Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok dengan Pendekatan

advertisement
ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK
DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR
MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
TETY NOFALINA
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
ABSTRAK
TETY NOFALINA. Green Open Space Analysis Depok with Water
Conservation Model Approach through Geographic Information System.
Supervised by BABA BARUS and KHURSATUL MUNIBAH
Decrease in the quality and quantity of Green Open Space is closely
related to land-use change, from green coverage to build-up area. Kota Depok has
40.68% private RTH and 9.32% public RTH (Bappeda, 2007). The Private RTH
is exceeded the standard regulation as 10%, while the public RTH is smaller than
the standard regulation as 20%. However, this is in line the Act No. 26, 2007,
where RTH at least 30% of the total area. Current problems in the city of Depok is
flooding that occurred in some districts, namely Sub Cimanggis and Sukmajaya.
The location of RTH may relate to this phenomena. The purposes of this study
were to (a) analyze Depok RTH model approach to water conservation with some
parameters (slope class, precipitation, type of geology, soil types and land use),
(b) create water zone conservation areas to determine RTH Depok (c) to
recommende land use based Land Water Conservation and, (d) analyze
relationship between conservation water with RTH.
The model of water conservation approach used scoring system for each
component of parameter. ALOS imagery AVNIR was used for land use
identification which was the main parameter, and Geographic Information System
(GIS) is used to combine all the parameters.
The results show that Depok for RTH area is 7.765,61ha (38,48%) and
area for Non RTH 12.417,695 ha (61,52%). This is accordance to the Law No. 26,
2007, where the proportion of RTH at least 30% of the total area. Depok has
6.995,6 Ha (34.66%) the private RTH that exceeds the maximum standard of 10%
and the public RTH is only 769,9 Ha (3.82%) below the maximum standard of
20%.
Based on the model of water conservation approach, in every sub district
in Depok City has an area of high conservation level, and Sawangan has water
conservation zones covering a high level of 12.9% which indicates that most land
in Sawangan is RTH.
Sub districts of Sukmajaya and Cimanggis have a high level water
conservation zones area only in small number, are 267,6 Ha (1,3%) and 169,7 Ha
(0,8%) and the areas are dominated by the settlements. This may explain why
these two districts are experienced with local flooding.
To reduce the local flooding occurring in both districts, it is important to
build a larger RTH compared to other districts and to select an appropriate land
use that high capacity to absorb water. The suggestions are to expand forests in
the District Cimanggis and Sukmajaya or to make change to undergrowth crops in
forest or others.
There is a high correlation (66,67%) between RTH and water conservation
area in Depok. The higher of RTH area indicate the higher of the water
conservation area.
RINGKASAN
TETY NOFALINA. Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok dengan
Pendekatan Model Konservasi Air melalui Sistem Informasi Geografis. Dibawah
bimbingan BABA BARUS dan KHURSATUL MUNIBAH
Penurunan kualitas dan kuantitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) berkaitan
erat dengan kegiatan perubahan penggunaan lahan dari kawasan bervegetasi
menjadi kawasan terbangun. Kota Depok memiliki RTH privat sebesar 40,68%
dan RTH publik sebesar 9,32% (Bappeda, 2007). RTH privat telah melampaui
standar 10%, sedangkan RTH publik masih lebih kecil dari standar 20%. Namun
demikian, hal ini telah sesuai dengan UU RI No. 26 tahun 2007 dimana RTH
minimal 30% dari luas wilayah. Permasalahan yang ada pada Kota Depok adalah
banjir yang terjadi di beberapa Kecamatan di Kota Depok, yaitu Kecamatan
Cimanggis dan Sukmajaya. Hal ini mungkin disebabkan penempatan RTH yang
tidak merata penyebarannya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis RTH
Kota Depok dengan pendekatan model konservasi air dengan beberapa parameter
(kelas lereng, curah hujan, jenis geologi, jenis tanah dan penggunaan lahan),
membuat zona kawasan konservasi air untuk menentukan RTH Kota Depok,
Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasarkan Konservasi Air dan menganalisis
hubungan antara tingkat konservasi air dengan RTH.
Pendekatan Model Konservasi Air menggunakan sistem pengharkatan
(scoring) tiap komponen parameter dan pembobotan tiap parameter yang
digunakan. Citra ALOS AVNIR digunakan untuk identifikasi penggunaan lahan
yang merupakan parameter utama dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
digunakan untuk mengkombinasikan seluruh parameter.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Depok memiliki luas RTH
sebesar 7.765,6 Ha (38,48%) dan Non RTH sebesar 12.417,7 Ha (61,52%). Hal
ini telah sesuai UU RI No. 26 Tahun 2007, dimana proporsi RTH minimal 30%
dari luas wilayah. Kota Depok memiliki luas RTH privat 6.995,6 Ha (34,66%)
melebihi standar maksimal yaitu 10% dan RTH publik hanya 769,9 Ha (3,82%)
dibawah standar maksimal yaitu 20%.
Berdasarkan pendekatan model konservasi air, di setiap kecamatan di Kota
Depok memiliki wilayah tingkat konservasi tinggi, dan Kecamatan Sawangan
memiliki zona konservasi air tingkat tinggi seluas 12,9% yang menunjukkan
bahwa sebagian besar penggunaan lahan di Kecamatan Sawangan merupakan
RTH.
Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya memiliki zona konservasi air
tingkat tinggi hanya seluas 0,8% dan 1,3%. Hal ini kemungkinan yang
menyebabkan kedua kecamatan ini mengalami banjir lokal, dimana kedua
kecamatan ini didominasi oleh pemukiman.
Untuk mengatasi banjir lokal yang terjadi pada kedua kecamatan ini, maka
perlu dibangun RTH yang lebih besar (luasan) dibandingkan kecamatan lain dan
pemilihan penggunaan lahan yang tepat
(meresapkan air). Disarankan
memperluas hutan di Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya atau melakukan
perubahan lahan dari tegalan menjadi semak belukar atau hutan. Hal ini karena
semak belukar dan hutan memiliki daya serap air lebih tinggi dibandingkan
tegalan).
Hubungan tingkat konservasi air dengan RTH di Kota Depok berbanding
lurus sekitar 66,67%, dimana jika nilai tingkat konservasi air tinggi maka RTH
pun tinggi dalam hal luasan.
ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK DENGAN
PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR MELALUI SISTEM
INFORMASI GEOGRAFIS
TETY NOFALINA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul
: Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok Dengan Pendekatan
Model Konservasi Air Melalui Sistem Informasi Geografis
Nama
: Tety Nofalina
NRP
: A14053783
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc.
Dr. Khursatul Munibah, M.Sc.
NIP: 19610101 198703 1 004
NIP: 19620515 199003 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.
NIP. 19621113 198703 1 003
Tanggal Pengesahan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 April 1987 di Sukoharjo,
Solo, Jawa Tengah dari pasangan Bambang Sutejo dan Sudarti
sebagai anak pertama dari dua bersaudara.
Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri 07 Pagi
Jakarta Timur pada tahun 1993-1999, meneruskan pendidikan di
SLTP Negeri 102 Jakarta Timur pada tahun 1999-2002. Kemudian melanjutkan
pendidikan di SMU Negeri 39 Jakarta Timur pada tahun 2002-2005. Pada tahun
2005 penulis diterima sebagai mahasiswa TPB (Tingkat Persiapan Bersama)
Institut Pertanian Bogor melalui SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Pada tahun 2006 diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten
praktikum pada mata kuliah Sistem Informasi Geografi dan Kartografi, serta
Geomorfologi dan Analisis Lanskap pada tahun ajaran 2008-2009, dan mata
kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra pada tahun ajaran 2009-2010.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kepada Allah SWT dan shalawat serta salam tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW karena berkat rahmat dan hidayahNya maka penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok
Dengan Pendekatan Model Konservasi Air Melalui Sistem Informasi Geografis.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hormat serta rasa terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Baba
Barus, M.Sc. dan Ibu Dr Khursatul Munibah, M.Sc. selaku Pembimbing Skripsi
serta Bapak Dr. Boedi Tjahjono selaku dosen penguji atas segala ilmu, arahan,
nasehat, motivasi dan kesabaran kepada penulis selama ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada :
1. Ibu dan Bapak tercinta serta Arun adikku tersayang atas segala kasih
sayang, do’a, dukungan
yang tak henti-hentinya dicurahkan serta
kesabaran kepada penulis selama ini
2. Indra Banagi atas cinta, kasih sayang, motivasi, dukungan dan do’a
yang diberikan serta waktu yang banyak diluangkan kepada penulis
3. De Bangkit atas perhatian, motivasi dan waktu yang diberikan kepada
penulis
4. Staf Bappeda Kotamadya Depok Atas bantuan dalam mendapatkan
data yang diperlukan penulis
5. Rasa terima kasih yang mendalam kepada Mbak Reni atas bimbingan,
ilmu, nasehat, motivasi, kesabaran dan keikhlasan hati kepada penulis
6. Bapak Diar, Mbak Elly dan Kak Aris atas bantuan materi kepada
penulis
7. Crew Lab PPJ (Pak Manijo, Mbak Annisa, Mbak Agi, Nurul) atas
kebersaman dan masukan kepada penulis
8. Ajeng, Dyna, Eka Nurwita, Monica, Puput dan Rahardian (Genk
Gonk) atas kebersamaan dalam suka dan duka serta canda tawa dan
hari-hari yang kita lalui bersama selama ini
9. Stevia crew (K’Aly Ndut, K’Prama, K’Rendy, K’David, K’Rusdi,
K’Prima, K’Abdul, K’Hamid), Moshi-moshi crew (K’Zaqy, K’Tulus,
K’Hendra, Mba’Eva, Mba’Eni, Mba’Misri) dan Gift Shop atas
ketersediaan meluangkan waktu, canda tawa dan kesabaran kepada
penulis
10. Specially for Ali Msum, Carlos, Ganda dan Awank.
11. Teman-teman seperjuangan di Bagian Penginderaan Jauh dan
Informasi Spasial : Anter, Ai, Rizma, Linda, Rani, Rinjani Yusni,
Nadia, Aufa, Benk2, Tyo dan Yudi atas kebersamaan dan kesenangan
selama ini
12. Semua teman-teman seperjuangan “Soiler 42” atas kebersamaan yang
telah dilalui
13. Teman-teman Pondok Annisa atas kebersamaan dalam suka ataupun
duka
14. Semua pihak yang membantu kelancaran dalam penelitian dan
penulisan skripsi ini
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan
maupun penulis secara pribadi. Saran dan kritik sangat diharapkan demi
kesempurnaan skripsi ini serta pengembangan ilmu pendidikan.
Bogor, Januari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ix
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Tujuan ......................................................................................................3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Penggunaan Lahan ............................................................. 4
2.2. Kawasan Perkotaan ............................................................................. 5
2.3. Ruang Terbuka Hijau .......................................................................... 5
2.4. Konservasi Air .................................................................................... 8
2.4.1.RTH sebagai Peresapan Air ........................................................ 9
2.5. Sistem Informasi Geografis .................................................................. 9
2.5.1.Analisis Spasial ............................................................................. 10
2.6. Penginderaan Jauh ................................................................................. 11
2.6.1.Satelit ALOS ................................................................................. 11
2.6.2.Sensor PRISM ............................................................................. 13
2.6.3.Sensor PALSAR.......................................................................... 14
2.6.4.Sensor AVNIR ............................................................................ 15
III.
BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Lokasi ..................................................................................17
3.2. Bahan dan Alat .................................................................................. .... 17
3.3. Metode ............................................................................................... .... 18
3.3.1.Tahap Pengumpulan Data ............................................................. 18
3.3.2.Tahap Pengolahan Data .................................................................20
3.3.3.Pembuatan Peta Curah Hujan ........................................................ 22
3.3.4.Pembuatan Peta Lereng ................................................................. 22
3.3.5.Analisis Data Atribut ..................................................................... 22
3.3.6.Analisis Kelas Zona Konservasi Air ............................................. 26
IV.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak dan Luas Area ...............................................................................28
4.2. Kondisi Fisik ...........................................................................................28
4.3. Demografi Kota Depok ...........................................................................30
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Citra ALOS AVNIR ...............................................................................32
5.2. Analisis Parameter Pendekatan Model Konservasi Air ..........................35
5.3. Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok ...........................................39
5.4. RTH Kota Depok ditinjau dari RTRW ...................................................41
5.5. Analisis Pendekatan Model Konservasi Air ...........................................44
5.6. Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasarkan Konservasi Air .............45
5.7. Hubungan Tingkat Konservasi Air dengan RTH ...................................47
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan .............................................................................................48
6.2. Saran .......................................................................................................48
VII. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................50
LAMPIRAN ................................................................................................52
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Karakteristik Umum Satelit ALOS ................................................................ 12
2. Karakteristik Sensor PRISM .......................................................................... 14
3. Karakteristik Sensor PALSAR ....................................................................... 15
4. Karakteristik Sensor AVNIR.......................................................................... 16
5. Nama Bahan Penelitian .................................................................................. 18
6. Nama Alat Penelitian ..................................................................................... 18
7. Skor untuk Kelas Curah Hujan ....................................................................... 24
8. Skor untuk Kelas Penggunaan Lahan ............................................................. 24
9. Skor untuk Kelas Kemiringan Lereng ............................................................ 25
10. Skor untuk Kelas Jenis Tanah ...................................................................... 25
11. Skor untuk Kelas Geologi ............................................................................ 26
12. Bobot Parameter Konservasi Air .................................................................. 26
13. Nilai tingkat Konservasi Air ......................................................................... 27
14. Data kondisi iklim di Kota Depok ................................................................ 29
15. Distribusi Situ di Kota Depok ...................................................................... 30
16. Luas Penggunaan Lahan Kota Depok .............................................................39
17. Luas dan Persentase RTH Kota Depok ...........................................................40
18. Luasan RTRW Kota Depok.............................................................................41
19. Wilayah Konservasi Air Tiap Kecamatan …….............................................. 44
20. Penggunaan Lahan Konservasi Air Tinggi Tiap Kecamatan ..........................45
21. RTH dan Tingkat Konservasi Air ...................................................................47
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Satelit ALOS ................................................................................................ 12
2. Sensor PRISM ............................................................................................... 13
3. Prinsip Geometri PRISM ............................................................................... 13
4. Sensor PALSAR ............................................................................................ 14
5. Prinsip Geometri Sensor PALSAR ................................................................. 15
6. Sensor AVNIR............................................................................................... 16
7. Prinsip Geometri Sensor AVNIR ................................................................... 16
8. Wilayah Administrasi Kota Depok................................................................. 17
9. Bagan alir proses analisis Konservasi Air ....................................................... 19
10. Diagram Alir Analisis Citra ALOS ................................................................ 20
11. Tampilan menu Model Builder ..................................................................... 22
12. Zona Tingkat Konservasi Air Aktual Kota Depok ....................................... 27
13. Citra ALOS AVNIR .................................................................................... 32
14. Citra ALOS AVNIR wilayah Kota Depok.................................................... 33
15. Kelas Lereng Kota ....................................................................................... 34
16. Kontur Kota Depok ....................................................................................... 34
17. Jenis Geologi Kota Depok............................................................................ 35
18. Curah Hujan Kota Depok ............................................................................. 35
19. Jenis Tanah Kota Depok .............................................................................. 36
20. Penggunaan Lahan Kota Depok ................................................................... 38
21. RTRW Kota Depok Periode 2000 - 2010 ..................................................... 42
22. RTH Publik dan Privat pada RTRW............................................................. 43
23. RTH Hasil Interpretasi Citra ALOS AVNIR ................................................ 43
24. Zona Kawasan Tingkat Konservasi Air ........................................................ 44
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Jumlah Penduduk Kota Depok ....................................................................... 52
2. Luas Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan Kota Depok................................... 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perubahan penggunaan lahan kota dari kawasan bervegetasi menjadi
kawasan terbangun mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi kota, seperti
menurunnya luas dan jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH kota adalah
bagian dari lahan terbuka dalam suatu kota yang didominasi oleh tanaman baik
yang tumbuh secara alami maupun dibudidayakan yang memiliki manfaat dan
fungsi terhadap kelestarian alam, kesehatan, kenyamanan, kesejahteraan manusia
dan keindahan lingkungan. Fungsi RTH dapat berbentuk hutan kota, taman kota,
taman pemakaman umum, lapangan olahraga, jalur hijau, jalan raya, bantaran rel
kereta api, bantaran sungai dan kawasan pertanian. RTH disebut sebagai kawasan
konservasi air karena merupakan kawasan penyimpan air khususnya disaat hujan.
Tingginya tingkat perkembangan kota Jakarta yang berdampak tidak
langsung terhadap kota penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
(BODETABEK) mengalami perkembangan yang cepat pula. Daerah yang
mengalami perkembangan tinggi seperti Jakarta memerlukan merupakan aktivitas
industri yang tinggi pula. Namun, kota Jakarta sudah hampir tidak memiliki ruang
untuk aktifitas industri, maka muncul daerah-daerah industri dengan akses ddi
sekitar kota Jakarta. Perkembangan wilayah penyangga ini kemudian diikuti oleh
proses alih guna lahan yang cenderung berdampak positif terhadap perkembangan
ekonomi, maupun sebaliknya berdampak negatif dari segi fisik dan sosial. Oleh
karena itu, dalam melaksanakan pembangunan perlu adanya keseimbangan dalam
pemanfaatan sumberdaya yang didayagunakan secara terencana.
Berdasarkan PP No. 47 tahun 1997, kota Depok merupakan salah satu kota
yang termasuk di dalam Kawasan Bopunjur, dengan pemanfaatan ruang yang
sangat terbatas sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai kawasan konservasi air dan
tanah, yang memiliki nilai strategis sebagai kawasan yang dapat memberikan
perlindungan terhadap kawasan di bawahnya yaitu, provinsi Jawa Barat dan DKI
Jakarta. Sesuai dengan kondisi geografisnya, kota Depok merupakan wilayah
penyangga DKI Jakarta yang secara langsung akan berfungsi sebagai kawasan
2
limpahan dan tekanan dari pertumbuhan kota Jakarta dan juga sektor lain
diantaranya ekonomi, perdagangan, komersial dan pendidikan.
Menurut Laporan Akhir Penyusunan Strategi Ruang Terbuka Hijau Kota
Depok Tahun 2007 yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Depok menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dan
laju pertumbuhan penduduk Depok mencapai 6,75 persen per tahun. Hal ini telah
mendorong dilakukannya pembangunan permukiman di atas lahan-lahan yang
sebenarnya merupakan daerah resapan air. Kejadian ini bertentangan dengan
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang seJabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Jakarta, Bekasi, dan Cianjur) yang
menyatakan bahwa Depok selalu diarahkan sebagai kota penyangga Jakarta,
termasuk dalam hal penyediaan air tanah dan pengendalian banjir.
Di wilayah perkotaan banjir dapat disumbangkan dari berkurangnya RTH
kota. Masalah umum ini terjadi di sebagian wilayah Indonesia terutama di wilayah
padat penduduk. Faktor alam berupa curah hujan menjadi kontribusi besar
penyebab banjir selain tindakan manusia yang menyebabkan perubahan tata guna
lahan secara cepat dan tak terkendali yang mengakibatkan banjir dan juga longsor.
Pertambahan penduduk yang pesat akibat urbanisasi maupun kelahiran dapat
berdampak secara langsung terhadap perluasan permukiman. Hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya kawasan bervegetasi dan secara langsung dapat
meningkatnya run off sehingga debit air tersebut langsung terbuang ke sungai.
Pada saat hujan, hampir 30% wilayah kota Depok tergenang oleh air
dengan kedalaman ± 0,45m, sehingga fenomena alam berupa banjir ini menjadi
konflik di wilayah kota Depok yang difungsikan sebagai kawasan resapan air. Hal
ini diakibatkan oleh adanya tekanan penduduk yang sangat tinggi dan akibat
perkembangan seluruh sektor pembangunan kota Jakarta.
Menurut UU RI No. 26 Tahun 2007, luas RTH dengan proporsi minimal
sebesar 30% dari luas wilayah yang diperinci menjadi 20 % RTH publik dan 10 %
RTH privat. Adapun luas RTH di wilayah Kota Depok menurut Bappeda(2007)
adalah RTH privat sebesar 40,68% atau melebihi standar maksimal (10%) dan
RTH publik hanya sebesar 9,32%, yaitu di bawah standar maksimal (20%).
3
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang perkembangan RTH di wilayah
Kota Depok ini, maka diperlukan kajian tentang penutupan atau penggunaan lahan
beserta perubahannya yang dapat dianalisis melalui data penginderaan jauh dan
tehnologi SIG (Sistem Informasi Geografis). Metode ini dapat didekati dengan
model konservasi air untuk mengetahui zona-zona kawasan konservasi air seperti
yang diharapkan UU RI No. 26 Tahun 2007.
1.2.
Tujuan Penelitian
a) Pemetaan zona konservasi air aktual melalui Model Konservasi Air
b) Menganalisis RTH berdasarkan zona konservasi aktual sesuai UU No. 26
Tahun 2007
c) Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasarkan Konservasi Air
d) Menganalisis hubungan antara tingkat konservasi air dengan RTH
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Perubahan Penggunaan Lahan
Pengertian lahan berbeda dengan tanah, namun dalam kenyataan sering
terjadi kekeliruan dalam memberikan batasan pada kedua istilah tersebut. Tanah
merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri dari komponen-komponen
padat, cair dan gas yag memiliki sifat dan perilaku yang dinamik. Benda alami ini
terbentuk dari hasil interaksi antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu bahan
induk yang dipengaruhi relief tempatnya terbentuk dan waktu. Sedangkan lahan
merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, vegetasi dan
benda yang memiliki pengaruh terhadap pengguanan lahan. Termasuk di
dalamnya kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad,1989).
Penggunaan lahan adalah penggunaan lahan utama atau kedua (apabila
merupakan penggunaan lahan berganda) dari sebidang lahan pertanian, lahan
hutan, padang rumput dan sebagainya. Jadi penggunaan lahan lebih mengarah
dalam pengertian tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Penggunaan lahan
(landuse) merupakan suatu bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Menurut Arsyad
(1989) penggunaan lahan dibagi atas dua golongan besar yaitu, penggunaan lahan
pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian
dibagi kembali berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan,
dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti pengunaan lahan
sawah, tegalan, hutan lindung, kebun karet dan sebagainya. Sedangkan
penggunaan lahan non pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan lahan
kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya.
Penggunaan lahan merupakan salah satu produk kegiatan manusia di
permukaan bumi yang memiliki berbagai macam variasi bentuk. Perubahan
penggunaan lahan merupakan kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial
ekonomi, politik dan budaya. Manusia menjadi faktor utama terbentuknya
berbagia macam pola penggunaan lahan serta terhadap perubahan-perubahan
sebagai akibat aktivitasnya di atas permukaan bumi.
5
Analisis mengenai perubahan penggunaan lahan merupakan suatu alat
untuk memperkirakan perubahan ekosistem dan implikasi lingkungannya pada
skala waktu dan keruangan yang bervariasi. Yang termasuk perubahan pada
penutupan lahan adalah perubahan keanekaragaman biotik, produktifitas yang
utama dan aktual, kualitas tanah, alieran permukaan serta kecepatan sedimentasi
(Meyer and Turner, 1994; Kikuchi, 1999 dalam Zain, 2002).
2.2.
Kawasan Perkotaan
Kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia, yang
terjadi akibat manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya Pada umumnya,
pengertian kota dicirikan oleh tingginya kepadatan ruang terbangun, dengan
sruktur bangunan yang semakin rapat. Dalam sebuah kota terjadi kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsinya sebagai tempat permukiman,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi (Eckbo, 1964).
Branch (1995) mengartikan kota sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu
penduduk atau lebih. Perkotaan diartikan sebagi area terbangun dengan struktur
dan jalan-jalan, sebagai suatu permukiman yang terpusat pada suatu area dengan
kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang
lengkap dibandingkan dengan yang dibutuhkan di daerah pedesaan.
Perkembangan dan pembangunan kota juga berdampak pada berkurangnya
keberadaan suatu ruang terbuka hijau di perkotaan. Hal ini akibat adanya
perubahan penutupan dan penggunaan lahan di sebuah kota (Putri, 2006).
2.3.
Ruang Terbuka Hijau
Manusia yang tinggal di lingkungan perkotaan menbutuhkan lingkungan
yang sehat dan bebas polusi untuk hidup dengan nyaman. Peran RTH untuk
memenuhi kebutuhan ini adalah sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar,
keindahan visual, sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah
erosi, keindahan dan kehidupan satwa, menciptakan iklim dan sebagai unsur
pendidikan (Simond, 1983). Dalam RTH pemanfaatannya lebih bersifat pengisian
hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman,
seperti lahan pertanian, pertanaman, perkebunan dan sebagainya.
6
Berikut ini beberapa definisi dari RTH (Ruang Terbuka Hijau) :

RTH adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang
terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman dan
tumbuhan secara alamiah ataupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan
pertanian, pertanaman, perkebuanan dan laiannya (INMENDAGRI No. 14
tahun 1988).

RTH adalah ruang- ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam
bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana
dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa
bangunan (Dinas Pertanaman DKI, 1988).

RTH adalah ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, mulai dari yang
bersifat alamiah seperti, rumput, jalur hijau, taman bermain dan taman
lingkungan di daerah permukiman (Nurisjah, 1997).

RTH adalah suatu ruang terbuka yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan
persentase ideal 20-30% dari luas bidang tanah termasuk yang ditempati
bangunan rumah, misalnya halaman rumah (Handiktc (1997) dalam
Wijayanti, 2003).
Ruang terbuka hijau merupakan salah satu bentuk konsep untuk
meningkatkan kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan. Pengembangan
RTH di perkotaan diupayakan membuka peluang terciptanya kawasan hijau
bersifat alami dengan vegetasi jenis tanaman yang merupakan bagian dari
penataan ruang kota sebagai kawasan hijau (Purnomo, 2001).
a)
Ruang Terbuka Hijau Perkotaan
RTH wilayah perkotaan adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih
luas, dimana didominasi oleh tanaman dan tumbuh-tumbuhan secara alami
(Slamet, 2003 dalam Putri, 2006). Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk
membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan
ruang terbuka hijau di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia
yang tinggal di dalamnya. Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka harus dapat
memenuhi keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya
bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan
7
yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simon, 1983 dalam Roslita, 1997).
Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1988 tujuan dibentuk atau
disediakannya ruang terbuak hijau di wilayah perkotaan adalah (1) meningkatkan
mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai paengaman sarana lingkungan
perkotaam, (2) menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan
yang berguna bagi kepentingan masyarakat.
Menurut Nurisjah (1997), RTH di wilayah perkotaan mempunyai manfaat
yang tingi dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan,
keberadaan massa tanaman ini dapat memperbaiki dan meningkatkan keindahan
visual dan estetika alami, kendahan dan habitat satwa, artifak sejarah,
perlindungan plasma nutfah dan mengandung nilai sosial ekonomi.
b)
Komponen Ruang Terbuka Hijau
Beberapa komponen RTH berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi
penting, vegetasi serta intensitas manajemennya dikategorikan dalam :

Taman
Memiliki fungsi utama menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman
yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi.

Jalur Hijau
Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di
sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau
lainnya.

Kebun dan pekarangan
Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan diharapkan
mendukung kenyaman lingkungan perkotaan.

Tempat-tempat rekreasi

Hutan
Merupakan suatu penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim,
hidrologi dan penangkalan pencemaran.
Fungsi-fungsi
ini
bertujuan
mengimbangi kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan. Berbagai
potensi dan peluang hutan kota akan mengatasi, mencegah dan mengendalikan
krisis lingkungan.
8
c)
Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Peran pertumbuhan dalam RTH tidak hanya terbatas pada fungsi
produksinya dipandang dari nilai ekonomis dan fungsi estetis sertafungsi
kreatifnya dipandang dari segi arsitektural tapi juga fungsi ekologisnya.
Selanjutnya dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1988 manfaat RTH
antara lain :

Sebagai areal perlindungan berlangsungnya funsi ekosistem dan penyangga
kehidupan.

Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan
kehidupan lingkungan.

Sebagai sarana rekreasi.

Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam
pencemaran baik di darat, peraiaran maupun udara.

Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat
untuk membentuk kesadaran lingkungan.

Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah.

Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro.

Sebagai pengatur tata air.
2.4.
Konservasi Air
Konservasi adalah upaya manusia untuk mempertahankan, meningkatkan,
mengembalikan atau merehabilitasi daya guna lahan sesuai peruntukannya.
Konservasi dalam manajemen sumber daya air, adalah mengadakan usaha
perlindungan air dan sumber air dengan titik berat pada pengaturan, pengamanan
dan pengendalian terhadap kerusakan air dan daerah resapan, dan meningkatkan
pengelolaan sungai, danau/situ, dan sumber air lainnya dalam rangka terjaminnya
ketersediaan air secara kesinambungan (Arsyad, 1989).
Konservasi air pada dasarnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah
seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang
merusak dan terdapat cukup air pada saat musim kemarau. Terdapat dua cara
konservasi air, yaitu memelihara jumlah dan kualitas air melalui cara pengelolaan
dan penggunaan tanah yang baik serta memaksimalkan manfaat air melalui
9
penerapan cara-cara yang efisien.
Menurut Seta (1987), pada dasarnya konservasi tanah dan air dilakukan
agar energi perusak (butir hujan dan aliran permukaan) sekcil mungkin sehingga
tidak merusak dan agregat anah lebih tahan terhadap pukulan butir hujan dan
aliran permukaan.
2.4.1. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Peresapan Air
Air merupakan suatu elemen dalam lanskap. Air berguna bagi manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk mandi, makan, minum,
mencuci, irigasi, industri dan kebutuhan lainnya.
Banyaknya volume air yang mengalir di permukaan bumi sehingga tidak
terserap oleh sakuran-saluran baik alami maupun buatan yang ada akan
mengakibatkan banjir. Fenomena banjir banyak menimpa daerah perkotaan,
dimana lebih dari 30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap
bangunan, jalan, jembatan dan lainnya).
Ruang terbuka hijau kota sedikit banyak dapat mengatasi masalah
limpahan air hujan. Ruang terbuka hijau memiliki derajat kerembesan tanah yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah
yang tertutup oleh tanaman memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini
karena tanah yang tertutup tanaman memiliki rongga-rongga tanah atau jalur-jalur
yang lebar sehingga air mudah masuk sedangkan udara mudah keluar. RTH
sebagai peresapan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat hujan, sifat fisik
kawasan dan pengelolaannya. Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke
arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang tidak tembus air, sehingga
mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Hal ini terjadi disebabkan
tingginya tingkat urbanisasi yang secara tidak langsung meningkat pula luasan
permukaan semen, aspal, paving sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke
dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan.
2.5.
Sistem Informasi Geografis
BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai suatu sistem yang saling
terkait antara satu dengan yang lain. SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari
perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang
10
didesain
untuk
memperoleh,
menyimpan,
memperbaiki,
memanipulasi,
menganalisis, serta menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi
geografi. Prahasta (2002) mendefinisikan SIG sebagai alat bantu yang sangat
esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan
kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Dengan
demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan
berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi a) masukan, b)
manajemen, c) analisis dan manipulasi data serta d) keluaran (Aronoff, 1989).
Sistem Informasi Geografi merupakan seperangkat sistem berbasis
komputer untuk memetakan dan menganalisis sesuatu yang terlihat jelas dan
terjadi di permukaan bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan pengoperasikan
database seperti pertanyaan dan analisis statistika dengan cara menampilkan
secara khas dan menganalisis secara geografi dari suatu peta. Kemampuan ini
membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya dan menjadikannya lebih
bernilai dalam penggunaannya oleh umum ataupun bisnis pribadi yang untuk
menjelaskan peristiwa yang dianggap penting, memprediksi hasil serta perencana
strategi.
Data yang diperlukan dalam sistem informasi geografis merupakan data
yang mengacu pada lokasi geografis terdiri atas data grafis dan data atribut. Data
grafis tersusun dalam bentuk titik, garis dan poligon. Data atribut berupa data
kualitatif atau kuantitatif yang merupakan hubungan satu-satu dengan data
grafisnya.
2.5.1. Analisis Spasial
Sistem Informasi Geografi adalah sistem yang dirancang untuk bekerja
dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Analisis spasial
dikembangkan untuk mengisi kebutuhan akan permodelan dan penganalisaan data
spasial. Analisis spasial sebagai suatu kemampuan umum untuk memanipulasi
data spasial ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan mengekstraksi pengertian
tambahan sebagai hasilnya.
Analisis spasial lebih memusatkan perhatian pada (1) investasi pola-pola
dan atribut / karakteristik / tanda-tanda lainnya dalam suatu wilayah studi, dan (2)
permodelan hubungan-hubungan untuk keperluan pemahaman dan prediksi.
11
Menurut Haining (1995) analisis spasial adalah suatu kumpulan dari
teknik-teknik analisis kejadian-kejadian geografis dimana hasil-hasil analisis
tergantung pada susunan spasial kejadian-kejadian tersebut.kejadian geografis
yang disebutkan berupa kumpulan objek titik, garis atau area yang dialokasikan
dalam ruang geografi, ditambahkan pada suatu himpunan dari satu atau lebih
nilai-nilai atribut.
2.6.
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan untuk memperoleh informasi suatu
objek, daerah atau fenomena untuk melalui analisis data yang diperoleh dengan
suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji.
Dengan menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan data dari jarak
jauhmyang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah
atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979).
Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan data numerik. Data tersebut
dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau
fenomena yang diteliti. Analisis data penginderaan jauh memerlukan rujukan
seperti peta tematik, data statistik dan data lapang. Informasi yang diperoleh dapat
dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan (F. Sri Hardiyanti, 2001). Data hasil
penginderaan jauh merupakan salah satu bentuk data yang digunakan dalam
Sistem Informasi Geografis.
Hasil penginderaan jauh umumnya berupa citra yang merupakan gambaran
rekaman suatu objek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dihasilkan
dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik. Menurut Lillesand
dan Kiefer (1979) di dalam penginderaan jauh istilah ”foto” diperuntukan secara
esklusif bagi citra yang dideteksi dan direkam pada film.
2.6.1. Satelit Alos
Satelit yang baru diluncurkan pada tahun 2006 milik JAXA-Jepang
merupakan satelit sensor radar dengan empat polarisasi (full polarization).
Satelit ini didesain untuk dapat beroperasi selama 3 sampai 5 tahun pada
ketinggian 691,65 km (di atas Khatulistiwa) dengan kemiringan 98,16° (JAXA,
Japan Aerospace Exploration Agency, 1997). Periode kunjungan ulang (revisiting
12
period) dari satelit ALOS adalah 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan
pemantauan bencana alam atau kondisi darurat satelit ALOS ini mampu
melakukan observasi dalam waktu dua hari.
Tabel 1. Karakteristik Umum Satelit Alos
Karakteristik
Keterangan
Alat peluncuran
Roket H-IIA
Tempat peluncuran
Pusat Ruang Angkasa Tanagashima
Berat satelit
4.000 Kg
Power
7.000 W
Waktu operasional
3 sampai 5 Tahun
Orbit
Snu-synchronous Sub-Recurr Orbit
Recurrent Period : 46 hari, Sub cycle 2 hari
Tinggi lintasan
: 692 km di atas Equator
Inclinasi
: 98,20
Sumber : NASDA, 1996
Satelit ini dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju untuk memberikan
kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama di bidang pemetaan,
pengamatan tutupan lahan secara lebih persis dan akurat, sehingga untuk
keperluan tersebut pada setelit ini dipasang dual frequency GPS receiver dan star
tracker dengan presisi tinggi.
Satelit ALOS memiliki tiga sensor, yaitu: (a) Panchromatic Remote
Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang mempunyai resolusi 2,5
meter; (b) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2)
yang mempunyai resolusi 10 meter; dan (c) Phased Array type L-band Synthetic
Aperture Radar (PALSAR) yang mempunyai dua resolusi, yaitu resolusi 10 meter
dan 100 meter (Gambar 1).
Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC, 1997)
13
2.6.2. Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo
Mapping)
Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo
Mapping) (Gambar 2) memiliki tiga sistem optis yang dapat merekam data pada
saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah tegak lurus (nadir),
depan (forward) dan belakang (backward) (Gambar 3). Dengan kemampuan
seperti ini dimungkinkan untuk membangun data 3-D (three dimensional terrain
data) dengan tingkat akurasi yang tinggi. Teleskop observasi pada arah nadir di
sensor PRISM ini memiliki lebar sapuan 70 km, sedangkan teleskop observasi
arah depan dan belakang (triplet mode) masing-masing mempunyai lebar sapuan
35 km. PRISM tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 82 derajat Lintang
Selatan dan Lintang Utara. Adapun karakteristik umum sensor PRISM disajikan
pada Tabel 2.
Gambar 2. Sensor PRISM (JAXA EORC, 1997)
Gambar 3. Prinsip Geometri PRISM (JAXA EORC, 1997)
14
Tabel 2. Karakteristik PRISM
Jumlah Band
Panjang Gelombang
Jumlah Optik
Resolusi Spatial
Lebar Petak
Jumlah Detektor
Pointing Angle
Bit Length
1 (Pankromatik)
0,52 – 0,77 mikrometer
3 (nadir, depan, belakang)
2,5 m (at nadir)
70 km (hanya nadir) / 35 km (Triplet mode)
28000 / band (petak lebar 70 km)
14000 / band (petak lebar 35 km)
-1,5 ke 1,5 derajat
(Triplet Mode, Cross-track direction)
8 bit
Sumber : JAXA EORC, 1997
2.6.3. Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar)
Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar)
merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit
pendahulunya, JERS-1 (Gambar 4). Sensor ini merupakan sensor gelombang
mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh
pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor
ini memungkinkan untuk dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan
cakupan area yang cukup luas, yaitu 250 – 350 km (Gambar 5). Pembangunan
PALSAR adalah proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources
Observation System Organization (JAROS).
Gambar 4. Sensor PALSAR (JAXA EORC, 1997)
15
Gambar 5. Prinsip Geometri PALSAR (JAXA EORC, 1997)
Karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 2, namun demikian
sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 87,8° Lintang Uatra
dan 75,9° Lintang Selatan ketika off-nadir adalah sudut 41,5°.
Tabel 3. Karakteristik PALSAR
Mode
Pusat
Frekuensi
Chrip
Bandwidth
Fine
ScanSAR
Polarimetric
(Eksperimental mode)*
1270 MHz (L-band)
28 MHz
14 MHz
14 MHz,
28 MHz
14 MHz
HH atau vv
HH + hv + VH + vv
18 - 43°
100 m
(multi look)
8 - 30°
8 – 60°
HH + hv atau
vv + VH
8 - 60°
7 – 44 m
14 – 88 m
40 – 70 km
40 – 70 km
250 – 350 km
20 – 65 km
Bit Length
5 bit
5 bit
3 atau 5 bit
Data rate
240Mbps
240Mbps
5 bit
120 Mbps
240 Mbps
Polarisasi
Incident Angle
Range
Resolution
Observation
Swath
HH atau vv
Radiometric
accuracy
Sumber : JAXA EORC, 1997
24 – 89 m
240 Mbps
Scene : 1 dB / orbit : 1.5 dB
2.6.4. Sensor AVNIR (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer)
Sensor AVNIR (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer)
(Gambar6.) dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit
dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit,
tetapi juga mode operasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga sebesar
16
+ 44o (Gambar 7). Kemampuan itu diharapkan dapat membantu dalam
pemantauan kondisi suatu area yang diinginkan. Sensor ini dapat dimanfaatkan
dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi terutama dengan
menggunakan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared).
Gambar 6. Sensor AVNIR (JAXA EORC, 1997)
Gambar 7. Prinsip Geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 1997)
Karakteristik umum sensor AVNIR disajikan pada Tabel 4, namun
demikian sensor AVNIR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 88,4°
Lintang Utara dan 88,5° Lintang Selatan.
Tabel 4. Karakteristik AVNIR
Jumlah Band
Panjang Gelombang
Resolusi Spasial
Lebar petak (Swath Width)
Jumlah Detector
Pointing Angle
Bit Length
Sumber : JAXA EORC, 1997
4
Band 1 : 0,42 – 0,50 mikrometer
Band 2 : 0,52 – 0,60 mikrometer
Band 3 : 0,61 – 0,69 mikrometer
Band 4 : 0,76 – 0,89 mikrometer
10 m (at Nadir)
70 km (at Nadir)
7000/Band
-44 + 44°
8 bit
17
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administrasi Kota Depok, Provinsi
Jawa Barat (Gambar 8). Meliputi 6 kecamatan yaitu, Sawangan, Pancoran Mas,
Cimanggis, Sukmajaya, Beji dan Limo dengan luas wilayah 20.029 hektar.
Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan bulan
November 2009 yang meliputi beberapa tahap, yaitu studi pustaka, pengumpulan
data, dan analisis data yang dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi
Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Gambar 8. Administrasi Kota Depok
3.2.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini terinci pada Tabel 5. dan alat
yang digunakan berupa seperangkat komputer yang dilengkapi software antara
lain Erdas Imagine 8.6 dan Arc View 3.3. yang terinci pada Tabel 6.
18
Tabel 5. Nama Bahan (Data dan Peta)
No.
1
2
3
4
5
6
7
Nama Bahan
Citra satelit ALOS
AVNIR wilayah Kota
Depok Tahun 2006
Peta Topografi Kota
Depok
Peta administrasi Kota
Depok dan Jabodetabek
Peta geologi Jabodetabek
(hard copy)
Peta jenis tanah
Jabodetabek (hard copy)
Data curah hujan
Kota Depok
Peta RTRW Kota Depok
peride tahun 2000 - 2010
Skala
Fungsi
Interpretasi penggunaan lahan sebagai
parameter model konservasi air
1 : 25000
Peta referensi untuk koreksi geometrik dan
untuk menghasilkan kelas lereng dengan
proses DEM
1 : 25000
Menentukan batas wilayah Kota Depok
1 : 1000000
1 : 1000000
Menghasilkan Peta geologi Kota Depok
sebagai parameter model konservasi air
Menghasilkan Peta jenis tanah Kota Depok
sebagai parameter model konservasi air
Menghasilkan Peta curah hujan sebagai
parameter model konservasi air
Referensi penetapan RTH Publik dan RTH
Privat Kota Depok
Tabel 6. Nama Alat
No
1
2
3
3.3.
Software
Erdas Imagine 8.6
Arc View 3.3
Microsoft Excel
Fungsi dalam penelitian
Melakukan proses koreksi geometrik
Melakukan proses digitasi, interpolasi titik dan DEM
Melakukan pengolahan data atribut peta
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (1) tahap pengumpulan data,
(2) tahap pengolahan data spasial, dan (3) analisis data atribut untuk kawasan
tingkat konservasi air aktual. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 9.
3.3.1. Tahap Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data meliputi pengumpulan baik data primer ataupun
sekunder yang jumlah dan macamnya sesuai dengan parameter kriteria yang
digunakan. Data tersebut dapat diperoleh dengan cara :
a) Studi Pustaka
Kegiatan ini dilakukan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk
penelitian. Data tersebut diperoleh dari instansi-instansi yang terkait antara lain :
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Depok, Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Depok, dan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
Nasional (Bakosurtanal).
19
Gambar 9. Bagan Alir Penelitian
b) Cek Lapang
Pengecekan lapang
bertujuan untuk mengetahui kebenaran hasil
interpretasi terhadap penutupan atau penggunaan lahan di lapangan dan untuk
melihat secara langsung tentang kondisi lapangan mengenai lokasi-lokasi Ruang
Terbuka Hijau (RTH). Tahap ini dilakukan dengan mengambil titik-titik sampel di
peta, selanjutnya dilakukan pengecekan lapang dengan menggunakan Global
Positioning System (GPS)
20
3.3.2. Tahap Pengolahan Data
Kegiatan pengolahan citra ALOS AVNIR dilakukan dengan interpretasi
secara digital yang meliputi :
a) Koreksi Geometri
Kegiatan ini bertujuan untuk mengoreksi posisi objek pada citra sehingga
semua objek yang ada pada citra akan mempunyai posisi yang sama pada peta
atau citra lain yang telah terkoreksi. Proses koreksi geometri dilakukan dengan
cara mengidentifikasi objek atau titik kontrol (Ground Control Point/ GCP) pada
citra yang bersesuaian dengan objek atau titik pada peta referensi. Penentuan titik
kontrol tersebut dapat ditandai pada objek-objek permanen seperti, persimpangan
jalan, jalur sungai, cabang sungai, perpotongan jalan dan sungai, atau pada titiktitk pasti lainnya. Kemudian citra dipotong sesuai dengan batasan wilayah studi
yang didapat dari peta administrasi yang sudah digitasi. Akurasi yang baik
ditunjukkan oleh nilai Root Mean Square Errorr (RMS-error) yang sangat kecil
mendekati nol atau kurang dari 1. Hal ini karena jika suatu titik melewati 1 piksel
maka kemungkinan objek akan bergeser 1 piksel, sehingga tidak sesuai dengan
objek yang ada di lapang. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan software
ERDAS Imagine 8.6.
b) On Screen Digitazing
Klasifikasi yang digunakan pada citra ALOS AVNIR yaitu klasifikasi
visual (on screen digitazing). Adapun langkah-langkah pengolahan data pada citra
terdiri dari :
Interpretasi citra dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu, interpretasi
secara digital dan secara visual. Interpretasi secara digital pada dasarnya berupa
klasifikasi pixel berdasarkan nilai spektralnya. Klasifikasi dapat dilakukan
berdasarkan berbagai cara statistik. Tiap kelas kelompok pixel tersebut kemudian
dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi.
Interpretasi secara visual dilakukan dengan berdasarkan pada unsur-unsur
interpretasi yaitu : rona / warna, pola, tekstur, ukuran, bentuk, bayangan, site, dan
asosiasi. Interpretasi ini dilakukan terhadap jenis penggunaan / penutupan lahan
pada citra satelit ALOS. Sehingga diperoleh berbagai tipe penggunaan /
penutupan lahan pada citra ALOS tersebut. Adapun kombinasi band yang
21
digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi antara Band 3, 2, dan 1 (RGB)
menghasilkan kenampakan alami (natural colour).
Digitasi merupakan kegiatan pemasukan data dalam Arcview yang
dilakukan dengan mendeliniasi secara langsung pada layar atau on screen
digitazing terhadap feature yang berbentuk line, point dan polygon. Kegiatan ini
dilakukan dengan menggunakan software Arcview versi 3.3. Hasil digitasi dapat
dikoreksi secara langsung pada program Arcview atau lebih sering disebut dengan
tahapan editing yaitu proses memperbaiki kesalahan hasil digitasi.
Labeling merupakan proses pemberian identitas label pada setiap poligon
yang telah di digitasi sedangkan atributing adalah proses memberi atribut/
informasi pada suatu coverage. Informasi tersebut dapat dilihat dalam bentuk
atribut tabel. Sebelum memberi label pada coverage yang akan dibuat, maka harus
mengetahui ciri-ciri dari objek yang akan diberi label.
Proses pengolahan citra dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 10. Diagram alir análisis Citra ALOS AVNIR
22
3.3.3. Pembuatan Peta Curah Hujan
Untuk membuat peta curah hujan digunakan model interpolasi titik.
Interpolasi titik adalah suatu prosedur untuk menduga nilai-nilai yang tidak
diketahui dengan menggunakan nilai yang diketahui pada lokasi yang berdekatan.
Titik-titik yang berdekatan (bertetangga) tersebut dapat berjarak teratur atau tidak.
Dalam pembuatan model interpretasi titik prosesnya dilakukan dengan ArcView
3.3 yang telah dilengkapi dengan extensions model builder dengan memilih menu
add process
data conversion
point interpolation.
Gambar 11. Tampilan menu Model Builder
Untuk melakukan metode ini terdapat dua cara yang dapat digunakan
yaitu, Inverse Distance Weight (IDW) dan Spline. Dalam penelitian ini metode
interpolasi titik dilakukan dengan menggunakan Inverse Distance Weight (IDW),
karena cara ini memiliki keunggulan dalam hal membuat batasan interval,
sehingga klasifikasi data curah hujan dapat sesuai dengan parameter yang
diinginkan. Adapun keunggulan metode Spline adalah dapat menghasilkan suatu
permukaan yang lebih lembut, karena merupakan suatu proses pelengkungan
suatu garis tidak lurus atau penambahan titik verteks yang bersifat menghaluskan
dan melengkungkan garis (Barus, 2005).
3.3.4. Pembuatan Peta Lereng
Peta kelas lereng (slope map) diperoleh dari hasil analisis kontur yang
dilakukan beberapa tahap. Tahap pertama adalah pengaktifan extensoón spatial
analyst, 3D analyst dan Model Builder. Data topografi yang berupa garis kontur
23
diubah menjadi Model Elevasi Digital (DEM). Adapun pembuatan DEM tersebut
dilakukan dengan menggunakan metode TIN (Triangulated Irregular Network)
dengan memilih Surface-Create TIN from features kemudian masukkan interval
kontur sebagai height source.
TIN dikonversi ke dalam bentuk grid, yaitu perubahan data spasial yang
berbentuk garis, titik dan poligon ke dalam bentuk susunan sel yang mempunyai
nilai. Kemudian dilanjutkan dengan proses Model Builder – Add Process –
Terrain – Slope untuk menentukan interval kelas kemiringan lereng yang
digunakan.
Hasil klasifikasi yang akan digeneralisasi harus diubah terlebih
dahulu ke dalam bentuk shapefile dengan memilih Theme – Convert to Shapefile,
kemudian edit peta lereng sesuai dengan kelas kemiringan lereng.
3.3.5. Analisis Data Atribut
Dalam analisis data atribut terdapat dua proses penting yaitu, pengharkatan
(scoring) dan pembobotan. Dua proses tersebut dilakukan setelah proses
klasifikasi tiap parameter selesai dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan tahap
analisis penentuan zona konservasi air.
a) Pengharkatan (Scoring)
Pengharkatan merupakan suatu proses pemberian skor terhadap masingmasing parameter. Pemberian skor didasarkan pada pengaruhnya terhadap
penentuan wilayah konservasi air. Semakin tinggi pengaruhnya untuk menyerap
air dan menyediakan maka skor yang diberikan akan semakin tinggi. Adapun
parameter yang diharkakan adalah curah hujan, penggunaan lahan, lereng, jenis
tanah, dan geologi.
Kelas Curah Hujan
Kota Depok termasuk dalam wilayah yang beriklim tropis. Musim
kemarau terjadi antara bulan April hingga September dan musim hujan terjadi
antara bulan Oktober hingga Maret. Berikut merupakan tabel skor untuk kelas
curah hujan :
Tabel 7. Skor untuk Kelas Curah Hujan
24
No
Curah hujan
Skor
1
<1500
1
2
1500 – 2000
1
3
2000 – 2500
2.5
4
2500 – 3000
3
5
3000 – 3500
3.5
6
>3500
4
Sumber : Zain(2002), modifikasi
Kelas Penggunaan Lahan
Jenis kawasan di Kota Depok dibedakan menjadi kawasan lindung dan
kawasan budidaya.
Tabel 8. Skor untuk Kelas Penggunaan Lahan
No
Land Use
Skor
1
Permukiman kepadatan tinggi
1
2
Permukiman kepadatan sedang
2
3
Permukiman kepadatan rendah
3
4
Permukiman kepadatan sangat rendah
3
5
Bedengan
2
6
Tegalan
2
7
Kebun
3
8
Lapangan Golf
2
9
Lahan Terbuka
3
10
Bendungan
4
11
Danau/Situ
5
12
Sungai
4
13
Sawah
4
14
Semak Belukar
3
15
Hutan
5
16
Awan
0
17
Bayangan awan
0
Sumber : Zain(2002), modifikasi
Kelas Kemiringan Lereng
Secara umum topografi wilayah Kota Depok di bagian utara merupakan
dataran rendah, sedangkan bagian selatan merupakan perbukitan bergelombang.
Kemiringan lereng Kota Depok didominasi pada kemiringan lereng 0 – 2% yang
merupakan lereng datar. Kemiringan lereng ini sesuai untuk pengembangan
25
perkotaan dan pertanian. Kemiringan yang lebih curam (>15%) terdapat di
sepanjang sungai Ciliwung, Cikeas dan bagian selatan sungai Angke.
Tabel 9. Skor untuk Kelas Kemiringan Lereng
No
Lereng
Skor
1
0% - 2%
3
2
2% - 15%
3
3
15% - 40%
2
4
>40%
1
Sumber : Zain(2002), modifikasi
Kelas Jenis Tanah
Jenis tanah yang dominan di Kota Depok adalah tanah Latosol Merah.
1. Tanah Alluvial, tanah endapan yang masih muda, terbentuk dari
endapan lempung, debu dan pasir, umumnya tersingkap pada jalur
sungai dengan tingkat kesuburan sedang-tinggi.
2. Assosiasi Latosol Merah dan Laterit merupakan tanah Latosol yang
perkembangannya dipengaruhi oleh air tanah dengan tingkat kesuburan
sedang dan kandungan air tanah cukup banyak.
3. Tanah Latosol Coklat Kemerahan adalah tanah yang belum begitu
lanjut perkembangannya dengan tingkat kesuburan rendah-sedang dan
terbentuk dari bahan tufa
vulkanik andesitis-balsatis,
mudah
meresapkan air, tekstur halus dan tahan terhadap erosi.
4. Tanah Latosol Merah merupakan tanah yang terdapat pada elevasi
yang lebih tinggi daripada tanah Latosol Cokelat Kemerahan dengan
tekstur halus dan tingkat kesuburan tinggi.
Tabel 10. Skor untuk Kelas Jenis Tanah
No
1
2
Jenis Tanah
Asosiasi Latosol Merah,Latosol
Coklat Kemerahan dan Laterit
Asosiasi Latosol Merah, Latosol
Coklat Kemerahan
Skor
2
2
Sumber : Zain (2002), modifikasi
Kelas Geologi
Depok
memiliki
struktur
geologi
yang
cukup
baik
untuk
mengembangkan/mendirikan bangunan gedung berbagai jenis kegiatan, baik
pembangunan gedung perumahan maupun bukan perumahan (sarana dan
26
prasarana perkotaan/wilayah). Sebagain besar struktur geologi yang ada berupa
aluvium dan pleistocene volcanic facies
Endapan Aluvium Pada umumnya bersifat lepas, lunak dan rapuh dan
mempunyai sifat kelulusan air yang tinggi (65% pasir 25 % lempung, 10% debu).
Tabel 11. Skor untuk Kelas Geologi
No
1
Geologi
Alluvium
2
Pleistonece, volcanic fasies
Sumber : Zain (2002), modifikasi
Skor
2
2
b) Pembobotan
Pembobotan merupakan pemberian bobot pada peta digital terhadap
masing-masing parameter yang mempengaruhi tingkat konservasi air. Semakin
besar pengaruh parameter terhadap konservasi air (menyerap air dan menyediakan
air), maka bobot yang diberikan semakin tinggi.
Tabel 12. Bobot Parameter Konservasi Air
No
1
2
3
4
5
Parameter
Curah Hujan
Penggunaan Lahan
Kemiringan Lereng
Jenis Tanah
Geologi
Bobot
0,25
0,40
0,15
0,1
0,1
3.3.6. Analisis Kelas Zona Konservasi Air
Evaluasi fungsi konservasi air dapat dilakukan dengan menentukan kriteria
kondisi utama dari penggunaan lahan dan kemampuan tanah dalam menyimpan
air. Dalam perumusan model konservasi air, dilakukan modifikasi model awal
melalui beberapa parameter seperti jenis tanah, geologi, kemiringan lereng, curah
hujan dan penggunaan lahan.
Dalam penentuan Zona Konservasi Air Kota Depok, digunakan data
spasial berupa peta Jenis Tanah, Geologi, Kemiringan lereng, Curah hujan dan
Penggunaan lahan. Tahapan yang dilakukan berupa membuat skoring tiap
parameter dan nilai skoring tersebut dimasukan ke dalam format digital dan
merubahnya ke bentuk vektor. Kemudian, menggunakan dan memodifikasi model
tersebut untuk menentukan zona konservasi air Kota Depok menggunakan Sistem
27
Informasi Geografis pada software Arcview. Penentuan Zona Konservasi Air
dilakukan dengan persamaan :
WC = (0,25xP) + (0,40xLU) + (0,15xS) + (0,1xST ) + (0,1xG)
Keterangan :
WC
P
LU
= Water Conservation
= Curah hujan
= Land Use
ST = Jenis tanah
G = Geologi
S = Kemiringan lereng
Menurut (Kingma, 1991 dalam Primayuda, 2006) penentuan tingkat
kerawanan dilakukan dengan membagi sama banyak nilai-nilai kerawanan dengan
jumlah interval kelas, yang ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
i =R/n
Keterangan :
i
: Kelas interval
R : Selisih skor maksimum dan skor minimum
n : Jumlah kelas
Daerah dengan tingkat konservasi air tinggi akan mempunyai total nilai
yang tinggi, sebaliknya daerah dengan tingkat konservasi air rendah akan
mempunyai total nilai yang rendah. Tabel 13 berikut menunjukkan nilai tingkat
konservasi air. Adapun peta sebaran zona konservasi air aktual disajikan pada
Gambar 12.
Tabel 13. Nilai tingkat Konservasi Air
No
1
2
3
Tingkat Konservasi Air
Tinggi
Sedang
Rendah
Total Nilai
2,98 – 3,85
2,11 – 2,98
1,24 – 2,11
Gambar 12. Zona Tingkat Konservasi Air Aktual Kota Depok
28
BAB IV
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1.
Letak dan Luas Areal
Kota Depok merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara yang
diarahkan untuk permukiman, kota pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan
kota pariwisata dan sebagai kota resapan air. Secara geografis kota Depok terletak
pada koordinat 6°19΄00˝ – 6°28΄00˝ Lintang Selatan dan 106°43΄00˝ – 106°55΄30˝
Bujur Timur. Menurut Undang-Undang No. 15 pada tanggal 27 April 1999, Kota
Depok dibentuk sebagai salah satu wilayah termuda di Jawa Barat dengan luas
wilayah sekitar 20.029 Ha.
Pemerintahan Kota Depok terbagi menjadi 6 kecamatan yaitu, Kecamatan
Sawangan, Sukmajaya, Pancoran Mas, Cimanggis, Beji dan Limo. Kota Depok
juga dibagi atas 63 Kelurahan dan memiliki 779 RW serta 3.909 RT. Sebagian
Kelurahan Kota Depok tergolong dalam klasifikasi Swasembada dan Swakarya.
Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga Kabupaten dan satu Propinsi
yang secara lengkap sebagi berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang
dan Wilayah DKI Jakarta.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan
Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan
Bojong Gede Kabupaten Bogor.
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung
Sindur Kabupaten Bogor.
4.2.
Kondisi Fisik
a) Iklim
Wilayah Depok termasuk dalam iklim tropis dengan perbedaan curah
hujan yang cukup kecil dan dipengaruhi oleh iklim musim. Iklim Kota Depok ini
mendukung dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan kadar curah hujan yang
tetap sepanjang tahun.
29
Kondisi tanah wilayah Kota Depok merupakan tanah darat dan tanah
sawah. Sebagian tanah darat merupakan areal permukiman sesuai fungsi Kota
Depok yang dikembangkan sebagi pusat permukiman, pendidikan, perdagangan
dan jasa.
Tabel 14. Data kondisi iklim di Kota Depok
No
1
Keterangan
Jumlah
Temperatur
24,3 - 33 derajat Celcius
2
Kelembaban rata-rata
82%
3
Penguapan rata-rata
3,9 mm/thn
4
Kecepatan angin rata-rata
3,3 knot
5
Penyinaran matahari rata-rata
49,8%
6
Jumlah curah hujan
2684 mm/thn
7
Jumlah hari hujan
Sumber : Pemerintah Kota Depok
222 hari/thn
b) Hidrologi
Wilayah Kota Depok dari segi hidrogeologi didominasi oleh kelompok
litologi endapan pasir, kerikil da kerakal hasl pengendapan kembali batuan
vulkanik kuarter (kipas alluvium muda) serta konglomerat dan pasir sungai
(endapan alluvium tua) dengan tingkat kelulusan air sedang sampai tinggi
termasuk aktifer dengan produktifitas tinggi di bagian utara dan aktifer dengan
produktifitas sedang di bagian selatan. Penyebaran aktifer luas denag debit antara
1-5 liter/detik, hal ini menunjukkan kandungan air tanah yang cukup baik.
Penyediaan air minum di Kota Depok sampai saat ini masih dikelola oleh
PDAM Kabupaten Bogor yang menggunakan sumber air baku dari Sungai
Ciliwung, Kali Angke, Kali Pesanggrahan dan Mata air Ciburial. Jumlah
pelanggan PDAM di Kota Depok sampai bulan September tahun 2008 adalah
42.206 pelanggan dan besarnya pemakaian adalah 998.726 m3 (BPS Kota Depok,
2008).
Sistem penyediaan air bersih di Kota Depok telah diatur dalam 3 (tiga)
sistem wilayah, yaitu :
i.
Depok, mempunyai kapasitas 378,8 liter/detik
ii.
Sawangan, mempunyai kapasitas 18,3 liter/detik
iii. Cimanggis, mempunyai kapasitas 5 liter/detik
30
Sumber air lain berasal dari situ. Kota Depok memiliki 30 situ dengan luas
total 126,43 Ha atau 0,63% dari luas Kota Depok yang tersebar di 6 (enam)
kecamatan dengan berbagai kondisi.
Tabel 15. Distribusi Situ di Kota Depok
No.
Kecamatan
Jumlah Situ
Luas (Ha)
1
Beji
5
22,48
2
Cimanggis
10
45,56
3
Limo
2
2,99
4
Pancoran Mas
5
23,85
5
Sawangan
3
27,86
6
Sukmajaya
5
Total Luas
Sumber : Bappeda Kota Depok, 2008
13,05
126,43
c) Topografi
Kondisi wilayah Kota Depok bagian utara umumnya berupa dataran
rendah dengan elevasi antara 40-80 meter yang meliputi kelurahan-kelurahan
yang ada di bagian tengah dan utara. Sedangkan di wilayah bagian selatan
umumnya merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 80-140 meter di atas
permukaan laut.
Penyebaran wilayah berdasarkan kemiringan lereng adalah sebagai berikut:

Wilayah dengan kemiringan lereng 2 – 8 % tersebar di bagian utara melintang
dari barat ke timur

Wilayah dengan kemiringan lereng antara 8 – 15 % tersebar di bagian tengah
membentang dari barat ke timur

Wilayah dengan kemiringan lereng >15 % terdapat di sepanjang Sungai
Cikeas, Ciliwung dan bagian selatan Sungai Angke
4.3.
Demografi Kota Depok
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1999 mendasarkan
pembentukan Kota Depok sebagai wilayah administratif baru di Propinsi Jawa
Barat. Semenjak tahun 2000 perkembangan jumlah penduduk Kota Depok
berlangsung cepat. Berdasarkan data yang bersumber dari BPS, penduduk kota
Depok pada tahun 2000 sebanyak 973.036 jiwa dengan kepadatan penduduk
4.669 jiwa per km2. Pada tahun 2008 jumlah penduduk kota Depok meningkat
menjadi 1.503.677 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 780.092 jiwa dan perempuan
31
723.585 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk kota Depo tahun 2008 sebesar 3,43%
dan rasio jenis kelamin di Kota Depok adalah 102.
Kecamatan Cimanggis merupakan kecamatan yang memiliki jumlah
penduduk paling banyak (412.388 jiwa) dibandingkan kecamatan lain, sedangkan
Kecamatan Beji merupakan kecamatan dengan jmlah penduduk terendah (143.190
jiwa).
Kepadatan penduduk Kota Depok pada tahun 2008 mencapai 7.507 jiwa
per km2. Kecamatan terpadat adalah Kecamatan Sukmajaya dengan tingkat
kepadatan 10.264 jiwa per km2 dan kecamatan dengan tingkat kepadatan terendah
adalah Kecamatan Beji yaitu sebesar 3.714 jiwa per km2. Dengan kondisi ini akan
memberikan konsekuensi meningkatnya jumlah lahan yang berubah menjadi
lahan permukiman, sehingga secara langsung akan mengurangi volume lahan
bagi kebutuhan resapan air.
Mayoritas penduduk Kota Depok beragama Islam. Denagn adanya
pengamatan terhadap sosial budaya maka penduduk Kota Depok dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu penduduk asli dan pendatang. Penduduk pendatang hadir
karena faktor kebutuhan tempat tinggal dan bekerja di DKI Jakarta.
32
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Citra ALOS AVNIR
Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR
tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang
digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi antara Band 3, 2, dan 1 (RGB)
yang menghasilkan kenampakan alami (natural colour).
Interpretasi secara visual pada Citra ALOS AVNIR dilakukan berdasarkan
pada unsur-unsur interpretasi yaitu : rona, pola, tekstur, ukuran, bentuk, bayangan,
site, dan asosiasi.
Gambar berikut merupakan hasil komposit alami dari kombinasi Band 3,
Band 2 dan Band 1.
Gambar 13. Citra ALOS AVNIR
Pada data ALOS AVNIR seperti yang terlihat pada Gambar 14 terlihat
adanya gangguan awan dan haze. Pada analisis data penginderaan jauh, gangguan
awan akan direprsentasikan sebagai data hilang (missing data) yang memerlukan
33
proses masking dalam keseluruhan analisis. Pada umumnya gangguan awan dan
bayangannya ini tidak dapat diperbaiki.
Berikut merupakan wilayah Kota Depok yang dipotong dari citra ALOS
AVNIR (Gambar 14) :
Gambar 14. Citra ALOS AVNIR wilayah Kota Depok
5.2.
Analisis Parameter Pendekatan Model Konservasi Air
Pendekatan Model Konservasi Air menggunakan berbagai parameter yang
masing-masing dapat diketahui luasannya, sebagai berikut :
5.2.1. Kelas Lereng
Gambar 15. menunjukkan Peta Kontur yang digunakan dalam proses
pembuatan peta kelas lereng melalui metode DEM dan Gambar 16. menunjukkan
pembagian kelas lereng beserta luasan di wilayah Kota Depok :
34
Gambar 15. Kelas Lereng Kota
Depok
Gambar 15. Peta Kontur Kota Depok
Berdasarkan peta kelas lereng, Kota Depok didominasi oleh kelas lereng
0 – 2% (landai) dengan luas area sebesar 14.384,9 Ha (71,42%). Sedangkan kelas
lereng 15-40% banyak terdapat di sepanjang aliran sungai.
Gambar 16. Kelas Lereng Kota Depok
5.2.2. Geologi
Pada Gambar 17. menunjukkan sebaran jenis geologi beserta luasan di
wilayah Kota Depok :
35
Gambar 17. Jenis Geologi Kota Depok
Berdasarkan peta geologi, Kota Depok merupakan daerah yang
mempunyai struktur geologi yang didominanasi oleh formasi Pleistocene
Volcanic Facies yang hampir diseluruh wilayah Kota Depok dengan luasan
sebesar 19.988,1 Ha (99,24%).
5.2.3. Curah Hujan
Pada Gambar 18. merupakan peta curah hujan Kota Depok beserta tabel
luasan masing-masing kelas curah hujan :
Gambar 18. Curah Hujan Kota Depok
36
Gambar 18. menunjukkan bahwa Kota Depok didominasi oleh curah hujan
rata-rata sekitar 1500-2000 mm/tahun dengan luasan sebesar 6.937 Ha di
Kecamatan Cimanggis dan sebagian Kecamatan Sukmajaya dan Kecamatan Beji.
Berdasarkan fenomena ini, curah hujan merupakan menyumbang besar terhadap
kejadian banjir lokal di wilayah Kota Depok.
5.2.4. Jenis Tanah
Gambar 19. menunjukkan sebaran jenis tanah di Kota Depok beserta
luasan masing-masing jenis tanah.
Gambar 19. Jenis Tanah Kota Depok
Kota Depok di dominasi oleh jenis tanah Asosiasi Latosol Merah, Latosol
Coklat Kemerahan yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi di hampir seluruh
wilayah Kota Depok dengan luas 19.101,2 Ha (94,83%). Sedangkan jenis tanah
Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit hanya terdapat di
sebagian wilayah Kecamatan Limo dengan luas sebesar 1.040,7 Ha (5,17%).
5.2.5. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di daerah penelitian sebagian besar didominasi oleh
permukiman dan semak belukar. Selain itu, penggunaan lahan lainnya berupa
tegalan, kebun, hutan, lahan terbuka, bedengan dan sawah. Berikut definisi dari
penggunaan lahan :
37
1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
2. Kebun adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi
penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan
dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (perdu, palem, bambu, dll)
dengan tanaman pertanian dan/atau hewan ternak dan/atau ikan, yang
dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk
interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagi komponen yang ada.
3. Tegalan adalah usaha pertanian tanah kering yang intensitas penggarpannya
dilaksanakan secara permanen.
4. Sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang
(galengan) dan saluran untuk menahan/menyalurkan air.
5. Permukiman adalah suatu wilayah yang ditempati oleh seseorang atau
kelompok manusia. Permukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan
kondisi alam dan sosial kemasyarakatan sekitar.
6. Semak adalah tipe vegetasi kecil atau kerdil yang tumbuh tidak lebih tinggi
daripada perdu dan tidak bernilai komersial. Bisa merupakan areal bekas
tebangan atau bekas perladangan yang ditinggalkan.
7. Tanah terbuka adalah areal tanah yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan
produktif, baik kegiatan non pertanian maupun pertanian.
38
Gambar 20. Penggunaan Lahan Kota Depok
39
Tabel 16. Luas Penggunaan Lahan Kota Depok
No
Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
%
1
Awan
0.5
0.003
2
Bayangan
0.7
0.003
3
Bedengan
98.9
0.5
4
Bendungan
6.7
0.03
5
Danau/Situ
73.8
0.4
6
Hutan
448.0
2.2
7
Kebun
460.8
2.3
8
Lahan Terbuka
416.1
2.1
9
Lapangan Golf
293.5
1.5
10
Perumahan kepadatan tinggi
1210.7
5.9
11
Perumahan kepadatan sedang
5295.3
26.2
12
Perumahan kepadatan rendah
1616.4
8.0
13
Perumahan kepadatan sangat rendah
4294.1
21.3
14
Sawah
2091.7
10.4
15
Semak belukar
744.3
3.7
16
Sungai
149.1
0.7
17
Total
Luas
Tegalan
2982.4
14.7
20183.3
Penggunaan lahan Kota Depok didominasi oleh permukiman (perumahan)
yaitu seluas 12.416,5 Ha (61,52%) yang terdiri dari perumahan dengan kepadatan
bangunan tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah.
5.3.
Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok
Berdasarkan PP No. 47 tahun 1997, Kota Depok merupakan salah satu
kota yang termasuk di dalam Kawasan Bopunjur dengan pemanfaatan ruang yang
sangat dibatasi oleh fungsinya sebagai kawasan konservasi air dan tanah yang
memiliki nilai strategis sebagai kawasan yang dapat memberikan perlindungan
terhadap kawasan di bawahnya, yaitu wilayah Propinsi Jawa Barat dan wilayah
Propinsi DKI Jakarta. Hal ini dalam rangka mempertahankan dan menyediakan
kawasan Ruang Terbuka Hijau yang ditujukan untuk mengimbangi lahan
terbangun kota.
Kota Depok mempunyai fungsi dan peranan penting sebagai kawasan
resapan air (penyangga) bagi kehidupan Kota Jakarta, sehingga perlu pengelolaan
yang terhadap sumberdaya air yang ada di kawasan Kota Depok. Sumber-sumber
40
daya air tersebut terdiri dari air tanah dan air permukaan (sungai dan situ), dimana
saat ini kondisi kualitas dan kuantitas sumber daya air di Kota Depok sudah pada
tahap yang mengkhawatirkan dalam segi kualitas. Hal ini terlihat dari keberadaan
situ yang tersisa dan terpelihara hanya 19 dari 49 situ (Bappeda, 2007).
Wilayah Kota Depok memiliki berbagai penggunaan lahan berupa RTH
ataupun Non RTH. Penggunaan lahan berupa RTH dibedakan atas RTH Privat
dan RTH Publik. Tabel 17 berikut ini memperlihatkan luas RTH Kota Depok :
Tabel 17. Luas dan Persentase RTH Kota Depok
No
Penggunaan Lahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Bedengan
Bendungan
Danau/Situ
Hutan
Kebun
Lahan Terbuka
Lapangan Golf
Sawah
Semak belukar
Sungai
Tegalan
Permukiman kepadatan tinggi
Permukiman kepadatan sedang
Permukiman kepadatan rendah
Permukiman kepadatan sangat
15 rendah
16 Awan
17 Bayangan
Total Luas
RTH
Luas
98.9
6.7
73.8
448.0
460.8
416.1
293.5
2091.7
744.2
149.1
2982.4
7765.6
%
0.5
0.03
0.4
2.2
2.3
2.0
1.4
10.4
3.7
0.7
14.7
38.48
Non RTH
Luas
%
RTH Privat
Luas
%
6.7
1210.71
5295.3
1616.4
5.9
26.2
8.0
4294.1
0.5
0.7
12417.7
21.3
0.003
0.003
61.5
0.03
460.8
416.1
293.5
2091.7
744.2
2.3
2.0
1.5
10.4
3.7
2982.4
14.7
6995.6
RTH Publik
Luas
%
98.9 0.4
34.6
73.8
448.0
0.4
2.2
149.1
0.7
769.9
3.8
Berdasarkan Tabel 17 di atas, terlihat bahwa Kota Depok memiliki luas
RTH sebesar 7.765,6 Ha (38,48%) dan Non RTH sebesar 12.417,7 Ha (61,52%).
Berdasarkan luasan RTH tersebut, maka kondisi RTH di Kota Depok telah sesuai
dengan UU RI No. 26 Tahun 2007, yaitu luas RTH dengan proporsi minimal 30%
dari luas wilayah keseluruhan.
Kota Depok memiliki luas RTH privat 6.995,6 Ha (34,66%) melebihi
standar maksimal yaitu 10% dan RTH publik hanya 769,9 Ha (3,82%) dibawah
standar maksimal yaitu 20%. Untuk memenuhi standar luas tersebut, maka masih
diperlukan RTH publik sebesar 16,18%.
41
5.4.
RTH Kota Depok ditinjau dari RTRW
5.4.1. RTRW Kota Depok
Pada Tabel 18 berikut ini menunjukkan luasan dari tiap rencana
penggunaan lahan pada RTRW Kota Depok Periode 2000-2010 dan pada Gambar
21. menunjukkan rencana penggunaan lahan pada RTRW Kota Depok Periode
2000-2010
Tabel 18. Luasan RTRW Kota Depok
No
RTRW
Luas (Ha)
1
Kawasan Dagang dan Jasa Subpusat
2
Fasilitas Umum
3
Kawasan Industri
460.814
4
Kawasan Campuran
245.636
5
Kawasan Tertentu
454.506
6
Kebun
118.996
7
Kawasan Komersial dan Jasa Pusat Kota
426.019
8
Kawasan Pendidikan Tinggi
9
Kawasan Perkantoran dan Jasa Pelayanan Umum
205.091
10
Perumahan Kepadatan Bangunan Tinggi
5097.91
11
Perumahan Kepadatan Bangunan Sedang
6140.581
12
Perumahan Kepadatan Bangunan Rendah
135.441
13
Perumahan Kepadatan Bangunan Sangat Rendah
14
Sawah
15
Sempadan Sungai
16
Situ
Luas Total
446.657
64.652
59.922
4487.864
643.15
834.984
319.62
20141.843
42
Gambar 23. RTRW Kota Depok Periode 2000 - 2010
Gambar 21. RTRW Kota Depok Periode 2000 - 2010
43
Berikut rencana penggunaan lahan pada RTRW Kota Depok dari sudut
pandang RTH publik dan RTH privat :
Gambar 22. RTH Publik dan Privat pada RTRW
Peta RTH Publik dan RTH Privat (RTRW) diperoleh dari Tabel 18,
dimana penggunaan lahan yang terdapat pada RTRW diperinci menjadi RTH
Publik dan RTH Privat. Berdasarkan Gambar 22. menunjukkan bahwa Kota
Depok memiliki RTH Privat sebesar 40,68% dari luas wilayah dan RTH Publik
sebesar 9,32% dari luas wilayah.
5.4.2. RTH Hasil Interpretasi Citra ALOS AVNIR
Berikut merupakan peta RTH hasil interpretasi Citra ALOS AVNIR
berdasarkan pada 9 unsur interpretasi.
Gambar 23. RTH Publik dan RTH Privat Kota Depok (Analisis)
44
Peta RTH Publik dan RTH Privat (analisis) diperoleh dari Tabel 17,
dimana penggunaan lahan hasil interpretasi citra ALOS AVNIR diperinci menjadi
RTH Publik dan RTH Privat
Berdasarkan Gambar 23, terlihat bahwa antara RTRW Kota Depok dan
Peta Analisis RTH Kota Depok terdapat perbedaan segi luasan RTH Publik dan
RTH Privat, namun dalam segi letak tidak begitu banyak perbedaan. Untuk
memenuhi kekurangan RTH publik sebesar 16,18% agar sesuai UU RI No.26
Tahun 2007 (20%), maka disarankan pada setiap kecamatan di Kota Depok dapat
menyumbangkan RTH berdasarkan zona konservasi air terutama pada Kecamatan
Sawangan yang memiliki tingkat konservasi tinggi sebesar 12,99% (Tabel 19).
5.5.
Analisis Pendekatan Model Konservasi Air
Tabel 19 menunjukkan luas dan peresentase dari wilayah konservasi air
tiap kecamatan di Kota Depok.
Tabel 19. Wilayah Konservasi Air Tiap Kecamatan
No
1
2
3
4
5
6
Kecamatan
BEJI
CIMANGGIS
LIMO
PANCORAN MAS
SAWANGAN
SUKMAJAYA
Total Luas
Rendah
Luas
%
556.5
2.7
3078.0
15.2
133.8
0.6
1051.6
5.2
0.01
0.004
1285.8
6.3
6106.03
30.2
Sedang
Luas
686.4
2331.8
1830.4
1618.4
1975.3
1787.6
10230.09
Gambar 24. Zona Tingkat Konservasi Air
%
3.4
11.5
9.0
8.0
9.7
8.8
50.7
Tinggi
Luas
%
202.6
1.0
169.7
0.8
277.9
1.3
306.3
1.5
2622.9
12.9
267.6
1.3
3847.2
19.06
45
Dari Tabel 19 terlihat bahwa pada setiap kecamatan di Kota Depok
memiliki wilayah konservasi tinggi. Namun, kecamatan yang merupakan daerah
konservasi tingkat tinggi adalah Kecamatan Sawangan dengan luas wilayah
tingkat konservasi tinggi sebesar 2.622,9 Ha (12,99%).
5.6.
Rekomendasi Penggunaan Lahan Berdasarkan Tingkat Konservasi
Air
Berikut merupakan tabel yang memperlihatkan penggunaan lahan yang
termasuk pada tingkat konservasi air rendah ( WC = 1,24 – 2,11) dan tingkat
konservasi tinggi (WC = 2,98 – 3,85) pada tiap kecamatan Kota Depok :
Tabel 20. Penggunaan Lahan Konservasi Air Tinggi Tiap Kecamatan
No
Kecamatan
1
BEJI
2
CIMANGGIS
3
LIMO
4
PANCORAN
MAS
5
SAWANGAN
6
SUKMAJAYA
Penggunaan Lahan/Nilai WC
Tingkat Rendah
Nilai WC
Tingkat Tinggi
Bedengan
1.90
Danau/Situ
Perumahan kepadatan sedang 1.75-1.90
Hutan
Perumahan kepadatan tinggi
1.35-2.0
Sawah
Tegalan
1.75-1.90
Lapangan Golf
1.90
Danau/Situ
Perumahan kepadatan sedang 1.75-1.90
Hutan
Perumahan kepadatan tinggi
1.35-2.0
Sawah
Tegalan
1.75-1.90
Perumahan kepadatan sedang 0.80
Danau/Situ
Perumahan kepadatan tinggi
1.88-2.0
Hutan
Kebun
Perumahan kepadatan rendah
Sawah
Semak belukar
Bedengan
1.75
Danau/Situ
Perumahan kepadatan sedang 1.90
Sawah
Perumahan kepadatan tinggi
1.35-2
Semak belukar
Tegalan
1.75-1.90
Sungai
Perumahan kepadatan tinggi
2.0
Danau/Situ
Hutan
Kebun
Lahan Terbuka
Perumahan kepadatan rendah
Perumahan k.sangat rendah
Sawah
Semak belukar
Tegalan
Bedengan
1.75-1.90
Bendungan
Perumahan kepadatan sedang 1.65-1.90
Danau/Situ
Perumahan kepadatan tinggi
1.25-2.0
Hutan
Tegalan
1.75-1.90
Kebun
Perumahan kepadatan rendah
Perumahan k. sangat rendah
Sungai
Nilai WC
3.10
3.10-3.60
3.20
3.10
3.10
3.20
3.73
3.45
3.05
3.05
3.05-3.45
3.05
3.10-3.85
3.20-3.45
3.05
3.05-3.45
3.85
3.85
3.05
3.05
3.05
3.05
3.05-3.45
3.05
3.05
3.20
3.60
3.05
3.05
3.05
3.05
3.05-3.20
46
Pada Tabel 20 menunjukkan penggunaan lahan yang termasuk tingkat
konservasi tinggi dan rendah berdasarkan nilai WC (Water Conservation). Dari
tabel ini terlihat bahwa penggunaan lahan yang termasuk tingkat konservasi air
tinggi, sebagian besar adalah penggunaan lahan yang termasuk dalam RTH
(danau/situ, hutan, sawah, kebun, semak belukar, sungai, hutan, lahan terbuka,
tegalan, dan bendungan).
Kecamatan Sawangan memiliki zona konservasi air tingkat tinggi seluas
12,9% (Tabel 19). Hal ini didukung dengan Tabel 20 yang menunjukkan bahwa
sebagian besar penggunaan lahan di Kecamatan Sawangan merupakan RTH.
Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya memiliki zona konservasi air
tingkat tinggi hanya seluas 0,8% dan 1,3%, sedangkan kedua kecamatan ini
memiliki zona konservasi tingkat rendah seluas 15,2% dan 6,3% (Tabel 19). Hal
ini kemungkinan yang menyebabkan kedua kecamatan ini mengalami banjir lokal.
Jika dilihat pada Gambar 24, kedua kecamatan ini didominasi oleh permukiman.
Untuk mengatasi banjir lokal yang terjadi pada kedua kecamatan ini, maka
perlu dibangun RTH yang lebih besar (luasan) dibandingkan kecamatan lain dan
pemilihan penggunaan lahan yang tepat (meresapkan air). Sehingga nilai WC
akan tinggi dan secara langsung zona konservasi air tingkat tinggi pun akan
meningkat (luasan).
Disarankan memperluas hutan di Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya
atau melakukan perubahan lahan dari tegalan menjadi semak belukar atau hutan.
Hal ini karena semak belukar dan hutan memiliki daya serap air lebih tinggi
dibandingkan tegalan.
Partisipasi aktif masyarakat luas sangat dibutuhkan dalam membangun
ataupun mempertahankan RTH. Partisipasi masyarakat dapat berupa penyediaan
lahan untuk RTH dan kesadaran untuk menanam berbagai jenis pohon di
lingkungan rumah masing-masing.
Metode konservasi vegetatif yang dapat dilakukan adalah dengan cara
memanfaatkan media tanaman dan lubang-lubang cacing sebagai upaya untuk
meresapkan air tanah (lubang biopori).
47
5.7.
Hubungan Tingkat Konservasi Air dengan RTH
Berikut merupakan tabel luas dan persentase RTH dan Tingkat konservasi
air pada setiap kecamatan yang memperlihatkan hubungan keduanya.
Tabel 21. RTH dan Tingkat Konservasi Air
No
1
2
3
4
5
6
Kecamatan
BEJI
CIMANGGIS
LIMO
PANCORAN MAS
SAWANGAN
SUKMAJAYA
Total Luas
RTH
Luas
471.0
1425.2
1250.4
1044.0
2524.6
1050.2
7765.5
%
2.3
7.1
6.1
5.1
12.5
5.2
38.5
Tingkat Konservasi Air
Luas
%
202.7
1.004
169.7
0.8
277.9
1.4
306.3
1.5
2622.9
12.9
267.6
1.3
3847.2
19.0
Pada Tabel 21. terlihat bahwa Kecamatan Sawangan memiliki wilayah
dengan tingkat konservasi tinggi dan lebih luas dibandingkan dengan kecamatan
lain. Hal ini terjadi karena pada Kecamatan Sawangan luas penggunaan lahan
yang berupa RTH sebesar 2.524,6 Ha (12,5) lebih tinggi dibandingkan kecamatan
yang lain. Oleh karena itu, RTH yang telah ada di Kecamatan Sawangan haruslah
dipertahankan. Pada Kecamatan Limo, Pancoran Mas, Sawangan dan Sukmajaya
terjadi hubungan yang berbanding lurus terhadap RTH, namun di Kecamatan Beji
dan Cimanggis terjadi sebaliknya. Maka, hubungan tingkat konservasi air dengan
RTH berbanding lurus sekitar 66,67% di wilayah Kota Depok.
48
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
1. Citra ALOS AVNIR dapat membedakan penggunaan lahan yaitu,
permukiman (perumahan) menjadi empat kelas.
2. Kota Depok memiliki luas RTH sebesar 7.765,6 Ha (38,48%) dan Non
RTH sebesar 12.417,7 Ha (61,52%). Hal ini telah sesuai UU RI No. 26
Tahun 2007, dimana proporsi RTH minimal 30% dari luas wilayah.
Kota Depok memiliki luas RTH privat 6.995,6 Ha (34,66%) melebihi
standar maksimal yaitu 10% dan RTH publik hanya 769,9 Ha (3,82%)
dibawah standar maksimal yaitu 20%.
3. Kecamatan Sawangan memiliki zona konservasi air tingkat tinggi
seluas 12,9% yang menunjukkan bahwa sebagian besar penggunaan
lahan di Kecamatan Sawangan merupakan RTH.
4. Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya memiliki zona konservasi air
tingkat tinggi hanya seluas 0,8% dan 1,3%, sedangkan kedua
kecamatan ini memiliki zona konservasi tingkat rendah seluas 15,2%
dan 6,3%. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan kedua kecamatan
ini mengalami banjir lokal, dimana kedua kecamatan ini didominasi
oleh permukiman.
5. Hubungan tingkat konservasi air dengan RTH berbanding lurus di
empat kecamatan di Kota Depok (66,67%), yaitu Kecamatan Limo,
Pancoran Mas, Sawangan, Sukmajaya.
6.2.
Saran
1. Untuk memenuhi kekurangan RTH publik sebesar 16,18% maka
disarankan
pada
setiap
kecamatan
di
Kota
Depok
dapat
menyumbangkan RTH berdasarkan zona konservasi air terutama pada
Kecamatan Sawangan yang memiliki tingkat konservasi tinggi sebesar
12,99%.
2. Untuk mengatasi banjir lokal yan terjadi di Kecamatan Cimanggis dan
Sukmajaya disarankan memperluas hutan di Kecamatan Cimanggis
49
dan Sukmajaya Metode konservasi vegetatif yang dapat dilakukan
adalah dengan cara memanfaatkan media tanaman dan lubang-lubang
cacing sebagai upaya untuk meresapkan air tanah (lubang biopori).
3. Partisipasi aktif masyarakat luas sangat dibutuhkan dalam membangun
ataupun mempertahankan RTH. Partisipasi masyarakat dapat berupa
penyediaan lahan untuk RTH dan kesadaran untuk menanam berbagai
jenis pohon di lingkungan rumah masing-masing.
4. RTH Privat yang dimiliki oleh masyarakat diharapkan dipertahankan
dalam arti tidak mengalami konversi menjadi lahan terbangun agar
proporsi RTH di Depok tetap memenuhi standar 30%.
50
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
Aronof, S. 1998. Geographic Information System : A management Perspective.
WDL Publication Ottawa. Canada.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press.
Bogor.
Bappeda Depok. 2007. Laporan Analis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok
2000-2010. Pemerintah Kota Depok Tahun 2007. Depok.
Branch, M.C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif : Pengantar dan
Penjelasan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Depdagri. 1988. Instruksi Mendagri No. 14 tahun 1988. Jakarta.
Departemen Pekerjaan
://www.pu.go.id/
Umum.
2001.
Data
Sumber
Daya
Air.
http
Dinas Pertanaman Propinsi DKI Jakarta. 2003. Realisasi Penerapan Daerah
Hijau pada Tata Ruang Kota. Makalah Seminar Percepatan Ruang Terbuka
Hijau Kota Jakarta.
Eckbo, G. 1964. Urban Lansdcape Design. Mc Geaw-Hill. Inc USA.
Hakim, A. S. Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Jambu Biji (Psidium Guajava)
Di Kabupaten Bogor Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis.
Skripsi S1. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Irianti, E.F. 2008. Perubahan Penggunaan, Penutupan lahan dan Ruang Terbuka
Hijau Kota Bogor Tahun 1905-2005. Skripsi. Departemen Arsitektur
Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
JAXA, EORC. 1997. About ALOS. http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/ [4 Maret
2009].
Lillesand, TM, Kiefer, RW. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation.
(Terjemahan Dulbahri, Suharsono, Hartono, Suharyadi). 1990.
Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra). Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Muis, B.A. 2005. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan
55
Kebutuhan Oksigen dan air di Kota Depok Propinsi Jawa Barat. Tesis.
Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
NASDA, LAPAN. Citra Satelit ALOS
http://angkringangis.multiply.com/journal/item/10. [4 Maret 2009].
Nurisjah, S. 1997. Manfaat dan Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan. Makalah Lokakarya Upaya Pengembangan dan Pembinaan
Ruang Terbuka Hijau Perkotaan di Masa Datang. Jakarta.
51
Parahita, D. 2005. Penyediaan air Bersih Oleh Komunitas.
http : //www.pu.go.id/Ditjen_Kota/BULETIN/Edisi%20 No.2/Penyediaan
%20 Bersih % 20 oleh Komunitas.htm.
Prahasta, E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. CV.
Informatika. Bandung.
Primayuda, A. 2006. Pemetaan daerah rawan dan Resiko banjir menggunakan
Sistem Informasi Geografis : Studi Kasus Kabupaten Trenggalek, Provinsi
Jawa Timur. Skripsi S1. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Purnomo, B. 2001. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kota Hijau :
Tantangan Ke depan. Workshop Pembangunan Hutan Kota di Indonesia.
Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Putri, Primaristuti. 2006. Identifikasi Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di
Kotamadya Bandung Dengan Menggunakan System Informasi Geografis.
Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Seta, A.K, 1987. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia.
Simond, J. O. 1983. Landscape Architecture. Mc. Graw Hill book Co. New York.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor. IPB Press.
Sri Haryanti F. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT Gramedia Pustaka : Jakarta.
Supriyati, Eli. 2006. Perubahan Penutupan dan Penggunaan lahan dalam
Hubungannya dengan Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk Serta
Pendapatan Daerah Studi Kasus Kotamadya Depok, Propinsi Jawa Barat.
Skripsi S1. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Haris, Vivi Indriani. 2006. Analisis Distribusi dan Kecukupan Ruang Terbuka
Hijau dengan Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh : Studi Kasus Kota
Bogor. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wijayanti, M. 2003. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Purwokerto.
Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zain, A. F. M. 2000. Distribution, Structure, and Function of Urban Green Space
in Southeast Asia Mega-cities with special reference to Jakarta
Metropolitan Region (Jabodetabek). A dissertation of The Univercity of
Tokyo, Japan. p. 148
52
BAB VIII
LAMPIRAN
1.
Jumlah Penduduk Kota Depok
Jumlah penduduk (Jiwa)
Kecamatan
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2010
Sawangan
112853
136864
143211
149039
153245
159543
166276
166076
169727
177277
197654.72 220375
0.02
Pancoran Mas
184407
219312
226405
235,790
240904
247622
254797
269144
275103
287341
320369.81 357196
0.02
Sukmajaya
232906
278080
285928
296636
301809
307753
314147
342447
350331
365915
407976.21 454872
0.02
Cimanngis
269265
331778
343399
357546
367283
379487
392512
403037
412388
430733
480244.37 535447
0.02
Beji
87317
115575
120462
126653
130656
136899
143592
139888
143,190
149560
166751.19 185919
0.02
Limo
86288
123078
127828
123633
137662
143218
149156
149410
152938
159741
178103.18 198576
0.02
Kota Depok
973036
1204687
1247233 1289297
1331559
1374522
1420480
1470002
1503677 1.570.567
Pt+x = Pt (1 + r )2
Keterangan :
Pt+x : Jumlah penduduk pada tahun (t+x)
Pt
: Jumlah penduduk pada tahun (t)
r
: Rata-rata persentase pertambahan jumlah penduduk
x
: Selisih tahun
2015
1.751.099
2020
r
2000
1.952.385
53
2. Luas Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan Kota Depok
Penggunaan
Lahan
BEJI
Luas
(Ha)
%
CIMANGGIS
Luas
(Ha)
%
LIMO
Luas (Ha)
%
Awan
0.51
0.02
Bayangan
0.67
0.03
1.5
0.07
Bedengan
0.02
0.001
PANCORAN
MAS
Luas
(Ha) %
0.33
SAWANGAN
Luas
(Ha)
%
0.01
Bendungan
Danau/Situ
5.72
0.39
20.92
0.37
2.78
0.12
Hutan
183.10
12.67
51.29
0.92
10.68
0.48
Kebun
59.37
4.11
26.42
0.47
68.20
3.04
Lahan Terbuka
1.91
0.13
69.37
1.24
51.58
2.30
196.08
3.51
26.01
Lapangan Golf
22.24
0.75
SUKMAJAYA
Luas
(Ha)
%
97.13
2.90
6.71
0.20
15.7
0.34
6.44
0.19
4.654
0.10 198.32
5.94
13.72
0.46 130.009
2.82 163.15
4.88
10.17
0.34
67.5
1.47 215.56
6.45
1.16
71.4
1.55
616.30
13.40 149.61
4.47
PKBR
118.85
8.22
243.16
4.36
82.79
3.69
PKBS
368.21
25.47 2357.72
42.26
332.39
14.82
176.68
5.94
645.52
14.03 1414.76
42.34
PKBSR
104.51
7.23 1072.29
19.22
14.14
0.63
2.55
0.08
191.52
4.16 231.35
6.92
PKBT
383.09
26.49
481.23
8.62
561.21
25.02 1753.08 58.89
620.38
13.49 495.13
14.82
Sawah
13.85
0.96
288.07
5.16
226.76
10.11
199.83
6.71 1358.39
29.54
4.82
0.14
Semak belukar
28.47
1.97
278.15
4.99
71.27
3.18
110.88
3.72
4.200
62.31
1.87
Sungai
19.63
1.36
32.06
0.57
51.31
1.72
46.14
1.38
Tegalan
158.98
10.99
462.86
8.29
791.65
683.75
14.87 249.62
7.47
Total Luas
1445.69
100 5579.62
100
2242.18
100 4598.301
100 3341.08
100
35.31
635.55 21.35
100 2976.404
193.15
Download