tinjauan pustaka

advertisement
3 TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Anatomi Otot Rangka
Otot rangka (skeletal muscle) bertanggung jawab atas pergerakan tubuh
secara sadar. Otot rangka disebut juga otot lurik (striated muscle) karena
pengaturan filamennya yang tumpang tindih, sehingga memberikan sel-sel itu
penampakan berlurik atau bergaris di bawah mikroskop. Sebuah otot terdiri atas
berkas serat otot (sel-sel) bernukleus majemuk, yang masing-masing merupakan
berkas miofibril (Campbell et al. 2004).
Masing-masing miofibril terdiri atas beberapa tipe protein, yaitu; miosin,
aktin, troponin, tropomiosin, titin, dan nebulin. Miosin merupakan protein motor
dari miofibril. Pada otot lurik, sekitar 250 molekul miosin bersatu membentuk
sebuah filamen tebal. Sementara aktin merupakan molekul protein yang
membentuk filamen tipis. Filamen tebal dan tipis tersebut diatur dalam suatu unit
kontraktil yang disebut sarkomer. Satuan fungsional yang disebut sarkomer ini
memiliki beberapa elemen di dalamnya, yaitu suatu pita A yang gelap dan pita I
yang terang yang tersusun selang-seling beraturan. Pusat pita A disebut zona H,
kurang padat dibandingkan bagian lain dari pita. Sebuah pita A dibagi dua oleh
garis M, sedangkan pita I dibagi dua oleh garis Z yang sangat sempit. Filamen
tipis selain mengandung aktin juga mengandung tropomiosin dan kompleks
troponin, keduanya merupakan protein yang mengatur kejadian kontraksi (the
regulatory proteins). Kemudian titin yang membentang dari garis Z sampai ke
daerah yang berdekatan dengan garis M, serta nebulin yang berada di sepanjang
tepi filamen tipis dan menempel pada garis Z (Silverthorn 2009).
Miofibril dikelilingi oleh struktur yang dibentuk membrana yang tampak
dalam foto mikograf elektron sebagai vesikel dan tubulus. Struktur ini membentuk
susunan sarkotubulus, yang dibentuk dari sistem T dan suatu retikulum
sarkoplasma. Sistem T tubulus transversa yang bersambung dengan membrana
serabut otot membentuk suatu kisi yang diperforasi oleh miofibril tersendiri.
Ruang diantara dua lapisan sistem T merupakan suatu perluasan ruang ekstra sel.
Retikulum sarkoplasma yang membentuk suatu tirai tidak teratur di sekeliling tiap
fibril mempunyai sisterna terminalis yang membesar dalam kontak erat dengan
4 sistem T pada sambungan antara pita A dan I. Pada titik kontak ini, susunan
sistem T sentral dengan suatu sisterna retikulum sarkoplasma pada sisi manapun
telah membawa ke penggunaan istilah trias untuk menggambarkan sistem ini.
Sistem T berfungsi sebagai hantaran cepat potensial aksi dari membrana sel ke
semua fibril dalam otot (Ganong 1995). Secara keseluruhan struktur anatomi otot
rangka dapat dilihat pada Gambar 1 berikut;
mitokondria
retikulum sarkoplasma
filamen tebal
nukleus
filamen tipis
sistem T
miofibril
sarkolema
pita A
sarkomer
Garis Z
Garis Z
miofibril
Garis M
pita I
Zona H
Garis Z
Garis Z
Garis M
filamen tebal
Garis M
filamen tipis
molekul miosin
rantai aktin
Gambar 1 Anatomi otot rangka (Silverthorn 2009)
5 Dasar Molekuler Mekanisme Kontraksi Otot Rangka
Ketika sebuah otot berkontraksi, panjang masing-masing sarkomer menjadi
berkurang, yaitu; jarak antara garis Z ke garis Z berikutnya menjadi lebih pendek.
Pada sarkomer yang berkontraksi, pita A tidak berubah panjangnya. Akan tetapi
pita I memendek dan zona H menjadi hilang. Peristiwa ini dapat dijelaskan
dengan model filamen luncur (sliding-filament model) pada kontraksi otot.
Menurut model ini, bukan filamen tipis dan bukan juga filamen tebal yang
berubah panjangnya ketika otot berkontraksi, melainkan filamen tersebut
meluncur di atas satu sama lain secara longitudinal. Sehingga derajat tumpangtindih filamen tipis dan tebal meningkat. Jika daerah tumpang-tindih itu
meningkat, baik bagian yang hanya ditempati oleh filamen tipis (pita I) maupun
bagian yang hanya ditempati oleh filamen tebal (zona H) harus berkurang
panjangnya (Campbell et al. 2004).
Peluncuran filamen tersebut didasarkan pada interaksi molekul aktin dan
miosin yang menyusun filamen tipis dan filamen tebal. Kepala miosin merupakan
pusat reaksi bioenergetik yang memberi energi untuk kontraksi otot. Kepala
miosin dapat mengikat ATP dan menghidrolisisnya menjadi ADP serta fosfat
anorganik. Energi yang dibebaskan dari pemecahan ATP dipindahkan ke miosin,
sehingga menjadi konfigurasi penambah energi tinggi. Miosin yang sudah
bertenaga ini berikatan dengan tempat spesifik pada aktin, membentuk suatu titian
silang (cross-bridge) (Campbell et al. 2004).
Hal tersebut secara lebih terperinci ditunjukkan oleh Silverthorne (2009)
serta dapat dilihat juga pada Gambar 2, dalam enam tahapan berikut ini;
1.
Area kaku (the rigor state)
Kepala miosin berikatan kuat dengan tempat spesifik pada aktin (Globular
protein) membentuk suatu titian silang (cross-bridge). Pada area ini tidak ada
nukleotida, baik ATP maupun ADP yang menempati sisi perlekatan dari kepala
miosin. Pada otot aktif, the rigor state ini hanya terjadi untuk periode/waktu yang
sangat singkat sekali.
2.
Pengikatan ATP dan pelepasan miosin
Sebuah molekul ATP terikat pada kepala miosin. Hal ini merubah afinitas
perlekatan aktin terhadap miosin, dan miosin pun memisahkan diri dari aktin.
6 3.
Hidrolisis ATP
Kepala miosin yang mengikat ATP kemudian menghidrolisis ATP menjadi ADP
serta fosfat anorganik (Pi).
4.
Miosin terikat lemah pada aktin
Energi yang dibebaskan dari pemecahan ATP menyebabkan kepala miosin terikat
lemah pada aktin, terutama molekul aktin yang baru. Pada titik ini, miosin
memiliki energi yang potensial, sehingga menjadi konfigurasi energi tinggi.
5.
Pelepasan fosfat anorganik
Pelepasan fosfat anorganik dari sisi perlekatan miosin menginduksi terjadinya
sebuah tembakan tenaga (the power stroke). Kepala miosin kemudian berotasi lalu
mendorong filamen aktin bergerak menuju garis M dan melewatinya.
6.
Pelepasan ADP
Miosin melepaskan ADP. Pada titik ini, kepala miosin kembali terikat kuat
dengan aktin pada area kaku (the rigor state). Siklus berulang ketika sebuah
molekul ATP baru terikat pada kepala miosin.
1 Terikat kuat pada area kaku (rigor state).
Titian silang membentuk sudut 450 relatif
terhadap filamen.
6 5 Pada akhir tembakan tenaga, kepala miosin
melepaskan ADP dan kembali terikat kuat dengan
aktin pada area kaku
Pelepasan Pi yang menginduksi
terjadinya tembakan tenaga (power
stroke).
2
3
ATP terikat pada kepala
miosin. Miosin terlepas dari
aktin.
ATP dihidrolisis menjadi ADP dan
Pi
4 Miosin terikat lemah pada aktin. Titian
silang membentuk sudut 900 relatif
terhadap filamen.
Gambar 2 Siklus dasar molekuler kontraksi otot rangka (Silverthorn 2009)
7 Agar siklus kontraksi dapat terus berlangsung, efek penghambatan oleh
kompleks troponin-tropomiosin pada bagian aktif dari filamen aktin normal otot
yang sedang relaksasi harus dihambat, karena menyebabkan area ini tidak dapat
melekat pada kepala filamen miosin untuk menimbulkan kontraksi. Kondisi ini
memunculkan peran ion Ca2+ . Dengan adanya ion Ca2+ dalam jumlah besar, efek
penghambatan oleh kompleks troponin-tropomiosin terhadap filamen itu sendiri
dapat dihambat (Guyton dan Hall 1997). Perlekatan ion Ca2+ pada sisi perlekatan
spesifik troponin membuat bentuk troponin berubah, dan berakibat juga pada
terlepasnya tropomiosin dari sisi perlekatan miosin pada tiap molekul aktin.
Sehingga kondisi sebaliknya, yakni ketiadaan ion Ca2+, akan menyebabkan
aktivitas kontraktil terhenti (Vander et al. 2001).
Ion-ion Ca2+ tersebut disimpan di dalam retikulum sarkoplasma. Membrana
retikulum sarkoplasma mengandung protein transport aktif primer, yaitu CaATPase, yang akan memompa ion Ca2+ dari sitosol kembali ke dalam lumen
retikulum. Pemompaan ion Ca2+ kembali ke dalam lumen retikulum
membutuhkan waktu yang lebih lama daripada pelepasannya. Oleh karena itu,
konsentrasi dari sisa-sisa ion Ca2+ dalam sitosol ditingkatkan, dan kontraksi akan
berlanjut sampai beberapa waktu setelah mendapat sebuah potensial aksi (Vander
et al. 2001).
Gambar 3 Kedudukan molekul troponin terhadap molekul tropomiosin dan sisi perlekatan
mekanisme titian silang (Vander et al. 2001)
8 Kontraksi Relaksasi Potensial aksi datang
2+
Ca masuk ke RE 2+
Ca dilepaskan
2+
Ca melekat pada troponin, menghambat aksi penghambatan tropomiosin 2+
Ca lepas dari troponin, aksi penghambatan tropomiosin Pergerakan titian silang Gambar 4 Pelepasan dan pengambilan Ca2+ oleh retikulum sarkoplasma selama kontraksi
dan relaksasi otot rangka (Vander et al. 2001)
Sel otot secara khas hanya menyimpan cukup ATP untuk beberapa
kontraksi saja. Sel-sel otot juga menyimpan glikogen diantara miofibril, akan
tetapi sebagian besar energi yang diperlukan untuk kontraksi otot yang berulang
disimpan dalam bahan yang disebut fosfagen. Keratin fosfat, yang merupakan
fosfagen vertebrata, menyediakan gugus fosfat ke ADP untuk membentuk ATP
(Campbell et al. 2004).
9 Metabolisme Energi pada Aktivitas Otot Rangka
Mader (2001) menyebutkan bahwa kontraksi otot membutuhkan pasokan
ATP yang berlimpah. Ada tiga jalur yang dapat memasok ATP tambahan selama
kontraksi otot;
1. Sel-sel otot memiliki mitokondria yang dapat membentuk ATP melalui
mekanisme respirasi selular aerobik.
2. Sel-sel otot mengandung kreatin fosfat, yang digunakan sebagai penyimpan
pasokan fosfat berenergi tinggi.
Kreatin fosfat tidak berpartisipasi secara langsung dalam kontraksi otot.
Sebaliknya, ia digunakan untuk membentuk ATP melalui reaksi berikut;
Kreatin fosfat + ADP
ATP + Kreatin
3. Ketika pasokan kreatin fosfat habis, sel otot masih mampu memproduksi ATP
secara anaerob.
Respirasi anaerob terjadi ketika sel tidak cepat mendapatkan pasokan oksigen
yang cukup untuk melakukan respirasi aerobik. Hal ini dapat terjadi misalnya
selama melakukan olahraga yang berat. Respirasi anaerob hanya dapat
memasok ATP untuk waktu yang sangat singkat, karena mekanisme ini
menghasilkan asam laktat yang dapat menyebabkan kesakitan otot dan
kelelahan.
Mekanisme Pembentukan ATP melalui Respirasi Aerobik
Mekanisme respirasi aerobik merupakan sintesis ATP menggunakan sistem
transport elektron, dan disebut juga sebagai proses fosforilasi oksidatif, karena
membutuhkan oksigen untuk bertindak sebagai penerima akhir dari elektron dan
H+. Proses ini hanya akan terjadi apabila tersedia cukup oksigen. Pergerakan dari
elektron melintasi sistem transport elektron ini dideskripsikan dengan sebuah
model yang disebut teori kemiosmotik. Berdasarkan teori ini, sepasang elektron
berenergi tinggi berjalan dari kompleks ke kompleks sepanjang jalur sistem
transport, kemudian sebagian energi dilepaskan dan digunakan untuk memompa
H+ dari matrik mitokondria keluar menuju ruang antar membran. Pergerakan H+
menuju ruang antar membran menyebabkan peningkatan konsentrasi H+. Selama
H+ kembali melintasi membran (menurunkan tigkat konsentrasinya) masuk ke
10 dalam matrik mitokondria, beberapa energi kinetik yang potensial ditangkap
sebagai ATP (Silverthorne 2009). Mark (2005) memberikan gambaran lengkap
sistem fosforilasi oksidatif sebagai berikut;
Glukosa
ATP (a) Fase pertama
dari Glikolisis
ADP PGAL
PGAL
NAD+
NADH
(b) Fase kedua
dari Glikolisis
2 ADP 2
ATP Proses
di sitoplasma
NAD+
NADH
2
As. Piruvat
Koenzim A
(c)Pembentukan
Co2
asetil CoA
ADP 2
As. Piruvat
NAD+
Koenzim A
NADH
NAD+
Co2
Aseti. CoA
ATP NADH
Asetil CoA
CoA
(d) Siklus Asam Sitrat
4-carbon
compound
As. sitrat
NAD+
NADH
NADH
Co2
NAD+
5-carbon
compound
H2O
FADH2
NAD+
Proses di
mitokondria
FAD
NADH
ATP Co2
4-carbon
compound
ADP (e) Sistem transport
elektron
NADH
NAD+
2-3
FADH2
FAD
½ O2
2-3
ADP +Pi
ATP H2O
Gambar 5 Fosforilasi oksidatif ( Mark 2005)
11 Agar proses fosforilasi oksidatif terus berjalan, otot-otot yang sedang aktif
bergantung pada pasokan oksigen dan nutrien yang adekuat melalui sistem
sirkulasi untuk mempertahankan aktivitasnya. Pada metabolisme ini, Pengubahan
ADP menjadi ATP terjadi berkaitan dengan molekul protein yang disebut
ATPase. Konsentrasi ion H+ yang tinggi di bagian luar bilik dan perbedaan
potensial listrik yang besar melalui membran bagian dalam menyebabkan ion H+
mengalir ke dalam matriks mitokondria melalui zat dari molekul ATPase.
Sewaktu melakukan hal tersebut, energi yang dihasilkan dari aliran ion H+ ini
digunakan oleh ATPase untuk mengubah ADP menjadi ATP. Untuk tiap dua
elektron yang berjalan melalui rantai transpor elektron (mewakili ionisasi dari 2
atom hidrogen), dapat disintesis sampai 3 molekul ATP (Guyton dan Hall 1997).
Mekanisme Pembentukan ATP melalui Pemecahan Kreatin Fosfat
Kreatin (Cr) merupakan jenis asam amino yang tersimpan di dalam otot
sebagai sumber energi. Di dalam otot, bentuk kreatin yang sudah terfosforilasi
menjadi kreatin fosfat (PCr) akan memiliki peranan penting dalam proses
metabolisme energi secara anaerobik di dalam otot untuk menghasilkan energi.
Saat istirahat, sejumlah ATP di dalam mitokondria memindahkan fosfatnya ke
kreatin, sehingga terbentuk simpanan kreatin fosfat. Enzim kreatin kinase
membantu pemecahan kreatin fosfat menjadi fosfat anorganik dan kreatin, proses
ini juga disertai dengan pelepasan energi sebesar 43 kJ (10,3 kkal) untuk tiap 1
mol PCr. Fosfat anorganik yang dihasilkan dari proses pemecahan PCr ini melalui
proses fosforilasi dapat mengikat molekul ADP untuk kembali membentuk
molekul ATP, sehingga memungkinkan kontraksi berlanjut (Irawan 2007; Ganong
1995).
Kreatin fosfat (PCr) membawa ikatan fosfat berenergi tinggi yang serupa
dengan ATP. Ikatan fosfat berenergi tinggi dari kreatin fosfat membawa memiliki
jumlah energi bebas yang sedikit lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh ikatan
ATP. Jumlahnya tiga sampai delapan kali lebih banyak. Disamping itu, ikatan
energi tinggi kreatin fosfat mengandung kira-kira 8.500 kalori tiap mol pada
keadaan standar, dan sebanyak 13.000 kalori tiap mol pada keadaan di dalam
tubuh (380C dan
konsentrasi reaktan rendah). Hasil ini sedikit lebih besar
12 daripada 12.000 kalori tiap mol dalam setiap dua ikatan fosfat berenergi tinggi
dari ATP. Kombinasi energi dari ATP cadangan dan kreatin fosfat di dalam otot
masih dapat menimbulkan kontraksi otot maksimal hanya untuk 5 sampai 8 detik
(Guyton dan Hall 1997).
Mekanisme Pembentukan ATP melalui Respirasi Anaerobik
Mekanisme pembentukan ATP melalui respirasi anaerobik terjadi dalam
jalur glikolisis. Glikolisis berarti memecahkan molekul glukosa untuk membentuk
dua molekul asam piruvat. Proses metabolisme energi ini menggunakan simpanan
glukosa yang sebagian besar diperoleh dari glikogen otot atau dari glukosa yang
terdapat di dalam aliran darah untuk menghasilkan ATP. Walaupun terdapat
banyak reaksi kimia dalam rangkaian glikolitik, hanya sebagian kecil energi bebas
dalam molekul glukosa yang dibebaskan dari setiap langkah. Akan tetapi diantara
tahap 1,3-asam difosfogliserat dan 3-asam fosfogliserat, dan sekali lagi diantara
tahap asam fosfoenol piruvat dan asam piruvat, jumlah energi yang dibebaskan
lebih dari 12.000 kalori per mol, jumlah yang dibutuhkan untuk membentuk ATP.
Sehingga terdapat 4 molekul ATP yang dibentuk dari masing-masing molekul
fruktosa 1,6 fosfat yang dipecah menjadi asam piruvat. Namun 2 molekul ATP
masih dibutuhkan untuk fosforilasi glukosa asal untuk membentuk fruktosa 1,6
fosfat sebelum glokolisis dapat dimulai. Oleh karena itu, hasil akhir dari seluruh
proses glikolitik hanya 2 molekul ATP untuk masing-masing molekul glukosa
yang dipakai (Guyton dan Hall 1997).
Sistem glikolitik dapat membentuk molekul ATP kira-kira 2,5 kali lebih
cepat daripada mekanisme fosforilasi oksidatif di mitokondria. Oleh karena itu,
bila sejumlah besar ATP dibutuhkan untuk kontraksi otot dalam waktu singkat
sampai sedang, mekanisme glikolisis anaerob ini dapat digunakan sebagai sumber
energi cepat. Sistem ini kira-kira setengah cepatnya dari sistem fosfagen (Kreatin
fosfat). Di bawah kondisi optimal, sistem glikolitik dapat menyediakan aktivitas
otot yang maksimal selama 1,3 sampai 1,6 menit sebagai tambahan dari yang
disediakan oleh sistem fosfagen (Farhan 2009).
Berikut 10 langkah reaksi kimia yang berurutan dalam proses glikolisis,
seperti yang ditunjukkan oleh Vander et al. (2001);
13 Gambar 6 Urutan reaksi kimia yang bertanggung jawab pada glikolisis (Vander et al.
2001)
14 Kelelahan Otot Rangka
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar
dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Istilah
kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu,
tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas
kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan otot adalah tremor/kejang pada otot atau
perasaan nyeri pada otot. Kelelahan otot dapat dipengaruhi oleh sistem saraf
pusat, cadangan glikogen otot, dan keadaan ion fosfat maupun kalium dalam otot.
Kelelahan itu dikarenakan sumber energi yang dimiliki oleh tubuh menurun atau
habis, asam laktat meningkat, keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu.
Akibatnya menimbulkan rasa lemah, lesu, dan penurunan konsentrasi (Anonim
2004).
Sementara Sherwood (2002) mendefinisikan kelelahan sebagai kondisi
penurunan kapasitas dan atau berkurangnya kemampuan kerja, dan menurut Foss
dan Keteyian (1998), kelelahan adalah ketidakmampuan tubuh membentuk tenaga
dan atau kecepatan, yang merupakan akibat dari aktivitas otot. Istilah kelelahan
menjadi sangat bervariasi karena banyaknya penyebab dengan penentu utama
yang berbeda bergantung kepada intensitas dan durasi aktivitas, serta kondisi
lingkungan (Tirtayasa 2001).
Berbagai jenis faktor yang dapat menyebabkan kelelahan kemudian dapat
diklasifikasikan ke dalam dua mekanisme besar, yaitu; mekanisme central fatigue
di sistem saraf pusat, dan mekanisme peripheral fatigue dimanapun diantara
neuromuscular juntion dan elemen-elemen kontraktil dari otot itu sendiri
(Silverthorne 2009). Pada mekanisme central fatigue, kelelahan sentral terjadi jika
sistem saraf pusat tidak dapat mengaktifkan neuron motorik yang mempersarafi
otot yang bekerja secara adekuat. Individu memperlambat atau menghentikan
olahraganya walaupun otot-ototnya masih mampu bekerja. Pada aktivitas olahraga
ringan-sedang, kelelahan sentral mungkin menyebabkan penurunan kerja fisik
berkaitan dengan kejenuhan (Wilmore dan Costil 1994).
Download