Kekerasan Atas Nama Agama, Tindakan Fatal

advertisement
Kekerasan Atas Nama Agama, Tindakan Fatal Vonis Minimal
Oleh Andi Muttaqien
Masih jelas dalam ingatan kita kekejaman ekelompok orang di Cikeusik, Pandeglang, eberapa
bulan silam, di mana orang yang ak berdaya dihantam dengan batu, bambu, atau kayu beramai-ramai
bergantian tanpa ragu. Komnas HAM dalam laporannya menyimpulkan bahwa Insiden Cikeusik
memang direncanakan. Insiden yang menewaskan tiga orang Ahmadiyah ini juga dinyatakan telah
melanggar hak-hak warga negara, khususnya hak beragama, hak atas rasa aman, hak untuk hidup, dan
hak untuk memperoleh keadilan yang diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM1. Peristiwa
tersebut pun tersebar dalam video berdurasi kurang lebih 1 (satu) menit yang beredar luas di situs
youtube.
Berjarak dua hari setelah Cikeusik, meletus peristiwa kekerasan massal serupa di Temanggung, Jawa
Tengah. Pada 8 Februari 2011, tiga bangunan gereja dan sebuah sekolah Kristen dirusak massa, yang
sebelumnya baru saja membuat kericuhan di Pengadilan Negeri Temanggung yang saat itu
menyidangkan Antonius Richmond Bawengan2. Massa tidak terima vonis Bawengan karena
dianggap terlalu rendah. Mereka geram dan tak puas, akhirnya melampiaskan kemarahannya dengan
merusak Kantor PN Temanggung, Gereja Santo Petrus, Polres Temanggung, Gereja Pantekosta,
Gereja Bethel Indonesia, yang satu kompleks dengan Sekolah Kristen Shekihah, bahkan 2 pos Polisi
tak luput dari serangan massa.
Jauh lebih lama sebelumnya, pada 12 September 2010, pagi hari sekitar pukul 08.30 wib, ketika
rombongan Jemaat HKBP Ciketing, Bekasi Timur, sedang yang berjalan beriringan hendak
melaksanakan ibadah, di tengah jalan tiba-tiba melintas dari arah berlawanan lima motor dan
menyerempet Jemaat, sehingga terjadilah keributan. Seorang pengendara motor menusuk seorang
jemaat dan pendetanya tak berdaya saat dipukul kepalanya. Peristiwa ini merupakan puncak dari
rangkaian peristiwa sebelumnya yang dialami Jamaat HKBP Pondok Timur Indah di Ciketing.
Ketiga kasus tersebut di atas sama-sama menyasar kelompok minoritas, dengan penggunaan
kekerasan berlebih serta dipicu atas dasar kebencian terhadap suatu kelompok agama.
Peristiwa-peristiwa di atas hanya beberapa kasus yang muncul di permukaan dan mendapat sorotan
publik nasional maupun internasional. Meskipun begitu, ternyata proses pemidanaan
terhadap para pelaku kejahatan tersebut hanya menghasilkan hukuman yang teramat ringan. Sebut
saja persidangan para pelaku penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, atas perbuatan yang membabibuta itu, kedua belas pelaku hanya divonis 3 hingga 6 bulan penjara, dan tidak ada beda masa
hukuman antara pelaku lapangan dengan penghasutnya.
Untuk peristiwa Temanggung dari 25 pelaku, seorang divonis 4 bulan penjara, seorang (penghasut)
divonis 1 tahun penjara dan selebihnya divonis 5 bulan penjara. Sedangkan penusuk Jemaat dan
penganiaya Pendeta HKBP di Ciketing, Bekasi masing-masing divonis 7 bulan penjara. Lebih
parahnya, orang yang menyebarkan sms untuk mengumpulkan massa, hanya divonis 5 bulan 15 hari
atas kesalahan perbuatan tidak menyenangkan dan dibebaskan dari dakwaan penghasutan.
Melihat dari karakteristiknya, kasus-kasus tersebut menjadi ancaman kehidupan umat beragama di
Indonesia karena menyasar kelompok agama lain, dengan dasar atau mengatasnamakan agama
tertentu. Kejahatan tersebut juga yang berdimensi sosial, karena cenderung memberikan justifikasi
suatu kelompok untuk menggunakan kekerasan dalam berhadapan dengan orang lain dan
memaksakan kehendaknya. Selain itu, kejahatan ini juga harus dipahami sebagai kejahatan yang
serius, melanggar hak asasi yang paling fundamental, yakni hak untuk berkeyakinan.
Deskripsi Umum Putusan
Dalam beberapa kasus yang berbasiskan kebencian terhadap suatu kelompok tertentu, khususnya
dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat kesamaan pola yang terjadi dan
berlanjut secara terus-menerus. Setidaknya dari contoh kasus yang digambarkan di atas, yakni kasus
Ciketing, kasus Cikeusik, kasus Temanggung dapat diambil 4 (empat) kesamaan dalam putusannya.
Pertama, putusan dalam kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama tidak pernah
memberikan efek jera terhadap para pelaku, karena Majelis Hakim memberikan vonis yang teramat
ringan. Padahal, dengan menghukum maksimal tentu dapat memberikan efek jera, sekaligus pada saat
bersamaan menjadi tindakan prefentif yang memperlihatkan kepada publik akan kejahatan serius dan
layak dihukum berat.
Kedua, dalam putusannya, Majelis Hakim kerap t idak bersikap independen dengan
mempertimbangkan kedudukan sosial dari terdakwa, dan bahkan menempatkannya menjadi alasan
keringanan hukuman. Umumnya, mereka yang dituduh dan dianggap melakukan penghasutan dalam
kasus tersebut adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, atau biasa disebut Kyai. Dengan alasan
kedudukan mereka yang dibutuhkan oleh masyarakat, hal itu akhirnya ditempatkan sebagai
pertimbangan yang meringankan hukuman. Agak aneh mengingat sebagai tokoh masyarakat atau
agama, mereka seharusnya menerima hukuman lebih berat. Mereka gagal mencegah anarkisme. Hal
ini dikuatirkan memberikan pembenaran terhadap anarkisme, dan akan diikuti oleh masyarakat
lainnya. Dalam beberapa putusan pun Majelis Hakim kerap mempermasalahkan akidah yang masuk
domain privat seseorang. Hal ini tampak jelas pada kasus Cikeusik.
Ketiga, ketiadaan pengungkapan aktor intelektual yang selama ini berada di balik berbagai macam
persitiwa kekerasan yang berbasis kebencian terhadap suatu kelompok. Dalam kesaksian- kesaksian
persidangan, sebenarnya muncul nama atau ormas tertentu yang dianggap bertanggung jawab atau
terlibat dalam rangkaian peristiwa. Misalnya saja peristiwa Cikeusik yang salah seorang saksi
menyebut adanya keterlibatan Habib Rizieq4. Begitu juga peranan signifikan mobilisasi massa yang
dilakukan Ketua FPI Bekasi Raya dalam rangka penolakan berdirinya Gereja di Ciketing. Setidaknya
ini menjadi petunjuk bagi Kepolisian dalam mengusut tuntas kasus-kasus tersebut dan kasus serupa di
kemudian hari.
Keempat, tiada uraian tentang konteks kekerasan berbasiskan kebencian terhadap suatu kelompok.
Memang perlu diakui bahwa proses hukum mempunyai keterbatasan dalam memotret peristiwa
secara utuh, namun setidaknya adanya uraian yang memadai tentang konteks kekerasan dan adanya
niat pelaku sangat diperlukan demi memberikan gambaran atau bobot kejahatan yang terjadi.
Konstruksi peristiwa yang demikian, semakin meneguhkan bahwa banyak diantara peristiwa
kekerasan yang mengatasnamakan agama terjadi, juga sebelumnya disertai dengan serangkaian
tindakan penghasutan. Ketiadaan konteks tersebut pada akhirnya berdampak pada anggapan
bahwasanya peristiwa-peristiwa tersebut adalah semata kriminal biasa tanpa adanya perhatian khusus
atau strategi khusus untuk mencegahnya, dan tentunya ketiadaan efek jera dalam vonisnya.
Itulah beberapa hal yang tentunya menyumbang kesuburan tindak anarkis dari kelompok yang
mengatasnamakan agama dan keyakinan tertentu. Ketiadaan efek jera sampai imparsialitas hakim
dengan bersikap independen,sering ditemui dalam persidangan-persidangan kasus tersebut.
Proses hukum terhadap kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama selama ini belum
mampu memberikan efek jera terhadap para pelakunya. Hal ini diakibatkan karena kurangnya
pemahaman aparat penegak hukum dalam menilai kejahatan yang mempunyai dimensi kebencian
kepada kelompok tertentu. Minimnya hukuman akan berakibat bahwa para pelaku tidak merasa
perbuatannya salah atau bahkan menyesalinya, sehingga hal itu berpotensi terjadi pengulangan dalam
kasus-kasus yang mempunyai konteks yang sama di berbagai tempat.
Pengadilan sebagai benteng mengawal hak asasi, seharusnya bisa memberikan hukuman setimpal
terhadap para pelaku kekerasan. Jika dalam tuntutannya memang rendah, bisa saja Majelis Hakim
menghukum pelaku dengan vonis lebih tinggi dari tuntutan. Putusan Hakim yang memberikan
hukuman minim juga sebenarnya adalah dampak dari keseluruhan proses yang memang terlanjur
menganggap kejahatan-kejahatan tersebut sebagai “kriminal murni”, dalam arti putusan tersebut tidak
hanya hasil dari pendapat Majelis Hakim yang memeriksa perkara, tetapi termasuk juga hasil dari
penyidikan di Kepolisian, dan penuntutan yang dilakukan Kejaksaan. Mereka tidak menganggapnya
sebagai tindak kejahatan serius, dan berakibat minimnya upaya untuk mengungkapkan fakta di
persidangan. Inilah mengapa Pengadilan tidak bisa menjawab soal itu dan menghukumnya dengan
teramat rendah.
Terlebih lagi ketiadaan kompensasi Negara terhadap para korban dalam kasus-kasus tersebut
menambah catatan buruk penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Berdasarkan Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil Politik yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005 Pasal 2
ayat (3) Kovenan, Negara harus menjamin setiap orang yang hak atau kebebasannya sebagaimana
diakui dalam Kovenan tersebut dilanggar, mereka harus mendapatkan pemulihan efektif, bahkan
meskipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi. Pasal tersebut
juga menyatakan bahwa pemulihan bagi orang yang dilanggar haknya selanjutnya akan ditetapkan
oleh lembaga peradilan, adminsitratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga lain yang
berwenang sebagaimana ditentukan oleh sistem hukum Negara tersebut.
Jaminan, perlindungan, dan penghormatan HAM tidak mungkin tumbuh dan hidup secara wajar tanpa
ada demokrasi dan terlaksananya prinsip negara berdasarkan hukum. Salah satu aspek penting
membangun negara berdasarkan hokum adalah memberdayakan sistem penegakan hukum5. Proses
penegakan hukum bagi pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama selama ini terlihat tidak
menjadi lebih baik, bahkan justru memperlihatkan k etidakmampuan dalam memberikan rasa
keadilan bagi para korban.
Dalam konstruksi hukum pidana, pihak yang menyuruh lakukan seharusnya dituntut dan diberikan
hukuman yang tentu lebih berat dibanding para pelaku lapangan. Selanjutnya hukum pidana
sebenarnya menjelaskan, bahwa terkait perbuatan pidana seseorang haruslah tegas pembedaannya
dalam tindak pidana, apakah dia seorang pembujuk (uitloker), yang menyuruh melakukan (doen
pleger), atau hanya ikut serta melakukan (mendeplegen), sehingga tentunya hukumannya pun tidak
dapat disamakan antara masing-masing posisi tersebut. Hal inilah yang gagal dilihat oleh Hakim
dalam memutus perkara-perkara tersebut.
Minimnya hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku penyerangan dan kekerasan yang
berbasiskan kebencian terhadap suatu kelompok tertentu sangat tidak masuk akal. Karena, secara
faktual dan sudah menjadi pengetahuan umum (prima facie) bahwa peristiwa-peristiwa tersebut
bukan merupakan peristiwa kejahatan biasa (penghasutan, pengrusakan, penganiayaan, dan
pengeroyokan), melainkan kejahatan serius (serious crimes) yang memiliki bobot kejahatan tinggi,
bahkan menewaskan orang lain dari pihak korban.
Secara parsial dalam prakteknya Pengadilan hanya berhasil menemukan pelaku-pelaku lapangan yang
bertanggungjawab atas peristiwa, tetapi tidak aktor intelektualnya. Sehingga, wajar saja putusan ini
tidak akan memberikan efek jera terhadap kasus- kasus kekerasan yang berbasis kebencian terhadap
suatu kelompok agama, seperti yang telah terjadi dalam kasus kekerasan terhadap Jemaat HKBP
Pondok Timur Indah di Ciketing Bekasi; kasus penyerangan Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang dan peristiwa kerusuhan Temanggung. Dalam hal ini, Pengadilan sebagai benteng
terakhir keadilan, tidak berdaya untuk menegakkan hukum dan hak asasi manusia di tengah-tengah
kepungan massa anarkis. Idealnya, melalui perangkat aparat penegak hukum baik, Polisi, maupun
Jaksa dan berujung di Pengadilan, negara bisa membongkar otak pelaku, yang langsung maupun tidak
langsung, termasuk juga pihak-pihak yang selama ini memberikan dukungan akan terjadinya
kekerasan.
Melihat kecenderungan hal tersebut di atas, Pengadilan sepertinya tak lagi dapat digunakan sebagai
salah satu sarana untuk menghalangi merebaknya kekerasan yang mengatasnamakan agama dan
mengembangkan kehidupan pluralisme di Indonesia. Apalagi untuk melindungi hak-hak fundamental
rakyat Indonesia, khususnya hak untuk beribadah berdasarkan agama dan keyakinan, hak yang tidak
bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini telah dijamin UUD 1945, yakni Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945, yang berbunyi: Jaminan Negara tentang kemerdekaan memeluk agama pun dijamin Pasal
29 ayat (2) UUD 1945. Lebih lanjut, Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM juga menyatakan
bahwa Hak Beragama merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Begitu juga
dalam peraturan- peraturan Internasional6. Hal inilah mengapa hak beragama merupakan hak
fundamental.
Situasi ketidakmampuan Pengadilan mengungkap dan menghukum setimpal para pelaku kekerasan
bukan tidak mungkin justru mendorong dan memberikan pembenaran diam-diam bagi berbagai
kelompok untuk melakukan kekerasan dan tindakan sepihak dengan kekerasan kepada kelompokkelompok rentan, yang saat ini marak terhadap agama minoritas.
Download