VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 6.1. Keragaan Ekonomi Strata

advertisement
114
VI.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
6.1. Keragaan Ekonomi Strata Agroforestri Desa Sumberejo Tanpa
Internalisasi
Terdapat beberapa temuan penting pada analisa keragaan ekonomi
agroforestri sebagai berikut :
1.
Pendapatan bersih
usaha agroforestri strata 1 tanpa internalisasi
menunjukkan, bahwa tanpa pendapatan off farm, dan pada jeda waktu
menunggu hasil dari tanaman tahunan, tidak cukup untuk menutup
pengeluaran rumah tangga. Pendapatan bersih rumah tangga agroforestri
strata 1 berda di bawah garis kemiskinan dengan ketiadaan modal untuk
investasi, sehingga secara keekonomian sulit mengharapkan petani untuk
melakukan konservasi untuk kesinambungan agroforestri..
2.
Pendapatan bersih agroforestri dengan luas≥
1 ha
(strata 2 dan 3)
kontribusi pendapatan didominasi pendapatan on farm, ketergantungan pada
pendapatan off farm makin kecil. Besarnya kontribusi pendapatan on farm,
bahkan
mampu
menutup
total
pengeluaran
rumah
tangga
tanpa
mengandalkan penerimaan off farm.
3.
Keragaan ekonomi strata 2 (rata-rata 1,60 ha) dan strata 3 (rata-rata 2,59
ha) pada tahun 2010, menunjukkan jauh di atas garis kemiskinan, namun
tanpa pendapatan off farm, kelebihan pendapatan strata 2 dan 3 setelah
digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga akan hanya
berlebih sekitar Rp. 6 juta per tahun pada rata-rata luas 1,60 ha, dan Rp.22
juta per tahun pada rata-rata luas 2,59 ha. Hal ini mengindikasikan, bahwa
walaupun kondisinya layak usaha, namun terjadi ketidak cukupan modal
investasi, karena untuk mengembangkan usaha agroforestri dibutuhkan Rp 2
115
juta untuk biaya persiapan dan Rp 8 juta per ha untuk operasional
penanaman, pemeliharaan hanya untuk tanaman tahunan.
Sedangkan
petani juga membutuhkan modal budidaya palawija selama 3 tahun,
sebelum tajuk tanaman tahunan menutup.
6.2
Nilai Ekonomi Jasa Air dan Jasa Karbon Agroforestri Serta Harga
Bayangan
6.2.1 Valuasi Ekonomi Jasa Air Agroforestri
a.
Identifikasi supply air dan pengguna serta proporsi per penggunaan
Identifikasi dan pengukuran debit pada 13 sumber air agroforestri,
menghasilkan total supply agroforestri desa Sumberejo adalah 3.309.552 m 3
pertahun.
Sedangkan identifikasi pengguna terbagi kedalam klasifikasi untuk
penggunaan yang sudah komersil (k) dan belum komersil (nk) atau nilai potensial
(potential value). Sedangkan prosentase porsi pemanfaatan dari total supply
ditetapkan dalam nomenklatur a%.
Penggunaan per tahun yang sudah komersil terdiri dari:
1) PAM Desa TirtoKencono sebesar 23.725 m 3 (a:0,70%);
2) PDAM Tirtasari, Baturetno sebesar 1.261.440 m 3 (a: 38,12%).
Penggunaan pertahun yang belum komersil terdiri dari:
1) Masyarakat dalam Desa non komersil (nk) sebesar 1.259.712 m 3 (a:38,06 %);
2) Pengairan sawah di dalam Desa seluas 22 ha (2 x panen @ 4 ton/ tahun:
140.800 m 3 (a:4,25%)
3) Pengairan sawah di luar Desa, di Desa Saradan dan Temon seluas 209 ha
(2 x panen @ 6 ton/ tahun:sebesar 624.325 m 3 per tahun (a: 18,86%).
b.
1)
Valuasi nilai ekonomi jasa air penggunaan sudah komersil
PAM Desa Tirto Kencono
Pemanfaatan jasa air agroforestri dengan memanfaatkan telah tersedianya
116
jaringan pipa distribusi yang dibangun melalui proyek PAMSIRA Kimpraswil yang
selanjutnya menjadi investasi Badan Pengelola Prasarana Desa Sumberejo, dan
distribusi komersil dilakukan melalui pembentukan Perusahaan Air Minum Tirto
Kencono untuk distribusi air minum dengan tarif Rp.2500 per m 3.
Dari wawancara dan pengumpulan data di kantor PAM tersebut didapatkan
volume distribusi air per tahun dengan rata-rata pemakaian 10 m 3 per keluarga
per bulan,
juga keterangan menurut kalkulasi pihak PAM tarif tersebut
seharusnya direvisi menjadi Rp.3100 per m 3, sesuai dengan kenyataan biaya
operasional.
Nilai penggunaan jasa air komersil PAM Desa Tirto Kencono menggunakan
metode biaya penuh dan prinsip umum biaya air, (Rogers, et al, 2000), dengan
hasil yang dapat dilihat pada tabel 14. Kemudian menurut prosedur metoda yang
digunakan matriks dikonversi ke dalam bentuk: Biaya penuh BJD air PAM Tirta
Kencono (Rp.) yang dapat dilihat pada gambar 16.
Dari hasil perhitungan dan pendekatan-pendekatan yang digunakan
diperoleh biaya air secara penuh, sebesar Rp1.763.741.008/tahun. Nilai tersebut
menggambarkan Nilai Guna Lestari dari 23.725 m 3 (a: 0,70%) air agroforestri
yang
telah
menginternalisasikan
eksternalitas
di
dalamnya
sehingga
mencerminkan nilai manfaat yang lestari dari hulu sampai hilir. Selanjutnya biaya
penuh ini dapat dijadikan dasar perhitungan tarif Biaya Sumberdaya air PAM
Tirto Kencono sehingga dapat diperoleh besar tarif normal yang ideal pada
kondisi produksi saat ini, yaitu: Rp.74.341 per m3. Nilai lingkungan (tarif normaltarif berlaku/Rp.2500) adalah Rp. 71.841 /m3.
2)
PDAM Tirta Sari Baturetno
Pada saat
penelitian diketahui sedang terjadi proses re-negosiasi nilai
provisi antara pihak desa dan PDAM Tirta Sari Baturetno, namun posisi tawar
117
Desa lebih lemah, karena adanya asimetri informasi perihal volume penggunaan
air dan besar dugaan nilai ekonomi air sesungguhnya. Sementara pihak PDAM
tidak transparan mengenai proporsi komponen air agroforestri dalam proses
produksi, PDAM malah mengeluhkan pihaknya saat itu sedang mengalami
kerugian.
Posisi yang kurang menguntungkan tersebut, membuat pihak Desa
merubah pola negosiasi menjadi ancaman akan memutus supply air. Terkait
salah satu tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nilai ekonomi air
agroforestri, kejadian tersebut mengindikasikan, bahwa telah ada kejelasan
property right dan pihak pemanfaat air agroforestri.
Konflik terkait besaran nilai provisi menjelaskan secara ekonomi, bahwa
nilai imbal jasa wajib dipersepsikan oleh pemanfaat sebagai biaya pelayanan
pada petani dan sebagai insentif pemenuhan kewajiban memelihara atau
meningkatakan pelayanan berupa keberadaan agroforestri dan tersedianya air
secara berkesinambungan.
Selanjutnya metode biaya penuh air diaplikasikan untuk penghitungan nilai
guna lestari air agroforestri komersil distribusi air oleh PDAM Tirtasari. Hasil
perhitungan volume air yang digunakan untuk supply ke PDAM Tirtasari per
tahun adalah 1.261.440 m 3 dengan porsi penggunaan (a): 38,12%. Sedangkan
perhitungan didapatkan nilai biaya penuh Rp.92.257.293.049/tahun, nilai tersebut
menggambarkan
Nilai
Guna
Lestari
air
agroforestry
yang
telah
menginternalisasikan eksternalitas di dalamnya sehingga mencerminkan nilai
manfaat yang lestari dari hulu sampai hilir. Lebih lanjut diperoleh besar tarif
normal yang ideal pada kondisi produksi saat ini, yaitu:Rp.73.136/m3.Nilai provisi
PDAM Tirtasari lingkungan Rp. 2,500.000 untuk penggunaan 1.261.440 m 3 per
tahun atau Rp.2 per m 3/tahun, sehingga nilai lingkungannya adalah
(Tarif
118
normal-Nilai provisi) Rp73.134/m3.
c.
Penggunaan air non komersil (potential value)
1) Penggunaan lngsung dari sumber Masyarakat dalam Desa
Dari penggunaan air rumah tangga langsung dari sumber sebesar
1.259.712 m3 a: 38,06 % dan biaya investasi Rp 2.347.680.000, didapatkan nilai
air Rp. 89.359.546.795 per 1.259.712
m3 per tahun atau tarif normal/nilai
lingkungan Rp.70.936/ m3.
2)
Penggunaan untuk pengairan sawah di dalam Desa
Perhitungan nilai ekonomi air untuk pengairan sawah seluas 22 ha (2 x
panen @ 4 ton/ tahun: a: 4,25%, dan biaya investasi Rp.10.027.857.692 per
140.800 m3 pertahun diperoleh tarif normal/nilai lingkungan Rp.71.221/ m 3
3)
Pengairan sawah di luar Desa, di Desa Saradan dan Temon
Perhitungan nilai ekonomi air untuk pengairan sawah seluas 209 ha (2 x
panen @ 6 ton/tahun: a: 18,86% dan biaya investasi Rp44.347.423.675 per
624.325 m 3 per tahun, diperoleh tarif normal Rp. 71.033/ m 3
Dari penjumlahan harga bayangan /tarif normal per
penggunaan
didapatkan total nilai ekonomi air agroforestri adalah Rp. 74.341 + Rp.73.136 +
Rp.70.936 + Rp.71.221 + Rp.71.033 = Rp.360.667/ m3 (rata-rata Rp.72.133/m3).
Dengan demikian
atau total nilai ekonomi air agroforestri desa Sumberejo
dengan luas 293,46 ha, adalah Rp.238.727.914.416,- per tahun. Selanjutnya nilai
ekonomi air akan diinternalisasikan ke dalam penghitungan analisa kelayakan
finansial per strata, dengan nilai masing-masing pertahun: a) Strata 1:
Rp. 117.068.000; b) Strata 2: Rp. 371.198.432 ; dan c) Strata 3: Rp. 699.983.600
6.2.2 Valuasi Jasa Karbon Agroforestri
Untuk mendapatkan volume stock karbon tegakan agroforestry, digunakan
penafsiran landsat ETM pada titik lokasi Desa Sumberejo. Dari hasil penafsiran
119
didapatkan:
Tabel 19.
Hasil Penafsiran Luas, Volume dan Karbon Agroforestri Desa
Sumberejo
Lokasi Agroforestri
Desa Sumberejo
Luas
(ha)
Total m3 dan Rataan
Volume Kayu m3/ha
Biomassa
(tb)
Stok karbon
(t CO 2 )
293,46
4.208, 42
14,34
2.377, 20
8,10
8569,73
29,20
Sumber: Data primer, 2011
Stok karbon 8.569,73 t CO 2 atau rata-rata 29,20 t CO 2 per ha, sejalan
dengan referensi dan masih masuk selang hasil carbon agroforestri, yaitu 32,7
tCO2 per ha (Boer, 2004 dan Basuki, 2008, dan Litbang kehutanan, 2010).
Menghitung nilai stok karbon agroforestri dimulai dengan menghitung
biaya abatasi dengan cara:
Biaya oportunitas.(biaya reboisasi agroforestri)
Rp.2.347.680.000
Biaya transaksi 39,2% (Ginoga dan Lugina, 2007)
Rp. 920.290.560
Biaya Abatasi
Rp. 3.267.018.640
Penghitungan nilai jasa serap karbon agroforestri bersih (NC) selama
proyek 20 tahun, dilakukan menggunakan formula (dengan asumsi riap volume
dan riap tebang tahunan tetap):
NC = Riap serap karbon – Riap emisi karbon dari penebangan.
Penghitungan harga bayangan: Biaya Abatasi /Volume tC)2
Nilai ekonomi jasa karbon agroforestri desa Sumberejo dalam Tabel 20,
selanjutnya digunakan dalam analisa kelayakan finansial, dengan nilai pada
masing-masing strata per tahun (kurs Rp.9000/US$), adalah: a) Strata 1:
Rp.181.051.329 ; b) Strata 2: Rp.507.679.009; dan c) Strata 3: Rp.821.805.397.
120
Tabel 20. Penghitungan Nilai Karbon Agroforestri Desa Sumberejo
Uraian
Volume
(m3)
tCO2
Harga
(US$/tCO2)
1.
Stock karbon
4.208,42
8569,73
42
2
Nilai ekonomi stock karbon
3.
Riap agroforestri selama per tahun
Riap volume Jati:4,3 m3/ha/tahun
Mahoni: 8,1 m3/ha/tahun
Luas jati dan mahoni masingmasing 146,73 ha
4.
Riap tebangan per tahun Rata-rata
penebangan 14% dari riap volume
5.
Nilai serap karbon bersih per tahun
No.
6.
6.3
363.002
1.819,452
3.735,941
257,52
528,774
1561,932
3207,167
113
32.071,67
3.630.021
Nilai serap karbon bersih 20 tahun
Analisis Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri tanpa dan dengan
Internalisasi Nilai Jasa Karbon dan Jasa Air
Selanjutnya dari pengolahan dan analisa data didapatkan hasil sebagai
berikut:
tabel 21. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Agroforestri tanpa dan dengan
Internalisasi Jasa (masa 20 tahun, bunga 12%)
Tanpa Internalisasi
Stra
ta
Internalisasi jasa air
Internalisasi Jasa karbon
Internalisasi jasa air dan
karbon
NPV
(Juta,
Rp)
BCR
IRR
(%)
NPV
(Juta,
Rp)
BCR
IRR
(%)
NPV
(Juta,
Rp)
BCR
IRR
(%)
NPV
(Juta,
Rp)
BCR
IRR
(%)
S1
33,82
1,48
13
296,92
6,02
24
301,00
6,64
25
399,02
9,72
26
S2
141,33
5,26
16
305,11
11.20
27
804,09
11.22
28
896,54
14,80
32
S3
190,22
5,42
19
415,78
11,77
29
1.944,2
12,42
35
2239,78
15,3
35
Perhitungan di atas adalah penilaian kelayakan finansial pada usaha
agroforestri yang berbasis lahan.
Berdasarkan kriteria kelayakan, yaitu NPV positif, BCR > 1 dan IRR >
tingkat bunga, maka dari hasil analisa didapatkan:
1.
Keragaan ekonomi usaha agroforestri tanpa internalisasi dengan rancangan
121
usaha 20 tahun pada tingkat bunga 12%, menunjukkan kelayakan finansial
pada ketiga kriteria kelayakan, yaitu Strata 1 NPV sebesar 13%; Strata 2
sebesar 16%; dan Strata 3 sebesar 19%. Nilai BCR 1,48 pada strata 1
menunjukkan bila petani akan mengembangkan usaha agroforestri secara
intensif pada strata tersebut, masih memerlukan bantuan permodalan,
karena kelebihan dari pendapatan bersih usaha sebagian besar terserap
untuk menutup kebutuhan rumah tangga.
2.
Besarnya nilai BCR keragaan ekonomi tanpa internalisasi pada strata 2 dan
3, adalah karena tingginya harga kayu, terutama periode 10 tahun terakhir.
3.
Internalisasi eksternalitas jasa air, jasa karbon, dan jasa air dan jasa karbon
secara
bersama-sama
meningkatkan
pada
pendapatan
semua
usaha
strata
yang
berhasil
nyata,
yaitu:
menghasilkan
Internalisasi
eksternalitas jasa air meningkatkan parameter kelayakan dari metode NVP,
BCR, dan IRR, yaitu Strata 1 (< 1 ha); keragaan tanpa internalisasi sebesar
NVP: Rp.33,82 juta, BCR: 1,48, dan IRR: 13% dengan internalisasi jasa air,
menjadi NPV: Rp.296,92 juta per tahun, BCR: 6,02, dan IRR: 24%.
Sedangkan internalisasi jasa karbon berhasil meningkatkan NPV menjadi
Rp.301 juta, BCR:6,64, dan IRR: 25%. Dengan kedua jasa NPV menjadi
Rp.399,02 juta, BCR: 9,72, dan IRR: 26%. Kecenderungan yang sama
terjadi pada strata 2 dan 3 dengan proporsi yang lebih besar.
4.
Dengan demikian internalisasi eksternalitas jasa air, jasa karbon baik secara
sendiri-sendiri ataupun bersama, terbukti berhasil meningkatkan kelayakan
finansial pada semua strata. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis
penelitian yang mengaplikasikan konsep keuntungan agroforestri dari satu
input dihasilkan banyak output dan aplikasi dari konsep total nilai ekonomi
pada agroforestri.
122
5.
Hasil analisa juga mengindikasikan, bahwa dari keragaan ekonomi strata 1,
menunjukkan
perlunya
insentif
pada
tahap
awal,
agar
mampu
mengembangkan agroforestrinya dengan tetap mempertahankan kelayakan
usahanya.
6.
Keragaan ekonomi strata 2 dan 3 menunjukkan, bahwa luas lahan > 1 ha
mengindikasikan peningkatan kontribusi pendapatan dari keuntungan usaha
pada rumah tangga dan ekonomi pedesaan memiliki prospek yang baik
untuk pengembangan agroforestri baik dalam memproduksi barang maupun
jasa secara berkesinambungan.
7.
Kemampuan usaha agroforestri untuk masa 20 tahun setelah internalisasi
eksternalitas jasa dalam pengembalian modal pada tingkat bunga antara
20 – 30%, akan menjadi argumen penting untuk menjadikan agroforestri
sebagai program unggulan untuk merehabilitasi lahan kritis berbasis
pedesaan.
6.4
Analisis Kesinambungan Agroforestri
Berangkat dari prinsip kelestarian stock dan flow tanaman tahunan serta
pertimbangan ketersediaan ruang tumbuh tanaman musiman, maka disusun pola
kelola lestari masing-masing strata luas agroforestri dengan acuan :
1.
Stock tanaman tahunan dengan jarak tanam 3 x 3 m atau jumlah tanaman
1111 pohon per hektar, dan
2.
Skenario flow penjarangan I diadakan penebangan 30 % dari tanaman umur
5 tahun dan diikuti penanaman kembali, Penjarangan II penebangan 20 %
dari tanaman umur 10 tahun dan diikuti penanaman kembali, dan
penjarangan III penebangan 10 % dari tanaman 15 umur diikuti penanaman
kembali, serta pemanenan 70 % tanaman umur 20 tahun diikuti penanaman
kembali.
123
Adapun hasil penyusunan pola kelola lestari untuk strata 1 dengan luas
rata-rata 0,60 hektar adalah sebagaimana tabel 22 berikut :
Tabel 22. Skenario pola kelola lestari agroforestri strata 1 selama 20 Tahun
Uraian
Komposisi umur
tanaman tahunan
Tanam
Penj. 1
Th 1
Th 5
0 th : 667
667
0 th : 200 ph
5 th : 467 ph
0 th : 93
5 th : 200 ph
10 th : 373 ph
Th 15
Th.20
0 th : 37 ph
5 th : 93 ph
10 th : 200 ph
15 th : 336 ph
0 th : 210 ph
5 th : 37 ph
10 th : 93 ph
15 th : 200 ph
20 th : 126 ph
467
tebang dan tanam
kembali
Penj. 2
tebang dan tanam
kembali
Penj. 3
tebang dan tanam
kembali
Panen
tebang dan tanam
kembali
jumlah tana man
lesta ri
Th 10
200
373
93
336
37
126
210
667
667
667
667
667
Tabel 22 di atas diturunkan dalam bentuk Gambar 18 berikut :
Gambar 18. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 1 Selama 20
Tahun
124
Dari tabel 22 dan gambar 18. di atas, dengan jarak tanam
3 x 3 m, stock
tanaman lestari untuk strata 1 adalah 667 pohon, pemeliharaan tahun I, II, dan
III memastikan jumlah pohon tetap sama hingga penjarangan pertama dan
dengan penanaman kembali sejumlah pohon yang ditebang pada tahun V, akan
terdapat 2 kelas umur tanaman, pada tahun X akan terdapat 3 kelas umur, pada
tahun XV terdapat 4 kelas umur, dan pada tahun XX akan terdapat 5 kelas umur.
Untuk periode penjarangan selanjutnya, petani melakukan budidaya
palawija bersamaan dengan mengontrol tanaman tahunan, dan setiap paska
penjarangan sampai tahun XX akan didapatkan 5 kelas umur tanaman.. Dengan
demikian implikasi skenario pola kelola lestari dengan keragaman komposisi
kelas umur tanaman pada strata 1 dapat terjamin konsistensinya.
Penyusunan skenario pola kelola lestari pada strata 2 dengan luas ratarata luas lahan usaha 1,60 hektar
dengan basis jarak tanam 3 x 3 m,
menunjukkan hasil sebagai berikut :
Tabel 23. Skenario pola kelola lestari agroforestri strata 2 selama 20 Tahun
Uraian
Th 1
Th 5
Th 10
Th 15
Th.20
0 th : 249 ph
5 th : 533 ph
10 th : 995 ph
0 th : 100 ph
5 th : 249 ph
10 th : 533 ph
15 th : 896 ph
0 th : 660 ph
5 th : 100 ph
10 th : 249 ph
15 th : 533 ph
20 th : 236 ph
Komposisi umur
tanaman tahunan
Tanam
Penj. 1
tebang dan tanam
kembali
Penj. 2
0 th : 1778 ph
1.778
0 th : 533 ph
5 th:1244 ph
1.244
533
995
tebang dan tanam
kembali
Penj. 3
tebang dan tanam
kembali
Panen
tebang dan tanam
kembali
Jumlah tana man
lesta ri
249
896
100
236
660
1778
1778
1778
1778
1778
125
Gambar 19. Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Agroforestri Strata 2 Selama 20
Tahun
Dari tabel 23 dan gambar 19 di atas, dengan jarak tanam
3 x 3 m, stock
tanaman lestari untuk strata 2 adalah 1778 pohon, pemeliharaan tahun I, II, dan
III memastikan jumlah pohon tetap sama hingga penjarangan pertama dan
dengan penanaman kembali sejumlah pohon yang ditebang pada tahun V, akan
terdapat 2 kelas umur tanaman, pada tahun X akan terdapat 3 kelas umur, pada
tahun XV terdapat 4 kelas umur, dan pada tahun XX akan terdapat 5 kelas umur.
Untuk periode penjarangan selanjutnya, petani melakukan budidaya
palawija bersamaan dengan mengontrol tanaman tahunan, dan setiap paska
penjarangan sampai tahun XX akan didapatkan 5 kelas umur tanaman.. Dengan
demikian implikasi skenario pola kelola lestari dengan keragaman komposisi
kelas umur tanaman pada strata 2 dapat terjamin konsistensinya.
Penyusunan skenario pola kelola lestari pada strata 3 dengan luas ratarata
luas lahan usaha 2,59 hektar
menunjukkan hasil sebagai berikut :
dengan basis jarak tanam 3 x 3 m,
126
Tabel 24. Skenario Pola Kelola Lestari Agroforestri Strata 3 Selama 20 Tahun
Uraian
Th 1
Th 5
Th 10
Th 15
Th.20
0 th : 403 ph
5 th : 863 ph
10 th : 1611 h
0 th : 161 ph
5 th : 403 ph
10 th : 863 ph
15 th: 1450 ph
0 th : 1036 ph
5 th : 161 ph
10 th : 403 ph
15 th : 863 ph
20 th : 414 ph
Komposisi umur
tanaman tahunan
0 th : 2877 ph
2.877
Tanam
0 th : 863 ph
5 th : 2014 ph
Sisa Penja rangan 1
2.014
tebang dan tanam
kembali
Sisa Penja rangan 2
tebang dan tanam
kembali
Sisa Penja rangan 3
tebang dan tanam
kembali
Sisa Pa nen
863
2.474
403
2.716
161
1.841
tebang dan tanam
kembali
Jumlah tana man
lesta ri
1.036
2.877
2.877
2.877
2.877
2.877
Dari Tabel 24 di atas diturunkan dalam bentuk Gambar 20 berikut :
Gambar 20. Skenario Pola Kelola Lestari/Berkesinambungan Strata 3 Selama 20 Tahun
Dari tabel 24 dan gambar 20 di atas, dengan jarak tanam
3 x 3 m, stock
tanaman lestari untuk strata 3 adalah 1778 pohon, pemeliharaan tahun I, II, dan
III memastikan jumlah pohon tetap sama hingga penjarangan pertama dan
127
dengan penanaman kembali sejumlah pohon yang ditebang pada tahun V, akan
terdapat 2 kelas umur tanaman, pada tahun X akan terdapat 3 kelas umur, pada
tahun XV terdapat 4 kelas umur, dan pada tahun XX akan terdapat 5 kelas umur.
Untuk periode penjarangan selanjutnya, petani melakukan budidaya
palawija bersamaan dengan mengontrol tanaman tahunan, dan setiap paska
penjarangan sampai tahun XX akan didapatkan 4 kelas umur tanaman.. Dengan
demikian implikasi skenario pola kelola lestari dengan keragaman komposisi
kelas umur tanaman pada strata 3 dapat terjamin konsistensinya.
6.5
Instrumen Kebijakan Keuangan (Insentif) Untuk Jasa Karbon Dan
Jasa Air Agroforestri
Referensi menunjukkan, ketika subsidi berorientasi input (produksi)
didasarkan pada paradigma, bahwa keberadaan hutan/agroforestri menjadi
syarat keberadaan berkembangnya manfaat sosial ekonomi dan ekologi
agroforestri yang akan meningkatkan distribusi kepemilikan lahan dan stabilitas
ekonomi pedesaan. Namun pengalaman setelah 10 tahun pendekatan tersebut
digunakan dalam bentuk kredit di Indonesia dan subsidi di Negara-negara Eropa
Barat, menunjukkan tujuan tersebut tidak tercapai.
Di Indonesia alokasi kredit hutan milik yang beroientasi input, ternyata
hanya menguntungkan oknum mitra yang berperan sebagai free rider dengan
memanfaatkan kondisi asimetri informasi, untuk mengalihkan kredit pada lahan
miliknya dengan alasan mitra adalah penjamin dan penanggung kredit macet.
Sedangkan petani mendapat bantuan hanya dalam bentuk input pupuk dan bibit
yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan nyata, sehingga tetap terpelihara
dalam kemiskinan, karena keterbatasan luas lahan dan ketiadaan modal usaha.
Sedangkan di Negara Eropa Barat pengembangan manfaat selain kayu
128
tidak atau tidak cukup direspon mekanisme pasar, sehingga subsidi orientasi
dianggap penghamburan pajak masyarakat dengan return yang tidak seimbang
dari hutan milik. Saat ini di Eropa dengan dipelopori oleh Belanda, dilakukan
perubahan instrument kebijakan input menjadi kebijakan berorientasi output.
Didapatkan perubahan orientasi subsidi dari input ke output terbukti lebih
mendukung kejelasan property right hutan milik, sehingga menjamin distribusi
alokasi subsidi lebih efisien dan tepat sasaran.
Agroforestri desa Sumberejo dan agroforestri umumnya di hulu DAS
Kabupaten Wonogiri, dibangun secara swadaya di atas tanah dengan entitas
berupa hak kepemilikan yang jelas, sementara kebutuhan petani adalah
bagaimana nilai ekonomi jasa air dan karbon dapat ditransfer menjadi sumber
peningkatan pendapatan
yang menjadi insentif untuk mempertahankan
keberadaan dan kesinambungan usaha agroforestri.
Kenyataan bahwa agroforestri dibangun secara swadaya, maka
untuk
usaha di lahan dengan luas < 1 ha, instrument kebijakan finansial kombinasi
subsidi berorientasi input dan berbasis output, yaitu mampu mentransfer
eksternalitas menjadi penambah pendapatan dan atau mengurangi beban biaya
rumah tangga, sehingga mampu mengurangi ketergantungan rumah tangga dari
pendapatan off farm serta menurunkan biaya rumah tangga dari peningkatan
akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan akan lebih rasional dalam
mendukung kesinambungan agroforestri, bila dibandingkan dengan subsidi yang
berorientasi input.
Terkait sumber pendanaannya intrumen kebijakan keuangan diarahkan
pada prinsip Government Pay Principle, sebagaimana klustering subsidi dan
bantuan program pemerintah yang sedang berjalan dan User Pay Principle, yaitu
dengan partisipasi masyarakat dan program bentuk tanggung jawab swasta
129
(Corporate Social Responsibility)
terkait pelestarian lingkungan hidup dan
pencegahan bencana alam..
Implikasi subsidi berorientasi output memiliki 2 sisi, yaitu dari sisi
pemanfaat atau pemerintah subsidi merupakan penambah pendapatan petani
yang terkait usaha agroforestrinya dan menjadi insentif yang mendorong petani
untuk
mempertahankan
keberadaan
dan
mengembangkankan
usaha
agroforestri. Sedangkan dari sisi petani sebagai produsen keberadaan subsidi
menjadi tuntutan untuk bagaimana memelihara, mengamankan keberadaan
agroforestri yang dimilikinya dengan mengelolanya secara lebih intensif.
Merujuk pada ragam tipe imbal jasa Gouyon (2004), agar alokasi
subsidi/imbal jasa langsung terdistribusi pada entitas yang jelas dan kondisi
usaha yang relevan, sehingga mendorong petani untuk mau dan mampu
mengembangkan dan meningkatkan kontribusi agroforestri pada rumah tangga
dan berdampak pada pada pertumbuhan ekonomi Desa.
Tipe imbal jasa tidak selalu dalam bentuk bantuan langsung tunai yang
berdasarkan pengalaman rawan dari paraktek korupsi.
Ragam tipe subsidi
meliputi:
a)
Subsidi ramah-lingkungan, termasuk tarif pajak yang lebih rendah pada
lahan dimana konservasi agroforestri dilaksanakan.
b)
Skema sertifikasi, tergantung pada pilihan konsumen dalam menyediakan
peningkatan pangsa pasar dan/ atau harga premi untuk produk-produk
agroforestri yang dihasilkan dengan cara yang meminimasi lahan kritis atau
pembangunan rendah karbon.
Lembaga-lembaga publik dapat menyediakan sumber keuangan bagi
pemangku lahan melalui skema keuangan mikro untuk mendukung kegiatankegiatan rehabilitasi seperti komersialisasi hasil hutan non-kayu.
130
Skema transfer pembayaran memberikan kompensasi yang spesifik,
bersyarat baik untuk melakukan tindakan tertentu misalnya, rehabilitasi lahan
kritis yang menggunakan kombinasi pohon-pohon hutan seperti agroforestri.
Dengan memperhatikan karakteristik pedesaan di Indonesia, maka bentuk
insentif yang dapat diterapkan adalah:
1.
Insentif untuk pengelola agroforestri untuk menerapkan silvilkultur intensif
2.
Insentif untuk kegiatan agroforestri di lahan terdegradasi
3.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengurangan lahan kritis
4.
Pembayaran jasa lingkungan
Implikasi instrument kebijakan finansial akan efektif bila mengacu pada
skenario pemberian subsidi dan kredit yang tidak terlepas dari pola budidaya
agroforestri, yaitu berbasis tata waktu budidaya dan evaluasi komitmen petani
dalam
memenuhi
kewajibannya
mempertahankan
dan
mengembangkan
agroforestri. Alokasi dana secara transparan, sesuai dengan besaran nilai
ekonomi konservasi jasa air dan jasa karbon agroforestri desa Sumberejo per
tahun sebagai pagu maksimum, sektor pertanian dan kehutanan secara
bersama-sama menyalurkan insentif subsidi dan kredit sesuai dengan kebutuhan
nyata. Adapun alokasi waktu tanpa besaran subsidi adalah sebagai berikut:
1.
Tahun ke 0 atau t -1 dan t1 – t3, subsidi pada strata 1 (luas < 1 ha),
diarahkan pada subsidi on farm. Bentuk subsidi pengembangan jasa
konservasi sebagai bantuan tahap awal bibit, berupa biaya pupuk, biaya
pengolahan lahan, biaya tanam, biaya pemeliharaan tahun I – III. Strategi ini
dilakukan, karena petani belum mampu membiayai investasi di awal.
2.
Subsidi berupa social security dan pelatihan diversifikasi usaha yang relevan
pada strata 1 dan 2 (< 2ha) diberikan pada t4, t9, t14 dan t19, saat petani
menunggu penjarangan dan panen tanaman tahunan. Strategi ini diharapkan
131
dapat mengurangi urbanisasi dan petani dapat lebih intensif menjaga
agroforestri.
3.
Kredit bunga lunak dan bergulir dialokasikan pada strata 3 (luas ≥ 2 ha)
mulai tahun keempat, dengan asumsi tanaman agroforestri mulai berfungsi
menghasilkan jasa air dan jasa karbon secara effektif.
Grass period
diberikan untuk 3 kali masa penjarangan (t14), sedangkan kredit jatuh tempo
tahun kedua puluh (t20).
4.
Subsidi program prasarana sarana desa, seperti pembangunan sekolah dan
sarana kesehatan disalurkan pada t4 – t5, t9
–t10
dan t14 – t15, yang
merupakan periode evaluasi komitmen petani. Diharapkan bantuan program
dapat didesain dengan masyarakat desa sebagai pelaksananya
Instrumen kebijakan keuangan didasarkan keunggulan dan peran
strategis agroforestri dalam mengurangi kemiskinan di pedesaan dan konservasi
tanah air di daerah hulu DAS melalui rehabilitasi lahan kritis. Argumen ketiadaan
modal pada usaha agroforestri dengan luas < 1 ha, serta ketidak cukupan modal
pada usaha agroforestri dalam upaya pengembangan, sementara ketiadaan
respon pasar terhadap public service yang dihasilkan agroforestri menjadi
masalah kelembagaan dalam pencapaian tujuan bersama pemerintah dan petani
yang memerlukan intervensi kebijakan affirmatif dari pemerintah.
Pengalaman ketidak berhasilan insentif pengembangan hutan rakyat
dengan skim kredit dengan kemitraan di masa lalu menjadi pembelajaran agar
insentif lebih difokuskan pada pihak-pihak yang secara nyata menginisiasi
kelanjutan rehabilitasi lahan kritis yang dipicu oleh program pemerintah..
Diperlukan insentif yang bersifat edukatif bukan sekedar sincerity, karena
hal
ini
secara
psikologis
akan
meningkatkan
martabat
petani
dan
keterbukaannya dalam menerima desain skim insentif yang berkesesuaian
132
dengan
kebutuhan
peningkatan
berkesinambungan.
usaha
dan
kesejahteraannya
secara
Narasi alokasi waktu insentif di atas untuk kasus
agroforestri desa Sumberejo dapat dilihat pada tabel 25 berikut ini :.
tabel 25. Desain Alokasi Distribusi Waktu Insentif Agroforestri Desa Sumberejo
Tahun ke
0
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
PENANAMAN
1 Persemaian dan Pembibitan
2 Persiapan Lahan (Ha)
3 Penanaman tanaman tahunan
dilaksanakan pada tahun I dan
palaw ija selama tahun I, II, III;
PEMELIHARAAN
1 Pembersihan/pendangiran dan
pemupukan Tanaman Tahunan
dilakukan bersamaan dengan
tanaman semusim pada Tahun I,
I, dan III
PENJARANGAN dan
PENANAMAN KEMBALI :
3.Penebangan untuk perbaikan
mutu tanaman tahunan dan
memberi ruang tumbuh tanaman
semusim dilaksanakan pada
tahun V, X, dan XV
4.Diikuti penanaman kembali
tanaman tahunan pada tahun VI
danpenanaman tanaman
semusim tahun VI, VII, VIII, tahun
XI, XII, XIII, dan tahun XVI, XVII,
XVIII
Tahun ke
X
PEMANENAN
Subsidi investasi (t -1): Bantuan bibit, biaya olah lahan, kompensasi upaya konservasi
Subsidi/Kredit investasi penanaman pertanian(t1-t3), penanaman tanaman tahunan (t1) dan
pemeliharaan (t1-t3), pemeliharaan lanjutan/perlindungan(t4, t6-t9,t11-t14,& t16-t20)
Subsidi social security saat terjadi penurunan sampai dengan tidak adanya pendapatan dari on
farm (asumsi tidak ada penanaman selain palawija dan hasil hutan bukan kayu).
Alternatif 2 untuk alokasi waktu dan besaran insentif dilakukan dengan
pentahapan: 1) Perhitungan balance aliran kas usaha on farm per strata untuk
masa 20 tahun; 2) Perhitungan balance aliran kas off farm rumah tangga; 3)
Komparasi hasil 1) dan 2) untuk mendapatkan balance aliran kas rumah tangga
petani, dan
4) hasil 3) Dengan basis kriteria alokasi kredit menjadikan
pendapatan rumah tangga minimal 25% di atas garis kemiskinan didapatkan
133
kebutuhan dan alokasi waktu insentif setiap strata.
Adapun alokasi insentif per strata sesuai dengan perhitungan kebutuhan
nyata investasi dan posisi pendapatan 25 % di atas garis kemiskinan, adalah :
1)
Skenario skim insentif strata 1 :
Pada saat tidak ada pendapatan dari panen kayu, strata 1 sama sekali
tidak mempunyai kemampuan modal untuk investasi, karena pendapatan on farm
dan off farm tidak mampu menutup pengeluaran rumah tangga. Oleh karena itu
mutlak diperlukan dukungan insentif berupa subsidi yang besarnya semakin
menurun setiap tahun. Subsidi ditujukan untuk dukungan modal investasi dan
untuk meningkatkan pendapatan petani 25 % di atas garis kemiskinan
(mengentaskannya dari kemiskinan). Jumlah dukungan insentif per tahun jauh di
bawah return dari kontribusi nilai ekonomi jasa air agroforestri dan jasa karbon
agroforestri strata 1 Rp.117.068.000, dan Rp. 181.051.329 per tahun.
Tabel 30 Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strat a 1
Nilai kebutuhan dukungan insentif per rumah tangga petani
Tahun ke
(Juta, Rp) per tahun
Balance pendapatan
25 % >
Total kebutuhan
rumah tangga petani
GK
dukungan insentif per
tahun
Sesudah Investasi
0 (t – 1)
1
2
3
4
6
7
8
9
11
12
13
14
16
17
18
19
Jumlah total
kebutuhan
insentif
(13,07)
(1,67)
(1,67)
(1,67)
(10,07)
(1,59)
(1,59)
(1,59)
(1,87)
(1,59)
(1,59)
(1,59)
(1,47)
(1,28)
(1,28)
(1,28)
(1,47)
(46,34)
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
196,775
Keterangan : rincian perhitungan terlampir
24,65
13,25
13,25
13,25
21,65
13,17
13,17
13,17
13,45
13,17
13,17
13,17
13,05
12,86
12,86
12,86
12,86
243,12
134
Alokasi insentif pada strata 1 tidak dibutuhkan pada tahun ke 5, 10, 15 dan
20, karena terdapat penerimaan dari penjualan penjarangan dan pemanen
tanaman tahunan. Pendapatan bersih rumah tangga petani pada saat tersebut
berada jauh di atas garis kemiskinan yang dapat ditabung untuk tambahan
investasi diversifikasi kegiatan usaha di dalam desa yang akan meminimalisir
ketergantungan pada pendapatan off farm . Keberadaan tabungan (saving) akan
meningkatkan kemampuan konsumsi dan diversifikasi usaha (investmen) yang
menambah lapangan pekerjaan di dalam desa, Hal-hal tersebut akan
menungurangi pengangguran dan urbanisasi penduduk desa keperkotaan, dan
meningkatkan kontribusi agroforestri pada pertumbuhan ekonomi desa.
Gambar 22 Model Alokasi Waktu dan Besaran Insentif Strata 1 (Luas < 1 ha)
2)
Skenario skim insentif strata 2 (rata-rata luas 1,60 ha)
Model alokasi waktu dan besaran biaya insentif strata 2, menunjukkan
tidak dibutuhkannya dukungan insentif pada tahun ke 5, 10, 15 dan 20, karena
terdapat penerimaan dari penjualan penjarangan dan pemanen tanaman
tahunan. Pendapatan bersih rumah tangga petani pada saat tersebut berada
jauh di atas garis kemiskinan yang dapat ditabung untuk tambahan investasi
diversifikasi kegiatan usaha di
dalam
desa yang akan meminimalisir
ketergantungan pada pendapatan off farm . Keberadaan tabungan (saving) akan
135
meningkatkan kemampuan konsumsi dan diversifikasi usaha (investmen) yang
menambah lapangan pekerjaan di dalam desa, Hal-hal tersebut akan
menungurangi
pengangguran
dan
urbanisasi
(buruh)
penduduk
desa
keperkotaan serta meningkatkan kontribusi agroforestri pada pertumbuhan
ekonomi desa.
Hasil pertanian dan peternakan strata 2 (1 - < 2 ha) berhasil menutup
pengeluaran rumah tangga, namun menunjukkan ketidak cukupan modal
investasi khususnya pada tahun ke 0 (t-1), tahun ke 4, 9, 14, 16,17, 18, dan ke
19, namun penerimaan yang besar dari hasil penjualan kayu tiga kali
penjarangan membuat petani mempunyai kemampuan pengembalian skim kredit
tanpa bunga masa 20 tahun dengan grass period
15 tahun (sesudah
penjarangan ketiga)
Tabel 31 Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 2
Tahun ke
0 (t – 1)
1
2
3
4
6
7
8
9
11
12
13
14
16
17
18
19
Jumlah total
kebutuhan
insentif
Nilai kebutuhan dukungan insentif per rumah tangga petani
(Juta, Rp) per tahun
Balance pendapatan
25 % >
Total kebutuhan
rumah tangga petani
GK
insentif per tahun
Sesudah Investasi
(19,21)
3,32
3,32
3,32
(4,76)
1,70
1,70
1,70
(4,76)
0,41
0,41
0,41
(4,76)
(0,62)
(0,62)
(0,62)
(4,76)
(25,8)
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
196,775
30,785
8,255
8,255
8,255
16,340
9,871
9,871
9,871
16,340
13,17
13,17
13,17
16,340
12,200
12,200
12,200
16,340
241,705
136
Pada strata 2 dengan lahan yang lebih luas daripada strata 1
dibutuhkandukungan insentif
yang lebih besar di awal investasi.
Namun
pendapatan rumah tangga tanpa internalisasi sesudah investasi selama masa 20
tahun sebesar Rp.154,510,000, atau rata-rata Rp 15,451,000 per tahun maka
dukungan pada skim kredit tanpa bunga untuk modal investasi awal dan subsidi
yang ditujukan pada pengentasan kemiskinan rumah tangga petani (25 % > dari
garis kemiskinan terutama pada tahun-tahun dimana penerimaan bersih rumah
tangga opetani < dari garis kemiskinan. Sama halnya dengan strata 1, return
kontribusi jasa air agroforestri Rp.371.198.432, dan jasa karbon Rp. 507.679.009
yang dihasilkan dari hasil pembangunan agroforestri strata 2 per tahun jauh di
atas kebutuhan dukungan insentif.
Return
tersebut akan jauh lebih besar
apabila aspek manfaat jasa tata air agroforestri di hulu DAS diperluas, sehingga
sangatlah layak pemerintah memberikan dukungan insentif baik skim subsidi
atau pun kredit pada agroforestri strata 2.
Gambar 23 Model Alokasi Waktu dan Besaran Insentif Strata 2 ( Luas 1 - < 2 ha)
3)
Skenario skim insentif strata 3 (rata-rata luas 2,59 ha)
137
Strata 3 memperagakan, bahwa secara ekonomi usaha agroforestri
pada luas lahan ≥ 2 ha nyata berbeda dengan usaha pada lahan dengan luas < 2
ha. Lebih kurang 50 % Investasi yang jauh lebih besar dibandingkan strata 1
dan 2,di awal pada tahun 0 (t-1), karena luas rata-rata strata 3 adalah 2,59 ha,
ternyata dapat kembali pada tahun ke 3 dari hasil penerimaan pertanian dan
peternakan.
Penerimaan tahunan rumah tangga menunjukkan minus hanya
pada tahun ke 4, 9, 14 dan ke 19, dimana hal tersebut dikarenakan belum
adanya panen kayu dan
tidak dilakukan penanaman/panen
palawija pada
tahun-tahun tersebut, sedangkan penerimaan dari palwija mulai menurun 20 %
setiap setelah dilakukan penjarangan.
Tabel 32. Model Alokasi Waktu dan Besar Insentif Strata 3
Tahun ke
0 (t – 1)
1
2
3
4
6
7
8
9
11
12
13
14
16
17
18
19
Jumlah total
kebutuhan
insentif
Nilai kebutuhan dukungan insentif per rumah
tangga petani (Juta, Rp)
Balance pendapatan
25 % >
Total
rumah tangga petani
GK
Sesudah Investasi
(34,205)
5,945
5,945
5,945
(2,720)
4,112
4,112
4,112
(2,720)
2,86
2,86
2,86
(2,720)
1,1176
1,1176
1,1176
(2,720)
(2,981)
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
11,575
196,775
45,78
5,63
5,63
5,63
14,30
7,36
7,36
7,36
14,30
8,75
8,75
8,75
14,30
9,86
9,86
9,86
14,30
241,88
Penerimaan bersih dari hasil penjarangan di tahun ke 5, 10, dan 15 serta
138
panen, selama masa 20 tahun berjumlah Rp. 369,180,000 atau rata-rata
Rp.36,918,000 per tahun, sehingga apabila ditambah dengan pendapatan bersih
dari palawija dan peternakan dan dikurangi pendapatan minus rumah tangga
seluruhnya berjumlah Rp.423,957,000 atau Rp.42,395,7000 pertahun.
Nilai
usaha agroforestri strata 3 tanpa internalisasi tersebut lebih dari cukup untuk
jaminan pembayaran angsuran skim kredit lunak insentif yang bergulir dari
program pemerintah. Skim kredit tanpa bunga dapat dipertimbangkan apabila
dikaitkan dengan nilai ekonomi jasa air Rp. 699.983.600, dan nilai ekonomi jasa
karbon Rp. 821.805.397 per tahun dari strata 3.
Gambar 24.. Model alokasi waktu dan bes aran insenti strata 3 (luas≥ 2 ha)
Dukungan kebijakan lainnya adalah fasilitasi valuasi ekonomi jasa air dan
jasa karbon agroforestri, serta menginisiasi pengembangan pasar karbon
sukarela (voluntary market) di dalam negeri untuk pengurangan emisi karbon dari
agroforestri.
Pengalaman di Brasil dan Filipina, serta Vietnam menunjukkan
monitoring karbon pada agroforestri dengan luas sempit secara periodik, lebih
efisien dilakukan masing-masing pemilik lahan berbarengan dengan intensifikasi
kelola agroforestrinya.
Kesinambungan usaha agroforestri secara teknis sangat ditentukan dari
139
intensitas penanaman dan atau penyulaman tanaman pada ruang lahan kosong,
sehingga penjarangan yang dilakukan, sehingga setiap saat tanaman tahunan
akan mempunyai komposisi umur yang beragam dan bertingkat. Hal ini akan
sangat penting, karena pengusahaan agroforestri pada lahan sempit, tidak
seperti halnya pengusahaan dalam skala luas (corporate management), dimana
pembagian menjadi blok tanaman tahunan yang membuat pemanenan dapat
diatur untuk mempertahankan kelestarian hutan.
Download