Pada tahun 2004, produksi perikanan laut di Kepulauan

advertisement
Nama
: YUNIAR ARDIANTI
Kode Mata Kuliah
: COMM5311
OVERFISHING DI KEPULAUAN SERIBU
I.
Pendahuluan
A. Definisi
Ikan adalah sumber daya yang bersifat dapat diperbaharui atau memulihkan diri
(renewable), tapi sumber daya alam ini bukannya bersifat tak terbatas. Sumberdaya yang
bersifat terbatas tetap harus dikelola dengan berdasarkan pada kemampuan pulih secara
alami agar tidak menyebabkan eksploitasi berlebihan, (overexploitation), investasi
berlebihan (overinvestment) dan tenaga kerja berlebihan (overemployment).
Overexploitation dari sumberdaya ikan salah satunya disebabkan oleh Overfishing.
Overfishing seperti yang disebutkan dalam Wikipedia, merupakan kegiatan penangkapan
ikan yang mengurangi stock ikan di atas level yang diperbolehkan. Overfishing dapat terjadi
pada pada skala kolam hingga perairan laut. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, terakhir
dilaporkan bahwa produksi ikan tangkap dunia mengalami penurunan.
Menurut Agromart.com, overfishing adalah penangkapan ikan secara besar-besaran
baik ikan besar maupun ikan kecil sehingga ikan-ikan tidak dapat berkembang biak dan
menjadi langka.
Beberapa pengertian lain tentang overfishing, seperti yang disebukan dalam
overfishing.org situs adalah kegiatan perikanan komersial dan non-komersial yang
mengurangi jumlah ikan melalui pengakapan ikan dewasa secara berlebihan sehingga tidak
ada lagi ikan dewasa yang tersisa untuk berkembang biak dan memulihkan populasi.
Overfishing melebihi carrying capacity dari suatu populasi ikan.
Terdapat berbagai bentuk overfishing sebagaimana disebutkan dalam Widodo, J &
Suadi (2008):
a. Growth overfishing
Ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan
lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat keseimbangan terhadap
penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan).
Pencegahan growth overfishing meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengaturan
ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan
b. Recruitment overfishing
Pengurangan terjadi akibat
penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa
sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang
kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama. Pencegahan terhadap
recruitment overfishing meliputi proteksi (misalnya Melalui reservasi) terhadap sejumlah
stok induk (parental stock, broodstock) yang memadai.
c. Biological overfishing
Kombinasi dari growth overvishing dan recruitment overfishing akan terjadi manakala
tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang
diperlukan untuk menghasilkan MSY. Pencegahan terhadap biological overfishing
meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan (fishing pattern).
d. Economic overfishing
Terjadi bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang
diperlukan untuk menghasilkan MEY, yang dirumuskan sebagai perbedaan maksimum
antara nilai kotor dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari penangkapan. Perlu dicatat
bahwa tingkat upaya penangkapan MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY.
Perbaikan pengelolaan akan menurunkan biaya produksi melalui pengurangan upaya
penangkapan. Selain itu perbaikan pengelolaan juga akan meningkatkan pemerataan,
yakni telah banyak dan/atau lebih tersedia makanan bagi masyarakat yang tertinggal
dan kurang mampu. Sebagai bahan tambahan empat jenis overfishing klasik tersebut
yang dapat menimpa semua bentuk perikanan atau sumberdaya ikan didunia, terdapat
bentuk overfishing yang terutama relevan dengan perikanan tropis yakni ecosystem
overfishing.
e. Ecosystem overfishing
Overfishing jenis ini dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis dari
suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies
target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti”. Biasanya
ecosystem overfishing mengakibatkan timbulnya suatu transisi dari ikan bernilai ekonomi
tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil dan
akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata non komersial seperti
ubur-ubur.
f. Malthusian overfishing
Malthusian overfishing merupakan suatu istilah untuk mengungkapkan masuknya tenaga
kerja yang tergusur dari berbagai aktifitas berbasis darat (land-based activities) kedalam
perikanan , pantai dalam jumlah yang berlebihan yang berkompetisi dengan nelayan
tradisional yang telah ada dan yang cenderung menggunakan cara-cara penangkapan
yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk ikan ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan
di terumbu karang dan/atau insektisida dibeberapa perikanan laguna dan estuarine.
B. Kondisi Perikanan di Kepulauan Seribu
Dalam Jurnal Nasional, disebutkan bahwa di Indonesia, perairan di sekitar pulau
Jawa berkontribusi sekitar 20% dari total produksi ikan nasional.
Tetapi yang
memprihatinkan adalah menurut prediksi peneliti dari LIPI, Zainal Arifin, dalam 5 hingga 10
tahun mendatang produksi ikan di sekitar pulau Jawa akan berkurang drastis (overfishing).
Di kawasan Kepulauan Seribu, sekitar 70% penduduk Kepulauan Seribu
menggantungkan hidupnya pada perairan laut Kepulauan Seribu. Sebanyak 21-40%
merupakan nelayan tangkap konsumsi yang melakukan penangkapan di sekitar ekosistem
terumbu karang. Antara 69-92% nelayan dari 5 kelurahan (Pulau Panggang, Pulau Kelapa,
Pulau Pari, Pulau Harapan dan Pulau Untung Jawa) mengatakan hasil tangkapan telah
menurun. (Terumbu Karang Jakarta).
Pada tahun 2000, produksi perikanan laut dan hasil tangkapan lokal di wilayah
Jakarta Utara sebesar 57,260,269 kg dengan nominal Rp. 97,267,048,675. Hal ini
mengalami penurunan produksi jika dibandingkan dengan tahun 1999 sebesar 63,091,645
kg atau turun sebesar 9.2%. Penurunan produksi tersebut disebabkan karena terjadinya
overfishing di perairan Teluk Jakarta akibat padatnya armada perikanan yang beroperasi.
Pada tahun 2004, produksi perikanan laut di Kepulauan Seribu dapat mencapai
2,838.80 ton per tahun dengan jumlah nelayan telah mencapai 10,442 orang. Pada tahun
2007, jumlah armada penangkapan ikan yang ada adalah 1.289 dengan jumlah kapal motor
sebanyak 899 unit dan yang lainnya terdiri dari motor tempel, perahu layar, dan
sampan/jukung sebanyak 370 unit. (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta
2007 dalam Harmiyati, Desi. 2009).
Dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Volume I
(1999) disebutkan beberapa jenis ikan konsumsi yang dominan ditangkap di kawasan
Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah ikan baronang (Siganus sp), tongkol (Euthymus
sp), serta ikan ekor kuning (Caesio cuning). Jenis alat tangkap yang dominan digunakan
untuk menangkap ikan ekor kuning antara lain adalah bubu (portable traps) dan jaring
muroami (Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007 dalam
Harmiyati, Desi. 2009). Jaring muroami yang digunakan dalam kegiatan penangkan ikan di
perairan Kepulauan Seribu memiliki mesh size < 1 inchi yang menyebabkan ikan-ikan muda
yang berukuran kecil ikut terjaring.
Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Diniah dan Andika Septiawan (2009),
menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini ukuran individu ikan ekor kuning
yang ditangkap di Kepulauan Seribu cenderung lebih kecil. Hal ini diperkuat oleh penelitian
Desi Harmiyati (2009) disebutkan bahwa hasil tangkapan ikan ekor kuning yang didaratkan
di TPI Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu adalah meningkat tapi didominasi oleh ikan-ikan
yang berukuran lebih kecil.
Berdasarkan hasil penelitian Desi Harmiyati (2009) terdapat beberapa indikasi
tingginya tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan ekor kuning yang mengarah
kepada gejala tangkap lebih (overfishing) yang diduga lebih lanjut termasuk kondisi
growthoverfishing. Beberapa indikasi ditunjukkan dari perubahan yang terjadi dalam
struktur stok ikan, antara lain :
(1) Jumlah ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan berukuran kecil (6‐12 cm) dan
berukuran sedang (13‐20 cm) serta sekitar 80% dari total tangkapan adalah ikan muda
atau mempunyai ukuran di bawah ukuran pertama kali matang gonad.
(2) Meningkatnya koefisien pertumbuhan populasi yang berarti umur ikan untuk mencapai
panjang infinitif menjadi lebih pendek.
(3) Peningkatan jumlah upaya penangkapan cenderung akan meningkatkan jumlah hasil
tangkapan, tetapi berat rata‐rata ikan terus menurun dan berat total(biomassa) juga
menurun.
II.
Strategi Penanganan Overfishing
A.
Secara Umum
Berbagai strategi perlu dilakukan dalam melakukan pembangunan sumber daya
ikan secara bertanggung jawab. Di beberapa kawasan, keadaan overfishing telah
ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya kebijakan pengurangan jumlah armada tangkap,
misalnya yang terjadi di kawasan Perairan Uni Eropa. Pada tahun 2003, Komisi Uni
Eropa menerbitkan kebijakan yang menghentikan pengoperasian 7,680 unit (50%) kapal
ikan berkapasitas minimal 300 GT di kawasan tersebut. Pada akhir 2005, Komisi Uni
Eropa kembali mengeluarkan kebijakan Pengurangan jumlah tangkap yang
diperbolehkan (Total Allowable Catches) untuk tahun 2006 sebesar 15% dari tahun
2005.
Secara de facto, penyebab overfishing adalah rezim open access yang berlaku di
semua armada pennagkapan ikan, yaitu pengelolaan sumber daya ikan tidak mengenal
hak milik (rel nullius). Hasil studi Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL,
2005) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mengatasi rejim open access adalah
melalui Revitalisasi Tata Kelola Perikanan, yaitu melalui perubahan Rejim Perikanan dari
Quasi Open Access ke Limited Entry. Rejim ini menitik beratkan pada pengelolaan
pengelolaan sumber daya ikan baik dari sisi input maupun output melalui pengaturan
mekanisme use rights. Konsep Limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam
konteks perikanan budidaya.
Solusi lain yang dapat dipertimbangkan adalah dengan penghilangan subsidi bagi
usaha perikanan laut dalam. Kegiatan penangkapan ikan di perairan laut dalam hanya
dalam waktu beberapa jam bisa mendapatkan tangkapan sebesar 15 ton, yang diambil
dari dasar dengan menggunakan deep-water trawler yang menghancurkan koral-koral
laut dalam dan tutupan sponge yang membutuhkan waktu selama ratusan tahun untuk
tumbuh. Selain itu, trawler dapat menangkap ikan jenis grenadiers atau hiu yang
bersifat lambat dewasa dan populasinya membutuhkan waktu puluhan bahkan hingga
ratusan tahun untuk dapat pulih kembali.
Selain terfokus pada pelaku kegiatan perikanan, solusi mengatasi overfishing
dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran konsumen. The Marine Stewardship
Council (MSC) telah mengembangkan standar lingkungan untuk perikanan berkelanjutan
dan yang dikelola dengan baik. Kegiatan pengelolaan dan pengusahaan perikanan yang
telah melakukan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab terhadap lingkungan
akan mendapatkan ecolabel. Pada bulan April 2010, 69 usaha perikanan di seluruh dunia
telah mendapatkan assessment dan disertifikasi. Konsumen yang peduli terhadap
overfishing dan segala dampaknya dapat mengambil peran penting dalam mengurangi
overfishing dengan membeli produk seafood yang telah mendapatkan sertifikasi dari
MSC.
B.
Secara Khusus
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam no.SK.05/IV-KK/2004 tentang Pembagian Zona Kawasan Taman Nasional
Kepulauan Seribu, terdapat 4 (empat) zona yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona
Pemanfaatan Wisata dan Zona Pemukiman. Tiap zona memiliki peruntukan yang khas.
Pada Zona Inti difokuskan pada perlindungan habitat untuk melindungi Penyu
Sisik dan tempat penelurannya, ekosistem mangrove yang khas yaitu tumbuh di atas
substrat lumpur, dan ekosistem terumbu karang. Zona Perlindungan merupakan zona
yang diperuntukkan untuk melindungi zona inti, dan di dalam kawasan ini hanya
diperbolehkan untuk pemanfaatan secara tidak langsung, yaitu wisata alam terbatas,
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pada Zona Inti dan Zona Perlindungan
tidak diijinkan adanya kegiatan eksploitasi ikan.
Zona Pemanfaatan Wisata merupakan zona yang dikembangkan untuk
mengakomodir kegiatan wisata bahari, sedangkan Zona Pemukiman merupakan zona
yang mengakomodir kepentingan masyarakat.
Saat ini, upaya Balai TN Kepulauan Seribu dalam mewujudkan konservasi adalah
melalui pemberdayaan masyarakat. Masyarakat dialihkan untuk memiliki alternatif
pekerjaan sebagai sumber pendapatan tambahan, agar tidak terlalu tergantung pada
kegiatan penangkapan ikan. Program pemberdayaan masyarakat yang sudah
diupayakan yaitu penangkaran dan perdagangan karang hias bagi nelayan dengan
menggandeng perusahaan eksportir sebagai bapak angkat. Kelompok nelayan yang aktif
dan memiliki kinerja baik berjumlah 13 kelompok dari total 24 kelompok nelayan karang
hias yang ada. Pelaksanaan budidaya karang hias ini baru dilakukan di Pulau Panggang
dan Pulau Pramuka, dan telah menjadi salah satu atraksi wisata yang diminati
pengunjung.
Dalam bidang pengamanan kawasan, Balai TN Kepulauan Seribu telah
melakukan Unit Konservasi Terpadu (UKT) di lokasi Zona Inti II, dengan target
perlindungan ekosistem mangrove dan tempat peneluran penyu, yang melibatkan
anggota masyarakat. Dalam UKT, juga dilakukan patroli terhadap pelanggaran zonasi
yang berupa penangkapan ikan di zona inti.
Di Taman Nasional Kepulauan Seribu, masyarakat sudah bergerak menuju
perikanan budidaya. Hanya saja kegiatan perikanan budidaya yang dilakukan tersebut
berada pada zona yang tidak diperuntukan untuk kegiatan budidaya perikanan. Oleh
karena itu, pihak TN Kepulauan Seribu akan melakukan penertiban dan penataan lokasi
budidaya serta pembinaan untuk menjadi nelayan budidaya yang ramah lingkungan.
Selain itu, berbagai upaya sertifikasi telah dilakukan untuk mendorong
masyarakat terlibat aktif dalam konservasi, di antaranya Sertifikasi ikan hias dan
sertifikasi karang hias. Upaya lain yang dapat diusahakan adalah penetapan kode etik
penangkapan ikan, optimalisasi alat tangkap ramah lingkungan, dan pembelajaran
wisata bahari yang ramah lingkungan. Dan sebagai salah satu TN model, TN Kepulauan
Seribu melakukan pengelolaan berdasarkan konservasi mandiri dengan melibatkan
berbagai stakeholders, yaitu masyarakat lokal, swasta, instansi pemeritah lainnya,
perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan NGO.
Referensi
Diniah dan Septiawan, Andika. 2009. Analisis Hasil Tangkapan Unit Penangkapan Muroami di
Kepulauan Seribu.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang terumbu karang Kepulauan Seribu
(2003-2007). 2009. Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta.
Suhana. Overfishing dan Revitalisasi Rezim Perikanan. Sinar Harapan edisi 16 November 2006.
Terumbu Karang untuk Kesejahteraan Masyarakat. Koran Jurnal Nasional edisi 20 April 2010.
Widodo, J dan Suadi, 2008. Pengelolaan Perikanan Sumberdaya laut. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
www.jakarta.go.id yang diakses pada 25 Mei 2010
www.overfishing.org yang diakses pada 25 Mei 2010
www.fao.org yang diakses pada 25 Mei 2010
www.wikipedia.com yang diakses pada 25 Mei 2010
www.agromart.com tanggal 27 November 2009 yang diakses pada 25 Mei 2010
Download