukan. Arrangement artinya menyusun pesan sehinga mudah dipahami. Ada dua faktor penting dalam penyusunan pesan agar mudah dipahami, yaitu subyek atau pokok kalimat dan prediket atau kata kerja. Arrangement merupakan sistematika penyusunan pesan agar mudah dipahami oleh lawan bicara, misalnya menggunakan istilah baku. Style artinya memilih metaphora dalam pesan yang membuat pendengar mudah memahami pesan yang disampaikan. Metaphora dapat diartikan sebagai ilustrasi atau gambaran pendukung pesan seperti contoh atau realitas lainnya sehingga pendengar mendapat gambaran yang lebih jelas. Memory artinya pembicara memiliki kapasitas dan perbendaharaan istilah yang tepat dan cukup untuk mengungkapkan pesan yang dimaksudkan. Kemampuan untuk memilih istilah yang tepat dari perbendaharaan kata yang dimiliki sehingga orang mudah memahaminya. Delivery artinya penyajian pesan komunikasi yang menarik. Penyajian atau penyampaian pesan yaitu memilih bentuk kalimat yang tepat untuk maksud tertentu. Penyajian yang menarik adalah yang tampak alami atau sesuai dengan kebiasaan. Penyajian yang tampak direkayasa akan dicurigai oleh audiens . Sementara menurut Malik & Iriantara (1994) untuk meningkatkan efektivitas persuasi perlu memperhatikan penggunaan bahasa. Bahasa dalam persuasi hendaklah mengandung akurasi, kesederhanaan, pengulangan pernyataan dan koherensi.
23 Akurasi artinya, pembicara hendaknya memilih kata yang tepat untuk maksud yang tertentu. Supaya tidak memiliki arti yang samar, pembicara perlu memilih kata yang paling tepat bila perlu ditambahkan definisinya. Kesederhanaan artinya, gunakanlah kata-kata yang banyak dimengerti orang awam. Lebih khusus lagi, gunakan kata-kata yang pendek dan konkrit sehingga makna dapat ditangkap langsung dengan jelas. Pengulangan artinya, kemukakanlah gagasan anda lebih dari satu kali untuk memberikan penekanan akan pentingnya gagasan tersebut. Pengulangan akan lebih penting bila komunikasi dilakukan dengan lisan. Karena komunikasi lisan pesan yang disampaikan cepat hilang. Koherensi atinya, gunakan bahasa yang dapat membuat hubungan antara gagasan menjadi jelas dan mudah dipahami. Dari pendapat tersebut, pada prinsipnya saling melengkapi dalam praktek retorika atau persuasi. Aristoteles lebih general menjelaskan aturan dalam retorika mulai dari ide, penggunaan bahasa, dan teknik penyajian. Sementara Malik dan Iriantara lebih menyoroti penggunaan bahasa dan penekanan pada gagasan yang perlu diulang dalam retorika atau persuasi. Dengan demikian logos merupakan keahlian pelaku komunikasi menggunakan bahasa dan argumen yang dikandung oleh pesan yang disampaikan. Dalam penelitian ini aplikasi retorika (ethos, pathos, dan logos) dapat dipelajari dari pesan yang disampaikan. Retorika dapat dilihat pada pesan komunikasi yang tersurat atau telah disampaikan kepada pihak lain. Analisis pesan komunikasi yang tersurat dapat dilakukan dengan penelitian analisis isi (content analysis) untuk menggambarkan isi dan cara penyampaiannya. Riset Pesan Komunikasi Menurut Griffin (2006) tradisi kajian ilmu komunikasi ada tujuh yaitu Socio-psychological, Cybernetic, Rethorical, Semiotics, Social-Cultural, Critical, Phenomenological. Dari ketujuh kajian tersebut ditinjau dari bidang kajian dan tingkat obyektivitas penelitiannya. Tradisi socio-psychological mengkaji komunikasi dari faktor-faktor psikologi social dengan pendekatan kunatitiatif. Tradisi cybernetic mengkaji komunikasi bagaikan mekanis dengan pendekatan
24 kuantitatif. Tradisi rethorical mengkaji komunikasi langsung di depan publik yang bertujuan untuk mempengaruhi publik dengan pendekatan kuantitatif. Tradisi semiotics mengkaji komunikasi dari pemaknaan symbol-simbol komunikasi dengan pendekatan kualitatif. Tradisi socio-cultural mengkaji komunikasi dari faktor-faktor nilai budaya dengan pendekatan kualitatif. Tradisi critical mengkaji komunikasi dengan paradirga kritis dengan pendekatan kualitatif. Tradisi phenomenological mengkaji komunikasi dengan paradigma fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Tradisi penelitian retorika mengkaji perilaku komunikasi langsung di depan publik untuk mempengaruhi pendengar memerlukan strategi komunikasi. Pembicara membutuhkan kemampuan memilih pesan, argumen dan menyampaikannya sehinga pesannya layak didengarkan, dipercaya, dan diikuti khalayak (Ruben 1992; Stacks et.al 1991). Teori retorika memang telah lama dirumuskan, tetapi masih relevan untuk dipelajari hingga saat ini. Teori dan praktek rerotika banyak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam komunikasi politik. Proses komunikasi dalam retorika, menurut Aristoteles dapat digambarkan sebagai berikut (Ruben 1992): Speaker Argument Speech Listener(s) Gambar 1 Proses Komunikasi Retorika. Dari bagan tersebut dapat diketahui tiga unsur komunikasi, yaitu pembicara, pesan dan penerima. Dilihat dari konsep yang terdapat pada bagan maka riset yang tepat digunakan adalah riset tentang sumber yang disebut control analysis, riset tentang pesan yang dikenal dengan content analysis, riset tentang khalayak yang disebut audiens research. Penelitian ini fokus pada usaha untuk mendeskripsikan pesan komunikasi menggunakan content analysis. Deskripsi tentang strategi retorika pada kesempatan ini menitikberatkan pada unsur isi komunikasi dan cara penyajiaan. Isi komunikasi adalah gambaran isi permasalahan pesan yang disampaikan serta tendensi kepentingan yang menyertainya. Sedangkan cara penyajian adalah teknik yang digunakan dalam mengkomunikasikan pesan tersebut untuk mencapai tujuannya.
25 Strategi Komunikasi Menurut Luknanto & la Motta (2003), strategi adalah: “The science and art” untuk memanfaatkan faktor-faktor lingkungan eksternal secara terpadu dengan faktor-faktor lingkungan internal untuk mencapai tujuan lembaga. Strategi adalah kiat untuk mencapai tujuan. Strategi menurut Rossenberg (1992), “Strategy, Guidelines for making directional decisions that influence an organizations long run performance.” Strategy Planning:(1)”Basic by type of planning by which a firm formulates its long range goals and select activities for achieving those goals. Decisions include whether to enter a new untapped market or to dominate small segment of existing market by replacing competitors or by satisfying an unmet desire (2)”The process of developing a long range plan designed to match the organization s strenghths and weakness as with the threat and opportunities its environment” Menurut Smith (1999) strategy : the science of planning and directing military operations; a plann or action based on this; mskill in managing or planning, esp. By using stratagems. Stratagems: a trick or plann for deceiving an anamy an war, any trick or scheme. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategi adalah keputusan terbaik yang dipilih dan dirumuskan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Strategi komunikasi yang dimaksud adalah pemilihan isi pesan dan cara penyampaian pesan yang dilakukan agar audiens bersedia menuruti apa yang dianjurkan pelaku komunikasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Wells, et,al (1989) bagaimana memilih isi dan penyampaian suatu pesan merupakan suatu strategi komunikasi. Karena dengan memilih isi dan cara penyampaian tertentu, tujuan komunikasi lebih mudah tercapai. Sebagaimana dikemukakan oleh Newsom & Carrell (2001) Larson (2004) pertama yang perlu diperhatikan dalam perencanaan menyampaikan pesan adalah tentukan informasi apa yang akan disampaikan kemudian rencanakan bagaimana cara penyajiannya. Dalam perumusan pesan mengandung dua persoalan yaitu
26 what to say dan how to say (Wells, et.al 1989; Burton 1990: Durianto, dkk 2003). Pertama, para pembuat pesan memilih informasi apa yang akan disampaikan (what to say). Dalam what to say pembuat pesan memilih informasi yang penting untuk diketahui dan mendapat perhatian audiens. Sedangkan langkah kedua adalah menyusun cara penyajian (how to say) dalam tahap ini pembuat pesan memilih cara penyajian agar audiens terperdaya oleh pesan pesan yang disampaikan. Berlo (1960) mengemukakan dalam menyusun pesan komunikasi salah satu hal yang penting diperhatikan adalah message content, message treatment and message structure. Message content adalah isi atau substansi permasalahan yang dikandung pesan, misalnya seni, politik, dan pertanian. Message treatment adalah bagaimana cara komunikator dan menyampaikannnya, misalnya kejelasan kalimat dan bentuk penyampaian. Message structure adalah bagaimana komunikator menyusun bagian awal, tengah dan akhir agar pesan lebih efektif. Isi Pesan Komunikasi Menurut Brignall (1999) isi pesan komunikasi adalah subject matter yang dikandung oleh pesan tersebut. Sedangkan menurut Farlex (2012), message content - is about subject matter, content, substance communication - something that is communicated by or to or between people or groups. Isi komunikasi adalah sesuatu kandungan yang terdapat dalam pesan komunikasi. Kandungan tersebut adalah persoalan yang sedang dikomunikasikan seperti masalah ekonomi, masalah pertanian, masalah perindustrian. Dalam penelitian ini, isi komunikasi yang dimaksud adalah isi atau bidang masalah yang dibicarakan. Misalnya bidang politik, ekonomi, olahraga, dan lain-lain. Isi komunikasi adalah kandungan pesan yang akan disampaikan. Dalam kandungan pesan terdapat muatan kepentingan, kesesuaian tema, orientasi, jenis alasan dan bentuk bukti. Muatan Kepentingan Goldberg dan Larson (1985) menjelaskan dalam komunikasi kelompok setiap pesan mengandung interest atau muatan kepentingan. Muatan kepentingan yang dimaksud menjelaskan kepentingan siapa yang terkandung dalam pesan
27 tersebut. Michael (2004) mengatakan melalui pesan, seseorang dapat mengetahui maksud atau apa kandungan kepentingan dari pesan tersebut. Muatan komunikasi menggambarkan kepentingan pihak mana yang dikandung oleh pesan tersebut. Muatan kepentingan tersebut dalam konteks komunikasi politik dapat dikelompokkan menjadi kepentingan masyarakat/konstituen, kepentingan pemerintah dan kepentingan partai atau pribadi. a. Suatu pertanyaan/pertanyaan dikatakan memuat kepentingan masyarakat apabila pernyataan/pertanyaan/ tersebut mengandung kepentingan masyarakat umum atau konstituen yang berkaitan dengan persoalan-persoalan pertanian. b. Suatu pernyataan/pertanyaan dikatakan memuat kepentingan pemerintah apabila pernyataan/pertanyaan/ tersebut mendukung kebijakan kepentingan pemerintah dalam bidang pertanian. c. Suatu pernyataan/pertanyaan dikatakan memuat kepentingan partai atau pribadi apabila pernyataan/pertanyaan/ tersebut mengatas-namakan kepentingan pribadi atau partainya. Kesesuaian Tema David M. Berg melakukan pengamatan terhadap 124 diskusi dan 39 kelompok dari berbagai profesi lalu menganalisis isi diskusi yang berlangsung. Berg menemukan ada empat kategori tema diskusi, yaitu: (1) Tema substantif (substantive themes), yaitu tema yang topiknya ada kaitannya dengan tugas kelompok. (2) Tema prosedural (procedural themes), yaitu tema yang memberi perhatian pada bagaimana diskusi harus berkembang, diatur, diubah atau dikoreksi. (3) Tema yang tidak relevan (irrelevant themes), yaitu tema yang tidak ada kaitannya baik secara substantive maupun procedural dengan tugas kelompok. (4) Gangguan-gangguan (disruption) yaitu kejadian-kejadian yang mengganggu tema-tema yang sedang didiskusikan, misalnya kalau dua anggota atau lebih berbicara pada waktu yang bersamaan, (Goldberg & Larson 1985). Penelitian Berg di atas lebih tepat kalau dikatakan kesesuaian tema dengan tugas kelompok. Sejauhmana kesesuaian isi pernyataan peserta dengan tugas kelompok yang sedang dijalankan. Misalnya kelompok membahas masalah
28 petani kesulitan mendapat pupuk, seberapa banyak pernyataan-pernyataan peserta yang ada kaitannya dengan pemecahan petani kesulitan mendaparkan pupuk. Jenis tema dalam komunikasi dapat diartikan sebagai substansi informasi yang dikomunikasikan (Sulkin et.al 2007). Jenis tema atau substansi informasi adalah masalah yang dijadikan subyek dalam pesan komunikasi. Masalah yang dikomunikasikan misalnya pertanian, bibit, harga produk pertanian, distribusi, dan lain-lain. Tema atau topik pembicaraan merupakan pokok persoalan yang ingin disampaikan pelaku kepada pihak lain. Tema pembicaraan ini yang menurut pemikiran pelaku penting untuk disampaikan dan mendapat perhatian pihak lain. Kesesuaian tema terdiri dari 3 kategori, yaitu substantif, prosedural, dan tidak relevan atau gangguan. a. Tema substantif, yaitu pernyataan/pertanyaan dalam rapat sesuai dengan masalah yang sedang dibahas. Pernyataan/pertanyaan yang disampaikan berusaha untuk mencari solusi atas permasalah yang sedang dibahas. b. Tema prosedural, yaitu penyataan yang disampaikan bukan mencari jalan keluar atas permasalahan yang sedang dibahas, tetapi membahas proses rapat dan cara rapat yang efektif, misalnya mengatur penggunaan waktu, mekanisme tanya jawab, dan lain-lain. c. Tema tidak relevan atau gangguan, yaitu pernyataan/pertanyaan yang disampaikan dalam rapat di luar agenda rapat. Pernyataan/pertanyaan tersebut tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dibahas dan tidak ada kaitannya dengan proses rapat namun mengganggu jalannya rapat, misalnya mengemukakan persoalan baru. Orientasi Orientasi komunikasi menurut Goldberg & Larson (1985) adalah suatu pernyataan yang mencerminkan usaha si pembuat pesan untuk merangsang tercapainya tujuan dengan cara menggunakan fakta, memberikan saran yang bermanfaat atau mencoba memecahkan konflik. Orientasi komunikasi dengan demikian dapat diartikan sebagai alasan atau motif seseorang melakukan komunikasi. Menurut Anderson and Martin (1995) ada 6 jenis motif seseorang untuk berkomunikasi, yaitu kesenangan (pleasure is for fun), keperdulian (affection is carring), pelarian (escape is the filling of time to
29 avoid other behaviors), relaksasi (relaxation is an unwinding dimension), mengontrol kekuasaan (control concern power), dan menjalin hubungan (inclusion is sharing of feelings and avoiding loneliness). Orientasi atau motif komunikasi dapat tergambar dari pesan-pesan komunikasi yang dihasilkan. Pesan-pesan tersebut berorientasi pada pemecahan masalah secara substantif, orientasi mendukung pendapat yang dominan, orientasi pada eksistensi diri dan menyudutkan pihak lain. Dari uraian di atas orientasi mengandung makna suatu motif berkomunikasi yang dimiliki aktor. Motif menyampaikan suatu pernyataan/pertanyaan dalam rapat terdiri dari 3 motif, yaitu membantu memecahkan masalah, eksistensi diri, dan menyudutkan pihak lain. a. Orientasi pemecahan masalah yang masuk kategori pemecahan masalah adalah pesan yang disampaikan mencerminkan usaha untuk mencari jalan keluar atas persoalan yang sedang dibahas. Pernyataan/pertanyaan tersebut ditandai dengan usulan, tanggapan, pendapat yang konstruktif. b. Orientasi eksistensi diri adalah pesan komunikasi yang disampaikan dalam rapat untuk menunjukkan kepada orang lain atas kemampuannya atau kehadirannya namun tidak menyampaikan usulan baru atas masalah yang sedang dibahas. Misalnya sekedar mendukung orang lain yang satu fraksi dengannya. c. Orientasi menyudutkan pihak lain, yaitu pernyataan/pertanyaan yang disampaikan dalam rapat sedekar menyudutkan pihak lain tanpa mencari solusi permasalahan yang ada. Argumentasi Pemberian argumen dalam suatu pesan retorika akan meningkatkan efektivitas, (Feng & Burleson 2008). Argumen yang dimaksud secara eksplisit terdapat dalam pesan yang disampaikan. Suatu pesan dengan tema tertentu akan lebih efektif bila mengandung argument atau premise. Argument dan premise yang dimaksudkan adalah berupa proof atau bukti yang kuat dan cukup. Penyertaan bukti atau proof terdiri dari 2 strategi yaitu reasoning dan evidence, (Larson 2004).
30 Reasoning adalah mengemukakan alasan-alasan logika agar pesan dipercaya oleh audiens . Alasan-alasan tersebut dapat dipilih dengan menggunakan logika rasional atau emosional (Belch & Belch 2007). Menurut Larson (2004) strategi argumentasi dengan reasoning terdiri dari: a. Cause to effect reasoning, yaitu pemberian alasan dengan menunjukkan berbagai faktor penyebab. Faktor-faktor penyebab inilah yang menimbulkan akibat. b. Effect to cause reasoning, yaitu pemberian alasan dengan menunjukkan akibat-akibat yang terjadi kemudian mencari penyebabnya. Dari dua argumentasi tersebut pada prinsipnya sama saja. Sehingga penulis menjadikan satu pendekatan yang sama, yaitu argumentasi sebab akibat. c. Reasoning from symptoms, yaitu pemberian alasan dengan menunjukkan gejala-gejala yang mengarah pada sesuatu yang akan terjadi kemudian. d. Criteria to application reasoning, yaitu pemberian alasan dengan menguraikan kriteria-kriteria tertentu yang perlu dipenuhi agar sesuatu dapat mencapai hasil yang diharapkan. e. Reasoning from comparation or by analogy, yaitu pemberian alasan dengan menunjukkan perbandingan-perbandingan atau analogi dengan peristiwa sejenis. f. Deductive reasoning, yaitu pemberian alasan dengan menggunakan logika deduktif. Dari fakta-fakta yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. g. Inductive reasoning, yaitu pemberian alasan dengan menggunakan logika induktif. Dari fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Argumentasi dengan logika deduktif dan induktif juga merupakan cara yang sama. Sehingga penulis menggabungkan menjadi pendekatan logika. Evidence. Strategi evidence adalah pemberian bukti-bukti agar audiens percaya terhadap isi pesan yang disampaikan. Menurut Larson (2004) strategi evidence ini meliputi:
31 a. Direct experience, yaitu pemberian alasan dengan bukti dari pengalaman langsung. b. Dramatic or vicarious experience, yaitu pemberian alasan dengan mendramatisasi atau seolah-olah mengalami sendiri. Dramatisasi terdiri dari empat macam, yaitu i. Narratives, yaitu menguraikan secara sistematis sehingga menimbulkan kesan dramatis dan lengkap ii. Testimony, yaitu pemberian alasan dengan menunjukkan pengakuan- pengakuan dari pihak lain sebagai bukti. iii. Anecdotes, yaitu pemberian alasan dengan menunjukkan anekdot iv. Participation & Demonstration, yaitu pemberian alasan cara mendemintrasikan dan mengajak orang lain terlibat melakukannya. c. Rationally processed Evidence, yaitu memberikan bukti yang masuk akal dengan menguraikan secara kronologis. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam retorika atau persuasi sangat memerlukan argumen. Pemberian argumen ada dua langkah utama dalam meyakinkan audiens yaitu pemberian alasan dan pemberian bukti. Jenis Alasan Dari uraian di atas penulis mengelompokkan jenis alas an terdiri dari: sebab akibat, gejala, kriteria, perbandingan dan logika. Suatu pernyataan/ pertanyaan yang disampaikan mengandung jenis alasan tertentu apabila mengindikasikan salah satu jenis alasan berikut ini. a. Sebab akibat, yaitu pernyataan yang menggunakan alasan sebab akibat sebagai pendukung argumentasinya. b. Gejala, yaitu pernyataan yang menggunakan alasan gejala-gejala sebagai pendukung argumentasinya c. Kriteria, yaitu suatu pernyataan yang menggunakan alasan criteria (patokan) tertentu sebagai pendukung argumentasinya. d. Perbandingan, yaitu suatu pernyataan yang menggunakan alasan perbandingan sebagai pendukung argumentasinya.
32 e. Logika yaitu suatu pernyataan yang menggunakan akal sehat sebagai pendukung argumentasinya. Bentuk Bukti Bentuk bukti suatu pemberian alasan dalam pernyataan/pertanyaan dengan menampilkan bukti-bukti. Bentuk bukti terdiri dari pengalaman langsung, dramatisasi naratif, drmatisasi testimony, dramatisasi anekdot, drmatisasi, demonstrasi, dan rasionalisasi. Suatu pernyataan/pertanyaan dikatakan mengandung bukti bila mengindikasikan salah satu dari bentuk bukti berikut ini: a. Pengalaman langsung, yaitu suatu pernyataan yang menggunakan bukti pengalaman langsung sebagai pendukung argumentasinya. b. Dramatisasi naratif, yaitu suatu pernyataan yang menggunakan penggambaran informasi secara lengkap sehingga terkesan dramatis sebagai pendukung argumentasinya. c. Dramatisasi testimony, yaitu suatu pernyataan yang menggunakan cuplikan pengalaman-pengalaman orang lain sehingga terkesan dramatis sebagai pendukung argumentasinya. d. Dramatisasi anekdot, yaitu suatu pernyataan yang menggunakan lelucon sehingga terkesan dramatis sebagai pendukung argumentasinya. e. Dramatisasi demonstrasi, yaitu suatu pernyataan yang menggunakan peragaan sederhana agar orang lain berpartisipasi sehingga terkesan dramatis sebagai pendukung argumentasinya. f. Rasionalisasi, yaitu suatu pernyataan yang menggunakan kronologi peristiwa secara logis sebagai pendukung argumentasinya Sehubungan penelitian ini menggunakan analisis isi pesan melalui dokumen, bentuk bukti demontrasi tidak disertakan dalam kategori penelitian. Karena demontrasi tidak dapat diteliti dalam naskah notulensi rapat. Cara Penyajian Sisi lain dari persuasi, selain tentang perumusan pesan adalah bagaimana cara penyajiannya. Austin (Yu 2002; Oishi 2006 ) dalam bukunya „How to Do Things with Words yang dikenal dengan speech act theory, menjelaskan „to say something is to do something. In other words, saying is an act of utterance. A
33 statement not only describes a situation or states some facts, but also performs a certain kind of action by itself. Sewaktu berbicara, seseorang telah melakukan tindakan yang meliputi penyampaian kalimat yang di dalamnya memuat arti dan maksud dari pembicara, (Masaki 2004). Mengartikan maksud atau makna kalimat pembicara perlu memperhatikan arti kalimat dan cara penyampaiannya. Deskripsi tentang cara penyajian adalah menjelaskan cara-cara yang digunakan oleh aktor dalam berkomunikasi. Cara-cara tersebut meliputi kejelasan pesan, sikap kritis dan bentuk penyampaian topik yang menjadi bahan pembicaraan. Kejelasan Pesan Goldberg dan Larson (1985) mengkategorikan kejelasan (clarity), sebagai suatu pernyataan menurut pendengar atau membacanya merasa yakin bahwa dia mengerti maksud yang ingin disampaikan si pembuat pesan. Mudah dimengerti apabila pesan yang disampaikan bersifat sistematis tidak berbelit-belit, menggunakan bahasa baku dan istilah yang umum. Sementara menurut Malik & Iriantara (1994) untuk meningkatkan efektivitas persuasi perlu memperhatikan penggunaan bahasa. Bahasa dalam persuasi hendaklah mengandung akurasi dan kesederhanaan. Akurasi artinya, pembicara hendaknya memilih kata yang tepat untuk maksud yang tertentu. Supaya tidak memiliki arti yang ganda, pembicara perlu memilih kata yang paling tepat bila perlu ditambahkan penjelasannya. Kesederhanaan artinya, gunakanlah kata-kata yang banyak dimengerti orang awam. Lebih khusus lagi, gunakan kalimat yang pendek dan konkrit sehingga makna dapat ditangkap langsung dengan jelas. Kejelasan pesan dapat dibagi dua kategori, yaitu jelas dan tidak jelas. a. Jelas apabila pernyataan/pertanyaan yang disampaikian menggunakan bahasa Indonesia baku dan istilah yang umum. b. Tidak jelas apabila pernyataan/pertanyaan yang disampaikan tidak menggunakan bahasa Indonesia baku dan banyak istilah asing.
34 Sikap kritis Strategi komunikasi dalam rapat antara lain dengan kemampuan berdebat untuk mempertahankan argumentasi masing-masing. Setelah pendapat disampaikan sering ditanggapi dengan persetujuan atau bantahan oleh pihak lain. Sehubungan dengan itu, setiap pihak berusaha untuk mempertahanan pendapat masing-masing. Kesediaan menerima atau menolak dapat diartikan sebagai sikap dalam komunikasi. Sebagaimana dikatakan Burgoon (1994), akomodatif komunikasi merupakan gambaran dari sikap untuk bersedia bekerjasama atau tidak dengan pihak lain. Akomodasi diartikan oleh Gudykunst (2003) suatu strategi berbicara yang dilakukan seseorang agar tujuannya tercapai seperti mendapat dukungan atau menunjukkan bahwa dirinya berbeda dari yang lain. Dalam teori negosiasi menolak tawaran argumenasi pihak lain merupakan suatu strategi memenangkan negosiasi. Bertahan mempertahankan pendapat dan menolak pendapat orang lain dengan berbagai argumentasi merupakan strategi dalam memenangkan negosiasi, (Gudykunts 2003). Sikap kritis atau kesediaan menerima adalah strategi berbicara yang dilakukan seseoang agar tujuannya tercapai. Kesediaan menerima atau sikap kritis dalam penelitian ini adalah kesediaan untuk menerima atau tetap menolak pendapat orang lain. Bila langsung menerima pendapat orang lain dikategorikan sebagai sifat tidak kritis atau sebaliknya. Bila sulit menerima pendapat orang lain dikategorikan bersifat kritis. Kritis adalah suatu pernyataan/pertanyaan yang disampaikan menunjukkan penolakan terhadap pendapat pihak lain. Tidak kritis adalah suatu pernyataan/pertanyaan yang disampaikan menunjukkan kesediaan menerima pendapat pihak lain. Bentuk Penyampaian Bentuk penyampaian merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam menyampaikan pesan komunikasi kepada orang lain. Menurut Searle (dalam Lilltejohn & Foss 2008) beberapa bentuk penyampaian pesan komunikasi lisan adalah assertive, directive, commissive, expressive, declarative. Sementara
35 Bentuk penyampaian dapat dikelompokan menjadi beberapa bentuk seperti provokatif, interogatif, dan deklaratif, (Agne & Tracy 2009). Menurut Reiter yang dikutip Murni (2009) modus komunikasi lisan dalam meminta informasi ada empat yaitu imperatif, interogatif, negatif interogatif, dan deklaratif. Sementara Tsuzuki at.al (dalam Murni 2009) menemukan modus komunikasi meminta informasi ada dua yaitu imperative dan interogatif. Imperatif adalah gaya komunikasi yang dilakukan apabila pelaku memandang dirinya sederajat dengan lawan bicara. Interogatif adalah gaya komunikasi yang dilakukan apabila pelaku memandang dirinya memiliki status sosial lebih tinggi dari lawan bicara. Sementara Lilltejohn & Foss (2008) Poythress (2008) mengutip pendapat Searle, mengatakan yang penting dalam teori ujaran adalah illocutionary, yaitu bagaimana kalimat disampaikan. Searle menggaris bawahi lima tipe dari illocutionary, yaitu assertive, directive, commissive, expressive, declarative. Assertive merupakan pernyataan yang digunakan pembicara untuk mendukung kebenaran dari proposisi. Hal ini meliputi mengungkapkan, menegaskan, menyimpulkan, mempercayai, dan menghormati. Directive, berupa pernyataan berusaha membujuk pendengar untuk melakukan sesuatu. Misalnya pernyataan memerintah, meminta, memohon, berdoa, mengundang, dan sebagainya. Commissive, yaitu pernyataan yang digunakan pembicara untuk menyatakan tindakan yang akan terjadi. Misalnya pernyataan berjanji, bersumpah, menjamin, berkontrak, dan memberi garansi. Expressive, yaitu pernyataan mengungkapkan aspek psikologi pembicara, seperti berterima kasih, mengucapkan selamat, meminta maaf, dan mengucapkan selamat datang. Declarative yaitu penyataan yang mengungkapkan apa yang akan dilakukan atau apa yang menjadi pendiriannya. Misalnya pernyataan akan pengangkatan, pernikahan, dan pemberhentian. Dari uraian di atas, bentuk penyampaian pesan komunikasi dalam rapat dengat pendapat dapat dikelompokkan sesuai pendapat Searle yaitu, asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.
36 Asertif, merupakan pernyataan yang digunakan pembicara untuk mendukung kebenaran dari proposisi. Hal ini meliputi mengungkapkan, menegaskan, menyimpulkan, mempercayai dan menghormati. Direktif, berupa pernyataan berusaha membujuk pendengar untuk melakukan sesuatu. Misalnya pernyataan memerintah, meminta, memohon, berdoa, mengundang, dan sebagainya. Komisif, yaitu pernyataan yang digunakan pembicara untuk menyatakan tindakan yang akan terjadi. Misalnya pernyataan berjanji, bersumpah, menjamin, berkontrak, dan memberi garansi. Ekspresif, yaitu pernyataan mengungkapkan aspek psikologi pembicara, seperti berterima kasih, mengucapkan selamat, meminta maaf, dan mengucapkan selamat datang. Deklaratif, yaitu penyataan yang mengungkapkan apa yang akan dilakukan atau apa yang menjadi pendiriannya. Misalnya pernyataan akan pengangkatan, pernikahan, dan pemberhentian. Kategori ekspresif dalam penelitian ini tidak disertakan, karena bentuk penyampaian ekspresif tidak dapat ditemukan dalam naskah notulensi rapat. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Komunikasi Dalam berkomunikasi seseorang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menjelaskan sesuatu salah atau benar. Di samping itu, dalam berkomunikasi terkandung hubungan esmosional yang seperti rasa hormat, rasa solidaritas, keadaan status sosial, dan kekuasaan yang mereka miliki. (Fetzer 2008). Sejalan dengan itu, Erb & Bohner (2007) mengemukakan, dalam berkomunikasi seperti menyampaikan pendapat, seseorang bukan hanya menggambarkan pengetahuan yang dimilikinya tetapi juga menggambarkan siapa dirinya. Artinya dalam berkomunikasi, konsep diri menjadi faktor yang turut berpengaruh. Sementara itu menurut Parsons (dalam Ritzer & Goodman 2005) mengatakan tindakan dipengaruhi oleh: lingkungan, sistem cultural, sistem sosial, sistem kepribadian, organisasi perilaku, dan lingkungan fisik organis.
37 Sementara menurut Giles & Street (1994) McQuail & Windahl (1985) perilaku komunikasi diperngaruhi faktor perbedaan individual seperti personality, psychological, sociodemographic. Hal senada juga dikemukakan oleh Rakhmat (2001) yang mengatakan bahwa perilaku komunikasi dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor sosial atau lingkungan. Selain faktor-faktor di atas, menurut Stacks et.al (1991) perilaku manusia berkomunikasi juga disebabkan oleh tuntutan peran dari seseorang. Setiap orang menjalankan peran sesuai tuntutan social, (Wigboldus & Douglas 2007). Peran- peran yang dijalankan sangat tergantung konteks ruang dan waktu. Bagaimana perilaku ditentukan oleh peran yang sedang dijalankan. Bagaimana perilaku merupakan tuntutan peran yang dijalankan seperti seorang ibu, seorang mahasiswa, seorang anggota legislatif dan peran-peran lainnya, (Larson 2004). Peran-peran inilah yang menjadi dasar terbentuknya organisasi sosial dan perilaku sosial. (Johson 1990). Dalam menjalankan peran yang dipilih, seseorang harus belajar dari nilai-nilai budaya dan lingkungannya, (Kearsey 2010; Larson 2004). Faktor personal yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri seseorang. Faktor-faktor personal menurut sistem kepribadian sering juga disebut personalitas atau kepribadian. Menurut Parsons yang dikutip oleh Ritzer & Goodman (2005) personalitas adalah sistem orientasi dan motivasi tindakan individu yang terorganisir. Sementara Gamble & Gamble (2005) dan Gudykunst (2003) mengatakan perilaku komunikasi ditentukan oleh self concept atau konsep diri. Self concept adalah bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri (Berger et.al. 2010; Gamble & Gamble 2005; Johnson 1990). Konsep diri terdiri dari dua faktor yaitu self-image dan self-esteem. Self-image are the roles you see yourself performing, the categories you place yourself within, the words you use to describe or identity yourself and your understanding on how others see you. Self-esteem usually derives from your successes and/or failures. Thus It colors your sefl-image with a predominantly positive or negative hue. Konsep diri seseorang di ditentukan oleh karakteristik seperti, jenis kelamin, agama, ras, nasionalisme, fisik, peran, bakat, dan kemampuan mental, Sedangkan Soliz and Giles (2010); Gamble & Gamble (2005), istilah karakteristik
38 individual banyak disamakan dengan sosiodemographic. Sementara sosiodemographic menurut Giles & Street (1994) adalah gender, usia, status social, tingkat ekonomi, ras, agama. Selanjutnya De Landtsheer (2006) mengatakan, banyak studi menunjukkan bahwa faktor personal seperti usia, jenis kelamin, dan penampilan fisik berpengaruh pada perilaku komunikasi. Eadie (2009) mengatakan perilaku komunikasi kelompok sangat dipengaruhi oleh latarbelakang budaya dan personality anggota kelompok. Ruben (1992), Windahl et.al. (1992) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku komunikasi adalah karakteristik personal seperti pendidikan dan pengalaman. Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan untuk mengalisis dan mengambil keputusan dalam berkomunikasi. Keputusan dalam komunikasi dapat berupa strategi yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain. Strategi terebut dapat berupa isi pesan yang disampaikan dan cara menyampaikannya. Sedangkan pengalaman mempengaruhi kemampuan komunikasi karena pengalaman memberikan kita pelajaran mana yang sesuai untuk kita gunakan. Pengalaman mengejari seseorang untuk lebih baik dalam perilaku. Sebagaimana dikemukakan teori social learning theory (Bandura 1997). Manusia mampu melakukan sesuatu karena manusia belajar. Semua kemampun yang kita miliki adalah hasil proses bejalar dan pengalaman. Kemampuan berkomunikasi dengan demikian dipengaruhi oleh banyak sedikitnya pengalaman. Semakin banyak pengalaman, kemampuan berkomunikasi semakin baik atau sebaliknya. Dari pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan, perilaku komunikasi dipengaruhi oleh karakteristik personal seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, agama, dan pengalaman. Penelitian Terdahulu dan State of the Art Penelitian terhadap perilaku komunikasi anggota legislatif sudah beberapa kali dilakukan. Misalnya penelitian Emrus (2009) yang bertajuk Subjektivitas Aktor Politik Mengkonstruksi Makna pada Perilaku Komunikasi Politik Anggota DPR. Emrus melakukan pendekatan kualitatif tentang perilaku komunikasi
39 anggota DPR dalam menkontruksi makna dalam pembahasan isi RUU bidang politik tentang asas, dan kedaulatan partai, asas dan larangan bagi partai politik menyebarkan ajaran komunis di Indonesia serta pendidikan politik. Penelitian Emrus menemukan, setiap anggota DPR memiliki perbedaan makna terhadap asas partai politik. Hal ini menimbulkan perbedaan perilaku komunikasi politik. Partai nonkeagamaan cenderung lebih menginginkan Pancasila sebagai asas partai daripada partai keagamaan. Perbedaan kembali terlihat dalam pandangan tentang larangan penyebaran ajaran komunisme. Semua partai sepakat menolak ajaran komunis di Indonesia, namun mereka berbeda pandangan tentang pemuatannya dalam RUU Partai Politik. Partai keagamaan lebih kuat mendukung larangan bagi partai politik menyebarkan ajaran komunis dibandingkan partai non-agama. Munculnya variasi pandangan dalam pembahasan RUU ini, sebagai produk subjektivitas dari para aktor politik yang dilatari oleh tujuan politik yang berbeda. Cara pandang yang bertolak belakang membuat proses komunikasi politik menuju kutub benturan yang disertai dengan tensi komunikasi tinggi. Karena itu, para aktor politik memaknai perkembangan politik, selanjutnya merumuskan tujuan dan strategi tindak komunikasi politik. Dalam hal ini, para aktor politik melakukan proses pertukaran wewenang politik melalui komunikasi politik untuk mencapai kesepakatan, atau ketidaksepakatan yang sesuai dengan tujuan politik dari para aktor politik. Tindak komunikasi politik yang diperankan berbeda satu dari yang lain. Tampaknya perbedaan itu sejalan dengan gradasi kepentingan politik terhadap pusat kekuasaan eksekutif. Sayangnya, komunikasi politik yang didasari oleh subjektivitas anggota DPR itu cenderung berpihak pada kepentingan partai politik dibandingkan kepentingan masyarakat. Saat anggota dewan menggelar proses persidangan yang dinyatakan tertutup untuk publik, komunikasi politik antaranggota dewan bisa berlangsung lebih terbuka, mengutamakan kepentingan bersama, baik pada konteks partai maupun individu. Sehingga Emrus menyimpulkan bahwa anggota DPR dalam merumuskan perundang-undangan cenderung mendahulukan kepentingan pribadi dan kepentingan partainya daripada kepentingan masyarakat umum.
40 Penelitian Emrus diperkuat oleh penelitian Susanti, dkk. (2005) yang menemukan bahwa keberadaan fraksi di DPR memandulkan peran dan fungsi anggota DPR untuk berbeda pendapat dalam rapat. Anggota DPR tunduk kepada fraksi, karena fraksi adalah perpanjangan tangan partai yang ada di DPR. Fraksi memiliki wewenang untuk menetapkan dan memberhentikan anggotanya di DPR. Kekuasaan fraksi inilah yang membuat anggota DPR lebih mendahulukan kepentingan partai daripada kepentingan umum. Penelitian lain tentang perilaku komunikasi DPR dilakukan oleh Rusfian (2010) yang meneliti pola hubungan variabel kepribadian, variabel situasional dan variabel budaya terhadap perilaku komunikasi anggota DPR dalam situasi konflik. Penelitian Rusfian menemukan bahwa dalam siuasi konflik, perilaku komunikasi angota DPR tidak dipengaruhi oleh keperibadian, situasi dan budaya. Bila variabel kepribadian, variabel situasional, dan variabel budaya diuji dengan analisis jalur secara simultan terhadap perilaku komunikasi anggota DPR, diperoleh hasil bahwa tidak semua variable tersebut berhubungan langsung dengan perilaku komunikasi anggota DPR. Rusfian sebelumnya menduga bahwa variabel sosial budaya, variabel kepribadian dan variabel situasional mempengaruhi perilaku komunikasi anggota DPR-RI dalam situasi konflik. Rusfian mengoperasionalkan variabel sosial budaya dengan: maskulinitas dan feminitas; variabel kepribadian dengan: kontrol tempat, machiavellinisme, pengambilan resiko, monitoring diri dan harga diri; sedangkan variabel situasional dioperasionalkan dengan: motivasi, orientasi pada orang lain, keanggotaan dalam kelompok sosial. Penelitian terhadap bentuk komunikasi anggota DPRD dilakukan oleh Hanida (2007). Hanida memilih judul penelitian Bentuk Komunikasi Politik Anggota Dewan Perwakilan Rakyat DaerahTerhadap Konstituen di Daerah Pemilihannya Studi Deskriptif Kegiatan Masa Reses I dan II Tahun 2005 Anggota DPRD Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Periode 2004-2005. Hanida menemukan bahwa bentuk komunikasi politik yang dilakukan adalah berupa tatap muka dan dialog serta kunjungan lapangan. Bentuk kegiatan komunikasi yang dilakukan anggota DPRD selama reses adalah berupa:
41 a. Rapat membicarakan rencana persiapan reses, menyusun jadwal, materi kegiatan, serta memilih koordinator dan personal struktur tim. b. Menghadiri pertemuan dengan konstituen di tempat yang telah disediakan oleh pemerintah kecamatan ataupun kelurahan, dalam rangka mengkomunikasikan tugas, peranan anggota DPRD, kiprah di Legislatif, serta informasi reses dewan ke daerah pemilihan. c. Silahturami dengan masyarakat ketika anggota dewan turun ke lapangan menemui konstituennya secara langsung. Sementara di sisi lain, faktor penghambat efektifnya komunikasi DPRD dengan konstituen di Padang antara lain disebabkan oleh: a. Kurangnya partisipasi masyarakat b. Dana yang terbatas dari pemerintah daerah c. Waktu pertemuan dan sarana yang terbatas d. Kesibukan anggota DPRD dan Masyarakat yang majemuk Penelitian Hanida cenderung menggambarkan tidak efektifnya komunikasi antara DPRD dengan masyarakat disebabkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat memberikan aspirasi, kurangnya waktu, dan kesibukan. Tidak dijelaskan kurang efektifnya komunikasi antara DPRD dengan masyarakat yang disebabkan oleh kurangnya perhatian anggota DPRD pada kepentingan konstituennya. Penelitian disertasi tentang perilaku komunikasi anggota DPRD juga dilakukan oleh Murni (2009) dari Universitas Sumatera Utara. Murni bertujuan untuk menggambarkan kesantunan berbahasa anggota DPRD dalam rapat meminta penjelasan, kesantunan berbahasa dalam meminta pendapat dan memisahkan perilaku berbahasa yang normatif dan berbahasa yang santun. Dalam penelitian tersebut digunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan observasi partisipasi pasif, telaah dokumentasi dan hasil rekaman. Hasil penelitian menunjukkan perilaku berbahasa yang santun di DPRD Sumatera Utara direalisasikan melalui: a) modul deklaratif dalam meminta penjelasan dan modul interogatif dan imperatif dalam memberikan pendapat; b)
42 pronomi yang menggabungkan ingroup (kelompok dalam) dengan outgroup (kelompok luar); c) kata berpagar (heges); dan d) penurun (downtoner) Tahun 2004 Asep Jauhari menulis tesis tentang peranan komunikasi Politik dalam proses legislasi memilih kasus pembahasan UU No. 29 Tahun 2000 tentang Pelindungan Tanaman di Komisi III DPR-RI. Dalam penelitiannya Jauhari (2004) hendak mendeskripsikan dan mengidentifikasi aspek apa saja yang berhubungan dengan perilaku komunikasi politik serta menganalisis hubungan perilaku komunikasi dengan keefektifan pelaksanaan legislasi. Jauhari menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan metode survey. Jauhari memilih variabel penelitian karakteristik personal, karakteristik situasional, potensi hambatan dalam hubungannya dengan perilaku komunikasi politik anggota Komisi III DPR RI. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan nyata antara variabel karakteristik personal, karakteristik situasional, potensi hambatan dengan perilaku komunikasi politik anggota Komisi III DPR RI. Perilaku komunikasi politik berhubugan nyata dengan keefektifan pelaksanaan legislasi. Tahun 2004 Frida Kusumasturi melakukan penelitian penerapan etika organisasi dan komunikasi etis di organisasi DPRD kota NK dalam rapat. Dalam penelitian itu, Kusumastuti menggunakan pendekatan studi kasus dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan analisis risalah rapat. Hasil penelitian Kusumastuti menunjukkan komunikasi etis yang muncul dalam rapat masih besifat netral, kurang kritis dan kurang proaktif. Perilaku komunikasi verbal dan non verbal belum menampakkan konvergensi terhadap komunikasi etis yang disebabkan oleh (a) ketidakmampuan anggota DPRD dalam menampilkan komunikasi non verbal, (b) ada maksud-maksud tersembunyi dari komunikasi etis yang disampaikan secara verbal. Penelitian Marie & Venderbergen (2008) tentang taktik komunikasi dalam debat politik melalui televisi dan suratkabar di Belgia tahun 2004 dilakukan menggunakan analisis linguistik. Hasil penelitian menemukan para politisi cenderung menghindari tanggapan langsung. Dalam menjawab sering menggunakan kalimat yang bersifat paradoksial yang mengarah pada pernyataan yang meragukan sebagai strategi dalam debat.
43 Penelitian-penelitian di atas beberapa ingin mendeskripsikan perilaku komunikasi anggota DPR dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat (Emrus 2009) dan mencari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku komunikasi anggota DPR pada situasi krisis (Rusfian 2010). Penelitian Hanida ingin mendeskripsikan bentuk komunikasi antara anggota DPRD dengan konstituen. Penelitian Murni (2009) mendiskripsikan kesantunan komunikasi anggota DPRD Sumatera Utara. Penelitian Kusumastuti (2004) mendeskripsikan perilaku komunikasi etis anggota DPRD. Penelitan Jauhari mendeskripsikan perilaku komunikasi politik dan peranannya dalam pelaksanaan legislasi anggota DPR komisi III. Di tinjau dari obyek penelitian, penelitian terdahulu yang memilih konsep perilaku komunikasi anggota DPR memiliki kesamaan, namun bila ditinjau dari definisi konsep dan operasionalisasi penelitan tersebut sangat jauh berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini ingin mengkaji perilaku komunikasi anggota DPR-RI komisi IV dalam Rapat Dengar Pendapat ditinjau dari teori retorika dan speech act theory yang diimplementasikan dalam pesan yang disampaikan. Ditinjau dari substansi permasalahan pertanian, penelitian Jauhari memiliki kemiripan dengan penelitian ini yaitu sama-sama masalah pertanian dan sama-sama komunikasi politik di DPR-RI. Jauhari memilih substansi permasalah pembahasan UU perlindungan tanaman dan penulis memilih perilaku komunikasi anggota DPR-RI komisi IV dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian Pertanian tahun 2010 sebagai perwujudan peran memperjuangkan kepentingan konstituen petani. Penelitian Jauhari membatasi bidang pertanian perlindungan tanaman sedangkan penelitian ini tidak membatasi bidang. Penelitian ini meneliti pesan komunikasi anggota DPR komisi IV dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Pertanian. Secara metodologis, penelitian Emrus (2009), Murni (2009), dan Kusumastuti (2004) menggunakan studi kasus, penelitian Rusfian (2010), Jauhari (2004), dan Hanida (2007) menggunakan metode survey. Pendekatan penelitian ini akan menggunakan metode analisis isi dokumen. Karena penelitian ini hendak menggambarkan perilaku komunikasi anggota DPR-RI Komisi IV dalam dalam
44 Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian Pertanian tahun 2010 melalui risalah rapat. Penelitian Marie dan Vendenbergen (2008) menggunakan metode penelitian analisis dokumen terhadap rekaman debat politik di media suratkabar dan media televisi. Perbedaaan penelitian ini dengan Marie Vendenbergen yaitu terletak pada bahan yang dianalisis. Marie dan Vendenbergen menganalisis dokumen debat politik yang dimuat di media massa untuk melihat strategi komunikasi dengan memperhatikan bahasa yang digunakan dengan metode wacana kritis, Sementara penelitian ini menganalisis dokumen rapat anggota Komisi IV DPR-RI dengan Kementerian Pertanian selama tahun 2010 untuk mendeskripsikan isi pesan dan cara penyampaian pesan komunikasi. Metode yang digunakan dalam analisis dokumen adalah analisis isi kuantitatif.
Download
Study collections