Cuora amboinensis

advertisement
PEMBAHASAN
Daerah Penyebaran Cuora amboinensis
Cuora amboinensis merupakan kura-kura air tawar yang menyukai
lingkungan akuatik seperti kolam sungai, rawa dan persawahan (Iskandar, 2000).
Cuora amboinensis yang di koleksi berasal dari perairan di Sulawesi Selatan.
Cuora amboinensis ini umumnya di jumpai di anakan sungai yang berarus tenang,
berbatu, berpasir dan berlumpur.
Morfologi C. amboinensis dapat mudah dibedakan dari jenis kura-kura
yang lainnya karena kura-kura ini memiliki perisai yang dapat di tutup
sepenuhnya sehingga sering kali dinamakan sebagai kura-kura batok. Cuora
amboinensis memiliki perisai punggung yang tinggi dengan perisai perut yang
datar atau agak melengkung. Pada bagian kepala di jumpai adanya garis kuning
yang melingkar. Tungkai memiliki jari berselaput dan pada jari dijumpai adanya
kuku.
Cuora memakan apa yang tersedia di lingkungan mereka dan kebiasaan
makanan itu berpengaruh pada jenis parasit yang menginfestasinya (Murray,
2004). Jenis makanan yang dimakan akan mempengaruhi nutrien yang dibutuhkan
oleh endoparasit di dalam sistem pencernaan inang.
Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis
Dari
hasil
identifikasi,
organisme
yang
ditemukan
pada
feses
C. amboinensis tergolong ke dalam anggota filum Platyhelminthes. Cacing
endoparasit ini ditemukan sebanyak tujuh ekor.
Penggolongan cacing hanya ke dalam tingkat filum disebabkan oleh
karena morfologi cacing tersebut yang sangat khas. Kekhasan ini disebabkan oleh
karena keadaan endemik suatu parasit sangat tergantung pada ketersediaan inang
yang cocok untuk parasit tersebut (Brown 1979). Hal ini juga menjadi salah satu
faktor tidak teridentifikasikan cacing parasit yang berasal dari C. amboinensis asal
Watampone, Bulukumba dan Luwu Timur.
Pemberian “tipe” pada kedua jenis cacing ini disebabkan oleh karena
sampel tidak bisa diidentifikasikan hingga ke tingkat spesies. Berdasarkan pada
kunci identifikasi endoparasit, cacing ini dikelompokkan ke dalam filum
Platyhelminthes, karena parasit ini mempunyai bentuk seperti cacing pipih
dorsoventral. Parasit ini memiliki pengait untuk melekatkan diri pada tubuh inang.
Cacing ini memiliki bentuk tubuh pipih, simetri bilateral dan belum memiliki
rongga tubuh. Cacing ini bersifat hermaprodit. Cacing ini memiliki sistem
pencernaan sederhana dan sistem respirasi. Sistem pencernaan terdiri atas mulut,
faring, usus dan tanpa anus dan sistem respirasi melalui difusi dari permukaan
tubuhnya. Cacing ini ada yang hidup bebas, dan ada pula yang parasit. Cacing
parasit memiliki adanya alat pelekatan diri pada inang berupa batil isap, mulut
dan pengait (Crompton & Joyner 1980).
Cacing tipe 1 tergolong ke dalam filum Platyhelminthes berdasarkan kunci
identifikasi endoparasit karena morfologi cacing ini yang pipih dorsoventral,
bentuk yang oval dan tubuh yang berwarna coklat. Tubuhnya ditutupi oleh
tegumen. Bagian ventral terdapat batil isap sebagai alat pelekat di tubuh inang.
Ukuran tubuh cacing tipe 1 dapat dikategorikan ke dalam tingkatan larva.
Telur cacing akan keluar dari tubuh cacing dewada melalui feses. Telur akan
berkembang menjadi larva cacing dan larva ini tidak bersifat parasitik karena
dapat hidup bebas selama 1 x 24 jam sebelum mendapatkan inang perantara atau
inang definitif. Siklus hidup cacing diawali dengan menghasilkan telur yang
dikeluarkan bersamaan dengan feses. Telur ini kemudian menetas menjadi larva
miracidium dan masuk ke inang perantara pertama. Di dalam tubuh inang
perantara pertama, larva mirasidium akan bermetamorfosis
menjadi sporosit,
sporosit ini mengandung banyak kantung embrio, yang akan tumbuh menjadi
Redia. Redia akan tumbuh dan mengandung embrio yang akan berkembang
menjadi serkaria yang akan pindah ke inang perantara kedua. Pada inang ini
metaserkaria akan membentuk kista dan berkembang menjadi cacing dewasa
(Campbell, 2005).
Cacing tipe 2 memiliki panjang tubuh 5 cm dengan lebar antara 18–20 mm
artinya cacing ini tergolong ke dalam filum Platyhelminthes kelas trematoda
karena rentangan ukuran panjang tubuh cacing ini berkisar antara 1cm - 6cm.
(http://www.bumblebee.org/invertebrates/PLATYHELMINTHES.htm)
Cuora amboinensis ini terinfestasi oleh cacing parasit dari anggota filum
Platyhelminthes tipe 1 dan tipe 2. Pada C. amboinensis dari Watampone hanya
terinfestasi oleh cacing tipe 2 yang berjumlah satu ekor dan C. amboinesis dari
Bulukumba terinfestasi oleh cacing parasit tipe 1 sebanyak dua ekor. Hal ini
menunjukkan bahwa spesifitas pada C. amboinensis Watampone dan Bulukumba
adalah spesifik dimana satu inang hanya terinfestasi oleh satu jenis cacing parasit
tertentu. C. amboinensis dari Luwu Timur terinfestasi oleh cacing parasit tipe 1
Prevalensi dan Intensitas
Cuora amboinensis yang terkumpul sebanyak 40 ekor dan hanya ada
4 ekor yang terinfestasi oleh cacing parasit yaitu C. amboinensis yang berasal dari
Watampone, Luwu Timur dan Bulukumba. Prevalensi setiap jenis cacing
endoparasit yang menginfestasi C. amboinensis sebesar 0.88% dan intensitas
infestasi sebesar 1.75 parasit/individu inang.
Nilai prevalensi intensitas pada C. amboinensis sangat rendah dimana dari
40 ekor C. amboinensis hanya ada empat ekor C. amboinensis yang terinfestasi
cacing parasit sebanyak tujuh ekor.
Inang dari cacing parasit ini merupakan C. amboinensis yang ditangkap
langsung di daerah Sulawesi Selatan. Pulau Sulawesi atau Celebes merupakan
pulau dengan tingkat endemisitas tinggi bagi flora dan faunanya. Hal ini karena
pembentukan Sulawesi sangat unik dimana terbentuk dari benturan tiga lempeng
tektonik lempeng Asia yang membentuk Sulawesi bagian barat dan selatan,
lempeng Australia yang membentuk Sulawesi bagian tenggara dan Banggai serta
lempeng pasifik yang membentuk Sulawesi bagian Utara. Di awal pembentukan
pulau ini juga terjadi pergerakan satwa dan oleh Wallacea mengungkapkan
penemuan bahwa satwa-satwa yang mendiami pulau Sulawesi merupakan
perpaduan antara satwa Asia dan Australia dan sangat berbeda sehingga
dikategorikan sebagai satwa yang endemik.
Rahayu (2003) melaporkan bahwa cacing ektoparasit yang ditemukan
pada C. amboinensis yang berasal dari Sulawesi tidak berhasil diidentifikasi
menggunakan buku kunci identifikasi Yamaguci karena morfologi cacing tersebut
yang sangat khas. Kekhasan ini disebabkan oleh karena karena keadaan endemik
suatu parasit sangat tergantung pada ketersediaan inang yang cocok untuk parasit
tersebut (Brown 1979). Hal ini juga menjadi salah satu faktor tidak
teridentifikasikan cacing parasit yang berasal dari C. amboinensis asal
Watampone, Bulukumba dan Luwu Timur.
Nilai intensitas sangat rendah karena dari 40 ekor C. amboinensis yang
ditangkap hanya 4 ekor yang terinfestasi oleh cacing parasit. Rendahnya nilai
prevalensi intensitas ini disebabkan oleh keadaan endemik suatu parasit,
kemampuan adaptasi parasit di tubuh inang dan kecocokan inang untuk
kelangsungan hidup parasit dan kualitas lingkungan (Rahayu, 2003).
Cuora amboinensis yang ditemukan di perairan Watampone, Luwu Timur
dan Bulukumba tidak bermuara langsung ke laut lepas sehingga kualitas perairan
masih bersih dan belum tercemar serta didukung oleh lingkungan yang memadai.
Kualitas lingkungan memegang pengaruh di dalam keberadaan parasit selain
kemampuan.
Preez & Lim (2000) melaporkan bahwa C. amboinensis yang berasal dari
Malaysia terinfestasi oleh cacing parasit Neopolystoma liewi sp. n. (Monogenea:
Polystomatidae) di bagian mata dengan tingkat pervalensi mencapai 67% dan
intensity 2.5). Murray (2000) mengemukan laporannya mengenai keberadaan
cacing parasit pada C. amboinensis yang dikoleksi dari Hongkong dimana pada
bagian usus ditemukan Stunkardia dilymphosa dan Telorchis clemmydis dari kelas
trematoda serta dibagian kantung kemih ditemukan Polystomoides malayi dari
kelas monogenea.
Download