BAB I PENDAHULUAN A. Mengintegrasikan Model

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Mengintegrasikan Model Representasi dan Linkage Politik
Anggota Legislatif Perempuan
Studi ini bermaksud untuk memetakan model representasi politik dan
linkage1 politik yang dipraktikkan oleh anggota legislatif (selanjutnya dibaca
Aleg) perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten
Pati periode 2009-2014. Secara spesifik, penelitian ini menjelaskan
bagaimana model representasi politik (political representation) dan model
linkage
politik
(political
linkage)
yang
dijalankan
dalam
program
Pengarusutamaan Gender (selanjutnya dibaca: PUG) terkait kebijakan
anggaran dan kebijakan sosial pada pembangunan di Pati. Hal ini penting
untuk mengetahui sejauh mana seorang perempuan yang berhasil menduduki
jabatan politik formal akan merepresentasikan kepentingan kelompok
masyarakat yang diwakilinya, khususnya dalam konteks isu-isu gender. Pada
saat yang sama juga memotret bagaimana pelaksanaan program PUG di Pati
serta bagaimana konfigurasi demokrasi perwakilan yang sedang berlangsung
di Pati.
Dalam
pemilihan
umum
(pemilu)
legislatif
2009
yang
lalu,
keterwakilan perempuan di DPRD Pati mengalami peningkatan cukup
signifikan. Dari tiga orang dalam periode sebelumnya berubah menjadi
sembilan orang aleg perempuan. Jika penilaiannya didasarkan atas
perbandingan tersebut tentu peningkatan jumlah dalam periode ini terlihat
fantastis. Namun, jika diukur dari pemenuhan target quota 30 % sebagai hasil
(bukan sekedar regulasi saat kandidasi), tentu capaian tersebut masih jauh
dari harapan2. Namun demikian, peningkatan jumlah kehadiran perempuan
1 Dalam studi politik, istilah “linkage” digunakan untuk menggambarkan interkoneksi
warga dengan proses pembuatan kebijakan publik; hubungan antara warganegara yang aktif
secara politik dengan para politisinya atau pejabat publiknya (Clark, 2003: 6; Hanif, 2009: 3).
2 Di dalam UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD, menegaskan kembali adanya kuota pencalonan perempuan sekurang-kurangnya 30%
(Pasal 55). Lebih jauh ditegaskan bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun
1
ini sedikit banyak bisa memberikan harapan bagi advokasi program PUG di
Pati.
Pemberlakuan sistem kuota memang untuk merekrut perempuan agar
dapat menduduki jabatan politik sekaligus memastikan bahwa perempuan
tidak terisolir dalam arena politik. Namun, lebih jauh lagi semangatnya
adalah bagaimana perempuan yang hadir di arena legislatif mampu menjadi
minoritas kritis (critical minority) meskipun dengan jumlah yang mungkin
masih di bawah 30 % (bandingkan Dahlerup dalam Ballington dan Karam,
2005: 141-142). Pertanyaannya kemudian, apakah sesederhana itu bahwa
kebijakan kuota secara otomatis akan mencapai tujuan idealnya, di tengah
kuatnya struktur oligarki partai politik yang masih setengah hati dalam
menjalankan kebijakan kuota perempuan terkait rekrutmen politik yang
dijalankannya.
Pada akhirnya, kebijakan kuota pun cukup rentan dibajak oleh elit-elit
oligarki partai politik di mana konsiderasi utamanya justru didasarkan pada
kepentingan pribadi, bukan kepentingan advokasi gender. Jika terjadi
pembajakan semacam ini tentu perempuan yang menduduki kursi parlemen
belum tentu memiliki perspektif gender. Sebaliknya, para aktivis perempuan
yang memiliki agenda politik jelas untuk mengawal program PUG justru
sangat mungkin tersingkir dan kalah. Kondisi semacam ini tentu patut
disesalkan, akan tetapi jika itu kenyataan yang harus dihadapi, tentu tidak
saatnya hanya sekedar mengutuknya. Perlu difikirkan upaya transformasi
macam apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki wajah keterwakilan
perempuan yang rusak tersebut.
Di tengah ironi kebijakan kuota tersebut, tentu saja tidak perlu
diperdebatkan kembali dan diposisikan secara diametral antara gagasan
perwakilan perempuan berbasis kuantitas dan kualitas (subtantif). Seorang
laki-laki yang memiliki perspektif gender, secara subtantif juga bisa bertindak
untuk memperjuangkan program PUG. Namun, terkait dengan persoalanpersoalan yang berhubungan langsung dengan pengalaman perempuan
(seperti kesehatan reproduksi perempuan), tentu pengetahuan perempuan
berdasarkan nomor urut dan setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1
(satu) orang perempuan bakal calon (Pasal 56 ayat 1 dan 2).
2
akan lebih empirik dibanding laki-laki. Artinya, kedua gagasan tersebut sama
pentingnya dan perlu dijalankan secara beriringan. Hal ini menjadi pijakan
dasar dalam studi ini.
Oleh karena itu, mengkaji dinamika dan proses politik yang dihadapi
perempuan paska kehadirannya di parlemen sepertinya juga penting untuk
mendalami kompleksitas masalah yang terjadi. Dengan demikian, akan lebih
terlihat bagaimana model representasi dan linkage politik yang dipraktikkan
oleh para aleg perempuan akan berpengaruh terhadap pelaksanaan program
PUG di Pati. Aleg perempuan di sini kemudian tidak dilihat sebagai entitas
yang tunggal. Aleg perempuan yang hadir dari struktur oligarki partai politik
atau struktur patriarki tentu berbeda dengan aleg perempuan yang memiliki
perpektif gender dan pengalaman berpolitik yang cukup panjang. Namun,
sangat mungkin kedua-duanya mempraktikkan hal serupa terkait dengan
bentuk
akuntabilitas
mereka
terhadap
kelompok
masyarakat
yang
diwakilinya. Di mana kesamaan tersebut lebih ditentukan oleh konteks politik
yang dihadapinya.
Pendek kata, segala tindakan politik tidak lahir dalam ruang yang
kosong, ada konteks politik yang mempengaruhinya. Konteks inilah yang
kemudian akan menentukan keputusan-keputusan politik yang diambilnya.
Konteks politik tersebut juga yang akan mempengaruhi sejauh mana
komitmen politik mereka untuk mengawal program PUG di Pati. Di satu sisi
mereka bisa memiliki komitmen politik yang kuat untuk mewujudkan
kebijakan anggaran yang responsif gender, namun tidak mendapatkan
dukungan dari para aktor lainnya, tentu upaya tersebut tidak akan
menghasilkan capaian yang maksimal. Sebaliknya, mereka bisa jadi memang
tidak memiliki komitmen politik yang jelas terkait program PUG, sehingga
yang dilakukannya lebih memperlihatkan orientasi kepentingan pribadi.
Kondisi yang kedua ini bisa bergerak ke arah yang cenderung pragmatis
(baca: berperilaku koruptif dan menjadi predator anggaran), apalagi ketika
konteks politiknya cukup kondusif bagi praktik tersebut.
Keberadaan aktor di sekeliling mereka pun sangat mempengaruhi
agenda
politiknya.
Jika
mereka
tidak
memiliki
kemampuan
untuk
bernegosiasi, tentu sikap politiknya akan mudah disandera oleh kepentingan
3
pihak lain. Bagaimana mungkin mereka berhasil memperjuangkan alokasi
anggaran terkait program PUG, jika ternyata kekuatan politik yang ada
disekelilingnya ternyata menghendaki perhatian pada “sektor yang lain”.
Artinya, penilaian terhadap kualitas representasi para aleg perempuan tidak
bisa mengabaikan konteks sosial politik yang melingkupinya serta konfigurasi
proses demokratisasi yang ada. Sehingga percepatan pengembangan
representasi politik perempuan agar bermanfaat bagi perempuan pada
umumnya seperti yang dikemukakan oleh Dahlerup bisa dipahami secara
kontekstual (bandingkan Dahlerup dalam Ballington, 2002: 158).
Tindakan politik para Aleg perempuan juga akan dipengaruhi oleh
pengalaman pribadi mereka yang tentu berbeda-beda (misalnya berbasis
afiliasi keagamaan ataupun kelas sosialnya). Pengalaman-pengalaman pribadi
merekalah yang akan mengkonstruksi cara pandang mereka di dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya. Perbedaan pengalaman juga bisa
membuat perempuan memiliki argumen yang berbeda terkait kehadiran
mereka secara fisik di parlemen3. Selain itu, pengalaman mereka pada saat
berkompetisi dalam pemilu, di mana melibatkan banyak tim sukses atau
praktik politik uang (money politics), juga turut mempengaruhi bagaimana
konstruksi mereka tentang konstituen atau masyarakat yang diwakilinya.
Kajian tentang representasi politik perempuan bukanlah sesuatu yang
baru. Namun, Kajian yang membedah dinamika politik yang dihadapi Aleg
perempuan dengan menggabungkan pendekatan representasi politik dan
linkage politik nampaknya relatif jarang. Beberapa studi yang ada misalnya,
kajian yang dilakukan oleh Aris Arif Mundayat dan Siany Indria Liestyasari
(2011:27-44), kajiannya melihat dinamika partisipasi politik perempuan di
3 Secara teoritik, setidaknya ada lima argumen terkait pentingnya representasi politik
perempuan; argumen keadilan (justice argument), utilitarianisme (utility argument),
argumen deliberasi demokrasi (deliberative democracy arguments), argumen simbolik
(symbolic argument) serta argumen agency (agency arguments) (Lovenduski, 2008 : 48-52;
Sawer, Tremblay dan Trimble, 2006 : 19; Farrelly 2004 : 181-205). Argumen keadilan
menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan hak untuk berpartisipasi
dalam pembuatan kebijakan publik. Argumen utilitarian mengemukakan bahwa perempuan
memiliki daya tarik dan gaya berpolitik yang berbeda dengan laki-laki sehingga kehadirannya
mampu memperbaiki kualitas demokrasi. Argumen deliberasi demokrasi berpendapat bahwa
kontestasi politik harus diperkaya dengan perspektif dan pengalaman perempuan. Argumen
simbolik menyatakan bahwa perempuan butuh legitimasi secara politik. Terakhir, argumen
agency berpendapat bahwa perempuan memiliki kepentingan berbeda dengan laki-laki yang
harus dilindungi.
4
Kota Surakarta (2009-2010) dalam konteks hambatan struktural dan kultural
yang dialamiya. Secara struktural, anggota legislatif perempuan tidak bisa
berbuat banyak karena dia harus mengikuti kebijakan fraksi. Sedangkan
secara kultural, kebanyakan masyarakat masih peyoratif terhadap perempuan
bahkan menilai negatif figur perempuan yang vokal di depan publik, karena
kuatnya budaya patriarkhi. Temuan kajian ini menegaskan bahwa partisipasi
politik para Aleg perempuan dan perempuan Surakarta pada umumnya masih
mengalami kendala struktural dan kultural, tanpa perhatian lebih jauh
tentang dinamika linkage politik yang dijalankan oleh para Aleg perempuan.
Sedangkan studi yang dilakukan oleh Ani W. Spetjipto dan Shelly
Adelina (2012) lebih memfokuskan pada persoalan bagaimana tiga partai
politik terbesar (perolehan suaranya dalam pemilu 2009) menerapkan dan
mewujudkan pengarusutamaan gender. Di mana temuan penelitiannya
menunjukkan bahwa ketiga partai tersebut tidak memiliki ketentuan tentang
kebijakan partai untuk mewujudkan keadilan gender serta strategi
pengarusutamaan gender. Menurut kedua peneliti tersebut, upaya yang
dilakukan oleh ketiga partai itu hanyalah sebatas fokus utama terhadap
perempuan (women focal point), yang kemudian muncul dalam wujud
Departemen Perempuan di masing-masing partai. Studi ini cukup menarik
karena kedua peneliti tersebut tidak terjebak dalam pendekatan yang
esensialis.
Selain itu, ada juga Lovenduski (2008) yang melakukan kajian tentang
feminisasi politik4. Ia menjelaskan soal proses dan tantangan dalam upaya
meningkatkan jumlah keterwakilan politik kaum perempuan di Inggris. Ia
mengulas bagaimana strategi-strategi yang dimanfaatkan untuk mengatasi
tantangan-tantangan yang ada, di mana strategi quota menjadi alternatif yang
paling populis di berbagai Negara. Ia pun memperlihatkan bagaimana
peningkatan kehadiran perempuan di dalam politik mampu memberikan
perubahan yang signifikan. Sekecil apapun jumlah kehadiran perempuan
akan memberikan warna konfigurasi politik yang berbeda. Ia juga berusaha
Menurut Lovenduski, feminisasi ini memiliki dua dimensi: pertama,
mengintegrasikan perempuan ke dalam institusi politik formal. Kedua, mengintegrasikan
keprihatinan dan perspektif perempuan di dalam debat politik dan pembuatan kebijakan
(Childs, 2008:xix)
4
5
menjelaskan posisi yang berbeda antara feminisme kesetaraan (equality) dan
feminisme perbedaan (difference) dalam memahami representasi politik
perempuan. Kajian yang hampir senada juga dilakukan oleh Sarah Childs
(2008) yang membahas mengenai perempuan dan partai politik di Inggris.
Ada juga Beth Reingold (2000) misalnya mengkaji perilaku anggota
legislatif di Arizona dan California, serta membandingkan keduanya. Ia
menjelaskan bagaimana perbedaan antara anggota legislatif perempuan dan
laki-laki ketika berbicara mengenai keprihatinan yang dialami oleh
perempuan. Anggota legislatif perempuan menurutnya jauh lebih faham
tentang keprihatinan yang dialami oleh perempuan dibanding dengan
anggota legislatif laki-laki. Ia juga menguraikan bagaimana advokasi
kebijakan yang dilakukan oleh para anggota legislatif ini terkait masalah yang
dihadapi oleh kelompok perempuan. Begitupun juga Sawer, Tremblay dan
Trimble (2006) melakukan kajian tentang representasi politik perempuan di
parlemen dengan membandingkan kasus di empat negara; Inggris, Australia,
Kanada, dan Selandia Baru. Seperti halnya juga Leslie A. Schwindt-Bayer
(2010) melakukan kajian tentang anggota legislatif perempuan di Amerika
Latin.
Jika dibanding dengan kajian-kajian yang disebutkan tadi, penelitian
yang akan penulis lakukan ini memiliki satu perbedaan yang mendasar.
Penelitian ini berusaha mengintegrasikan dimensi model representasi politik
aleg perempuan dengan model linkage politiknya. Upaya menggabungkan
gagasan representasi dan linkage politik semacam ini boleh dibilang masih
sangat minim. Dari sini kemudian bisa dilihat bagaimana berjalannya relasi
kepentingan yang berkelindan antar aktor, atau lebih spesifiknya antara
seorang wakil dengan pihak yang diwakilinya.
Adapun signifikansi dari penelitian ini dapat dilihat dalam dua hal.
Pertama, penelitian ini memperlihatkan akar persoalan kenapa para Aleg
perempuan mewakili atau tidak mewakili kepentingan kelompok perempuan.
Serta juga mengungkapkan akar persoalan mengapa program PUG
mengalamai stagnasi, sehingga upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa
aleg perempuan belum terlihat wujudnya yang signifikan. Penelitian ini juga
menegaskan bahwa realitas representasi politik yang dijalankan oleh para
6
Aleg perempuan itu sesuatu yang kompleks, di mana ada interdependensi
antara kepentingan pribadi dan kepentingan gender. Keberhasilan mereka
hanya bisa dinilai dengan cara mendalami kompleksitas tersebut. Tanpa
upaya itu kita akan mudah menilai mereka gagal melakukan perubahan dan
memberikan
kontribusi
yang
signifikan
bagi
kepentingan
kelompok
perempuan (baca: sebatas mengutuk ironi kebijakan kuota bagi perempuan).
Hanya karena tidak melihat konteks politik yang melingkupi para anggota
legislatif perempuan tersebut.
Kedua, secara teoritik temuan penelitian ini menegaskan bagaimana
pentingnya fungsi keagenan (agency) yang dijalankan oleh para aleg
perempuan di tengah hambatan struktur yang cukup kuat. Artinya, kapasitas
aktor
cukup
menentukan
adanya
upaya-upaya
alternatif
di
tengah
menguatnya proses depolitisasi demokrasi. Adanya kapasitas personal inilah
yang memungkinkan beberapa aleg perempuan untuk melakukan inisiatifinisiatif terkait dengan program PUG atau pelayanan sosial bagi warga yang
diwakilinya. Selain itu, diskursus representasi politik perempuan sepertinya
memang harus dilengkapi dengan diskursus tentang linkage politik untuk
melihat sejauh mana bekerjanya akuntabilitas seorang wakil kepada pihak
yang diwakilinya serta bagaimana bekerjanya relasi kuasa antar aktor.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana model representasi politik Aleg perempuan (periode
2009-2014) dalam program PUG terkait kebijakan anggaran dan kebijakan
sosial di Pati?
2.
Bagaimana model linkage politik pengaruh model representasi
politik dan linkage politik Aleg perempuan dalam program PUG terkait
kebijakan anggaran dan kebijakan sosial di Pati?
3.
Bagaimana bentuk integrasi model representasi dan model
linkage politik Aleg perempuan (periode 2009-2014) dalam program PUG
terkait kebijakan anggaran dan kebijakan sosial di Pati?
7
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama: pertama, untuk memetakan
model representasi politik dan model “linkage” politik yang dijalankan oleh
para aleg perempuan di DPRD Pati, serta berusaha mendesain integrasi
kedua model tersebut. Kedua, untuk melihat pelaksanaan PUG (khususnya
terkait kebijakan anggaran dan kebijakan sosial) dalam pembangunan daerah
di Pati serta peran para aleg perempuan untuk mengawal PUG tersebut.
Ketiga, untuk memotret konfigurasi demokrasi lokal di tengah menguatnya
proseduralisme demokrasi.
D. Refleksi Teoritik: Representasi Politik, Linkage Politik, dan
Pengarusutamaan Gender
Dalam menjelaskan model representasi dan model linkage politik aleg
perempuan di DPRD Pati ini, ada tiga hal yang perlu ditegaskan. Pertama,
studi ini sepakat dengan gagasan tentang pentingnya politik kehadiran
perempuan di lembaga perwakilan formal seperti dikemukakan oleh Anne
Phillips. Menurut Phillips (1995: 5), gagasan ini menuntut adanya jumlah
representasi yang setara antara perempuan dan laki-laki di dalam lembaga
legislatif [demands for the equal representation of women with men]. Selain
itu, gagasan ini juga juga menawarkan tuntutan adanya representasi yang
seimbang bagi kelompok-kelompok etnis yang berbeda [demands for a more
even-handed
balance
between
the
different
ethnic
groups]
serta
dimasukkannya anggota masyarakat yang terpinggirkan secara sosial
[demands for the political inclusion of groups that have come to see
themselves as marginalized or silenced or excluded] (Phillips, 1995 : 5).
Namun, studi ini lebih jauh akan melihat politik kehadiran dalam konteks
model representasi yang dijalankannya setelah berhasil hadir di parlemen
dengan menggunakan beberapa jenis teori representasi, seperti Hanna F.
Pitkin (1967) dan Jean Mansbridge (2003).
Kedua, studi ini juga akan menjelaskan model linkage politik yang
dipraktikkan selama berinteraksi dengan kelompok yang diwakilinya untuk
8
melihat dinamika kontestasi dan negosiasi kepentingan beragam aktor yang
ada di sekeliling aleg perempuan. Dalam memahami model linkage politik
tersebut, studi ini meminjam beberapa konsep dari Herbert Kitschelt terkait
beberapa tipologi model linkage politik, seperti charismatic linkage,
programmatic linkage, dan clientelist linkage. Tiga tipologi ini menjadi
pijakan dasar dalam mendesain model linkage politik yang dijalankan oleh
para aleg perempuan.
Ketiga, studi ini memang tentang representasi dan linkage politik,
namun, karena urusan publik yang menjadi area analisisnya adalah program
pengarusutamaan gender (terkait kebijakan anggaran dan kebijakan sosial),
maka di sini juga akan menggunakan beberapa pemahaman terkait konsep
pengarusutamaan gender. Sedangkan untuk memahami kepentingan terkait
dengan perempuan, studi ini meminjam konsepsinya Molyneux tentang tiga
konsep yang sering diperbincangkan; kepentingan perempuan (women
interest), kepentingan gender strategis (strategic gender interest) dan
kepentingan gender praktis (practical gender interest) (Molyneux, 1985: 232233; Moser, 2003: 37-41).
a. Model Representasi Politik:
Tidak Taken for Granted
Representasi
Deskriptif
Representasi merupakan suatu gagasan yang cukup kompleks dan
sarat dengan perdebatan (Törnquist dalam Törnquist, Webster, dan Stokke,
2009: 6). Perdebatan-perdebatan tersebutlah yang kemudian menghasilkan
konstruksi konsep representasi yang lebih variatif, dan menghasilkan
tipologi-tipologi yang beragam. Secara literal, representasi ini bisa diartikan
sebagai upaya menghadirkan kembali (a making present again) (Pitkin,
1967: 8). Dalam bahasa yang sederhana, representasi (baca: perwakilan
politik) ini dapat dipahami sebagai relasi antara seorang wakil dengan yang
diwakili, berbasiskan kepentingan-kepentingan (baik wakil maupun yang
terwakili), di dalam konteks politik tertentu (Marijan, 2011 : 41). Dari sini
dapat diketahui bahwa esensi dari sistem representasi adalah adanya
9
kewenangan (authorization) yang dimiliki seorang wakil disertai dengan
pertanggungjawaban mereka (accountability) pada yang diwakilinya.
Harus diakui bahwa gagasan tentang representasi ini cukup penting
dalam diskursus demokrasi. Melalui bidang representasi inilah kualitas
demokrasi bisa diukur. Ketika ada perbaikan di bidang representasi tentu
mimpi untuk menuju demokrasi yang lebih subtantif dapatlah terwujud.
Sistem representasi (perwakilan) yang ideal adalah representasi yang mampu
menjamin terakomodasinya semua kelompok kepentingan, khususnya
kelompok kepentingan yang termarjinal secara politik (misalnya perempuan).
Sebagai kelompok yang marjinal, terbukanya kesempatan yang sama (equal
opportunity) terkadang belum menjadi jaminan terwakilinya kepentingan
perempuan secara memadai. Oleh karena itu, langkah-langkah alternatif
dibutuhkan untuk memastikan terlaksananya pembangunan daerah yang adil
gender.
Ketika berbicara tentang sistem perwakilan, maka setidaknya hal
tersebut akan terkait dengan empat elemen utama; wakil, yang diwakili,
sesuatu yang diwakili, dan konteks politik (Törnquist dan Warouw dalam
Samadhi dan Warouw, 2009: 36). Pertama, wakil adalah sekelompok orang
yang mewakili baik di lembaga perwakilan formal (di mana di sini adalah Aleg
perempuan) maupun informal (organisasi masyarakat sipil dll). Kedua,
adanya sekelompok orang yang diwakili di mana mereka bisa menjadi
konstituen atau klien. Ketiga, adanya kepentingan, pendapat ataupun
preferensi politik tertentu sebagai sesuatu yang diwakili, di mana di sini
terkait dengan program PUG khususnya dalam konteks kebijakan anggaran
dan kebijakan sosial. Keempat adalah konteks politik yang mendasari adanya
perwakilan tersebut. Empat hal ini merupakan dimensi penting dalam
melihat bekerjanya fungsi representasi politik (baca: representasi politik
perempuan).
Dalam berbagai studi tentang representasi politik perempuan,
sebagian besar dari mereka (seperti Childs, 2008; Lovenduski, 2008; Sawer,
Tremblay dan Trimble, 2006; Reingold, 2000; Stokes, 2005; Bayer, 2010)
meminjam konseptualisasi representasi yang dibuat oleh Hanna F. Pitkin.
Dalam konsepsi Pitkin (1967:11, Bevir, 2007:825), representasi dibedakan
10
dalam empat kategori; representasi formal (formalistic representation),
representasi subtantif (substantive representation), representasi deskriptif
(descriptive
representation),
dan
representasi
simbolik
(symbolic
representation). Representasi formal dipahami sebagai perwakilan politik
yang berlangsung di dalam lembaga-lembaga perwakilan formal (seperti
parlemen). Representasi subtantif dipahami sebagai model representasi di
mana seorang wakil bertindak untuk (acts for) mereka yang diwakili.
Sedangkan representasi deskriptif dipahami sebagai bentuk representasi di
mana seorang wakil berdiri untuk (stands for) orang-orang yang secara
objektif serupa. Jika wakil berdiri untuk (stands for) mereka yang diwakili
namun dalam pengertian kesamaan identitas dan kebudayaan, maka ini
adalah representasi simbolik.
Tipologi yang dibuat oleh Pitkin tersebut, pada dasarnya tidaklah
berdiri sendiri dalam kenyatannya, satu sama lain bisa saling berpadu dan
terintegrasi. Sangat mungkin model representasi deskriptif terintegrasi
dengan kedua model lainnya (subtantif dan simbolik) Sehingga untuk melihat
model representasi politik yang dijalankan oleh para Aleg perempuan di
DPRD Pati dalam program PUG ini, penulis tidak menerima begitu saja
(taken for granted) konsepsi representasi deskriptif seperti yang dijelaskan
oleh Pitkin. Kehadiran perempuan di lembaga perwakilan formal secara
deskriptif memang mewakili perempuan, namun apakah kemudian hal
tersebut otomatis menjadikannya bekerja untuk kelompok perempuan yang
(diandaikan) diwakilinya. Di sinilah pijakan awalnya, bahwa representasi
deskriptif tidaklah dipahami sebagai sesuatu yang taken for granted. Maka
dari itu, representasi deskriptif di sini diberi label pensifatan untuk
memperlihatkan sejauh mana bekerjanya para aleg perempuan (apakah aktif,
pasif, ataupun simbolik karena pada saat yang sama juga mewakili suatu
ormas keagamaan tertentu).
Di dalam logika representasi deskriptif, seorang Aleg perempuan
idealnya memiliki cita-cita politik untuk mengabdi dan memperbaiki masalah
yang dialami oleh perempuan. Pengabdian tersebut misalnya bisa dilihat
melalui advokasi mereka atas program PUG dalam pembangunan di Pati, baik
melalui advokasi kebijakan maupun interaksi langsung dengan kelompok
11
perempuan. Interaksi ini merupakan salah satu mekanisme untuk menjaring
aspirasi konstituennya. Interaksi ini bisa dijalankan melalui aktor-aktor
intermediari ataupun secara langsung tanpa adanya mediator. Dengan
mekanisme seperti ini, bertambahnya jumlah perempuan di parlemen
diharapkan akan memberikan perubahan yang cukup signifikan bagi
perbaikan
kelompok
perempuan
pada
umumnya.
Namun,
tuntutan
perubahan semacam ini juga tidak bisa mengabaikan dinamika dan konteks
politik yang mungkin menimbulkan dilema bagi seorang Aleg perempuan.
Hal ini penting untuk mengetahui tingkat kompleksitas persoalan yang
dihadapi oleh mereka.
Kompeksitas persoalan tersebut hadir karena seorang Aleg perempuan
tidak hanya berhadapan dengan kepentingan kelompok perempuan. Sangat
mungkin mereka dikelilingi oleh beragam kelompok kepentingan yang mana
akan mempengaruhi kepentingan mana yang akan disuarakannya. Dalam
konteks seperti ini, seorang Aleg perempuan berpotensi menjalankan fungsi
representasi yang subtantif. Suatu bentuk representasi yang mengedepankan
bagaimana cara seorang wakil bertindak untuk yang diwakili bukan sekedar
cara berdiri seseorang demi orang lain (baca: perempuan). Representasi
subtantif lebih berorientasi upaya memperjuangkan kepentingan suatu
kelompok (Lovenduski, 2008 : 42). Perwakilan ini lebih melihat pada
tindakan dan kebijakan yang dihasilkan oleh para wakil sebagai bentuk
pertanggungjawaban bagi kelompok kepentingan yang beragam.
Artinya, penulis juga akan berusaha mengelaborasi bagaimana seorang
Aleg perempuan di DPRD Pati bekerja mewakili kepentingan kelompok lain,
selain kelompok perempuan. Representasi subtantif ini lebih melihat
bagaimana representasi politik ide juga bisa dijalankan. Representasi ini tidak
terjebak pada perbedaan identitas (laki-laki atau perempuan), namun lebih
bertendens
pada
komitmen
dan
konsistensi
seseorang
dalam
memperjuangkan kepentingan publik (public affairs). Pilihan analisis
semacam ini didasarkan pada kenyataan bahwa perempuan memiliki
pengalaman opresi yang berbeda-beda sekaligus kepentingan yang beragam
(Tong, 1998:313). Selain penindasan atas dasar jender, sebagaimana
pendapat yang dikemukakan Collins (1990) perempuan secara potensial juga
12
mengalami penindasan terkait kelas, ras, agama dan preferensi seksual
(Ritzer dan Goodman, 2007 : 443).
Konsep representasi politik itu mengandung dua dimensi penting,
yakni dimensi di mana wakil tersebut berdiri untuk (stands for) dan
bertindak untuk (acts for) mereka yang diwakili. Kedua dimensi ini
semestinya tidak boleh dipisahkan. Artinya, seorang Aleg perempuan tidak
dinilai
sekedar
perempuan),
dia
berdiri
melainkan
mewakili
juga
kelompok
bagaimana
dia
tertentu
(kelompok
bertindak
untuk
memperjuangkan urusan-urusan publik (public affairs) pada umumnya.
Namun, perhatian mereka terhadap kelompok perempuan semestinya
menjadi parameter utama. Mereka boleh saja mewakili kepentingan
kelompok manapun asalkan pada saat yang sama juga tidak mengabaikan
kelompok perempuan. Sederhananya, apresiasi atas bentuk representasi
subtantif mensyaratkan berjalannya fungsi representasi deskriptif dengan
baik.
Dengan tidak memisahkan kedua dimensi itu, representasi politik
yang dijalankan para Aleg perempuan DPRD Pati kemudian tidak hanya
dilihat dalam konteks tindakan konkretnya untuk mengadvokasi kepentingan
perempuan saja, melainkan juga kemungkinan mereka turut mewakili
kelompok masyarakat yang lain. Lebih tepatnya, representasi politik yang
dijalankannya kemudian tidak hanya diukur dengan perhatian mereka atas
kepentingan perempuan, melainkan perhatiannya juga atas isu-isu publik lain
yang pada prinsipnya juga relevan dengan proyek feminisme5.
Dengan demikian, konteks politik yang melingkupi mereka juga akan
terdeskripsikan dengan baik. Serta fungsi mereka antara sebagai delegate
atau trustee juga bisa dipahami secara proporsional. Sebagai delegate wakil
semata-mata hanya mengikuti apa yang menjadi pilihan dari konstituen.
Sebagai trustee, seorang wakil berhak mengambil keputusan dengan
Proyek feminisme dalam pengertian sebagai gerakan transformasi menuju
masyarakat yang adil dan setara di mana hubungan sosialnya dibangun tanpa alas dominasi.
Gerakan pembebasan perempuan dan laki-laki dari sebuah sistem yang tidak adil. Gerakan
yang berdiri pada level liberasi dari segala bentuk penindasan, baik struktural, kelas, personal,
etnis maupun yang lainnya. Artinya, gerakan itu bukan semata-mata ingin menyerang lakilaki, namun tendensinya lebih pada sistem yang tidak adil serta citra patriarkal bahwa
perempuan itu inferior (Fakih, 2008 : 102-173).
5
13
konsiderasi bahwa keputusan itulah yang terbaik karena dia memahami
masalah yang dihadapi konstituennya (Marijan, 2011 : 39; Pitkin, 1967 : 43,
56). Jika demikian, seorang wakil yang memposisikan diri sebagai delegate
tentunya akan lebih melihat pentingnya partisipasi warga yang diwakilinya,
sehingga akan mendorong mekanisme penguatan partisipasi warga dalam
pembuatan kebijakan publik.
Selain konsepsi yang dikemukakan oleh Pitkin, ada juga Jean
Mansbridge yang membuat kategori perwakilan dalam empat bentuk;
promissory, anticipatory, gyroscopic dan surrogacy. Perwakilan promissory
merupakan bentuk perwakilan di mana wakil dinilai berdasarkan janji-janji
yang dibuat di hadapan konstituen pada saat kampanye. Perwakilan
anticipatory adalah perwakilan di mana wakil justru berpikir soal pemilu
yang akan datang berikutnya tanpa menghiraukan janji-janji kampanyenya.
Perwakilan gyroscopic itu menekankan adanya seorang wakil yang berangkat
dari pengalaman dirinya sendiri ketika memperbincangkan kepentingan
konstituen. Selanjutnya perwakilan surrogacy adalah suatu perwakilan di
mana seorang wakil berusaha mewakili konstituennya diluar daerah
pemilihannya (Mansbridge, 2003 : 515; Marijan, 2011:41).
Konsepsi yang disampaikan oleh Mansbridge tersebut bisa melengkapi
konseptualisasi yang disampaikan oleh Pitkin serta memperkaya analisis
untuk melihat realitas perwakilan politik. Artinya, tindakan seorang wakil
akan lebih dicermati sebagai sesuatu “yang lebih politis”. Di mana seorang
wakil dinilai dari konsistensinya untuk memenuhi janji-janji kampanyenya,
kepentingan pribadinya terkait persiapan dalam pemilu periode berikutnya,
kesediaannya
untuk
mempertimbangkan
suara
aspirasi
warga
yang
diwakilinya, serta komitmennya hanya pada konstituen di dapilnya atau
warga secara keseluruhan.
b. Model Linkage Politik: Dari Programtik, Kharismatik,
hingga Klientelistik
Dalam studi politik, istilah linkage dipahami sebagai interkoneksi
warga dengan proses pembuatan kebijakan publik [the interconnections
14
between mass opinion and public decision (Clark, 2003: 6)]. Lebih spesifik,
Kees Aarts berusaha menjelaskan dengan mengatakan bahwa:
“The term 'linkage' refers to the various types of bonds which may
exist between individual citizens, sosial organizations, and the
political system. In some instances, these bonds are primarily
organizational, as in the case of the formal and informal ties between
sosial organizations and the political system; for example, the links
between trade unions and sosial democratic parties. In other
instances, ‘linkage’ refers to more subjective, individual feelings of
attachment to organizations and to the political system. (Klingemann
dan Fuchs, 2002: 227).
Interaksi yang berlangsung ini tentu akan melibatkan beragam aktor yang
mana juga disertai dengan tumpang tindihnya beragam kepentingan.
Interaksi yang berlangsung pun sangat mungkin saling interdependensi
antara menggunakan prosedur formal atau informal, atau mungkin juga
antara menggunakan mekanisme demokratik dan non-demokratik.
Berangkat dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa ada tiga
entitas penting dalam proses “political linkage”; (1) warga negara (the
people), (2) aktor/institusi intermediari, (3) urusan publik (the public
matters) (Törnquist dalam Törnquist, Webster, dan Stokke, 2009: 10; Hanif,
2009: 3). Dalam konteks studi ini, warga negara kemudian dilihat sebagai
subjek politik yang terdiri dari kelompok perempuan dan kelompok
kepentingan yang lain. Sedangkan aktor/institusi intermediari di sini adalah
mediator yang menghubungkan antara warga dengan urusan-urusan publik.
Mediator yang digunakan ini bisa melalui partai politik, ormas-ormas
keagamaan, LSM, ataupun tokoh-tokoh agama yang ada di masyarakat.
Sedangkan urusan publik yang menjadi area analisis dalam studi ini adalah
terkait program PUG dalam ranah kebijakan anggaran dan kebijakan sosial.
Dengan mengkaji political linkage ini akan diketahui kelompok (baca:
aktor) mana saja yang berinteraksi dengan Aleg perempuan. Pola hubungan
seperti apa yang digunakan dalam membangun komunikasi dan berinteraksi
dengan beragam aktor tersebut. Menurut Herbert Kitschelt (2000:845-846),
setidaknya ada tiga model political linkage antara seorang politisi dengan
warga negara yang menjadi konstituennya. Pertama, pola relasi itu terbangun
didasarkan pada kharisma personal politisi tersebut bagi warga yang
15
diwakilinya (charismatic linkage). Kedua, pola hubungannya didasarkan
pada bagaimana seorang politisi membuat program kebijakan yang
menguntungkan semua warga negara, meskipun mereka ini tidak memilihnya
(programmatic linkage). Ketiga, suatu bentuk relasi yang dibangun seorang
politisi (patron) dengan warga yang diwakilinya (klien) dengan cara
memberikan keuntungan materi agar klien tersebut memberikan dukungan
(clientelist linkage).
Selain pola hubungan seperti disebutkan tadi, yang menarik untuk
dikejar lebih jauh adalah sejauh mana relasi yang terbangun itu menjelaskan
relasi
kuasa
dan
kontestasi
kepentingan
para
Aleg
perempuan.
Bagaimanapun para Aleg perempuan ini adalah aktor politik yang memiliki
tujuan dan maksud tertentu serta akan dihadapkan dengan konteks tertentu
pula. Tujuan dan konteks tersebut kadang membuat mereka harus
berkompromi dengan aktor manapun yang bisa membantu terpenuhinya
tujuan mereka. Dalam kondisi seperti ini, mereka bisa menjadi penyambung
lidah bagi aktor manapun yang memberikan keuntungan politik baginya.
Relasi interdependensi semacam ini harus dibongkar lebih dalam agar terihat
saling berkelindannya linkage politik yang terbangun. Tentu pola hubungan
yang terbangun bisa terlihat demokratis, sebaliknya mungkin juga tidak
demokratis.
c. Pengarusutamaan Gender: Bukan Sekedar Proses Teknis
Di dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 9
Tahun
2000
pembangunan
(9/2000)
nasional
Pengarusutamaan
tentang
Pengarusutamaan
dijelaskan
Gender
adalah
bahwa
strategi
yang
yang
Gender
dimaksud
dibangun
dalam
dengan
untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan nasional. Dalam studi ini, program PUG hanya dilihat
dalam konteks kebijkan anggaran (budgeting) dan kebijakan sosial (sosial
policy). Dengan demikian, setiap pemerintah daerah pada dasarnya memiliki
kewajiban dalam mengintegrasikan gender dalam desain pembangunannya.
16
Pada dasarnya, PUG adalah gagasan tentang perencanaan (planning)
pembangunan
yang
berkeadilan
gender.
Tujuannya
adalah
untuk
membebaskan perempuan dari posisi yang subordinatif, mencapai kesetaraan
hak sebagai warga negara (Moser, 2003 : 1). Sedangkan Shirin M. Rai
(2003:16) mendefinisikan PUG sebagai berikut:
“The process of assessing the implications for women and men of any
planned action, including legislation, policies or programmes, in all
areas and at all levels. It is a strategy of making women’s as well as
men’s concerns and experiences an integral dimension of the design,
implementation, monitoring and evaluation of policies and
programmes in all political, economic and societal spheres so that
women and men benefit equally and inequality is not perpetuated.”
Definisi yang dikemukakan Rai tersebut menegaskan bahwa yang menjadi
titik tekan PUG adalah bagaimana mengatasi ketimpangan yang dialami oleh
perempuan tanpa bermaksud mengabaikan kepentingan laki-laki. Agar kedua
jenis kelamin tersebut diperlakukan secara adil sebagai warga Negara.
Selain sekedar proses teknis dalam proses perencanaan pembangunan,
proses politis juga merupkan hal penting yang harus digarisbawahi dalam
konteks PUG. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Razavi dan
Miller (Dewi, 2006: 12) bahwa PUG harus dipahami sebagai:
“Proses teknis dan politis yang membutuhkan perubahan pada
kultur atau watak organisasi, tujuan, struktur, dan pengalokasian
sumber daya. Politis, karena bertujuan untuk mengubah alokasi
sumber daya, kuasa, kesempatan dan norma sosial.”
Proses politis inilah yang justru sering menentukan berjalan tidaknya
program PUG. Karena di sinilah relasi kuasa antar aktor bekerja dan saling
menegosiasikan kepentingannya untuk menentukan ada tidaknya perubahan
terkait alokasi sumber daya, kuasa, serta norma sosial.
Setidaknya itulah gambaran sekilas tentang gagasan yang mendasar
dari PUG yang dipahami dalam penelitian ini. Jika demikian, tentu saja PUG
itu akan berlangsung di berbagai sektor, yang tentunya cakupannya lumayan
luas. Sehingga seperti ditegaskan diawal penting dibatasi di sini bahwa
program PUG yang dilihat hanya dalam konteks kebijakan anggaran dan
kebijakan sosial. Artinya, bagaimana mewujudkan kebijakan anggaran yang
responsif gender serta kebijakan sosial yang sensitif gender. Anggaran yang
17
responsif gender tidaklah bermakna anggaran yang hanya memperhatikan
kepentingan perempuan dan mengabaikan jenis kelamin yang lain (baca: lakilaki).
Konsepsi tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Rhonda
Sharp dan Debbie Budlender (Mastuti, 2006: 9) bahwa:
“Anggaran responsif gender bukanlah anggaran yang terpisah bagi
laki-laki
dan
perempuan,
melainkan
strategi
untuk
mengintegrasikan isu gender ke dalam proses penganggaran, dan
menerjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan
kesetaraan gender ke dalam komitmen anggaran. Bahwa anggaran
responsif gender terdiri atas seperangkat alat / instrumen dampak
belanja dan penerimaan pemerintah terhadap gender.”
Penegasan seperti ini penting untuk mengeliminasi kesalahpahaman yang
sering muncul di mana anggaran responsif gender seolah-olah hanya
diasosiasikan dengan jenis kelamin perempuan.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan kebijkan sosial adalah segala
bentuk kebijakan yang terkait dengan pemenuhan pelayanan sosial dasar bagi
warga Negara, seperti layanan kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial,
perumahan, dan beragam tunjangan sosial yang bersumber dari pajak. Ada
dua karakter kebijakan sosial yang cukup berbeda, pertama karakternya
adalah “Social State Model” yang mana masih menuntut keaktifan individu
dalam mengatasi risiko sosial yang dialaminya. Sedangkan yang kedua adalah
karakter “Welfare State” di mana Negara benar-benar hadir menjadi aktor
yang budiman dalam meminimalisir risiko yang ditanggung oleh seluruh
warga Negaranya (Triwibowo dan Subono, 2009: 5). Sedangkan menurut
Marshall (1965), kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang memiliki
dampak langsung bagi kesejahteraan warga baik melalui pelayanan sosial
maupun bantuan keuangan tunai (Suharto, 2005: 10).
Beberapa definisi tentang kebijakan sosial tersebut, setidaknya bisa
membantu untuk melihat sejauh mana perencanaan pembangunan di Pati
memiliki komitmen dalam aspek pelayanan sosial. Kebijakan sosial di suatu
daerah itu bisa merupakan inisiatif dan inovasi daerah yang bersangkutan,
atau hanya sekedar menjalankan program kebijakan sosial yang memang
diselenggarakan pada level nasional. Namun demikian, pada akhirnya yang
18
akan diuraikan di sini tentu saja hanya sebagian dari jenis kebijakan sosial,
yang kemudian bisa menuntun untuk mengupas model representasi politik
dan linkage politik aleg perempuan yang menjadi focus utama studi ini.
E.
Alur Pikir Penelitian
Bagan I: Alur Pikir
PUG (KEBIJAKAN ANGGARAN DAN KEBIJAKAN SOSIAL)
ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN
MODEL
LINKAGE
(LANGSUNG/
VIA MEDIATOR)
MODEL
REPRESENTASI
DESKRIPTIF
WARGA (KELOMPOK PEREMPUAN DAN KELOMPOK
KEPENTINGAN LAIN)
F.
Definisi Konseptual dan Operasional
Kesamaan persepsi antara penulis dan pembaca terkait berbagai
konsep dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah hal yang
penting. Agar ada kesamaan persepsi tersebut, maka penulis akan
menjelaskan definisi konseptual dan definisi operasionalnya. Selain itu,
definisi konseptual dan operasional ini juga penting sebagai acuan dasar yang
menuntun penulis selama proses mencari dan menggali data di lapangan.
19
Definisi-definisi konseptual yang dimaksudkan tersebut adalah sebagaimana
di bawah ini:
1.
Model representasi adalah sebuah bentuk praktik
perwakilan politik yang dijalankan oleh seorang wakil bagi kelompok
yang terwakili. Di mana perwakilan politik yang berlangsung ini bisa
berbentuk
dekriptif,
subtantif,
maupun
simbolik.
Perwakilan
deskriptif terjadi ketika seorang wakil berdiri untuk (stands for)
orang-orang yang secara objektif serupa. Para wakil merupakan
deskripsi dari konstituen yang memiliki karakteristik sama seperti
warna kulit, jenis kelamin, dan kelas sosial. Sedangkan perwakilan
subtantif berlangsung ketika seorang wakil bertindak untuk (acts for)
mereka yang diwakili berbasiskan politik ide dan kepentingan. Bentuk
perwakilan ini tidak mensyaratkan adanya kesamaan identitas antara
wakil dan yang diwakili. Pembedaan kedua jenis representasi ini bisa
dipahami dengan melihat dua dimensi penting perwakilan politik;
berdiri untuk (stands for) dan bertindak untuk (acts for) mereka yang
diwakili.
2.
dengan
Linkage politik adalah interaksi atau interkoneksi warga
proses
pembuatan
kebijakan
publik.
Interaksi
yang
berlangsung ini akan melibatkan tiga entitas penting; warga,
aktor/institusi intermediari, dan urusan publik. Warga adalah subjek
politik yang memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi, yang terdiri
dari kelompok perempuan dan kelompok kelompok kepentingan lain.
Sedangkan aktor intermediari adalah para aktor yang menjadi
jembatan penghubung antara warga dengan dengan bermacam urusan
publik. Aktor ini berfungsi sebagai mediator dalam proses pembuatan
kebijakan publik. Aktor ini meliputi partai politik, ormas keagamaan,
pemimpin-pemimpin
informal
yang
ada
di
masyarakat
dan
sebagainya. Sedangkan bentuk political linkage yang berlangsung di
antara
mereka
bisa
berbentuk
kharismatik,
programatik
dan
klientelistik.
Dari definisi konseptual di atas, maka bisa diturunkan definisi yang
lebih operasional sebagai berikut:
20
1.
Model representasi adalah praktik perwakilan politik
yang dijalankan oleh Aleg perempuan selama menduduki jabatan
politik di lembaga perwakilan formal di DPRD Pati terkait program
PUG dalam pembangunan daerah. Dalam proses advokasi program
PUG tersebut, perwakilan politik yang dijalankan oleh mereka sangat
mungkin aktif atau bahkan pasif. Pada saat yang sama mereka bisa
saja mewakili kepentingan kelompok berbasiskan kesamaan identitas
kultur keagamaannya.
2.
Linkage politik adalah pola hubungan interaksi ataupun
pertukaran yang terjadi antara Aleg perempuan dengan berbagai aktor
(baik aktor intermediari maupun yang lain) yang ada di sekelilingnya
terkait program PUG dalam pembangunan di Pati. Di mana interaksi
yang dibangun oleh para Aleg perempuan ini bentuknya bisa berbedabeda di masing-masing aktor. Dengan aktor tertentu mereka mungkin
mempraktikkan linkage kharismatik, sedangkan dengan aktor yang
lain
mungkin
dengan
linkage
programatik
ataupun
linkage
klientelistik. Dengan memahami bentuk political linkage tersebut
akan terlihat juga bagimana relasi kuasa dan kontestasi kepentingan
diantara mereka.
G.
Metode Penelitian
a. Metode dan Jenis Penelitian
Pilihan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Metode ini cukup tepat digunakan untuk mengelaborasi
pengalaman subjektif seseorang (Marsh dan Stoker, 2011:242). Di mana
pengalaman yang dielaborasi dalam penelitian ini adalah pengalaman Aleg
perempuan DPRD Pati terkait representasi politik dan linkage politik yang
mereka jalankan. Penulis menggali informasi secara elaboratif dari para
subjek penelitian ini, di mana ada sembilan aleg perempuan. Tidak hanya itu,
dari informasi yang didapat pada akhirnya dikembangkan lagi dengan
21
menelusuri berbagai pihak terkait (baca: informan) untuk melengkapi
jawaban rumusan masalah dalam penelitian ini.
Dengan menggunakan metode kualitatif penulis bisa mendapatkan
kedalaman informasi dari pihak-pihak terkait. Kedalaman informasi ini
membuat penelitian ini terhindar dari kecerobohan dalam menyimpulkan
sebuah realitas sebagai sesuatu yang objektif. Melalui metode inilah
kebenaran justru terlahir dalam proses yang intersubjektif, dan pada saat
itulah kemudian penulis berusaha melakukan objektifikasi dan justifikasi dari
proses yang intersubjektif. Artinya, pendapat salah seorang aleg perempuan
bisa dikuatkan atau dilemahkan oleh aleg perempun yang lainnya. Sehingga
semua data informasi yang diperoleh diperlakukan secara kritis dan
dikonfrontasikan satu sama lain untuk menemukan pendapat yang paling
kuat dari para informan yang ada.
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam studi ini adalah
studi kasus kasus tunggal (single case study), di DPRD Pati. Sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh Robert E. Stake, di antara kelebihan dari
pendekatan studi kasus adalah memiliki kemampuan untuk melakukan
perbaikan teori (refining theory). Jadi, sangat mungkin penelitian atas suatu
kasus tertentu akan memperkuat teori yang sudah ada, ataupun sebaliknya
berpotensi memperbaiki atau mengevaluasinya. Selain itu, kompleksitas
persoalan dalam setiap kasus yang diteliti juga bisa menjadi bahan penelitian
lanjutan di kemudian hari. Studi kasus juga akan memperlihatkan bagaimana
keterbatasan sikap generalisasi atas realitas sosial (Denzin dan Lincoln,
2009:313). Sehingga dimensi lokalitas suatu realitas sosial menjadi sangat
diperhatikan.
Dalam studi kasus ini, penulis mengelaborasi bagaimana model
representasi politik dan model linkage politik yang dijalankan oleh para
anggota legislatif perempuan di DPRD Kabupaten Pati. Jadi secara spesifik
terfokus pada anggota legislatif perempuan. Pengalaman anggota legislatif
perempuan di DPRD Pati mungkin terjadi di tempat lain dan mungkin juga
tidak. Oleh karena itu, studi kasus ini tidak berpretensi menjelaskan realitas
kasus yang terjadi di Kabupaten lain. Meskipun terbuka kemungkinan bahwa
22
temuan atas kasus di Pati ini bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena
kasus di tempat yang lain.
b. Teknik Pengumpulan Data
Pelaksanaan pengumpulan data dalam studi ini menggunakan teknik
observasi langsung, wawancara mendalam, dan kajian dokumen (Yin
2011:101-116; Creswell, 2007:138-141). Penulis menggunakan ketiga teknik ini
secara bersamaan, di mana satu sama lain saling menguatkan sebagai sumber
bukti. Teknik observasi langsung ini cukup membantu penulis untuk
menemukan data tambahan, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh
Yin (2011:113) bahwa observasi atas lingkungan sosial atau unit organisasi
tertentu akan memperkaya informasi untuk pemahaman konteks maupun
fenomena yang diteliti.
Observasi juga akan memudahkan penulis untuk bisa mengakses
setting sosial yang ada tanpa dituntut untuk berinteraksi langsung dengan
partisipan, karena bersifat tidak mencolok (Adler dan Adler dalam Denzin
dan Lincoln, 2009:529). Observasi ini nantinya penulis lakukan dengan cara
mengamati tindakan dan perilaku para anggota legislatif perempuan selama
berada di dalam gedung DPRD (saat rapat, sidang dan aktivitas lainnya)
maupun di luar gedung ketika mereka berinteraksi dengan kelompok
masyarakat yang menjadi konstituennya. Penulis akan mencatat hasil
pengamatan ini sebagai salah satu bahan yang akan menjelaskan hasil
penelitian ini.
Teknik selanjutnya adalah wawancara mendalam (indepth interview).
Wawancara merupakan sumber informasi yang krusial dan esensial dalam
melakukan studi kasus. Penulis akan melakukakan wawancara dengan semua
anggota legislatif perempuan yang ada. Selain itu juga dengan Ketua DPRD,
Ketua Fraksi, Ketua Komisi serta para aktor yang berada di ranah
intermediari meliputi pengurus partai politik, pengurus ormas keagamaan
(seperti NU, Muhammadiyah, dll), aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat,
serta para tokoh masyarakat. Penulis melakukan wawancara dengan
menggunakan tipe open-ended, di mana penulis bisa mengajukan pertanyaan
23
pada informan kunci tentang fakta sebuah kasus di samping pendapat mereka
tentang kasus tersebut (Yin 2011:108). Artinya, selain menggali kebenaran
kasus secara akurat dan faktual, penulis juga akan meminta pada informan
untuk memberikan penilaian subjektifnya atas kasus tersebut. Tentu
pelaksanaan wawancara ini menggunakan panduan pertanyaan, dan kalau
dibutuhkan penulis juga akan menggali informasi dari para informan kunci
melalui obrolan-obrolan informal jika cara seperti ini ternyata lebih strategis.
Teknik yang terakhir adalah kajian dokumen. Kajian dokumen ini
sangat penting untuk memverifikasi data dan informasi yang penulis
dapatkan dari hasil wawancara. Bukti-bukti dokumenter ini bisa berupa
artikel, laporan hasil penelitian, dokumentasi kegiatan, produk kebijakan
semisal peraturan daerah, surat, maupun dokumen administratif yang lain.
Meskipun bukti dokumenter ini bisa dipergunakan untuk memverifikasi hasil
wawancara, namun bukan berarti merupakan sumber kebenaran mutlak.
Sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengumpulan data dalam penelitian
ini berdasarkan multi sumber. Masing-masing sumber akan diperlakukan
secara teliti dan hati-hati agar terhindar dari kesalahan membuat penafsiran.
Dari penggunaan teknik pengumpulan data tersebut, maka penelitian
ini nantinya menggunakan dua jenis data: data primer dan data sekunder.
Data primer yang dimaksudkan adalah data hasil wawancara langsung dari
para informan kunci secara mendalam. Sedangkan data sekundernya adalah
semua bentuk dokumen pendukung yang menunjang penelitian ini. Pada
prinsipnya, kedua jenis data ini sama pentingnya dan saling melengkapi satu
sama lain.
Lebih spesifiknya, dalam studi ini yang menjadi subjek penelitiannya
adalah anggota legislatif perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kabupaten Pati periode 2009-2014. Secara keseluruhan mereka ini
berjumlah tujuh (7) orang, dua orang berasal dari PDI P (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan), masing-masing satu orang berasal dari Partai
Demokrat, PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama), PDP (Partai
Demokrasi Pembaruan), Partai Golkar, dan PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa).
24
Mereka tersebut adalah sosok yang berbeda satu sama lain, baik
terkait afiliasi partai politiknya maupun latar belakang kultur keagamaannya.
Afiliasi partai politik dan latar belakang kultur keagamannya ini tentu akan
mempengaruhi preferensi politik mereka. Sehingga mereka tidak bisa dibaca
sebagai individu yang hanya menyandang identitas kelamin perempuan,
melainkan juga memiliki afiliasi politik, identitas keagamaan ataupun kelas
sosial tertentu. Keragaman identitas ini akan mempengaruhi bagaimana
mereka melihat pengalaman opresi yang dialaminya atau yang dialami
masyarakat yang diwakilinya.
Selain mereka, tentu juga akan melibatkan aktor-aktor di level
eksekutif dan ranah intermediari. Secara spesifik, informan di level eksekutif,
seperti dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) atau Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB). Serta aktoraktor intermediari yang dimaksudkan itu meliputi pengurus ormas
keagamaan seperti Fatayat NU dan Aisyiah. Informasi dari masing-masing
aktor tersebut sangat relevan dan dibutuhkan untuk bisa menjawab
pertanyaan dalam penelitian ini.
c. Teknik Analisis Data
Dari sederetan data primer dan sekunder yang penulis peroleh, tentu
tidak semuanya akan dinarasikan. Data-data tersebut akan diambil secara
selektif sesuai kegunaannya. Penulis hanya akan memilih informasi-informasi
yang memiliki relevansi erat dengan maksud penelitian ini. Sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh Robert E. Stake bahwa keputusan untuk
menentukan informasi mana yang penting dan dibutuhkan adalah otoritas
peneliti (Denzin dan Lincoln, 2009:305). Sehingga merupakan keniscayaan
jika kemudian penulis membuang beberapa informasi yang dianggap tidak
terlalu krusial. Pendek kata, penulis akan mengabaikan data wawancara yang
cenderung hanya retorika belaka dari informan yang bersangkutan.
Setiap data informasi yang ada akan dipahami dan diinterpretasikan
secara kritis dan reflektif untuk menemukan makna yang terkandung di
dalamnya. Sehingga ketiga sumber bukti yang ada (hasil observasi, hasil
25
wawancara, hasil kajian dokumen) akan penulis konfrontasikan satu sama
lain untuk mengetahui informasi mana yang paling kuat. Pada dasarnya
proses ekstraksi ini akan penulis lakukan sejak fase pengumpulan data hingga
saat analisis data yang sudah terkompilasi. Lebih konkritnya, sebagaimana
pendapat
yang
dikemukakan
oleh
Miles
dan
Huberman,
untuk
mengkompilasi data ini setidaknya penulis akan menggunakan beberapa
teknik seperti; mengelompokkan informasi di dalam daftar yang berbeda,
membuat matriks kategori sekaligus memeriksa jenis data yang saling terkait,
ataupun juga memasukkan informasi berdasarkan urutan kronologis ataupun
skema waktu yang lain (Yin 2011:135).
H.
Sistematika Penulisan
Pembahasan materi dalam penelitian ini akan dibagi dalam lima bab.
Bab pertama. Bab ini sebagai pendahuluan berisi tentang latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, definisi konseptual,
definisi operasional, metode peneltian dan sistematika penulisan. Bab
pertama ini merupakan pengantar untuk meyakinkan pembaca tentang
mengapa penting untuk melakukan studi ini.
Bab kedua. Bb ini menjelaskan konteks politik yang mempengaruhi
model representasi politik dan linkage politik aleg perempuan. Konteks
politik ini ditandai dengan program pengarusutamaan gender di Pati yang
ternyata mengalami stagnasi. Stagnasi ini disebabkan oleh beberapa faktor;
depolitisasi demokrasi, aleg perempuannya miskin perspektif gender, serta
kuatnya struktur patriaki dan lemahny peran aktor intermediary. Di mana
dari faktor-faktor yang ada, arus depolitisasi demokrasi menjadi faktor yang
paling dominan. Di bagian akhir berusaha mendiskusikan tentang upaya
transformasi yang mungkin bisa dilakukan untuk mengatasi stagnasi
tersebut.
Bab ketiga. Bab ini mendeskripsikan model-model representasi politik
yang dijalankan oleh aleg perempuan, mulai dari model representasi
deskriptif-aktif, deskriptif-pasif, hingga deskriptif-simbolik. Model-model
tersebut ditandai oleh bagaimana komitmen politik para aleg jika dilihat dari
26
aspek gender-interest dan self-interest. Apakah lebih berorientasi pada
gender-interest atau sebaliknya lebih pad self-interest, atau bahkan saling
interdependensi di antara keduanya. Pada bagian akhir berusaha memetakan
tentang pengaruh model representasi tersebut pada advokasi program PUG.
Bab keempat. Bab ini memaparkan model-model linkage politik yang
dijalankan oleh para aleg perempuan, mulai dari linkage pseudoprogramatik, linkage kharismatik, hingga linkage klientelistik. Di mana
beroperasinya linkage tersebut ada yang dilaksanakn secara lngsung oleh aleg
yng bersangkutan, namun juga lebih banyak yang melalui mediator (mulai
dari organisasi masyarakat sipil hingga broker politik berbasis tim sukses).
Pada bagian akhir juga berusaha memetakan bagaimana pengaruh model
linkage tersebut bagi advokasi program PUG terkait kebijakan anggaran dan
sosial.
Bab kelima. Sebagai pembahasan penutup, bab ini berisi tentang
jawaban atas pertanyaan dalam penelitian ini sekaligus refleksi teoritiknya
dalam konteks diskursus keterwakilan politik perempuan. []
27
Download