Representasi Unsur Religi dalam Novel Gadis Pantai Karya

advertisement
Representasi Unsur Religi dalam Novel Gadis Pantai
Karya Pramoedya Ananta Toer
(Sebuah Kajian Sosiologi Sastra dengan Penekanan Teori Sosiologi Agama Clifford Geertz)
Oleh Nisya Nurhanifah*
ABSTRAK
Karya tulis ini berjudul “Representasi Unsur Religi dalam Novel Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer”. Permasalahan yang dianalisis mengenai
unsur-unsur religi yang terdapat dalam novel. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan sosiologi
sastra. Teori sosiologi sastra digunakan untuk merepresentasikan unsur-unsur
religi yang terdapat dalam novel. Hasil analisis yang penulis dapatkan,
representasi unsur religi di Jawa pada tahun 1950-an yang tergambar dalam novel
Gadis Pantai terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu abangan, santri, dan priyayi.
Ketiga bagian tersebut merupakan salah satu komponen unsur religi, yaitu
kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut suatu
sistem kepercayaan.
Kata Kunci: religi, novel, sosiologi sastra.
ABSTRACT
This paper entitled “Representasi Unsur Religi dalam Novel Gadis Pantai
karya Pramoedya Ananta Toer” (Representation The Element of Religion in The
Novel Gadis Pantai written by Pramoedya Ananta Toer). The research analysis
about the elements of religion of the novel. Method which used in this research is
analysis descriptive method with approach to sociology of literature theory.
Sosiology of literature theory is used for representationing the elements of
religion in the novel. The result of the analysis obtained is representation of the
elements of religion in Java in years 1950’s which depicted in the novel Gadis
* Mahasiswa Fakultas I lmu Budaya, Program Studi Sastra Indonesia,
Universitas Padjadjaran, Angkatan 2008, NPM 180110080057, Lulus 19 Juli
2012.
Pantai is divided into three parts, that is abangan, santri, and priyayi. That three
parts is one of the elements of religion component, that is religion groups or social
corps who submit the faith system.
Keyword: religion, novel, sociology of literature.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium;
bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran
kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial (Damono, 1979: 1).
Realitas yang dialami oleh seorang pengarang tidak begitu saja dituangkan dalam
sebuah karya sastra, tetapi juga melalui proses kreatif pengarang tersebut.
Pengalaman hidup yang telah dialami oleh pengarang akan dituangkan pada
karyanya dengan menambahkan proses kreatif untuk mendukung gagasan yang
akan disampaikan oleh pengarang. Gagasan tersebut terpengaruh oleh latar
belakang sosial dan pengalaman hidup yang dialami oleh pengarang.
Pramoedya Ananta Toer atau biasa disebut Pram, lahir di Blora pada 6
Februari 1925. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara. Akan tetapi,
penjara tidak pernah membuatnya berhenti menulis. Dari tangannya, telah lahir
beberapa karya yang diterjemahkan ke lebih dari 39 bahasa asing. HB. Jassin
(1985: 111) mencatat Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang pengarang yang
sangat teliti dalam mengamati segala kejadian di sekelilingnya. Karya-karyanya
sangat monumental dan mendapat tempat di dalam maupun di luar negeri.
Pramoedya telah banyak menerima penghargaan, di antaranya: Ramon Magsaysay
Award (1995), PEN Freedom to Write Award (1988), dan sejumlah penghargaan
di bidang sastra lainnya. Pramoedya juga pernah disebut-sebut sebagai nominator
penerima hadiah nobel sejak tahun 1981.
Novel Gadis Pantai merupakan salah satu karya Pramoedya Ananta Toer
yang monumental, pertama kali diterbitkan pada tahun 1962 sebagai cerita
bersambung di rubrik Lentera. Penerbitan pertama sebagai buku dilakukan pada
tahun 1987. Seperti yang tertulis pada bagian halaman pembuka novel Gadis
2
Pantai, novel ini merupakan roman yang tidak dapat kita baca kelanjutan
ceritanya. Novel ini sebenarnya merupakan trilogi. Novel tersebut merupakan
salah satu novel yang terselamatkan dari pemusnahan oleh rezim Orde Baru.
Sayangnya trilogi ini terpencar, dan yang bisa terselamatkan secara utuh dari
trilogi tersebut hanyalah novel yang pertama, yaitu Gadis Pantai.
Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat
dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan
manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan
lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Jenis hubunganhubungan tersebut masing-masing dapat dirinci ke dalam detil-detil wujud yang
lebih khusus (Nurgiyantoro, 2010: 323-324). Dalam novel Gadis Pantai pun
terdapat persoalan dalam kehidupan manusia dan hubungannya dengan manusia
lain serta hubungan manusia dengan Tuhannya yang dapat penulis telaah lebih
dalam lagi melalui tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
1.
Bagaimana Pramoedya Ananta Toer menggambarkan unsur religi melalui
tokoh-tokoh dalam novel Gadis Pantai?
2.
Bagaimana pandangan Pramoedya Ananta Toer terhadap unsur religi
dalam novel Gadis Pantai?
3.
Bagaimana Pramoedya Ananta Toer merepresentasikan unsur religi dalam
novel Gadis Pantai pada zaman novel tersebut ditulis?
1.3 Metode Penelitian
Metode sangat diperlukan dalam setiap penelitian, untuk pencapaian hasil
yang baik diperlukan suatu metode yang tepat. Metode dianggap sebagai caracara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk
memecahkan rangkaian sebab akibat. Sebagai alat, sama dengan teori, metode
berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga mudah untuk dipecahkan
dan dipahami. (Ratna, 2011: 34)
* Mahasiswa Fakultas I lmu Budaya, Program Studi Sastra Indonesia,
Universitas Padjadjaran, Angkatan 2008, NPM 180110080057, Lulus 19 Juli
2012.
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif
analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian diikuti dengan analisis. Secara
etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan (Ratna, 2011: 53). Selain
menggunakan metode deskriptif analisis, penelitian ini juga menggunakan
pendekatan sosiologi sastra.
Secara umum, sosiologi sastra mempelajari hubungan timbal balik antar
unsur-unsur sosial sastra, yaitu karya, pengarang, realitas, pembaca, dan distribusi
karya. Secara khusus, sosiologi sastra mempelajari hubungan realitas dunia
dengan realitas fiksi dalam karya (Mahmud, 2011: 2). Dalam kesempatan kali ini
penulis akan mencoba untuk memfokuskan penelitian pada hubungan antara
karya, pengarang, dan realitas yang ada.
Karena sosiologi sastra tidak hanya memfokuskan penelitian pada teks
sebagai benda budaya yang otonom, sumber-sumber yang di luar teks sastra itu
pun merupakan bahan penting. Pengetahuan mengenai sejarah, situasi sosial dan
politik, perkembangan media, agama, struktur sosial, nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku di masyarakat, proses reproduksi sastra, riwayat hidup pengarang,
dan lain-lain merupakan sumber yang sangat berharga (Endraswara, 2011a: 104).
Selain teks yang terdapat dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta
Toer, penulis juga membutuhkan informasi lainnya untuk melakukan penelitian
ini, di antaranya informasi tentang riwayat hidup pengarang dan situasi sosial
yang sedang terjadi pada saat karya sastra tersebut ditulis oleh pengarang.
2. Pembahasan
2.1 Ringkasan Cerita Novel Gadis Pantai
Novel Gadis Pantai menceritakan kehidupan seorang gadis belia berumur
14 tahun yang bernama Gadis Pantai. Ia dinikahkan dengan seorang pembesar
(priyayi) oleh kedua orang tuanya. Priyayi tersebut bernama Bendoro. Bendoro
merupakan sosok priyayi yang taat pada agama yang dianutnya. Ia sudah beberapa
kali naik haji, rajin bersembahyang dan rajin membaca Qur’an.
4
Kehidupan Gadis Pantai berubah drastis setelah menikah dengan
Bendoro. Ia harus menyesuaikan kehidupan barunya sebagai istri seorang priyayi.
Gadis Pantai kehilangan keceriaannya dan merasakan kesepian karena jauh dari
kedua orang tuanya. Hingga suatu waktu, akhirnya ia mengandung dan
melahirkan seorang anak perempuan.
Bapak Gadis Pantai datang dari kampung untuk memenuhi panggilan
Bendoro. Ternyata Bendoro memanggil Bapak untuk menceraikan Gadis Pantai.
Setelah melahirkan seorang anak perempuan, Gadis Pantai diceraikan oleh
Bendoro dan dilarang untuk membawa anaknya serta. Gadis Pantai diusir secara
kasar oleh Bendoro. Gadis Pantai memutuskan untuk tidak ikut pulang bersama
Bapak ke Kampung Nelayan. Gadis Pantai berpamitan kepada Bapak dan
memerintahkan kusir untuk kembali ke kota dan pergi ke arah selatan menuju kota
Blora.
Dalam satu bulan setelah itu sering orang melihat sebuah dokar
berhenti di depan pintu pekarangan depan rumah Bendoro dan
sebuah wajah mengintip dari kiraian jendela dokar, tapi tak ada
terjadi apa-apa di pekarangan itu. Lewat sebulan, tak pernah lagi
ada dokar berhenti, tak ada lagi wajah mengintip dari kirainya.
(Gadis Pantai, 2010: 270)
2.2 Analisis
Dalam novel Gadis Pantai terdapat tiga tokoh yang mewakili pandangan
Pramoedya terhadap unsur religi. Ketiga tokoh tersebut adalah Gadis Pantai,
Bendro, dan Bapak. Tokoh Bendoro merupakan seorang priyayi santri dengan
segala ketaatan menjalankan ibadah agama Islam. Ia telah naik haji sebanyak dua
kali, khatam membaca Al-Qur’an berkali-kali, dan rajin bersembahyang.
Kepatuhan Bendoro terhadap ajaran agama yang dianutnya dapat dilihat dari
kutipan dalam novel Gadis Pantai berikut ini:
“Mulai hari ini, nak,” emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian
mengubah bicaranya: ”Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua
kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an. Perempuan
nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki
* Mahasiswa Fakultas I lmu Budaya, Program Studi Sastra Indonesia,
Universitas Padjadjaran, Angkatan 2008, NPM 180110080057, Lulus 19 Juli
2012.
baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?” (Gadis Pantai,
2010: 14)
Sebelum tinggal di rumah Bendoro sebagai istri seorang pembesar, Gadis
Pantai tidak pernah sama sekali diajarkan berwudu dan juga bersembahyang.
Maka dari itu, ketika Gadis Pantai tinggal di rumah Bendoro, ia harus
menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Bendoro.
Salah satu kebiasaan tersebut adalah bersembahyang. Gadis Pantai untuk pertama
kalinya diajarkan berwudu dan sembahyang dengan bantuan Mbok. Gadis Pantai
sama sekali merasa asing dengan kebiasaan tersebut. Berikut kutipannya:
Bujang itu kemudian mengajarnya ambil air wudu. ”Air suci
sebelum sembahyang, Mas Nganten.”
Apakah mandi dengan air sebanyak itu kurang bersih?” tanyanya.
“Selamanya memang begini, Mas Nganten.”
Untuk pertama kali dalam hidupnya Gadis Pantai bersuci diri dengan
air wudu dan dengan sendirinya bersiap untuk bersembahyang.
(Gadis Pantai, 2010: 34)
Pramoedya menggambarkan pemikirannya tentang unsur religi yang
terdapat dalam novel Gadis Pantai melalui beberapa dialog antara Bendoro
dengan Gadis Pantai dan juga dialog antara Gadis Pantai dengan Bapak. Melalui
dialog antara tokoh-tokoh tersebut penulis mendapatkan gambaran pemikiran
Pramoedya yang ingin disampaikan dalam novelnya tersebut.
Keadaan dan kebiasaan di Kampung Nelayan juga dapat dilihat dari
kutipan dialog antara Bapak dan Gadis Pantai ketika Gadis Pantai mengunjungi
Kampung Nelayan untuk pertama kalinya saat Gadis Pantai sudah menjadi istri
Bendoro.
“Aku bawakan benang jala.”
“Ya, setiap orang bawa benang jala dari kota.”
“Dan tasbih.”
“Tasbih?”
“Buat apa tasbih? Bendoro menyampaikan salam. Kalau kampung
belum punya surau, Bendoro bersedia membiayai pendiriannya.”
“Betapa mulianya.”
“Tapi orang di sini tentu tak ada waktu buat itu. Semua sibuk ke laut
dan ikan tak semudah itu ditangkap.”
“Jangan menyindir.”
6
“Ah, bapak. Mana bisa aku sindir bapak? Kita semua tahu, buat
dapatkan jagung pun tenaga tak cukup, jangankan dirikan surau,
jangankan membuka-buka kitab!”
“Barangkali ikan akan lebih jinak kalau kita ngaji, ya?”
“Barangkali. Belum dicoba.”
(Gadis Pantai, 2010: 177-178)
Bapak
menyatakan
bahwa
masyarakat
Kampung
Nelayan
tidak
mempunyai waktu untuk menggunakan surau tersebut. Dari pernyataanpernyataan Bapak tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kampung
Nelayan memang hampir tidak pernah beribadah karena mereka semua lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk mencari ikan di laut. Tenaga masyarakat
Kampung Nelayan lebih banyak dipergunakan untuk mencari ikan dan
mendapatkan jagung untuk makanannya sehari-hari. Mereka tak punya waktu dan
tenaga untuk mendirikan surau ataupun untuk membuka-buka kitab seperti yang
biasa dilakukan oleh priyayi santri yang tinggal di kota.
Dalam novel ini, Pramoedya secara tegas menyatakan gambaran sosok
priyayi yang taat dan patuh terhadap agama Islam yang dianut oleh priyayi
tersebut. Masyarakat Kampung Nelayan yang digambarkan dalam novel Gadis
Pantai ini mewakili golongan pekerja biasa yang kurang mementingkan dan tidak
menguasai
bidang
keagamaan-keagamaan
sebagaimana
seorang
priyayi.
Masyarakat Kampung Nelayan lebih memfokuskan kehidupannya untuk mencari
nafkah lahiriah dengan cara bekerja dan menghabiskan waktu sebanyakbanyaknya sehingga tidak mempunyai waktu untuk beribadah sesuai dengan yang
diajarkan agama. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kampung Nelayan dalam
novel Gadis Pantai tidak mengerjakan tugas-tugas yang lebih tinggi dari para
priyayi yang tinggal di kota karena mereka sibuk bekerja dan tidak mempunyai
waktu untuk beribadah.
Tokoh Bendoro merupakan sosok priyayi santri dengan segala ketaatan
dalam menjalankan ibadah agama Islam. Bendoro rajin beribadah dan juga
bersedekah. Tokoh Bendoro yang sangat religius tersebut mempunyai sisi lain
yang
sangat
bersebrangan
dengan
kereligiusannya
tersebut.
Pramoedya
* Mahasiswa Fakultas I lmu Budaya, Program Studi Sastra Indonesia,
Universitas Padjadjaran, Angkatan 2008, NPM 180110080057, Lulus 19 Juli
2012.
menggambarkan bahwa sosok Bendoro sebagai sosok individu yang bisa berganti
istri kapanpun sesuka hatinya, kasar dan jahat. Dengan mudah Bendoro dapat
menceraikan wanita-wanita yang menjadi istrinya jika ia sudah merasa bosan.
Sedangkan dalam agama Islam, perceraian adalah suatu yang halal yang paling
dibenci oleh Allah S.W.T. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
“Kau tinggalkan rumah ini! Bawa seluruh perhiasan dan pakaian.
Semua yang telah kuberikan padamu.
“Dan ingat. Pergunakan pesangon itu baik-baik. Dan... tak boleh
sekali-kali kau menginjakkan kaki di kota ini. Terkutuklah kau bila
melanggarnya. Kau dengar?”
............................
“Anak ini, tuanku, bagaimana nasib anak ini?” Gadis Pantai
memekik rintihan.
“Anak itu? Apa guna kau pikirkan? Banyak orang bisa urus dia.
Jangan pikirkan si bayi.”
“Mestikah sahaya pergi tanpa anak sendiri? Tak boleh balik ke kota
untuk melihatnya?”
“Lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya anak.”
Gadis Pantai tersedan-sedan.
“Sahaya harus berangkat, Bendoro, tanpa anak sahaya sendiri?”
“Aku bilang kau tak punya anak. Kau belum pernah punya anak.”
(Gadis Pantai, 2010: 257-258)
Gambaran tokoh Bendoro pada pembahasan sebelumnya mempertegas
ambiguitas sifat seorang priyayi yang dibalik segala kesalehannya itu merupakan
sosok invidu yang sangat kasar dan jahat. Sesuai dengan pendapat M. Dahlan
(2006: 34), Pramoedya menonjolkan persoalan nihilnya kaum pandir beriman,
yaitu tentang orang saleh yang rajin membaca Qur’an dan Hadis tetapi rajin juga
memperbudak saudaranya sesama manusia. Ada orang bersorban dan berkopiah
haji, tetapi kebutuhan memperturutkan naluri zakarnya sama kuatnya dengan
zikirnya. Tokoh Bendoro yang dihadirkan Pramoedya dalam karyanya itu adalah
tipikal sempurna manusia beragama secara ekstrinsik; melaksanakan hampir
seluruh ritual agama tetapi tidak di dalamnya, melainkan di bagian kulitnya yang
paling luar.
Tokoh Bendoro yang digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer
merupakan pemikiran Pramoedya terhadap priyayi pada zaman tersebut.
8
Pemikiran Pramoedya terhadap unsur religi (agama Islam) yang ada dalam novel
Gadis Pantai sedikit banyaknya dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan
sosialnya yang pernah bergabung dengan Lekra yang merupakan organisasi di
bawah naungan PKI dan mempengaruhi pemikirannya menjadi condong ke kiri.
Pramoedya Ananta Toer yang termasuk golongan kelompok kiri mendukung
ideologi realisme-sosialis (komunisme). Dapat disimpulkan bahwa Pramoedya
tidak dekat dengan religi karena ideologi realisme-sosialis merupakan ajaran
Marxis.
Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini pada dasarnya
menceritakan kehidupan kaum priyayi. Novel ini mengambil latar tempat di Jawa,
tepatnya di daerah Rembang yang secara geografis terletak di pantai utara pulau
Jawa. Novel ini ditulis Pramoedya sekitar tahun 1950-an. Novel Gadis Pantai ini
mencerminkan keadaan budaya Jawa pada saat novel tersebut ditulis.
Di Jawa, terdapat sistem kemasyarakatan dan juga sistem religi yang
membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dalam
sistem kehidupan masyarakat Jawa, biasanya orang-orang membedakan antara
priyayi yang merupakan pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang
kebanyakan atau yang biasa disebut dengan wong cilik yang bermatapencaharian
pekerja kasar. Kaum priyayi merupakan lapisan atas, sedangkan orang
kebanyakan merupakan masyarakat lapisan bawah.
Menurut Koentjaraningrat (1997: 346) kriteria pemeluk agama masyarakat
Jawa biasanya membedakan orang santri dengan orang agama kejawen (abangan).
Golongan orang agama kejawen tersebut sebenarnya adalah orang-orang yang
percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka tidak secara patuh
menjalankan rukun-rukun dari agama Islam itu; misalnya tidak sembahyang, tidak
pernah puasa, tidak mempunyai keinginan untuk melakukan ibadah haji dan
sebagainya. Ciri masyarakat Jawa yang seperti itu Pramoedya cerminkan melalui
tokoh Bapak, Gadis Pantai dan masyarakat Kampung Nelayan yang tidak pernah
melakukan ibadah seperti orang santri pada umumnya.
* Mahasiswa Fakultas I lmu Budaya, Program Studi Sastra Indonesia,
Universitas Padjadjaran, Angkatan 2008, NPM 180110080057, Lulus 19 Juli
2012.
Tokoh Bapak dan Gadis Pantai yang mewakili masyarakat Kampung
Nelayan mencerminkan sekelompok orang Jawa yang merepresentasikan kaum
Islam abangan. Meskipun mereka tidak menjalankan ibadah seperti salat, puasa,
dan mengaji, tetapi mereka percaya kepada ajaran keimanan agama Islam. Tuhan,
mereka sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kanjeng Nabi. Kaum
Islam abangan biasanya merupakan golongan masyarakat kecil, dimana waktu
mereka habis digunakan untuk bekerja. Tokoh Bapak yang merepresentasikan
kaum Islam abangan, tidak berkeinginan untuk naik haji, karena baginya biaya
untuk menghidupi keluarganya sehari-hari pun sulit dicari apalagi untuk pergi
naik haji yang memerlukan biaya yang cukup banyak.
Tokoh Bendoro dalam novel Gadis Pantai merupakan sosok priyayi santri
yang taat pada agama. Tidak semua priyayi merupakan priyayi santri, ada orangorang priyayi yang tidak memperhatikan soal-soal agama, dan karenanya mereka
dianggap sebagai priyayi abangan. Abangan dan santri adalah penggolongan yang
dibuat menurut tingkat ketaatan mereka menjalankan ibadah agama Islam,
sedangkan priyayi adalah suatu penggolongan sosial. Abangan, santri, dan priyayi,
walaupun masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan,
tetapi masing-masing saling melengkapi satu sama lainnya dalam mewujudkan
adanya sistem sosial yang mengklasifikasikan varian agama di Jawa. (Geertz,
1981: viii)
Geertz (1981: 165-178) mengemukakan bahwa masyarakat Jawa dapat
dibagi ke dalam dua golongan dari segi agama, yaitu santri dan abangan.
Kalangan abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin, terpesona oleh detail
keupacaraan, sementara di kalangan santri perhatian terhadap doktrin hampir
seluruhnya mengalahkan aspek ritual Islam yang telah menipis. Selain itu, yang
menjadi perhatian kalangan santri adalah ajaran Islam, terutama penafsiran moral
dan sosialnya. Jika ditinjau dari segi agama dalam novel Gadis Pantai ini,
Pramoedya menggambarkan Bendoro sebagai seorang yang sangat setia pada
agamanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan-kutipan berikut:
“Mulai hari ini, nak,” emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian
mengubah bicaranya: ”Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali
pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau
10
sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang
kurang baik pada dia?”
(Gadis Pantai, 2010: 14)
Matanya tak juga terpejam. Dan ia sudah lupa, apakah ia senang atau tidak.
Malam kian larut. Dari ruang tengah mulai terdengar sekencang tenaga
seorang mengaji. Suaranya dalam, merongga, seperti guruh keluar dari gua
di bawah gunung. Tak pernah ia dengar orang mengaji seindah itu. (Gadis
Pantai, 2010: 31)
Ia angkat pandangannya sekilas ke depan sana ketika dari pintu samping
Bendoro masuk. Ia mengenakan sorban, teluk belanga sutera putih, sarung
bugis hitam, selembar selendang berenda melibat lehernya. Selopnya tak
dikenakannya. Pada tangan kanannya ia membawa tasbih, pada tangan
kirinya ia membawa bangku lipat tempat menaruhkan Qur’an. (Gadis
Pantai, 2010: 36)
Sosok
Bendoro
tersebut
menggambarkan
sosok
priyayi
yang
merepresentasikan kaum Islam santri, yaitu penganut agama Islam di Jawa yang
secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya. Makna inti
kata santri di Jawa adalah komunitas Islam Jawa yang menekankan pentingnya
kesalehan normatif (salat lima waktu, puasa, naik haji,dan lain-lain) dan
mempelajari teks-teks keagamaan berbahasa Arab (Woodward, 2001: 111).
Pramoedya Ananta Toer yang dilahirkan dan tinggal di Blora, Jawa Tengah
telah merepresentasikan sistem kemasyarakatan dan juga sistem religi, khususnya
agama Islam dalam novel Gadis Pantai yang ditulis sekitar tahun 1950-an dan
selesai dirampungkan pada tahun 1962 tersebut. Novel ini merepresentasikan
sistem kemasyarakatan di Jawa, yaitu priyayi dan wong cilik. Kaum priyayi
diwakilkan oleh tokoh Bendoro, sedangkan kaum wong cilik diwakilkan oleh
tokoh keluarga Gadis Pantai dan masyarakat Kampung Nelayan. Representasi
unsur religi yang digambarkan dalam novel ini adalah: Gadis Pantai, keluarga
Gadis Pantai dan seluruh warga Kampung Nelayan sebagai golongan Islam
abangan, sedangkan golongan Islam santri diwakili oleh gambaran sosok seorang
Bendoro yang juga merupakan seorang priyayi.
* Mahasiswa Fakultas I lmu Budaya, Program Studi Sastra Indonesia,
Universitas Padjadjaran, Angkatan 2008, NPM 180110080057, Lulus 19 Juli
2012.
Abangan, santri, dan priyayi yang telah diklasifikasikan oleh Geertz
termasuk ke dalam komponen unsur religi yang
dikembangkan oleh Emile
Durkheim, yaitu suatu kelompok religius atau suatu kesatuan sosial yang
menganut suatu sistem kepercayaan. Abangan, santri, dan priyayi merupakan
suatu kelompok religius atau suatu kesatuan sosial yang digolongkan menurut
tingkat ketaatan mereka dalam menjalankan ibadah agama yang dianutnya.
Gambaran keadaan masyarakat yang terdapat dalam novel Gadis Pantai
sebagian besar merupakan pengalaman pribadi Pramoedya Ananta Toer sebagai
pengarangnya. Pengalaman dari sebuah kenyataan yang dilihat, dirasakan dan
dialami sendiri oleh Pramoedya sebagai salah seorang individu yang ada dalam
suatu kelompok masyarakat tertentu. Sebagai seorang sastrawan, Pramoedya
dibentuk oleh pendidikan, sejarah, lingkungan sosial dan ideologi yang ikut
mempengaruhi terhadap karya sastra yang dihasilkannya. Dari pembahasan
sosiologi sastra secara umum, dapat disimpulkan bahwa sebagai pengarang,
Pramoedya Ananta Toer mempunyai ideologi sosialis tersendiri dalam karyanya.
3. Simpulan
Setelah novel Gadis Pantai dianalisis, unsur-unsur religi yang terdapat
dalam novel tersebut, yaitu Pramoedya Ananta Toer menggambarkan unsur religi
melalui tokoh-tokoh dalam novelnya, di antaranya adalah tokoh Bendoro, Gadis
Pantai, dan Bapak. Tokoh Bendoro digambarkan sebagai seorang priyayi santri
yang rajin beribadah, sedangkan tokoh Gadis Pantai dan Bapak digambarkan
sebagai rakyat biasa yang tidak pernah beribadah. Dalam novel ini, Pramoedya
secara tegas menyatakan gambaran sosok priyayi yang taat dan patuh terhadap
agama Islam yang dianut oleh priyayi tersebut. Di samping itu, Pramoedya telah
menggambarkan keambiguan sosok Bendoro, karena dibalik segala kesalehannya,
Bendoro merupakan sosok individu yang kasar dan jahat. Bendoro menceraikan
Gadis Pantai dan tidak memperbolehkan Gadis Pantai untuk membawa bahkan
bertemu lagi dengan anaknya.
Karya tulis ini bukanlah merupakan suatu pembenaran atas pandangan
Pramoedya terhadap unsur religi yang terdapat dalam karyanya. Dalam
12
kenyataannya, tidak semua priyayi yang taat beribadah memiliki keambiguan sifat
dan tingkah laku seperti Bendoro. Bendoro yang merupakan priyayi santri dan taat
beribadah tetapi juga memiliki sifat kasar dan jahat. Dalam kehidupan nyata
sehari-hari, ada pula priyayi yang taat beribadah kepada Tuhannya dan saling
menyayangi serta menghormati sesamanya. Tidak semua priyayi santri
mempunyai sifat yang sama seperti Bendoro. Tokoh Bendoro diciptakan
Pramoedya
untuk
mengungkapkan
kesinisannya
dan
menggambarkan
pandangannya terhadap priyayi santri.
Pandangan Pramoedya terhadap religi dipengaruhi oleh latar belakang
sosialnya yang termasuk dalam golongan kelompok kiri dan mendukung ideologi
realisme-sosialis. Karena itu, Pramoedya mempersoalkan pola dan tingkah laku
kaum beragama dengan rasa miris. Pramoedya amat mengagumi Cina hingga
akhirnya menjadi condong ke komunis. Cina merupakan negara yang sepenuhnya
menerapkan ideologi Marx-Engels-Lenin seperti Rusia. Kekagumannya dan
kedekatannya dengan Cina berperan penting dalam memfasilitasi peralihannya ke
kiri. Ideologi yang dianut oleh Pramoedya ikut mempengaruhi karya sastra yang
dihasilkannya.
Novel Gadis Pantai merepresentasikan unsur religi yang ada dalam
masyarakat Jawa sekitar tahun 1950-an. Unsur religi yang tergambar dalam novel
tersebut adalah abangan, santri, dan priyayi. Abangan dan santri adalah
penggolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan mereka menjalankan ibadah
agama Islam, sedangkan priyayi adalah suatu penggolongan sosial. Pramoedya
menggambarkan tokoh Bendoro sebagai priyayi santri, sedangkan Gadis Pantai
dan keluarganya digambarkan sebagai Islam abangan. Meskipun abangan, santri,
dan priyayi merupakan struktur sosial yang berbeda, tetapi saling melengkapi
sistem sosial yang mengklasifikasikan varian agama di Jawa.
Abangan, santri, dan priyayi yang telah diklasifikasikan oleh Geertz
termasuk ke dalam komponen unsur religi yang
dikembangkan oleh Emile
Durkheim, yaitu suatu kelompok religius atau suatu kesatuan sosial yang
menganut suatu sistem kepercayaan. Abangan, santri, dan priyayi merupakan
* Mahasiswa Fakultas I lmu Budaya, Program Studi Sastra Indonesia,
Universitas Padjadjaran, Angkatan 2008, NPM 180110080057, Lulus 19 Juli
2012.
suatu kelompok religius atau suatu kesatuan sosial yang digolongkan menurut
tingkat ketaatan mereka dalam menjalankan ibadah agama yang dianutnya.
Daftar Sumber
Dahlan, Muhidin M. 2006. “Agama Pramoedya Ananta Toer: Ateis, Teis, atau
Pramis” hlm. 34 dalam Indonesia Buku edisi 1 vol. 1. Jakarta: IndeXpress
Publishing.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Endraswara, Suwardi. 2011a. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Caps.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Jassin, HB. 1985. Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai II.
Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Mahmud, Kusman K. 2011. Pengarang dalam Karya Telaah Terbatas Atas
Kehadiran Diri Pramoedya Ananta Toer dalam Fiksi-fiksinya Satu
Tinjauan Estetika Sastra. Unpad Jatinangor.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi Cetak Ulang VIII.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Cetak
Ulang IX. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Toer, Pramoedya Ananta. 2010. Gadis Pantai Cetak Ulang VI.
Jakarta: Lentera Dipantara.
Woodward, Mark R. 2012. Islam Jawa Cetak Ulang V.
Yogyakarta: LKiS.
14
Download