kerangka pengukuran risiko sistemik

advertisement
OP/ 4 /2015
OCCASIONAL PAPER
KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK
Cicilia A. Harun
Sagita Rachmanira
R. Renanda Nattan
Desember, 2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper
ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan
merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
1
KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK*
Cicilia A. Harun†, Sagita Rachmanira‡, dan Raquela Renanda§
Abstrak
Mitigasi risiko sistemik tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan single indicator atau 1 (satu) metode tertentu, tetapi
diperlukan serangkaian alat ukur yang komprehensif. Sehubungan dengan hal
tersebut, dikembangkan kerangka pengukuran risiko sistemik sebagai
kerangka kerja identifikasi, pemonitoran, dan pengukuran risiko yang dapat
menjadi
acuan
dalam
pengawasan
dan
perumusan
kebijakan
makroprudensial, termasuk menjadi referensi dalam pengembangan alat ukur
risiko sistemik ke depan. Dalam kajian ini, kerangka pengukuran risiko
sistemik disusun dengan mencakup 3 (tiga) aspek utama, yaitu tipe alat ukur
risiko sistemik, dimensi alat ukur, dan alat ukur didasarkan pada fase
pembentukan risiko sistemik. Selain itu, kajian ini membahas pula mengenai
pembentukan risiko sistemik dalam kaitannya dengan siklus keuangan.
Secara umum, alat ukur risiko sistemik yang baik diharapkan mampu
menangkap sinyal imbalances dan dapat menilai potential losses.
Key word
: systemic risk, measurement of systemic risk,
macroprudential
JEL Classification : E58, G01
Pendapat dalam paper ini tidak merepresentasikan stance kebijakan Bank Indonesia.
Penulis bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan yang tidak disengaja.
† Peneliti Ekonomi Senior, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
[email protected]
‡ Peneliti Ekonomi, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
[email protected]
§ Research Fellow, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
[email protected]
*
I. PENDAHULUAN
Risiko sistemik merupakan potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya
gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan
karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity),
keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta
kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk
mengikuti siklus perekonomian (procyclicality)1. Dalam beberapa penelitian risiko
sistemik didefinisikan secara bervariasi tergantung dari kepentingan penelitian
ataupun implementasi kebijakan. Umumnya, risiko sistemik didefinisikan dari 3
(tiga) sudut pandang yang berbeda, yakni (i) magnitude sumber risiko, sebagai
contoh: adanya shock yang terjadi secara tiba-tiba dan probabilitas terjadinya risiko
sistemik;
(ii)
pembentukan
risiko
(transmisi),
seperti
interconnectedness
antarelemen dalam sistem keuangan dan contagion/domino effect; serta (iii) dampak
yang
ditimbulkan,
yaitu
dengan
mengaitkan
dampak
risiko
sistemik
ke
perekonomian dan loss of confidence; atau gabungan di antara ketiga sudut pandang
tersebut.
Pembahasan mengenai risiko sistemik yang dilakukan oleh Group of Ten
(2001) merupakan contoh pendefinisian risiko sistemik dari sudut pandang sumber
risiko dan dampak yang ditimbulkan. Dalam penelitian tersebut risiko sistemik
didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya value ekonomi
atau hilangnya kepercayaan dan peningkatan ketidakpastiaan dalam sistem
keuangan yang dapat menimbulkan efek negatif bagi perekonomian. Risiko sistemik
dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa terduga, atau terjadi secara perlahan-lahan
pada saat absennya respons kebijakan yang tepat. Adapun efek negatif risiko
sistemik pada perekonomian dapat dilihat dari peningkatan jumlah gangguan pada
sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset. Penelitian lain yang
juga menekankan risiko sistemik berdasarkan sumber dan dampak adalah Billio et
al. (2010) dan ECB (2010). Masing-masing dalam penelitiannya mendefinisikan
risiko sistemik sebagai kombinasi dari keadaan-keadaan yang mengancam stabilitas
atau kepercayaan publik terhadap sistem keuangan serta sebagai risiko instabilitas
keuangan yang menyebar sehingga dapat melumpuhkan fungsi sistem keuangan
Berdasarkan definisi dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.16/11/PBI/2014 tentang
Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial.
1
3
pada titik tempat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan menderita kerugian.
Sementara itu, penekanan yang berbeda disampaikan oleh Blancher et al. (2013).
Dalam penelitiannya, Blancher membahas risiko sistemik berdasarkan fase
terjadinya, yaitu build up phase, shock materialized phase, serta amplification and
propagation phase.
Setelah merujuk pada hasil penelitian yang disampaikan di atas, wajar
apabila kemudian upaya mitigasi risiko sistemik menjadi perhatian utama dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan. Selain hasil penelitian tersebut, setidaknya
terdapat dua argumentasi pendukung lainnya. Pertama, karakteristisk sistem
keuangan yang rentan akan risiko sistemik (financial fragility); dan kedua
pengalaman krisis keuangan, khususnya sistem keuangan di Indonesia yang terjadi
pada 1997/1998 dan global financial crisis (GFC) tahun 2008. Terkait dengan
financial fragility, dapat disampaikan sebagai berikut. Pertama, fungsi utama sistem
keuangan adalah melakukan alokasi sumber daya (resources) melalui kegiatan
intermediasi. Sebagai lembaga intermediasi, struktur institusi keuangan yang
cenderung mengandalkan sumber dana jangka pendek untuk memberikan
pembiayaan jangka panjang mengakibatkan institusi keuangan rentan akan risiko
yang muncul akibat maturity mismatch. Sementara itu, dari struktur permodalan,
ketika modal institusi keuangan dapat dipenuhi dengan penerbitan utang, institusi
keuangan berpotensi terekspos risiko akibat eksposur leverage. Kedua, adanya
interkoneksi antarelemen dalam sistem keuangan, baik melalui physical exposure,
melalui system settlement, maupun melalui information sharing (penyebaran
informasi) pelaku pasar dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu institusi
keuangan menjadi cepat menyebar dan berpotensi menimbulkan dampak sistemik.
Adapun karakteristik ketiga yang terkait dengan financial fragility sistem keuangan
ialah
adanya teori asymmetric information
dan
pandangan
myopic dalam
pengambilan keputusan, yaitu keputusan diambil berdasarkan ketidakpastian akan
ekspektasi nilai aset pada masa depan yang tidak terlalu lama.
Selain faktor financial fragility, upaya mitigasi risiko sistemik semakin
disadari oleh otoritas dan pelaku pasar keuangan seiring terjadinya krisis keuangan
yang dapat mengganggu perekonomian. Indonesia mengalami krisis keuangan yang
memerlukan biaya pemulihan yang cukup tinggi pada 1997/1998 serta turut
mengalami tekanan yang signifikan pada saat GFC memuncak pada November
2008.
Interconnectedness
atau
keterkaitan
antarelemen
sistem
keuangan
mengakibatkan dampak krisis semakin cepat meluas, tidak hanya dalam sistem
4
keuangan, tetapi hingga ke sektor riil, sosial, dan politik. Akibatnya, biaya recovery
(pemulihan) krisis yang ditimbulkan pun semakin tinggi. Guna merespons hal
tersebut, otoritas keuangan di beberapa negara mulai memprioritaskan upaya
untuk meningkatkan ketahanan institusi dan pasar keuangan serta upaya untuk
membatasi build-up risiko sistemik untuk mencegah terjadinya krisis. Hal tersebut
dilakukan sejalan dengan berkembangnya pendekatan makroprudensial dalam
mewujudkan stabilitas sistem keuangan. Instrumen kebijakan makroprudensial,
yang dinilai mampu melengkapi kebijakan moneter dan mikroprudensial, mulai
diimplementasikan di beberapa negara dengan ultimate goal meminimalkan risiko
sistemik. Sementara itu, guna meningkatkan ketahanan institusi keuangan,
otoritas
mulai
mengembangkan
sistem
pengawasan
dengan
pendekatan
makroprudensial.
Perkembangan serupa juga terjadi dalam sistem keuangan Indonesia. Sebagai
otoritas keuangan yang memiliki kewenangan di bidang makroprudensial, Bank
Indonesia (BI) merumuskan kebijakan makroprudensial dan melakukan kegiatan
pengawasan makroprudensial dengan tujuan utama mitigasi risiko sistemik.
Rangkaian kegiatan tersebut sebagaimana tercermin dalam Kerangka Kebijakan
Makroprudensial (Harun & Rachmanira, 2013; Harun & Rachmanira, 2015).
Berdasarkan kerangka kebijakan yang telah disusun, mitigasi risiko sistemik
dilakukan melalui strategi operasional pengawasan makroprudensial, yakni
monitoring, stress identification, risk assessment, dan risk signaling; serta
pengembangan instrumen kebijakan yang tepat.
Berbeda dengan kebijakan moneter yang memiliki indikator dan target
pencapaian kebijakan yang terukur (seperti nilai tukar dan suku bunga), indikator
dan target pencapaian kebijakan makroprudensial relatif sulit untuk diukur.
Pencapaian stabilitas sistem keuangan tidak dapat diukur hanya dengan
menggunakan
single
indicator,
tetapi
diperlukan
pula
indikator-indikator
pendukung. Begitu juga dengan upaya mitigasi risiko sistemik. Dalam mencegah
build-up risiko sistemik, diperlukan serangkaian indikator monitoring dan metode/
tools pengukuran risiko sistemik yang mampu menangkap sinyal imbalances dan
yang dapat menilai potential losses. Hal itu sejalan dengan penelitian BCBS (2012)
yang menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada metode kuantitatif (model)
yang secara komprehensif dapat mengukur risiko sistemik pada sistem keuangan,
selain model dan metodologi yang menilai satu atau beberapa aspek risiko sistemik
secara terpisah.
5
Paparan di atas menjadi latar belakang kajian ini. Tujuan kajian ini adalah
pengidentifikasian indikator monitoring dan metode/tools pengukuran risiko
sistemik. Adapun kontribusi utama kajian ini ialah menghasilkan kerangka kerja
identifikasi, monitoring, dan pengukuran risiko sistemik yang dapat menjadi acuan
dalam pengawasan dan perumusan kebijakan makroprudensial di BI, yang
selanjutnya disebut dengan
kerangka
pengukuran
risiko
sistemik/KPRS
(systemic risk measurement framework). Selain alasan tersebut, identifikasi juga
diperlukan sebagai referensi dalam pengembangan indikator dan metode/tools ke
depan. Referensi ini diperlukan untuk memastikan agar pengukuran risiko sistemik
dilakukan dengan indikator dan metodologi yang tepat sehingga tidak menimbulkan
interpretasi yang keliru—misalnya dalam bentuk bias, over-estimation, atau underestimation—terhadap risiko sistemik yang terjadi di sistem keuangan. Kekeliruan
pengukuran risiko sistemik juga dapat terjadi jika cakupan penilaian tidak memadai
untuk dapat menarik simpulan mengenai risiko sistemik.
Pembahasan dalam kajian diawali dengan ulasan mengenai karakteristik alat
ukur risiko sistemik yang meliputi indikator monitoring dan metode pengukuran.
Selanjutnya, pembahasan difokuskan pada penyusunan KPRS di BI yang secara
umum dikelompokkan berdasarkan tipe alat ukur, dimensi alat ukur, dan fase
pembentukan risiko sistemik. Sementara itu, bahasan mengenai fase pembentukan
risiko sistemik dari dimensi time-series yang dikaitkan dengan siklus keuangan
akan diulas pada bagian selanjutnya. Kajian juga dilengkapi dengan informasi
mengenai metode pengukuran risiko sistemik yang digunakan oleh beberapa bank
sentral pada bagian terakhir.
6
II. KARAKTERISTIK ALAT UKUR RISIKO SISTEMIK
Risiko sistemik adalah risiko yang berasal dan menular melalui sektor
finansial, antara lain, akibat kurangnya solvabilitas atau buffer likuiditas pada
institusi finansial yang berpotensi menimbulkan dampak yang parah pada
intermediasi finansial dan ekonomi riel (Blancher et al., 2013). Dalam penelitian
yang sama, risiko sistemik diidentifikasi terbentuk melalui 3 (tiga) fase, yang setiap
fasenya diperlukan alat ukur yang berbeda-beda. Pertama adalah fase build up
dengan gejala overheating pada sistem keuangan yang ditandai dengan boom (harga)
aset, pertumbuhan kredit yang konsisten tinggi, atau perkembangan financial
innovation yang cepat. Alat ukur risiko sistemik pada fase ini difokuskan untuk
menilai kemungkinan (probabilitas) terjadinya dampak sistemik dan indikator
pendeteksian krisis keuangan secara dini (early warning indicator). Ciri khas
metodologi dalam fase ini adalah fokus pada sektor tertentu dalam sistem keuangan
atau fokus pada sebuah indikator yang mewakili perilaku ambil untung dari pelaku
pasar. Contoh pengukuran dalam fase ini adalah pengukuran probabilitas
terjadinya krisis dengan menggunakan kinerja sektor perbankan dan penggunaan
indikator rasio kredit terhadap GDP untuk menilai siklus keuangan.
Tahap kedua adalah fase shock materialized. Fase ini merupakan fase awal
krisis yang ditandai dengan munculnya shock/tekanan pada sistem keuangan
(contohnya rasio GDP/fiscal shock, tekanan nilai tukar, tekanan harga properti,
atau kegagalan salah satu systemically-important financial institutions (SIFI)). Alat
ukur risiko sistemik pada fase ini difokuskan pada asesmen terhadap potensi
kerugian dalam sistem keuangan maupun sektor riel dengan asumsi terjadi stres
atau kegagalan. Metode penilaian yang telah mulai banyak digunakan oleh otoritas
keuangan maupun institusi keuangan dalam mengukur gap atau selisih dari potensi
kerugian dalam kondisi stres atau default terhadap kemampuan untuk menyerap
risiko yang diwakili oleh buffer likuiditas atau permodalan. Metodologi yang telah
sering diimplementasikan oleh otoritas keuangan dan institusi keuangan untuk
mengukur risiko sistemik jika sistem keuangan memasuki fase ini adalah metode
loss given default atau model stress testing.
Fase terakhir adalah fase amplification and propagation yang merupakan
meluasnya dampak krisis, baik antara institusi keuangan, pasar keuangan,
maupun sektor lain, bahkan hingga sistem keuangan negara lain. Alat ukur risiko
7
sistemik pada fase ini difokuskan pada interconnectedness dan konsentrasi
eksposur dalam sistem keuangan, potensi fire sale terhadap aset-aset keuangan,
dan asesmen crossborder exposures. Dengan kata lain, metode pengukuran yang
paling tepat, antara lain, adalah (1) metode yang dapat memberikan penilaian
mengenai dampak sistemik sebagai akibat kegagalan salah satu elemen sistem
keuangan, atau yang disebut analisis dampak sistemik (systemic impact analysis);
serta (2) metode penilaian tingkat kerugian sebagai akibat terjadinya penularan
(contagion analysis).
Tabel 1. Metode Pengukuran untuk Tiap Fase Penyebaran Risiko Sistemik
Fase
Metode Pengukuran/Penilaian
Build up
1. Probabilitas terjadinya krisis
2. Early Warning Indicator
Shock materialized
(systemic event)
1. Loss Given Default
2. Stress Testing
Amplification and
propagation
1. Analisis Dampak Sistemik
2. Contagion Analysis
amplification
&
propagation
shock
materialization
build up
phase
(Blancher,et al, 2013)
Gambar 1. Tahap Penyebaran Risiko Sistemik
Sementara
dalam
penelitian
lain
(Gunadi
et
al.,
2014),
transmisi
terbentuknya risiko sistemik dijelaskan melalui sudut pandang yang berbeda, yakni
melalui jalur balance sheet, financial market, real sector, infrastructure, dan market
confidence (lihat Gambar 2). Identifikasi alat ukur dapat dilakukan dengan
menggunakan indikator yang tersedia di tiap-tiap jalur penyebaran risiko tersebut,
sebagai contoh, dalam jalur balance sheet digunakan indikator neraca institusi
8
keuangan, dalam jalur financial market (pasar keuangan) digunakan indikator
indeks harga di pasar keuangan, dalam jalur real sector (sektor riel) digunakan
kinerja korporasi dan rumah tangga, dalam jalur infrastruktur digunakan indikator
sistem pembayaran, dan dalam jalur market confidence digunakan indikator tingkat
kepercayaan masyarakat yang dapat diperoleh dari survei.
Sumber: Gunadi et. al. (2014)
Gambar 2. Transmisi Risiko Sistemik
Selanjutnya,
berdasarkan
kajian
teoretis,
pembahasan
mengenai
karakteristik alat ukur risiko sistemik dapat dijelaskan melalui dua pendekatan,
yaitu indikator pemonitoran (monitoring) dan metode/tools pengukuran sebagai
berikut.
2.1 Indikator Pemantauan (Monitoring)
Indikator merupakan sarana yang digunakan untuk monitoring suatu kondisi
atau perkembangan. Dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan melalui
mitigasi risiko sistemik, indikator dapat digunakan sebagai sarana monitoring untuk
9
identifikasi
sinyal
imbalances
(ketidakseimbangan)
dalam
pengawasan
makroprudensial ataupun sebagai sarana monitoring dalam implementasi instrumen
kebijakan makroprudensial. Oleh karena itu, pemahaman yang baik mengenai
indikator mempengaruhi keakuratan pengawasan dan ketepatan implementasi
kebijakan. Berdasarkan pendapat Wolken (2013), indikator dalam proses identifikasi
pembentukan risiko sistemik hendaknya memenuhi persyaratan indikator yang
baik, yaitu sebagai berikut:
(i)
relevance (relevan), yang berarti memiliki kemampuan untuk menggambarkan
kondisi perekonomian real dan sistem keuangan dengan benar;
(ii)
collectable (dapat dikumpulkan/diperoleh), yakni indikator yang dapat
digunakan secara kontinyu dalam jangka waktu panjang;
(iii)
comprehensive and dynamic (komprehensif dan dinamis), yang berarti indikator
dapat mencakup seluruh sistem keuangan dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan waktu;
(iv)
forward looking (berorientasi ke masa depan), yang merupakan early warning
indicators sehingga memberikan waktu yang cukup bagi otoritas untuk
mengambil tindakan; serta
(v)
accurate (akurat) yang berarti memiliki kesalahan paling kecil dalam memberi
sinyal, termasuk sinyal yang salah. Berikut detail pembahasan karakteristik
indikator monitoring risiko sistemik.
2.1.1 Indikator Monitoring Berdasarkan Arah
Abel & Bernanke (2001) mengelompokkan indikator berdasarkan arah yang
menggunakan siklus bisnis sebagai referensi, yaitu sebagai berikut.
a. Procyclical indicator
Sumber: KSK No.25 (2015)
Gambar 3. Contoh Perilaku Procyclicality dalam Sistem Keuangan Indonesia
10
Procyclical
indicator
adalah
indikator
yang
bergerak
searah
dengan
pergerakan siklus bisnis atau kegiatan perekonomian agregat, baik ketika terjadi
ekspansi maupun kontraksi. Salah satu contoh indikator yang memiliki sifat
prosiklikal adalah pertumbuhan kredit perbankan. Berdasarkan Kajian Stabilitas
Keuangan (KSK) No. 25 tahun 2015, perbankan Indonesia mengalami perlambatan
pertumbuhan kredit hingga akhir 2015 sebagai akibat dari ketidakpastian dan
perlambatan ekonomi global dan domestik. Adanya perilaku prosiklikal antara
pertumbuhan kredit dan laju perekonomian ini ditunjukkan dengan penurunan laju
pertumbuhan aset, salah satunya melalui peningkatan lending standard untuk
menahan penyaluran kredit.
b. Countercyclical indicator
Selain indikator yang bergerak searah, terdapat indikator yang bergerak
berlawanan dengan siklus bisnis atau kegiatan perekonomian agregat, baik ketika
terjadi ekspansi maupun kontraksi. Indikator itu disebut dengan indikator
countercyclical. Salah satu contoh indikator yang memiliki sifat countercyclical
adalah non-performing loan (NPL). Ketika perekonomian melambat, risiko kredit
perbankan akan meningkat akibat penurunan kemampuan masyarakat untuk
membayar kredit.
c. Acyclical indicator
Indikator acyclical merupakan indikator yang bergerak tanpa adanya
hubungan yang jelas dengan siklus bisnis. Indikator itu jarang ditemukan karena
dinilai kurang mampu untuk menjelaskan behavior atau keadaan dalam sistem
keuangan.
2.1.2 Indikator Pemonitoran (Monitoring) Berdasarkan Waktu
Berdasarkan waktu interpretasi, yaitu dengan membandingkan turning point
(peak dan trough) indikator dengan turning point siklus bisnis, Abel dan Bernanke
(2001) mengelompokkan indikator menjadi tiga kelompok sebagai berikut.
a. Leading indicator
Sebuah indikator dikatakan sebagai leading indicator apabila indikator
tersebut bergerak terlebih dahulu sebelum perekonomian agregat bergerak, dalam
pengertian peak atau trough indikator terjadi terlebih dahulu sebelum peak atau
trough perekenomian agregat terjadi. Salah satu contoh indikator yang bersifat
11
leading adalah market return yang akan mengalami penurunan terlebih dahulu
sebelum
perekonomian
melambat
dan
sebaliknya.
Jika
ditinjau
dari
sisi
penggunaan, indikator yang bersifat leading memiliki potensi untuk memprediksi
pergerakan ekonomi ke depan dan sebagai early warning indicators. Hal itu
dikarenakan indikator yang bersifat leading akan berubah arah terlebih dahulu jika
dibandingkan dengan perekonomian agregat, sebagai contoh penurunan harga aset
merupakan early warning indicator (EWI) terhadap perlambatan ekonomi.
b. Coincident indicator
Indikator dengan peak atau trough yang terjadi hampir bersamaan dengan
peak atau trough siklus bisnis disebut sebagai coincident indicator. Beberapa
indikator ekonomi seperti GDP, indeks produksi, gaji, dan penjualan ritel
merupakan contoh dari indikator coincident. Berbeda dengan indikator leading,
indikator coincident menyediakan informasi terkait kondisi perekonomian yang
sedang terjadi.
c. Lagging indicator
Indikator dengan peak atau trough yang terjadi setelah peak atau trough
siklus bisnis dinamakan lagging indicator. Indikator lagging biasanya digunakan
sebagai alat ukur terhadap kondisi yang telah terjadi, sebagai contoh: indikator
keuntungan perusahaan merupakan alat ukur performa dari perusahaan tersebut
dan angka penggangguran biasanya berubah setelah beberapa triwulan perubahan
siklus
bisnis.
Kendati
indikator
lagging
cenderung
mengikuti
pergerakan
perekonomian daripada memimpinnya, Baumohl (2013) berpendapat bahwa
indikator lagging tetap memiliki andil untuk masa yang akan datang. Rasio
inventaris terhadap penjualan yang rendah akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi
karena perusahaan akan meningkatkan jumlah persediaan, dan sebaliknya
kenaikan rasio tersebut dapat menandai perlambatan perekonomian.
Baumohl (2013) mengatakan bahwa penggunaan leading, coincident, dan
lagging indicator secara bersamaan akan memberikan gambaran yang lebih lengkap
terkait sistem keuangan dan risiko sistemik, misalnya adalah Conference Board
(CB), sebuah lembaga riset yang menghitung beberapa indeks berdasarkan data
perekonomian Amerika setiap bulan, yaitu (i) leading economic indicators (LEI) yang
disusun dengan menggunakan 7 (tujuh) indikator nonfinansial (contoh: average
hourly workweek in manufacturing) dan 3 (tiga) indikator finansial (contoh: leading
credit index); (ii) lagging indicator index (LII) yang terdiri atas 7 (tujuh) indikator
12
(contoh: average duration of unemployment), dan (iii) Coincident Indicator Index (CII)
yang terdiri atas 4 (empat) indikator (contoh: employees in nonagricultural payrolls).
Ketiga indeks di atas menggunakan bobot yang berbeda-beda untuk setiap
komponen
penyusunnya.
Indeks
LEI
didesain
untuk
memprediksi
arah
perekonomian Amerika Serikat, sedangkan LII digunakan untuk mengonfirmasi
bagian dari siklus bisnis yang telah terlewati. Ketiga indeks ini selanjutnya dapat
digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap terkait dengan kondisi
ekonomi. Penurunan indeks LEI selama 4 (empat) bulan dalam 7 (tujuh) bulan dan
penurunaan CII secara berurutan dalam 3 (tiga) bulan dapat memberikan
peringatan akan datangnya resesi ekonomi.
2.1.3 Indikator Monitoring Berdasarkan Komponen Pembentuk
Berdasarkan pembentukannya, indikator dapat dibedakan menjadi
dua,
yaitu single indicator dan composite indicator.
a. Single indicator
Single indicator disusun berdasarkan beberapa data menggunakan metode
pengolahan
yang
sederhana.
Umumnya
single
indicator
digunakan
untuk
menangkap satu pergerakan atau kondisi dalam sistem keuangan. Contoh single
indicator adalah rasio NPL sebagai salah satu indikator risiko kredit dan rasio alat
likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sebagai indikator risiko likuiditas.
b. Composite indicator
OECD (2008) dalam kajiannya menyebutkan bahwa composite indicator
merupakan indikator yang disusun dengan menggabungkan lebih dari beberapa
indikator berdasarkan sebuah model tertentu. Composite indicator dinilai mampu
mengukur
konsep
multidimensi
seperti
competitiveness,
industrialisasi,
sustainabilitas, dan integrasi pasar yang tidak dapat diukur oleh single indicator.
Bahasan lain terkait dengan composite indicator sebagaimana disampaikan oleh
Gadanecz dan Jayaram (2009) yang berpendapat bahwa composite indicator dapat
menangkap interaksi dari single indicator sehingga dapat menggambarkan interaksi
antarsektor dalam sistem finansial. Penggabungan beberapa indikator dalam
sebuah composite indicator biasanya menggunakan pembobotan dan dihitung dalam
bentuk indeks. Indikator yang dipandang memiliki kontribusi lebih besar akan
diberikan bobot yang lebih besar dan sebaliknya. Salah satu contoh composite
13
indicator adalah Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) yang digunakan BI untuk
menilai kondisi stabilitas sistem keuangan dalam pengawasan makroprudensial.
Kelemahan dari indeks ini adalah sifatnya yang lebih sebagai prompt indicator.
Composite indicator kurang dapat diproyeksikan ke depan, kecuali jika seluruh
indikator pembentuknya juga dapat diproyeksikan ke depan. Selain itu, composite
indicator pun biasanya terdiri atas indikator yang frekuensinya cukup tinggi
sehingga cukup dinamis dan sulit diproyeksikan. Selain itu, untuk memberikan
informasi mengenai kondisi stres atau krisis, composite indicator dapat dilengkapi
dengan threshold yang ditentukan dengan referensi kejadian stres atau krisis pada
masa lalu. Penggunaan referensi historis ini akan mengurangi kemampuan indeks
atau composite indicator dalam memprediksi kondisi stres atau krisis yang
direpresentasikan oleh kombinasi kondisi-kondisi di sistem keuangan yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, pembentukan composite indicator juga
terkadang menerapkan asumsi distribusi tertentu, misalnya distribusi normal.
Kelemahan dari asumsi ini adalah ketidakcocokan distribusi yang diasumsikan
dengan sebaran data yang seharusnya terjadi.
2.2
Metode Pengukuran
Selain indikator monitoring, mitigasi atas build-up risiko sistemik dapat pula
dilakukan
dengan
menggunakan
metode/tools
pengukuran.
Metode/tools
pengukuran risiko sistemik merupakan model yang dikembangkan dan dibangun
dengan tujuan untuk melihat potential impact yang ditimbulkan dari sebuah risiko.
Beberapa contoh metode pengukuran risiko sistemik adalah conditional value at risk
(CoVaR), marginal expected shortfall (MES), dan network analysis. Meskipun
dikategorikan sebagai alat pengukuran risiko sistemik, penggunaan alat ukur
tersebut dapat bervariasi bergantung pada aspek risiko sistemik yang hendak
diukur. Sebagai contoh beberapa penelitian sebelumnya yang mengukur risiko
sistemik melalui mekanisme yang lebih spesifik, yaitu imbalances (Caballero, 2009),
spill over kepada ekonomi real (Group of Ten, 2001), eksposur yang berkorelasi
(Acharya, Pedersen, Philippon, and Richardson, 2010), disrupsi informasi (Mishkin,
2007), gelembung harga aset (Rosengren, 2010), dan feedback behavior (Kapadia,
Dhrehmann, Elliott, and Sterne, 2009).
Penggunaan metodologi pengukuran semacam ini biasanya hanya bisa fokus
pada suatu risiko tertentu dan cenderung kurang dapat merepresentasi kondisi
14
sistem keuangan secara komprehensif, seperti yang dapat direpresentasikan oleh
composite indicator. Penggunaan indikator tertentu dalam metodologi pengukuran
semacam ini juga kurang dapat merepresentasikan interaksi antarelemen yang
terjadi dalam sistem keuangan sehingga terkesan hanya dapat merepresentasikan
risiko sektoral. Namun, dengan landasan teori mengenai transmisi risiko sistemik,
penggunaan metodologi pengukuran ini dapat secara intuitif memberikan informasi
mengenai kondisi sistem keuangan yang diwakili oleh satu indikator tertentu.
Variasi mekanisme yang digunakan untuk mengukur risiko sistemik
menunjukkan bahwa dibutuhkan lebih dari satu pengukuran untuk dapat
menangkap kompleksitas dari sistem keuangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu
kerangka yang robust untuk pengawasan dan mengendalikan stabilitas sistem
keuangan yang menggabungkan berbagai perspektif dan proses berkelanjutan
untuk terus mengevaluasi sistem keuangan yang terus berkembang dan risiko
sistemik yang beradaptasi dengan perubahan pada sistem keuangan. Beberapa
bank sentral negara lain telah mengembangkan kerangka analisis untuk mengukur
risiko sistemik, seperti Risk Assessment Model of Systemic Institutions (RAMSI) yang
dikembangkan oleh Bank of England (BoE), Systemic Risk Model (SRM) yang
dikembangkan oleh bank sentral Austria, Macro Financial Risk Assessment
Framework (MFRAF) yang dikembangkan oleh bank sentral Kanada dan Systemic
Risk Assessment Model for Macroprudential Policy (SAMP) yang dikembangkan oleh
Bank of Korea (BoK).2
2
Lebih detail dibahas pada Appendix.
15
III. KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK DI BANK INDONESIA
Kerangka Pengukuran Risiko Sistemik (KPRS) merupakan bagian dari
keseluruhan kerangka kebijakan makroprudensial yang disusun dengan kontribusi
sebagai berikut:
a. KPRS menjamin perolehan data dan informasi yang tepat mengenai kondisi
stabilitas sistem keuangan. KPRS yang baik mampu memberikan informasi yang
tepat mengenai sumber permasalahan sebagai modal utama dalam upaya
mitigasi risiko sistemik;
b. KPRS mendukung perolehan informasi yang secepat mungkin untuk mencegah
terjadinya eskalasi risiko sistemik dengan cara mendeteksi permasalahan di
sistem keuangan sedini mungkin sehingga mampu mencegah terjadinya risiko
sistemik atau krisis keuangan;
c. KPRS mendukung pelaksanaan protokol manajemen krisis (PMK) dalam
memberikan data dan informasi yang akurat dan cepat untuk mendukung
pengambilan keputusan yang harus dilakukan dalam waktu cepat; dan
d. KPRS juga mendukung pelaksanaan evaluasi kebijakan makroprudensial untuk
memastikan implementasi kebijakan berjalan sesuai dengan tujuannya serta
mendeteksi unintended consequences yang bersifat kontraproduktif sehingga
langkah-langkah untuk perbaikan kebijakan/instrumen dapat dilakukan
segera.
Kerangka Pengukuran Risiko Sistemik
Tipe Alat Ukur
1. Indikator monitoring
2. Model-based
Dimensi
1. Cross Section
2. Time Series
Tahapan
Pembentukan
Risiko Sistemik
1. Munculnya sumber
gangguan
2. Menyebarnya sumber
gangguan menjadi risiko
3. Systemic event
Gambar 4. Kerangka Pengukuran Risiko Sistemik
16
Secara umum KPRS di BI tampak sebagaimana disampaikan pada Gambar
4. Berdasarkan gambar tersebut, terdapat tiga klasifikasi utama atas alat ukur
risiko sistemik di BI. Pertama, klasifikasi berdasarkan tipe atau jenis alat ukur,
yakni dapat berupa indikator dan hasil pengembangan metode pengukuran
tertentu. Kedua, klasifikasi berdasarkan dimensi cross section dan time series.
Ketiga, klasifikasi berdasarkan tahapan pembentukan risiko sistemik, yakni
tahapan munculnya sumber gangguan, tahapan penyebaran sumber gangguan
dalam sistem keuangan, serta tahapan pengukuran (potensial) dampak yang
ditimbulkan (systemic event).
3.1. Tipe Alat Ukur
Secara umum, alat ukur risiko sistemik dapat berupa indikator dan hasil
pengembangan atas metode pengukuran risiko sistemik. Dalam pengawasan
makroprudensial, indikator dapat digunakan pada tahapan monitoring, stress
identification, dan risk assessment. Indikator yang digunakan untuk pemantauan
(monitoring) umumnya adalah indikator sederhana, yang berasal dari laporan
keuangan institusi keuangan serta data pasar keuangan yang tersedia secara
publik. Indikator itu digunakan untuk mendeteksi vulnerability yang terdapat secara
mikrofinansial serta mendeteksi shock yang bersifat idiosyncratic dan systematic.
Selain
indikator
sistem
keuangan,
pemantauan
dalam
pengawasan
makroprudensial juga mengharuskan pengumpulan data makrofinansial untuk
mendeteksi vulnerability dan shock yang bersumber dari kondisi makroekonomi.
Adapun pemrosesan data yang dilakukan dalam tahap pemantauan biasanya hanya
dalam bentuk perhitungan rasio-rasio yang menggambarkan kinerja sistem
keuangan, contohnya: non-performing loans, capital adequacy ratio.
Sementara itu, indikator yang digunakan pada tahapan identifikasi dan
penilaian risiko sistemik pada dasarnya sudah diolah melalui metodologi tertentu
bergantung pada risiko yang akan diidentifikasi dan dinilai. Metodologi tersebut
memasukkan juga sejumlah interpretasi dan asumsi oleh peneliti yang membangun
metodologi yang bersangkutan untuk menghasilkan pengukuran terhadap risiko
tertentu. Misalnya, asumsi terhadap data yang berdistribusi normal paling sering
digunakan untuk penggunaan model-model statistik. Namun, terdapat juga
beberapa model pengukuran risiko sistemik yang tidak menggunakan asumsi
distribusi normal, misalnya menggunakan clustering.
17
Selain penggunaan indikator, dalam proses identifikasi dan penilaian risiko
sistemik, diperlukan pula pengembangan metode pengukuran yang lebih kompleks,
terutama karena representasi variabel yang diukurnya. Dalam beberapa metodologi
pengukuran,
risiko
sistemik
harus
diukur
dengan
menggabungkan
atau
mentransmisikan sejumlah indikator. Pengembangan itu dapat berupa penyusunan
indeks yang menggabungkan berbagai indikator kinerja dalam sistem keuangan
sebagaimana dilakukan oleh beberapa bank sentral (lihat Tabel 2). Di BI sendiri
telah dikembangkan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan/ISSK (Gunadi et al. 2013,
dan Gunadi et al. 2015).
Tabel 2. Indeks Sistem Keuangan yang Dikembangkan Negara Lain
Sumber: Gunadi et. al. (2015)
Penggunaan indeks menjadi relatif populer di antara bank sentral dan
otoritas keuangan. Hal itu disebabkan pembentukan indeks lebih mudah
dipertanggungjawabkan dan dimengerti oleh banyak pihak. Indeks dapat mencakup
seluruh
atau
sebagian
sistem
keuangan
yang
cukup
signifikan
dalam
18
merepresentasikan keseluruhan kondisi stabilitas sistem keuangan. Dengan
dilengkapi threshold, indeks juga dapat digunakan sebagai sinyal peringatan jika
kondisi SSK menuju pemburukan sehingga diperlukan upaya-upaya mitigasi risiko
segera. Oleh karena itu, indeks dapat juga digunakan sebagai indikator untuk
protokol manajemen krisis (crisis management protocols).
Selanjutnya, pengembangan metode (model) pengukuran risiko sistemik juga
dilakukan
dengan
menggunakan
transmisi
sejumlah
indikator
melalui
pengembangan sejumlah modul atau model (RAMSI, SRM, MFRAF, dan SAMP)3.
Kelebihan dari membangun model adalah risiko sistemik dapat ditransmisikan
secara sistematis ke seluruh sistem keuangan dengan mempertimbangkan semua
aspek yang perlu dimasukkan dalam pengukuran risiko sistemik, sedangkan
kelemahannya adalah model penilaian risiko sistemik pada dasarnya ada datadriven atau sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data sistem keuangan. Sepanjang
permasalahan data gap masih dialami dalam bidang stabilitas sistem keuangan,
penggunaan model dalam mengukur risiko sistemik harus dilakukan secara berhatihati karena ada bagian-bagian sistem keuangan atau transmisi risiko sistemik yang
tidak dapat direpresentasikan dalam model.
3.2 Dimensi Alat Ukur
Dalam perspektif makroprudensial, risiko dapat dikelompokkan menjadi 2
(dua) dimensi, time series dan cross section. Dimensi time series menekankan pada
bagaimana risiko dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk
evolusi dengan sektor ekonomi (procyclicality). Sementara itu, dimensi cross section
menekankan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu
periode tertentu yang disebabkan oleh kesamaan eksposur (consentration risk)
dan/atau
interlink
dalam
sistem
keuangan
(contagion
risk).
Akibatnya,
permasalahan yang terjadi di satu institusi keuangan dapat berakibat negatif pada
institusi keuangan lainnya, baik melalui saluran langsung maupun tidak langsung.
Pengukuran
risiko
sistemik
menggunakan
dimensi
time
series
merepresentasikan perkembangan dari suatu indikator risiko sistemik dari waktu
ke waktu. Dalam hal ini, pengukuran dari waktu ke waktu tersebut dapat
menggunakan indikator dengan frekuensi yang relatif rendah, misalnya kuartalan,
tetapi bisa juga menggunakan indikator yang frekuensinya relatif tinggi, seperti
3
Lebih detail disampaikan pada Appendix.
19
indikator pasar keuangan yang selalu berubah dari menit ke menit, bahkan dari
detik ke detik. Dalam frekuensi yang lebih rendah, risiko sistemik yang diukur
umumnya merupakan indikator ketidakseimbangan dalam intermediasi atau
perilaku ambil risiko (imbalances). Sebagai contoh, Drehman et al. (2012)
membangun indikator siklus finansial yang merepresentasikan perilaku ambil risiko
dari pelaku pasar sehubungan dengan reaksinya terhadap kondisi perekonomian.
Indikator yang dibangun dari pengukuran dengan frekuensi data yang lebih rendah
itu umumnya digunakan untuk menangkap perilaku prosiklikalitas dari agen
keuangan. Untuk frekuensi yang lebih tinggi dapat diambil contoh pengukuran
volatilitas harga aset di pasar keuangan yang merepresentasikan risiko pasar yang
bersangkutan.
Dari sisi cross section, pada suatu waktu pengukuran risiko sistemik perlu
menangkap kondisi elemen sistem keuangan yang berbeda-beda, misalnya indikator
permodalan individual bank pada satu waktu tertentu merepresentasikan
ketahanan sektor perbankan di bulan tersebut. Demikan pula, kondisi NPL
perbankan yang diagregasi dari angka NPL individual perbankan merepresentasikan
risiko kredit sektor perbankan. Indikator yang bersifat cross sectional digunakan
untuk menangkap risiko sistem keuangan sebagai akibat dari konsentrasi pada
portofolio atau sektor ekonomi dan bisnis tertentu. Selain itu, risiko yang datangnya
dari efek penularan (contagion effect) dari risiko sistemik sebagai akibat dari
interkoneksi antaragen keuangan juga membutuhkan data yang bersifat cross
sectional. Misalnya, interbank stress testing membutuhkan data eksposur interbank
dari semua bank pada satu waktu tertentu untuk mengukur dampak kegagalan
suatu bank kepada bank yang lainnya. Selanjutnya, sejumlah metodologi
pengukuran risiko sistemik menggabungkan data kedua dimensi ini dengan cara
menggunakan panel data untuk memperoleh dinamika dari kedua dimensi itu
sekaligus. Misalnya, credit risk stress testing menggunakan model yang dibangun
dari panel data bank. Penggunaan panel data ini mampu memfasilitasi heterogenitas
dari bank sekaligus menangkap perilaku sektor perbankan secara bersamaan dalam
menghadapi kondisi makroekonomi.
3.3 Fase Pembentukan Risiko Sistemik
Risiko sistemik terbentuk melalui tiga tahapan sebagaimana diilustrasikan
pada Gambar 5. Pada gambar tersebut tampak tahapan pembentukan risiko
sistemik yang diilustrasikan dengan menggunakan sejumlah terminologi yang biasa
20
digunakan dalam bidang sistem keuangan dan makroprudensial, yakni terdiri atas
(i) tahapan pemunculan sumber gangguan yang melibatkan kombinasi antara shock
dan profil risiko yang buruk (vulnerability), tahapan itu sering disebut fase build-up;
(ii) tahapan penyebaran sumber gangguan dalam sistem keuangan hingga menjadi
risiko; serta (iii) tahapan pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic
event).
Pada tahapan pertama, alat ukur risiko sistemik digunakan dengan tujuan
untuk mengidentifikasi sumber gangguan. Dalam hal ini, sumber gangguan
dikategorikan
menjadi
dua,
yaitu
shock
dan
vulnerability.
Risiko
akan
termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability; dan akan memiliki
dampak sistemik apabila tidak diimbangi dengan tingkat ketahanan (resilience) yang
memadai. Berdasarkan Bernanke (2013), shock merupakan peristiwa tertentu yang
memicu (membarengi) terjadinya krisis (the proximate causes). Sementara itu,
vulnerability diasosiasikan dengan kondisi (preexisting feature) sistem keuangan
yang dapat memperkuat (amplify) dan mempercepat penyebaran shock. Selanjutnya,
risiko sistemik terbentuk melalui interaksi antara shock dari luar dan vulnerabilities
yang menjadi karakteristik dari sistem keuangan itu sendiri.
Sumber gangguan
VULNERABILITY (RISK PROFILE)
Dimension
Cross section:
- concentration risk
- contagion risk
Time series:
- procyclicality risk
1
SHOCK
2
Type of Risk
Market risk
Credit risk
Liquidity risk
Operational risk
3
Transmisi
Risk in financial system
4
Yes
Stable Financial
System
Resilient?
Check
liquidity &
solvency
buffer
Dampak
No
SYSTEMIC RISK
Potential Impact
Temporary
Structural
Gambar 5. Pembentukan Risiko Sistemik
Identifikasi shock (Gambar 5) dilakukan dengan mengukur indikator stress
dalam sistem keuangan dengan menggunakan early warning system (EWS) yang
lazimnya terdiri atas prompt dan near crisis indicator sebagai leading indicator.
Namun, terdapat kemungkinan adanya kelemahan EWS dalam mendeteksi shock,
21
yakni apabila shock yang terjadi merupakan akibat dari bentuk interaksi yang baru
di dalam sistem keuangan sehingga belum tercakup dalam EWS yang digunakan4.
Sementara itu, vulnerability merupakan karakteristik elemen sistem keuangan yang
berupa simpul kerawanan yang mengamplifikasi dan mempropagasi shock awal
sehingga berpotensi untuk memperbesar shock pada sistem keuangan. Terdapat
dua jenis vulnerability dalam sistem keuangan, yakni vulnerability yang merupakan
karakteristik dasar setiap elemen (contoh: sifat maturity mismatch dari institusi
keuangan); serta vulnerability yang muncul akibat kegiatan bisnis elemen sistem
keuangan (cumulative behavior), seperti penyaluran kredit yang secara terus
menerus terkonsentrasi pada sektor tertentu. Secara umum identifikasi vulnerability
dilakukan melalui risk profiling atas perilaku setiap elemen dalam sistem keuangan,
yaitu dengan mengukur kinerja dan risiko elemen-elemen tersebut5. Identifikasi
vulnerability mencakup dimensi time series dan cross section dengan menggunakan
pendekatan risiko sistem keuangan, yakni kredit, likuiditas, pasar, dan operasional
(Gambar
5).
Identifikasi
vulnerabilities
melalui
pendekatan
risiko
kredit
merefleksikan risiko yang muncul dari fungsi intermediasi sistem keuangan.
Sementara itu, pendekatan risiko pasar diukur karena keterkaitan elemen sistem
keuangan pada aset keuangan yang diperdagangkan di pasar keuangan yang
mentransmisikan harga aset, tingkat bunga, dan nilai tukar (untuk aset dalam
valuta asing), sedangkan identifikasi vulnerabilities melalui pendekatan risiko
likuiditas akan mewakili kemampuan elemen sistem keuangan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek. Sementara itu, identifikasi melalui pendekatan risiko
operasional dilakukan berkaitan dengan fungsi sistem keuangan dalam memberikan
jasa keuangan seperti penyediaan media untuk sistem pembayaran, penyediaan
pembiayaan untuk sektor-sektor ekonomi, atau pemberian fasilitas untuk
EWS dikembangkan untuk mendeteksi shock atau krisis keuangan dengan menggunakan
beberapa pilihan indikator yang secara historis dapat menjadi leading indicator atau
indikator awal dari terjadinya shock dan/atau krisis. Jika shock dan krisis yang terjadi belum
pernah terjadi pada masa lalu dan diindikasikan dengan leading indicator yang berbeda
dengan EWS yang telah digunakan, masih ada kemungkinan shock/krisis yang tidak dapat
dideteksi secara dini. Sebagai contoh, kasus subprime mortgage crisis pada tahun 2007
menjadi shock yang tidak terdeteksi karena rendahnya transparansi dalam perdagangan
structured products pada saat itu.
4
Berdasarkan PBI No. 16/11/PBI/2015 perihal Pengaturan dan Pengawasan
Makroprudensial, sistem keuangan adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan,
pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga
yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan perekonomian.
Merujuk pada definisi di atas, yang dimaksud dengan elemen sistem keuangan adalah
institusi keuangan, baik bank maupun non-bank, pasar dan infrastruktur keuangan, serta
institusi non-keuangan dan rumah tangga
5
22
pengelolaan likuiditas dalam mata uang domestik atau valuta asing. Tabel 3
menunjukkan
contoh
identifikasi
vulnerabilities
sektor
perbankan
melalui
pendekatan risiko di atas.
Pada tahap kedua dalam fase pembentukan risiko sistemik, risiko akan
termaterialisasi
dalam
sistem
keuangan
ketika
shock
berinteraksi
dengan
vulnerabilities (Gambar 5). Interaksi di antara kedua jenis sumber gangguan
tersebut menghasilkan kombinasi probabilitas sebagai berikut.
a. Jika tidak ada shock dan tidak ada vulnerability, tidak terjadi potensi risiko
sistemik.
b. Jika ada shock, tetapi tidak ada vulnerability, terdapat peningkatan probabilitas
terjadinya risiko sistemik relatif terhadap kondisi normal karena masih
dimungkinkan terdapat unknown vulnerability. Krisis keuangan masih dapat
dihindari karena elemen-elemen sistem keuangan akan memiliki ketahanan yang
cukup untuk menyerap risiko. Sebagai contoh, pada waktu terjadi tekanan pada
likuiditas global seperti yang terjadi pada kuartal terakhir tahun 2008,
perbankan Indonesia secara system-wide sanggup menyerap risiko yang terjadi
karena tidak terdapat vulnerability yang dapat menghasilkan risiko sistemik.
c. Jika tidak ada shock, tetapi ada vulnerability, probabilitas risiko sistemik akan
meningkat. Namun, seperti pada kombinasi sebelumnya, krisis keuangan pun
masih dapat dihindari karena tidak ada trigger yang meng-ekspos vulnerability
tersebut. Dalam kondisi ini, vulnerability telah terbentuk karena akumulasi risiko
dari perilaku ambil risiko pada saat siklus keuangan berada dalam kondisi
upswing.
d. Jika terjadi shock dan terdapat vulnerability secara bersamaan, tergantung dari
besarnya shock dan parahnya vulnerability, probabilitas terjadinya risiko
sistemik akan meningkat. Jika vulnerability berada pada sektor keuangan yang
dominan, seperti umumnya perbankan di emerging markets, risiko sistemik
dapat terjadi.6
Risiko termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability (Bank of Canada,
2014).
6
23
Gambar 6. Interaksi Shock dan Vulnerability
Tabel 3. Contoh Identifikasi Vulnerabilties Bank
Pendekatan
Risiko
Risiko Kredit
Vulnerability
 Kredit yang terkonsentrasi pada sektor tertentu
atau pada beberapa debitur besar
 Cross
section
 Procyclicality kredit (excessive credit growth),
secara total atau sektoral
 Time series
 Excessive maturity mismatch
 Pendanaan yang terkonsentrasi pada jangka
pendek dan nasabah besar
 Kepemilikan alat likuid yang terbatas untuk
memenuhi kewajiban jangka pendek
Risiko
Likuiditas
Dimensi
 Cross
section
 Market likuidity risk, ketidakmampuan
penggunaan aset untuk memenuhi kewajiban
jangka pendek tanpa merubah harga aset
 Segmentasi pasar uang antar bank
 Procyclicality likuiditas, penurunan buffer
likuiditas pada saat build-up risk
Risiko Pasar
 Market liquidity risk karena perubahan harga
aset volatilitas suku bunga dan nilai tukar
 Time series
 Cross
section
 Peningkatan portofolio dalam valuta asing
Risiko
Operasional
 Frekuensi gangguan/permasalahan pada
sistem pembayaran
 Cross
section
Dalam hal terdapat potensi terjadinya risiko sistemik, salah satu metodologi
atau alat ukur yang dapat digunakan adalah stress test. Stress test membutuhkan
skenario shock yang sifatnya ekstrim tetapi plausible. Selain itu dibutuhkan juga
data vulnerability dari elemen sistem keuangan, yaitu dalam bentuk data neraca
keuangan dan laporan laba rugi dari elemen sistem keuangan (tergantung dari
24
sektor keuangan yang diukur). Metodologi stress test yang baik juga telah
memperhitungkan interaksi antarelemen sistem keuangan sehingga dinamika yang
terjadi di sistem keuangan dapat tertangkap dengan baik dan hasil stress test
mendekati kondisi yang sebenarnya. Untuk keperluan itu, metodologi stress test
memasukkan juga modul contagion stress test dan second round impact.
Ketika risiko sistemik telah ditransmisikan dalam pengukuran nilai risiko
sistemik, nilai ini diterjemahkan menjadi kerugian yang harus ditanggung oleh
elemen-elemen sistem keuangan. Dalam banking stress testing risiko kredit, pasar,
likuiditas, dan operasional diterjemahkan sebagai kerugian yang harus diserap oleh
bank. Dalam hal ini, ketahanan dari bank dalam menghadapi risiko-risiko tersebut
diukur dari permodalannya, yaitu modalnya masih lebih tinggi daripada tingkat
modal yang dipersyaratkan oleh regulator setelah dikurangi dengan kerugian yang
dihitung dalam stress testing. Hal yang sama dilakukan terhadap elemen-elemen
lain, yaitu IKNB, korporasi, dan rumah tangga. Dalam beberapa skenario,
perbankan kemungkinan bisa bertahan lebih baik daripada IKNB atau korporasi.
Ketahanan rumah tangga lebih sulit diukur karena data untuk rumah tangga tidak
tersedia atau tidak lengkap.
Jika secara umum elemen-elemen sistem keuangan dapat menyerap risiko
(Gambar 5), besar kemungkinan tidak akan ada gangguan instabilitas terhadap
sistem keuangan, atau sistem keuangan dapat bertahan tanpa memberikan dampak
negatif pada perekonomian. Jika salah satu elemen sistem keuangan mengalami
permasalahan, fase pembentukan risiko sistemik berlanjut ke tahap berikutnya,
yakni pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic event) melalui
analisis dampak sistemik. Analisis dampak sistemik merupakan sarana ad hoc yang
digunakan untuk mengukur dampak dari kegagalan suatu elemen sistem keuangan
terhadap keseluruhan sistem keuangan (Harun, 2013 dan Harun et al., 20147). Hasil
analisis dampak sistemik menentukan apakah kegagalan satu elemen sistem
keuangan akan memberikan dampak sistemik atau tidak. Jika dampaknya sistemik,
perlu dipertimbangkan untuk melakukan mekanisme bail in atau bail out sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika tidak, elemen sistem keuangan tersebut harus
dimasukkan
dalam
proses
resolusi
untuk
memberikan
proteksi
terhadap
kepentingan depositor atau kreditur. Sebagai contoh, jika suatu bank mengalami
kegagalan, hal yang perlu dipertimbangkan dalam analisis dampak sistemik adalah
Harun (2013) dan Harun et al. (2014) adalah penelitian untuk keperluan internal Bank
Indonesia dan tidak dipublikasikan.
7
25
dampak dari kegagalan bank pada institusi keuangan lain yang terafiliasi dengan
bank tersebut; dampaknya terhadap kondisi pasar keuangan, terutama berkaitan
dengan aset-aset yang dimilikinya yang akan dijual untuk menutupi kerugiannya;
ataupun aset-aset atas nama bank yang bersangkutan, misalnya obligasi korporasi
diterbitkan, utang di pasar uang antarbank, dan aset-aset lain. Selanjutnya, melalui
analisis dampak sistemik dapat dihasilkan penilaian atas potensi dampak dari suatu
systemic event, apakah bersifat sementara (temporary) atau struktural. Jika bersifat
struktural, biaya untuk pemulihan sistem keuangan akan lebih besar daripada jika
dampaknya bersifat sementara. Dalam hal ini analisis dampak sistemik dapat juga
menentukan elemen sistem keuangan yang perlu ditargetkan untuk melakukan
mitigasi risiko.
3.4 Risiko Sistemik dan Siklus Keuangan
Apabila dikaitkan dengan siklus keuangan, tahapan pembentukan sumber
gangguan biasanya terjadi pada fase build up. Dalam fase ini pelaku pasar
cenderung memanfaatkan kondisi untuk meraih keuntungan yang sebesarbesarnya meskipun aturan prudensial sudah diterapkan. Jika diilustrasikan dalam
siklus keuangan, fase ini berada pada ruas siklus yang menanjak atau upswing
(Gambar 7). Dalam kondisi ini pengukuran risiko sistemik perlu difokuskan pada
pengukuran ketidakseimbangan sistem keuangan, serta pengukuran terhadap
indikator stress yang dapat menunjukkan tanda-tanda bahwa siklus keuangan telah
mendekati puncaknya yang diinterpretasikan sebagai perilaku ambil risiko yang
sudah berlebihan. Drehman et al (2012) membentuk siklus keuangan beberapa
negara maju dan menemukan bahwa krisis keuangan terjadi sekitar dua tahun
setelah siklus mencapai puncak atau peak.
Gambar 7. Ilustrasi Fase dalam Siklus Keuangan
26
Indikator ketidakseimbangan atau imbalances pada dasarnya mengacu pada
indikator time series yang frekuensinya relatif lebih rendah (bulanan hingga
kuartalan). Di berbagai bank sentral, harga properti digunakan sebagai proxy untuk
mendeteksi imbalances. Hal itu didasarkan pada premis bahwa harga properti
didorong oleh perilaku spekulatif dari investor (terutama sektor rumah tangga) yang
dibiayai oleh pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR). Selain itu, harga rumah
juga didorong oleh peningkatan permintaan terhadap barang kebutuhan pokok
sebagai akibat dari peningkatan daya beli masyarakat yang juga didorong oleh
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Imbalances yang dideteksi di sini berkaitan
dengan
perilaku
prosiklikalitas
dari
perbankan
dalam
penyaluran
kredit.
Pembentukan indikator siklus keuangan, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya
juga
merupakan
salah
satu
upaya
untuk
mendeteksi
ketidakseimbangan dalam sistem keuangan karena persepsi pelaku pasar terhadap
kondisi perekonomian dan perilaku ambil risikonya.
Selanjutnya, sumber gangguan yang telah termaterialisasi menjadi risiko
akan menyebar pada fase propagasi atau propagation mechanism. Fase itu terjadi
setelah dan antara terjadinya puncak dari siklus keuangan hingga siklus mencapai
dasarnya atau trough (Gambar 7). Dalam fase ini permasalahan yang terjadi di satu
sektor atau elemen sistem keuangan cenderung ditularkan atau dirambatkan pada
sektor atau elemen sistem keuangan lainnya. Oleh karena itu, pengukuran risiko
sistemik dalam fase ini umumnya menggunakan indikator cross sectional. Indikator
yang paling dibutuhkan dalam hal ini adalah indikator yang mengindikasikan
keterkaitan physical exposures antarelemen sistem keuangan, termasuk untuk
setiap individual elemen sistem keuangan terutama institusi keuangan dan
korporasi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur dampak
permasalahan di satu bank terhadap bank lain adalah metode interbank stress
testing dengan melakukan contagion analysis.
Dalam fase propagasi, indikator global-systemcically important banks atau GSIB merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam pengukuran risiko
sistemik. Indikator itu dihasilkan untuk membentuk daftar bank di dunia, yang jika
mengalami permasalahan memiliki potensi memberikan dampak sistemik pada
sistem keuangan global. Indikator G-SIB terdiri atas size, interconnectedness,
substitutability, complexity, dan cross-border exposure untuk Global SIFI (BCBS
2011–dokumen GSIB). Dalam fase propagasi, subindikator G-SIB yang diaplikasikan
untuk D-SIB (tanpa menggunakan pengukuran cross-border exposure karena hanya
27
melihat pengaruhnya pada perekonomian domestik) adalah indikator yang perlu
diamati
untuk
permasalahan.
setiap
individual
bank
Pengukuran-pengukuran
untuk
untuk
melihat
potensi
propagasi
meninjau
potensi
propagasi
permasalahan itu juga dilakukan dalam Analisis Dampak Sistemik.
Fase yang terakhir adalah fase systemic event atau pada bab II disebut juga
sebagai shock materialized. Fase itu berkaitan dengan krisis keuangan. Walaupun
bank sentral dan otoritas keuangan telah mengembangkan early warning system,
systemic event pada dasarnya hanya bisa dideteksi secara backward looking. Bank
sentral dan otoritas keuangan tidak pernah mampu secara akurat memprediksi
terjadinya krisis meskipun siklus keuangan memberikan informasi puncak siklus
dan data pada masa lampau menunjukkan bahwa krisis umumnya terjadi sekitar 2
(dua) tahun setelah terjadi puncak siklus keuangan. Dengan demikian, systemic
event merupakan periode yang sangat pendek di dalam fase propagasi karena shock
dan vulnerability terjadi dan membentuk risiko sistemik. Setelah systemic event
terjadi, segmen downswing yang terbentuk dapat berbentuk U atau berbentuk V.
Jika berbentuk U, downswing akan berlangsung lebih dalam dan lama pada siklus
keuangan dan disertai dengan masa pemulihan yang cukup lama. Kondisi itulah
yang berpotensi memberikan dampak yang bersifat struktural. Jika berbentuk V,
downswing akan berlangsung dalam periode yang lebih pendek dan pemulihan atau
recovery juga akan berlangsung cepat. Dalam siklus keuangan, systemic event bisa
saja tidak terjadi karena dalam segmen downswing pelaku pasar sudah secara
otomatis menyesuaikan portofolionya untuk mengurangi potensi kerugiannya. Hal
itu bergantung pada ketahanan dari elemen-elemen sistem keuangan. Pada
dasarnya segmen downswing dapat diupayakan untuk tidak jatuh terlalu dalam.
Hal yang dapat dilakukan oleh bank sentral dan otoritas keuangan adalah tetap
berjaga-jaga dengan menyiapkan sejumlah instrumen yang dimiliki untuk
menghindari terjadinya krisis keuangan yang akan menimbulkan biaya yang tinggi
untuk pemulihan.
Dalam fase ini frekuensi near crisis indicators dan stress indicators sangat
tinggi, misalnya indeks yang menggambarkan kondisi sistem keuangan secara
keseluruhan atau indikator likuiditas institusi keuangan menjadi sangat penting
untuk terus mengukur kemampuan elemen-elemen sistem keuangan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendek.. Jika krisis telah terjadi, protokol manajemen
krisis (PMK) telah diaktifkan dan dalam PMK tersebut dapat saja diaktivasikan
pelaporan dalam frekuensi yang lebih tinggi oleh institusi keuangan. Sebagai contoh,
28
ketika krisis keuangan global memuncak dalam kuartal IV 2008, Bank Indonesia
meminta bank-bank besar melaporkan kondisi likuiditasnya pada penutupan sesi
siang
dan
penutupan
sesi
sore
atau
meningkatkan
frekuensi
pelaporan
likuiditasnya dari 1 kali sehari menjadi 2 kali sehari.
Untuk mengantisipasi terjadinya systemic event ini dengan cara memastikan
kapasitas penyerapan risiko cukup memadai, otoritas keuangan atau institusi
keuangan dapat membuat skenario systemic event dan menyimulasikan skenario
tersebut dalam model stress testing. Model stress testing, terutama digunakan untuk
mengukur kondisi solvabilitas dan likuiditas pada saat terjadinya stress yang saat
ini sudah sering dipergunakan oleh kalangan perbankan. Hasil dari stress testing
adalah gap yang muncul sebagai akibat buffer, cadangan modal, atau likuiditas
harus dipergunakan untuk menutup kerugian sebagai akibat terjadinya systemic
event yang dituliskan dalam skenario. Buffer didefinisikan sebagai kelebihan dari
aturan minimum yang diterapkan oleh otoritas keuangan. Hasil dari stress testing
itu ditentukan oleh berbagai hal. Skenario stress yang extreme but plausible akan
memberikan kondisi stress yang cukup beralasan sehingga dapat menguji
ketahanan institusi keuangan dengan systemic event yang cukup severe atau parah,
tetapi cukup didukung oleh kejadian pada masa lalu. Ketersediaan data dan
perancangan model untuk mengukur reaksi institusi keuangan terhadap systemic
event akan menentukan objektivitas dari hasil stress test. Ada kalanya bias dari
hasil dapat terjadi sebagai akibat data yang tersedia kurang panjang secara historis
dan kurang granular/terperinci; atau model yang dipergunakan kurang memadai.
Praktik stress test ini sudah mulai direkomendasikan sebagai kegiatan yang wajib
dilakukan oleh institusi keuangan untuk memastikan kecukupan buffer modal dan
likuiditasnya.
29
IV. PENUTUP
Upaya mitigasi risiko sistemik tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan single indicator atau 1 (satu) metode pengukuran. Diperlukan
serangkaian alat ukur risiko sistemik yang komprehensif. Sebagai otoritas yang
memiliki
kewenangan
di
bidang
makroprudensial,
BI
terus
berupaya
mengembangkan indikator, metode, dan tools mitigasi risiko sistemik sehingga
diharapkan mampu menciptakan pengawasan yang efisien dan pengembangan
instrumen kebijakan yang tepat guna mendukung tercapainya stabilitas sistem
keuangan. Dalam hal ini, KPRS dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan
dalam identifikasi alat ukur risiko sistemik yang ada saat ini. Guna melengkapi
penyusunan KPRS, ke depan perlu dilakukan beberapa penelitian terkait, terutama
penelitian yang berkaitan dengan pengembangan beberapa metode pengukuran
risiko sistemik yang belum dimiliki BI saat ini.
Objektivitas dari hasil pengukuran risiko sistemik sangat ditentukan oleh
indikator dan metodologi yang dipergunakan. Kekeliruan dalam penggunaan data
dan metodologi dapat memberikan masukan (input) yang salah pada upaya mitigasi
risiko, preskripsi kebijakan makroprudensial, atau kebijakan untuk penanganan
krisis. Kesamaan persepsi mengenai indikator dan metodologi mana yang harus
dipergunakan untuk mengukur risiko tertentu dalam sistem keuangan pada suatu
fase tertentu perlu diperoleh agar tidak ada lagi perbedaan pendapat dalam
menentukan kondisi stabilitas sistem keuangan. Hal itu menjadi sangat penting,
terutama jika sistem keuangan berada dalam kondisi stress serta memerlukan
penanganan yang akurat dan cepat.
30
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Andrew., and Bernanke, Ben., 2001, “Macroeconomics, 4th Edition”, Addison
Wesley Longman Inc.
Acharya, V., L. Pedersen, T. Philippon, and M. Richardson, 2010, “Measuring
Systemic Risk”, Working Paper , New York Univertsity.
Bank Indonesia, 2015, “Kajian Stabilitas Keuangan No. 25”.
Bank of Canada, 2014, “Financial System Review”, pp. 1-2, June
Basel Committee on Banking Supervision, 2011, “Global Systemically Important
Banks: Assessment Methodology and the Additional Loss Absorbency
Requirement”, Bank for International Settlements.
___________, 2012, “ Model and Tools for Macroprudential Analysis,” BIS Working
Paper No. 12, Bank for International Settlements.
Baumohl, B., 2013, “The Secrets of Economic Indicators: Hidden Clues to Future
Economic Trends and Investment Opportunities”, Pearson Education, Inc.
Bernanke, Ben., 2013, “Monitoring the Financial System,” speech at the 49th Annual
Conference on Bank Structure and Competition, Board of Governors of the
Federal Reserve System, May.
Billio, M., M. Getmansky, A. W. Lo, and L. Pelizzon, 2010, “Econometric Measures of
Systemic
Risk in the Finance and Insurance Sectors”, NBER Working
Paper 16223, NBER.
Blancher, N., S. Mitra, H. Morsy., A. Otani., T. Severo., and L. Valderma., 2013,
“Systemic Risk
Monitoring(“SysMo”) Toolkit – A User Guide”, IMF
Working Paper No. 13/168, July.
Boss, M., Krenn, G., Puhr, C., and Summer, M., 2006, “Systemic Risk Monitor: A
Model for Systemic Risk Analysis and Stress Testing of Banking Systems”,
Financial Stability Report 11, Oesterreichische Nationalbank, pp. 83-95,
June.
Burrows, O., Learmonth, D., and McKeown, J., 2012, “RAMSI: a top-down stresstesting model”, Financial Stability Paper No. 17, Bank of England, September.
Caballero, R. J., 2009, “The ‘Other’ Imbalance and the Financial Crisis”, MIT
Department of Economics Working Paper No. 09-32, Massachusetts Institute
of Technology.
Cicilia, A. H., 2013, “Analisis Dampak Sistemik di Indonesia”, Internal Working
Paper, Bank Indonesia.
Cicilia, A. H., Derianto, Elis., Agusman., Rulina, Ita., 2015, “ A Framework of
Systemic Impact Analysis”, Bank Indonesia, forthcoming.
Drehmann, M., Claudio B., Kostas, T., 2012, “Characterising the Financial Cycle:
Don’t Lose Sight of the Medium Term!” BIS Working Paper No. 380, Bank for
International Settlements, June.
European Central Bank (ECB), 2010, “Financial Networks and Financial Stability”,
Financial Stability Reviews, pp. 138-146, June.
31
Gadanecz, B., and Jayaram, K., 2009, “Measure of Financial Stability – a Review”,
IFC Bulletin No 31. pp. 365-380, July.
Gauthier, C., and Souissi, M., 2012, “Understanding Systemic Risk in the Banking
Sector: A MacroFinancial Risk Assessment Framework”, Bank of Canada
Review, Financial Stability Department, Bank of Canada, pp.29-38.
Group of Ten, 2001, “Report on Consolidation in the Financial Sector”, International
Monetary Fund, January.
Gunadi, I., Aditya, A.T., dan Cicilia, A. H., 2013, “Penggunaan Indeks Stabilitas
Sistem Keuangan (ISSK) dalam Pelaksanaan Surveilans Makroprudensial”,
Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial,
Bank Indonesia.
______________, 2015, “Penyempurnaan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK)”,
Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial,
Bank Indonesia.
Gunadi, I., Cicilia, A.H., Sagita, R., dan Tevy, C., 2014, “Identifikasi Transmisi Risiko
Sistemik dalam Sistem Keuangan Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia,
Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.
Harun, Cicilia, and Sagita Rachmanira, 2013, “Kerangka Kebijakan
Makroprudensial Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen
Kebijakan
Makroprudensial, Bank Indonesia
____________, 2015, “Revisit Kerangka Kebijakan Makroprudensial Indonesia”,
Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial,
Bank Indonesia.
Jong, H.L., Ji, H. B., Sejin, Y., and Dongkyu, C., 2013, “Systemic Risk Assessment
Model for Macroprudential Policy”, Macroprudential Analysis Department,
Bank of Korea.
Kapadia, S., M. Drehmann, J. Elliott, and G. Sterne, 2009, “Liquidity Risk, Cash
Flow Constraints, and Systemic Feedbacks”, Working Paper, Bank of
England.
Mishkin, F. S., 2007, “Systemic Risk and the International Lender of Last Resort”,
Working Paper, Board of Governors of the Federal Reserve, Speech delivered
at the Tenth Annual International Banking Conference, Federal Reserve Bank
of Chicago, September 28th.
Organization for Economics Co-Operation and Development, 2008, “Handbook on
Constructing Composite Indicators: Methodology and User Guide”, OECD and
JRC European Comission.
Rosengren, E.S., 2010, “Asset Bubble and Systemic Risk”, The Global
Interdependence Center’s Conference on Financial Interdependence in the
World’s Post-Crisis Capital Market, Philadelphia
Wolken, Tony, 2013, “Measuring Systemic Risk: the role of Macro-prudential
Indicators”, Bulletin Vol. 76 No. 4, Reserve Bank of New Zealand, December.
32
APPENDIX
METODE PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK NEGARA LAIN
A. Risk Assessment Model of Systemic Institutions (RAMSI)
RAMSI merupakan metode pengukuran risiko sistemik yang dikembangkan
oleh BoE. RAMSI merupakan sebuah top-down model yang dirancang untuk
mengases risiko solvensi dan likuiditas yang dihadapi oleh bank dengan cara
melakukan proyeksi keuntungan bagi setiap bank. Hal itu dapat dicapai dengan
menggunakan persamaan yang memetakan proyeksi variabel makroekonomi dan
keuangan, seperti GDP dan suku bunga ke dalam profil keuntungan bank. Pada
tahap pertama, data income statement dan neraca keuangan bank serta proyeksi
variabel makrofinansial dimasukan ke dalam RAMSI untuk menghasilkan proyeksi
dari setiap komponen dalam income statement. Selanjutnya, dari proyeksi income
statement dapat dihitung keuntungan sebelum pajak yang merupakan penjumlahan
dari pendapatan net suku bunga, trading income, dan pendapatan lainnya dikurangi
dengan kerugian kredit dan biaya operasional. Selanjutnya, keuntungan sebelum
pajak dikurangi dividen dan pajak akan menghasilkan laba ditahan. Perhitungan
laba ditahan dibagi dengan ATMR akan menghasilkan proyeksi dari CAR yang sering
kali dipandang sebagai kemampuan bank untuk menyerap kerugian. Pada tahap
ini, feedback di dalam dan antarbank dapat terlihat seperti contohnya: jika
fundamental bank seperti keuntungan dan solvabilitas diproyeksikan memburuk,
bank akan mengalami kenaikan biaya pendanaan dalam RAMSI. Salah satu bentuk
contagion dapat terjadi ketika bank menderita kerugian sehingga CAR-nya berada
jauh di bawah suatu nilai threshold dan menimbulkan kerugian bagi bank lain
melalui eksposur counterparty credit dan asset fire sale. Pada tahap tidak ada bank
yang gagal, terdapat beberapa opsi yang dilakukan oleh bank berdasarkan proyeksi
CAR seperti meningkatkan jumlah ATMR atau mencapai target CAR tertentu
sehingga akan meningkatkan ATMR pada waktu kemudian. Dengan adanya
pengambilan sebuah opsi, akan dihasilkan neraca keuangan yang baru. Neraca
keuangan yang baru dapat digunakan sebagai masukan untuk melakukan
perhitungan RAMSI dari tahap awal lagi.
33
Sumber: Burrows et. al. (2012)
Gambar 1. Overview RAMSI
B. Systemic Risk Model (SRM)
SRM merupakan sebuah model yang digunakan untuk mengukur risiko
sistemik pada sistem perbankan Austria dengan menggabungkan teknik standar
dari quantitative market dan manajemen risiko kredit dengan model networking dari
sebuah sistem perbankan. SRM menggambarkan kondisi dari sistem perbankan
Austria sebagai sistem dari portofolio. Setiap portofolio mempresentasikan sebuah
bank dan terdiri atas 3 kumpulan, yaitu (i) kumpulan sekuritas seperti saham dan
surat berharga (market risk losses box); (ii) kumpulan kredit korporasi dan rumah
tangga (noninterbank credit risk losses box); (iii) kumpulan interbank (interbank
network model box). Setiap portofolio akan diproyeksikan satu triwulanan ke depan
dan SRM bertujuan untuk mengetahui distribusi dari selisih nilai portfolio sekarang
dengan nilai portofolio proyeksi. Proyeksi nilai portofolio didapatkan melalui nilai
faktor risiko yang mempengaruhi nilai portofolio seperti harga pasar (indeks saham,
suku bunga, dan nilai tukar) dan variabel makrofinansial yang berdampak pada
kualitas portofolio kredit.
Faktor risiko tersebut digunakan untuk membangun skenario yang
selanjutnya akan ditranslasikan ke dalam keuntungan dan kerugian portofolio dari
bank melalui 2 (dua) tahap. Pada tahap pertama, akan dianalisis dampak dari
34
skenario pada nilai dari posisi pasar dan kredit noninterbank. Pada tahap kedua,
posisi tersebut akan digabungkan dengan model networking. Pada dasarnya model
networking bekerja untuk melihat apakah bank dapat tetap memenuhi kewajiban
interbank-nya dan kemudian diberikan nilai portofolionya. Distribusi dari faktor
risiko akan menghasilkan beberapa skenario dan beberapa skenario tersebut akan
diterapkan pada sistem portofolio sehingga menghasilkan distribusi dari selisih nilai
portofolio. Melalui distribusi selisih nilai portfolio, dapat dihasilkan pemetaan
probabilitas dari masalah selama satu triwulan ke depan.
Sumber: Boss et. al. (2006)
Gambar 2. Overview SRM
C. Macro Financial Risk Assessment Framework (MFRAF)
MFRAF merupakan sebuah stress test model yang menggabungkan risiko
solvabilitas, likuiditas, dan spillover yang dihadapi bank dengan tujuan untuk
melihat efek dari risiko tersebut terhadap modal agregat perbankan Kanada. MFRAF
terdiri atas tiga modul yang saling independen dan yang mewakili 3 risiko yang
dihadapi oleh bank. Pada tahap pertama, bank akan mengalami kerugian akibat
35
dari shock pada kondisi makroekonomi. Kerugian itu terjadi akibat penurunan
kualitas kredit sejak terjadinya peningkatan ekspektasi gagal bayar seiring dengan
memburuknya kondisi makroekonomi. Pada tahap kedua, terjadi risiko pendanaan
likuiditas yang disebabkan oleh penurunan roll-over deposit oleh nasabah akibat
peningkatan ekspektasi risiko solvabilitas bank. Selanjutnya, pada tahap terakhir,
kegagalan atau stress pada satu bank akibat risiko solvabilitas maupun risiko
pendanaan likuiditas dapat menyebabkan spillover pada bank lain melalui eksposur
interbank. MFRAF memiliki dua aplikasi, yaitu (i) efek risiko pendanaan likuiditas
dan efek spillover pada kerugian agregat dan (ii) trade off antara modal dan
likuiditas.
Sumber: Gauthier dan Souissi M. (2012)
Gambar 3. Overview MFRAF
D. Systemic Risk Assessment Model for Macroprudential Policy (SAMP)
SAMP merupakan sebuah kerangka yang didesain untuk menghasilkan
indikator risiko sistemik yang dapat merefleksikan first round impact akibat dari
faktor risiko makro dan second round effect dari amplifikasi dan propagasi risiko
36
melalui hubungan antarbank dan macro-financial selama beberapa periode. SAMP
dikembangkan oleh BoK dan terdiri dari atas enam modul berikut.
1. Macro risk factor module
Macro risk factor module merupakan modul yang digunakan untuk
mengestimasi distribusi probabilitas bersama (joint probability distribution) dari
faktor risiko makro yang memiliki dampak siginifikan pada laba rugi bank.
2. Bank profit and loss module
Bank profit and loss module merupkan modul yang digunakan untuk
mengukur dampak faktor risiko makro pada laba rugi bank melalui (i) kerugian
akibat risiko kredit; (ii) kerugian akibat risiko pasar; (iii) pendapatan melalui
suku bunga; dan (iv) pendapatan selain melalui suku bunga. Modul ini juga
digunakan untuk menghitung perubahan rasio modal menurut aturan BASEL
yang terkena imbas dari faktor risiko makro.
3. Default contagion module
Default contagion module merupakan modul yang didesain untuk
mengestimasi efek dari ronde kedua akibat bank yang gagal. Untuk menangkap
penyebaran kerugian bank melalui eksposur interbank, digunakan sebuah model
network berbasis data neraca. Selain itu, terdapat model untuk harga pasar dari
aset likuid dan feedback default rate dari aset ilikuid, yaitu kerugian akibat fire
sale dan credit crunch akan diukur.
4. Funding liquidity contagion module
Funding liquidity contagion module merupakan modul yang digunakan
untuk menangkap interaksi antarrisiko bank gagal dan risiko pendanaan
likuiditas. Modul ini mengestimasi penarikan likuiditas, kekurangan likuiditas,
dan penambahan biaya pendanaan. Untuk menangkap efek dari contagion dari
risiko pendanaan likuiditas, akan digunakan sebuah model network yang
menggabungkan struktur maturitas dari aset dan liabilitas. Kerugian akibat
gagal bayar akan menyebar dari debitur kepada kreditur, tetapi liquidity
contagion disebarkan pada arah yang berbeda, yaitu dari kreditur kepada
debitur.
5. Multi-period module
Multiperiod module merupakan modul yang digunakan untuk mengiterasi
keempat
modul
sebelumnya
(menggunakan
data
triwulanan)
untuk
37
menghasilkan kerugian bank selama satu tahun. Pada setiap interasi, neraca
akan diperbaharui secara dinamik untuk merefleksikan hasil dari estimasi
triwulanan.
6. Systemic risk measurement module
Systemic risk measurement module merupakan modul terakhir yang
digunakan untuk menghasilkan bermacam-macam indikator risiko sistemik
yang dapat menilai probabilitas dari krisis sistemik yang menggunakan distribusi
kerugian agregat dari sistem perbankan. Modifikasi indikator risiko mikro,
seperti value at risk, expected shortfall, dan probability of default dilakukan untuk
menghasilkan indikator risiko sistemik.
Sumber: Jong et. al. (2013)
Gambar 4. Overview SAMP
38
Download