Bagian II Dinamika Iklim di Indonesia

advertisement
Bagian II
Dinamika Iklim di Indonesia
Ringkasan
Posisi Indonesia berada di antara dua samudera dan dua benua
serta merupakan negara kepulauan dengan topografi yang sangat
beragam menjadikan Iklim Indonesia sangat dinamis dan
kompleks. Pengaruh lokal dan gangguan siklon tropis sangat
berpengaruh terhadap keragaman iklim Indonesia. Beberapa faktor
yang berperan terhadap iklim Indonesia, antara lain: fluktuasi suhu
permukaan laut, Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ), Dipole
Mode Index (DMI), suhu permukaan laut Pasifik ekuator, Monsun
Asia Tenggara-Australia, sirkulasi Hadley dan Walker serta arus
lintas Indonesia (ARLINDO). Selain itu, iklim Indonesia dikendalikan
oleh tiga sistem peredaran angin, yaitu: angin pasat, angin
meridional, dan angin lokal. Keseluruhan komponen tersebut
membentuk suatu sistem baik lokal, regional, maupun global turut
menentukan variabilitas dan keragaman iklim Indonesia. Dalam
jangka panjang, variabilitas dan keragaman iklim akan mengalami
pergeseran musim dari rata-ratanya terutama akibat perubahan
iklim. Terkait dengan kalender tanam, terjadinya tren perubahan ini
menyebabkan perubahan pada masuknya awal musim dan panjang
musim hujan. Perubahan pola curah hujan akan berpengaruh
terhadap ketersediaan air bagi tanaman baik melalui curah hujan
secara langsung maupun ketersediaannya di waduk. Oleh karena
itu, informasi pola tanam yang menyangkut awal musim akan
berubah sesuai dengan ketersediaan air. Oleh karena itu, fenomena
dan perubahan iklim penting perannya dalam kalender tanam untuk
memberikan informasi waktu dan pola tanam.
51
Bab 3
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia
serta Pemanfaatan Informasi Iklim
untuk Kalender Tanam
Aris Pramudia, Woro Estiningtyas, Erni Susanti, dan Suciantini
Dasar Pemikiran
Iklim merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi
perilaku pertanian. Pada subsektor tanaman pangan, iklim sangat
berpengaruh terhadap pola dan waktu tanam, potensi kehadiran
bencana banjir, kekeringan, dan organisme pengganggu tanaman,
pemilihan varietas terkait bencana yang terjadi. Bahkan hingga
penentuan dosis dan rekomendasi pupuk, serta jenis alat mesin
pertanian yang diperlukan. Pada bab ini dikemukakan secara
ringkas tentang iklim regional Indonesia beserta faktor
pengendalinya, serta dinamika dan perubahannya. Pada bagian
akhir dikemukakan bagaimana kondisi iklim, terutama curah hujan,
dimanfaatkan untuk menentukan pola tanam.
Iklim Regional Indonesia
Indonesia adalah negara katulistiwa yang secara astronomis
terletak antara koordinat 6°LU-11°LS dan dari 95-141°BT, secara
geografis terletak di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua
Australia serta di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik (Gambar 1). Indonesia merupakan negara yang
dilewati oleh garis khatulistiwa dan masuk ke dalam pengaruh
kawasan Lautan Pasifik. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai
daerah pertemuan sirkulasi meridional (Hadley) dan sirkulasi zonal
(Walker), dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman
iklim Indonesia. Menurut Boer (2008), karena Indonesia merupakan
negara kepulauan dengan bentuk topografi yang sangat beragam
53
Pramudia et al.
maka sistem golakan lokal juga cukup dominan dan pengaruhnya
terhadap keragaman iklim di Indonesia tidak dapat diabaikan.
Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap
keragaman iklim Indonesia ialah gangguan siklon tropis. Semua
aktivitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang
tahun.
Gambar 1. Posisi Indonesia sebagai negara maritim terletak di ekuator,
merupakan persilangan antara dua samudera (Hindia dan
Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia), mengakibatkan
iklim Indonesia menjadi hangat, basah, banyak awan, dan
banyak hujan
Indonesia memiliki iklim tropik basah yang dipengaruhi angin
monsun (monsoon) sehingga memiliki dua musim berbeda, yaitu
musim kemarau dan musim penghujan. Rata-rata curah hujan
tahunan sangat beragam, mulai kurang dari 1.000 mm/tahun di
kawasan semi-arid tropik, 1.780-3.175 mm/tahun di dataran
rendah, hingga 6.100 mm/tahun di kawasan pegunungan.
Kelembaban udara umumnya sangat tinggi, dengan nilai
kelembaban relatif (RH) umumnya di atas 80%. Suhu udara
umumnya hangat dengan keragaman tahunan yang kecil, sebagai
contoh kisaran suhu rata-rata di Jakarta adalah 26-30OC atau
sekitar 79–86OF (Universitas Indonesia 2004).
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Kondisi iklim Indonesia sangat dipengaruhi oleh posisi Indonesia
dan status atmosfer dan permukaan di sekitarnya, antara lain:
(1) Posisi Indonesia terletak di ekuator, sehingga memiliki suhu
yang hangat sepanjang tahun, dimana rata-rata suhu
permukaan di ketinggian nol (garis pantai) umumnya >25OC.
Kondisi ini sangat potensial untuk selalu terjadi penguapan
yang tinggi.
(2) Komposisi wilayah Indonesia yang terdiri dari 75% lautan dan
25% daratan, sehingga Indonesia dikenal memiliki iklim
maritim, yaitu kondisi iklim yang sangat dipengaruhi oleh
kondisi suhu permukaan laut di perairannya yang cepat
berubah dan sangat fluktuatif.
(3) Merupakan kawasan pertemuan udara antar tropika (InterTropical Convergence Zone). Kawasan ini merupakan
pertemuan massa udara dari belahan bumi utara dan belahan
bumi selatan, pada titik pertemuan selalu terjadi pengangkatan
udara yang mengakibatkan banyak terbentuk awan.
(4) Kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik
ekuator.
(5) Kondisi anomali suhu permukaan laut di kawasan Lautan Hindia
sebelah barat (perairan sebelah timur Madagaskar Afrika) dan
kawasan Lautan Hindia sebelah timur (perairan sebelah barat
Sumatera).
(6) Keragaman topografi.
Kondisi udara permukaan dan kondisi lautan tersebut dikendalikan
oleh beberapa sirkulasi atmosfer dan air regional (Gambar 2),
antara lain: (1) sirkulasi angin monsun Asia-Australia, (2) sirkulasi
Hadley, (3) sirkulasi Walker, (4) Arus lintas Indonesia (Arlindo)
sebagai bagian dari sirkulasi massa air dunia (Ocean Giant
Conveyor Belt).
Interaksi berbagai kondisi atmosfer, permukaan dan perairan yang
dikendalikan oleh berbagai sirkulasi tersebut mengakibatkan
kondisi umum iklim Indonesia menjadi hangat, basah, banyak
awan, banyak hujan, memiliki banyak pola curah hujan, dan
menjadi rumit serta sulit untuk diprediksi. Beberapa mekanisme
turut berperan dalam menciptakan kondisi iklim Indonesia seperti
55
Pramudia et al.
suhu permukaan laut, ITCZ, DMI, monsun, sirkulasi Hadley dan
Walker, serta Arlindo.
Gambar 2. Faktor pengendali curah hujan di wilayah Indonesia (Sumber:
BMKG 2013)
Fluktuasi suhu permukaan laut perairan Indonesia
Tujuh puluh lima persen wilayah Indonesia merupakan laut/lautan,
sehingga kondisi suhu permukaan laut di wilayah Indonesia sangat
mempengaruhi kondisi iklim Indonesia. Komposisi laut/lautan dan
daratan yang demikian menjadikan wilayah Indonesia memiliki
karakteristik iklim maritim dan memiliki garis pantai yang sangat
panjang. Iklim wilayah Indonesia yang terletak di wilayah ekuator,
secara garis besar dipengaruhi oleh unsur-unsur fenomena lokal
yaitu kondisi suhu permukaan laut perairan sekitar Indonesia.
Suhu permukaan air laut perairan Indonesia yang terletak di daerah
tropik hampir sepanjang tahun tinggi, yaitu berkisar 26–30°C
(BMKG 2010). Perubahan temperatur (amplitudo) air laut kecil
karena air laut lambat menjadi panas dan lambat menjadi dingin.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) air laut
selalu bergerak sehingga panas yang diterimanya dijalarkan dan
disebar kemana-mana, (2) permukaan air laut bertindak sebagai
cermin sehingga panas matahari yang diterimanya sebagian
dipantulkan kembali, sedangkan panas yang diterima air sebagian
digunakan untuk penguapan, dan (3) pada malam hari lambat
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
menjadi dingin karena uap air di atas permukaan air laut yang telah
menjadi dingin dan mengkilat dapat menghalangi pelepasan panas,
serta acapkali terjadi pertukaran massa air di bagian permukaan
dengan bagian di dalamnya (Neumann dan Pierson 1966). Wyrtki
(1961) menyebutkan bahwa lapisan permukaan dari lautan tropik
adalah hangat dan variasi suhu tahunan pada umumnya rendah,
tetapi variasi harian pada umumnya tinggi.
Suhu permukaan laut di perairan Indonesia sebagai indeks
banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer. Jika suhu
permukaan laut dingin uap air di atmosfer menjadi berkurang,
sebaliknya jika suhu permukaan laut panas uap air di atmosfer
banyak. Pola suhu permukaan laut di Indonesia secara umum
mengikuti gerak tahunan matahari. Suhu permukaan laut di
Samudera Hindia (kecuali sebelah barat Sumatera Barat, Sumatera
Utara, dan Aceh) mempunyai rentang perubahan yang cukup lebar
yaitu minimum berkisar 26,0°C pada bulan Agustus hingga
maksimum berkisar 31,5°C pada bulan Februari-Maret. Wilayah
perairan lainnya umumnya mempunyai rentang perubahan lebih
sempit yaitu berkisar 29-31,5°C dan waktu terjadinya minimum
dan maksimum tidak sama di setiap perairan.
Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ)
Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ) atau zona konvergensi
antar tropik, dikenal oleh para pelaut sebagai doldrums, adalah
daerah sekitar khatulistiwa di sekeliling bumi dimana angin timur
laut dan angin tenggara atau angin pasat bertiup secara
bersamaan. ITCZ merupakan palung tekanan udara rendah yang
terletak di sekitar khatulistiwa. Di sekitar Indonesia ITCZ sering
menyatu bersama sirkulasi monsunal Asia-Australia, sehingga
sering juga disebut palung monsun.
Lokasi ITCZ bervariasi dari waktu ke waktu, bergerak bolak-balik
lintas belahan bumi seiring dengan pergerakan titik zenith
matahari. ITCZ biasanya lebih kuat terbentuk di atas lautan.
Kadang-kadang terbentuk ITCZ ganda, satu buah terbentuk di utara
khatulistiwa, satu lagi terletak di selatan khatulistiwa. Saat terjadi
ITCZ ganda, terdapat pusat tekanan tinggi antara dua zona
57
Pramudia et al.
konvergensi. Salah satu ITCZ biasanya lebih kuat dari lainnya
(Wikipedia 2013).
Pada wilayah-wilayah yang dilalui ITCZ pada umumnya akan
menerima curah hujan tinggi. Hal ini disebabkan pada wilayah ITCZ
akan terbentuk masa uap air yang cukup besar yang dapat dilihat
dari tingginya keawanan di wilayah tersebut. Pergerakan ITCZ pada
bulan Januari dan Juli berhubungan dengan tinggi rendahnya curah
hujan yang terjadi. Dari Gambar 3 terlihat bahwa pada bulan
Januari Indonesia berada di bawah garis biru, hal ini
mengindikasikan bahwa pada bulan tersebut Indonesia mengalami
curah hujan yang tinggi (musim hujan). Sementara pada bulan Juli,
Indonesia tidak berada di bawah garis ITCZ sehingga pada bulan
tersebut Indonesia mengalami curah hujan yang rendah (musim
kemarau).
Gambar 3. Pola pergerakan ITCZ pada bulan Januari (garis biru) dan bulan
Juli
(garis
merah)
(Sumber:
http://en.wikipedia.org/
wiki/Intertropical_Convergence_Zone)
Fluktuasi anomali SST di barat Sumatera dan timur Afrika
Anomali SST di barat Sumatera dan timur Afrika sering disebut
dengan Indian Ocean Dipole (IOD) atau Dipole Mode Indeks (DMI),
yaitu anomali suhu permukaan laut di Laut Hindia yang dicirikan
oleh pola zonal. Menurut Saji et al. (1999) Indian Ocean Dipole
(IOD) adalah gabungan fenomena lautan dan atmosfer di Samudera
Hindia khatulistiwa yang mempengaruhi iklim Australia dan negaranegara lain yang mengelilingi cekungan Samudra Hindia.
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
IOD ini biasanya diukur dengan indeks yang merupakan perbedaan
antara suhu permukaan laut (SST) anomali di bagian barat (5070°BT dan 10°LS-10°LU) dan bagian timur (90-110°BT dan 100°LS) di Samudera Hindia equator. Indeks untuk fenomena ini
disebut Indeks Dipole Mode (DMI).
Sebuah periode IOD positif ditandai dengan pendinginan air yang
lebih di tropis bagian timur Samudera Hindia dan hangat
dibandingkan air biasa di tropis bagian barat Samudera Hindia
(Gambar 4a). Pola positif SST IOD telah terbukti berhubungan
dengan penurunan curah hujan di atas bagian tengah dan selatan
Australia. Sebaliknya, masa IOD negatif ditandai dengan hangat
dari biasanya di tropis timur Samudera Hindia dan lebih dingin
dibandingkan air biasa di Samudera Hindia barat tropis (Gambar
4b). Pola SST IOD negatif telah terbukti berhubungan dengan
peningkatan curah hujan di atas bagian selatan Australia (Saji et al.
1999).
Suhu permukaan laut Pasifik Ekuator
Suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature, SST) adalah suhu
air dekat permukaan laut. Arti yang tepat bervariasi sesuai dengan
metode pengukuran yang digunakan. Suhu permukaan laut pada
umumnya diamati antara 1 milimeter (0,04 inci) hingga 20 meter
(70 kaki) di bawah permukaan laut. Massa udara di atmosfer bumi
sangat dimodifikasi oleh suhu permukaan laut dalam jarak pendek
dari pantai. Selain itu, arus laut dan sirkulasi termohalin global
dapat mempengaruhi SST rata-rata secara signifikan di hampir
seluruh lautan di dunia. Untuk SST dekat pinggiran daratan, angin
lepas pantai menyebabkan upwelling, yang dapat menyebabkan
pendinginan yang signifikan.
59
Pramudia et al.
(a)
(b)
Gambar 4. Pola Dipole Mode (a) positif dan (b) negatif (Sumber: Saji et al.
1999)
SST memiliki jangkauan diurnal, seperti atmosfer bumi, meskipun
untuk tingkat yang lebih rendah karena panas spesifik yang lebih
besar. Pada hari-hari tenang, suhu dapat bervariasi 6,0°C atau
10,0°F. Suhu laut bagian bawah mencapai maksimum pada bulan
Desember dan minimum pada bulan Mei dan Juni. Di dekat pantai,
angin lepas pantai memindahkan air hangat di dekat lepas pantai
permukaan, dan menggantinya dengan air dingin dari bawah dalam
proses yang dikenal sebagai Eykman transportasi.
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Untuk mengetahui perubahan dan perbedaan nilai SST sebagai
indikator variabilitas iklim, maka digunakan nilai anomalinya.
Anomali SST adalah berapa banyak selisih suhu terhadap
normalnya. Anomali SST digunakan sebagai salah satu indikator
fenomena penyimpangan iklim seperti El-Nino dan La-Nina. El
Nino/La-Nina Southern Oscillation, adalah sebuah kanal dari suhu
air laut anomali hangat yang kadang-kadang berkembang di lepas
pantai barat selatan Amerika dan dapat menyebabkan perubahan
iklim di Samudra Pasifik.
Fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscillation) merupakan salah
satu fenomena alam yang telah menarik banyak perhatian karena
dampak yang ditimbulkannya semakin dirasakan dalam berbagai
aspek kehidupan. Terjadinya fenomena ENSO akan mengganggu
sirkulasi zonal (Walker Circulation). Terminologi ENSO sering
digunakan untuk merujuk pada fenomena El-Nino dan La-Nina.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa kejadian El-Nino selalu
berkaitan dengan kejadian kekeringan yang panjang di Indonesia
akibat terjadinya penurunan jumlah dan kejadian hujan secara
drastis. Kejadian ini menyebabkan terjadinya penurunan produksi
pertanian, memicu terjadinya kebakaran hutan yang diikuti oleh
merosotnya kualitas udara, dan timbulnya masalah kesehatan. Di
lain pihak, kejadian La-Nina yang merupakan kebalikan dari
kejadian El-Nino dan menimbulkan dampak sebaliknya yaitu
meningkatnya curah hujan dari normal sehingga seringkali
menimbulkan bencana banjir.
Dampak kejadian ENSO terhadap keragaman hujan di Indonesia
beragam antar wilayah. Menurut Tjasyono (1997) pengaruh El-Nino
kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistem monsun, bersifat
lemah pada daerah dengan sistem ekuatorial dan tidak jelas pada
daerah dengan sistem lokal. Pola monsun dicirikan oleh bentuk pola
hujan yang bersifat uni-modal (satu puncak musim hujan). Selama
enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim
hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (biasanya disebut musim
kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung dari April
sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.
Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bi-modal
(dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan
Oktober yaitu pada saat matahari berada dekat ekuator. Pola lokal
61
Pramudia et al.
dicirikan oleh bentuk pola hujan uni-modal (satu puncak hujan) tapi
bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe monsun
(Gambar 5).
Gambar 5. Pembagian wilayah Indonesia menurut pola (dimodifikasi dari
DPI-Australia 2002)
Ada beberapa batasan yang diberikan institusi dunia mengenai ElNino dan La-Nina, namun semua mengacu pada pemanasan/
pendinginan suhu permukaan laut di Pasifik ekuator. Untuk
keperluan prediksi hujan maupun SST Indonesia digunakan data
SST pada Nino 3.4 (Oceanic Nino Indeks, ONI), yaitu wilayah
dengan batas 5ºLU-5ºLS, 120-170ºBT (Gambar 6).
Gambar 6. Posisi SST Nino 3.4 (Sumber: POAMA 2013)
Kriteria kondisi El-Nino ditetapkan jika anomali SST pada ONI
>+0,5ºC dan berlangsung minimal 3 bulan berturut-turut.
Berdasarkan klasifikasi anomali SST, maka El-Nino dibedakan
menjadi: (1) El-Nino lemah (weak Nino) jika anomali SST ONI 0,5–
1,0ºC, (2) El-Nino sedang (moderate Nino) jika anomali SST ONI
1,1–1,5ºC, (3) El-Nino kuat (strong Nino) jika anomali SST
ONI>1,5ºC.
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Untuk wilayah Indonesia, secara umum El-Nino berdampak berupa
berkurangnya curah hujan namun pengaruh El-Nino tidak sama di
seluruh wilayah Indonesia, bahkan ada daerah-daerah yang yang
pengaruh El-Nino tidak begitu nyata. Pengaruh El-Nino di Indonesia
juga sangat tergantung pada intensitas dan waktu serta lamanya.
Monsun Asia Tenggara-Australia (Monsun barat dan timur)
Posisi silang Indonesia diantara dua benua dan dua samudera
secara meteorologi membawa pengaruh berupa angin musim
timuran dan baratan atau dikenal juga dengan istilah monsun Asia
Tenggara dan Australia. Untuk Indonesia, Monsun Asia Tenggara
dan Australia membawa pengaruh berupa musim, yaitu musim
basah (hujan) dan musim kering (kemarau). Monsun, disebut juga
angin monsun atau angin musim, yaitu angin periodik yang terjadi
terutama di Samudra Hindia dan sebelah selatan Asia. Kata ini juga
digunakan untuk menyebut musim di saat angin ini bertiup dari
arah barat daya di India dan wilayah-wilayah di sekitarnya yang
ditandai dengan curah hujan yang besar serta hujan yang dikaitkan
dengan angin jenis ini.
Definisi lain menyebutkan bahwa monsun adalah suatu sistem
sirkulasi angin yang berbalik arah setiap musiman disebabkan oleh
perbedaan sifat thermal antara benua dan perairan. Karena
pengaruh gerak semu matahari dimana pada 21 Juni matahari
berada di belahan bumi utara (BBU) dan 22 Desember berada di
belahan bumi selatan (BBS). Ketika berada di BBU, suhu di BBU
lebih tinggi sehingga memunculkan tekanan rendah dibagian
tersebut. Sedangkan hal sebaliknya terjadi di BBS, dimana BBS
pada saat yang bersamaan mengalami musim dingin, sehingga
tekanan di BBS lebih tinggi. Sesuai sifat angin maka pergerakan
angin adalah dari tekanan tinggi ke rendah. Akibat adanya gaya
coriolis maka arah gerak angin ini dibelokan. Pada bulan Desember,
Januari, Februari, angin monsun bertiup dari BBU ke BBS. Daerah
Indonesia dari Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Lombok, Nusa
Tenggara, hingga Papua angin monsun yang bertiup adalah monsun
barat, sedangkan Sumatera lainnya dan Kalimantan Barat, monsun
yang bertiup adalah monsun timur laut (Gambar 7a). Sebaliknya,
ketika bulan September, Oktober, dan November, angin monsun
63
Pramudia et al.
yang bertiup adalah dari BBS ke BBU. Posisi matahari berada di BBU
sehingga BBU mengalami musim panas, maka terbentuklah
tekanan rendah di sana. Pada saat itu wilyah Indonesia bagian
selatan mencakup Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Lombok, Nusa
Tenggara, hingga Papua mengalami angin Monsun Timur
sedangkan daerah Sumatera lainnya dan Kalimantan Barat
mengalami monsun barat daya (Gambar 7b).
Untuk daerah Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara dan
Papua, angin monsun barat praktis bersamaan dengan musim
hujan, karena monsun barat membawa banyak uap air dari perairan
Pasifik Barat dan angin monsun timur bersamaan dengan musim
kemarau karena terlebih dahulu udara dari monsun timur melewati
benua yang luas yaitu Australia, sehingga membawa udara kering.
Namun demikian musim hujan atau kemarau tidak sepenuhnya
dipengaruhi monsun, ada juga faktor-faktor seperti banyak uap air,
keadaan geografis, keadaan topografi, dan lain-lain. Hal ini yang
menyebabkan musim hujan tidak tepat terjadi pada bulan tertentu.
Musim hujan dapat terjadi lebih lambat atau lebih cepat, begitu juga
dengan musim kemarau.
JANUARY  WET
(a)
JULY  DRY
(b)
Gambar 7. Pola angin (a) monsun barat dan (b) monsun timur
Sirkulasi Hadley dan Walker
Dalam proses terjadinya ENSO, transfer energi dilakukan melalui
mekanisme global seperti siklus walker dan Arlindo. Sirkulasi
Walker adalah sirkulasi zonal (sejajar lintang) arah timur barat yang
terjadi di Pasifik timur menuju Pasifik barat (dekat kepulauan
Indonesia). Pada keadaan normal (Gambar 8a), sirkulasi ini
ditandai dengan kenaikan udara di Pasifik barat dekat kepulauan
Indonesia dan penurunan udara yang terjadi di Pasifik timur (+).
Pada saat ini maka terjadi La-Nina di Indonesia. Hal tersebut juga
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
dibarengi dengan Dipole Mode (+) yang terjadi di sekitar perairan
Samudra Hindia. Dipole mode juga menyebabkan kenaikan udara
di sekitar perairan Indonesia. Maka terjadilah daerah subsiden,
sehingga di Indonesia mengalami tahun hujan atau basah.
Sebaliknya, apabila anomali negatif (-), maka terjadi penurunan di
Indonesia dan kenaikan di Pasifik timur (Gambar 8b). Hal tersebut
juga mungkin diikuti dengan Dipole Mode (-), sehingga terjadi
penurunan di Indonesia. Penurunan identik dengan udara kering,
panas, dan stabil sehingga di Indonesia mengalami kekeringan (ElNino).
(a)
(b)
Gambar 8. Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah
atmosfer pada DJF (a) normal dan (b) El-Nino (Sumber:
Nicholls 1987 dalam Boer 2008)
Arus lintas Indonesia
Arus laut Indonesia yang banyak dikaji terkait dengan fenomena
perubahan iklim adalah Arlindo atau lebih dikenal oleh para ahli
oseanografi dengan istilah "Indonesian Through Flow". Arlindo
adalah aliran massa air antar samudera yang melewati perairan
Indonesia. Sebagai negara yang diapit oleh dua lautan besar yakni
65
Pramudia et al.
Samudera Pasifik di bagian utara dan timur laut serta Samudera
Hindia di bagian selatan dan barat daya Indonesia berlaku sebagai
saluran bagi aliran massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera
Hindia. Aliran massa air ini terjadi sebagai akibat adanya perbedaan
tekanan antara kedua lautan tersebut. Pola dan aliran arus lintas
Indonesia disajikan dalam Gambar 9.
Gambar 9.
Arus lintas Indonesia
Proses perpindahan arus ini sangat dipengaruhi oleh angin sebagai
sumber energi. Dalam keadaan normal, di atas Pasifik bertiup angin
pasat tenggara sepanjang tahun. Tenaga gesekan angin ini
berfungsi mendorong massa air Pasifik ke arah barat. sehingga
terjadilah ‘penumpukan’ massa air di Pasifik bagian barat yang
berada dekat dengan Indonesia. Sebagai akibat terjadinya
perbedaan tinggi permukaan air antara Pasifik bagian barat dengan
Samudera Hindia yang berada di selatan Indonesia. Menurut Wyrtki
(1961) perbedaan tinggi antara dua permukaan samudera ini
nilainya bervariasi. Pada waktu monsun tenggara (Mei-September)
perbedaan tinggi muka lautan ini mencapai maksimum, setinggi 28
cm, yang diukur antara Davao, Filipina (Pasifik) dan Darwin,
Australia (Hindia) (Gambar 10a), sebaliknya pada waktu monsun
barat (bulan Oktober-Maret) perbedaan tinggi permukaan dua
lautan ini nilainya berada pada titik terendah, yakni kurang dari 10
cm. Perbedaan ketinggian muka lautan inilah yang menyebabkan
terjadinya gradien tekanan yang kemudian menimbulkan
perpindahan massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia
(Gambar 10b). Ada dugaan bahwa Arlindo ini merupakan aliran air
hangat antar samudera, yang merupakan bagian dari global scale
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
oceanic belt (Gordon 1986 dalam Hasanuddin 1998). Diduga pula
proses ini membawa dampak tidak saja bagi Indonesia tetapi
mencakup wilayah yang lebih luas. Oleh karena itu, proses Arlindo
beserta hal-hal yang ada kaitannya dengan proses tersebut menjadi
obyek penelitian yang menarik (Hasanuddin 1998).
(a)
(b)
Gambar 10. Topografi permukaan laut Indonesia pada bulan (a) Februari
dan (b) Agustus (Sumber: Wyrtki 1961)
Pada bulan Februari, massa air laut dari Samudera Pasifik masuk
ke perairan Indonesia melalui celah perairan di sebelah selatan
Mindanao melalui Laut Sulawesi mengalir hingga ke Selat Makassar.
Pada arah lain melalui perairan sebelah utara Filipina massa air laut
masuk ke Laut China Selatan mengalir hingga ke Selat Karimata
dan Laut Jawa, hingga bertemu dengan arus dari Selat Makassar,
kemudian bersama-sama mengalir menuju Laut Banda dan Laut
Arafuru untuk kemudian terpecah sebagian kembali ke arah
Samudera Pasifik, sebagian lain membelok ke selatan ke arah Laut
Timor dan perairan di selatan Jawa kemudian ke Samudera Hindia.
Arah arus laut ini searah dengan arah angin Monsun Barat yang
sedang bertiup saat bulan Februari (Gambar 11a).
67
Pramudia et al.
Pada bulan Agustus, massa air laut Samudera Pasifik masuk ke
perairan Indonesia melalui perairan di sebelah selatan Mindanao
melalui Laut Sulawesi mengalir hingga ke Selat Makassar. Pada
arah lain, massa air juga masuk dari Samudera Pasifik ke perairan
Indonesia melalui perairan di Kepulauan Maluku mengalir melalui
Laut Banda hingga Laut Flores, hingga bertemu dengan aliran
massa air di Selat Makassar, kemudian bersama-sama mengalir
menuju Laut Jawa dan Selat Karimata hingga Laut China Selatan.
Sebagian lainnya mengalir melalui Selat Bali dan Selat Lombok
menuju perairan di selatan Jawa kemudian ke Samudera Hindia.
Arah arus laut ini searah dengan arah angin monsun timur yang
sedang bertiup saat bulan Agustus (Gambar 11b).
Fenomena Perubahan iklim
Variabilitas dan perubahan iklim
Berbicara mengenai perubahan iklim, tidak dapat dilepaskan dari
kondisi variabilitas atau keragaman iklim. Variabilitas atau
keragaman iklim merupakan perbedaan yang terjadi yang diwakili
oleh terjadinya keragaman hujan, baik kejadiannya antar musim
antar tahun maupun keragaman diantara wilayah hujannya. Iklim
di Indonesia dikendalikan oleh tiga sistem peredaran angin, yaitu
angin pasat, angin meridional, dan angin lokal.
Pola hujan di daerah tropis sangat dipengaruhi oleh pergerakan
angin yang ditentukan oleh posisi bumi terhadap matahari. Oleh
karena itu, dikenal beberapa pola hujan. Wilayah di sekitar
khatulistiwa yang dipengaruhi oleh konvergensi antar tropis
memiliki hujan yang tinggi dengan dua puncak hujan. Semakin
menjauh dari khatulistiwa, semakin jelas pola hujan musiman yang
disebut sebagai monsun, yang kerap mengalami kekurangan air
pada musim kemarau.
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
(a)
(b)
Gambar 11. Skema arah arus lintas Indonesia pada bulan (a) Februari dan
(b) Agustus (Sumber: Wyrtki 1961)
69
Pramudia et al.
Pola dan jumlah hujan juga beragam antar musim dan juga antar
tahun. Perbedaan jumlah curah hujan dirasakan signifikan pada
wilayah dengan pola monsun pada saat terjadi iklim ekstrem, baik
El-Nino maupun La-Nina. Akhir-akhir ini kejadian El-Nino dan LaNina semakin sering terjadi. Hal itu dirasakan dengan semakin
seringnya kekeringan maupun banjir. Fenomena global tersebut
dikendalikan oleh arus laut di Samudera Pasifik. Selain itu, pada
kejadian El-Nino yang parah, arus laut di Samudera Hindia yang
dingin di sebelah Timur dan panas di sebelah Barat menyebabkan
curah hujan yang sangat rendah.
Prediktabilitas variabilitas iklim musiman terkait dengan ENSO
potensial dapat digunakan untuk mengurangi risiko pertanian
(Cabrera et al. 2006). Musim hujan di Indonesia dipengaruhi oleh
El-Nino Southern Oscillation (ENSO) yang sangat kuat pengaruhnya
pada bulan September-Desember (Hamada et al. 2002) dan
pengaruhnya semakin berkurang selama bulan Desember-Februari
(Giannini et al. 2007) sehingga waktu masuknya musim hujan dan
kemarau dapat diramalkan dengan memperhatikan kekuatan
pengaruh ENSO.
Keragaman iklim di Indonesia pertama kali diungkapkan oleh
Boerema dengan menyusun peta wilayah hujan pada tahun 1926.
Peta tersebut membagi wilayah Indonesia menjadi 153 wilayah
hujan berdasarkan pola rata-rata curah hujan bulanan. Peta
tersebut kemudian digunakan oleh BMG sebagai dasar daerah
prakiraan musim. Keragaman iklim menurut ruang dan waktu
menyebabkan air yang cukup banyak di daerah tropis tidak selalu
dapat diandalkan, terutama dari aspek mutu. Dengan semakin
dipahaminya berbagai fenomena alam yang memicu keragaman
iklim dan adanya indikasi perubahan iklim global perlu terus
diupayakan penggunaan data-data untuk analisis iklim dengan
menggunakan data-data yang lebih mutakhir.
Perubahan iklim merupakan pergeseran musim dari rata-rata
jangka panjangnya. Selain perubahan dari rata-rata hujan jangka
panjangnya, perubahan iklim juga dapat didekati dari perubahan
jumlah curah hujan yang diterima suatu lokasi tertentu. Terjadinya
tren perubahan ini menyebabkan perubahan pada masuknya awal
musim dan panjang musim hujan, yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap produksi pertanian. Pada umumnya tren
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
perubahan ini memperlihatkan grafik jumlah curah hujan yang
menurun pada tahun tertentu dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Bahkan pada wilayah tertentu, penurunan dapat
berlangsung secara lebih ekstrem. Hal ini dapat menyebabkan
penurunan produksi secara siginifikan, terutama pada wilayahwilayah sentra produksi yang membutuhkan ketersediaan air yang
cukup tinggi untuk pertanaman tanamannya. Sudah dapat diduga,
akibat penurunan produksi yang signifikan menyebabkan kerugian
yang juga signifikan.
Di samping itu, penurunan jumlah curah hujan tahunan, akan
menyebabkan pula perubahan aliran sungai yang menyebabkan
debit yang semakin menurun pada musim kemarau dan sebaliknya
pada musim hujan dapat menyebabkan banjir. Kebalikan dari curah
hujan yang memperlihatkan tren yang menurun, tren suhu udara
justru memperlihatkan kenaikan.
Fenomena perubahan iklim yang sudah terjadi tidak mungkin
dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
menyiapkan langkah strategi yang harus disiapkan dari sekarang.
Salah satu hal yang berkaitan dengan perubahan iklim adalah Road
Map Sektor Pertanian. Road map Sektor Pertanian Menghadapi
Perubahan Iklim disusun sebagai pedoman dalam mensinergikan
program dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
antar subsektor. Secara spesifik, penyusunan road map ini
bertujuan untuk:
(a) Menyiapkan arah kebijakan dan strategi sektor pertanian dalam
menghadapi perubahan iklim.
(b) Menyiapkan program dan rencana aksi sektor pertanian dalam
menghadapi perubahan iklim.
(c) Menyiapkan tahapan dan strategi pelaksanaan program dan
rencana aksi adaptasi dan mitigasi sektor pertanian dalam
menghadapi perubahan iklim.
(d) Menetapkan sasaran dan waktu pencapaian masing-masing
program dan rencana aksi.
Road map 2010-2014 disusun berdasarkan analisis dan kajian
secara komprehensif terhadap dinamika dan skenario perubahan
iklim, kerentanan, dan dampaknya terhadap sektor pertanian. Road
map dipilah berdasarkan tahapan dan waktu pelaksanaan kegiatan,
71
Pramudia et al.
mulai
dari
penelitian
dan
pengembangan,
antisipasi,
advokasi/diseminasi, hingga adaptasi dan mitigasi sejak 2008
hingga 2014.
Dinamika perubahan iklim dapat bersifat tahunan, musiman
dan/atau antar musim. Seperti yang terjadi pada musim kemarau
tahun 2010 dan 2013. Tahun 2010 dapat dikatakan merupakan
tahun tanpa musim kemarau, sedangkan yang terjadi pada tahun
2013, memiliki pola yang hampir sama. Hal tersebut ditunjukkan
dengan masih tingginya intensitas curah hujan di sebagian besar
wilayah Indonesia meskipun sudah memasuki musim kemarau
(berada di atas normal). Hal ini dapat dipandang sebagai
peluang/potensi, tetapi juga sebagai risiko/ancaman, tergantung
bagaimana menyikapinya. Untuk peningkatan produksi beras, hal
ini merupakan peluang untuk peningkatan produksi (Balitbangtan
2013).
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat
karakteristik variabilitas dan perubahan iklim. Hal yang paling
mungkin dirasakan adalah perubahan tanda-tanda di tingkat lokal
seperti terjadinya peningkatan suhu udara, perubahan pola curah
hujan, peningkatan tinggi muka air laut, dan peningkatan frekuensi
kejadian ekstrem. Di samping itu, kondisi iklim juga menjadi tidak
teratur lagi dan kearifan lokal dan tanda-tanda alam sudah sulit dan
bahkan tidak lagi digunakan oleh masyarakat (Balitbangtan 2013).
Pada Gambar 12 disajikan ilustrasi mengenai variabilitas dan
perubahan iklim. Berdasarkan data hujan dari tahun 1915 hingga
tahun 2008 (Australian Bureau of Meteorology), terlihat bahwa
variabilitas hujan juga mengalami peningkatan dengan semakin
lebarnya total hujan tahunan yang terjadi pada suatu daerah.
Demikian pula dengan perubahan tren yang terjadi, dengan
semakin menurunnya total curah hujan tahunan pada dekade
terakhir. Perubahan frekuensi diperlihatkan dengan semakin
kerapnya perubahan antar tahun.
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Gambar 12. Ilustrasi mengenai variabilitas dan perubahan iklim (Sumber:
Balitbangtan 2013)
Dampak perubahan iklim
Di bidang pertanian, budidaya tanaman yang dilakukan selain
dimaksudkan untuk peningkatan produksi dan keberlanjutan
produktivitas, juga mempunyai sasaran untuk ketahanan pangan,
diversifikasi pangan dan untuk meminimalkan risiko pertanian.
Terhadap perubahan iklim yang terjadi, sektor pertanian terutama
subsektor tanaman pangan merupakan sektor yang paling rentan
terkena dampak negatif. Kerentanan terhadap perubahan iklim
tersebut terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan
manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya
merupakan tanaman semusim yang sensitif terhadap cekaman,
teutama cekaman (kelebihan dan kekurangan) air.
Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem
penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi
pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las
et al. 2008). Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim
global, yang berdampak terhadap sektor pertanian adalah: (1)
perubahan pola hujan dan iklim ekstrem (banjir dan kekeringan),
(2) peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan muka laut.
73
Pramudia et al.
Perubahan iklim mempengaruhi sektor pertanian baik secara
langsung maupun tidak langsung diantaranya melalui efeknya
terhadap suhu dan perubahan curah hujan dalam biologi dan fisik
lingkungan. (Brown dan Rosenberg 1997 dalam Mestre-Sanchís dan
Feijóo-Bello 2009). Perubahan pola curah hujan dapat
menyebabkan fluktuasi ketersediaan air, yang dapat berpengaruh
terhadap produksi tanaman, selain juga terhadap peluang
peningkatan hama dan penyakit. Ketersediaan air merupakan salah
satu konsekuensi paling dramatis perubahan iklim untuk sektor
pertanian (Mestre-Sanchís, Feijóo-Bello 2009). Penurunan
kelembaban tanah menyiratkan pengurangan yang signifikan pada
produktivitas tanaman lahan kering potensial. Di sisi lain,
peningkatan hujan lebat berdampak pada erosi dan tanah.
Boer et al. (2011) menyatakan bahwa dampak perubahan iklim
global terhadap sektor pertanian dibedakan menjadi: (1) dampak
yang bersifat kontinu, berupa kenaikan suhu udara, perubahan
hujan, dan kenaikan salinitas air tanah untuk wilayah pertanian
dekat pantai yang akan menurunkan produktivitas tanaman dan
perubahan panjang musim yang mengubah pola tanam dan indeks
penanaman, (2) dampak yang bersifat diskontinu seperti
meningkatnya gagal panen akibat meningkatnya frekuensi dan
intensitas kejadian iklim ekstrem (banjir, kekeringan, dan angin
kencang) dan meningkatnya gagal panen akibat munculnya
serangan atau ledakan hama penyakit baru tanaman, dan (3)
dampak yang bersifat permanen berupa berkurangnya luas
kawasan pertanian di kawasan pantai akibat kenaikan muka air
laut.
Dalam lima tahun terakhir, petani di Jawa dan Sumatera telah
mengeluhkan kejadian cuaca yang tidak normal yaitu permulaan
musim hujan bergeser 10-20 hari lebih lambat dan musim kemarau
sekitar 10-60 hari lebih cepat (Handoko et al. 2008). Perubahan
iklim yang terjadi telah mengubah pola tanam yang dilakukan oleh
petani.
Dampak lain dari perubahan iklim adalah peningkatan frekuensi
kejadian iklim ekstrem yang dapat menyebabkan banjir, longsor
dan kekeringan. Boer dan Subbiah (2005) menjelaskan bahwa
sejak tahun 1844 hingga tahun 2005, Indonesia telah mengalami
kejadian kekeringan tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kejadian
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian
fenomena ENSO. Menurut Boer et al. (2009), pada saat fenomena
El-Nino berlangsung, pada banyak daerah musim hujan dapat
berakhir lebih cepat dari biasanya atau hujan mendadak hilang
pada bulan-bulan berikutnya, sehingga tanaman kedua terkena
kekeringan. Masalah ini muncul karena pada waktu musim tanam
pertama berakhir, hujan biasanya masih banyak dan petani
biasanya akan melanjutkannya dengan penanaman kedua.
Setelah penanaman dilakukan, musim hujan berakhir lebih cepat
sehingga tanaman terkena kekeringan. Dampak dari peningkatan
muka air laut adalah kehilangan dan penyusutan luas tanam, di
samping peningkatan instrusi air laut yang dapat menyebabkan
salinitas. Gambar 13 memperlihatkan dampak peningkatan suhu,
perubahan pola hujan, kenaikan muka air laut dan kejadian iklim
ekstrem yang dapat menyebabkan pergeseran tanam, penurunan
luas tanam, peningkatan salinitas, kemasaman, udara panas,
banjir, kekeringan dan embun beku (frost) terhadap budidaya
tanaman.
Gambar 13. Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian (Sumber:
Balitbangtan 2013)
Kejadian kekeringan apabila kurang dapat diantisipasi dapat
menimbulkan banyak kerugian pada berbagai sektor. Apabila
kejadian iklim ekstrem dapat diprediksi kejadiannya lebih awal,
maka kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian ini akan dapat
ditekan. Kejadian kekeringan tahun 1997/1998 menimbulkan
75
Pramudia et al.
kerugian sekitar 375 juta dollar dimana 73% dari kerugian ini
berasal dari sektor kehutanan dan 24% dari sektor pertanian dan
sisanya dari sektor lainnya seperti perhubungan (Boer dan
Setyadipratikto 2003).
Laporan KP3I (Boer et al. 2009) menyatakan bahwa kadar salinitas
di Pantura Jawa Barat terutama di Kecamatan Indramayu, Sindang,
Cantigi, dan Losarang pada puncak musim kemarau (bulan Juli)
sudah mencapai lebih dari 6 dS/m. Salinitas mengalami penurunan
yang cukup nyata yaitu menjadi 4 dan 5 dS/m pada bulan Oktober
dan November, namun demikian nilai tersebut masih di atas
ambang batas (Gambar 14). Lahan dengan kadar salinitas lebih dari
4 dS/m, diperkirakan hanya dapat memproduksi padi sekitar 85%
dari kondisi normalnya.
Gambar 14. Pola curah hujan dan tingkat salinitas air tanah dan
penggunaan lahan di Indramayu, Jawa Barat (Sumber: Boer
et al. 2009)
Menurut IRRI penggabungan varietas padi toleran salinitas dengan
strategi manajemen yang cocok (tanaman yang cocok, pengelolaan
nutrisi, tanah, dan air) sangat penting bagi petani untuk
mengurangi efek yang tidak diinginkan dari salinitas pada tanaman
padi. Hasil IRRI dalam pengujian mengenai salinitas pada kondisi
lapang petani menunjukkan bahwa manajemen pembibitan yang
tepat sebelum tanam dan penanganan bibit, bersama dengan
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
pengelolaan hara secara substansial dapat memperbaiki morfologi
tanaman, dan pertumbuhan awal pada bagian yang terkena efek
dari garam.
Upaya adaptasi perubahan iklim melalui kalender tanam
Dampak perubahan iklim terhadap ekonomi dan pembangunan
manusia harus dievaluasi secara seksama dan dipetakan. Kemudian
strategi adaptasi harus diintegrasikan ke dalam berbagai rencana
dan anggaran, baik pada tingkat pusat maupun daerah (UNDP
2007). Tantangan dalam adaptasi perubahan iklim, adalah:
(1) Rendahnya pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan
risiko iklim secara intensif.
(2) Terbatasnya sumberdaya untuk adopsi dan implementasi
teknologi adaptif.
(3) Tidak efektif atau lemahnya kebijakan yang mendukung petani
untuk mengatasi kegalauan iklim.
Beberapa upaya adaptasi perubahan iklim yang sudah dilakukan
diantaranya adalah:
(1) Kalender tanam terpadu untuk tanaman pangan.
(2) Varietas adaptif dan toleran: (a) kekeringan, (b) tahan
genangan, (c) genjah, (d) tahan salinitas, dan (e) rendah emisi.
(3) Teknologi pengelolaan tanah dan air.
(4) Food Smart Village (FSV).
(5) Optimasi siklus karbon (zero waste): (a) kompos, (b) pakan
ternak, dan (c) biogas.
(6) Diversifikasi pangan.
Budidaya pertanian, baik di lahan kering maupun lahan beririgasi,
tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah, intensitas, dan distribusi
hujan, tetapi juga ditentukan oleh awal musim hujan (onset season)
dan akhir musim hujan. Perkiraan awal musim hujan menjadi faktor
penting dalam menetapkan awal musim tanam, pelaksanaan
tanam, penentuan pola tanam, dan perkiraan luas areal tanam,
terutama untuk tanaman pangan pada lahan sawah tadah hujan
dan lahan kering.
Awal musim hujan merupakan variabel yang paling penting bagi
manajemen pertanian. Awal musim hujan secara langsung
77
Pramudia et al.
mempengaruhi praktek pengelolaan pertanian, khususnya awal
penanaman dan pada gilirannya, secara signifikan mempengaruhi
produksi tanaman serta kemungkinan tanaman mengalami
kekeringan (Kumar 1998). Wheeler et al. (2005) menyatakan
bahwa ketersediaan air tanaman sangat tergantung pada awal
musim hujan (onset), penghentian, dan panjang musim hujan.
Distribusi ketersediaan air akan sangat mempengaruhi hasil panen.
Awal musim hujan juga menjadi “penanda” bagi petani tradisional
dalam mengawali pengolahan tanah untuk budidaya tanaman pada
lahan sawah. Demikian juga halnya dengan lahan sawah irigasi,
perkiraan awal musim hujan juga sangat terkait dengan
ketersediaan dan pasokan air irigasi dalam kaitannya dengan awal
musim tanam (Syahbuddin et al. 2007).
Lebih lanjut Syahbuddin et al. (2007) menjelaskan bahwa dalam
beberapa dekade terakhir, usaha tani tanaman pangan seringkali
hanya mengandalkan kebiasaan dan naluri (instinct) dalam
penetapan pola tanam. Akibatnya petani kerap dihadapkan kepada
kendala kekurangan air, khususnya pada saat periode kering yang
berlangsung lebih lama. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian
pola tanam yang lebih adaptif dengan keragaman dan perubahan
iklim. Untuk menanggulangi hal tersebut, diperlukan panduan yang
lebih operasional namun didasarkan pada kajian dan analisis yang
lebih komprehensif terhadap pola curah hujan dan ketersediaan air,
baik dalam bentuk spasial maupun tabular (waktu dan pola tanam
selama siklus satu tahun) yang disebut Peta Kalender Tanam
(Runtunuwu dan Syahbuddin 2011).
Hubungan Dinamika Kalender Tanam dengan Variabilitas dan
Perubahan Iklim
Hubungan perubahan iklim dengan pola dan intensitas curah hujan
Terkait dengan perubahan iklim, beberapa indikator perubahan
iklim yang bisa diamati adalah meningkatnya suhu udara,
perubahan pola curah hujan, peningkatan muka air laut, serta
meningkatnya kejadian iklim ekstrem. Selain itu, kearifan lokal dan
tanda-tanda alam seperti pranata mangsa semakin sulit dikenali
sehingga tidak dapat lagi digunakan oleh masyarakat.
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Pengaruh perubahan iklim terhadap curah hujan dapat dipelajari
melalui berbagai model skenario seperti peningkatan konsentrasi
CO2 dan suhu udara. Naylor et al. (2007) memprediksi arah
perubahan pola hujan di wilayah bagian barat Indonesia dan selatan
khatulistiwa. Di bagian utara Sumatera dan Kalimantan, intensitas
curah hujan cenderung lebih tinggi dengan periode yang lebih
pendek, sedangkan di wilayah selatan Jawa dan Bali akan menurun
tetapi dengan periode yang lebih panjang (Gambar 15).
Sekarang
Prediksi ke depan
di masa lalu
100 mm
Ags
Des
Mei
Gambar 15. Prediksi arah perubahan pola hujan Indonesia. Di Jawa,
panjang musim hujan berkurang dan curah hujan pada musim
hujan meningkat dan menurun pada musim kemarau
(Sumber: Naylor et al. 2007)
Secara nasional, Boer et al. (2009) mengungkapkan terjadinya
peningkatan hujan musiman Desember, Januari, Februari (DJF)
secara signifikan di sebagian besar wilayah Jawa, wilayah Indonesia
bagian Timur dan Sulawesi. Sebaliknya, terjadi penurunan hujan
musiman Juni, Juli Agustus (JJA) secara signifikan di sebagian besar
wilayah Jawa, Papua, Sumatera bagian barat dan Kalimantan
bagian timur selatan (Gambar 16).
(a)
(b)
79
Pramudia et al.
(c)
(d)
Gambar 16. Tren perubahan curah hujan pada musim hujan dan musim
kemarau di Indonesia. (a) DJF, (b) JJA, (c) MAM, dan (d) SON
(Sumber: Boer 2009)
Penurunan jumlah curah hujan tersebut berpengaruh terhadap
musim tanam. Sebagai contoh, penurunan jumlah curah hujan di
Tasikmalaya dalam periode 1879-2006 telah menurunkan potensi
satu musim tanam padi (Runtunuwu dan Syahbuddin 2007).
Kondisi yang tidak menguntungkan ini juga terjadi di wilayah utara
dan selatan Sumatera, Kalimantan Barat, Jawa Timur, NTT, NTB,
dan Sulawesi Tenggara.
Adanya kecenderungan pemendekan musim hujan dan peningkatan
curah hujan di bagian selatan (Jawa dan Bali) mengakibatkan
perubahan awal dan durasi musim hujan. Kondisi tersebut
menyulitkan upaya peningkatan indeks penanaman (IP) jika tidak
diikuti oleh pengembangan varietas berumur genjah, rehabilitasi,
dan pengembangan jaringan irigasi. Mundurnya awal musim hujan
selama 30 hari dapat menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan
Jawa Tengah sebanyak 6,5% dan di Bali sebanyak 11% dari kondisi
normal. Sebaliknya, di bagian utara (Sumatera dan Kalimantan)
terjadi kecenderungan perpanjangan musim hujan dengan
intensitas
yang
lebih
rendah
sehingga
mengakibatkan
pemanjangan musim tanam dan peningkatan IP. Namun
produktivitas lahan di Sumatera dan Kalimantan tidak sebaik di
Jawa.
Perubahan pola curah hujan juga menyebabkan penurunan
ketersediaan air pada waduk, terutama di Jawa. Sebagai contoh,
selama 10 tahun rata-rata volume aliran air dari DAS Citarum yang
masuk ke waduk menurun dari 5,7 milyar m3 per tahun menjadi 4,9
milyar m3 per tahun (PJT II 2009). Kondisi tersebut berimplikasi
terhadap turunnya kemampuan waduk Jatiluhur mengairi sawah di
Pantura Jawa. Kondisi yang sama ditemui pada waduk lain di Jawa,
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
seperti Gajah Mungkur dan Kedung Ombo (Badan Litbang Pertanian
2011).
Hasil penelitian Batisti et al. (2006, dalam Boer 2008) menunjukkan
bahwa ENSO menjelaskan sekitar 50% dari keragaman hujan
seluruh Indonesia pada bulan Mei-Desember (Gambar 17). Korelasi
curah hujan wilayah dengan IOD adalah sama seperti ENSO.
Apabila tidak ada pengaruh ENSO, maka IOD hanya menjelaskan
5-10% dari keragaman hujan Indonesia pada SeptemberDesember.
Hasil penelitian Boer (2005) di Oekabiti Kupang menunjukkan
bahwa apabila SOI September sekitar nol (normal) awal masuk
musim hujan sekitar akhir November atau awal Desember. Apabila
nilai SOI naik 10 dari nol, maka awal musim hujan (MH) akan maju
sekitar 11 hari, sebaliknya kalau turun 10, awal MH mundur sekitar
11 hari (Gambar 18a). Apabila SOI September sekitar nol (normal)
lama musim hujan diperkirakan sekitar 4 bulan (120 hari). Apabila
nilai SOI naik 10 dari nol, maka lama MH akan lebih panjang sekitar
12 hari, sebaliknya kalau turun 10, lama MH akan lebih singkat 12
hari (Gambar 18b).
Dari aspek peluang, dapat dilihat bahwa apabila pada bulan
September fase SOI masuk kategori 1 atau 3 (El-Nino), maka
peluang awal MH akan mundur menjadi besar dan lama MH relatif
menjadi lebih singkat dibanding fase lain (normal atau La-Nina)
(Gambar 19a).
(a)
81
Pramudia et al.
(b)
(c)
Gambar 17. Pengaruh ENSO terhadap keragaman hujan di Indonesia (a)
JFMA, (b) MJJA, dan (c) SONJ. (Sumber: Batisti 2006 dalam
Boer 2008)
(a)
(b)
Gambar 18. Hubungan SOI dengan (a) awal dan (b) lama MH di Oekabiti
Kupang (Sumber: Boer 2005)
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Sebaliknya, apabila Fase SOI bulan September masuk kategori 2
dan 4 (La-Nina), maka peluang terjadinya MH yang lebih panjang
menjadi lebih besar dibanding fase lain (normal atau El-Nino)
(Gambar 19b).
Hubungan perubahan iklim dengan pola dan intensitas curah hujan
bisa dilihat dari peristiwa curah hujan Juli-Agustus 2013 yang di luar
pola biasanya. Fenomena anomali iklim pada tahun Juli-September
2013 menyiratkan ada faktor penting terkait perubahan iklim yang
memberi pengaruh terhadap curah hujan. Data IOD selama 20092013 menunjukkan bahwa pada Juli 2013 indeks IOD bernilai
negatif yang membawa dampak pada kondisi yang basah. Kejadian
yang mirip pernah terjadi pada tahun 2010. Pada tahun 2010,
terjadi La-Nina pada musim kemarau dengan nilai anomali SST -0,5
sampai dengan -1,5 selama periode Juli 2010-Februari 2011 yang
membawa dampak kemarau basah (ekstrem). Selain itu, suhu
perairan barat Sumatera menghangat, yang ditandai oleh nilai IOD
pada kisaran -0,5 sampai dengan -1,0 selama periode AgustusSeptember 2010. Dampaknya adalah peningkatan uap air menjadi
lebih ekstrem.
Pada tahun 2013, ENSO dalam kondisi normal. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai anomali SST pada kisaran -0,5 sampai dengan 0,5 mulai
Januari 2013 sampai sekarang (tidak ada iklim ekstrem).
1.0
Fase 1+3
Normal
Fase 2+4
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
265 275 285 295 305 315 325 335 345 355 365
Awal MH
(a)
83
Pramudia et al.
Peluang Terlampaui
1.0
Fase 1+3
Normal
Fase 2+4
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Lama MH (Dekade)
(b)
Gambar 19. Prediksi peluang (a) awal masuk MH dan (b) lama MH
berdasarkan fase SOI September di Oekabiti, Kupang
(Sumber: Boer 2005)
Fenomena lain yang muncul pada tahun 2013 adalah suhu di
perairan barat Sumatera menghangat dengan nilai IOD pada
kisaran <-0,5 mulai April 2013 sampai sekarang. Fenomena inilah
yang diindikasikan menjadi penyebab peningkatan uap air yang
pada akhirnya meningkatkan curah hujan (Gambar 20).
Berdasarkan sebaran dan perkembangan suhu permukaan laut
periode Juli-Desember 2013, maka terlihat bahwa pada JuliOktober, suhu permukaan laut perairan Indonesia cenderung
hangat yang mengakibatkan ada penambahan massa uap air. Hal
ini menyebabkan adanya peningkatan curah hujan di beberapa
bagian wilayah Indonesia. Untuk periode November-Desember,
suhu permukaan laut perairan Indonesia diprediksi normal, artinya
penambahan massa uap air kurang signifikan. Hal ini berdampak
peningkatan curah hujan tidak signifikan (Gambar 21).
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
(a)
(b)
Gambar 20. Perkembangan (a) SST dan (b) IOD tahun 2010 dan 2013
(Sumber: POAMA 2013)
85
Pramudia et al.
Jun
Jul
Okt
Ags
Nov
Sep
Gambar 21. Sebaran dan perkembangan suhu permukaan laut JuniSeptember 2013 (Sumber: BMKG 2013)
Data arah dan kecepatan angin di atas Indonesia menunjukkan
bahwa pada Januari 2013 pusat tekanan rendah berada di wilayah
utara Australia atau di selatan Nusa Tenggara (Gambar 22a).
Kawasan selatan katulistiwa angin bertiup dari arah timur
membawa angin dingin kering dari Australia. Wilayah Sumatera
bagian utara angin bertiup dari barat daya membawa uap air dari
Samudera Hindia. Kawasan Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua
yang berada di utara katulistiwa angin bertiup dari arah timur
membawa uap air dari Samudera Pasifik dan Papua.
Pada bulan Juli 2013 kondisi tersebut berubah (Gambar 22b). Pada
Juli 2013, pusat tekanan rendah ada 3 yaitu: (1) di bagian barat
Sumatera di Samudera Hindia, (2) di Laut Cina Selatan, dan (3) di
timur Filipina. Pusat tekanan rendah berpotensi sebagai pusat
pembentukan awan hujan. Pusat tekanan rendah di barat Sumatera
berpotensi untuk mengakibatkan peningkatan curah hujan di barat
Sumatera.
Pusat tekanan rendah di timur Filipina, berpotensi untuk menarik
uap air di kawasan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku bagian utara.
Udara yang membawa uap air akan bergerak dari tekanan tinggi ke
tekanan rendah, artinya di wilayah Samudera Hindia akan terjadi
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
curah hujan tinggi yang dampaknya hingga ke Jawa dan sebagian
Sumatera. Fenomena ini membantu menjelaskan mengapa pada
bulan Juli 2013 curah hujan di sebagian wilayah Indonesia
khususnya Jawa meningkat.
(a)
(b)
Gambar 22. Sebaran pusat tekanan rendah pada bulan (a) Januari dan (b)
Juli 2013 (Sumber: BMKG 2013)
Arah dan sebaran pusat tekanan rendah juga ditunjukkan oleh foto
citra pada tanggal 15 Januari dan 19 Juli 2013. Kumpulan awan
yang luas terbentuk pada kawasan pusat bertekanan rendah dan
sekitarnya, serta pada lintasan angin yang membawa uap air. Pada
lintasan yang membawa udara kering umumnya cerah dan
cenderung kering (Gambar 23 dan 24).
Pola dan intensitas curah hujan juga dipengaruhi oleh gangguan
siklon tropis (Gambar 25). Secara alamiah, Indonesia sebetulnya
bukan merupakan wilayah lintasan siklon tropis (>10oLU dan
>10oLS). Namun, siklon tropis yang terjadi di sekitar Indonesia bisa
memberi dampak terhadap cuaca di wilayah Indonesia.
Siklon tropis di wilayah selatan Indonesia (dari data histori 42
tahun) umumnya terjadi pada Februari (23%), Maret (22%),
Januari (21%), Desember (14%) dan April (11%). Juni, Juli,
Agustus dan September hampir tidak terdapat kejadian siklon tropis
sama sekali. Siklon tropis di wilayah utara Indonesia umumnya
terjadi pada Agustus (20%), September (18%), serta Juli dan
Oktober (15%).
87
Pramudia et al.
Gambar 23. Sebaran keawanan pada tanggal 15 Januari 2013 (Sumber:
BMKG 2013)
Gambar 24. Sebaran keawanan pada tanggal 19 Juli 2013 (Sumber: BMKG
2013)
Dampak siklon tropis terhadap cuaca di Indonesia, yaitu: (1) daerah
pumpunan angin, ekor siklon tropis yang berdampak terbentuk
lebih banyak awan-awan konvektif penyebab hujan lebat, (2)
daerah belokan angin yang membawa akibat terbentuknya lebih
banyak awan-awan konvektif penyebab hujan lebat di daerah
tersebut, dan (3) daerah defisit kelembaban (utara Indonesia) yang
berdampak berkurangnya curah hujan di wilayah Sulawesi bagian
utara atau Kalimantan.
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Gambar 25. Lintasan depresi tropis dan siklon tropis (Sumber: LAPAN
2013)
Curah hujan dan penetapan pola tanam
Perubahan pola curah hujan akan meningkatkan frekuensi banjir
dan kekeringan. Mundurnya awal musim hujan 1 bulan akan
berdampak pada penurunan produksi padi di Jawa/Bali antara 718% (Naylor et al. 2007). Pola distribusi curah hujan sangat
menentukan pola tanam umum di suatu wilayah. Ada tiga macam
pola yang sangat dikenal di Indonesia, yaitu pola monsunal,
ekuatorial, dan pola lokal. Di samping itu, ada lagi satu pola hujan
yang hanya terdapat di Papua dan di sebagian kecil Sulawesi, yang
disebut sebagai pola moderat (Gambar 26).
Umumnya wilayah pada pola monsunal, lebih terpengaruh kejadian
iklim ekstrem. Kejadian iklim ekstrem tentunya sangat
mempengaruhi ketersediaan air pertanian di suatu wilayah. Oleh
karena itu, informasi pola tanam untuk petani menyangkut awal
musim akan berubah sesuai dengan ketersediaan air. Informasi
prakiraan hujan yang berimplikasi terhadap kecukupan air untuk
pertanian di suatu wilayah, akan memberikan intensitas tanam dan
alternatif pilihan pola tanam yang berbeda (Gambar 27).
Terdapat indikasi bahwa petani telah menyesuaikan terhadap
adanya perubahan iklim (utamanya berupa penurunan curah hujan
dan jumlah bulan hujan) dengan menyesuaikan jenis tanaman yang
diusahakan, yaitu dari padi yang memerlukan pasokan air yang
banyak ke palawija yang memerlukan lebih sedikit air (Handoko et
89
Pramudia et al.
al. 2008). Sehingga dapat terjadi perubahan pola tanam, yang
sebelumnya padi-padi-padi menjadi padi-padi-palawija.
Gambar 26. Pola distribusi curah hujan di Indonesia
ADAPTASI POLA TANAM
M
PTutup
P
O
L
A
• W
A
K
150 TU
Pola• J
Pola
CH2 U
M
CH1
L
A
Pola H
•
Tana
Awa
m
l
Awa
Awa
MH2
l
l
Threshold
MH1 Perubahan MK1
Musim
Awa
l
MK2
Pola
Tana
Pola
Tana
m-1
Tana
m-2
m-3
Gambar 27. Alternatif pola tanam yang dapat dipilih sesuai ketersediaan
air dan awal musim hujan
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Alternatif pola tanam dimaksudkan supaya pertanaman berikutnya
pada MT II atau MT III tidak mengalami kekeringan akibat
mundurnya waktu tanam, karena awal musim hujan mengalami
mundur dari kondisi normal, dan untuk mengantisipasi terjadinya
bencana kekeringan. Penentuan pola tanam sangat dipengaruhi
oleh ketersediaan air dan awal musim hujan. Pada wilayah yang
memiliki ketersediaan air cukup banyak (pola CH 3) maka pola
tanamnya bisa padi-padi-padi/palawija dengan rentang waktu yang
cukup panjang. Pada pola CH 2, pola tanam masih bisa padi 2 kali,
tetapi pada MT III ditanam palawija karena air mulai terbatas.
Untuk wilayah yang ketersediaan airnya terbatas, maka pola tanam
hanya bisa padi gora dan palawija (Gambar 27). Bencana
kekeringan menyebabkan penurunan produksi yang cukup
signifikan. Ceesay (2004) memaparkan mengenai kekeringan pada
padi gogo di Gambia. Kerugian akibat kekeringan padi gogo
diperkirakan 60% pada musim tanam 2002 ketika curah hujan
berkurang sebesar 40% dari rata-rata 10 tahun normal (760 mm).
Padahal, hasil sebelumnya menunjukkan bahwa padi gogo dapat
tumbuh pada kondisi curah hujan di bawah 700 mm sampai 1.000
mm.
Proses penyusunan kalender tanam berdasarkan informasi curah
hujan
Studi mengenai kalender tanam sudah juga dilakukan di Malaysia.
Lee et al. (2005) membahas cara-cara dan sarana untuk mengatasi
masalah kelangkaan air dengan menggunakan acuan diantaranya
adalah curah hujan, sungai yang tersedia, dan kebutuhan air irigasi
di aliran untuk menetapkan kalender untuk jadwal tanam. Sebagai
pendekatan digunakan analisis neraca air dengan menggunakan
data cuaca dan curah hujan selama 48 tahun.
Kalender tanam dicirikan oleh dua musim yaitu main season dan off
season. Pola tanam eksisting adalah padi-padi. Dalam jadwal
kalender ini, off season berlangsung dari Mei sampai Oktober
sedangkan main season dari November sampai April. Pada off
season, kalender tanam eksisting menghadapi masalah kelangkaan
air (Hill 1977 dalam Lee et al. 2005) (Gambar 28). Untuk
menanggulangi masalah tersebut, kemudian disusun jadwal
91
Pramudia et al.
penanaman yang telah disesuaikan dengan distribusi curah hujan
dan dari aliran sungai, seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 29).
Tanaman main-season harus dijadwalkan antara bulan September
dan Februari, sedangkan panen off season ditetapkan antara bulan
Maret
dan
Agustus.
Jadwal
tanam
yang
diusulkan
memperhitungkan hal-hal penting sebagai berikut: (1) periode
persiapan lahan bertepatan dengan curah hujan, (2) target panen
dalam periode kering, dan (3) menghindari penanaman pada bulan
November/Desember pada saat angin musim timur laut mencapai
puncaknya. Kalender tanam yang diusulkan dapat mengurangi
kebutuhan air irigasi sebesar 30% pada saat main-season dan 19%
pada saat off season (Lee et al. 2005).
Gambar 28. Kalender tanam eksisting (Sumber: Lee et al. 2005)
Contoh lain penggunaan kalender tanam dari distrik Khandamal di
Orrisa India, yang menggunakan neraca air sebagai dasar, juga
dengan mempertimbangkan koefisien tanaman (Kc) dari tanaman
(Gambar 30).
Berdasarkan kebutuhan air tanaman diberikan urutan tanaman
yang disarankan. Tidak ada penanaman yang direncanakan dalam
bulan Maret, April dan Mei, karena air diperkirakan tidak cukup
tersedia.
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Gambar 29. Kalender tanam usulan (Sumber: Lee et al. 2005)
Gambar 30. Urutan tanaman yang disarankan untuk daerah studi (Sumber:
Panigrahi et al. 2010)
Kesimpulan
Kondisi iklim Indonesia sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: posisi Indonesia yang terletak antara dua samudera
dan dua benua, dominasi lautan (75%) dibandingkan daratan
(25%), merupakan pertemuan udara antar tropika (ITCZ) serta
dikendalikan oleh sirkulasi atmosfer seperti Hadley, Walker, angin
93
Pramudia et al.
monsun Asia-Australia serta Arlindo. Kondisi ini menjadikan iklim
Indonesia sangat beragam, dinamis, dan kompleks.
Variabilitas dan keragaman iklim Indonesia merupakan bagian dari
mekanisme global yang berpengaruh terhadap perilaku pertanian.
Dalam jangka panjang, variabilitas dan keragaman iklim akan
mengalami pergeseran musim dari rata-ratanya dan berkontribusi
terhadap terjadinya perubahan iklim. Dampak perubahan iklim
yang sangat terkait dengan kegiatan pertanian adalah perubahan
pola dan distribusi curah hujan. Pola dan distribusi curah hujan
sangat menentukan pola tanam umum di suatu wilayah.
Dalam Kalender Tanam, curah hujan sangat penting artinya untuk
penetapan pola tanam berdasarkan ketersediaan airnya. Besarnya
curah hujan serta sifatnya perlu diketahui agar bisa diperkirakan
awal musim tanam. Oleh karena itu, prakiraan curah hujan dan
sifatnya menjadi informasi penting untuk dapat melakukan
penetapan awal tanam.
Daftar Pustaka
Badan Litbang Pertanian. 2011. Road Map Strategi Sektor Pertanian
Menghadapi
Perubahan
Iklim.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Balitbangtan. 2013. Upaya Adaptasi Perubahan Iklim Melalui
Kalender Tanam Terpadu. Sosialisasi dan Workshop Perubahan
Iklim Sektor Pertanian. Balikpapan, 13-15 Juni 2013.
Boer, R., A. Setyadipratikto. 2003. Nilai Ekonomi Prakiraan Iklim.
Workshop Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Pertanian di
Sumatera Barat. Padang. 11-13 Agustus 2003
Boer, R., A. R. Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia.
Dalam Boken, V.S., A.P. Cracknell, R.L. Heathcote (eds.).
pp.330-344.Monitoring and Predicting Agricultural Drought: A
Global Study. Oxford University Press.
Boer, R. 2008. Fenomena ENSO dan hubungannya dengan
keragaman hujan di Indonesia. Bahan Kuliah Klimatologi
Terapan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Boer, R. 2009. Sekilas status komunikasi nasional Indonesia untuk
perubahan iklim. Makalah dipresentasikan pada Enabling
Activities for the Preparation of Indonesia’s SNC,Jakarta 21 April
2009. Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan
UNDP Indonesia.
Boer, R. 2011. Ancaman perubahan iklim terhadap ketahanan
pangan. Workshop Nasional dan FGD Adaptasi Perubahan Iklim.
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Bandung, 9-10 November 2011. Balai Besar Sumberdaya Lahan
Pertanian. Kementerian Pertanian.
BMKG. 2013. Rapat pembahasan prakiraan musim hujan 2013/14
dengan instansi terkait. Bahan presentasi BMKG tentang
prakiraan awal Musim Hujan 2013/2014. BMKG Jakarta.
Cabrera V.E., Hildebrand P.E., Jones J.W., Letson D, Ve Vries A.
2006. An Integrated North Florida Dairy Farm Model to Reduce
Environmental Impacts under Seasonal Climate Variability.
Agriculture, Ecosystems and Environment 113:82-97.
Ceesay, M.M. 2004. Management Of Rice Production Systems To
Increase Productivity In The Gambia, West Africa.
[Dissertation]. The Faculty of the Graduate School of Cornell
University.
DPI-Australia. 2002. The effects of the Southern Oscillation and ElNino on Australia, Information series 2002. Department of
Primary Industries, Queensland Government.
Giannini, A., A.W. Robertson, J.H. Qian. 2007. A role for tropical
tropospheric temperature adjustment to ENSO in the
seasonality of monsoonal Indonesia precipitation predictability.
J. Geophys. Res. 112: D16110, doi:10.1029/2007JD008519.
Hamada, J.I., M.D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P.A.
Winarso, T. Sribimawati. 2002. Spatial and temporal variations
of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. J.
Meteo. Soc. of Japan 80:285-310.
Handoko, I., Y. Sugiarto, Y. Syaukat. 2008. Keterkaitan Perubahan
Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan
Independen dalam Bidang Perdagangan dan Pembangunan.
SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Hasanuddin, M. 1998. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Oseana,
XXIII 2:1–9. www.oseanografi.lipi.go.id. Akses 1 November
2013.
Kumar V. 1998. An Early Warning System for Agricultural Drought
in an Arid Region Using Limited Data. Journal of Arid
Environments 40:199-209.
LAPAN. 2013. Dipole Mode (DM). Pusat Sains dan Teknologi
Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
http://moklim.dirgantara-lapan.or.id/content/dipole-mode-dm.
Akses 10 November 2013.
Las, I., H. Syahbuddin, E. Surmaini, A.M. Fagi. 2008. Iklim dan
Tanaman Padi: Tantangan dan Peluang. Dalam Padi: Inovasi
Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Padi.
Lee, T.S., M.A.Haque, M.M.M. Najim. 2005. Scheduling the cropping
calendar in wet-seeded rice schemes in Malaysia. Agricultural
Water Management 71:71–84.
95
Pramudia et al.
Mestre-Sanchís, F., M.L. Feijóo-Bello. 2009. Analysis Climate
change and its marginalizing effect on agriculture. Ecological
Economics 68:896-904.
Nagura, Konda. 2006. The seasonal development of an SST
anomaly in the Indian Ocean and its relationship to ENSO.
http://journals.ametsoc.org/doi/full/10.1175/JCLI3986.1.
Diakses tanggal 1 November 2013.
Naylor, R., Battisti, D.J. Vimont, W.P. Falcon, M.B. Burke. 2007.
Assessing the risk of climate variability and climate change for
Indonesia rice agriculture. Proc. Natl. Acad. Sci. 104:77527757.
Neumann, G., W.J. Pierson Jr. 1966. Principles of Physical
Oceanography. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Panigrahi, D., P.K. Mohanty, M. Acharya, P.C. Senapati. 2010.
Optimal utilisation of natural resources for agricultural
sustainability in rainfed hill plateaus of Orissa. Agricultural
Water Management 97:1006–1016.
POAMA
Australia.
2013.
POAMA
Long-Range
Outlook.
http://www.bom. gov.au/climate/enso/indices/oceanic-indicesmap.dot.giv. Diakses tanggal 9 Desember 2013.
Runtunuwu, E., H. Syahbuddin. 2007. Perubahan pola curah hujan
dan dampaknya terhadap potensi periode masa tanam. Jurnal
Tanah dan Iklim 26:1-12.
Runtunuwu, E., H. Syahbuddin. 2011. Atlas kalender tanam
tanaman pangan nasional untuk mengurangi risiko variabilitas
dan perubahan iklim. Jurnal Sumberdaya Lahan 5(1):1-10.
Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, T. Yamagata. 1999.
A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature 401:360–
363.
Syahbuddin, H., I. Las, A. Unadi, E. Runtunuwu. 2007. Identifikasi
dan delineasi kalender tanam dan pola tanam pada lahan sawah
terhadap anomali iklim di Pulau Jawa. Laporan Akhir Penelitian
pada Satuan Kerja Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian,
Departemen
Pertanian.
Tjasyono, B. 1997. Mekanisme fisis para, selama, dan pasca ElNino. Paper disajikan pada Workshop Kelompok Peneliti
Dinamika Atmosfer, 13-14 Maret 1997.
UNDP. 2007. Annual Report. United Nations Development
Programme. Indonesia.
University of Indonesia. 2004. About Jakarta and Depok. University
of Indonesia. Archived from the original on 5 May 2006. (akses
9 Desember 2013).
Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam
Wikipedia. 2013. Inter-Tropical Convergence Zone. Wikipedia, The
Free Encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Intertropical_
Convergence_ Zone. Akses 10 November 2013.
Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian
Waters. Scientific Results of Marine Investigations of South
China Sea and the Gulf of Thailand 1959-1961. Sponsored by
South Viet Nam, Thailand and the United States of America. The
University of California, Scripps Institution of Oceanography La
Jolla, California.
Wheeler, M.C., J.L. Mel Bride. 2005. Australian-Indonesia Monsoon
in: W.K.M Lau dan D. E Walison (Eds.) Intraseasonal Variability
in the Atmosphere-Ocean. Climate System, Praxis, Springer
Berlin Heidelberg.
97
98
Download