jurnal psikiatri indonesia

advertisement
JURNAL PSIKIATRI INDONESIA
Vol.1 No.1 Tahun 2016
ISSN: 2502-2512
Bebas Pasung: Ditinjau Dari Aspek Bioetika
Kusumadewi A.F 1, Kristanto C.S 2, Sumarni D.W3
1
PPDS Ilmu Kedokteran Jiwa FK UGM
2,3
Staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK UGM/ RSUP Dr Sardjito
ABSTRAK
Bebas pasung merupakan program yang diselenggarakan untuk memperjuangkan hak-hak orang dengan
gangguan jiwa, diantaranya adalah hak untuk dapat hidup secara bebas dan selayaknya manusia. Akan tetapi,
orang dengan gangguan jiwa yang dipengaruhi oleh tanda dan gejala gangguan yang dialaminya, berisiko untuk
berbuat kekerasan yang berpotensi membahayakan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga berhak untuk
dijamin keselamatannya dari ancaman tindakan kekerasan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu tinjauan
bioetika terhadap kasus bebas pasung yang saling bersinggungan kepentingan tersebut.
Kata Kunci: bebas pasung- bioetika
Pendahuluan
Pemasungan di Indonesia merupakan
permasalahan yang cukup lama terjadi. Terdapat
sekitar sekitar 20. 000 hingga 30. 000 penderita
gangguan jiwa di seluruh Indonesia mendapat
perlakuan tidak manusiawi dengan cara dipasung
(Purwoko, 2010). Persentase
pemasungan
antara 0–50 persen bervariasi di antara
seluruh provinsi. Metode pemasungan tidak
terbatas pada pemasungan secara tradisional
dengan menggunakan kayu atau rantai pada
kaki, tetapi juga tindakan pengekangan yang
membatasi gerak, pengisolasian, termasuk
mengurung dan penelantaran, yang menyertai
salah satu metode pemasungan (Kementerian
Kesehatan RI, 2013).
Indonesia merupakan salah satu negara di
kawasan Asia Pasifik yang berani menyatakan
program bebas pasung. Program ini telah
dicanangkan pemerintah sejak tahun 2010 dan
ditargetkan tercapai pada tahun 2019. Berbagai
upaya telah dilaksanakan untuk menolong orang
dengan gangguan jiwa agar mendapat
penghargaan yang layak sesuai dengan harkat
dan martabatnya sebagai manusia. Pada tahun
2011 Menteri Kesehatan
RI
sudah
mencanangkan
program Indonesia Bebas
Pasung pada tahun 2014. Namun sampai dengan
sekarang (tahun 2014) belum terlihat
penanganan yang signifikan dan komprehensif
dalam penanganan dini penderita gangguan jiwa.
Program Indonesia Bebas Pasung 2014 saat ini
direvisi menjadi Program Indonesia Bebas
Pasung 2019, sehingga Indonesia
dalam
menentukan ketercapaian target masih ada 5
tahun lagi atau bahkan lebih cepat karena proses
ini masih berlangsung berkesinambungan
dengan adanya komitmen dari pemerintah
pusat dan pemerintah daerah provinsi dan
kota/kabupaten (Yud, 2014).
Akan tetapi, berbagai permasalahan baru
muncul seperti bagaimana perlindungan
terhadap masyarakat paska klien dibebaskan dari
pemasungan, bagaimana kehidupan klien paska
mendapat pengobatan di rumah sakit jiwa, siapa
yang
akan
bertanggungjawab
terhadap
keberlanjutan pengobatan klien, bagaimana
tinjauan secara agama dan budaya mengenai
penanganan terhadap klien paska pemasungan.
Hal ini mendorong perlunya suatu tinjauan dari
aspek bioetika yang dapat dijadikan sebagai
pedoman
untuk
menganalisis
berbagai
permasalahan tersebut dan langkah-langkah apa
yang sekiranya perlu ditempuh untuk
mengatasinya.
Evidence Based Practice Indonesia
Web: http://ebpi.asia Email: [email protected]
Jurnal Psikiatri Indonesia Vol: 1, No:1 Tahun : 2016
Ilustrasi kasus
Bapak T, seorang laki-laki berumur 52
tahun, penderita skizofrenia sudah 10 tahun. Ia
memiliki riwayat sering menyerang orang lain
dan suka mengejar-ngejar perempuan di
desanya. Bapak T memiliki 3 orang anak yang
semuanya sudah berkeluarga. Istrinya meninggal
1 tahun yang lalu karena kecelakaan. Anak-anak
merasa kesulitan dalam merawat bapak T.
Kebetulan tempat tinggalnya di daerah terpencil
yang jauh dari fasilitas kesehatan jiwa. Suatu
hari bapak T mengamuk dan membakar rumah
salah seorang tetangganya. Bapak T menuduh
tetangganya inilah yang menyebabkan istrinya
meninggal. Bapak T mengancam hendak
membunuh tetangganya tersebut. Untungnya
berhasil dicegah oleh warga. Anak-anak bapak T
akhirnya membuat pasung dari balok kayu di
belakang rumahnya. Bapak T dipasung selama 7
tahun dalam keadaan yang menyedihkan hingga
akhirnya diketahui oleh petugas puskesmas
setempat dan dibebaskan. Bapak T dirawat di
rumah sakit jiwa selama 1 bulan. Sesudah
mondok, bapak T akan dipulangkan. Akan tetapi
warga menolak karena masih takut kalau-kalau
bapak T sewaktu-waktu kumat dan menyerang
warga desa. Bapak T menolak di bawa ke panti
sosial untuk rehabilitasi karena ingin dekat
dengan anak-anaknya dan merasa kalau di panti
itu sama saja dengan di buang oleh keluarga.
Keluarga tetap memaksa petugas untuk
membawa bapak T ke panti dengan alasan tidak
sanggup mengurusi lagi dan tidak mau
bermasalah dengan warga sekitar. Bapak T juga
menolak kontrol ke rumah sakit dengan alasan
dirinya sudah sembuh.
Pembahasan
Pemasungan adalah suatu tindakan
pembatasan gerak seseorang yang mengalami
gangguan fungsi mental dan perilaku dengan
cara pengekangan fisik dalam jangka waktu
yang tidak tertentu yang menyebabkan
terbatasnya pemenuhan kebutuhan dasar hidup
yang layak, termasuk kesehatan, pendidikan, dan
pekerjaan bagi orang tersebut. Berdasarkan data
Kementrian Kesehatan, tahun 2010 ada 383
kasus pasung di Indonesia, meningkat menjadi
1.139 kasus di tahun 2011 dan sebanyak 803 di
tahun 2012. Bahkan dilaporkan sebanyak 57.000
ISSN: 2502-2512
Hal.22
orang dengan gangguan jiwa berat pernah
dipasung (http:///www.depkes.go.id/).
Ditinjau dari aspek hak asasi manusia,
pemasungan termasuk bentuk pelanggaran
terhadap martabat sebagai manusia karena
membatasi kebebasan dan kemerdekaannya.
Pemasungan
juga
merupakan
bentuk
pengabaian, penelantaran, pengucilan terhadap
manusia
yang
masih
hidup
sehingga
mengakibatkan
penderitaan.
Sebagaimana
disebutkan dalam deklarasi WHO bahwa orang
dengan gangguan jiwa pun masih berhak untuk
mendapatkan kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan termasuk kemerdekaan. Secara
hukum nasional, penderita dengan gangguan
jiwa selayaknya tidak dipasung melainkan
berhak mendapatkan perawatan rehabilitasi atau
penyembuhan yang pembiayaannya dibantu oleh
negara. Hal ini sesuai dengan undang-undang no
36 tahun 2009 tentang kesehatan. Juga tertuang
dalam UUD Negara Indonesia pasal 28G ayat 2
yang berbunyi ”Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara
lain”.
Ketentuan pasal 28G ayat 2 menyatakan
pemasungan merupakan salah satu bentuk
penyiksaan karena orang yang dipasung
dirampas kebebasannya dan merasakan sakit
baik fisik maupun psikis. Pasal 28 ayat 1
menyatakan hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
Pada tahun 2011, Menteri Kesehatan
Republik Indonesia mencanangkan program
Indonesia Bebas Pasung pada tahun 2014.
Namun, karena beberapa kendala, program ini
direvisi menjadi Program Indonesia Bebas
Pasung 2019. Program ini tidak berhenti hingga
penderita dibebaskan, tetapi membutuhkan
pendampingan yang terus menerus sampai
pasien benar-benar sembuh dan bisa bersosialisi
dengan orang lain secara normal. Ketiadaan
akses yang berkesinambungan antara rumah
sakit dan komunitas menyebabkan keluarga
Jurnal Psikiatri Indonesia Vol: 1, No:1 Tahun : 2016
kembali mendapat beban yang paling besar.
Setelah dari rumah sakit, penderita kontrol sekali
dua kali ke psikiater. Selepas itu kembali
ditangani oleh keluarganya yang sering belum
cukup pengetahuan untuk mendukung proses
pemulihan. Penderita tetap diisolasi secara
sosial, tidak diberi kesempatan kerja maupun
bersosialisasi karena masih takutnya warga bila
sewaktu-waktu
penderita
mengalami
kekambuhan.
Pada ilustrasi kasus di atas, tampak
bahwa masyarakat maupun keluarga belum siap
untuk menerima kembali penderita karena masih
takut bila penderita mengalami kekambuhan dan
membahayakan orang lain. Kesulitan juga
muncul karena bapak T tidak mau minum obat.
Dilema etik yang muncul pada kasus di atas
antara lain sebagai berikut:
1. Apakah Bapak T sudah siap dikembalikan
ke masyarakat bila dirinya tidak mau minum
obat?
2. Apakah dapat dibenarkan bila keluarga atau
petugas memaksa bapak T untuk kembali
berobat ke rumah sakit?
3. Apakah dapat dibenarkan bila bapak T
dipaksa untuk tinggal di panti sosial dengan
alasan keamanan?
4. Bagaimana memberikan edukasi yang tepat
untuk keluarga dan masyarakat menghadapi
kasus bapak T seperti di atas?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
di atas, kita dapat menggunakan kaidah-kaidah
bioetika . Bioetika, menurut Samuel Gorovitz
pada tahun 1995, adalah suatu penyelidikan
kritis tentang dimensi-dimensi moral dari
pengambilan keputusan dalam konteks berkaitan
dengan kesehatan dan dalam konteks yang
melibatkan ilmu-ilmu biologis. Bioetika juga
diartikan sebagai studi tentang isu-isu etika dan
membuat keputusan yang dihubungkan dengan
kegunaan kehidupan makhluk hidup dan obatobatan termasuk di dalamnya etika kedokteran
dan etika lingkungan. Dengan demikian, bioetika
terkait dengan kegiatan yang mencari jawab dan
menawarkan pemecahan masalah dari konflik
moral yang dapat diterima secara lebih
komprehensif (Taher, 2003). Bioetika mengacu
pada 4 nilai dasar yaitu otonomi, beneficence,
nonmaleficence, justice.
Pada kasus di atas, muncul berbagai
nilai-nilai yang harus dipertimbangkan antara
ISSN: 2502-2512
Hal.23
lain nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai etika,
nilai-nilai
keadilan,
serta
nilai-nilai
profesionalisme petugas kesehatan.
Bapak T adalah seorang manusia yang
perlu dihargai nilai-nilai kemanusiaannya.
Walaupun bapak T adalah penderita gangguan
jiwa, bapak T juga memiliki hak untuk
menentukan nasibnya sendiri, termasuk menolak
pengobatan. Akan tetapi, bapak T tidak merasa
dirinya sakit. Walaupun gejala sudah membaik
dan sudah dipulangkan dari rumah sakit, namun
bapak T masih belum memiliki tilikan diri yang
sepenuhnya. Artinya sejauhmana pasien
menyadari dirinya sakit dan berbuat sesuatu
untuk melakukan pengobatan. Seharusnya ketika
hendak dipulangkan dari rumah sakit, pasien
sudah memenuhi kriteria-kriteria sebagai
berikut:
1. Tidak membahayakan diri dan orang lain
2. Paham obat yang diberikan dokter dan
bersedia untuk kontrol secara rutin
3. Mampu bersosialisasi dengan orang lain
4. Mampu mengisi waktu luang
5. Mampu mengendalikan diri
6. Aktivitas dasar harian mampu dikerjakan
secara mandiri
7. Mampu menunjukkan kemampuan diri.
Rumah sakit tentunya memiliki standar
operasional prosedur untuk memulangkan
pasiennya. Permasalahannya, seringkali dibatasi
oleh pembiayaan asuransi yang menentukan
bahwa maksimal pasien rawat inap adalah 30
hari. Seharusnya ada mekanisme khusus/
perkecualian untuk pasien yang memiliki
riwayat tindakan berbahaya untuk mendapatkan
fasilitas
pelayanan
yang
lebih
lama
dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki
riwayat tindakan kekerasan sebelumnya. Untuk
menilai besarnya potensi risiko berbuat
kekerasan dimasyarakat dapat menggunakan
instrumen yang sudah divalidasi di rumah sakit.
Ditinjau dari aspek yuridis, orang seperti
bapak T tidak mempunyai kapasitas untuk
mengambil keputusan karena gangguan mental
dan gangguan tilikan diri. Pasien yang
berkompeten menurut peraturan perundangundangan di Indonesia adalah pasien dewasa
atau bukan anak atau telah/ pernah menikah,
tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu
berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
retardasi mental atau penyakit mental sehingga
Jurnal Psikiatri Indonesia Vol: 1, No:1 Tahun : 2016
mampu membuat keputusan secara bebas.
Apabila pasien tidak berkompeten, maka
persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat
dengan urutan sebagai berikut: 1)suami atau
istri; 2) ayah atau ibu; 3) anak kandung; 4)
saudara kandung;5) wali. Hal ini dituangkan
jelas dalam pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 290/ MENKES/PER/III/2008 tentang
persetujuan tindakan kedokteran. Menurut
undang-undang Berdasarkan ketentuan pasal 22
dalam hal orang dengan gangguan jiwa yang
menunjukkan pikiran dan atau perilaku yang
membahayakan dirinya dan orang lain atau
sekitarnya , maka tenaga kesehatan yang
berwenang dapat melakukan tindakan medis atau
pemberian obat psikofarmakan terhadap ODGJ
sesuai dengan standar pelayanan kesehatan jiwa
yang ditujukan untuk mengendalikan perilaku
berbahaya. Jadi dalam hal ini, keluarga berhak
untuk mengambil keputusan untuk pasien terkait
dengan pengobatannya.
Di dalam etika kedokteran terdapat
prinsip otonomi, dimana pasien berhak atas
dirinya sendiri. Konsep otonomi hanyalah salah
satu dari banyak pertimbangan etik sehingga
penghormatan terhadap prinsip otonomi tidak
boleh melebihi nilai-nilai moral lainnya. Selain
itu, konsep otonomis endiri lebih luas dan
bersifat relatif. Pada kasus ancaman kekerasan
bapak T, otonomi disini dapat diperkecualikan.
Hal ini karena kapasitas mental bapak T tidak
bisa dikatakan layak untuk mengambil
keputusan.
Prinsip selanjutnya adalah prinsip
beneficence. Prinsip
beneficence adalah
tanggung jawab untuk melakukan kebaikan yang
menguntungkan pasien dan menghindari
perbuatan yang merugikan atau membahayakan
pasien. Ciri dari nilai ini adalah mengutamakan
kebaikan atau manfaat yang lebih banyak
dibandingkan dengan keburukannya. Ketika
bapak T tidak mau minum obat, maka bapak T
berisiko mengalami kekambuhan / relaps. Pada
saat bapak T relaps, risiko mengancam
keselamatan warga masih cukup besar. Dengan
demikian dapat dibenarkan tindakan memaksa
bapak T untuk berobat ke rumah sakit supaya
gejalanya dapat dikontrol di kemudian hari.
Alternatif lainnya adalah dibawa ke panti untuk
sementara waktu hingga pasien benar-benar bisa
minum obat sendiri. Selain itu juga dapat
ISSN: 2502-2512
Hal.24
memberdayakan fasilitas home care yaitu
pemberian obat injeksi jangka panjang yang
diberikan oleh petugas kesehatan tiap bulan
sekali. Dalam hal ini manfaatnya lebih besar
dibandingkan dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi.
Prinsip
berikutnya
adalah
nilai
nonmaleficence. Petugas dalam memberikan
intervensi tidak boleh merugikan pasien. Dalam
artian obat-obat diberikan memang sesuai
dengan indikasi dan efek samping yang wajar.
Prinsip selanjutnya adalah justice. Inti
dari prinsip keadilan adalah berlaku adil pada
setiap pasien. Jadi walaupun bapak T penderita
gangguan jiwa, bapak T wajib diperlakukan
sama seperti pasien pasien yang lainnya. Petugas
kesehatan dan keluarga tetap harus menghargai
hak hukum dari pasien. Bapak T sebagai
manusia berhak mendapat perlindungan hukum.
Ditinjau dari konsep martabat manusia
(human dignity) sering digunakan sebagai
argumen untuk menentang pemasungan.
Setidaknya ada dua konsep martabat yaitu:
1. Martabat inherent atau yang melekat yang
berarti kualitas moral universal yang
dimiliki setiap manusia dan tidak dapat
dicabut.
2. Martabat individualistis yaitu martabat yang
terkait dengan tujuan pribadi dan keadaan
sosial yang dapat ditingkatkan.
Pemasungan secara etik memang melanggar
martabat manusia baik martabat inherent
maupun martabat individual. Hal ini dikarenakan
pemasungan merupakan hambatan dalam
intergritas kebebasan seseorang. Akan tetapi,
bila dimasukkan ke panti rehabilitasi selama
dilakukan oleh staf-staf yang berkompeten dan
tetap diperlakukan dengan hormat, maka hal ini
tidak dapat dikatakan sebagai bentuk
pelanggaran martabat, tetapi justru untuk
mempertahankan martabatnya dari rasa malu
karena dikucilkan masyarakat.
Jadi indikasi untuk memasukkan ke panti
rehabilitasi pada kasus bapak T di atas adalah:
1. Untuk mencegah bahaya yang akan terjadi
kepada pasien atau orang lain
2. Untuk mencegah gangguan serius dari
program pengobatan atau kerusakan yang
signifikan pada lingkungan fisik
Jurnal Psikiatri Indonesia Vol: 1, No:1 Tahun : 2016
3.
4.
Untuk membantu pengobatan sebagai
bagian dari terapi komprehensif terhadap
orang dengan gangguan jiwa
Untuk menurunkan stimulasi/ rangsangan
negatif yang mungkin diterima pasien bila
dibebaskan di masyarakat misalnya ejekan,
hinaan, tudingan dan sebagainya.
Dengan dimasukkannya bapak T ke panti
rehabilitasi, diharapkan
akan memberikan
pengalaman positif bagi pasien, memberikan
latihan dalam mengendalikan halusinasi, latihan
pengendalian emosi juga latihan keterampilan
yang diharapkan memperkuat bekal pasien agar
nantinya lebih siap dikembalikan ke masyarakat
dan meminimalkan gesekan konflik-konflik
yang kemungkinan terjadi.
Kesimpulan
Pendekatan bioetika diperlukan untuk
membuat manajemen suatu masalah secara
komprehensif. Tidak hanya dari sisi profesional
medis, melainkan juga dari sisi kemanusiaan,
setika, hukum, dan sosial. Berbagai dilema etik
yang muncul dapat
dicari pemecahannya
dengan
cara
yang
paling
dapat
dipertanggungjawabkan.
Pendekatan bioetika pada kasus bebas
pasung sangat bermanfaat untuk meminimalkan
konflik-konflik yang terjadi di masyarakat.
Dengan konsep pertimbangan yang menyeluruh,
diharapkan setiap keputusan yang diambil untuk
pasien merupakan keputusan yang paling
rasional dan bisa dipertanggungjawabkan baik
secara etik, profesional medik, maupun secara
ISSN: 2502-2512
Hal.25
hukum. Pada ilustrasi kasus di atas dapat dibuat
ethical statement berikut ini:
“Apabila ada orang dengan gangguan
jiwa yang mengancam keselamatan diri dan
lingkungannya dan dibuktikan dengan hasil
pemeriksaan medis yang adekuat, serta menolak
pengobatan, maka dapat dilakukan tindakan
pemindahan atas permintaan keluarga dan
masyarakat untuk sementara waktu dan
menjalani pengobatan hingga terjadi perbaikan
gejala dan perbaikan insight sepenuhnya”.
DAFTAR PUSTAKA
Yankouski,B. Masserelli, T. Lee, S. 2012. Ethical
Issues Regarding the Use of Restraint
and Seclusion in Schools. The School
Psychologist Journal. America.
Pui,
C.
2015. Coercion in Psychiatry-Is
Seclusion Ethical?. Medical Students
Journal of Australia. Volume 4 Issue
2.
Petrini, C. 2013. Ethical Considerations for
Evaluating the Issue of Physical
Restraint in Psychiatry. Ann Ist Super
Sanita. Volume 49.No 3:281-285
Newton, G. Howes. 2013. Use of Seclusion for
Managing Behavioural Disturbance in
Patients.Advances
in
Psychiatry
Treatment. Volume 19, 422-428
Download