“Peran Modal Sosial dalam Keberhasilan Pengelolaan

advertisement
Laporan Studi Pustaka (KPM 403)
PERAN MODAL SOSIAL DALAM KEBERHASILAN
PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN MELALUI PENGELOLAAN
HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM)
AHMAD ZIKRI FADILAH
I34120078
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Peran
Modal Sosial dalam Keberhasilan Pengelolaan Kawasan Hutan melalui
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)” benar-benar hasil karya saya
sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka yang
diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka. Demikian
pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia
mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor,
Desember 2015
Ahmad Zikri Fadilah
NIM. I34120078
ii
ABSTRAK
AHMAD ZIKRI FADILAH. Peran modal sosial dalam keberhasilan pengelolaan
kawasan hutan melalui pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Di bawah
bimbingan TITIK SUMARTI.
Indonesia memiliki hutan terluas ketiga di dunia, akan tetapi kerusakan hutan di
Indonesia semakin meningkat karena tidak memiliki pengelolaan yang cukup baik.
Disamping itu, adanya kehidupan masyarakat tepian hutan yang hidupnya bergantung
pada sumberdaya hutan yang ada. Kehidupan masyarakat tepian hutan memiliki cara
tersendiri dalam melakukan pengelolaan hutan dengan berbasiskan modal sosial. Modal
sosial mempunyai peranan sebagai suatu penggerak bagi masyarakat tepian hutan itu
sendiri. Dengan adanya modal sosial diharapkan keberhasilan pengelolaan hutan
menjadi meningkat. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsep pengelolaan
kawasan hutan, modal sosial, keberhasilan pengelolaan kawasan hutan dan menganalisis
peran modal sosial dalam keberhasilan pengelolaan kawasan hutan. Hasil dari penulisan
ini adalah modal sosial dapat menentukan keberhasilan pengelolaan kawasan hutan
yang dapat dianalisis melalui efektivitas, yang di ukur dengan (a) partisipasi dalam
pembuatan perencanaan (b) partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan (c) partisipasi dalam
pemantauan dan (d) evaluasi partisipasi dalam pemanfaatan hasil
Kata kunci
: Pengelolaan Kawasan Hutan, Modal Sosial, Keberhasilan Pengelolaan
Kawasan Hutan
ABSTRACT
AHMAD ZIKRI FADILAH. The role of social capital in the successful management
of forest / PHBM. Supervised by TITIK SUMARTI.
Indonesia has the world's third largest forest, but the forest destruction in Indonesia is
increasing due to not having enough good management. In addition, the life of the forest
edge communities dependent on forest resources. Forest edge community life has its
own way of doing forest management on the basis of social capital. Social capital has a
role as a driving force for the community forest edge itself. With the existence of social
capital is expected to increase the success of forest management. This paper aims to
identify the concept of forest management, social capital, the successful management of
forest areas and to analyze the role of social capital in the success of forest
management. Results of this paper is social capital determines the success of forest
management to know, can be analyzed through Effectiveness is measured by (a)
participation in the manufacture of planning (b) participation in the implementation of
activities (c) participation in the monitoring and (d) evaluation participation in the
utilization of results.
Keyword : Forest Management, Social Capital, Forest Management Success
iii
PERAN MODAL SOSIAL DALAM KEBERHASILAN
PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN MELALUI PENGELOLAAN
HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM)
Oleh
AHMAD ZIKRI FADILAH
I34120078
Laporan Studi Pustaka
sebagai syarat kelulusan KPM 403
pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Insititut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bawa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh :
Nama Mahasiswa
: Ahmad Zikri Fadilah
Nomor Pokok
: I34120078
Judul
: Peran Modal Sosial dalam Keberhasilan Pengelolaan
Kawasan Hutan melalui Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Disetujui oleh
Dr Ir Titik Sumarti MC, MS
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan:
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Studi Pustaka berjudul “Peran Modal Sosial dalam Keberhasilan Pengelolaan Kawasan
Hutan/PHBM”. Meskipun seringkali penulis mengalami kesulitan, namun berkat
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Studi Pustaka ini dengan tepat
waktu. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi
Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Titik Sumarti MC, MS
sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses
penulisan hingga penyelesaian Laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada orang tua tercinta Bapak Harwan Ahyadi dan Ibu Dewi Novianti
serta keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis. Selain itu,
penulis juga berterima kasih kepada teman hidup terbaik Ajeng Octaviany Dwi Putri.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman Namora dan seluruh
teman-teman SKPM 49 sebagai teman berdiskusi sekaligus memotivasi penulis untuk
menyelesaikan laporan studi pustaka ini.
Semoga Laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2015
Ahmad Zikri Fadilah
NIM. I34120078
vi
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
Tujuan........................................................................................................................................ 2
Metode Penulisan ...................................................................................................................... 2
RINGKASAN DAN ANALISIS ...................................................................................... 3
Relasi Kuasa Antara Perhutani dan Masyarakat dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan di
Banyus: Kepentingan bisnis VS Community Empowerment..................................................... 3
Transformasi Struktur Nafkah Pedesaan: Pertumbuhan “Modal Sosial Bentukan” dalam
skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan ................................ 5
Dukungan Kelembagaan Masyarakat dalam Pemebelajaran Petani untuk Pengelolaan Hutan
Rakyat lesatri di Kab. Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kab.
Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah .............................................................................................. 7
Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Dalam Pengelolaan
Agroekosistem Lahan Kering Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex proyek Pertanian
Lahan Kering, Kabupaten Boyolali ........................................................................................... 9
Penguatan Modal Sosial dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Pulau Pahawang, Kecamatan
Punduh Pdada, Kabupaten Pesawaran..................................................................................... 12
Kendala dan Modal Sosial dalam Pengelolaan Lahan Suboptimal untuk Meningkatkan
Kesejahteraan Petani Tradisional ............................................................................................ 15
Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan ...................................................................................................................... 17
Peran Modal Soial dalam Pelestarian Hutan ........................................................................... 20
Hubungan Modal Sosial dengan Hubungan Pemanfaatan dan Kelestarian Hutan Lindung ... 23
Perubahan Budaya Petani Tepian Hutan dalam Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya
Hutan Berbasis Modal Sosial .................................................................................................. 27
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 30
Pengelolaan Hutan................................................................................................................... 30
PHBM...................................................................................................................................... 30
Keberhasilan Program ............................................................................................................. 31
Efektivitas PHBM ................................................................................................................... 32
Komponen Modal Sosial ......................................................................................................... 32
Pengetahuan Lokal .................................................................................................................. 33
Modal Sosial dan Masyarakat Tepian Hutan........................................................................... 34
SIMPULAN .................................................................................................................... 36
Kerangka Analisis ................................................................................................................... 37
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi .......................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 39
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1. .............................................................................. 4
Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2. .............................................................................. 5
Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3. .............................................................................. 8
Gambar 4. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4. ............................................................................ 10
Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5. ............................................................................ 13
vii
Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6. ............................................................................ 15
Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7. ............................................................................ 18
Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8. ............................................................................ 21
Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9. ............................................................................ 25
Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10. ........................................................................ 28
Gambar 11. Kerangka pemikiran baru ........................................................................................ 37
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar Variabel Jurnal 1. ................................................................................................. 4
Tabel 2. Daftar Variabel Jurnal 2. ................................................................................................. 6
Tabel 3. Daftar Variabel Jurnal 3. ................................................................................................. 8
Tabel 4. Daftar Variabel Jurnal 4. ............................................................................................... 11
Tabel 5. Daftar Variabel Jurnal 5. ............................................................................................... 14
Tabel 6. Daftar Variabel Jurnal 6. ............................................................................................... 16
Tabel 7. Daftar Variabel Jurnal 7. ............................................................................................... 19
Tabel 8. Daftar Variabel Jurnal 8. ............................................................................................... 22
Tabel 9. Daftar Variabel Jurnal 9. ............................................................................................... 26
Tabel 10. Daftar Variabel Jurnal 10. ........................................................................................... 29
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mempunyai hutan negara seluas 131,28 juta hektar (Statistik
Kehutanan 2012). Namun kondisi hutan di Indonesia sejak awal kemerdekaan telah
mengalami degradasi dan deforestasi. Kawasan hutan di Indonesia mengalami
kerusakan dan degradasi dari waktu ke waktu sebagian besar disebabkan oleh aktifitas
manusia berupa transmigrasi, kebakaran hutan, pembalakan liar, perambahan kawasan,
pertambangan liar, sampai pada konversi kawasan menjadi pemukiman dan perkebunan.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan berupaya memperkuat
kebijakan dalam pengelolaan hutan dengan menetapkan kawasan-kawasan konservasi
berupa taman nasional diseluruh Indonesia dengan keseluruhan luasan ± 15,049 juta
hektar.
Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan dan untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang
mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka
dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 dan PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).
Tahun 1999 produk hukum Kehutanan kembali diperbaharui dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor : 41 Tahun 1999 disertai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dimana
Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan,
termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Adanya peraturan yang menaungi kawasan hutan ternyata tidak cukup untuk
menjaga kawasan hutan tetap lestari, masih banyak kasus-kasus yang terjadi di kawasan
hutan, seperti Ilegal logging, kepemilikan yang tidak jelas, regulasi dan kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam yang tidak tegas, dan termarjinalisasi hak asasi manusia
atas kawasan hutan. “Bupati Samosir Mangindar Simbolon di Pangururan, Samosir,
Sumatera Utara, Sabtu (18/4), mengatakan, selama ini penetapan kawasan hutan belum
jelas atau tuntas di kawasan Danau Toba, termasuk di kawasan Samosir. Pemerintah
pusat melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 45 Tahun 2005 dan
revisi SK Menhut No 579/2014 telah merencanakan penetapan kawasan hutan di
Sumatera Utara1”.
Dalam pengelolaan kawasan hutan, masyarakat petani tepian hutan mempunyai
peranan dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan. Modal sosial merupakan
prasyarat utama melakukan tindakan bersama dalam mengelola sumberdaya hutan
dengan tetap memegang elemen modal sosial, bahwa elemen pokok dari modal sosial
mencakup saling percaya, jaringan sosial kolektif, dan pranata yang mengandung nilai,
norma, sanksi dan aturan, yang berfungsi sebagai keberlangsungannya kehidupan sosial
(Pretty and Ward 1999). Menurut Santoso (2004) mengungkapkan bahwa pada
masyarakat yang masih memelihara elemen modal sosial dipedesaan tepian hutan, baik
tipe adat, rakyat, maupun negara cenderung lebih konsisten untuk memelihara
sumberdaya hutan daripada masyarakat yang telah mengalami pemudaran nilai dan
norma modal sosial. Oleh karena itu, penting untuk melihat konsep modal sosial
masyarakat dalam keberhasilan pengelolaan kawasan hutan
1
http://print.kompas.com/baca/2015/04/18/Konflik-Lahan-akibat-Ketidakjelasan-Penetapan-Kawa
2
Tujuan
Tujuan dari penulisan Studi Pustaka berjudul “Peranan Modal Sosial dalam
Keberhasilan Pengelolaan Kawasan Hutan melalui Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat” ini adalah sebagai berikut:




Mengidentifikasi konsep modal sosial,
Mengidentifikasi konsep pengelolaan kawasan hutan,
Mengidentifikasi konsep keberhasilan pengelolaan kawasan hutan dan
Menganalisis modal sosial masyarakat dan hubungannya dengan keberhasilan
pengelolaan kawasan hutan
Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai dengan melakukan penelusuran data sekunder
yang akan digunakan dalam penyusunan proposal penelitian. Berdasarkan hasil
pencarian pustaka ini diharapkan penulis dapat melihat adanya ruang penelitian yang
dapat dikaji. Sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan baru tentang topik yang serupa
sesuai dengan kerangka analisis.
Metode Penulisan
Studi Pustaka ini ditulis dengan menggunakan metode analisis data sekunder
yang diperoleh dari berbagai sumber pustaka seperti : buku teks, skripsi, tesis, disertasi
dan jurnal ilmiah yang memiliki keterkaitan dengan judul yang diusung. Pengumpulan
literatur dilakukan secara mandiri di luar perkuliahan. Bahan pustaka yang telah
terkumpul tersebut kemudian dipelajari, diringkas, dan dibuat analisis sintesis. Melalui
penelusuran literatur ini diharapkan dapat memberikan pertanyaan baru terkait
penelitian serupa sehingga menciptakan kerangka pemikiran bagi penelitian yang baru.
3
RINGKASAN DAN ANALISIS
Judul
: Relasi Kuasa Antara Perhutani dan Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Hutan di Banyus: Kepentingan Bisnis VS Community
Empowerment
Tahun
: 2014
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Slamet Rosyadi dan Kahiru Roojiqien Sobandi
Nama Jurnal
: Jurnal Komunitas
Volume (edisi) : 6 (1)
halaman
Alamat URL
:
Tanggal diunduh : 16/9/2015
Ringkasan
Laju deforestasi di Indonesia melebihi 1,17 juta ha/tahun tergolong tinggi (FAO,
2011) untuk meredam deforestasi yang tinggi pemerintah melalui perhutani telah
mengimplementasikan kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) sejak
2001. Beberapa studi tentang pelaksanaan kebijakan PHBM menunjukkan bahwa
pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan telah memberikan manfaat
seperti pengembangan kerjasama kemitraan (Rosyadi, 2010), namun masih bermasalah
dalam beberapa hal seperti: kapasitas LMDH yang lemah (Pambudiarto, 2009),
dominasi perhutani yang masih sangat besar (Cahyono, 2011), dan kelembagaan PHBM
yang belum mantap (Setiahadi, 2012).
Berkembangnya orientasi bisnis negara dalam pengelolan hutan dapat berpotensi
menyingkirkan kepentingan dan kearifan lokal. Negara dalam hal ini dapat terjebak
dalam hubungan yang bias dengan para pemodal. Akibatnya, peran dan kekuasan
masyarakat yang dikuatkan dalam kebijakan PHBM dapat semakin melemah sehingga
muncul konflik kepentingan.
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan melalui
kebijakan PHBM telah berlangsung lebih dari 12 tahun. Bentuk keterlibatan masyarakat
setelah 2001 dalam pengelolaan hutan negara merupakan hasil negosiasi antara perum
perhutani dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan negara pasca berlangsungnya
reformasi tahun 1998 yang disertai angka penjarahan hutan yang sangat besar.
Perkembangan terakhir pada tahun 2013 dari implementasi kebijakan PHBM
menunjukan kencenderungan sikap perhutani yang menganggap kebijakan PHBM ini
sudah tidak lagi menjadi fokus utama dalam pengelolaan hutan di Jawa.
Kepentingan bisnis untuk mengejar profit perushaan telah membuat Perhutani
meninggalkan peran penting LMDH sebagai mitra strategis Perhutani. Ketika relasi
Perhutani dan LMDH mengendur maka hal ini akan berdampak negatif terhadap
jejaring yang selama ini dibangun oleh kedua belah pihak. Menurut (Narayan, 1999),
kekuatan jejaring berperan penting dalam menghubungkan dan menguatkan dua aktor
atau lebih dalam konteks eksternal.
Dalam jangka panjang pengelolaan modal soial sangat penting untuk mengatasi
perosalan pengelolaan sumberdaya hutan yang cakupannya tidak dapat diatasi sendiri
oleh negara (Perhutani) (Hyakamura dan Inoue, 2006).
4
Analisis
Dalam jurnal ini menekankan bahwa PHBM masih berorientasi terhadap profit.
Perhutani mengesampingkan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat
tertentu dalam pengelolaan hutan. Jurnal ini sudah menceritakan cukup baik tentang
kegagalan PHBM yang terjadi selama awal diberlakukannya kebijakan tersebut,
kegagalan tersebut dikarenakan mengesampingkan aspek-aspek modal sosial dalam
pengelolaa hutan. Akan tetapi modal sosial yang dibahas dalam jurnal tidak dijelaskan
secara rinci, penulis hanya menegaskan bahwa indikator jaringan yang penting dalam
kebijakan PHBM karena menyambungkan beberapa aktor dalam PHBM tersebut.
Perhutani
Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH)
Nilai-nilai Masyarakat
Lokal
Implementasi Kebijakan
PHBM: Berorientasi Profit
Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1.
Tabel 1. Daftar Variabel Jurnal 1.
Nilai-nilai Masyarakat
Variabel
Sub Variabel
Lokal
Perhutani
-Profit organisasi
LMDH
Implementasi
PHBM
-Kelembagaan
masyarakat
Kebijakan -Taraf hiudp masyarakat
Data pendukung
Perhutani
masih
berorientasi
profit,
mengesampingkan
LMDH, sehingga adanya
ketimpangan
Mitra strategis perhutani
yang
dibentuk
oleh
masyarakat sekitar hutan
Program yang dilakukan
oleh perhutani
yang
bertujuan
untuk
peningkatan taraf hidup
masyarakat tepian hutan
5
Judul
: Transformasi Struktur Nafkah Pedesaan: Pertumbuhan
“Modal Sosial Bentukan” dalam skema Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan
Tahun
: 2007
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Agustina M Purnomo, Arya Hadi Dharmawan dan
Ivanovic Agusta
Nama Jurnal
: Jurnal Transdisiplin Sosiologi
Volume (edisi) : Vol. 1 No. 2
halaman
Alamat URL
:
Tanggal diunduh : 16/9/2015
Ringkasaan
Sumber-sumber nafkah bentukan ternyata tidak serta merta dimaknai secara
bersama-sama dan sebangun oleh masyarakat lokal. Perbedaan itu disebabkan karena
masyarakat lokal memiliki logika, sistem etika atau cara pandang yang berbeda dalam
membangun sistem nafkah mereka. Sistem norma, nilai, tradisi lokal ikut
mempengaruhi proses formasi sistem nafkah pedesaan secara keseluruhan.
Pembentukan sumber-sumber nafkah buatan yang menggunakan rasionalisme ekonomi
non-lokal membawa pada akibat pada inefisiensi sistem yang mubazir. Respon yang
kurang baik dari petani lokal atas hadirnya keterlimpahan kelembagaan nafkah
bentukan yang dibangun oleh agensi ekstra lokal di sekitar hutan di Kuningan Jawa
Barat, menjadi bukti bahwa memang ada perbedaan sistem rasionalitas yang dianut oleh
komunitas lokal.
Analisis
Dalam jurnal ini penulis sudah cukup baik menjelaskan modal sosial bentukan
mengalami kegagalan karena masyarakat lokal memliki cara pandang tersendiri.
Banyak istilah-istilah yang dijelaskan secara rinci, sehingga mudah untuk di mengerti.
PHBM
Pola Nafkah
MDH
MDH
Perhutani
Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2.
6
Tabel 2. Daftar Variabel Jurnal 2.
Variabel
Sub Variabel
MDH (Masyarakat Desa -Pola nafkah
Hutan)
Perhutani
-
PHBM
-
Pola Nafkah Masyarakat -Strategi
nafkah
desa Hutan
rumahtangga
yang
menggunakan modal alam
secara kuat sebagai sumber
nafkah utama
-Rumahtangga
yang
menggunakan
sumber
nafkah bukan modal alam
sebagai sumber nafkah
utama
Fakta Pendukung
Masyarakat Desa Hutan
yang menjadi objek bagi
terlaksananya PHBM
Lembaga profit resmi yang
mendapatakan
amanah
untuk
memanfaatkanmengelola
dan
memproduksi hasil hutan
berbasiskan
sumberdaya
hutan negara
PHBM diterapkan dengan
basis filosifs pencapaian
optimalisasi
manfaat
ekonomi
sumberdaya
agraria
7
Judul
: Dukungan Kelembagaan Masyarakat dalam Pembelajaran
Petani untuk Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab.
Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Kab. Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah
Tahun
: 2012
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Yumi, Sumardjo, Darwin S, Gani, dan Basita G. Sugihen
Nama Jurnal
: Jurnal Penyuluhan
Volume (edisi) : Vol. 8 No. 2
halaman
Alamat URL
: www.ejournal.skpm.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/dow
nload/40/45
Tanggal diunduh : 16/9/2015
Ringkasan
Pada jurnal ini menceritakan tentang pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan
bersama oleh warga lokal dengan aksi swadaya. Semua terbentuk karena adanya
kelembagaan internal masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap intensitas belajar
petani dalam pengelolaan HRL tersebut. Semua itu dibentuk karena kesadaran
masyarakat dan adanya kebutuhan untuk bergotong royong mengatasi permasalahan
kekeringan. Selain itu juga ada lembaga eksternal yang sengaja dibentuk oleh LSM atau
kalangan akademisi untuk memenuhi persyaratan stratifikasi hutan rakyat.
Kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat yang berkaitan dengan hutan rakyat ada
yang tertulis atau bahkan tidak tertulis yaitu, aturan-aturan nilai dan norma.
Masyarakat lokal menilai lembaga yang dibentuk secara internal baik lembaga
informal seperti arisan, gotong royong, kelompok pengajian, maupun kelompok formal
seperti kelompok tani atau KTHR yang memiliki pengaruh dalam pembelajaran
masyarakat tentang hutan rakyat lestari. Sedangkan lembaga formal, yang dibentuk
secara eksternal seperti FKPS, Paguyuban Kelompok Tani dan Koperasi belum
berperan sebagaimana mereka kehendaki.
Kejelasan norma dalam masyarakat lokal termasuk nilai-nilai yang diyakini
masyrakat baik secara tertulis maupun tidak tertulis berkaitan dengan pengelolaan hutan
rakyat lestari.
Analisis
Dalam jurnal ini pengelolaa hutan lebih berhasil karena adanya swadaya dari
masyrakat lokal terhadap pengelolaan kawasan hutan. Swadaya tersebut muncul karena
adanya kebutuhan dan permasalahan. Hubungan sosial yang terjadi pada tingkat internal
yang telah disebutkan oleh jurnal tersebut tidak menjelaskan konsep yang luas tentang
modal sosial, hanya sebatas norma yang dikaji dalam jurnal tersebut. Selain itu juga,
jurnal ini kurang memberikan dasar pemaham dalam pengelolaan kawasan hutan,
sehingga mengkaji kelembagaan sosial masyarakatnya saja yang di dalamnya hanya
meliputi norma, sanksi, konformitas, toleransi terhadap nilai baru, kesesuaian tujuan,
kepemimpinan, dan keterkaitan antara bagian dalam kepengurusan.
8
Kelembagaan
Formal Eksternal
Kelembagaan
Masyarakat
Keberhasilan
Pengelolaan
Kawasan
Hutan
Kelembagaan
Informal
Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3.
Tabel 3. Daftar Variabel Jurnal 3.
Variabel
Sub Variabel
Kelembagaan Informal
-Aturan yang konsisten
-Kepercayaan
-Gotong royong
-Budaya kerja keras
-Aturan penanaman dan
pemeliharaan
pohon
sampai hidup setelah
melakukan penebangan.
-Sanksi tertulis dan tidak
tertulis diwariskan secara
turun temurun
Kelembagaan Formal
Pemenuhan persyaratan -Koperasi dibentuk untuk
sertifikasi dan koperasi
pengembangan
hutan
rakyat secara swadaya
Keberhasilan Pengelolaan -Aksi
swadaya
Kawasan Hutan
masyarakat
9
Judul
: Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat
Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan
Kering Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex proyek
Pertanian Lahan Kering, Kabupaten Boyolali
Tahun
: 2006
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Tri Prandji
Nama Jurnal
: Agro Ekonomi
Volume (edisi) : 24 No.2
halaman
Alamat URL
: pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/JAE%2024-2d.pdf
Tanggal diunduh : 12 April 2007
Ringkasan
Kerusakan Agroekosistem Lahan Kering (ALK) di pedesaan Jawa sudah pada
tingkat mengkhawatirkan. Upaya untuk memperbaiki kembali pengelolaan ALK di
Jawa tidak bisa mengandalkan teknologi usaha tani konservasi atau penerapan
pengetahuan ekologi dari pemberdayaan masyarakat. Penguatan modal sosial setempat
harus dipandang sebagai bagian utama dari model pengelolaan ALK di pedesaan Jawa.
Pengelolaan ALK harus dipandang sebagai bagian pemberdayaan masyarakat melalui
penguatan modal sosial dan keberhasilannya harus dapat ditunjukan melalui perbaikan
tingkat kehidupan masyarakat setempat. Penguatan modal sosial dalam pembangunan
pedesaan dapat dinilai sebagai pembaruan pendekatan yang sangat penting. Pengelolaan
ALK harus dipandang sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat melalui penguatan
modal sosial dan keberhasilannya harus dapat ditunjukan melalui perbaikan tingkat
kehiudpan masyarakat. Modal sosial dan budaya setempat yang bisa menjadi kunci
pembuka (master keys) (Kilksberg, 1999) untuk mengatasi kerusakan ALK.
Kostov dan Lingard (2001) menyatakan bahwa pembangunan pedesaan di masa
datang memperlukan pendekatan baru. Penguatan modal sosial dalam pembangunan
pedesaan dapat dinilai sebagi pembaruan pendekatan yang sangat penting. Jika
pembangunan dan penguatan lembaga dan organisasi (Tjondronegoro, 1997), partisipasi
masyarakat terbanyak di pedesaan (Sajogyo, 1974) dan pemberdayaan ekonomi rakyat
(Mubyarto, 2002), maka apapun program pembangunan pedesaan yang dijalankan
pemerintah, termasuk perbaikan pengelolaan ALK di pedesaan, akan sulit mencapai
hasil yang diharapkan.
Pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan ALK di pedesaan secara
berkelanjutan tidak cukup dilandaskan pada pemberian bantuan material berdasarkan
semangat belas kasihan atau pengembangan sistem usaha atau produksi berbasis lahan,
melainkan harus juga mempertimbangkan penguatan semangat kerja kolektif dan
menghormati sumberdaya bersama. Gabungan nilai penguat modal sosial merupakan
komponen penting untuk pembuatan model pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam
pengelolaan ALK secara berkelanjutan.
Analisis
Dalam pengelolaan ALK modal sosial berperan dalam menaggulangi
permasalahan ALK di pedesaan. Dalam jurnal, modal sosial sudah dijelaskan secara
deskriptif bagaimana modal sosial itu sendiri dapat memajukan pembangunan dan
merupakan suatu pendekatan baru yang harus digunakan.
10
Keunggulan penulis dalam menulis jurnal ini ialah, peneliti menggunakan data
kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat digunakan untuk menjadi literature penyusunan
skripsi.
Gambar 4. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4.
11
Tabel 4. Daftar Variabel Jurnal 4.
Variabel
Sub Variabel
Budaya dan Tata Nilai
-
Penguatan Modal Sosial -Kepercayaan
dalam ALK
-Jaringan
-Kerjasama
Pemberdayaan Masyrakat dalam pengelolaan ALK
Ilmu pengetahuan tentang ALK dan Pengelolaan ALK
Teknologi dan Konservasi Pengelolaan ALK
Data pendukung
Tata
nilai
dipandang
sebagai inti dari penguatan
modal sosial.
-Semakin lemahnya tata
nilai, penguatan modal
sosial sulit dicapai
-Kerja keras, kerajinan,
hemat, inovasi, menghargai
prestasi, bermisi ke depan,
rasional sangat penting
untuk
mencpitakan
kemajuan
pertumbuhan ekonomi pada
budaya material
Pemberdayaan masyarakat
dalam pengelolaan ALK
harus dipandang penting
dan keberhasilannya harus
dapat ditunjukan melalui
perbaikan
tingkat
kehidupan
masyarakat
setempat
Ilmu pengetahuan ALK dan
pengelolaan ALK yang
memasukan modal sosial
sebagai
faktor
kunci
pemberdayaan masyarakat
-Perbaikan
pengelolaan
ALK
tidak
hanya
mengandalkan introduksi
teknologi
fisik,
untuk
keberhasilan pengelolaan
ALK
-Manfaat pola usaha tani
konservasi
pada
peningkatan
pendaptan
rumah tangga paling besar
dirasakan
-Teknik konservasi menjadi
bagian dari transformasi
12
Judul
: Penguatan Modal Sosial dalam Pelestarian Hutan
Mangrove di Pulau Pahawang, Kecamatan Punduh Pdada,
Kabupaten Pesawaran
Tahun
: 2012
Jenis Pustaka
: Prosding
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Hartoyo, Erna Rochana, Bintang Wirawan
Nama Jurnal
: Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat
Volume (edisi) :
halaman
Alamat URL
:
Tanggal diunduh : 16/9/2015
Ringkasan
Modal sosial yang dibangun masyarakat dalam memelihara hutan mangrove
sudah kuat dan melembaga. Masyarakat sudah semakin sadar dan lingkungan hutan
mangrove menjadi semakin lestari. Pengetahuan lokal berfungsi sebagai: (1) sarana
untuk berkomunikasi yang efektif dengan masyarakat lokal, dan (2) dasar untuk
melakukan kajian atau aksi bersama masyarakat yang tepat karena telah
mempertimbangkan kendala dan potensi pengalaman lokal. Hasilnya dapat memperkuat
kelembagaan lokal menjadi alat Kontrol yang efektif terhadap tindakan penyimpangan.
Berkes (1995) mengemukakan bahwa pengetahuan lokal tentang ekologi sangat
penting perannya dalam pelestarian hutan mangrove dan peranannya dapat
dilembagakan secara berkelanjutan antar generasi. Terdapat tiga kekuatan utama sistem
pengetahuan lokal, yaitu: (1) kepentingan pribadi, dalam arti pengetahuan lokal menjadi
kunci penting dalam upaya konservasi, karena kekuatannya yang datang dari “dalam”
dan bukan dari “luar”, (2) sistem pengetahuan yang akumulatif, dalam arti bahwa
pengetahuann lokal merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologi masyarakat lokal
yang telah berlangsung lama, dan (3) pengetahuan tradisional sangat potensial untuk
membantu merumuskan upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang
efektif, karena dukungan masyarakat lokal tingkat adaptasi dan mempertimbangkan
tingkat kepraktisannya yang tinggi.
Pada sisi lain, peranan pengetahuan lokal akan menjadi semakin menurun ketika
keberadaannya tidak mampu bersinergi dengan semakin kuat masuknya pengetahuan
dan kepentingan supra lokal (pihak luar). Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan,
aturan main atau norma, atau dalam bentuknya yang formal berupa Peraturan Desa
(Perdes) atau Peraturan Daerah (Perda) yang dapat menjadi pegangan tindakan bersama
diantara semua pihak dengan beragam kepentingan guna menopang tata-kelola
sumberdaya alam dan lingkungan yang baik dan efektif. Jika semua itu belum dapat
terumuskan dengan memadai, dan belum ada sinergitas antara masyarakat, pemerintah
daerah dan dunia usaha, maka selama itu pula berbagai persoalan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan akan semakin menguat.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa keberhasilan dalam pelembagaan
pelestarian hutan mangrove karena kuatnya modal sosial, terutama tentang kepercayaan,
jaringan, dan norma sosial. Dalam memperkuat modal sosial, pertama adalah tingkat
kepercayaan
dalam
kelompok.
Pertama,
kepercayaan
dalam
arti
confidence berada pada ranah psikologis yang akan mendorong seseorang dalam
mengambil keputusan setelah menimbang resiko yang akan diterima. Kedua, kerja sama
yang menempatkan kepercayaan sebagai dasar hubungan antar individu tanpa rasa
13
saling curiga. Ketiga, penyederhanaan pekerjaan yang memfungsikan kepercayaan
sebagai sumber untuk membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja
kelembagaan-kelembagaan sosial. Keempat, ketertiban dimana keprcayaan sebagai
inducing behaviour setiap individu untuk menciptakan kedamaian dan meredam
kekacauan sosial. Kelima, memelihara kohesivitas sosial yang membantu merekatkan
setiap komponen sosial yang hidup dalam komunitas menjadi kesatuan. Keenam,
kepercayaan sebagai modal sosial yang menjamin struktur sosial berdiri secara utuh dan
berfungsi secara operasional serta efisien (Dharmawan 2002a; 2002b).
Kedua adalah jaringan sosial dan karakteristiknya. Menurut Stone dan Hughes
(2002), jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran yaitu: (a) ikatan
informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik
yang lebih familiar dan bersifat personal seperti ikatan pada keluarga, pertemanan,
pertetanggaan; (b) ikatan yang sifatnya lebih umum seperti ikatan pada masyarakat
setempat, masyarakat umum, masyarakat dalam kesatuan kewarganegaraan. Ikatan ini
dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya
umum; dan (c) ikatan kelembagaan yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan
dalam kelembagaan masyarakat setempat. Sementara itu, karakteristik jaringan sosial
(network characteristics) dapat dilihat dari tiga karakteristik yaitu: bentuk dan luas (size
and extensiveness), kerapatan dan ketertutupan (density and closure), dan keragaman
(diversity).
Ketiga adalah norma sosial. Fedderke et al.(1999) menyatakan bahwa sebuah
asosiasi sosial (organisasi sosial) di dalamnya mengandung norma-norma berupa
aturan-aturan informal dan nilai-nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi diantara
anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya
tindakan-tindakan kerja sama dalam memudahkan pekerjaan guna mencapai
keuntungan kolektif yang dirasakan bersama. Fukuyama (2001) norma-norma sosial
yang menjadi komponen modal sosial misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen,
pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. Norma-norma sosial
seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang
mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain.
Analisis
Dalam penelitian ini penulis menjelaskan bahwa modal sosial merupakan
konsep yang dapat memperkuat kelembagaan sosial di masyarakat. Elemen yang
terdapat di modal sosial seperti jejaring, norma, dan kepercayaan di jelaskan secara
eksplisit. Dengan adanya modal sosial yang telah dimiliki oleh masyarakat hutan
mangrove kelembagaan dapat diperkuat sehingga pelestarian hutan mangrove menjadi
lebih baik.
Modal Sosial
-Norma
Kelembagaan
Lokal
Pelestarian Hutan
Mangrove
-Jejaring
-Kepercayaan
Pengetahuan Lokal
Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5.
14
Tabel 5. Daftar Variabel Jurnal 5.
Variabel
Sub Variabel
Modal Sosial
-Norma
-Jejaring
-Kepercayaan
Fakta Pendukung
Modal
sosial
telah
meningkatkan
derajat
kesadaran
terhadap
pentingnya melestarikan
hutan mangrove.
Kelembagaan Lokal
-Local knowledge
Tempat
adovokasi
-Local instituion
masyarakat
untuk
melakukan
pelestarian
hutan mangrove
Pengetahuan Lokal
-Pengetahuan
lokal Pengetahuan
yang
menjadi kunci penting dimiliki oleh masyarakat
dalam upaya konservasi
lokal dalam melakukan
-Sistem pengetahuan yang pelestarian
hutan
akumulatif
mangrove
-Pengetahuan tradisional
sangat potensial untuk
membantu merumuskan
upaya konservasi SDA
dan lingkungan yang
efektif
Pelestarian
Hutan Upaya masyarakat desa
Mangrove
dalam pelestarian hutan
mangrove
dengan
memperkuat modal sosial
15
Judul
: Kendala dan Modal Sosial dalam Pengelolaan Lahan
Sub-optimal untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani
Tradisional
Tahun
: 2014
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Andy Mulyana
Nama Jurnal
: Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub-optimal
Volume (edisi) : ISBN 979-587-529-9
halaman
Alamat URL
:
Tanggal diunduh : 16/9/2015
Ringkasan
Dalam pengelolaan lahan sub-optimal dibutuhkan modal sosial yang dapat
meningkatkan kesejahteraan petani tradisional. Ada tiga fungsi yang berbeda tapi saling
melengkapi yang dapat dicapai ketika modal sosial berkembang, yaitu: (1) menyediakan
kontrol sosial dan pemberlakuan kerangka normativf yang disepakati, (2) sumber
normatif yang dukungan dari anggota lain dalam lingkup kelompok yang sudah terikat,
dan (3) sumber manfaat melalui jaringan organisasi lebih luas. Bonding (ikatan) yang
diterapkan secara internal dalam organisasi/kelompok dan Bridging (menjembatani)
yang berguna untuk membentuk jaringan kerjasama eksternal dengan pemangku
kepentingan lain dan diperkuat dengan Bracing (penguatan) terhadap kerjasama
tersebut.
Analisis
Dalam jurnal telah dipaparkan bahwa keberhasilan dalam pengelolaan lahan
sub-optimal dibutuhkan modal sosial dalam lingkup internal dan juga dalam lingkup
eksternal, akan tetapi dalam lingkup internal modal sosial lebih terbangun dibandingkan
dalam lingkup eksternal.
Bridging
Modal Sosial
Bracing
Bonding
Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6.
Keberhasilan
pengelolaan di lahan
Sub-optimal
16
Tabel 6. Daftar Variabel Jurnal 6.
Variabel
Sub Variabel
Bridging
-Hubungan kekerabatan
-Kelompok-kelompok
sosial tradisional yang
berasal dari garis keturunan
Bonding
-Inward looking
-Outward looking
Bracing
-
Lahan Sub-optimal
-Lahan kering masam
-Lahan sawah tadah hujan
-Lahan rawa pasang surut
-Lahan rawa lebak
Fakta Pendukung
Membentuk
jaringan
kerjasama eksternal dengan
pemangku kepentingan lain
Ikatan yang diterapkan
secara internal dalam suatu
kelompok
Penguatan
terhadap
kerjasama
tersebut,
memperoleh
kemudahan
akses sumberdaya dari luar
untuk pemeliharaan dan
perbaikan
sistem
dan
kinerja organisasi
Lahan
alternatif
yang
digunakan
dan
dimanfaatkan oleh keluarga
petani, karena usaha tani
padi
ternyata
tidak
mencukupi
kebutuhan
ekonomi
17
Judul
: Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan
Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan
Tahun
: 2014
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Muspida
Nama Jurnal
: Jurnal Hutan dan Masyarakat
Volume (edisi) : 2(3)
halaman
Alamat URL
:
Tanggal diunduh : 16/9/2015
Ringkasan
Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan dibangun secara
swadaya oleh warga masyarakat. Swadaya masyarkat membangun hutan kemiri dapat
berlangsung karena faktor sosial seperti kerjasama, aturan lokal pengakuan antar
anggota masyarakat terhadap kepemilikan lahan hutan kemiri yang dibangun oleh
individu atau kelompok keluarga (appang), rasa saling percaya (trust), tersedianya lahan
negara yang dapat diakses dengan mudah untuk membangun hutan kemiri dan akses
tersebut diakui oleh masyarakat, serta adanya jaringan untuk memperoleh benih dan
menjual buah kemiri. Masuknya TGHK membuat masyarakat sulit mengakses dan
kepemilikan hutan kemiri menjadi lemah. Modal sosial mikro dalam pengelolaan hutan
kemiri yang menjadi terbangunnya kepercayaan dan jaringan. Modal sosial mikro dalam
pembangunan hutan kemiri tredapat dalam dimensi kognitif dan dimensi struktural.
Kognitif bersumber dari norma dan nilai serta keyakinan yang hidup di dalam
masyarakat sipil oleh dorongan saling percaya, meliputi unsur pembukaan lahan,
peralihan hak kelola lahan, dan dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan
dalam jaringan (networking) meliputi pembukaan lahan, pemungutan dan pengelolahan
hasil serta pemasaran. Kedua dimensi tersebut memiliki elemen-elemen yang
mendorong tingkah laku bekerjasama secara menguntungkan melalui tindakan
terkoordinasi.
Berdasarkan surat keputusan Mentri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980,
tentang kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung menyatakan bahwa ada tiga faktor
penting yang diperhatikan dan diperhitungnkan di dalam penetapan fungsi hutan
lindung dan fungsi hutan produksi di dalam suatu wilayah kelerengan, masyarakat yang
terdapat dalam kawasan hutan digolongkan berdasarkan fungsinya yaitu, kawasan
produksi kawasan lindung dan kawasan produksi terbatas, sehingga pemerintah
melarang masyarakat melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam bentuk
peremajaan. Masyarakat hanya diizinkan melakukan pemungutan buah kemiri dalam
kawasan hutan.
Saling percaya (trust) ada karena hak dalam penguasan lahan antar petani yang
merupakan wujud kerjasama yang terkoordinasi sehingga rasa saling percaya penyebab
modal sosial terbangun. Kepercayaan muncul antara pemerintah dengan petani dalam
mekanisme perizinan pembukaan lahan, yang dikuatkan dengan adanya pengakuan
masyarakat membuktikan bahwa saling percaya antar petani sangat kuat. Hal ini
dilakukan karena masyarakat mengakui status lahan yang akan dibuka tersebut adalah
tanah negara bebas yang perlu mendapatkan izin dari pemerintah untuk
memanfaatkannya. Jaringan muncul karena kelompok petani hutan kemiri membuka
lahan dan penyewaan lahan, selain itu juga adanya saling memberi informasi terhadap
status lahan yang akan dikelola dalam bentuk sewa menyewa dan jual beli lahan seperti
teseng dan sanra. Jaringan terbangun dari kerabat terdekat sampai pemerintah desa.
18
Analisis
Dalam jurnal tersebut sudah cukup baik dalam menjabarkan dimensi modal
sosial dan pengelolaan hutan, akan tetapi modal sosial yang dijabarkan dalam jurnal
tersebut hanya menekankan pada kepercayaan dan jaringan sedangkan menurut
Fukuyama (2002) modal sosial terbagi atas kepercayaan, jaringan dan norma, akan
tetapi norma dalam jurnal tersebut tidak dibahas, padahal sebelumnya menyinggung
tentang dimensi kognitif yang didalamnya bersumber dari norma-norma dan nilai-nilai
serta keyakinan hidup.
Modal Sosial
Mikro
Kebijakan TGHK
MODAL SOSIAL
Modal Sosial
Makro
Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7.
Keterangan :
: Hubungan Interaksi
: Mempengaruhi
Pengelolaan Hutan
Kemiri Swadaya
19
Tabel 7. Daftar Variabel Jurnal 7.
Variabel
Sub Variabel
Pengelolaan Hutan Kemiri -Mutual Benefit
Modal Sosial Mikro
-Kepercayaan
-Jaringan
Modal Sosial Makro
-Dimensi Kognitif
-Dimensi Struktural
-Orientasi Profit
Kebijakan TGHK
Data Pendukung
Pengelolaan Hutan Kemiri
berbasis swadaya
-Kepercayaan
tentang
membuka lahan kemiri
yang kemudian dikelola
secara
bersama
oleh
masyarakat
-Kepercayaan
membuat
masyarakat bersama-sama
secara
berkelompok
membuka lahan secara
efisein dan efektif
Kebijakan TGHK membuat
interaksi menjadi negatif
karena kebijakan TGHK
membatasi
akses
masyarakat
dalam
pengelolaan hutan kemiri
dalam kawasan hutan
20
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume (edisi)
halaman
Alamat URL
Tanggal diunduh
:
:
:
:
:
:
:
Peran Modal Soial dalam Pelestarian Hutan
2013
Jurnal
Elektronik
M. Rijal
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik
17 No. 2
: http://journal.ugm.ac.id/jkap/article/download/6852/5359
: 15 November 2015
Ringkasan
Salah satu masalah yang dihadapi oleh seluruh dunia adalah menurunnya
kualitas lingkungan akibat kerusakan hutan. Dalam buku Agenda 21 Indonesia
disebukan bahwa faktor-faktor yang menekan kerusakan hutan Indonesia adalah: a)
pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata, b) konversi hutan untuk
pengembangan perkebunan dan pertambangan, c) pengabaian dan ketidakpatuhan
mengenai pemilik lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam
pemanfaatan sumber daya alam, d) program transmigrasi, e) pencemaran industri dan
pertanian pada hutan basah, f) degradasi hutan baku yang disebabkan oleh konversi
menjadi tambak, g)pemungutan spesies hutan secara berlebihan, dan h) introduksi
spesies eksotik (UNDP & KMNLH 1997).
Ketika kondisi kawasan hutan mengalami kerusakan yang sangat parah dan
belum dapat direhabilitasi dan dijaga dengan baik serta telah menjadi permasalahan
global, maka pelestarian hutan yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat atau
kelompok masyarakat menjadi suatu hal yang sangat menarik
Kelompok masyarakat yang bekerjasama berdasarkan nilai dan norma-norma
dan nilai sosial yang mengakar dan disepakati dapat disebut sebagai modal sosial.
Putnam (1993: 167) mendefinisikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial,
seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat
dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi: seperti bentuk-bentuk modal
lainnya, modal sosial adalah produktif, sehingga memungkinkan untuk pencapaian
tujuan tertentu melalui kerjasama di dalam berbagai kelompok dan organisasi.
Pentingnya modal sosial seperti norma dan rasa percaya terkait dalam suatu
lembaga dijelaskan oleh Ostrom (2005: 35) bahwa :
“When and individual has strongly internalized a norm related
to keeping promises,for example, the individual suffer shame
and guilt when a personal promises is broken. If the norm is
shared with others, the individual is also subject to
considerable social ensure for taking an action considered to
be wrong by others”
Hubungan modal sosial dengan pengelolaan kehutanan menurut Birner &
Wittmer (dalam Nurrochmat 2012: 46) apabila modal sosial kuat maka pengelolaan
hutan dikelola oleh masyarakat atau bekerja sama dengan pemerintah, sedangkan
apabila modal sosial lemah maka pengelolaan hutan dikelola oleh swasta.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Rustiadi et. al (2009: 443) bahwa rasa
percaya (trust) memberi peluang terhadap pelaku ekonomi dan pembangunan untuk
berinteraksi dengan jaminan bahwa pihak lain tidak akan melakukan kecurangan.
Jaringan kerja (network) memperluas informasi sehingga memperluas batas rasionalitas
individu, sedangkan norma (norm) merupakan landasan bagi pelaku (agent) untuk
membangun aktivitas bersama (collective action). Modal sosial menekan biaya
21
transaksi, biaya pengawasan melalui informasi yang asimetris dan ketiadaan perilaku
oportunistik.
Modal sosial yang dimiliki masyarakat adat adalah melalui pemahaman nilai
nilai adat yang telah turun temurun dan berinteraksi secara berulang dan terus menerus
menciptakan keteraturan dan kesejahteraan bagi anak kemenakan. Fenomena ini
dijelaskan oleh Putnam (1993) bahwa interaksi yang berulang antar masyarakat dalam
suatu jaringan (network) secara bertahap akan mendorong ke peningkatan status dan
kekuatan (power), norma-norma ditumbuhkandan dijaga dengan berbagai bentuk serta
sanksi-sanksi.
Istilah adat ini menunjukkan betapa tingginya nilai-nilai dan norma adat yang
ada di Kenegerian Rumbio untuk menjaga hubungan baik dan saling menghargai di
dalam masyarakat adat. Nilai-nilai adat ini merupakan modal sosial yang dimiliki oleh
masyarakat Kenegerian Rumbio. Pengelolaan hutan larangan adat yang berbasis kepada
nilai-nilai kebersamaan ini akan menimbulkan rasa memiliki bagi suku-suku yang lain
yang ada di Kenegerian Rumbio. Kedua, adanya kerja sama antara pemerintah desa,
penghulu adat/ ninik mamak dan alim ulama sudah menjadi sistem pemerintahan desa
di Kenegerian Rumbio yang dikenal dengan falsafah adat “tali bapilin tigo, tigo tungku
sajoghangan”. Ini bermakna bahwa pemerintahan desa mendukung sepenuhnya akan
keberadaan hutan larangan dan sekaligus ikut berperan serta dalam melestarikannya.
Ketiga, adanya partisipasi masyarakat yang teridentifikasi dalam penelitian ini
adalah partisipasi dalam Pengawasan keamanan hutan larangan adat dan peran serta
dalam membuat memberikan usul tentang program-program yang akan dilaksanakan
(sumbangan pemikiran). Peran serta masyarakat dalam pengawasan untuk menjaga
hutan larangan adat merupakan suatu bentuk modal sosial.
Unsur modal sosial utama yang terdapat dalam aktivitas pengawasan ini adalah
tindakan proaktif untuk senantiasa melibatkan diri mereka dalam menjaga kelestarian
hutan larangan adat melalui pengawasan.
Analisis
Dalam jurnal tersebut penulis sudah menjelaskan peran modal sosial yang ada di
masyarakat adat dalam melakukan peengelolaan hutan secara deskriptif yang diperkuat
dengan perkataan dari narasumber yang dapat dipercaya.
Modal sosial yang ada pada masyarakat adat Kenegerian Rumbio bermula
karena membentuk kelompok dalam rangka pertahankan hidup. Dengan adanya
hubungan kekeluargaan, persatuan, saling menghormati dan saling mengenal satu sama
lain maka modal sosial pun terbangun.
Modal Sosial
Pelestarian Hutan
Nilai & Norma
Kepercayaan
Proaktif
- Partisipasi
Manfaat bagi masyarakat
Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8.
22
Tabel 8. Daftar Variabel Jurnal 8.
Variabel
Modal Sosial
Sub Variabel
-Nilai & Norma
-Kepercayaan
-Proaktif
-Partisipatif
Fakta Pendukung
-Nilai
&
Nomra
memisahkan tempat mandi
laki-laki dan perempuan
-Kepercayaan dapat dilihat
dari 2 hal, pertma, hutan
larangan
adat
sebagai
symbol (candi kebesaran
adat Kenegerian Rumbio),
kedua, hutan larangan adat
dipercaya sebagai bekas
perkampungan
nenek
moyang
dan
leluhurleluhur
-senantiasa melibatkan diri
dalam menjaga kelestarian
hutan larangan adat melalui
pengawasan
-Penetapan aturan main
dalam pengelolaan hutan
larangan dilakukan secara
partisipatif melalui prinsip
be-raja kepada mufakat
Pelestarian Hutan
-
Dengan adanya modal
sosial dalam masyarakat
adat,
masyarakat
adat
menajaga mempertahankan
keberadaan dan kelestarian
hutan larangan
23
Judul
: Hubungan Modal Sosial dengan Hubungan Pemanfaatan
dan Kelestarian Hutan Lindung
Tahun
: 2014
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Sulistya Ekawati & Dodik Ridho Nurrochmat
Nama Jurnal
: Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Volume (edisi) : Vol. 11 No.1
halaman
Alamat URL
:
Tanggal diunduh : 16/9/2015
Ringkasan
Dari 3 desa yang diteliti, semua desa mempunyai kepatuhan tersendiri untuk
tetap menjaga kawasan hutan lindung. Pada desa rantau Karya merupakan daerah
trasnmigrasi asal Jawa yang dating ke Kabupaten Tanjung sejak tahun 1986. Salah satu
kelembagaan sosial dalam pengelolaan hutan teridentifikasi di Desa Rantau Karya di
sekitar Hutan Lindung Sungai Loderang adalah kelompok Tani Mugi Rahayu.
Kelompok ini merupakan hasil bentukan dari kegiatan penanaman hutan yang dibentuk
oleh Dinas Kehutanan setempat. Kelompok ini bersifat keproyekan, aktifitas kelompok
mulai kelihatan jika ada proyek atau musim tanam padi. Norma, kepercayaan dan
jaringan sosial kurang kelihatan di daerah ini. Sebagian masyarakat di Desa Rantau
Karya merambah hutan untuk menanam sawit, mencari burung dan menebang sisa-sisa
pohon bakau yang ada, sehingga hutan lindung cenderung terdegradasi.
Kelompok Tani Pusaka merupakan salah satu kelompok tani yang ada di Desa
Pematang Rahim, salah satu desa di sekitar hutan lindung Sungai Buluh. Kelompok ini
dibentuk oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanjung Jabung Timur
untuk mendukung kegiatan penanaman di hutan lindung. Hal menarik yang
ditemui di daerah ini adalah kepatuhan masyarakat atas hukum yang berlaku,
sehingga kelestarian hutan lindung tetap terjaga. Hutan lindung Sei Buluh terletak di
pinggir jalan raya, tetapi karena ketegasan Pemda setempat untuk memberi sangsi
terhadap pelaku illegal logging dan perambahan, maka hutan tersebut terjaga
keamanannya.
Kabupaten Sarolangun mempunyai semboyan sepucuk adat, sarumpun
pseko,artinya masyarakat menjunjung tinggi adat istiadat dalam kehidupan seharihari, karena merupakan bagian dari pusaka nenek moyang yang harus dilestarikan.
Hukum adat masih mendapat tempat bagi masyarakat Sarolangun pada umumnya dan
masyarakat Desa Lubuk Bedorong pada khususnya. Desa Lubuk Bedorong termasuk
salah satu dari lima desa yang termasuk dalam masyarakat adat Bukit Bulan. Adat
istiadat itu masih hidup dan mengakar dalam kehidupan masyarakat di kelima desa
tersebut. Beberapa kearifan lokal yang masih dipelihara masyarakat adalah : 1) Kijang
banyuik artinya tidak diperbolehkan menambah lahan menuruni tebing yang
dibawahnya ada anak sungai atau sungai; 2) Ulu aie dak bulih dibukak (hutan di hulu
sungai tidak boleh habis); 3) Topian dak bulih ditubo (sungai tidak boleh diracun); 4)
Kepayang dak bulih ditobang (batang kepayang tidak boleh ditebang); 5) Potai dak
bulih ditobang (peta tidak boleh ditebang). Nilai-nilai tersebut masih dipegang
masyarakat dalam pengelolaan lahan pertanian, termasuk interaksi mereka terhadap
hutan lindung, sehingga kelestarian hutan relatif tetap terjaga.
Penguasaan hutan oleh masyarakat Minangkabau tidak bisa dipisahkan dari
konsepsi hak ulayat. Hak ulayat menunjukkan kepemilikan tertinggi masyarakat adat
Minangkabau terhadap sumberdaya alamnya. Ulayat adalah hak dan kewenangan
24
masyarakat adat secara turun temurun, diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya dengan garis keturunan matrilineal (garis ibu) dan bersifat komunal. Hukum
ulayat sangat dijunjung tinggi di daerah ini.,Desa-desa di Sumatera Barat dikembalikan
pada konsep nagari, sejak kebijakan desentralisasi diberlakukan. Nagari adalah
suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang tertinggi di Minangkabau, yang,
mempunyai batas-batas tertentu, harta kekayaan tertentu, mempunyai penguasa adat dan
anggota masyarakat tertentu. Nagari terdiri dari beberapa jorong. Hutan nagari adalah
hutan yang secara terpadu menjadi salah satu kesatuan ekosistem dengan nagari berupa
hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan, dimiliki
dan dikuasai oleh persekutuan masyarakat nagari. Tanah ulayat dimiliki oleh ninik
mamak (merupakan milik bersama), sehingga tidak bisa diperjual belikan, hanya
hak pakai dan diwariskan secara turun temurun. Tanah ulayat boleh dijual hanya
dalam keadaan mendesak (darurat), misalnya : pembangunan rumah adat dan satunan
bagi yang membutuhkan. Ninik mamak diangkat dan dipilih berdasarkan musyawarah
mufakat kelompok dan berperan menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi dalam
kelompok tersebut. Masyarakat Nagari Lubuk Gadang dan Nagari Padang Air
Dingin menyatakan bahwa batas hutan lindung tidak jelas, karena dahulu merupakan
hutan ulayat, tetapi ditetapkan oleh negara sebagai hutan lindung. Tidak ada komunikasi
antara pemuka ulayat dengan pemerintah, tetapi masyarakat taat pada aturan adat
seperti taat pada aturan pemerintah. Ada tiga aturan yang dianut yang dikenal sebagai
tiga sepilin tungku tiga sejalangan, yaitu menganut tiga hukum, yaitu aturan adat, aturan
agama dan aturan pemerintah. Syarak mengatakan, adat memakai, undang memegang.
Beberapa aturan dalam pengelolaan hutan nagari, seperti kepemilikan komunal,
pemanfaatan hutan hanya untuk keperluan adat dan konsumsi rumah tangga,
menyebabkan pengelolaan hutan lindung di wilayah tersebut cenderung lestari.
Jaringan sosial, kepercayaan dan norma yang masih hidup di masyarakat di Kabupaten
Solok Selatan merupakan modal sosial masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam
yang ada di sekitarnya. Modal sosial ini bisa dilihat dari sudut pandang publik (public
perspective), karena dilakukan secara komunal. Keberadaan modal sosial yang ada
dimasyarakat ini membuktikan bahwa sumberdaya hutan relatif lebih lestari dibanding
daerah lain. Semakin kuat modal sosial yang ada dalam masyarakat (baik dari sudut
pandang masyarakat (public perspective) atau sudut pandang aktor (actor perspective)).
Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki dua blok hutan gambut, yaitu
hutan lindung gambut Geragai dan hutan lindung gambut Sei Buluh. Fungsi
ekologis hutan gambut adalah pengatur hidrologi, mencegah banjir, cadangan air,
penyedia dan penyerap karbon serta sebagai tempat konservasi biodiversitas (Limin,
2006; Dohong, 2012). Manfaat ekologis hutan lindung gambut belum banyak
dirasakan oleh masyarakat DesaRantau Karya dan Desa Mendara Ulu. Hutan lindung
gambut di Tanjabtim sebenarnya punya potensi yang besar untuk menyerap
karbon, tetapi belum ada advokasi untuk mengelola jasa lingkungan di hutan
gambut. Di Kabupaten Solok Selatan pernah ada tawaran perdagangan karbon dari
Australia, tetapi sampai saat ini belum jelas kelanjutannya.Wisata alam hutan lindung
yang ada di Kabupaten Sarolangun antara lain arung jeram Batang Asai, air terjun dan
gua. Arung jeram tersebut pernah dijadikan lomba arung jeram tingkat nasional
sebanyak dua kali. Wisata alam di Kabupaten Solok Selatan adalah arung jeram,
pemandangan alam, wisata air panas dan air terjun. Potensi wisata tersebut belum
tergarap secara maksimal. Aksesbilitas yang jauh dan sulit menyebabkan potensi wisata
di daerah tersebut tidak berkembang. Pemanfaatan jasa aliran air dari hutan lindung
di ketiga kabupaten tersebut sebatas penggunakan aliran air untuk Pembangkit Listrik
Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan irigasi sawah serta air untuk konsumsi rumah
tangga. Di Kabupaten Solok Selatan sudah ada pemanfaatan air untuk air minum
25
dalam kemasan dengan merk Awima sejak tahun 2007 di Pakan Salasa, Nagari
Pulake Kotabaru. Perijinannya lewat perijinan terpadu di kabupaten, karena belum ada
Permenhut yang mengatur tentang pemanfaatan air dari hutan lindung.Masyarakat di
Desa Kasiro, Kabupaten Sarolangun merasakan peningkatan frekuensi banjir. Banjir
besar biasanya terjadi setiap tahun sekali, tetapi lima bulan terakhir ada kejadian banjir
tiga kali. Peningkatan frekwensi banjir tersebut seiring dengan berkurangnya tutupan di
hutan lindung tersebut. Sebenarnya banyak manfaat ekologis yang ada pada hutan
lindung di lokasi penelitian tetapi, menurut Fauzi (2004), manfaat ekologi hutan sering
tidak terkuantifikasi dalam perhitungan sumberdaya, padahal fungsi ekologi hutan
sangat penting.
Analisis
Dalam jurnal ini penulis menjelaskan setiap modal sosial yang dimiliki oleh
setiap desa yang berhubungan langsung dengan hutan lindung. Setiap desa memiliki
kepatuhan tersendiri dalam aturan mengelola hutan lindung, itu terjadi karena ada desa
yang patuh terhadap hukum yang diberikan pemerintah ataubahkan karena desa tersebut
memiliki aturan-aturan tersendiri yang sudah lama dianut.
Penulis menjelaskan secara deskriptif bagaimana hubungan modal sosial dengan
pemnfaatan dan kelestarian hutan lindung, dan penulis juga melengkapi dengan cara
kuantitatif sehingga data yang diberikan oleh penulis cukup objektif.
Modal Sosial dari
sudut pandang Public
Perspective maupun
Actor Perspective
Peningkatan
Kelestarian Hutan
Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9.
26
Tabel 9. Daftar Variabel Jurnal 9.
Variabel
Sub Variabel
Modal Sosial
-Norma
-Aturan adat
-Asosiasi sosial
Peningkatan
Hutan
Kelestarian
Fakta Pendukung
-Lima desa di Hutan Marga
Bukit Bulan saat ini dengan
bimbingan FLEGT tengah
berjuang
untuk
mendapatkan status hukum
untuk mengelola hutan
adatnya. Masyarakat ini
masih memiliki system
kekerabatan yang kuat,
tercermin dari kepercayaan,
norma dan jaringan sosial
yang masih hidup dan
terpelihara.
Peneingkatan
manfaat
ekologis masyarakat dalam
terhadap
hutan
berhubungan
dengan
peningkatan
kelestarian
hutan.
27
Judul
: Perubahan Budaya Petani Tepian Hutan dalam
Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis
Modal Sosial
Tahun
: 2006
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Imam Santoso
Nama Jurnal
: Jurnal Pengembangan Pedesaan
Volume (edisi) : Vol. 7 No. 1
halaman
Alamat URL
:
Tanggal diunduh : 16/9/2015
Ringkasaan
Persoalaan pengelolaan sumberdaya hutan belum terselesaikan. Perum
Perhhutani menunjukan bahwa sejak tahun 1985-2000, keruskan hutan produksi di
Pulau Jawa mencapai 350.000 hektar. Dampak lain terjadinya konflik sosial ekonomi
dan konflik dalam pengelolaan hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui. Jumlah penduduk yang tergolong miskin ternyata paling banyak
ditemukan justru di pedesaan tepian hutan dan sekitar pantai ( Santoso, 2000 & Aliadi et
al, 2002).
Masyrakat yang masih memelihara elemen modal sosial di pedesaan tepian
hutan cenderung lebih konsisten dalam memelihara sumberdaya hutan dibandingkan
masyarakat yang telah mengalami pemudaran nilai dan norma.
Petani di pedesaan tepian hutan di tiga kabupaten yang diteliti mempunyai
kesamaan ciri khas, yakni kelangsungan kehidupannya sangat tergantung pada
eksistensi sumberdaya hutan melalui ragam bentuk aktivitas pengelolaan yang
dilakukan. Petani ditepian hutan adat, hutan rakyat, dan hutan negara memiliki ciri
sosial ekonomi yang baik. Tingkat kerusakan hutan sangat rendah pada kelompok tani
yang memelihara modal sosial dalam kehidupannya. Sedangkan petani di tepian hutan
yang mengalami pemudaran modal sosial yang kondisi kerusakan sumberdaya hutan
sukar terhindar. Masyarakat tepian hutan menyiratkan kehidupan yang masih lekat
memegang kearifan lokal dan modal sosial yang tidak merusak hutan, justru hidup
sejalan dengan ritme dan harmoni alam.
Kekuatan kelembagaan lokal yang semakin memudar telah membuat petani
tidak mempunyai kekuatan untuk beradaptasi dengan baik. Kecendrungan demikian
menyebabkan semua pihak, termasuk petani di tepian hutan menggantungkan
harapannya pada eksploitasi sumberdaya alam berlebihan tanpa mementingkan
konservasi.
Analisis
Dalam jurnal ini peneliti tidak menjelaskan elemen-elemen modal sosial dalam
penelitiannya. Dalam jurnal yang telah saya ringkas menjelaskan bahwa perubahan
paradigma masyarakat tepian hutan dari modal sosialnya kuat bergeser pada pemudaran
modal sosial disebabkan oleh banyak factor. Peneliti dapat memaparkan dengan jelas
dari tujuan penelitian yang ingin di telitinya.
28
Intervensi
Pemerintah
Penetrasi
Pasar
Budaya Petani Tepian Hutan
dalam Pengelolaan Sumberdaya
Hutan
Pengaruh Kehadiran Kelompok
Pengusaha Hutan komersial
PSH berbasis Modal social lama
Perubahan
Interaksi Swasta/LSM Program
pemberdayaan
PSH berbasis modal social baru
Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10.
29
Tabel 10. Daftar Variabel Jurnal 10.
Variabel
Sub Variable
Budaya Petani tepian hutan
dalam
pengelolaan
Sumberdaya hutan
PSH berbasis Modal Sosial -Kepercayaan
Baru
-Solidaritas
-Partisipasi
-Norma
-Ketaatan
-Jaringan
PSH berbasis Modal Sosial -Kepercayaan
lama
-Solidaritas
-Partisipasi
-Norma
-Ketaatan
-Jaringan
Fakta Pendukung
-budaya petani tepian hutan
berubah karena adanya
intervensi kuat dari berbagai
pihak
-budaya petani tepian hutan
semula menjunjung nilai
keluhuran adat tradisi terhadap
lingkungan alam disertai ikatan
kebersamaan
-Kesalingpercayaan terhadap
aturan hukum
adat memudar
-Solidaritas melemah karena
yang dipentingkan pengaruh
faktor ekonomi
-Partisipasi melindungi
sumberdaya hutan
menurun seiring kesibukan
mengatasi daya
survival yang rendah
-Norma resiprositas berubah
menjadi kepentingan ekonomi
-Ketaatan pada tokoh adat
melemah
-Jaringan kelembagaan lokal
memudar digantikan
lembaga/organisasi yang
berbentuk vertikal
-Sistem pertanian berorientasi
ekonomi
-kurang memperhatikan nilai
adat dan kaidah konservasi
lahan air
-Saling percaya satu sama lain
mematuhi hukum adat dalam
pengelolaan sumberdaya hutan
yang tidak merusak lingkungan
-Solidaritas tinggi dalam
menjaga kelestarian hutan
-Partisipasi terjaga dalam
melindungi sumberdaya hutan
dari kesewenangwenangan
pihak luar
-Memelihara norma
resiprositas dalam mengelola
alam sekitar hutan
-Ketaatan pada tokoh adat
-Jaringan kelembagaan lokal
terbentuk horizontal
-Sistem pertanian sesuai nilai
adat
30
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan Hutan
Hutan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan
eksositem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipishkan. Sedangkan menurut Dengler dalam Salim HS (1997), hutan adalah
sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas sehingga suhu
kelmbapan, cahaya, angina dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan
tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan, pepohonan cukup rapat (horizontal dan
Vertikal).
Hutan merupakan suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora)
maupun binatang (fauna) dari yang sederhana sampai yang bertingkat tinggi dan dengan
luas sedemikian rupa serta mempunyai kerapatan tertentu dan menutupi areal sehingga
dapat membentuk iklim mikro tertentu (Arief Arifin 2001). Pengertian hutan disini
adalah merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa lapangan (tanah) yang ditumbuhi
oleh pepohonan, flora, dan fauna berserta lingkungannya yang satu sama lainnya tidak
dapat dipisahkan.
Pembangunan kehutanan menurut Arie Arifin (2001) merupakan upaya
pengelolaan sumber daya hutan secara lestari dan pemnafaatan hutan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan pengelolaan hutan menurut Davis dalam Simob
Hasan (1993) adalah aplikasi teknik pengeusahaan dan prinsip-prinsip teknik kehutanan
untuk mengoperasionalkan sifat-sifat hutan.
Berdasarkan pengertian diatas pengelolaan hutan merupakan suatu manajemen
hutan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pellaksanaan dan pengawasan
hutan dengan tujuan menjaga kelestarian hutan dan pemanfaatan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
PHBM
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya
hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat
desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan
fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan indeks
pembangunan manusia yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif, merupakan
suatu sistem pengolahan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum
Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan
dengan pihak yang berkepentingan dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama
untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan
secara optimal dan proposional. PHBM dimaksudkan memberi akses kepada
masyarakat atau kelompok masyarakat di sekitar hutan dan para pihak terkait sesuai
peran dan fungsinya masing-masing untuk mengelola hutan secara perspektif tanpa
mengubah status dan fungsinya hutan berlandas azas manfaat, kelestarian, kebersamaan,
kemitraan, keterpaduan, kesederajatan dan sistem sharing/berbagi. Dengan demikian
masyarakat dapat ikut berperan serta secara aktif dalam mengelola hutan, sehingga
31
diharapkan akan tumbuh rasa memiliki dan rasa turut tanggung jawab terhadap
keberadaan dan kelestarian hutan. Jadi program PHBM merupakan suatu proyek
perhutani yang dipandang dapat menyelamatkan hutan. Program PHBM adalah
pengelolaan sumberdaya hutan dengan cara berbagi, yang meliputi berbagi dalam
pemanfaatan waktu, ruang dan lahan, dan hasil dengan prinsip saling menguntungkan,
saling memperkuat dan saling mendukung. Maksud dan Tujuan dari Program PHBM
untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspekaspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proposional. Pada dasarnya program ini
bertujuan untuk, peningkatkan; kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas
ekonomi dan sosial masyarakat; peran dan tanggung jawab Perhutani, masyarakat desa
hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan; mutu
sumberdaya hutan, produktifitas dan keamanan hutan; mendorong dan menyelaraskan
pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah dan
sesuai kondisi dinamika sosial masyarakat2
Keberhasilan Program
Keberhasilan program merupakan suatu keadaan dimana program pemberdayaan
yang diterapkan mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, serta
adanya perubahan keadaan lebih baik dari masa sebelumnya, menurut Munajat (2007)
Organisasi dapat dikatakan berhasil apabila telah mencapai tujuan dari organisasi
tersebut.
Salah satu dimensi keberhasilan adalaha dimensi partisipasi, menurut Iskandar
dan Wibowo (2015) partisipasi ini dimaksudkan untuk melibatkan anggota baik dalam
merencanakan usaha, jenis usaha apa yang layak menurut anggota, berapa modal usaha
yang diperlukan dan tempat mana yang diperlukan, dan tempat mana yang layak untuk
mengembangkan usaha dan lain-lain. Selain itu melalui partisipasi ini dimaksudkan agar
anggota dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan ikut mengambil
keputusan dalam menentukan tujuan dalam merumuskan kebijaksanaan.
Selain partisipasi keberhasilan program juga dapat dilihat berdasarkan tingkat
pendapatan. Menurut Mubyarto (2000) pendapatan merupakaan penerimaan yang
dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Pemdapat ini menjadi salah satu
sebelum dan sesudah program pemberdayaan dilaksanakan. Menurut Muflikfati (2010)
pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari seluruh pendapatan yang diperoleh
suatu keluarga. Pelaksanaan program pemberdayaan ini diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan keluarga, serta dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga
sehari-harinya.
Menurut Triutami (2013) pemanfaatan modal sosial dapat menghasilkan aspek
keuntungan, produktivitas dan skala industry. Unsur modal sosial seperti kepercayaan
yang membentuk jaringan pada penjualan hasil produksi dan nroma untuk merumuskan
kesepakatan bersama Berdasarkan hasil penelitian Haryadi (1998) presepsi keberhasilan
usaha yaitu, peningkatan taraf hidup secara material, peningkatan produktivitas usaha,
2
[http://www.cifor.cgiar.org/lpf/docs/java/LPF_Flayer_PHBM.pdf, diakses pada 30 November 2015,
pukul 09.19]
32
peningkatan skala usaha dan peningkatan kemandirian melalui kemampuan bersaing
secara ketat.
Aspek keberhasilan program pemebrdayaan ini diperoleh dari berbagai sumber
indicator variable keberhasilan usaha yang meliputi:
1. Tingkat partisipasi
2. Tingkat pendapatan
3. Skala usaha
Efektivitas PHBM
Hidayah (2012) dalam penelitiannya menjelaskan, PHBM memiliki rangkaian
program-program yang melibatkan masyarakat dalam dalam pelaksanaan pengelolaan
hutan, program tersebut berazazkan kemitraan dan memiliki prisnip untuk
menyelaraskan pola kepentingan antara setiap pemangaku kepentingan/stakeholders.
Ada beberapa macam atau bentuk partisipasi yang dikemukakan oleh para ahli, antara
lain menurut Yadov (1980) dalam (Theresia 2008) menjelaskan ada empat macam
kegiatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu:
1. Partisipasi dalam pembuatan perencanaan
2. Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan
3. Partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi
4. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil
Komponen Modal Sosial
Modal sosial merupakan salah satu dari lima modal yang dimiliki bersama maupun
dalam tataran individu. Modal yang lain yaitu modal fisik, modal manusia, modal alam,
dan modal finansial. Beberapa ahli memiliki pendapat masing-masing mengenai
komponen-komponen dari modal sosial ini. Namun dari beberapa pendapat, pemikirian
Putnam yang paling banyak dirujuk. Komponen modal sosial yang dimaksud adalah
kepercayaan (trust), jejaring (network), dan nilai-nilai dan peraturan tak tertulis (norms).
a) Kepercayaan (trust)
Merupakan komponen mengenai bagaimana seseorang percaya kepada orang
lain dalam suatu komunitas ataupun diluar komunitas. Hal ini berkaitan dengan
bagaimana harapan-harapan yang muncul dari A yang mempercayai B dengan
harapan bahwa harapan-harapan tersebut dapat terpenuhi. Sehingga kepercayaan
bersifat timbal balik. Dalam kaitannya dengan peningkatan usaha, kepercayaan
sangat berpengaruh dalam bagaimana unit-unit yang ada dalam usaha tersebut
bisa saling bekerja secara fungsional. Karena kepercayaan yang timbul dalam
kelompok tertentu akan menimbulkan kepuasan yang akan berdampak positif
pada kinerja. Selain itu, jika suatu unit usaha dengan unit usaha lain hendak
melakukan peminjaman (modal, uang, bahan baku) dimana hal tersebut bersifat
timbal balik dengan kepercayaan yang tinggi, maka usaha tersebut akan
berkelanjutan.
b) Jejaring (network)
Merupakan komponen mengenai banyaknya relasi-relasi yang terbentuk dari
suatu komunitas di dalamnya maupun antar komunitas. Hal ini berkaitan dengan
33
seberapa banyak seseorang yang dikenal dengan berbagai kelebihan dan
kekurangan sehingga dapat dioptimalkan akses tersebut untuk berbagai
kebutuhan. Selain itu, banyaknya jejaring memudahkan seseorang untuk
meminta bantuan ketika sedang kesusahan karena semakin banyak jejaring,
semakin banyak opsi yang muncul untuk diminta bantuannya. Hal ini menjadi
penting dalam konteks pengembangan dan peningkatan usaha. Jejaring yang
banyak memungkinkan pelaku usaha untuk memasarkan produknya dengan
cara-cara yang variatif sesuai dengan banyaknya jejaring yang dimiliki. Selain
itu jejaring yang dimiliki jika memiliki pengetahuan dan teknologi tertentu juga
akan memudahkan efisiensi dalam peningkatan usaha.
c) Norma (norms)
Merupakan komponen berisi peraturan-peraturan yang terdapat dalam suatu
hubungan relasional tertentu, baik itu di masyarakat maupun di kelembagaan
tertentu. Peraturan-peraturan yang dimaksud adalah peraturan tertulis dan tidak
tertulis. Penekanan di komponen ini adalah mengenai ada tidaknya suatu norma
dan bagaimana kepatuhan orang-orang yang berada di dalam aturan tersebut
berlaku. Semakin patuh anggota-anggota suatu komunitas tertentu, makan
semakin baik modal sosialnya. Kaitannya dengan pengembangan usaha, norma
merupakan suatu hal yang sangat penting terlebih jika suatu usaha memerlukan
akselerasi dalam peningkatan usahanya. Contoh riil di masyarakat ketika pelaku
usaha memerlukan pasokan bahan baku, terdapat suatu aturan dimana pelaku
usaha boleh memasok bahan baku ke usahanya tanpa uang dengan berbagai
persyaratan yang harus dipenuhi dulu sebelumnya. Hal ini jika dipatuhi bersama
akan memperlancar para pelaku usaha dalam meningkatkan usahanya.
Pengetahuan Lokal
Pengetahuan lokal tersebut sangat erat hubungannya dengan aspek tatakelola
sumberdaya alam dan lingkungan, yaitu pengetahuan ekologi lokal. Pengetahuan
ekologi lokal ini terdiri dari: (1) pengetahuan yang bersifat praktis tentang alam yang
dihadapi masyarakat lokal; dan (2) mengetahuan supranatural yang menyangkut nilainilai kultural atau dunia subyektif, yang seringkali nilainilai ini mempengaruhi atau
menyesuaikan keinginan-keinginan orang-orang atas sesuatu. Ini dapat diamati dari
pengetahuan penjelasan, misalnya penjelasanpenjelasan yang berkaitan dengan proses
ekologi, dan dari pengetahuan penggambaran, misalnya gambaran tentang ragam
komponen tentang ekosistem, apa bentuknya, bagaimana jumlah dan persebarannya.
Sedangkan pengetahuan supranatural dapat diamati dengan memperhatikan bentukbentuk dasar aturanaturan, norma-norma, nilai-nilai yang dihasilkan oleh budaya,
agama dan moral. Nilai-nilai sosiokultural juga penting karena keberadaannya
seringkali sangat mempengaruhi keputusan masyarakat lokal untuk bertindak dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan.
Pada sisi lain, peranan pengetahuan lokal akan menjadi semakin menurun ketika
keberadaannya tidak mampu bersinergi dengan semakin kuat masuknya pengetahuan
dan kepentingan supra lokal (pihak luar). Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan,
aturan main atau norma, atau dalam bentuknya yang formal berupa Peraturan Desa
34
(Perdes) atau Peraturan Daerah (Perda) yang dapat menjadi pegangan tindakan bersama
di antara semua pihak dengan beragam kepentingan guna menopang tata-kelola
sumberdaya alam dan lingkungan yang baik dan efektif. Jika semua itu belum dapat
terumuskan dengan memadai, dan belum ada sinergitas antara masyarakat, pemerintah
daerah dan dunia usaha, maka selama itu pula berbagai persoalan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan akan semakin menguat.
Modal Sosial dan Masyarakat Tepian Hutan
Masyarakat tepian hutan adalah masyarakat yang mempunyai nilai, ideology,
dan aturan tersendiri dalam menjalani kehiudpannya. Masyarakat tepian hutan
terdorong oleh factor ekonomi dengan cara swadaya untung memanfaatkan hutan
sebagai pendapatannya. Faktor-faktor eknomi dan sosial melatarbelakangi terbangunnya
aksi swayda masyrakat dalam mengelola hutan, aksi tersebut terbangun karena adanya
keterkaitan modal sosial yang kuat. Aturan-aturan pengelolaan lokal, kepercayaan dan
jaringan dalam proses pembangunan sesuai dengan konsep inti modal sosial yang
dikemukakan oleh Putnam (1993, 2000), Coleman (1988), dan Fukuyama (1995, 1999,
2001).
Pertama, kepercayaan dalam arti confidence berada pada ranah psikologis yang
akan mendorong seseorang dalam mengambil keputusan setelah menimbang resiko
yang akan diterima. Kedua, kerja sama yang menempatkan trust sebagai dasar
hubungan antar individu tanpa rasa saling curiga. Ketiga, penyederhanaan pekerjaan
yang memfungsikan trust sebagai sumber untuk membantu meningkatkan efisiensi dan
efektivitas kerja kelembagaan kelembagaan sosial. Keempat, ketertiban dimana trust
sebagai inducing behaviour setiap individu untuk menciptakan kedamaian dan meredam
kekacauan sosial. Kelima, memelihara kohesivitas sosial yang membantu merekatkan
setiap komponen sosial yang hidup dalam komunitas menjadi kesatuan. Keenam, trust
sebagai modal sosial yang menjamin struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi
secara operasional serta efisien (Dharmawan 2002a; 2002b).
Kedua adalah jaringan sosial dan karakteristiknya. Menurut Stone dan Hughes
(2002), jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran yaitu: (a) ikatan
informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik
yang lebih familiar dan bersifat personal seperti pada ikatan pada keluarga, pertemanan,
pertetanggaan; (b) ikatan yang sifatnya lebih umum seperti ikatan pada masyarakat
setempat, masyarakat umum, masyarakat dalam kesatuan kewarganegaraan. Ikatan ini
dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya
umum; dan (c) ikatan kelembagaan yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan
dalam kelembagaan masyarakat setempat. Sementara itu, karakteristik jaringansosial
(network characteristics) dapat dilihat dari tiga karakteristik yaitu : bentuk dan luas (size
and extensiveness), kerapatan dan ketertutupan (density and closure), dan keragaman
(diversity).
Ketiga adalah norma sosial. Fedderke et al.(1999) menyatakan bahwa sebuah
asosiasi sosial (organisasi sosial) di dalamnya mengandung norma-norma berupa
aturan-aturan informal dan nilai-nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi di antara
anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya
35
tindakan-tindakan kerja sama dalam memudahkan pekerjaan guna mencapai
keuntungan kolektif yang dirasakan bersama. Fukuyama (2001) norma-norma sosial
yang menjadi komponen modal sosial misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen,
pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. Norma-norma sosial
seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang
mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain
36
SIMPULAN
Dari berbagi jurnal yang telah diringkas dan di analisis dapat disimpulkan bahwa
modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat tepian hutan dapat menjaga kelestarian
hutan dengan nilai-nilai yang dimilikinya. Nilai-nilai adat, norma dan manfaat yang
dirasakan masyarakat menimbulkan kepercayaan, sehingga masyarakat secara proaktif
berpartisipasi untuk menjaga kelestarian hutan.
Dalam melakukan pelestarian hutan, masyarakat tepian hutan memiliki
pengetahuan lokal dalam melakukan pelestarian, pengetahuan lokal itu dimiliki
masyarakat karena suatu bentuk nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat itu
sendiri.
Modal Sosial yang dimiliki masyarakat tepian hutan terdapat modal sosial
bentukan dan alami, modal sosial bentukan yaitu modal yang dibentuk dari luar
sehingga masyarakat harus beradapatasi dengan nilai-nilai yang baru, berbeda dengan
modal sosial alami yang telah dimiliki oleh masyarakat tepian hutan sejak lama, dimana
masyarakat telah memegang erat kekerabatan, dan kepercayaan.
Modal sosial masyarakat hutan di advokasikan melalui kelembagaan, baik
berupa kelembagaan informal maupun formal. Dalam kelembagaan informal, modal
sosial lebih kuat dibandingkan dalam kelembagaan lokal.
Sebagian besar kawasan hutan belum efektif dalam melakukan pengelolaan,
yang ditandai dengan kondisi yang belum partisipatif baik dalam perencanaan,
kegaiatan, memanfaatkan, pengawsan dan evaluasi. Dengan cara mengelola kawasan
secara efektif dapat menimbulkan suatu kawasan menjadi lebih baik lagi, selain itu
masyarakat tepian hutan lebih leluasa untuk berkehidupan secara layak dengan
memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat tepian hutan.
37
Kerangka Analisis
Modal Sosial
(Riddell 1997)
Kelembagaan
Formal
Tingkat
Kepercayaan
Efektivitas Keberhasilan
Pengelolaan Kawasan
Hutan melalui PHBM
1. Perencanaan
Kelembagaan
Kuat Norma
Kuat Jaringan
Kelembagaan
Informal
Pengetahuan Lokal
Gambar 11. Kerangka pemikiran baru
kegiatan
2. Pelaksanaan
Kegiatan
3. Pemantauan
dan evaluasi
4. pemanfaatan
hasil
38
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi
Berdasarkan kerangka analisis, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana tingkat kepercayaan mempengaruhi efektivitas keberhasilan
pengelolaan kawasan hutan melalui PHBM
2. Bagaimana kuatnya norma mempengaruhi efektivitas keberhasilan pengelolaan
kawasan hutan melalui PHBM
3. Bagaimana kuatnya jaringan mempengaruhi efektivitas keberhasilan
pengelolaan kawasan hutan melalui PHBM
4. Sejauh mana modal sosial mempengaruhi efektivitas keberhasilan pengelolaan
kawasan hutan melalui PHBM
39
DAFTAR PUSTAKA
____. 2012. Luas Kehutanan Indonesia. [Internet].
(http://www.dephut.go.id/index.php/news/statistik_kehutanan, diakses pada
Rabu 20 Oktober 2015 pukul 22.00).
[CIFOR] Center For International Forestry Research. 2003. Warta Kebijakan.
Perhutanan Sosial [Internet]. [dikutip pada tanggal 30 November 2015]. Dapat
diakses dari http://www.cifor.org/acm/download/pub/wk/warta09.pdf
Agusta I, Dharmawan AH, Purnomo AM. Transformasi Struktur Nafkah Pedesaa:
Pertumbuhan "Modal Sosial Bentukan" dalam Skema Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan. [Jurnal Transdisiplin Sosiologi:
Vol 1 No 2]. [Internet]. [dikutip pada tanggal 26 Oktober 2015]. Bogor [ID]:
IPB. Dapat diunduh dari
http://ejournal.skpm.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/136/131
Arfiandi IM. 2015. Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai
Resolusi Konflik Sumber Daya Hutan[Skripsi]. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi
Manusia.
Asriati N, Bahari Y. Pengendalian Sosial Berbasis Modal Sosial Lokal pada Masyarakat
di Kalimantan Barat. [Jurnal: Vol XXVI No 2]. [Internet], [dikutip pada tangga
25 Oktober 2015]. Dapat diunduh dari: http:// www.ejurnal.com/2015/08/pengendalian-sosial-berbasis-modal.html
Ekawati S, Nurruchmat DR. 2014. Hubungan Modal Sosial dengan Hubungan
Pemanfaatan dan Kelestarian Hutan Lindung. [Jurnal analisis Kebijakan
Kehutanan: Vol 11 No 2]. [Internet], [dikutip pada tanggal 30 November 2015].
Dapat diunduh dari http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JAKK/article/view/655
Maulana I. 2015. Presepsi Masyarakat Modal Sosial dan Taraf Hidup Pengelolaan Hasil
Hutan bukan Kayu [Skripsi]. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia.
Mulyana A. 2014. Kendala dan Modal Sosial dalam Pengelolaan Lahan Suboptimal
untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani Tradisional. Prosiding seminar
Nasional Lahan Suboptimal. [internet]. Palembang [ID]. Diunduh dari:
http://www.pur-plsounsri.org/dokumen/5_Keynote%20Speaker%20Andy%20M_red.pdf
Muspida. Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di
Kabupaten Maros Sualwesi Selatan. [Jurnal Hutan dan Masyarakat: Vol 2 No
3]. [Internet], [dikutip pada tangga 29 Oktober 2015]. Makasar [ID]:
Universitas Hasanudin. Dapat diunduh dari:
http://journal.unhas.ac.id/index.php/hm/article/view/93/84
Prandji T. Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Dalam
Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. [Jurnal Agro Ekonomi: Vol 24 No
2]. [Internet], [dikutip pada tanggal 25 Oktober 2015]. Dapat diunduh dari:
http://www.pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/JAE%2024-2d.pdf
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Jakarta [ID]: Perum Perhutani.
40
Rijal M. Peran Modal Sosial dalam Pelestarian Hutan. [Jurnal Kebijakan &
Administrasi Publik: Vol 17 No 2]. [Internet], [dikutip pada tanggal 30 Oktober
2015]. Dapat diunduh dari http://journal.ugm.ac.id/jkap/article/view/6852
Santoso I. Perubahan Budaya Petani Tepian Hutan dalam Pengembangan Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Berbasis Modal Sosial. [Jurnal Pembangunan Pedesaan:
Vol 7 No 1] [Internet], [dikutip pada tanggal 26 Oktober 2015]. Semarang [ID]:
Universitas Diponogoro. Dapat diunduh dari
http://journal.lppm.unsoed.ac.id/ojs/index.php/Pembangunan/article/download/
139/138
Sobandi KR, Rosyandi S. Relasi kuasa antara perhutani dan masyarakat Dalam
pengelolaan sumberdaya hutan di banyumas: Kepentingan bisnis vs community
empowerment. [Jurnal Komunitas: Vol 6 No 1]. [Internet], [dikutip pada
tanggal 30 Oktober 2015]. Dapat diunduh dari
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2939/pdf
Yumi, Sumardjo, Gani DS, dan Sugihen BG. Dukungan Kelembagaan Masyarakat
dalam Pembelajaran Petani untuk Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab.
Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kab. Wonogiri,
Provinsi Jawa Tengah. [Jurnal Penyuluhan: Vol 8 No 2]. [Internet], [dikutip
pada tanggal 29 Oktober 2015]. Bogor [ID]: IPB. Dapat diunduh dari:
http://ejournal.skpm.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/download/40/45
Download