BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Magnet Magnet

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Magnet
Magnet merupakan benda yang terbuat dari bahan tertentu dengan sifat
mampu menarik bahan ferromagnetik dan ferrimagnetik. Nama ‘magnet’ diambil
dari nama daerah dimana batu yang bisa menarik atau menempel pada tongkat
besi ditemukan (Overshott, 1991).
Pada tahun 1820, Oersted memahami hubungan magnet dengan kelistrikan.
Hubungan tersebut didapatkan dari pengamatan medan magnet yang terbentuk di
sekitar kawat berarus. Dari penemuan tersebut, muncul hubungan antara medan
magnet, medan listrik, dan cahaya yang dijelaskan dalam teori gelombang
elektromagnetik Maxwell (Griffith, 1999). Pengembangan tentang magnet terus
dilakukan hingga sekarang.
2.2. Medan Magnet, Induksi Magnetik, dan Magnetisasi
Salah satu hal untuk menjelaskan fenomena magnetik adalah interaksi dari
dua kutub magnetik (Chikazumi, 1997). Jika dua kutub magnet saling berinteraksi
maka dapat terjadi gejala tarik-menarik atau tolak-menolak terhadap bahan
magnet lain bergantung kutubnya (Dent, 2012). Dua gejala ini muncul karena
adanya perubahan energi di area sekitar magnet. Area ini disebut sebagai medan
magnet dan dilambangkan dengan H dengan satuan Oersted. Medan magnet yang
berasal dari magnet permanen ada karena gerak dari elektron. Elektron terus
bergerak secara kontinu karena mengalami gerak orbital dan gerak spin (Jiles,
1998). Gerak orbital merupakan gerak elektron mengelilingi inti atom. Tiap gerak
tersebut menghasilkan momen magnetik. Momen magnetik merupakan hasil dari
kuat kutub magnetik dan panjang magnet yang bekerja pada magnet (Chikazumi,
1997).
Jika elektron mengelilingi inti atom dengan luas daerah A dan membawa
arus muatan sebesar i, maka momen dipol magnetnya m dituliskan:
= ��
(2.1)
Untuk
elektron
yang
berpasangan,
momen
magnet
akan
saling
menghilangkan. Sedangkan untuk elektron yang tidak berpasangan menyebabkan
adanya resultan momen magnet. Oleh karena itu, area dari suatu medan magnet
sangat dipengaruhi oleh momen magnet dari bahan (Jiles, 1998).
Medan magnet juga dapat muncul dari pergerakan muatan listrik disebut
medan magnet Ampere. Medan magnet yang terbentuk bergantung pada bentuk
dari lintasan gerak dan muatan yang dibawa. Jika pergerakan muatan terjadi pada
suatu konduktor berbentuk lingkaran, berdasarkan hukum Biot-Savart dan
teorema Ampere, medan magnet H, pada konduktor pembawa arus i, dengan jarijari r adalah (Jiles, 1998):
�
� = 2�
(2.2)
Suatu bahan yang dikenai medan magnet akan mengalami induksi magnetik.
Besarnya medan magnet yang menembus tegak lurus terhadap medium disebut
fluks. Besar induksi magnetik dipengaruhi oleh permeabilitas bahan. Persamaan
induksi magnetik adalah sebagai berikut:
�=
��
Dimana
(2.3)
�
adalah permeabilitas ruang hampa dan B adalah induksi medan
magnet dengan satuan Tesla atau Oersted (Griffith, 1999).
Magnetisasi menunjukkan seberapa besar suatu bahan dapat dipengaruhi
oleh medan magnet dari luar. Magnetisasi terhadap suatu bahan dipengaruhi oleh
suseptibilitas. Suseptibilitas dari suatu bahan merupakan tingkatan suatu bahan
saat dimagnetisasi. Persamaan suseptibilitas dituliskan sebagai berikut (Kotnala &
Shah, 2015):
� = ��
(2.4)
Dimana M adalah magnetisasi dari bahan dan � adalah suseptibilitas dari
bahan.
Persamaan
2.4
menunjukkan
bahwa
besar
suseptibilitas
akan
mempengaruhi besar magnetisasi oleh medan magnet eksternal. Magnetisasi
secara kuantitas merupakan besar momen magnet tiap satuan volume yang terjadi
karena pemberian induksi magnetik pada bahan.
2.3. Sifat-Sifat Magnetik
2.3.1. Energi Domain Wall
Momen magnetik di kedua sisi magnet memiliki orientasi yang berbeda. Hal
ini berhubungan dengan terbentuknya medan magnet yang seragam (uniform)
(Chikazumi, 1997). Domain magnetik mewakili orientasi tertentu dari momen
magnetik. Momen magnet yang berorientasi sama bergabung dalam kelompokkelompok domain.
Daerah batas antar momen magnet yang memiliki orientasi berbeda disebut
dengan domain wall. Magnetisasi spontan yang diberikan pada suatu bahan
mengakibatkan domain wall mengalami perubahan atau perpindahan disebut
domain wall displacement (Chikazumi, 1997). Magnetisasi spontan dari masingmasing domain berkebalikan dengan domain yang terpisah karena adanya energi
domain walls. Energi domain walls bergantung pada kenaikan atau penurunan
dari lebar domain walls akibat penumbuhan domain (Cullity & Graham, 2009).
2.3.2. Koersivitas
Koersivitas menunjukkan kestabilan keadaan remanen dan digunakan untuk
klasifikasi jenis magnet yaitu hard magnet, semi-hard magnet atau soft magnet.
Koersivitas dari suatu bahan sangat bergantung pada ukuran butirnya. Ketika
ukuran butir turun, maka koersivitas akan naik mencapai maksimum dan
kemudian akan turun. Perubahan koersivitas ini terjadi karena perubahan dari
keadaan multi domain menjadi keadaan domain tunggal superparamagnetik.
Domain tunggal dapat dicapai dengan cara menurunkan ukuran butir sehingga
keadaan tidak stabil dan fluktuasi spin mendominasi (Overshott, 1991).
2.4. Ferromagnetik
Bahan ferromagnetik menunjukkan interaksi dipolar yang arahnya paralel
dengan vektor dipol magnetiknya. Total energi dari bahan ferromagnetik
merupakan jumlah dari energi exchange, magnetostatik, anisotropi, dan energi
Zeeman. Energi exchange dalam hal ini terjadi pada permukaan bahan. Pada
bahan ferromagnetik, interaksi exchange mekanik kuantumnya menjadikan
momen magnet atom sebelah menjadi paralel walaupun tanpa adanya medan
magnet dari luar. Momen atom kopling ini menghasilkan magnetisasi yang besar
dari bahan ferromagnetik atau disebut momen tiap satuan volume (Kotnala &
Shah, 2015).
Jika suhu dinaikkan hingga energi termalnya sebanding dengan energi
exchange, susunan panjang atom ferromagnetik akan hilang. Suhu ketika
magnetisasi spontan bernilai nol disebut sebagai suhu Curie dari bahan. Suhu
Curie memisahkan fase ferromagnetik dan paramagnetik, fase ferromagnetik
berada dibawah suhu Curie dan fase paramagnetik berada diatas suhu Curie.
Beberapa bahan ferromagnetik dengan suhu Curie yang berbeda-beda ditampilkan
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Suhu Curie dari beberapa material (Jiles, 1998)
Material
Suhu Curie (Tc) (°C)
Iron
770
Nikel
358
Kobalt
1130
Gadolinium
20
Terfenol
380-430
Alnico
850
SmCo
720
Nd2Fe14B
312
Sm2Co17
810
Hard Ferrite
400-700
Barium Ferrite
540
2.5. Kurva Histerisis
Karakteristik bahan ferromagnetik yang dipengaruhi oleh induksi magnetik,
medan magnet luar, dan magnetisasi ditunjukkan dalam bentuk kurva histerisis.
Hubungan dari ketiga besaran tersebut ditunjukkan dengan persamaan:
�=
�
�+�
(2.5)
Dimana B adalah induksi magnet (Tesla), H adalah medan magnet luar
(A/m), M adalah magnetisasi (A/m), dan µ o merupakan permeabilitas ruang
hampa.
Ketika suatu bahan ferromagnetik dikenakan medan magnet luar H, maka
bahan akan termagnetisasi. Jika nilai H diperbesar, magnetisasi M juga semakin
besar. Pada keadaan tertentu saat magnetisasi sudah tidak naik dengan kenaikan H
keadaan ini disebut magnetisasi saturasi Ms. Selanjutnya, saat H dikecilkan
nilainya dan mencapai nol, magnetisasi bahan ferromagnetik tidak kembali nol
namun memiliki nilai dan disebut magnetisasi remanen Mr. Magnetisasi remanen
merupakan magnetisasi yang didapatkan setelah memberi perlakuan medan
magnet pada bahan dan kemudian dihilangkan. Pada keadaan ini, ada momen
magnetik yang orientasinya tidak kembali ke orientasi awal sehingga bahan
memiliki sisa magnetisasi.
Gambar 2.1. Kurva histerisis untuk bahan ferromagnetik, paramagnetik,
diamagnetik, dan superparamagnetik berdasarkan besaran
magnetisasi saturasi (Ms), magnetisasi remanen (Mr), dan
koersivitas (Hc) (Kotnala & Shah, 2015)
Medan koersif Hc merupakan medan yang dibutuhkan untuk membuat
magnetisasi remanen bernilai nol. Medan koersif mengukur besar medan magnet
yang harus diberikan untuk membalik magnetisasi. Pada keadaan Mr bernilai nol
ini, orientasi seluruh magnet bahan ferromagnetik tadi kembali ke orientasi awal.
Medan magnet luar kemudian dibalik polaritasnya dan diperbesar nilainya (dalam
H bernilai negatif), hingga keadaan tertentu magnetisasi saturasi bernilai negatif
terjadi. Proses dilanjutkan dengan pemberian medan magnet luar bernilai nol, dan
didapatkan magnetisasi remanan bernilai negatif. Keseluruhan proses magnetisasi
ditunjukkan dalam kurva histerisis pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 juga
menunjukkan kurva histerisis tiap bahan. Terlihat bahwa bahan yang bersifat
diamagnetik, jika diberi medan magnet luar maka akan mengalami magnetisasi
dengan nilai sebaliknya. Jika medan magnet luarnya positif, maka magnetisasinya
bernilai negatif. Selain itu, ketika medan magnet luarnya dihilangkan (bernilai
nol), maka tidak ada magnetisasi sisa pada bahan. Hubungan medan magnet luar
dan magnetisasi bahan terlihat jelas pada Gambar 2.1.
Magnetisasi saturasi merupakan batas dari magnetisasi bahan. Magnetisasi
saturasi dari masing-masing bahan berbeda satu sama lain. Tabel 2.2
menunjukkan magnetisasi saturasi (Ms) dari beberapa bahan ferromagnetik.
Tabel 2.2. Magnetisasi saturasi beberapa bahan ferromagnetik (Jiles, 1998)
Material
Ms (106 Am-1)
Iron
1,71
Kobalt
1,42
Nikel
0,48
78 Permalloy
0,86
Supermalloy
0,63
Mctglass 2605
1,27
Permendur
1,91
Kurva histerisis antara M dan H biasanya disebut dengan kurva histerisis
intrinsik. Kurva histerisis antara B dan H disebut kurva histerisis normal. Bentuk
kurva histerisis digunakan untuk klasifikasi antara soft magnetic dan hard
magnetic. Soft magnetic memiliki nilai medan koersif dan remanen yang kecil,
sehingga bentuk kurva sangat pipih. Nilai koersivitas yang kecil ini menunjukkan
bahwa bahan dapat dengan mudah dihilangkan magnetisasinya. Aplikasi soft
magnetic banyak dilakukan pada medan koersif yang kecil. Contoh dari soft
magnetic adalah campuran Si-Fe, Mn-Zn ferrite, dan Ni-Zn ferrite. Hard
magnetic memiliki nilai medan koersif dan remanen yang cukup besar. Hal ini
berkaitan dengan aplikasi dari hard magnetic sebagai bahan yang stabil dan
sebagai sumber permanen dari medan magnet. Parameter penting lain dari hard
magnetic adalah hasil energi maksimum. Contoh dari hard magnetic adalah bahan
campuran ferrite, nickel, cobalt, alumunium, dan cooper (Bertotti, 1998).
2.6. Nanopartikel Magnetik
Bahan magnetik mengalami banyak perkembangan penelitian mulai dari
penelitian magnet permanen berupa alloy, bulk hingga nanopartikel magnetik.
Ketika suatu bahan menjadi lebih kecil ukurannya, maka jumlah atom di
permukaan sama dengan total atom. Hal ini menyebabkan efek permukaan
menjadi penting. Berdasarkan penelitian tentang nanopartikel magnetik, nano
bukan berarti memiliki skala nanometer, namun lebih kepada submikro atau lebih
kecil.
Sifat-sifat menarik dari suatu nanopartikel magnetik terjadi karena dinamika
sistem spin. Pada suhu rendah, momen magnetik akan secara spontan berubah
arah pada proses kuantum tunneling (Sangregorio et al., 1997). Partikel magnetik
berukuran nano memberikan sifat khas seperti superparamagnetik dan sifat seperti
spin-glass, yang berhubungan dengan ketidakteraturan kation dan efek permukaan
(Nathani et al., 2004).
2.7. Metode Kopresipitasi
Metode kopresipitasi merupakan salah satu metode dalam fabrikasi
nanopartikel kobalt ferit berupa pengendapan. Reaksi kopresipitasi terdiri dari
tahapan nukleasi, penumbuhan, pengerasan, dan aglomerasi. Reaksi kimia yang
digunakan untuk kopresipitasi ini dapat mengalami beberapa bentuk reaksi.
Penambahan campuran berupa senyawa-senyawa dalam tahap awal belum tentu
menghasilkan bahan yang terdispersi secara homogen dan berupa nanopartikel.
Proses nukleasi dan penumbuhan memiliki berpengaruh besar terhadap ukuran
partikel dan morfologi dari bahan (Kotnala & Shah, 2015). Berdasarkan proses
termodinamika, proses penumbuhan terjadi untuk mencapai keadaan partikel yang
lebih stabil. Proses pengerasan dapat didefinisikan sebagai proses partikel kecil
dimakan oleh partikel besar.
Setiap prosedur kopresipitasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Kecepatan
reaksi dan transpor secara umum dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu, pH, dan
urutan saat pencampuran bahan. Struktur dan kristalinitas partikel dipengaruhi
oleh kecepatan reaksi dan impuritas. Ukuran partikel dan morfologi dipengaruhi
oleh supersaturasi, kecepatan nukleasi dan penumbuhan, stabilitas koloidal, dan
rekristalisasi.
Menurut Houshiar et al. (2014), metode kopresipitasi memiliki kelebihan
kontrol terhadap ukuran sintesis nanopartikel dengan mudah. Kontrol ukuran
tersebut berkaitan dengan penelitian Maaz et al. (2009) yang menyebutkan bahwa
ukuran butir nanopartikel sangat berpengaruh terhadap sifat magnetik yang
dihasilkan. Jadi secara langsung, sifat magnetik dari nanopartikel kobalt ferit
dipengaruhi oleh ukuran butir dan dapat dikontrol.
2.8. Kobalt Ferit
Ferit merupakan oksida dari bahan feromagnetik yang memiliki resistivitas
dan permeabilitas yang tinggi. Material ferit dikenal sebagai magnet keramik
dengan rumus kimia MO.Fe2O3 dengan M adalah Mn, Fe, Co, Ni, Cu, Zn, Mg,
dan lain-lain (Chikazumi, 1997).
Salah satu contoh magnet ferit adalah kobalt ferit (CoFe2O4). Menurut Lee
sebagaimana ditulis oleh Zhang et al. (2010), kobalt ferit memiliki kestabilan
kimia, kekuatan mekanik, anisotropi magnetik, koersivitas, dan anisotropi
magnetisasi yang tinggi. Aplikasi bahan magnetik ini adalah medium perekaman
seperti piringan hitam, tape recording, dan high density disk hard disk (Maaz et
al., 2009).
Kobalt ferit memiliki struktur spinel inversi face centered cubic (fcc).
Struktur spinel terdiri dari 8 formula atau total 8  7 = 56 ion, tiap sel satuan. Ion
oksigen tersusun saling dekat membentuk susunan fcc dan ion logam yang lebih
kecil ukurannya menempati ruang diantara susunan oksigen. Ruang tersebut
terdiri dari dua macam yaitu tetrahedral sites dan oktahedral sites seperti terlihat
pada Gambar 2.2a dan 2.2b. Gambar 2.2c dan 2.2d menunjukkan pembagian sel.
Untuk struktur spinel inversi, satu satuan sel terdiri dari 32 ion O2-, 8 ion logam di
tetrahedral sites, dan 16 ion logam di oktahedral sites dengan jumlah total adalah
56 ion. Dalam struktur spinel inversi, ion Fe3+ mengisi tetrahedral sites (A-sites)
dan oktahedral sites (B-sites), sedangkan ion Co2+ hanya mengisi oktahedral sites
(Chikazumi, 1997).
Gambar 2.2. Struktur kristal dari ferit kubus (Cullity & Graham, 2009)
Magnetisasi saturasi dari suatu bahan magnetik dipengaruhi oleh distribusi
dari kation penyusunnya. Berikut merupakan rumus terkait momen magnet dari
bahan pada sites oktahedral (B-sites) dan sites tetrahedral (A-sites).
∑
=∑
− � � −∑
Dengan ∑
−
− � �
(2.6)
adalah momen magnetik dari kation B-sites dan
− � �
� �
adalah momen magnetik dari kation A-sites.
2.9. Karakterisasi Bahan Magnet
2.9.1. Fourier Transform Infra-Red (FTIR)
Spektrum infra merah jika dikenai pada suatu bahan, maka akan terjadi
serapan energi oleh atom dalam bahan. Serapan energi menyebabkan terjadinya
perubahan energi yang dipengaruhi oleh frekuensi dari berkas cahaya yang
dikenakan pada bahan. Frekuensi berbanding lurus dengan kecepatan berkas
cahaya dan berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Prinsip frekuensi ini
mendasari prinsip dari Fourier Transform Infra-Red (FTIR). Spektroskopi FTIR
mengacu pada interferensi radiasi diantara dua berkas untuk menghasilkan sebuah
interferogram. Sinyal yang diproduksi sebagai fungsi dari perubahan panjang
gelombang diantara dua berkas disebut latter. Kedua domain dari jarak dan
frekuensi ini diubah dengan metode matematika yaitu Fourier-transformation
(Stuart, 2004).
wavenumber, k (cm-1)
Gambar 2.3. Kurva serapan FTIR CoFe2O4 dan MnFe2O4 (Waldron, 1955)
Pada bahan magnet khususnya ferit, kurva serapan FTIR masing-masing
bahan berbeda. Kurva serapan ini menunjukkan ikatan oksida antara ion logam
dengan ion oksigen. Gambar 2.3 menunjukkan kurva serapan dari CoFe2O4 dan
MnFe2O4. Kurva serapan CoFe2O4 muncul pada angka gelombang sekitar 580600 cm-1 dan 360-380 cm-1, sedangkan kurva serapan MnFe2O4 muncul pada
angka gelombang 540-560 cm-1 dan 380-400 cm-1 (Waldron, 1955).
2.9.2. X-Ray Diffraction (XRD)
X-ray atau sinar-X merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang
gelombang sekitar 0,01-1,00 Å. Panjang gelombang pada ukuran ini sesuai
dengan rentang jarak antar atom dalam suatu kristal. Ketika sebuah berkas sinar-X
mengenai sampel, selain terjadi penyerapan atau absorbi oleh bahan dan fenomena
lain, juga terjadi hamburan sinar-X pada panjang gelombang yang sama dengan
berkas awal (He, 2009).
Analisa struktur kristal dari suatu bahan dapat dilakukan dengan prinsip
sinar-X tersebut dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD). Prinsip utama
XRD adalah difraksi sinar-X. Ketika sinar-X mengenai bidang kristal suatu bahan
dengan sudut datang θ dan terjadi pemantulan dengan sudut θ, maka akan terjadi
difraksi sinar-X pada bidang kristal tersebut sesuai dengan hukum Bragg
ditunjukkan pada Gambar 2.4a.
(a)
Gambar 2.4. (a) Sinar-X datang dan sinar-X terpantul dengan sudut θ simetri
dengan garis normal dari bidang kristal (Callister, 2007) dan (b)
Puncak difraksi pada sudut Bragg θ (He, 2009)
Persamaan hukum Bragg adalah sebagai berikut (Beiser, 1987):
2� sin � =
(2.7)
Dimana n adalah orde difraksi, d merupakan jarak dua bidang atom yang
sejajar dan berdekatan, dan λ adalah panjang gelombang sumber sinar-X.
Sinar-X yang masuk pada bidang kristal akan dihamburkan ke segala arah,
sebagian gelombang berinterferensi konstruktif dan sebagian yang lain
berinterferensi destruktif. Interferensi konstruktif terjadi antara sinar terhambur
yang sejajar dan beda jarak lintasannya tepat λ, 2λ, 3λ , nλ (Beiser, 1987).
Puncak-puncak intensitas yang ditunjukkan oleh difraktogram merupakan
interferensi yang konstruktif. Puncak difraksi pada intensitas tertinggi dari sampel
digambarkan pada Gambar 2.4b. Gambar 2.4b menunjukkan puncak difraksi
dengan lebar tertentu. Pelebaran dari puncak ini dapat terjadi karena kondisi
kristal yang tidak sempurna akibat regangan dan ukuran tertentu, vibrasi panas
atom atau karena kondisi alat. Lebar dari puncak intensitas tertinggi diukur
sebagai lebar setengah puncak tertinggi atau full width at half maximum (FWHM)
(He, 2009).
2.9.3. Scanning Elektron Microscopy (SEM)
Morfologi dari bahan nanopartikel dapat dilihat menggunakan alat Scanning
Elektron Microscopy (SEM). Prinsip kerja dari SEM adalah menggambarkan
permukaan sampel dengan berkas elektron yang dipantulkan menggunakan energi
tinggi. Filamen yang dihubungkan dengan tegangan sumber akan menyebabkan
emisi medan (penyebab elektron lepas). Emisi ini difokuskan menuju sampel
dengan lensa magnetik. Permukaan material yang terkena berkas elektron akan
memantulkan kembali berkas elektron sekunder ke segala arah. Terdapat
secondary electron detector dan backscattered electron detector sebagai detektor
untuk menangkap intensitas elektron akibat pantulan dari bahan. Selain itu
detektor juga menentukan lokasi berkas elektron yang berintensitas tertinggi.
Ketika dilakukan pengamatan terhadap bahan tertentu, lokasi permukaan benda
yang ditembak dengan berkas elektron diamati dan dilakukan scanning ke seluruh
permukaan bahan pengamatan (McMullan, 1995).
2.9.4. Vibrating Sample Magnetometer (VSM)
Vibrating Sample Magnetometer (VSM) mengacu pada hukum Faraday,
dimana ketika tegangan emf dikenakan pada suatu coil maka akan terjadi
perubahan fluks di sekitar coil tersebut (Foner, 1959). Jika coil diposisikan
konstan terhadap medan magnet, maka sinyal keluaran dari coil akan sebanding
dengan magnetisasi M, namun independen terhadap medan magnet. Pada VSM,
sampel digerakkan dengan pergerakan sinusoidal dengan frekuensi ν. Sinyal
keluaran listrik dari coil ini memiliki frekuensi yang sama yaitu ν. Intensitas
keluaran yang terukur sebanding dengan momen magnetik dari sampel, amplitudo
getaran, dan frekuensi ν.
Pengukuran sifat-sifat magnet dari suatu bahan dengan vibrating sample
magnetometer (VSM) dilakukan dengan menempatkan sampel di tengah di daerah
antara kutub dari magnet laboratorium, yang mampu menghasilkan medan terukur
H0. Batang tipis panjang vertikal menyambungkan sample holder dengan
transduser. Transduser ini sebagai penggetar sampel sehingga sampel bergerak
sinusoidal terhadap medan magnet H0. Coil menangkap sinyal hasil dari gerakan
sampel. Sinyal pada frekuensi vibrasi ν ini sebanding dengan besar momen dari
sampel. Sehingga dari pengukuran sifat magnetik dengan VSM didapatkan
besaran magnetisasi dan medan magnet yang dikenakan pada sampel (Buschow &
Boer, 2004).
Download