INKULTURASI GEREJA KATOLIK DI INDONESIA Problematik

advertisement
INKULTURASI
GEREJA KATOLIK DI INDONESIA
Problematik, pengertian dan teologi inkulturasi
E. Martasudjita
Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Abstract:
The discourse of inculturation is often constricted in the liturgical field. But actually the inculturation is a very far-ringing and complex problem. The problem of inculturation encompasses all aspects of the church’s life. Therefore the
inculturation needs an interdisciplinary approach. The theological discussion
of inculturation is still now looking for direction. This article would give contribution to make it clear, so that we can understand the problem and meaning of
inculturation as well as the theological foundation, the step and the various
challenge of inculturation today. May it helps us finding a direction of the
inculturation of the Catholic Church in Indonesia.
Keywords: inkulturasi, indonesianisasi, evangelisasi, iman dan budaya
Tema “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia” merupakan
permasalahan teologis yang amat luas dan kompleks. Persoalan ini
mencakup dan mengandaikan berbagai disiplin ilmu lainnya. Justru karena
begitu luas dan besarnya masalah ini, tema inkulturasi perlu mendapatkan
penjernihan. Dalam pustaka berbahasa Indonesia, pada tahun 2005 ini terbit
buku Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik
Indonesia tulisan Dr. H.JW.M. Boelaars, OFMCap1 . Buku yang merupakan
terjemahan disertasi Dr. Boelaars ini membahas proses perubahan dari
Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. Dr. Boelaars
menyadari bahwa Gereja Katolik di Indonesia sedang terus berproses
menuju kedewasaan Gereja semesta bercorak Indonesia2 . Proses tersebut
merupakan proses yang masih terus berjalan dan baru akan selesai “kalau
Gereja Katolik Indonesia 100% Indonesia maupun 100% Katolik”3 . Proses
1
Yogyakarta: Kanisius, 2005, 540.
2
Dr. H.JW.M. Boelaars OFMCap, Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja
Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005, 11.
Ibid., 339.
3
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
127
inkulturasi memang tidak mudah dilaksanakan, tetapi hal itu juga bukan
tidak mungkin. Itulah sebabnya diperlukan terus menerus diskusi yang
sifatnya luas, mendalam dan interdisipliner untuk semakin menemukan
arahnya yang jelas. Dalam hal ini tentu saja diperlukan usaha penjernihan
yang terus menerus.
Artikel ini ingin memberikan suatu sumbangan bagi penjernihan
tersebut. Tentu saja artikel ini tidak bisa memberikan sumbangan yang
menyeluruh dan tuntas terhadap tema inkulturasi Gereja Indonesia. Namun
diharapkan, semoga tulisan ini mampu memberikan penjernihan dalam
beberapa hal, khususnya: problematik dan cakupan inkulturasi, pengertian
dan dasar teologi inkulturasi, serta tahap-tahap dan tantangan inkulturasi
sekarang ini dan di masa depan. Artikel ini tentu saja lebih suatu kerangka
dasar atau sketsa yang masih membutuhkan diskusi dan pendalaman
lanjutan. Dalam tulisan ini saya mendekati permasalahan inkulturasi dalam
Gereja Katolik di Indonesia dan menggalinya menurut perspektif ajaran
dan teologi Gereja Katolik.
1.
Problematika Inkulturasi Gereja
Tema inkulturasi merupakan tema teologis yang sangat luas dan
kompleks. Tema ini juga tidak mudah. Namun tema inkulturasi yang
bertolak dari tema teologis hubungan Gereja dan budaya itu termasuk tema
sentral dalam Gereja Katolik dan teologi pada abad XX dan selanjutnya4 .
Ada banyak pertanyaan dan permasalahan di sekitarnya.
Pertama ialah masalah cakupan. Orang sering memikirkan inkulturasi
hanya dalam konteks liturgi saja, entah soal pakaian, musik, tata ruang
liturgi dst. Padahal masalah inkulturasi itu bukan hanya bersangkut paut
dengan liturgi saja, melainkan juga berbagai bidang kehidupan iman, entah
itu pewartaan, persekutuan, atau pun pelayanan. Inkulturasi juga bisa
menyangkut berbagai ranah kehidupan bersama dalam Gereja, entah
mencakup segala tradisi, adat kebiasaan, kehidupan membiara, berkeluarga
atau pun membujang dst.
Kedua ialah masalah makna inkulturasi itu sendiri. Kebanyakan orang
menggambarkan inkulturasi sebatas pada “kulitnya” saja. Bila orang sudah menggunakan gamelan dalam misa kudus, lalu imamnya memakai
pakaian adat (misal di Jawa: surjan-blangkon), orang sudah menganggap:
“Inilah inkulturasi”. Padahal inkulturasi bermakna lebih luas dan lebih
dalam lagi. Inkulturasi itu meliputi seluruh pengungkapan, penghayatan
4
Walter Kasper, “Kirche und Kultur. Evangelisierung und Inkulturation”, dalam Bernhard
Fraling dkk (ed.), Kirche und Theologie im kulturellen Dialog, Freiburg im Breisgau-Basel-Wien:
Herder, 1994, 157.
128
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
dan perwujudan iman kristiani itu sendiri dalam seluruh kehidupan
kita.
Ketiga ialah masalah dasar teologis inkulturasi. Sebagian orang masih
memandang bahwa dasar pokok inkulturasi adalah misteri inkarnasi, yakni
Sang Allah Putra yang menjadi manusia. Padahal kita semestinya
memahami inkulturasi berdasarkan keseluruhan misteri Yesus Kristus yang
bukan hanya menjelma tetapi juga hidup, berkarya dan terutama wafat
serta bangkit (misteri Paskah) hingga mengutus Roh Kudus-Nya kepada
Gereja.
Keempat ialah masalah tegangan antara iman seluruh Gereja (universal) dan penghayatannya secara lokal. Ini soal yang tidak mudah. Banyak
orang yang mengharapkan agar segala unsur budaya setempat bisa
dimasukkan ke dalam khazanah kehidupan iman Gereja. Misalnya saja
ada orang yang mengusulkan pemakaian jenis makanan pokok setempat
sebagai pengganti roti dan anggur dalam perayaan Ekaristi. Usulan untuk
mengganti roti dan anggur dengan makanan pokok daerah tersebut tentu
saja tidak diterima. Sebab iman yang kita akui dan kita hayati pertamatama adalah iman seluruh Gereja.
Kelima ialah masalah benturan budaya. Iman kristiani yang kita terima
di Indonesia adalah iman yang diwartakan oleh orang Eropa. Itu pun
menumpang pada masa kolonialisme Barat. Lalu bagaimana iman Gereja
yang diwartakan oleh para misionaris itu dihayati dan diungkapkan oleh
orang Indonesia? Bagaimanapun juga Injil Yesus Kristus itu dibawa,
diungkapkan, dan diwartakan dengan baju budaya tertentu, sebut saja:
Yahudi-Yunani-Romawi- dan Barat. Bagaimana realitas budaya “asing”
yang menjadi badan atau bungkus Injil Yesus Kristus bisa diterima dan
dihayati oleh orang-orang beriman di Indonesia? Dalam hal ini mau tidak
mau terjadilah benturan budaya. Contoh konkretnya: bagaimana simbolsimbol kristiani, seperti simbol liturgi (kasula, roti-anggur, tepukan pada
sakramen krisma dsb), dapat dipahami dan dihayati orang Indonesia?
Keenam ialah masalah pluralitas. Masalah ini muncul sebagai buah dari
adanya inkulturasi. Dengan semakin banyaknya unsur budaya lokal yang
masuk dalam khazanah kehidupan iman Gereja setempat, maka di dunia
ini bisa terjadi aneka macam bentuk dan model penghayatan iman Gereja.
Ada kemungkinan bahwa orang Katolik di daerah tertentu tidak dapat
mengikuti kegiatan Gereja di daerah lain, karena di situ serba lain.
Ketujuh ialah masalah interdisipliner. Terkadang orang hanya
mendekati inkulturasi hanya dari sisi biblis, teologis atau liturgis saja.
Sayangnya sisi budaya-antropologis, historis, sosiologis, ethnologis dsb
kurang digali. Cara terbaik ialah bahwa para ahli dari berbagai cabang
disiplin ilmu itu berbicara bersama tentang masalah inkulturasi ini. Masalah
lebih lanjut ialah keterbatasan tenaga ahlinya dan bagaimana mengumpulkan mereka.
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
129
2.
Penjernihan pengertian inkulturasi
2.1. Peristilahan
Kita mengenal berbagai istilah yang menyertai kata “inkulturasi” ini.
Ada istilah indonesianisasi, indigenisasi (dari bahasa Latin indigena =
pribumi), evangelisasi, implantasi, adaptasi, akomodasi, kontekstualisasi.
Istilah inkulturasi berasal dari lingkungan teologi misi. Istilah inkulturasi
ini dipopulerkan oleh Joseph Mason, seorang misiolog dari Belgia, pada
tahun 19595 . Kata “inkulturasi” berhubungan dengan kosakata antropologi:
enkulturasi (=penyesuaian seseorang ke dalam suatu budaya tertentu) dan
akkulturasi (= pertemuan antar budaya dan penerimaan unsur-unsur budaya
dari suatu budaya asing). Istilah inkulturasi semula digunakan dalam
khazanah diskusi teologis, lalu digunakan dalam dokumen Yesuit pada
Kongregasi Jendral pada tahun 1974/1975. Baru pada sinode para Uskup
tahun 1977 istilah inkulturasi diterima dan digunakan dalam suatu
dokumen resmi Gereja 6 . Kemudian Sri Paus Yohanes Paulus II biasa
menggunakan istilah inkulturasi ini dalam beberapa ajarannya7 . (no. 53).
Kini, istilah inkulturasi sudah menjadi kosakata yang umum dan diterima
di mana-mana.
2.2. Makna inkulturasi
Problematik inkulturasi sebagaimana diungkapkan di atas memerlukan suatu penjernihan pengertian inkulturasi. Saya berpendapat bahwa
pengertian inkulturasi bukanlah sekedar masalah: bolehkah imam memakai surjan dan blangkon (pakaian adat Jawa) dengan dikalungi stola pada
saat memimpin Ekaristi? Inkulturasi bukan juga sekedar bolehkah
menggambar Yesus dan para Rasul ala orang Jawa, orang Bali, orang Dayak,
orang Flores? Inkulturasi juga bukan sekedar membangun gedung gereja
ala adat Jawa, Batak, Toraja, Minahasa, dsb. Inkulturasi juga bukan hanya
masalah penggunaan istilah daerah atau setempat untuk perbendaharaan
istilah iman Gereja, misalnya: Gusti Pangeran, tunggil dat (bahasa Jawa untuk
menerjemahkan kata sehakekat – homousios). Pengertian inkulturasi
bukanlah sekedar menunjuk persoalan bagaimana mengungkapkan iman
kristiani, yang kita warisi dari iman para Rasul hingga sejarah Gereja
5
Giancarlo Collet, “Inkulturation”, dalam P. Eicher (ed.), Neues Handbuch theologischer
Grundbegriffe, München: Kösel, 1991, 396.
6
Dokumen hasil sinode para uskup tahun 1977 itu berjudul: Ad populorum Dei nuntius (lih.
no. 5). Namun sebenarnya para Uskup di Asia telah menggunakan istilah inkulturasi pada
dokumen FABC I di Taiwan pada tahun 1974. Lihat: His Gospel to Our People, vol. 2, Manila: Cardinal Bea Institute, 1976, 332.
7
Misalnya saja: dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae no. 53; Ensiklik Redemptoris Missio
no 52 dan 54.
130
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
selanjutnya, ke dalam budaya, bahasa dan seluruh cara kehidupan orang
setempat atau pribumi. Lalu inkulturasi harus dimengerti bagaimana?
Sebaiknya kita memahami inkulturasi sebagai suatu proses yang terus
menerus, dalam mana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio-politis dan
religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah
dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan orang-orang setempat.8
Dari pengertian ini kita bisa menggali beberapa poin penting:
Pertama, inkulturasi bukanlah sekedar suatu cara pengungkapan iman
Gereja universal ke dalam tata cara budaya atau bahasa tertentu yang
setempat saja, tetapi juga mencakup penghayatan iman dalam hidup konkret yang secara mendasar diubah dan ditransformasikan oleh Injil Yesus
Kristus yang diimani itu. Masalah pengungkapan iman itu mencakup
rumusan-rumusan (misalnya: teks-teks berbahasa Indonesia atau daerah),
cara mengekspresikan iman kita ke dalam bentuk visualisasi tertentu (seni
lukis, seni tari, seni suara dst), juga berbagai simbol-simbol religius dan
liturgi kita. Tampaknya inkulturasi dalam hal pengungkapan iman ini relatif
lebih mudah dibicarakan dan didiskusikan. Akan tetapi masalah inkulturasi
itu terutama mencakup transformasi hidup bukan hanya dalam arti umum,
tetapi juga amat konkret. Inilah bidang penghayatan iman. Apakah kita
sesudah menjadi orang kristiani sekian lamanya telah sungguh-sungguh
menjadi seorang kristiani sejati? Inilah masalah yang tetap menjadi bahan
permenungan yang tiada habis-habisnya. Kita sendiri mengalami betapa
susahnya menjadi orang kristiani yang baik. Betapa orang-orang kristiani
nyatanya masih suka main judi, minum narkoba, ikut arus dalam hal
hedonisme, konsumerisme, korupsi, pelanggar peraturan hidup bersama
dst. Orang kristiani yang baik ialah orang kristiani yang hidupnya sudah
sungguh-sungguh sesuai dengan nilai-nilai Injil. Nilai-nilai Injil itu bukan
hanya menyangkut nasehat-nasehat Injil saja, tetapi juga kehidupan yang
sudah menjadi serupa dengan Yesus Kristus dalam seluruh seginya.
Kedua, inkulturasi juga bukan hanya masalah teori, otak atau pemikiran
saja. Kalau masalahnya hanya soal teori, kita dapat mengatasinya jauh
lebih mudah. Asal semua ahli mau berkumpul, didukung para pejabat
Gereja dan dana yang besar, kiranya bisa dibayangkan akan adanya
kerangka pemikiran bersama mengenai inkulturasi. Masalahnya ialah
bahwa inkulturasi juga menyangkut masalah penghayatan. Inilah masalah
yang menyangkut persoalan eksistensial yang mengikutsertakan seluruh
diri manusia, termasuk prasangka, praduga, perasaan, disposisi batin dan
tingkah laku, tabiat, kebiasaan dan tradisi. Kalau kita sudah berbicara
mengenai penghayatan iman, rasanya kita mengalami kesulitan besar. Kita
8
Bdk. Giancarlo Collet, Op.cit., 395; E. Martasudjita Pr, Pengantar Liturgi. Makna, Sejarah dan
Teologi Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1999, 79.
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
131
ambil saja salah satunya, yaitu masalah perasaan. Sama-sama orang Jawa
saja, ternyata ada banyak perbedaan. Antara orang Jawa Barat, Jawa
Tengah, DIY dan Jawa Timur sudah ada perbedaan gaya dan model. Belum
lagi di antara orang tua dan orang muda ada perbedaan tuntutan dan tingkat
kepuasannya. Yang tua Jawa suka misa dengan musik gamelan, sedangkan yang muda barangkali lebih suka dengan iringan musik orkes atau
band.
Ketiga, inkulturasi itu mencakup proses transformasi budaya yang
didorong, diarahkan dan dijiwai oleh Injil. Ada banyak pengertian budaya
itu sendiri. Ada banyak definisi tentang kebudayaan. Dan istilah ini terus
diperdebatkan oleh para ahli. Kata “budaya: berasal dari kata budi-daya.
Sinonimnya ialah peradaban yang berasal dari kata Arab “adaba” yang
berarti mendidik. Kata “budaya” ini digunakan untuk menerjemahkan kata
“kultur-culture-cultuur” dari kata Latin cultura, yang berasal dari kata kerja
colere (=mengolah tanah). Dari pengertian cultura ini, kebudayaan menunjuk
segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia. Itu bisa mencakup macammacam hal, seperti kepercayaan, adat-istiadat, kebiasaan, pola pikir,
kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi, gaya hidup dsb. Kita bisa mengikuti pandangan para Bapa Konsili Vatikan II yang berkata bahwa kebudayaan itu “segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan
dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya” (GS 53).
Dalam problem inkulturasi, pertanyaannya menjadi: sejauh mana Injil Yesus
Kristus telah mempengaruhi dan memiliki daya ubah terhadap kebudayaan manusia itu. Karena budaya yang mau diubah oleh Injil itu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, maka inkulturasi juga sungguhsungguh mencakup seluruh kehidupan manusia. Tujuan pokok inkulturasi
lalu terletak pada perubahan eksistensial seluruh diri manusia dengan
seluruh dimensinya berdasarkan Roh Injil Yesus Kristus itu. Karena manusia
itu sangat konkret, artinya: selalu terikat pada budaya tertentu, maka persoalan inkulturasi Gereja juga sangat konkret. Inkulturasi di Jawa bisa
berbeda dari inkulturasi di Kalimantan, di Flores, Sumatra, Sulawesi, atau
Papua dsb.
3.
Kilasan historis singkat inkulturasi Gereja
Untuk memperjelas penjernihan makna inkulturasi, kita perlu belajar
dari sejarah inkulturasi Gereja sendiri. Dari kilasan yang dibuat singkat di
sini, semoga kita bisa diteguhkan dalam beberapa poin pengertian
inkulturasi9 .
9
Untuk mendapatkan gambaran pokok mengenai sejarah inkulturasi Gereja sejak Gereja
perdana hingga zaman ini dan usaha inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia, lihat R.
Hardawiryana SJ, Umat Kristiani Mempribumi Menghayati Iman Kristiani di Nusantara, seri Cara
Baru Menggereja di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 37-83.
132
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
Kita mulai dengan bertanya: kapan inkulturasi Gereja dimulai?
Sebagai istilah, inkulturasi memang baru ramai dibicarakan sejak tahun
1970an. Akan tetapi persoalan inkulturasi sudah amat sangat tua, bahkan
setua dengan kekristenan itu sendiri. Bagaimana iman kristiani yang
bertolak dari pengalaman iman akan Tuhan Yesus Kristus yang wafat dan
bangkit itu dihidupi, dihayati dan selanjutnya diungkapkan dalam
lingkungan budaya tertentu sudah menjadi persoalan sejak awal mula
berdirinya Gereja.
Sudah sejak awal para rasul harus memeras otak bersama seluruh
jemaat pertama untuk mempertanggungjawabkan imannya kepada Kristus
dalam konteks religius Yahudi. Segala upaya yang menghubungkan
peristiwa Yesus Kristus dengan teks-teks Perjanjian Lama adalah bentuk
inkulturasi iman Gereja Perdana. Apabila kita membaca teks-teks Perjanjian
Baru, kita akan menemukan banyak kutipan Perjanjian Lama. Di situ
menjadi tampak bahwa iman kristiani masuk, dihayati dan diungkapkan
dalam konteks budaya-religius Yahudi. Contoh yang amat sangat bagus
ialah inkulturasi iman kristiani yang menggunakan seluruhnya simboltradisi religius Yahudi namun dengan Roh-Jiwa iman Kristiani akan Tuhan
Yesus Kristus. Hal ini tampak misalnya pada gelar-gelar Yesus. Kebanyakan
gelar-gelar Yesus itu diambilkan dari istilah-istilah yang sudah ada dalam
Kitab Suci Perjanjian Lama atau pun tradisi Yahudi, namun kini gelar-gelar
tersebut dikenakan kepada Yesus menurut terang iman yang betul-betul
baru, yang berdasarkan pengalaman wafat dan kebangkitan Kristus. Kita
mengenal perayaan Paskah yang mengenangkan wafat dan kebangkitan
Kristus padahal istilah Paskah di situ sudah terdapat pada Perjanjian Lama
dan Tradisi Yahudi. Banyak berbagai simbol liturgi kristiani yang berakar
pada tradisi Yahudi. Dan masih banyak contoh lainnya. Inilah tahap
inkulturasi besar Gereja periode pertama.
Ketika Gereja Perdana berkembang dan memperoleh warga baru dari
lingkungan Yunani, terjadilah gesekan-gesekan yang tidak jarang
menimbulkan konflik dalam jemaat. Peristiwa timbulnya “sungut-sungut”
di antara orang Yahudi yang berbahasa Yunani dan Ibrani karena
pembagian untuk janda yang diabaikan merupakan contoh usaha
inkulturasi kemudian (Kis 6:1-7). Ketika Gereja berkembang ke daerah nonYahudi, khususnya orang-orang yang berbahasa Yunani dan Romawi-Latin,
Gereja memasuki periode inkulturasi besar yang kedua. Santo Paulus dkk
tentu termasuk salah satu tokohnya. Perselisihan terjadi dengan hebat.
Lihatlah Kis 15 saat dilangsungkan sidang di Yerusalem! Di situ muncul
konflik mengenai perlu tidaknya penerapan hukum Taurat Yahudi untuk
orang-orang non-Yahudi. Ini juga termasuk persoalan inkulturasi, yakni
saat iman kristiani yang tadinya dibawa dari lingkungan Yahudi ke
lingkungan orang-orang non-Yahudi, yaitu dari Yunani dan kemudian ke
Romawi dan Eropa secara keseluruhan. Para ahli umumnya memandang
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
133
masuk dan berakarnya Injil Yesus Kristus atau iman kristiani ke dalam
benua dan masyarakat Eropa sebagai inkulturasi tahap kedua10 . Dari
perspektif sejarah, inilah masa inkulturasi yang paling panjang, dari abad
I hingga abad XX. Iman kristiani yang dirumuskan dalam Perjanjian Baru
menurut pola pikir Yahudi harus diungkapkan dan dihayati menurut
budaya Yunani-Romawi. Dogma-dogma kristologis dan Trinitas pada
konsili-konsili ekumenis pada Gereja abad-abad pertama dan Patristik
merupakan usaha perumusan Injil Yesus Kristus yang diimani Gereja
sepanjang masa ke dalam budaya-bahasa Yunani-Romawi-Eropa. Di bidang
liturgi pun terjadi suatu inkulturasi yang hebat. Berbagai pakaian dan
upacara liturgi kristiani banyak diambilkan dari tradisi Yunani-RomawiEropa. Dengan gerakan misi dan evangelisasi besar-besaran pada akhir
abad pertengahan (abad XVI) dan awal zaman modern (abad XVII),
masuklah Injil dan iman kristiani ke bangsa-bangsa non-Eropa, yakni
Amerika (Latin), Asia, Afrika. Sebenarnya sudah ada usaha inkulturasi
tahap ketiga, namun hasilnya belum kesampaian. Itulah usaha pater-pater
Yesuit, Matteo Ricci di Cina dan Roberto DeNobili di India pada abad ke17. Mereka mencoba mempersiapkan lahirnya Gereja setempat di negaranegara non Eropa. Tetapi usaha tersebut berakhir atas perintah Paus
Benediktus XIV pada pertengahan abad XVIII. Praktis sejak itu inkulturasi
iman kristiani ke bangsa-bangsa non-Eropa tidak terjadi. Seluruh Tradisi
Gereja waktu itu adalah seluruh warisan, konsep, rumusan dari orangorang kristiani Eropa yang dijadikan norma dan ukuran bagi Gereja-Gereja
di luar Eropa. Itu pula yang dibawa oleh para misionaris Eropa di Indonesia, khususnya pada abad XIX dan XX awal.
Babak baru yang menandai secara resmi periode ketiga dari inkulturasi
Gereja ialah Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II mengajarkan dengan
penuh semangat dan jelas keabsahan (validitas) dan kemendesakan masalah
inkulturasi ini11 . Konsili Vatikan II memang tidak atau belum menggunakan
istilah inkulturasi itu sendiri. Akan tetapi konsili ini telah membuka dan
bahkan mendorong agar Injil Yesus Kristus diwartakan kepada segala
bangsa melalui bentuk dan pendekatan kebudayaan setempat. Para bapa
Konsili Vatikan II meyakini bahwa kebudayaan setiap bangsa tidak
bertentangan tetapi justru disembuhkan, diangkat dan disempurnakan
dengan misteri penjelmaan dan penebusan Kristus (AG 9). Untuk
mewartakan dan menghadirkan Injil keselamatan Kristus, “Gereja harus
memasuki golongan-golongan itu dengan gerak yang sama seperti Kristus
sendiri, ketika Ia dalam penjelmaan-Nya mengikatkan diri pada keadaan-
10 Karl Rahner, “Theologische Grundinterpretation des II. Vatikanischen Konzils”, dalam
Schriften zur Theologie XIV, Zürich:Benziger, 1980, 294.
11 Lihat: AG 9.10.11.21. 22; GS 44.58; LG 13.17.23; NA 2; SC 37.
134
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
keadaan sosial dan budaya tertentu, pada situasi orang-orang yang seharihari dijumpai-Nya” (AG 10). Para Bapa Konsili Vatikan II bahkan
mengharapkan agar Konferensi-konferensi Waligereja mengupayakan
perwujudan rencana penyesuaian warta Injil itu ke dalam kebudayaan
masing-masing (AG 22). Salah satu ajaran pokok dari Konsili Vatikan II
mengenai gagasan inkulturasi tampak dalam GS 58:
“Allah yang mewahyukan diri kepada umat-Nya hingga penampakan
diri-Nya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah
bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Begitu
pula Gereja yang sepanjang zaman hidup dalam pelbagai situasi, telah
memanfaatkan sumber-sumber aneka kebudayaan, untuk melalui
pewartaannya menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus
kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya, serta
untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi
dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam. Tetapi
sekaligus juga Gereja, yang diutus kepada semua bangsa dari segala
zaman dan di daerah mana pun, tidak terikat secara eksklusif tak
terceraikan kepada suku atau bangsa mana pun, kepada corak hidup
yang khas manapun, kepada adat-istiadat entah yang lama entah yang
baru. Seraya berpegang teguh pada tradisinya sendiri, pun sekaligus
menyadari perutusannya yang universal, Gereja mampu menjalin
persekutuan dengan pelbagi pola kebudayaan. Dengan demikian baik
Gereja sendiri maupun pelbagai kebudayaan diperkaya”.
Sekarang ini kita berada pada periode inkulturasi besar yang ketiga.
Cirikhasnya ialah Injil Yesus Kristus diimani oleh Gereja Dunia12 . Artinya,
orang-orang kristiani tidak hanya terdiri atas orang-orang Barat di Eropa,
tetapi juga bangsa-bangsa non-Eropa, khususnya Asia, Afrika, dan Amerika
Latin. Meski Gereja di benua-benua non-Eropa itu merupakan buah karya
para misionaris dari Eropa, namun Gereja-Gereja baru itu memiliki
kebudayaan yang sama sekali baru dan berbeda dari kebudayaan Eropa.
Walaupun begitu, masalah inkulturasi sama sekali bukanlah masalah
monopoli Gereja di Asia, Afrika dst. Inkulturasi adalah masalah seluruh
Gereja di manapun dan kapanpun, termasuk sekarang ini juga masalah
Gereja di Eropa. Apalagi kebudayaan modern sekarang ini sangat ditandai
pada suatu etape baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni adanya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa, dan arus
globalisasi dengan segala efeknya. Kemajuan iptek dengan globalisasinya
itu juga bagian dari kebudayaan manusia modern yang bagaimanapun juga
harus dihadapi dengan bijaksana dan tepat, agar pewartaan Injil tetap
relevan, aktual dan kena untuk orang zaman ini.
12 Karl Rahner, Op.cit., 288.
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
135
4.
Dasar teologis inkulturasi
Saya merumuskan dasar teologis inkulturasi pada misteri perutusan
trinitaris yakni perutusan Putra oleh Bapa dalam Roh Kudus dan sekaligus
misteri perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra. Kedua perutusan itu
sama sekali tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya
mengalir dari sumber yang sama yakni Allah Bapa 13 , dan keduanya
melayani rencana keselamatan Allah Bapa yang terlaksana melalui PuteraNya Yesus Kristus dalam Roh Kudus di dalam rentang sejarah (dunia dan
manusia).
Perutusan Putra terwujud dalam misteri inkarnasi yang berpuncak
pada misteri Paskah, yakni wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam
perutusan Putra itu, Bapa melaksanakan dan mewujudkan rencana
keselamatan-Nya dalam sejarah. Allah Putra menjalankan perutusan-Nya
dengan menjelma menjadi manusia. Allah-Manusia itulah Yesus Kristus.
Itulah misteri inkarnasi (dari kata Latin in + caro/carnis=daging). “Allah
mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada
hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada
hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (Gal 4:4-5). Dari kutipan
kata-kata santo Paulus itu, penjelmaan Sang Putra yang menjadi manusia
memiliki implikasi dan konsekwensinya menurut nasib hidup manusia
pada umumnya, yakni Yesus lahir dari perempuan, dan Dia pun harus
masuk ke dalam suatu budaya tertentu: menjadi orang Yahudi yang harus
taat pada hukum Taurat. Yesus adalah orang Yahudi, hidup sebagai orang
Yahudi, dididik dan bertumbuh dalam lingkungan dan tradisi Yahudi.
Yesus adalah manusia konkret, dengan budaya dan tantangannya yang
konkret dan tertentu pula, yakni lingkungan Yahudi. Dia mengikuti adat
kebiasaan religius Yahudi pula. Misalnya saja pada Luk 2:21, Yesus
disunatkan dan diberi nama pada hari kedelapan; Luk 2:41-52, Ia diajak
orangtuanya pergi ke Yerusalem pada usia 12 tahun; lalu saat berkarya
Yesus keluar-masuk sinagoga dst. Pada waktu karya publik-Nya, Yesus
ini mewartakan Kerajaan Allah. Melalui hidup dan karya-Nya misteri
Kerajaan Allah dihadirkan, yakni saat mana Allah memulai penyelamatanNya di dunia ini. Seluruh hidup dan karya Yesus itu berpuncak pada misteri
wafat dan kebangkitan-Nya, yakni misteri Paskah. Dengan misteri PaskahNya itu, seluruh rencana keselamatan Allah Bapa mengalami puncak
pelaksanaannya yang definitif. Seluruh kehidupan manusia dengan segala
kebudayaannya ditebus dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus.
Perutusan Roh Kudus terwujud dengan pencurahan Roh oleh Allah
melalui Kristus kepada umat manusia. Bapa dan Putera mengutus dan
13 Gerhard Ludwig Müller, Katholische Dogmatik. Für Studium und Praxis der Theologie, Freiburg
im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1995, 679.
136
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
menganugerahkan Roh Kudus ke dalam hati kita (bdk. Yoh 14:26; 16:7; Rm
5:5). Roh Kudus ini dikaruniakan oleh Allah kepada kita sebagai jaminan
keselamatan (bdk. 2 Kor 1:22; 5:5; Ef 1:14). Dengan kata lain, Roh Kudus
diutus oleh Bapa dan Putra untuk membagikan, “menerapkan”, dan
menjamin agar karya keselamatan Allah Bapa yang terlaksana melalui
Putra-Nya Yesus Kristus itu sampai kepada masing-masing orang di dunia
ini di segala zaman. Roh Kuduslah yang memungkinkan setiap orang di
mana pun dan kapan pun bisa mengalami dan memperoleh karya
keselamatan Allah melalui Yesus Kristus itu. Jadi, kalau perutusan Putra
itu bertujuan bagi pelaksanaan rencana keselamatan Allah Bapa, maka
perutusan Roh Kudus bertujuan untuk membagikan atau menjamin agar
karya keselamatan Allah yang telah terlaksana melalui Kristus itu sampai
kepada setiap orang di mana pun dan kapan pun. Dalam refleksi tulisan
Lukas, perutusan Roh Kudus itu terjadi pada hari Pentakosta (Kis 2). Menurut
Lukas, pada hari Pentakosta itu Gereja lahir.
Saya mendasarkan inkulturasi pada perutusan trinitaris yang terdiri
atas perutusan Putra dan perutusan Roh Kudus sebagai satu kesatuan
perutusan yang tak terpisahkan dalam rangka sejarah keselamatan Allah.
Namun dari rentang waktu atau tahap-tahapnya kita bisa memandang
dasar inkulturasi ke dalam tiga misteri yang sekali lagi tak boleh dipisahkan,
yakni misteri inkarnasi, misteri Paskah dan misteri Pentakosta.
Pertama: dalam misteri inkarnasi, Allah menerima, memakai, dan
mengangkat seluruh segi kehidupan manusia dengan segenap kebudayaannya sebagai medan pertemuan dan komunikasi dengan diri-Nya.
Misteri penjelmaan ialah peristiwa masuknya Allah (yakni Allah Putra) ke
dalam konteks hidup kita manusia dengan seluruh dimensinya, entah
religius, sosiologis, antropologis, budaya, ekonomi, politik, lingkungan
hidup dsb. Seluruh dimensi kemanusiaan dan kebudayaan ini dimasuki
oleh Allah. Bila Dia memasuki kebudayaan manusia, itu berarti kebudayaan manusia berharga dan bernilai. Dan bahkan dengan masuknya Allah
dalam sejarah kemanusiaan ini, kehidupan manusia dengan seluruh
dimensinya disucikan karena diangkat oleh Allah.
Kedua: dalam misteri Paskah, Yesus Kristus yang wafat dan bangkit
menebus, membersihkan, memurnikan, dan menyucikan seluruh
kehidupan manusia termasuk seluruh unsur kebudayaannya. Tidak semua
dimensi kemanusiaan dan kebudayaan itu bersih dan murni. Ada unsurunsur yang kurang murni, kurang pantas, kurang bersih, sehingga harus
dibersihkan, dimurnikan, singkatnya: ditebus. Kebiasaan persaingan,
berperang, dendam, membunuh dsb tentulah bagian kehidupan manusia
yang harus ditebus. Penebusan Kristus atas budaya persaingan, dendam,
permainan kuasa dan uang itu bukanlah dengan menggunakan buldozer,
senjata api atau kekuatan kekuasaan duniawi, melainkan dengan
pengosongan diri (kenosis), perendahan diri hingga peristiwa salib-Nya di
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
137
Golgota. Misteri wafat dan kebangkitan Kristus menebus kita dan seluruh
dosa kita. Kristus tidak hanya menebus diri kita saja, tetapi juga seluruh
kebudayaan yang kita bawa serta, yakni kebudayaan yang mempengaruhi
dan mengiringi kehidupan kita.
Ketiga: dalam misteri Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan kepada kita
agar kita dapat berjumpa dengan Bapa melalui Putra. Kita telah menerima
“Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: ‘ya
Abba, ya Bapa!’” (Rm 8:15). Karena kita diangkat menjadi anak, maka kita
menjadi ahli waris, “maksudnya orang-orang yang berhak menerima janjijanji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu
jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia” (Rm 8:17). Apabila kita membaca teks Kis 2:1-13, kita akan menyaksikan bahwa pada hari kelahiran
Gereja (menurut versi Lukas) terjadilah mukjizat Pentakosta. Pencurahan
Roh Kudus atas diri para rasul memungkinkan pewartaan Injil yang
dijalankan oleh Gereja (para rasul) sampai kepada segala bangsa. Ketika
Roh Kudus dikurniakan kepada para rasul, orang-orang dari berbagai
bangsa di bawah kolong langit yang berkumpul di Yerusalem menjadi
bingung, heran dan kagum “karena mereka masing-masing mendengar
rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri” (Kis 2:6). Di sini
sering ditunjuk karunia berbahasa Roh (bdk. 1 Kor 12:10). Namun menurut
hemat saya, halnya jauh lebih mendalam. Dalam mukjizat Pentakosta itu
diungkapkan betapa berkat karunia Roh Kudus pewartaan Injil dapat
diterima oleh segala bangsa yang ada “di bawah kolong langit”. Dalam
keseluruhan Kis 2, sesudah kotbah Petrus, orang-orang yang tadi tercengang-cengang dan termangu-mangu (Kis 2:12) terbuka hatinya terhadap
pewartaan Injil. Mereka menjadi terharu (Kis 2:37) dan menyediakan diri
dibaptis. “Orang-orang yang menerima pewartaannya itu memberi diri
dibaptis” (Kis 2:41). Keterbukaan hati dan kesediaan diri untuk dibaptis
menunjukkan bahwa segala bangsa dengan segala kebudayaannya
sebenarnya adalah orang-orang yang memiliki kerinduan hati akan berita
keselamatan Allah melalui Yesus Kristus itu. Dengan kata lain, segala
bangsa dengan segala kebudayaannya yang beranekaragam itu memiliki
kesesuaian dan compatible dengan Injil Yesus Kristus berkat karunia Roh
Kudus. Namun sekaligus harus dikatakan bahwa Roh Kudus kini
membagikan dan menghadirkan karya keselamatan Allah yang terlaksana
melalui Kristus itu kepada setiap orang sesuai dengan seluruh
kebudayaannya dan situasi hidupnya.
5.
Tahap-tahap inkulturasi
Ada banyak pendekatan dalam usaha inkulturasi. Kadang-kadang
orang juga berbicara mengenai tahap-tahap inkulturasi. Masalahnya,
138
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
apabila itu disebut tahap-tahap, orang-orang sering berbicara sekaligus
mengenai tahap yang berbeda-beda dalam bidang yang berbeda-beda.
Dari sekian macam pandangan mengenai tahap inkulturasi, kita bisa
menyebut 4 macam tahap, dengan mengambil contohnya pada bidang
liturgi14 .
Pertama ialah tahap imposition atau pengambil-alihan. Maksud tahap
imposition ialah bahwa orang mengambil alih atau menggunakan begitu
saja rumusan atau teks ajaran atau teks liturgi sesuai dengan rumusan
aslinya, tanpa penerjemahan sama sekali. Misalnya saja kita merayakan
misa dalam bahasa Latin atau Inggris. Tahap ini sebenarnya belum termasuk inkulturasi. Akan tetapi kita sudah menyebutnya di sini, karena
bagaimanapun juga si subyek yang menghayatinya sudah berasal dari
budaya lain. Kiranya mudah dibayangkan bahwa dalam misa yang berbahasa Inggris antara orang Jawa di Yogyakarta yang merayakan misa dan
orang-orang Inggris asli dari London tentu ada perbedaan penghayatan
dan suasana.
Kedua ialah tahap penerjemahan. Pendekatan ini sudah menjadi bagian
proses inkulturasi, dalam mana rumusan dan ajaran iman Gereja atau
tradisinya (termasuk liturgi dan katekese) diterjemahkan ke dalam bahasa
setempat. Penerjemahan sendiri pasti suatu usaha yang tidak mudah, sebab
ketika kita membahasakan suatu istilah asing ke dalam bahasa setempat,
kita harus mempertimbangkan segala seginya, seperti dari sudut linguistik,
antropologis, sosiologis, tentu saja teologis, biblis dsb. Orang harus
membedakan mana yang pokok dan mana yang iringan atau tidak pokok.
Model atau tahap penerjemahan ini amat umum terjadi sekarang ini. Kita
mempunyai terjemahan Kitab Suci, ajaran Gereja, katekismus, teks-teks
liturgi, nyanyian-nyanyian liturgi, jangan lupa pula: doa Bapa Kami, Salam
Maria dsb. Penerjemahan sendiri bukanlah model yang jelek. Ini perlu dan
mempunyai banyak keuntungan. Paling tidak kesetiaan kita akan tradisi
iman Gereja dijaga baik. Contoh penerjemahan yang luar biasa cocok
dengan citarasa kita ialah lagu Ndherek Dewi Maria, O Kawula menika, Gusti
ulun yang aslinya berbahasa Belanda.
Ketiga ialah tahap penyesuaian (adaptation). Penyesuaian sering
dipandang sebagai langkah yang lebih maju dan mendalam daripada
sekedar penerjemahan. Tahap penyesuaian ini sudah termasuk proses
inkulturasi yang baik. Pada tahap ini, unsur-unsur budaya sudah bisa
masuk “asal selaras dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli”
(SC 37). Konstitusi Liturgi berbicara mengenai aptatio dan accomodatio. Kata
aptatio biasa dihubungkan dengan wewenang Konferensi para uskup untuk
14 Keempat tahap ini mengikuti rangkuman Peter Schineller SJ, Inculturation of the liturgy,
dalam Peter Fink, The New Dictionary of Sacramental Worship, Dublin: Gill and Macmillan,
1990, 598-599.
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
139
membuat penyesuaian seturut apa yang tertera dalam norma liturgi dan
penyesuaian itu perlu mendapat pengakuan dari Tahta Suci. Sedangkan
istilah accomodatio menunjuk pada wewenang setiap pelayan perayaan
liturgi untuk mengadakan penyesuaian sesuai dengan petunjuk buku-buku
liturgi15 . Contoh penyesuaian dalam bidang liturgi ialah tarian pada prosesi
perarakan pembuka di bagian Ritus Pembuka, persiapan persembahan dan
perarakan penutup pada perayaan Ekaristi, sungkeman dalam liturgi
perkawinan dan tahbisan, nyanyian-nyanyian liturgi menurut corak musik
daerah, penggunaan pakaian adat dalam liturgi dsb.
Keempat ialah tahap inkulturasi. Inilah tahap paling mendalam. Dalam
praktek, tahap ini tidak mudah dicapai. Cirikhas dari tahap inkulturasi ini
ialah bahwa unsur budaya setempat tetap, tetapi roh atau maknanya telah
diterangi atau “dibaptis” oleh Injil Yesus Kristus. Contoh inkulturasi yang
mendalam dan betul ialah teologi dan liturgi Paskah. Istilah dan tradisi
Paskah berasal dari Perjanjian Lama. Orang Yahudi merayakan pesta
Paskah. Namun dengan peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, Paskah
Yahudi itu diberi isi baru. Berbagai simbolnya masih dalam lingkungan
Yahudi, tetapi isi dan maknanya sudah betul-betul baru. Bahkan Gereja
berhasil menghubungkan makna Paskah Yahudi dan makna Paskah
kristiani. Dalam inkulturasi yang baik, entah bagaimana budaya setempat
dapat memperoleh titik hubungnya dengan iman kristiani, dan inkulturasi
ini bahkan ikut mendorong orang untuk memuliakan Sang Pencipta dan
memperjelas rahmat Sang Penebus (AG 22). Entah bagaimana dalam
inkulturasi, seluruh budaya manusia mendapat kepenuhan dan kegenapannya dalam diri Yesus Kristus, karena “Ia sebagai manusia yang
sempurna menyelamatkan semua orang dan merangkum segalanya dalam Diri-Nya” (GS 45). Seraya mengakui inkulturasi sebagai proses yang
sulit (Redemptoris Missio no. 52), Paus Yohanes Paulus II memberikan
patokan proses inkulturasi dengan dua prinsip: “(1) kesesuaian dengan
Injil dan (2) persekutuan dengan Gereja semesta” (Redemptoris Missio no.
54). Di samping itu diakui oleh Sri Paus bahwa proses inkulturasi perlu
dilakukan pelan-pelan dan perlu melibatkan seluruh umat Allah dan
bukan hanya segelintir orang ahli saja karena umat beriman secara
keseluruhan memiliki ‘sensus fidei’ yang tak boleh diabaikan (Redemptoris
Missio no. 54).
6.
Tantangan inkulturasi Gereja pada beberapa bidang
Bidang inkulturasi yang paling sering dibicarakan adalah inkulturasi
liturgi. Akan tetapi harus dikatakan dengan tegas di sini bahwa masalah
inkulturasi tidak hanya menyangkut bidang liturgi saja, melainkan semua
15 A.J., Chupungco, Cultural Adaptation of the Liturgy, New York: Paulis Press, 1982, 49.
140
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
bidang kehidupan Gereja. Dalam Anjuran Apostolik pasca Sinode para
Uskup Asia, Ecclesia in Asia16 , disebut bidang-bidang kunci inkulturasi yang
perlu diperhatikan dan dilakukan di Asia, yakni “refleksi teologis, liturgi,
pendidikan para imam dan religius, katekese dan spiritualitas” (no. 21).
Kita singgung bidang-bidang itu, sambil menyebut tantangan dan
kemungkinannya ke depan17 .
Bidang inkulturasi teologi. Pada tahun 1970, para Uskup Asia telah
membuat suatu komitmen historis, yakni ingin mengembangkan suatu
teologi pribumi yang merefleksikan dan mengerjakan bagaimana hidup
dan warta Injil dapat berinkarnasi dalam budaya di Asia. Konteks khusus
yang ada di Asia ialah dialog dengan tiga hal: budaya, agama-agama, dan
orang-orang miskin. Dialog dalam tiga hal ini (tripple dialogue) menjadi
perutusan khas dari Gereja Katolik di Asia dan secara resmi dinyatakan
pada sidang pleno FABC (The Federation of Asian Bishops’ Conferences)
yang pertama di Taiwan pada tahun 197418 . Teologi Asia mestinya suatu
teologi dialog. Salah satu fokus dan yang menjadi prioritas ialah inkulturasi
kristologi. Kristologi di Asia perlu mencari jalan dan kemungkinan bagaimana mengungkapkan dan menghayati Yesus Kristus, Sang Penyelamat,
dalam budaya dan konteks Asia itu. Di Indonesia, tantangan kita ialah
bagaimana menjelaskan diri dan peran Tuhan Yesus Kristus yang diimani
Gereja semesta dalam dialognya dengan orang-orang beragama Islam dan
keyakinan agama-agama asli yang masih ada. Di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma dan Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti,
Kentungan, dikembangkan teologi proyek19 . Teologi proyek ini sebenarnya
juga merupakan usaha kontekstualisasi teologi kristiani. Inilah salah satu
contoh usaha inkulturasi teologi di antara kita.
Bidang pembaharuan biblis. Bidang ini bisa dimasukkan dalam konteks
inkulturasi teologi. Ada dua aspek dalam proses inkulturasi pesan biblis:
yakni aktualisasi dan inkulturasi 20 . Dalam proses aktualisasi, orang
membaca kembali teks Kitab Suci dan menerapkan teks tersebut ke dalam
16 Ecclesia in Asia merupakan dokumen resmi dari Paus Yohanes Paulus II sebagai tanggapan
beliau atas hasil sidang sinode para uskup Asia di Roma pada tahun 1998.
17 Bdk. Jacob Theckanath, “Evangelisastion and The Asian Face of Jesus”, dalam S. Dias (ed.),
Evangelisation and Inculturation, Bombay: The Pauline Sisters Bombay Society, 2001, 166-197.
18 Thomas C. Fox, Pentecost in Asia. A New Way of Being Church, Maryknoll-New York: Orbis
Books, 2002, 37.
19 Teologi proyek menunjuk suatu proses berteologi yang berpangkal tolak dari praksis iman
yang kemudian dianalisa menurut interdisipliner. Hasil analisa tersebut dipertemukan
dengan Ajaran dan Tradisi Gereja, khususnya yang terdapat dalam Kitab Suci dan
Magisterium, kemudian diperkaya dengan berbagai komentar teologis dari berbagai ahli,
hingga akhirnya mahasiswa ditantang untuk menemukan atau merumuskan sendiri sintesa
teologisnya. Sintesa teologis itu hendaknya merupakan jawaban yang kontekstual dari iman
kristiani terhadap permasalahan aktual umat beriman.
20 J. Theckanath, Op.cit., 178.
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
141
terang kehidupan konkret umat beriman setempat. Dari situ diharapkan
ditemukannya pesan yang sesuai untuk zaman kita. Ini dibuat misalnya
dalam kelompok-kelompok pendalaman Kitab Suci. Sedangkan dengan
proses inkulturasi, diupayakan suatu penerjemahan Kitab Suci sesuai
dengan bahasa setempat, seperti bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa
daerah. Penerjemahan Kitab Suci itu merupakan karya dan usaha yang
amat berat, sulit, dan panjang. Di situ dibutuhkan orang-orang ahli yang
pakar Kitab Suci betul tetapi juga ahli bahasa dan seni, dan memiliki daya
tahan banting dan ketelitian yang luarbiasa. Ada juga gerakan untuk
menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan konteks budaya Asia. Akan tetapi
usaha ini baru pada awal dan masih harus terus berkembang.
Bidang eklesiologis. Inkulturasi di bidang refleksi teologis mengenai
Gereja tentulah sangat penting. Gereja Katolik di Indonesia perlu merefleksikan dan mengembangkan inkulturasi eklesiologi. Gereja di Indonesia berada dalam keanekaragaman budaya daerah, tempat atau pulau,
dan kualitas serta kuantitas yang berbeda-beda. Jumlah imam yang begitu
banyak di beberapa keuskupan, seperti di Keuskupan Agung Semarang
dan Keuskupan Agung Jakarta serta beberapa Keuskupan lain di Jawa dan
sarana komunikasi yang relatif mudah tentu amat kontras dibandingkan
dengan jumlah imam yang sedikit dan sarana komunikasi yang sangat sulit
di daerah Papua. Rama Mangun juga pernah mengetengahkan gagasan
mengenai Gereja Diaspora yang sempat ditanggapi secara ramai dan
meriah. Persoalan peran awam dalam Gereja juga menjadi pertanyaanpertanyaan eklesiologis yang perlu diperhatikan dalam usaha inkulturasi.
Bidang Spiritualitas. Para Uskup Asia menekankan kembali pentingnya
pendekatan kontemplatif dari spiritualitas dan doa. Para pemikir Asia
berpendapat bahwa Injil Yohanes dalam arti tertentu lebih dekat dengan
spiritualitas Asia21 . Kekayaan simbolisme dan dimensi mistik dan batin
sesuai dengan Injil Yohanes. Kiranya kekayaan spiritualitas dari budaya di
Asia dan di Indonesia khususnya perlu lebih banyak digali karena memiliki
nilai-nilai yang amat luhur dan bersesuaian dengan Injil. Misalnya saja:
kita bisa mengembangkan spiritualitas kerendahan hati di antara orang
kristiani Jawa melalui model penulisan huruf Jawa. Maksudnya, dalam
penulisan huruf Jawa, jika suatu huruf didudukkan atau diletakkan pada
sebuah tanda huruf (bahasa Jawanya: dipangku), huruf tersebut mati atau
menjadi huruf mati. Dengan lain kata, dalam tradisi Jawa diyakini bahwa
orang yang ingin diangkat, ditinggikan atau dipuja-puja, katakanlah orang
yang sombong, orang itu justru akan jatuh atau “mati”. Tulisan Rama St.
Darmawijaya Pr yang berjudul Pengabdian. Panakawan atau Hamba Yahwe22
juga merupakan contoh usaha inkulturasi yang mau mendalami iman
21 Ibid., 176-177.
22 Yogyakarta: Kanisius, 1988.
142
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
kristiani sebagaimana terdapat dalam Kitab Suci ke dalam simbolisme
orang Jawa23 .
Bidang pendidikan imam dan religius. Model pendidikan calon imam
umumnya mengikuti model dan tradisi Barat, yakni Seminari. Bangunanbangunan Seminari juga biasanya besar, megah, dan bangunan itu
umumnya terdiri atas unit-unit besar. Apakah mungkin kita mendidik
calon imam dengan menekankan kelompok-kelompok paguyuban yang
lebih kecil? Lalu apakah formasi para calon imam dan religius dengan
model “nyantrik” juga dapat lebih dikembangkan? Pendidikan religius
tentu saja harus mengikuti konstitusi masing-masing tarekat-kongregasi.
Apakah kita bisa menemukan model inkulturasi hidup membiara dan
pendidikannya 24 yang lebih Indonesia, lebih dekat orang miskin,
menekankan paguyuban dan kerjasama dsb? Kiranya hal ini sudah banyak
diperjuangkan dan lumayan berhasil.
Bidang katekese. Bidang katekese juga menghadapi masalah inkulturasi
pula. Saat Gereja Katolik menerbitkan Katekismus Gereja Katolik pada
tahun……, para uskup dari Konferensi Waligereja Indonesia ingin
membantu umat untuk memiliki buku panduan ajaran iman Gereja Katolik
yang selaras dengan ajaran Gereja universal tetapi sekaligus sesuai dengan
konteks Indonesia. Dari sana lahirlah atau terbitlah buku Iman Katolik. Buku
Informasi dan Referensi dari Konferensi Waligereja Indonesia tahun 199625 .
Dalam buku itu, dijabarkan iman Gereja semesta sekaligus dalam konteks
khas Indonesia.
Bidang liturgi. Inkulturasi liturgi sudah kita bicarakan di atas dalam
porsi yang besar. Pada umumnya inkulturasi liturgi di Indonesia belum
sangat mendalam. Pada umumnya kita baru sampai pada tahap penyesuaian. Pada tahun 1994 Kongregasi Suci untuk Ibadat dan Tatatertib
Sakramen mengeluarkan Instruksi IV tentang Pelaksanaan Konstitusi
Liturgi Vatikan II no 37-40 secara benar, yakni mengenai Liturgi Romawi
dan Inkulturasi26 . Sebelum mengadakan usaha inkulturasi liturgi, orang
perlu membaca instruksi ini, lalu mencari celah-celah kemungkinan pengembangan inkulturasinya. Tata Perayaan Ekaristi Indonesia yang baru
(TPE 2005) di satu pihak telah memuat berbagai penyesuaian khas Indone23 St. Darmawijaya merenungkan tokoh Panakawan dalam budaya Jawa sebagaimana terdapat
dalam wayang Jawa. Budaya wayang itu terlebih dahulu direnungkan dalam terang iman
kristiani dan kemudian pesan budaya Jawa itu diolah sebagai nilai Kristen. Secara khusus
direnungkan di sini bagaimana tokoh Panakawan dan Hamba Yahwe memiliki kesamaan
sekaligus perbedaannya., Yogyakarta: Kanisius, 1988.
24 Lihat: Cl. Groenen, “Inkulturasi dalam Hidup ‘Membiara’”, Rohani, vol. XXVII, no. 12, 1980,
368-374.382.
25 Yogyakarta: Kanisius dan Obor, 1996.
26 Instruksi ini berjudul: De Liturgia Romana et Inculturatione, edisi terjemahan diterbitkan:
Dokpen KWI, Seri Dokumen Gerejawi no.40, 1995.
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
143
sia, namun di lain pihak merupakan suatu teks TPE yang cukup setia dengan
teks Latin dari Ordo Missae yang terdapat dalam Missale Romanum 1970,
1975 dan 2002.
7.
Penutup
Tema “Indonesianisasi” atau “Inkulturasi Gereja Indonesia” merupakan
tema yang besar, sulit dan mencakup macam-macam bidang kehidupan
Gereja dan disiplin ilmu. Suatu usaha inkulturasi Gereja Indonesia yang
sungguh-sungguh butuh proses waktu yang lama. Belajar dari ratusan
tahun perjalanan inkulturasi Gereja sendiri, kita, umat beriman di Indonesia, bisa meyakini bahwa inkulturasi memerlukan proses waktu yang lama,
tidak mudah dan perlu discernment bersama. Itulah sebabnya inkulturasi
perlu melibatkan begitu banyak ahli dari berbagai bidang dan sekaligus
harus juga menyertakan seluruh umat beriman. Meskipun umat beriman
pada umumnya bukanlah orang-orang ahli, mereka itu memiliki sensus
fidelium dari iman Gereja. Para Bapa Konsili Vatikan II sendiri berkata:
“Keseluruhan umat beriman, yang telah diurapi oleh Yang Kudus (lih
1 Yoh 2:20 dan 27), tidak dapat sesat dalam beriman; dan sifat mereka
yang istimewa itu mereka tampilkan melalui perasaan iman adikodrati
segenap umat, bila ‘dari para uskup hingga para awam beriman yang
terkecil’ mereka secara keseluruhan menyatakan kesepakatan mereka
tentang perkara-perkara iman dan kesusilaan” (LG 12).
Meskipun inkulturasi itu merupakan proyek besar yang tidak mudah
dan membutuhkan waktu yang lama, inkulturasi jelas merupakan
tantangan yang pasti dan mendesak bagi Gereja Katolik di manapun. Oleh
karenanya kita harus mulai melangkah dengan tindakan konkret untuk
mengembangkan inkulturasi ini, yang barangkali saja kecil dan sederhana
tetapi memberikan sumbangan yang berarti. Kegiatan-kegiatan kita di
komunitas basis, seperti: pendalaman iman umat di lingkungan,
pendalaman Kitab Suci, pendalaman kaktekese Liturgi, penyusunan lagulagu liturgi berbahasa daerah oleh para komponis lokal, dst merupakan
contoh-contoh konkret dari langkah kecil tetapi berarti itu. Saya yakin
apabila semua langkah konkret tersebut dilaksanakan menurut semangat
Injil Yesus Kristus dalam ikatan Roh Kudus dan dalam semangat kesatuan
dengan Gereja universal, kita berada pada langkah yang tepat dan benar.
Semoga kegiatan-kegiatan konkret itu dapat merupakan benih-benih yang
ditaburkan dan kemudian bisa bertumbuh, lalu pada saatnya menghasilkan
buah-buah yang berlimpah. Semoga saja!
*)
144
E. Martasudjita Pr:
Doktor Teologi lulusan Universitas Innsbruck, Austria; mengajar teologi dogmatik dan
liturgi di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 2, Oktober 2005
BIBLIOGRAFI
Boelaars, H.JW.M, Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi
Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Calves, J.Y., “Hakikat Inkulturasi”, Rohani, vol XXXII, no. 8, 1986, 260-267.
Chupungco, A.J., Cultural Adaptation of the Liturgy, New York: Paulis Press,
1982.
Collet, G., Inkulturation, dalam P. Eicher (ed.), Neues Handbuch theologischer
Grundbegriffe, München: Kösel, 1991, 394-407.
D’Souza, Bishop Patrick, “Keynote Address”, dalam S. Dias (ed.),
Evangelisation and Inculturation, Bombay: The Pauline Sisters Bombay
Society, 2001, 30-47.
Fox, Thomas C., Pentecost in Asia. A New Way of Being Church, MaryknollNew York: Orbis Books, 2002.
Gomis, Bishop Oswald, “Evangelisation and Inculturation”, dalam S. Dias
(ed.), Evangelisation and Inculturation, Bombay: The Pauline Sisters
Bombay Society, 2001, 48-62.
Groenen, Cl., “Inkulturasi dalam Hidup ‘Membiara’”, Rohani, vol. XXVII,
no. 12, 1980, 368-374.382.
Hardawiryana, R. SJ, Umat Kristiani Mempribumi Menghayati Iman Kristiani
di Nusantara, seri Cara Baru Menggereja di Indonesia, Yogyakarta:
Kanisius, 2000
Hillman, E., “Inculturation”, dalam Komonchak (ed.), The New Dictionary
of Theology, Dublin: Gill and Macmillan, 1990, 510-513.
Irrarazaval, D., “Incarnation, Paschal Mystery, Pentecost: Source of
Inculturation”, Jahrbuch für kontextuelle Theologien, Aachen: Institut
Missio e.V., 1994, 166-190.
Kasper, W., “Kirche und Kultur. Evangelisierung und Inkulturation”, dalam
Bernhard Fraling dkk (ed.), Kirche und Theologie im kulturellen Dialog,
Freiburg im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1994, 157-162.
Martasudjita, E., Pengantar Liturgi. Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi,
Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Pieris, Al., “Inculturation in Asia. A theological reflection on an experience”, Jahrbuch für kontextuelle Theologien, Aachen: Institut Missio e.V..
1994, 59-72.
Theckanath, Jacob, “Evangelisation and the Asian Face of Jesus”, dalam S.
Dias (ed.), Evangelisation and Inculturation, Bombay: The Pauline Sisters Bombay Society, 2001, 166- 197.
E. Martasudjita, Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia
145
Download
Study collections