Wawancara DN Aidit: "PKI menentang pemretelan

advertisement
Wawancara DN Aidit:
"PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila"
http://historia.id/modern/wawancara-dn-aidit-pki-menentang-pemretelan-terhadap-pancasila
Wawancara Aidit dengan Solichin Salam ini koleksi Komando Operasi Tertinggi
(KOTI) yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Arsip ini
telah terbuka untuk publik.
Tim Historia
Senin 18 April 2016 WIB
SIKAP PKI mengenai Pancasila, terutama sila pertama, kerap dituding mendua menurut
lawan-lawan politiknya. Banyak kejadian yang jadi dalih, dari penolakan ide negara Islam
hingga tuduhan dalam pidato tahun 1964 Aidit mengatakan bila sosialisme Indonesia
tercapai, Pancasila tidak lagi dibutuhkan sebagai filsafat pemersatu. Pada akhirnya Aidit
lebih sering menekankan pernyataan Sukarno bahwa Pancasila merupakan alat pemersatu.
Pada 1964, PKI juga menerbitkan buku berjudul Aidit Membela Pantja Sila.
Wartawan Solichin Salam memanfaatkan kesempatan mewawancarai DN Aidit, ketua CC
PKI, untuk menanyakan banyak hal. Tapi tampak jelas bahwa dia mencoba mengorek
pandangan Aidit mengenai agama dan Pancasila. Hasil wawancara itu dimuat di
majalah Pembina pada 12 Agustus 1964.
Berikut petikan wawancaranya.
Benarkah PKI menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia?
Bagaimana pendapat Saudara mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa?
PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima Pancasila sebagai
keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat pemersatu. PKI menentang
pemretelan terhadap Pancasila. Bagi PKI, semua sila sama pentingnya. Kami menerima sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka Pancasila sebagai satu-kesatuan. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa mencerminkan kenyataan bahwa jumlah terbanyak dari bangsa Indonesia
menganut agama yang monoteis (bertuhan satu). Sebagaimana dikatakan oleh Presiden
Sukarno dalam buku Tjamkan Pantja Sila, “pada garis besarnya, grootste gemene
deler dan kleinste gemene veelvoud.. bangsa Indonesia.. percaya kepada Tuhan” di
1
samping “Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan...” Sebagaimana juga Bung
Karno, kaum komunis Indonesia juga sependapat bahwa ada golongan agama yang tidak
percaya kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Presiden Sukarno dalam buku tersebut di
atas sebagai berikut: “Agama Budha tidak mengenal begrip Tuhan... Budha berkata tidak
ada, tidak perlu engkau mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu
daripada nafsu dan dia sebut delapan nafsu... dengan sendirinya engkau masuk di dalam
surga...”.
Dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda
anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. Paksaan beragama
bertentangan dengan sila Kedaulatan Rakyat. Juga bertentangan dengan sila Kebangsaan,
Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Orang Indonesia yang tidak atau belum beragama, ia
tetap bangsa Indonesia, tetap manusia yang harus diperlakukan secara adil dalam
masyarakat. Tentang ini dengan tegas dikatakan oleh Presiden Sukarno bahwa “ada
perbedaan yang tegas antara keperluan negara sebagai ‘negara’ dan ‘urusan agama’.”
Apakah benar ajaran Marxisme tidak mengakui adanya Tuhan, serta berpendapat
bahwa agama adalah candu bagi rakyat?
Marxisme adalah ilmu dan salah satu bagiannya ialah Materialisme Historis yang
menjelaskan hukum-hukum perkembangan masyarakat dan juga akar-akar sosial dari
agama. Materialisme Historis menjelaskan secara ilmiah mengapa ada orang-orang yang
memeluk agama. Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah
masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan
baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap
orang untuk memeluk agama. Marxisme sebagai ilmu, sama seperti ilmu-ilmu lainnya,
tidak menyoalkan apakah individu atau seseorang beragama atau tidak.
Dalam sejarah manusia, ada bukti bahwa agama memainkan peranan revolusioner.
Misalnya agama Nasrani. Di zaman perbudakan, golongan budak yang beragama Nasrani
melakukan perlawanan terhadap kaum pemillik budak, dan agama Nasrani bisa
membangkitkan massa budak. Juga dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, partai-partai
politik yang beraliran agama aktif dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
Misalnya Sarikat Islam. Dan bagi PKI yang mendasarkan diri pada Marxisme, adalah
sepenuhnya sesuai dengan Marxisme untuk bekerjasama dengan partai-partai agama
yang revolusioner, baik dulu maupun sekarang.
Jadi, apakah agama itu candu bagi rakyat atau tidak harus kita lihat secara kongkrit.
Jika agama digunakan untuk memperkuat kolonialisme, misalnya memperkuat kedudukan
2
neo-kolonialisme Amerika Serikat atau memperkuat kedudukan neo-kolonialisme
“Malaysia”, maka agama betul sebagai candu untuk rakyat. Tetapi jika agama digunakan
untuk menghantam kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme, maka
hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat.
Apakah PKI cukup sadar terhadap kenyataan bahwa sebagian terbesar rakyat
Indonesia memeluk agama Islam?
Kami cukup sadar. Karena itulah diperlukan Pancasila dan faktor “A” (Agama) dalam
Nasakom. Kami bukan hanya menyetujui gagasan Nasakom melainkan juga sebagai unsur
“Kom” mengadakan kerjasama dengan partai-partai, organisasi, serta perseorangan yang
mewakili unsur “A” demi persatuan nasional dan perkembangan revolusi Indonesia.
Apakah PKI pro agama ataukah terang-terangan anti-agama?
PKI adalah partai politik. Benar apa yang Saudara katakan bahwa banyak anggota PKI
memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang
menganut agama Islam daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil. Tetapi, hubungan
anggota PKI yang beragama dengan Tuhannya tidak bisa diwakili CC PKI, sebagaimana
halnya Dewan Partai dari partai-partai politik yang berdasarkan agama tidak bisa
mewakili anggota-anggotanya dalam hubungan dengan Tuhan. Menurut Anggaran Dasar
PKI, PKI tidak melarang anggotanya memeluk suatu agama asal saja anggota-anggota PKI
itu menjalankan program dan politik PKI yang melawan imperialisme dan feodalisme dan
bertujuan membentuk masyarakat tanpa kelas dan tanpa exploitation de l’homme par
l’homme.
Berbedakah pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila
dengan ajaran-ajaran Marxisme?
Kita sekarang berada dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap nasional-demokratis,
belum dalam tahap kedua, yaitu tahap sosialis. Apakah berbeda atau tidak pembangunan
masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan yang berdasarkan
Marxisme-Leninisme, hal ini akan kita ketahui kalau kita sudah sampai pada tahap kedua
nanti. Tetapi karena pembangunan masyarakat sosialis berdasarkan Pancasila adalah
pembangunan masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme, masyarakat adil
dan makmur, maka sejak sekarang bisa saya katakan bahwa pembangunan masyarakat
demikian sesuai dengan tujuan Marxisme.
3
Bagaimana pendapat Saudara mengenai agama Islam, apakah ajaran-ajarannya
progresif revolusioner ataukah sudah out of date? Organisasi-organisasi Islam
manakah yang progresif revolusioner?
Out of date atau tidak, hal ini tergantung pada revolusionerkah atau tidak. Jika tidak
revolusioner, maka ia adalah out of date. Juga partai komunis, seandainya ia tidak
revolusioner, maka ia juga out of date, yang berarti pada hakekatnya ia bukan partai
komunis sekalipun namanya partai komunis. Mengenai organisasi Islam mana yang
progresif revolusioner, saya tidak bisa menjadi hakim dan memutuskannya. Hal ini
tergantung pada tindak-tanduk organisasi-organisasi Islam itu sendiri.
4
Download