antisipasi krisis keuangan global

advertisement
ANTISIPASI KRISIS KEUANGAN GLOBAL
I nsti tute for De vel opm ent of Econom ics and Fina nce (I NDEF )
08 Oktober 2008
Pelemahan makroekonomi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) saat ini telah
bergerak menjadi sesuatu yang lebih dalam dan serius. Hal ini terlepas dari telah
disetujuinya paket penyelamatan sebesar 700 miliar dolar AS oleh Kongres AS.
Gejolak yang bermula dari macetnya kredit perumahan (subprime mortage) dan
diikuti oleh bangkrutnya banyak raksasa keuangan kini telah menjalar ke seluruh
urat nadi perekonomian negara tersebut.
Harga
perumahan
mengakibatnya
pengeluaran,
di
AS
tergerusnya
yang
mengalami
aset
secara
rumah
menyebabkan
keruntuhan
tangga
pelemahan
yang
output
massif.
menekan
dan
Hal
ini
tingkat
meningkatnya
pengangguran. Pada saat yang sama, kenaikan harga energi dan pangan global
akan menurunkan pendapatan riil lebih lanjut, begitu juga pelemahan ekonomi
yang terjadi di negara lain menyebabkan jatuhnya tingkat ekspor sang adidaya.
Ambruknya harga perumahan juga mengakibatkan runtuhnya asetnya perusahaan
dan lembaga keuangan. Satu hal yang menyebabkan ketidakpastian dan
ketidakpercayaan terhadap derajad solvency dan likuditas dari peminjam, atau
bahkan terhadap nilai kapital yang dimiliki sang peminjam sendiri. Sehingga aliran
kredit terhenti dan kemudian menyebabkan tersendatnya aktivitas bisnis.
Pelemahan sistematis yang berpangkal dari kejatuhan harga perumahan ini
menyebabkan ketidakefektifan paket bail-out yang dikeluarkan pemerintah AS.
Sebab
paket
ini
pada
dasarnya
hanya
berisikan
tiga
hal:
Pertama,
diperbolehkannya pemerintah AS mengelontorkan dana sampai sebesar 700 milyar
dollar untuk membeli hutang kredit perumahan yang bermasalah secara bertahap.
Kedua, dibukanya kemungkinan bagi lembaga penjamin simpanan (Federal
Deposit Insurance Corporation, FDIC) untuk menaikan limit penjaminan dari
US$100.000 menjadi US$250.000 per orang, dan Ketiga, dipersilahkannya pihak FDIC
1
untuk
meminjam
dana
talangan
sebesar
apa
pun
kepada
departemen
perbendaharaan (treasury) jika dibutuhkan.
Berbagai klausul di atas tidak memuat pasal yang membolehkan intervensi secara
langsung pemerintah untuk menopang harga rumah yang justru merupakan kunci
persoalaan. Sehingga bisa diperkirakan bahwa krisis di negara tersebut akan terus
berlanjut dan menyebabkan lebih banyak lembaga keuangan berguguran.
Sementara, gelombang deras dari krisis tersebut telah menyentuh ke berbagai
negara lain. Keruntuhan banyak nama-nama tenar di dunia keuangan terjadi di
banyak negara. Fortis, Hypo Real Estate, Indover, Landsbanki, dan Royal Bank of
Scotland adalah secuil dari deretan korban teranyar.
Dengan episentrum krisis yang masih membara, serta riak-riak yang semakin
bertebaran di berbagai belahan dunia, maka gelombang panas serupa juga akan
–atau bahkan telah –menyentuh perekonomian nasional. Paparan singkat ini akan
memberikan update kondisi terakhir, mekanisme transmisi, skala kerentanan, serta
beberapa rekomendasi sebagai langkah antisipasi ke depan.
Transmisi Krisis Keuangan Global: Konter Diagnosis
Dari berbagai pernyataan kepada publik yang ada di media, terungkap bahwa
hampir semua pengambil kebijakan di negeri ini beranggapan bahwa penularan
krisis global pada perekonomian domestik akan menempuh mekanisme transmisi
perdagangan dengan segala turunannya. Ekspor diyakini akan melemah, sebagai
akibat pelemahan permintaan dari negara-negara partner dagang, yang melalui
berbagai dampak multipliernya akan menyebabkan pelemahan output dan
turunnya tingkat pendapatan.
Maka, untuk mengantisipasi hal ini dikumpulkanlah para menteri dan pengusaha
pilihan dalam satu rapat kabinet untuk menyusun satu strategi perdagangan yang
bertujuan
meningkatkan
perolehan devisa.
2
diversifikasi
perdagangan
dan
mempertahankan
Anggapan ini tidaklah salah, meski kurang tepat. Dalam kajian teoritis tradisional,
siklus bisnis antar satu dengan negara lainnya saling terkait antara lain melalui aliran
barang dan jasa. Impor satu negara adalah ekspor negara lainnya, sehingga resesi
di satu negara akan tertransmisi secara global, karena penurunan permintaan di
satu tempat menyebabkan tertekannya ekspor di tempat lain.
Akan tetapi dalam kajian kontemporer transmisi ini terbukti kurang berpengaruh.
Beberapa penyebabnya antara lain adalah kompetisi yang menyebabkan
fleksibelnya terms-of trade antara negara. Selain itu, pelemahan permintaan juga
kerap memerlukan jangka waktu yang panjang untuk berpengaruh ke negaranegara lain, karena adanya efeknya J-curve, apresiasi atau depresiasi mata uang
yang kerap lebih dari cukup menopang permintaan untuk kembali ke titik awal,
serta fenomena back-to-back exports yang kerap dipraktekkan oleh perusahaan
transnasional .
Lebih dari itu, untuk konteks Indonesia, pengalaman yang ada menunjukkan bahwa
transmisi dan efek penularan (contagion effect) dari satu krisis tidak terjadi melalui
perdagangan. Hal in bisa disimak dari Figur 1. Pengalaman pada krisis moneter
1997/98 menunjukkan bahwa bahkan pada puncak krisis di tahun 1998, laju ekspor
Indonesia tetap menunjukkan tingkat pertumbuhan positif. Ekspor hanya turun
dramatis setelah terjadi kekacauan pada dunia keuangan yang menyebabkan
tersendatnya jasa letter of credit serta kehancuran berbagai infrastruktur di tahun
1999.
3
Figur 1: Pertumbuhan total ekspor dan ekspor ke AS.
Sumber: BPS, berbagai seri.
Demikian juga, lepas dari episode krisis yang ada (1997/98, 2001 dan 2005), rasio
ekspor terhadap PDB Indonesia cendrung stabil pada kisaran 30 persen dan kurang
terpengaruh dari berbagai pelemahan global yang ada (Figur 2). Lompatan pada
1998 yang diikuti pelemahan pada tahun selanjutnya lebih disebabkan oleh
depresiasi tajam rupiah, sehingga mengubah nilai sementara kuantitas kurang
terpengaruh.
4
60%
53%
50%
41%
39%
36%
40%
33%
30%
32%33%
33%34%
30%
30% 25%26%
Export/ GDP
USExport/ GDP
20%
11%
10%
7% 6%
5% 4% 4%
4% 3% 3% 3% 3%
6% 5%
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1995
1990
0%
Figur 2: Rasio total ekspor dan ekspor ke AS terhadap PDB.
Sumber: BPS, berbagai seri.
Lebih lanjut, untuk konteks drama krisis kali ini yang memiliki pusat di AS, proporsi
penyerapan ekspor nasional oleh negara tersebut juga cenderung menurun dari
tahun ke tahun (Figur 3). Yang sesungguhnya harus diwaspadai justru adalah
pelemahan dari negara-negara sekawasan di Asia, yang proporsinya sebagai
negara tujuan ekspor mengalami peningkatan . Bahkan beberapa penelitian
terakhir
di
bidang
ini
menunjukan
adanya
semacam
decoupling,
antar
pertumbuhan emerging markets di Asia, termasuk Indonesia, dengan negaranegara maju. Sementara, keterkaitan antara negara berkembang dengan ang
lainnya justru mengalami derajat keterikatan yang semakin tinggi (Lihat Figur 4).
5
35%
29%
30%
25%
24%
23%
25%
22%
21%
30%
29%
29%
26%
22%
21%
ASEANMinus
Singapore
21%
20%
Singapore
14%
14%
15%
11%
10%
14%
13%
9%
8%
7%
16%
13%
12%
9%9%
12%
12%
12%
9%9%
9%9%
11%
10%
9%
12% 13% 12%
10%
10% 10%
Jepang
AsiaLainnya
AmerikaSerikat
5%
Uni Eropa
0%
2000
2002
2003
2005
2006
2007
2008*
Figur 3: Ekspor berdasarkan beberapa negara tujuan.
Sumber: BPS, berbagai seri.
Figur 4: Asian contagion and regional coupling.
Sumber: Krugman (2008).
Dari berbagai bukti-bukti ini, transmisi perdagangan agaknya kurang cukup untuk
menginstigasi sebuah krisis di Indonesia. Dampak melalui kanal ini mungkin akan
tersasa sekedar sebagai sebuah second-round effect yang imbasnya tidak akan
bersifat melumpuhkan dan signifikan dalam jangka pendek.
Transmisi yang sesungguhnya secara teoritik dan historis lebih relevan untuk konteks
Indonesia adalah transmisi melalui aliran modal –international finance multiplier.
6
Transmisi ini beroperasi melalui neraca dari berbagai lembaga keuangan dan fund
manager internasional, yang berinvestasi di berbagai negara. Berbagai lembaga ini
kerap melakukan realokasi dan rekomposisi struktur aset, kewajiban dan modalnya
bila terjadi peristiwa, seperti misalnya krisis keuangan di AS. Krisis ini menyebabkan
larinya modal dari tempat yang kurang aman ke lebih aman, selain menyebabkan
berpindahnya jenis aset dari satu aset yang tidak dianggap aman ke jenis aset
yang lebih pasti.
Ralokasi dan rekomposisi yang didorong oleh kepanikan dan sifat intrisik dari pasar
uang ini (herd-behaviour) akan menyebabkan kejatuhan nilai aset di satu negara
yang ditinggalkan. Penjualan secara massif akan terjadi dan menyebabkan
terdepresiasinya nilai mata uang negara yang ditinggalkan dan kejatuhan harga
yang menekan nilai bersih aset lembaga-lembaga keuangan domestik.
Dengan kejatuhan nilai aset maka perusahan memerlukan satu rekapitalisasi atau
injeksi modal untuk mencegah kebangkrutan/ keambrukan, sehingga akan
meningkatkan permintaan dana (loanable fund) pada perekonomian domestik.
Ironisnya, tekanan permintaan ini terjadi pada saat terjadi pelarian modal, dan
untuk kasus Indonesia juga pada saat tingginya pertumbuhan kredit domestik dan
rendahnya pertumbuhan dana pihak ketiga (dpk). Sehingga hal ini berpotensi
menciptakan satu krisis likuiditas yang akan menekan suku bunga ke atas.
Kejatuhan nilai aset, harga modal (suku bunga) yang tinggi dan krisis likuditas yang
tercipta bila terjadi pada skala yang luas dapat dikategorikan sebagi satu krisis
moneter. Bila ini berlanjut menyebabkan berhentinya aliran modal ke sektor riil,
maka akan tercipta juga satu gejala lengkap krisis ekonomi. Aliran dana adalah
darah bagi denyut aktivitas perekonomian. Sehingga bila terganggu akan
melemahkan
pertumbuhan,
penyerapan
tenaga
kerja
dan
uapaya
pemberantasan kemiskinan. Dengan kata lain terjadinya suatu fenomena yang
dikenal sebagai sudden stop dan sudden reversal dari aliran dana.
Dalam hal ini, beberapa kajian menyebutkan beberapa leading indicators yang
dapat digunakan sebagai satu early warning system (EWS) akan terjadinya krisis
moneter (Lihat misalnya, Lestano, Jacobs and Kuper 2003 atau Goldstein 2005).
Untuk Indonesia dari kajian terhadap krisis 1997/98, beberapa variabel yang paling
relevan adalah nilai kurs Rupiah, indeks harga saham, kredit luar negeri serta nilai
7
timbal (yield) dari obligasi negara dan cadangan devisa terhadap impor dan PDB
(Ema Annisa 2008).
Berbagai indikator ini menunjukkan perkembangan yang mengkhawatirkan
beberapa hari terakhir. Rupiah terus melemah melebihi 300 poin dan ditutup pada
angka Rp9.560 per dollar AS, setelah pada perdagangan pada 7 Oktober 2008
sempat diperjualbelikan pada kisaran Rp9.700 per dollar AS. Demikian juga, bursa
saham domestik terus melemah dan jatuh lebih dari 40 persen dalam beberapa
minggu terakhir. Pelemahan ini adalah yang terburuk dalam skala global, bahkan
bila dibandingkan kejatuhan bursa saham di episentrum krisis global kali ini (AS).
Sebagaimana terlihat pada Figur 5, bursa saham Indonesia lebih terpelanting
negara-negara lain.
Figur 5: Perubahan nilai index bursa beberapa negara.
Sumber: Bloomberg.
Kenaikan yield obligasi negara dalam satu bulan pun (5 September –6 Oktober
2008) mencapai di atas 50 basis poin untuk semua jenis obligasi (Figur 6). Pada saat
yang sama, yield curve terus bergerak naik, yang menandakan adanya
peningkatan premi resiko untuk jangka lebih panjang dan sentimen pasar yang
memburuk. Konsekuensi dari hal ini adalah semakin tergerusnya nilai aset lembaga
8
keuangan. Sebab yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Sehingga
kenaikan yield menyebabkan turunnya nilai obligasi, dus aset lembaga keuangan.
9
Figur 6: Perubahan yield obligasi negara
Sumber: Bursa Efek Indonesia Online, www.idx.co.id.
Terlepas dari beberapa indikator tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia
mengatakan bahwa sistem keuangan nasional adalah cukup kuat. Dua hal yang
kerap disebut-sebut sebagai indikator ketahanan sistem keuangan ini adalah nilai
cadangan devisa dan rasio kredit terhadap PDB. Cadangan devisa saat ini
memang telah mencapai sekitar 58 milyar dollar (13.5 persen terhadap PDB), yang
berarti lebih dari 3 bulan impor. Angka ini jauh lebih dari saat krisis 1997/98 diamana
cadangan devisa berkisar 10 milyar dollar (6 persen PDB). Demikian pula, dari kriteria
tradisional, angka ini memang dapat dikatakan aman. Akan tetapi benarkah
demikian?
10
Dalam kajian mutakhir, ukuran tradisional 3 bulan impor tidak lagi bisa dijadikan
patokan ketahanan sistem keuangan. Alasannya, dalam satu krisis pergerakan kurs
dan pelarian modal akan sangat cepat dan menyebabkan tergerusnya nilai riil dari
cadangan devisa secara instan. Untuk Indonesia, hal ini juga ditambah lagi dengan
fakta bahwa separuh dari cadangan devisa Indonesia didenominasikan dalam aset
berdenominasi dollar AS, seperti US treasury bond yang nilainya saat ini terus
tertekan. Begitu juga, secara relatif, nilai cadangan devisa nasional sesungguhnya
tidak terlalu mengesankan dibandingkan dengan negara-negara lain (Figur 7).
Sehingga adalah salah kaprah bila dikatakan cadangan devisa nasional adalah
aman.
11
Figur 7: Perbandingan cadangan devisa negara-negara Asia
Hal ini ditambah pula dengan peningkatan drastis jumlah hutang, baik pemerintah
maupun swasta, dalam beberapa tahun terakhir. Nilai obligasi swasta bukan jasa
keuangan dalam US dollar tercatat meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan
nilai yang ada pada krisis 1997/98 (Figur 9). Demikian pula pinjaman dalam mata
uang asing oleh lembaga swasta non jasa keuangan yang tumbuh hampir sama
cepat dengan peningkatan kredit dalam rupiah (Figur 9).
12
Figur 8: Laju peningkatan obligasi swasta bukan jasa keuangan
13
Figur 9: Laju peningkatan hutang dan LDR dalam rupiah dan mata uang asing
Peningkatan laju pinjaman baik dalam rupiah maupun mata uang asing
menyebabkan rasio LDR riil (kerdit rupiah ditambah asing/ dana pihak ketiga)
semakin mendekati kapasitas penuh (1). Per Maret 2008, nilai LDR riil sudah
mencapai 80 persen, pada saat LDR rupiah baru mencapai 60 persen (Figur 9). Saat
14
ini LDR rupiah sudah mencapai 70 persen (Per Agustus 2008), sehingga ceteris
paribus LDR riil bisa mencapai angka 90 persen. Padahal ini belum termasuk
pinjaman yang dilakukan oleh lembaga bank (dan pemerintah!) dalam mata uang
asing. Bila jumlah ini ditambahkan maka LDR sesungguhnya sudah menunjukkan
lampur merah dengan rasio melebihi 100 persen. Dengan latar belakang ini bisa
dibayangkan bila kemudian terjadi pelarian modal. Krisis likuiditasnya agaknya di
depan sudah ada di depan mata.
Isu lain yang menarik dan luput selama ini adalah isu tentang coupling or
decoupling antara pasar uang dan pasar barang. Pertanyaan besarnya adalah
apakah krisis yang kini tengah melanda pasar uang akan berpengaruh secara
nyata pada variabel-variabel riil seperti PDB, Investasi dan konsumsi rumah tangga,
termasuk juga tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Pengalaman
beberapa
tahun
terakhir
menunjukkan
bahwa
ada
sedikit
keterpisahan (decoupling) antara kedua pasar ini di Indonesia. Segala hiruk pikuk
yang terjadi di pasar uang seringkali tidak berdampak secara signifikan terhadap
dinamika di sektor riil, terutama pada variabel pengangguran dan kemiskinan.
Figur 10: Rata-rata hutang sektoral 2007.
Akan tetapi, volatilitas dan fluktuasi di pasar uang yang tinggi akan lebih cepat
mempengaruhi sektor riil. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter 1997/98. Suku
bunga dan depresiasi Rupiah yang meroket menyebabkan terganggunya arus
dana ke pasar barang. Dan sektor yang agaknya akan paling tertekan bila terjadi
kemacetan lalu lintas dana adalah sektor manufaktur, diikuti tambang , jasa dan
15
pertanian. Semua sektor ini adalah sektor pendorong pertumbuhan dan penyerap
tenaga kerja terbanyak. Sehingga terganggunya sektor keuangan secara langsung
akan turut memukul pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja dan pemberantasan
kemiskinan.
Beberapa Rekomendasi
Dengan latar belakang di atas, beberapa rekomendasi kami tawarkan dalam
paparan ini. Rekomendasi pertama berada dalam lingkup pasar uang dan kondisi
moneter, yang menempati prioritas paling tinggi sebagai berikut.
Rekomendasi Stabilisasi Moneter
1. Tetap menjaga independensi pengambil kebijakan dan mencegah sejauh
mungkin intervensi pihak luar dalam pengambilan keputusan;
2. Sebisa mungkin mempertahankan suku bunga yang ada saat ini. Kebutuhan
peningkatan suku bunga tidak relevan dengan persoalan yang ada saat ini.
Demikian pula ke depan terdapat prospek penurunan harga pangan dan
minyak sebagai akibat resesi global yang akan mengurangi tekanan
terhadap inflasi domestik;
3. Peningkatan pagu jaminan simpanan perorangan pada LPS dari Rp100 juta
menjadi Rp250 juta;
4. Penginjeksian secara besar-besaran likuiditas ke dalam sistem perbankan
nasional. Injeksi dapat dilakukan dengan
a. Penurunan ketetapan giro wajib minimum mengikuti fluktuasi nilai
obligasi negara,
b. Perpanjangan fasilitas repurchase (repo) bagi pemegang obligasi
negara dan perluasan fasilitas repo untuk individual,
c. Peningkatan batas maksimum nominal pembawaan uang kartal ke
luar negeri,
d. Pengerahan dana APBN dan APBD yang idle ke dalam simpanan
bank, terutama bank BUMN,
16
e. Membuat satu kerangka aturan yang mewajibkan lembaga pensiun
dan asuransi untuk sejauh mungkin menempatkan dananya pada
perbankan;
5. Pemberlakuan Kontrol devisa terbatas dengan mewajibkan penempatan
export-proceeds di
dalam
negeri
kurang
dari
dua
minggu
setelah
penerimaan pembayaran dan penetapan restriksi pada jangka masuk-keluar
modal untuk mencegah spekulasi;
6. Pelarangan keseluruhan transaksi derivatif, baik melalui lembaga formal
perbankan dan pasar modal, atau over-the-counter;
7. Pembentukan lembaga procurement untuk mengatur transaksi devisa BUMN;
8. Keharusan mendapatkan izin bank sentral bagi transaksi arus ke luar modal
dalam jumlah tertentu;
9. Mengambil inisiatif percepatan pencapaian kesepakatan koordinasi operasi
pasar dan kerjasama likuiditas antar bank sentral sekawasan.
Rekomendasi Fiskal
1. Mempertahankan tingkat defisit yang ada sesuai dengan target pada
APBNP 2008 sebesar 1.7 persen. Bahkan bila memungkinkan peningkatan
defisit bisa dilakukan hingga angka 2 persen. Tambalan untuk defisit bisa
menggunakan sisa dana yang dialokasi untuk subsidi energi;
2. Percepatan fiscal disbursement dengan sistem stick and carrot berupa
pengurangan dan realokasi dana bagi kementerian/ lembaga/ daerah
yang terlambat melakukan pembelanjaan;
3. Penyiapan
satu
skema
social
safety
net
yang
komprehensif
untuk
mengantisipasi full-blown crisis.
4. Melibatkan pemerintah daerah secara lebih erat sebagai mitra dan
pelaksana berbagai kebijakan yang ditetapkan.
Rekomendasi Kelembagaan dan Pencegahan Kejatuhan Pertumbuhan
1. Percepatan pembentukan Perpu protokol krisis dan menyampaikannya
secara gamblang ke pada publik tentang berbagai skenario yang ada;
17
2. Mewaspadai politik dumping dari negara-negara yang ingin merelokasi
ekspornya ke Indonesia dengan senantiasa menyesuaikan tariff bea masuk
bila perlu;
3. Penyiapan satu skema darurat yang memungkinkan BI untuk terjun langsung
dan memotong intermediasi perbankan dalam menjamin kelancaran
likuditas perusahaan dan lalu-lintas ekspor;
4. Melakukan implementasi secara saksama dan konsisten berbagai kebijakan
insentif ekspor yang sudah ada;
5. Menyiapkan insentif pada pengusaha lokal untuk mengggarap pasar
domestik sebagai bentuk import competition;
6. memberikan prioritas yang sama kepada pengusaha domestik dan
pengusaha asing dalam hal investasi;
7. Penataan kelembagaan pemberian insentif dan disentif usaha pada satu
pintu untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan pengambilan
kesempatan dalam kesempitan;
8. Peningkatan due diligence perbankan dan lembaga keuangan secama
umum dengan penciptaan unit khusus yang berisikan BI, Pemerintah dan
orang perorang Independen untuk melakukan due-diligence aset lembaga
keuangan termasuk bank, perusahaan asuransi dan dana pensiun.
18
Download