BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sikap 2.1.1 Definisi Sikap Sikap

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sikap
2.1.1 Definisi Sikap
Sikap merupakan salah satu konsep yang menjadi perhatian utama dalam ilmu
psikologi sosial. Sikap juga merupakan proses evaluasi yang sifatnya internal / subjektif
yang berlangsung dalam diri seseorang dan tidak dapat diamati secara langsung, namun
bisa dilihat apabila sikap tersebut sudah direalisasikan menjadi perilaku. Oleh karena itu
sikap bisa dilihat sebagai positif dan negatif. Apabila seseorang suka terhadap suatu hal,
sikapnya positif dan cenderung mendekatinya, namun apabila seseorang tidak suka pada
suatu hal sikapnya cenderung negatif dan menjauh. Selain melalui perilaku, sikap juga
dapat diketahui melalui pengetahuan, keyakinan, dan perasaan terhadap suatu objek
tertentu. Jadi, sikap bisa diukur karena kita dapat melihat sikap seseorang dari yang sudah
disebutkan sebelumnya.
Sikap berasal dari kata “aptus” yang berarti dalam keadaan sehat dan siap
melakukan aksi / tindakan atau dapat dianalogikan dengan keadaan seorang gladiator
dalam arena laga yang siap menghadapi singa sebagai lawannya dalam pertarungan.
Secara harfiah, sikap dipandang sebagai kesiapan raga yang dapat diamati (Sarwono,
2009). Berikut adalah beberapa definisi sikap dari para ahli:
a) Menurut Allport, sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu proses yang berlangsung
dalam diri seseorang, bersama dengan pengalaman individual masing-masing,
mengarahkan dan menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi (Sarwono,
2009).
b) Sikap merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak disukai terhadap sesuatu atau
seseorang, menunjukkan kepercayaan, perasaan, atau kecenderungan perilaku seseorang
Zanna & Rempel, 1988 (dalam Sarwono, 2009)
c) Sikap merupakan kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi
entitas tertentu dengan beberapa derajat kesukaan atau ketidaksukaan (Eagly & Chaiken,
1993, dalam Sarwono, 2009)
d) Sikap merupakan evaluasi terhadap beberapa aspek perkataan sosial Baron & Byrne,
2006 (dalam Sarwono, 2009)
e) Menurut Thurstone, Likert, dan Osgood sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi
perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau
memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak
(unfavorable) pada objek tersebut (Azwar, 2012).
f) LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan
antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan
(Azwar, 2012).
g) Secord & Backman (1964) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal
perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2012).
Dari definisi-definisi mengenai sikap diatas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
suatu kecenderungan dan keyakinan seseorang terhadap suatu hal yang bersifat mendekati
(positif) atau menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif & kognitif dan mengarahkan pada
pola perilaku tertentu. Sedangkan definisi sikap terhadap operasi peneliti simpulkan sebagai
kecenderungan dan keyakinan individu mengenai operasi yang bersifat mendekati (positif)
dan menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif dan kognitif dan mengarahkan pada pola
perilaku tertentu.
2.1.2 Komponen Sikap
Thurstone berpendapat tentang adanya komponen afektif pada sikap, Rokeach
berpendapat pada sikap adanya komponen kognitif dan konatif (Walgito, 2011).
Sedangkan komponen sikap menurut Mar’at 1984 (dalam Rahayuningsih, S. U., 2008)
mencakup tiga hal yaitu:
1. Komponen kognitif berhubungan dengan belief (kepercayaan dan keyakinan), ide,
konsep. Bagian dari kognitif yaitu: persepsi, stereotype, opini yang dimiliki individu
mengenai sesuatu.
2. Komponen afeksi berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang, menyangkut
perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Afeksi
merupakan komponen rasa senang atau tidak senang pada suatu objek.
3. Komponen perilaku / konatif merupakan komponen yang berhubungan dengan
kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap objek sikap.
2.1.3 Fungsi Sikap
Menurut Baron, Byrne, dan Branscombe (dalam Walgito, 2011), terdapat lima
fungsi sikap sebagai berikut.
1. Fungsi pengetahuan
Sikap membantu kita untuk menginterpretasi stimulus baru dan menampilkan respon
yang sesuai. Contohnya, karyawan baru harus diberi informasi sebelum masuk kerja,
agar selalu ramah dan santun terhadap setiap klien, agar kerja sama bisa lebih
maksimal dan terjaga.
2. Fungsi identitas
Sikap terhadap kebangsaan Indonesia (nasionalis) yang kita nilai tinggi,
mengekspresikan nilai dan keyakinan serta mengkomunikasikan “siapa kita”. Dalam
pertemuan resmi antar masyarakat Indonesia dengan luar negeri, orang Indonesia
memakai kebaya atau batik untuk mencerminkan budaya dan identitas kita sebagai
rakyat Indonesia.
3. Fungsi harga diri
Sikap yang kita miliki mampu menjaga atau menigkatkan harga diri. Misalnya, ketika
ada perkumpulan yang mengharuskan kita berhadapan dengan banyak orang, sikap
kita harus tetap terjaga untuk menjaga harga diri.
4. Fungsi pertahanan diri (ego defensive)
Sikap berfungsi melindungi diri dari penilaian negatif tentang diri kita. Misalnya,
sikap kita harus tetap ramah terhadap atasan sekalipun kita tidak suka padanya, agar
kita tetap terus bekerja di perusahaannya.
5.
Fungsi memotivasi kesan (impression motivation)
Sikap berfungsi mengarahkan orang lain untuk memberikan penilaian atau kesan
yang positif tentang diri kita. Contohnya, menjaga sikap seperti bahasa tubuh ketika
pertama kali masuk ke lingkungan baru agar memberi kesan baik dan positif.
2.2 Persepsi Ketidakpastian
2.2.1 Definisi Persepsi
Teori Bem (1975) mengenai persepsi diri dapat dipandang sebagai teori yang
sangat terbatas, yang berkaitan dengan keadaan khusus mengenai atribusi. Teori persepsi
diri adalah teori yang berkaitan dengan pengertian individu mengenai atribusi dirinya
sendiri dan merupakan laporan atau catatan semacam pengetahuan diri.
Konsep model utama yang dibangun Bem adalah proses persepsi diri, yang
merupakan analisis fungsional tentang kejadian dari teori penguatan Skinner. Hal utama
dari analisis Bem yang orisinil adalah fenomena pada atribusi diri, dibutuhkan
pengetahuan diri yang baru, tidak diperlukan motivasi atau aspek kognitif dari
pengetahuan diri yang lain. Ia mengemukakan bahwa individu menjadi tahu tentang sikap,
kepercayaan, dan atribusi melalui observasi perilaku di lapangan dalam hubungannya
dengan tuntutan lapangan.
Secara singkat, dalam analisis fungsi perilakunya, karena dipersepsikan secara
bebas, tidak terkekang oleh tekanan lingkungan atau hambatan, perilaku dilihat sebagai
refleksi dalam kaitannya dengan atribusi diri. Sebaliknya, apabila dihambat oleh
lingkungan, perilaku tidak akan dilihat oleh actor sebagai refleksi keadaan internal, sifat,
ataupun sikap (Walgito, 2011).
2.2.2 Persepsi Ketidakpastian
Ketidakpastian menurut Mishel (dalam Kang, 2002) dapat didefinisikan sebagai
situasi yang melibatkan kognisi dimana subjek tidak dapat menetapkan nilai – nilai pada
suatu kejadian atau objek dan tidak dapat memprediksikan hasil secara akurat karena
kurangnya sinyal, dan informasi yang tidak jelas dan tidak tepat. Mishel mengemukakan
teori Uncertainty in Illness yaitu ketidakpastian pada penyakit yang diderita. Menurut
Mishel, meskipun ketidakpastian berawal dari hanya satu aspek diri, namun dapat
menyebar menyebar ke aspek lain. Ketidakpastian semakin besar dengan meningkatnya
gangguan – gangguan ke aspek identitas diri dan kehidupan seseorang (Mishel, dalam
Davis, 2011).
Menurut teori Mishel (dalam Ko, 2005) ada tiga antecedent (hal yang
mendahului) utama pada ketidakpastian yaitu
1. Stimulus frame. Tiga variable yang digunakan untuk mengukur stimulus pada model
ini adalah karakteristik penyakit, sejarah penyakit, dan pengobatan-pengobatan
selama perawatan. Tiga komponen dari stimulus frame adalah:
-
Informasi pada gejala-gejala yang berkaitan dengan sensasi fisik
-
Peristiwa / kejadian yang familiar berkaitan dengan lingkungan perawatan
kesehatan
-
Kecocokan kejadian dimana stimulus nya terprediksi dan stabil
2. Structure providers. Komponen stimulus frame secara positif dipengaruhi oleh
structure providers yang menurut Mishel didefinisikan sebagai antecedents /
pendahulu dari ketidakpastian yang mencakup:
-
Autoritas yang dapat dipercaya
-
Dukungan social
-
Edukasi
3. Kapasitas kognisi. Antecedent ketiga secara positif mempengaruhi evaluasi pada
stimulus frame. Kurangnya informasi yang didapatkan dan ketidakpahaman informasi
mempersulit individu untuk mengkategorikan atau menyusun elemen pada penyakit
dan operasinya.
Gambar 2.1 Mishel’s Theoritical Model
Sumber: Nai-Ying Ko, 2005
Stimulus frame adalah karakteristik stimulus yang dipersepsikan oleh individu.
Kapasitas kognitif adalah kemampuan pasien untuk memproses informasi. Structure
providers adalah penyedia perawatan kesehatan atau suatu kelompok yang mendukung
yang mempengaruhi pasien secara positif dan negative. Stimuli frame, cognitive
capacities, dan structure providers adalah antecedents ketidakpastian. Ketidakpastian
bisa menjadi positif atau negatif (suatu keuntungan / kesempatan atau bahaya). Inference
adalah bagaimana pasien melihat diri mereka sebagai bagian dari lingkungan dan ilusi,
salah satunya bisa menyebabkan bahaya yang membuat ketidakpastian menjadi negative
atau kesempatan sebagai hal yang positif. Penggunaan mekanisme coping terhadap
adaptasi ketidakpastian operasi.
Menurut teori, ketidakpastian berkembang dari beberapa variabel antecedents
(penyedia struktur, kerangka stimulus, dan kapasitas kognitif), yang ditengahi dengan
karakteristik kepribadian dan penilaian utama. Penengah antara ketidakpastian dan hasil
dari ketidakpastian mencakup: keoptimisan (Christman, 1990); harapan (Hilton, 1994);
penguasaan (Mishel, 1991); dan mencari informasi (Rosenbaum, dalam Albertsen, 2009).
Mishel (2006) memaparkan dalam teori Uncertainty in Illness menarik dari model
proses
informasi
dan
penelitian
kepribadian
dari
disiplin
psikologi,
yang
mengkarakteristikkan ketidakpastian sebagai keadaan kognitif akibat dari sinyal atau
tanda-tanda yang tidak mencukupi untuk membentuk skema, atau representasi internal
pada peristiwa atau situasi tertentu. Menurut Mishel, proses penilaian tiap individu pada
ketidakpastian adalah apa saja yang membahayakan dan apa saja kesempatan yang dapat
terjadi, atau apa saja hasil negatif dan positif yang terjadi.
Menurut Mishel, teori ketidakpastian adalah peristiwa di persepsikan tidak pasti
karena individu tidak dapat menentukan hal-hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut.
Ketidakpastian terjadi ketika individu tidak dapat menetapkan nilai-nilai yang pasti pada
objek
/
peristiwa
mengkategorisasikan
tersebut
karena
ketidakpastian
kurangnya
sebagai
tanda
sesuatu
dan
yang
informasi.
baru,
Mishel
kompleksitas,
ambiguitas, dan ketidakterdugaan dan kurangnya informasi. Menurut Mishel (1983),
pasien dengan edukasi yang tinggi lebih memiliki kemampuan dalam mengakses
informasi
mengenai
operasi
dan
penyakitnya
sehingga
ketidakpastian dalam diri (Mishel, 1988 dalam Madeo, dkk 2012).
mengecilkan
keadaan
Dari penjelesan di atas mengenai persepsi ketidakpastian dapat disimpulkan
bahwa persepsi ketidakpastian adalah situasi dimana individu tidak dapat menetapkan
nilai pada objek atau kejadian tertentu dan tidak dapat memprediksi hasil – hasil yang
akan terjadi secara akurat karena ketidakjelasan, kerumitan, ketidakterdugaan dan
kurangnya informasi.
2.2.3 Faktor-Faktor Persepsi Ketidakpastian
Faktor-faktor persepsi ketidakpastian, digunakan untuk skala MUIS (Mishel’s
Uncertianty in Illness Scale) untuk membuat item – item pernyataan. Seperti dijelaskan
oleh Mishel, (dalam Albertsen, 2009) faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ambiguity: ketidakjelasan mengenai operasi bagi dirinya, ketidakjelasan mengenai
kondisi penyakit yang tidak jelas dan sering berubah – ubah
2. Complexity: kompleksitas dan kerumitan mengenai operasi, prosedur dan perawatan
operasi bagi dirinya.
3. Lack of Information: informasi yang sedikit dan kurangnya informasi mengenai
operasi bagi dirinya
4. Unpredictability: kemampuan pasien untuk memprediksikan mengenai hasil operasi
dan memprediksikan gejala penyakit.
2.3 Identitas Ego
2.3.1 Definisi Identitas Ego
Teori identitas ego dari Erik Erikson berangkat dari psikoanalisa, tetapi mencakup
pengaruh lingkungan social lebih luas dan aspek perkembangan social perluasan dari
teori Freud psikoseksual. Menurut Freud, ego adalah suatu aspek kepribadian yang
berhubungan dengan realita. ego dikembangkan oleh pikiran sebagai barisan utama
dalam berinteraksi pada dunia luar. Identitas ego menurut tahapan perkembangan
psikososial Erikson, menjadi isu remaja yang paling besar, dimana konflik dan krisis
tersebut baru dialami oleh remaja dan berkembang hingga dewasa. Tiap tahapan
perkembangan psikososial menurut Erikson, saling berhubungan dan tumbuh pada diri
individu secara berkaitan satu sama lain. Semua tahapan perkembangan psikososial
adalah proses yang berlangsung secara terus menerus dan saling berhubungan (Erikson,
1994).
Identitas ego adalah salah satu bagian dari perkembangan manusia yang dimulai
dari anak-anak hingga dewasa. Pembentukan identitas ego mencakup perpaduan antara
kemampuan, kepercayaan, dan identifikasi menjadi suatu keterkaitan, sesuatu yang unik
dan utuh yang menciptakan rasa kontinuitas pada masa lalu dan arahan untuk masa
depan. Identitas ego juga biasa disebut “perasaan”, “sikap”, “resolusi” dan lain-lain. Cara
lain dalam menafsirkan identitas adalah sebagai self-structure yaitu sekumpulan
dorongan internal, kemampuan, kepercayaan, dan sejarah individu. Semakin baik
individu membangun struktur, semakin individu menyadari keunikan dan persamaan
dengan orang lain, kelemahan dan kekuatan dirinya. Struktur identitas ego bersifat
dinamis, unsur-unsur terus menerus ditambahkan dan dikesampingkan (Kroger dan
Marcia, 2011).
Identitas ego dapat juga disebut sebagai self growth atau pertumbuhan diri.
Individu membentuk identitas ego dari berbagai aspek seperti fisiologis, psikologis,
biologis, dan social. Aspek-aspek tersebut di integrasi secara penuh oleh kesadaran dan
ego yang matang. Pertumbuhan diri juga berasal dari pengalaman-pengalaman subjektif
yang mencakup perilaku, pikiran, dan perasaan. Pengalaman-pengalaman subjektif
tersebut membentuk identitas ego terutama komitmen yang semakin matang.
Perkembangan identitas ego berkaitan dengan kejadian-kejadian dalam kehidupan (Geise,
2008).
Identitas bisa dilihat dalam dua bentuk, pertama identitas sosial dan kedua
identitas pribadi. Identitas soial adalah dimana individu mengkategorikan dan
membedakan diri mereka ke dalam suatu kelompok sosial tertentu dengan menjadi
anggota di dalamnya dan menyamakan nilai-nilai kelompok pada dirinya. Identitas
pribadi yaitu jika individu membedakan dirinya dengan individu lain dimana tiap
individu memiliki keunikan masing-masing dan tidak dapat diubah sekalipun dalam
kelompok (Fearon, 1999).
Berikut ini adalah beberapa definisi identitas ego (Fearon, 1999).
1. Identitas ego adalah konsepsi-konsepsi seseorang mengenai siapa mereka, orang
seperti apakah mereka, bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain (Hogg &
Abrams, 1988)
2. Identitas ego dideskribsikan sebagai cara individu dan grup mendefinisikan diri
mereka dan didefinisikan orang lainberdasarkan ras, etnik, agama, bahasa, dan
budaya (Deng, 1995).
3. Identitas ego didefinisikan sebagai pemahaman dan harapan diri yang cenderung
stabil dan spesifik (Wendt, 1992).
4. Identitas ego adalah komitmen dan identifikasi dalam diri yang dibentuk dari
berbagai pengalaman apa yang terbaik dan bernilai, apa yang harus dilakukan, apa
yang saya setujui dan ditentang (Taylor, 1989).
5. Identitas ego sebagai struktur diri internal yang mencakup self-constructed, suatu
dorongan, kemampuan, kepercayaan yang dinamis, dan sejarah individu. (Marcia,
1980).
6. Identitas ego adalah rasa sadar pada diri yang berkembang dan dibentuk dari
interaksi social sehingga individu menyadari keunikan dirinya yang berbeda dari
orang lain (Erikson, 1994).
Dari definsi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa identitas ego adalah
pengenalan diri dan pemahaman diri secara utuh agar dapat mengetahui keunikan kita
yang membedakan diri kita dengan orang lain dan dapat mengkategorikan diri kita dalam
kelompok social tertentu.
Menurut Erikson, sebagai sebuah potret diri, identitas ego terdiri dari berbagai
potongan (Santrock, 2007):
a) Identitas pekerjaan / karir:Jalur karir dan pekerjaan yang ingin diikuti
b) Identitas politik: Apakah seseorang itu memiliki aliran politik yang konservatif,
liberal, atau berada di antara keduanya
c) Identitas religious: Keyakinan spiritual seseorang
d) Identitas relasi: apakah seseorang itu hidup melajang, menikah, bercerai, atau
hidup bersama.
e) Identitas prestasi / intelektual: sejauh mana seseorang termotivasi untuk berprestasi
dan menjadi seorang yang intelek.
f) Identitas seksual: apakah seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.
g) Identitas budaya / etnis: bagian dari dunia atau Negara manakah seseorang itu
berasal dan seberapa intensifkah orang itu beridentifikasi dengan warisan
budayanya
h) Minat: hal – hal yang gemar dilakukan seseorang, termasuk olahraga, music, da
hobi
i) Kepribadian: karakteristik keoribadian individu (introvert, ekstrovert, cemas atau
santai, bersahabat atau bermusuhan, dan seterusnya).
j) Identitas fisik: gambaran tubuh seseorang.
2.3.2 Karakteristik Identitas Ego
Menurut Erikson 1968 (dalam Kumru dan Thompson, 2003) untuk menentukan
status identitas ego pada diri seseorang, ada 2 kriteria variable yang terdiri dari krisis dan
komitmen, yang diaplikasikan ke pilihan pekerjaan, agama, dan ideology politik.
Menurut Erikson, 19868 (dalam Bartoszuk dan Pittman, 2009) inti dari pembentukan
identitas adalah individu melakukan eksplorasi pada berbagai alternatif pada suatu daerah
tertentu dan membuat keputusan dan komitmen yang berarti bagi kehidupannya.
Ada dua definisi berbeda mengenai eksplorasi pada identitas. Pertama, eksplorasi
menurut Marcia (dalam Dumas, Ellis, dan Wolfe, 2012) mengidentifikasi dua proses
yang mendasari perkembangan identitas ego hasil pengembangan dari Erikson, pertama
adalah self-exploration (yang biasa disebut Erikson krisis) atau eksplorasi diri yang
berarti individu telah mempertimbangkan pilihan-pilihan yang berbagai alternatif yang
bermakna dalam dirinya. Menurut Erikson (1968) eksplorasi disebut juga krisis yang
terjadi pada individu, yaitu memilah-milah pilihan di kehidupannya sebelum
berkomitmen atau menjatuhkan pilihan. Eksplorasi ini disebut exploration in-breadth.
Definisi eksplorasi kedua seperti yang dikemukakan oleh Meeus, Iedema, et al,
2002 (dalam Crocetti, Rubini, Meeus, 2008) bahwa eksplorasi adalah suatu penggalian
dan pencarian informasi mengenai salah satu pilihan atau komitmen yang sudah
ditentukan. Meeus meyakini bahwa individu yang sudah berkomitmen akan melanjutkan
eksplorasi pada daerah pilihannya. Individu yang sudah berkomitmen pada suatu hal di
dalam kehidupannya, secara aktif ia akan mengeksplor komitmen yang sudah ditetapkan
dengan merefleksi pilihannya, menggali informasi mengenai pilihan tersebut, dan
membicarakan pilihan tersebut dengan orang lain.
Ketika individu sudah menentukan pilihan atau berkomitmen pada daerah dalam
hidupnya, mereka akan melakukan in-depth exploration, penggalian dan eksplorasi pada
pilihan yang sudah ia tentukan. Individu cenderung akan menjaga komitmen mereka
dengan mencari tahu informasi-informasi pilihan tersebut. Ketika individu sudah tidak
ingin berkomitmen dengan pilihan sebelumnya, maka ia melakukan reconsideration of
commitment, yaitu pencarian alternatif pilihan lain dan menentukan pilihan baru. Pada
fase inilah individu mengeksplorasi alternatif lain dan tidak mengeksplorasi pilihan yang
sudah mereka tentukan sebelumnya (Meeus dkk, 2010).
Karakteristik identitas ego berikutnya adalah komitmen. Komitmen pada identitas
menurut Marcia (dalam Dumas, Ellis, dan Wolfe, 2012) yaitu individu sudah memilih
suatu pilihan dari berbagai alternatif dan menentukan jalan hidup untuk dirinya.
Komitmen terjadi apabila individu sudah mempertimbangkan pilihan-pilihan berbeda
atau mengeksplorasi alternatif.
Identitas terus berubah dan akan mengalami revisi di sepanjang kehidupan.
Manusia akan mempertimbangkan ulang dan megubah komitmen pada daerah-daerah di
kehidupannya karena berbagai hal. Berubahnya komitmen mendorong individu untuk
mencari alternatif lain. Konseptualisasi pertimbangan ulang komitmen, sama seperti
definisi eskplorasi dari Marcia (1966), mencakup investigasi berbagai komitmen baru
(Crocetti, Rubini, Meeus, 2008).
Identity achievement dan identity diffusion adalah dua status yang berlawanan
menurut teori Erikson. Identity achievement bisa dicapai oleh individu apabila ia sudah
mengalami periode krisis dan sudah berkomitmen pada bidang pekerjaan dan segala
bidang dalam hidupnya. Sedangkan orang yang masih dalam fase identity diffusion belum
mengalami periode krisis, dan masih kurang berkomitmen dengan bidang-bidang yang
ada. Dia belum mempertimbangkan berbagai pilihan dari bidang pekerjaan dan minat
yang ada.
Individu bisa mencapai tingkat kedawasaan identitas (mature adult identity)
apabila dia sudah mengeksplorasi berbagai pilihan dan sudah berkomitmen pada suatu
hal dalam hidupnya. Sedangkan individu yang tingkat eskplorasi dan komitmen pada
dirinya rendah, maka ia tergolong identity diffused, yaitu sering dilemma dan berubah-
ubah pilihan dan nilai kehidupannya (Marcia, 1966 dalam dalam Dumas, Ellis, dan
Wolfe, 2012).
2.3.3 Identitas Ego Dewasa
Menurut Erikson (1968), pembentukan identitas ego adalah tugas perkembangan
utama pada remaja, namun identitas ego sendiri dimulai dari masa anak-anak, remaja,
dan dewasa. Identitas ego terus berkembang dan dapat berubah disepanjang rentang
kehidupan. Pengalaman-pengalaman yang terjadi ketika remaja membentuk suatu
rencana untuk masa depan, dan identitas ego yang dibentuk ketika remaja dan dewasa
muda, mengakibatkan arah dan tujuan hidup yang jelas di masa yang akan datang.
Perkembangan identitas ego dibangun oleh kejadian masa lampau, masa kini dan masa
depan yang di integrasi menjadi suatu keseluruhan (Fadjukoff, 2007).
Identitas ego bukan hanya krisis yang dialami oleh remaja saja, namun identitas
ego adalah krisis di seluruh kehidupan individu. Krisis yang dimaksud Erikson adalah
krisis sejarah di kehidupan manusia, dimana krisis tersebut saling berkaitan. Kualitas
identitas ego di usia-usia dewasa, bergantung dengan kualitas identitas ego yang dibentuk
di masa remaja. Elemen-elemen diri pada masa anak-anak hingga dewasa adalah elemen
yang tak terpisahkan. Elemen tersebut saling berhubungan dan bersatu menjadi suatu
pertumbuhan diri yang sehat dan matang, apabila pertumbuhan diri sudah matang, maka
semakin besar kesempatan untuk terbentuk achievement identity (Erikson, 1994).
Erikson (1968) mengkonseptualisasikan perkembangan identitas ego sebagai
tahapan psikososial dan tugas utama bagi remaja yang bias berdampak pada konflik
tahapan-tahapan di usia selanjutnya seperti intimasi, generativitas dan integritas. Sebagai
struktur internal, identitas ego mencakup pengalaman-pengalaman yang dianggap penting
disepanjang kehidupan. Identitas ego di masa remaja memainkan peran determinan yang
sangat penting bagi identitas di usia dewasa. Dalam usia dewasa madya menurut Erikson,
isu generativitas sedang berlangsung. Ekslplorasi dan komitmen pada usia 40-60 juga
berhubungan dengan generativitas. Generativitas berarti memberikan tanggung jawab,
ilmu, dan perlakuan yang baik bagi generasi selanjutnya. Eksplorasi yang terjadi di usia
dewasa madya juga berhubungan dengan mortalitas, mengingat banyak munculnya
penyakit degenerative pada usia tersebut. Komitmen agar dapat mencapai krisis
generativitas bagi generasi berikutnya menandakan bahwa individu pada dewasa madya
harus sehat agar dapat mengerahkan seluruh kemampuan dan tanggung jawabnya untuk
generasi selanjutnya. Komitmen dan eksplorasi mengenai kesehatan pun harus tetap
terjaga untuk menyeimbangkan konflik di usia tersebut (Fadjukoff, 2007).
2.4 Perkembangan Dewasa Madya
Masa dewasa merupakan salah satu fase dalam rentang kehidupan individu setelah masa
remaja. Pada penelitian ini, difokuskan perkembangan masa dewasa madya.
2.4.1 Dewasa Madya
Menurut Hurlock (2008), rentang usia dewasa madya pada umumnya berkisar
antara usia 40-60 tahun, dimana pada usia ini ditandai dengan berbagai perubahan fisik
maupun mental. Fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra.
Cirri-ciri masa dewasa madya menurut Hurlock yaitu:
1. Perubahan fisik yang demikian pesat.
Pada masa dewasa madya, terjadi perubahan kondisi fisik yang cukup pesat, namun
bukan perubahan yang menuju kesempurnaan / kemajuan, namun perubahan yang
mengarah kepada penurunan dan kemunduran, yang juga akan mempengaruhi kondisi
psikologisnya.
2. Masa yang ditakuti.
Umumnya pada usia dewasa madya, mereka tidak lagi merasa menarik secara seksual
dan memunculkan kekhawatiran akan kehilangan daya tarik bagi pasangan mereka.
Perasaan takut dan kekhawatiran ini dapat mengganggu psikologisnya.
3. Usia berbahaya
Di usia dewasa madya, fisik mereka mulai rentan terhadap penyakit, juga kondisi
psikologis yang cenderung menjadi lebih peka, yang berarti mudah tersinggung,
tertekan, stress, hingga depresi.
2.5 Kerangka Berpikir
Identitas ego menurut Erikson (1950) berangkat dari teori psikoanalisa yang berfokus
pada perkembangan psikososial. Ego adalah pusat pada diri manusia karena ego adalah struktur
diri yang dihadapkan pada dunia nyata dan dihadapkan pada pengalaman hidup. Ego manusia
terbentuk dan semakin matang seiring bertambahnya usia.
Menurut Erikson, 1968 (dalam Kumru dan Thompson, 2003) ada dua kriteria yang hadir
dalam pembentukan identitas ego: eksplorasi (biasa disebut krisis) dan komitmen. Eksplorasi
adalah proses dimana manusia memikirkan banyak hal dan mengkaji nya satu persatu, memilah-
milah serta mencoba hal tersebut, dan mencoba berbagai peran di rentang kehidupan. Komitmen
adalah sejauh mana manusia menanamkan dan menentukan nilai / tujuan dalam hidupnya dan
mengekspresikannya dengan tindakan atau suatu kepercayaan. Orang yang sudah melakukan
eksplorasi pada segala hal di kehidupannya, dan sudah berkomitmen, ialah yang identitas egonya
tinggi atau sudah mencapai status achieved identity (pencapaian identitas). Menurut Erikson,
orang yang sudah berkomitmen pasti sudah melakukan trial-and-error. Bagi individu yang sudah
melewati masa krisis, mereka telah mencoba segala hal dengan berbagai konsekuensi yang ada.
Beda hal dengan mereka yang tidak berani eksplorisasi, mereka tidak biasa mencari berbagai
alternatif bagi dirinya, mungkin juga tidak berani dalam mengambil risiko dan hidup dalam
ketidaktahuan atau ketidakpastian karena belum mencoba.
Peneliti akan mencari tahu apakah hal tersebut memprediksikan persepsi terhadap
ketidakpastian, karena orang yang belum pernah bereksplorasi berbagai alternatif di hidupnya
dan berkomitmen mengenai suatu hal, mereka tidak tahu apa yang terjadi dan mengalami
ketidakpastian karena tidak pernah mencoba. Pasien yang tinggi pada komitmennya, berarti
mereka sudah mennetukan nilai dan tujuan pada hidupnya.
Ketidakpastian terjadi ketika adanya berbagai konsekuensi yang terjadi dan kita tidak
dapat memastikan dan memprediksi apa yang akan terjadi. Kurangnya pemahaman mengenai
sesuatu juga menimbulkan ketidakpastian dalam diri. Setiap orang memiliki persepsi
ketidakpastian yang berbeda, tergantung dari struktur dirinya dan dukungan eksternal. Persepsi
adalah salah satu bagian dari komponen kognitif seseorang. Persepsi ketidakpastian ini
menyebabkan individu menyikapi suatu hal. Dalam penelitian ini, ingin mengetahui apakah
persepsi ketidakpastian mampu memprediksikan sikap pasien terhadap operasi medis, lalu
bagaimana korelasi prediksinya.
Penelitian ini juga ingin mengetahui apakah identitas ego dan persepsi ketidakpastian
secara bersama mampu memprediksikan sikap pasien terhadap operasi medis atau tidak. Mishel
(2006) mengemukakan jika persepsi ketidakpastian didukung oleh pengetahuan masing-masing
individu menghasilkan sikap pasien terhadap bidang kesehatan. Pada BAB 1 diuraikan bahwa
identitas ego dibentuk oleh kognisi seseorang. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa
identitas ego mendukung persepsi ketidakpastian seseorang dalam menyikapi hal tertentu.
Download