Persepsi dan Atribusi Ahok

advertisement
PERSEPSI DAN ATRIBUSI MASYARAKAT
TERHADAP PEMILIHAN AHOK MENJADI
WAKIL GUBERNUR DKI JAKARTA
Makalah Diajukan untuk Melengkapi Nilai Mata Kuliah Psikologi Sosial
Semester Tiga
Ravinder Kaur
2012 71 075
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan izin dan kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini dengan judul ’’ Persepsi dan Atribusi Masyarakat Terhadap Pemlihan Ahok Sebagai Wakil
Gubernur DKI Jakarta” tepat pada waktunya.
Tugas ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Sosial. Dan juga
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Safitri sebagai dosen Psikologi Sosial.
2. Orangtua yang selalu ada di hati penulis, terima kasih atas kesetiaanmu serta nasihat dan
motivasi yang telah diberikan.
3. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu yang turut membantu
kelancaran dalam penyusunan makalah ini.
Penulis membuka diri untuk kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah.
Kritik
dan
saran
dapat
dikirimkan
ke
salah
satu
email
penulis:
[email protected]
Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat.
Jakarta, Januari 2014
Penulis
Ravinder Kaur
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Orang akan berpikir dua kali sebelum meneriaki seseorang dengan kata-kata, “Cina
lu!”. Sebab ungkapan seperti itu lebih terdengar sebagai makian dari pada pujian. Kata “Cina”
masih memilki konotasi negatif dari pada positif. Begitu buruknya kata “Cina” sampai-sampai
orang-orang keturunan Cina sendiri lebih suka menyebut diri mereka “ Chinese” atau
“Keturunan Tionghoa” daripada “Orang Cina”. Bahkan bisa-bisa mereka tersinggung jika
disebut sebagai “Orang Cina”.
Kata “Cina” selalu diasosiasikan dengan ras kulit kuning yang bermata sipit,
komunitas eksklusif, pelit serta percaya tahyul. “Cina” juga sering dikonotasikan sebagai
sesuatu yang “bukan kita”. Cina sudah bukan lagi masalah genetik, tetapi sudah berkembang
menjadi kata sifat yang bermakna negatif. Mereka dianggap sebagai suku bangsa lain yang
mengeruk kekayaan Indonesia untuk keuntungan mereka. Sesuatu yang membuat orang-orang
“Pribumi” mudah iri terhadap orang-orang “Cina”, sehingga orang-orang yang merasa
“Indonesia Asli” bisa menjadi amat diskriminatif dan represif terhadap mereka. Puncaknya,
adalah peristiwa Mei 1998, dimana toko-toko milik orang-orang Cina dijarah dan para
wanitanya, konon banyak yang diperkosa.
Ditengah pandangan masyarakat yang masih seperti tersebut diatas, memasang Ahok
sebagai calon wakil gubenur adalah sebuah keputusan politik yang sangat berani. Menjual
Ahok untuk menarik simpati publik adalah sebuah perhitungan politik yang melawan arus.
Tetapi apa yang terjadi?, justru pasangan Jokowi-Ahok meraih suara terbanyak dalam acara
pesta coblosan kemarin. Terlepas dari figur Jokowi yang memang kuat, figur Ahok yang
“Cina” terbukti bukan menjadi “masalah”. Ini menandakan bahwa pandangan orang-orang
Jakarta telah berubah, bukan saja terhadap kata “Cina”, tetapi juga terhadap kata-kata “Putra
Daerah”.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai beberapa masalah mengenai
perlunya Persepsi dan Atribusi Masyarakat Terhadap Pemilihan Ahok Menjadi Wakil
Gubernur Jakarta.
1.
Apa itu persepsi dan atribusi?
2.
“ Cina” dimata masyarakat
3.
Dampak persepsi masyarakat terhadap pemilihan Ahok
1.3. Tujuan Peneliti
Dalam makalah ini penulis mempuyai beberapa tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.
Menjelaskan pengertian dari persepsi dan atribusi
2.
Menjelaskan pandangan masyarakat kepada “Cina”
3.
Menjelaskan dampak persepsi masyarakat terhadap pemilhan Ahok
1.4. Kerangka Teori
Secara umum, persepsi sosial adalah aktivitas mempersepsikan ornag lain dan apa
yang membuat mereka dikenali. Melalui persepsi sosial, kita berusaha mencari tahu dan
mengerti orang lain. Sebagai bidang kajian, persepsi sosial adalah studi terhadap bagaiamana
orang membentuk kesan dan membuat kesimpulan tentang orang lain (Taiford, 2008). Teoriteori dan penelitian persepsi sosial berurusan dengan kodrat, penyebab-penyebab, dan
konsekuensi dari persepsi terhadap satuan-satuan sosial, seperti diri sendiri, individu lain,
kategori-kategori sosial, dan kumpulan atau kelompok tempat seseorang tergabung atau
kelompok lainnya. Persepsi sosial juga merujuk pada bagaimana orang mengerti dan
mengategorisasi dunia. Seperti persepsi lainnya, persepsi sosial merupakan sebuah konstruksi.
Sebagai hasil konstruksi, pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari persepsi sosial
tidak selalu sesuai dengan kenyataannya.
Menurut Myers (1996) kecenderungan memberikan atribusi disebabkan oleh
kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (ada sifat ilmuan dalam manusia),
temasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain.
Fritz Heider yang terkenal sebagai tokoh psikologi atribusi, dasar untuk mencari penjelasan
mengenai perilaku orang adalah akal sehat.
TEORI-TEORI ATRIBUSI
1. Correspondent infrence theory (teori penyimpulan terkait)
Teori ini difokuskan pada orang yang dipersepsikan. Teori ini sendiri dikembangkan oleh
Edwards E. Jones dan Keith Davis (1965).Menurut teori ini, perilaku merupakan sumber
informasi yang kaya. Dengan demikian, apabila kita mengamati perilaku orang lain dengan
cermat, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan.
2. Casual analysis theory (Teori Analisis Kasual)
Teori ini merupakan teori atribusi yang lebih terkenal. Dasarnya adalah tetap
commonsense (akal sehat) dan berfokus pada atribusi internal dan eksternal. Teori ini
dikembangkan oleh Harold H. Kelley.
Teori Analisis Kasual menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk
menetapkan apakah suatu perilaku beratribusi internal atau eksternal.
a. Kosensus
Apakah susatu perilaku cenderung dilakukan oleh semua orang pada situasi yang
sama? Makin banyak yang melakukannnya, makin tinggi kosensus; makin sedikit yang
melakukannya, makin rendah kosensus.
b. Konsistensi
Apakah perilaku yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama dimasa
lalu dalam kondisi yang sama? Jika iya, berarti konsistensinya tinggi; jika tidak maka
konsistensinya rendah
c. Distingsi dan kekhasan
Apakah pelaku yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama di masa lalu dan
situasi yang berbeda –beda? Jika iya, maka distingsinya tinggi; kalau tidak, naka distingsinya
rendah.
Meurut Kelley, bila ketiga hal tersebut tinggi maka orang akan melakukan atribusi
kausalitas tinggi. Misalnya, ibu marah kepada tukan sayur keliling, begitu pula ibu – ibu lain
di kompleks (berarti kosensus tinggi).
1.4. Sumber Data
Data yang digunakan oleh penulis dalam membuat makalah ini adalah menggunakan
data sekunder dimana data di ambil dari hasil mengumpulkan data-data dari buku dan
browsing di internet.
1.5. Metode dan Teknik
Makalah ini menggunakan Metode Kajian Pustaka.
1.6. Sistematika Penulisan
Makalah ini bersis 3 bab. Bab I Pendahuluan yang berisi: Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Sumber Data, Metode dan Teknik,
Sistematika Penulisan.
Bab II Pembahasan yang berisi: Persepsi dan Atribusi, “Cina” dimata masyarakat,
Persepsi Masyarakat Terhadap Pemilhan Ahok
Bab III yang berisi: Simpulan dan Saran
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Persepsi sosial dan Atribusi
Dalam psikologi, persepsi secara umum merupakan proses perolehan, penafsiran,
pemilihan, dan pengaturan informasi indrawi. Persepsi sosial dapat diartikan sebagai proses
perolehan, penafsiran, pemilihan, dan pengaturan informasi indrawi tentang orang lain. Apa
yang diperoleh, ditafsirkan, dipilih, dan diatur adalah informasi indrawi dari lingkungan sosial
serta yang menjadi fokusnya adalah orang lain.
Isi dari persepsi bisa berupa apa saja. Atribut-atribut individual dapat mencakup
kepribadian, sifat-sifat, disposisi tingkah laku, karakteristik fisik, dan kemampuan menilai.
Atribut-atribut kelompok dapat mencakup properti-properti seperti ukuran, kelekatan, sifatsifat budaya, pola stratifikasi, pola-pola jaringan, legitimasi, dan unsur-unsur sejarah. Akan
tetapi, ruang lingkup persepsi sosial biasanya ditekankan pada sisi mikro, terarah kepada
penyimpulan individual berkaitan dengan karakteristiknya sendiri atau karakteristik individu
lain.
Lebih khusus lagi, dengan persepsi sosial kita berusaha
1. Mengetahui apa yang dipikirkan, dipercaya, dirasakan, diniatkan, dikehendaki, dan
didambakan orang lain;
2. Membaca apa yang ada di dalam diri orang lain berdasarkan ekspresi wajah,
tekanan suara, gerak-gerik tubuh, kata-kata, dan tingkah laku mereka;
3. Menyesuaikan tindakan sendiri dengan keberadaan orang lain berdasarkan
pengetahuan dan pembacaan terhadap orang tersebut.
PERSEPSI SOSIAL SEBAGAI PROSES
Persepsi sosial merupakan proses yang berlangsung pada diri kita untuk mengetahui
dan mengevaluasi orang lain. Dengan proses itu, kita memebentuk kesan tentang orang lain.
Kesan yang kita bentuk didasarkan pada informasi yang tersedia di lingkungan, sikap kita
terdahulu tentang rangsang-rangsang yang relevan, dan mood kita saat ini.
Proses persepsi sosial dimulai dari pengenalan terhadap tanda-tanda nonverbal atau
tingkah laku nonverbal ynag ditampilkan orang lain. Tanda-tanda nonverbal ini merupakan
informasi yang diajadikan bahan untuk mengenali dan mengerti orang lain secara lebih jauh.
Dari informasi-informasi nonverbal, kita membuat penyimpulan-penyimpulan tentang apa
kira-kira yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Kemudian, ungkapan-unkapan
verbal melengkapi penyimpulan-penyimpulan dari tanda-tanda nonverbal.
Dengan menggunakan informasi-informasi dari tingkah laku nonverbal dan verbal, kita
membentuk kesan-kesan tentang orang lain. Kita bisa mendapat kesan apakah orang lain yang
kita temui ramah, baik hati, judes, pelit, pemarah, pintar, dan sebagainya. Kesan-kesan itu
tidak kita kenali secara sendiri-sendiri, melainkan kita perbandinngkan satu sama lain untuk
mendapatkan kesan yang lebih menyeluruh tentang orang lain . Asch (1946) menunjukkan
bahwa orang melakukan persepsi terhadap sifat-sifat dalam hubungannya satu sama lain,
sehingga sifat-sifat itu dipahami sebagai bgian yang terintegrasi dengan kepribadian orang
yang memilikinya. Sekali kita membentuk kesan tentang orang lain, kita cenderung tidak suka
mengubahnya bahkan jika kita menemukan fakta yang bertentangan dengan kesan itu.
Pemebentukan kesan didasari oleh kegiatan atribusi. Dalam proses persepsi sosial,
atribusi amerupakan langkah awal dari pembentukan kesan. Istilah atribusi secara umum
merujuk pada proses menegenali penyebab dari tingkah laku orang lain dan sekaligus
memperoleh penegatahuan tentang sifat-sifat serta disposisi-disposisi yang menetap pada
orang lain (Heider, 1958; Jones & Davis, 1965; Kelley, 1972; Graham & Folkes, 1990; Read
& Miller, 1998).
Manusia memang tidak hanya melakukan tindakan persepsi terhadap objek. Tetapi
manusia juga melakukan proses persepsi mengenai orang atau orang – orang lain. Persepsi
tentang orang (person perception) kadang juga disebut persepsi social. Tujuannya adalah
untuk memahami orang dan orang – orang lain (Sarlito 1997).
Menurut Rahmat (2003) ada empat perbedaan anatara persepsi obyek dan persepsi tentang
orang (persepsi interpersonal):
1.
Persepsi obyek, stimuli dianggap sebagai panca indra melalui benda – benda fisik :
gelombang cahaya, gelombang suara, temperatur. Sedangkan persepsi tentang orang,
stimuli sampai kepada kita melalui lambang – lambang verbal atau grafis yang
disampaikan pada pihak ke tiga.
2.
Persepsi tentang orang jauh lebih sulit daripada persepsi objek. Pada persepsi objek,
kita hanya menaggapi sifat - sifat luar objek tersebut. Namun, pada persepsi tentang
orang, kita mencoba memahami apa yang tidak ditangkap oleh alat indra kita. Kita
coba memahami bukan saja perilaku orang, tetapi motiv atau mengapa orang
berperilaku.
3.
Persepsi obyek, obyek tidak bereaksi kepada kita. Kita tidak memberikan reaksi
emosional terhadap objek. Namun, ketika melakukan persepsi kepada orang lain,
berbagai factor telibat seperti faktor – faktor personal kita, karakteristik orang lain
yang dipersepsi maupun hubungan antara kita dengan orang tersebut.
4.
Objek relative tetap, tapi orang cenderung berubah –ubah.
Waber (1992) menyebut istilah inferensi sosial. Inferensi sosial berarti mengerti apa yang kita
pelajari tentang orang atau orang lain. Inferensi sosial kita umumnya datang dari empat
sumber. Yaitu:
1) Informasi sosial tentang oranglain: manusia adalah makhluk yang selalu
membutuhkan informasi tentang orang lain yang berada disekitar dirinya. Contohnya saja saat
anda menemui seseorang yang sedang lari dengan membawa buku. Pasti anda akan
menanyakan padanya, “kenapa anda terburu-buru? Ada masalah kah?”
2) Penampilan: apakah memang benar penampilan bisa dijadikan dasar dalam menilai
seseorang? Tidak bisa dipungkiri, penampilan fisik merupakan hal yang pertama kali
diperhatikan saat kita bertemu dan bertatap muka dengan seseorang. Penampilah fisik
seseorang kita juga bisa memperoleh data – data social yang penting tentang dirinya. Misalnya
saja, apa yang ada dalam pikiran anda saat melihat seorang laki – laki berpakaian rapih,
berkemeja licin yang dimasukan kedalam celananya? Pasti akan muncul pemikiran atau
penilaian bahwa laki-laki itu adalah seorang pejabat, orang sibuk, atau orang yang memang
selalu berada di lingkungan perusahaan.
3) Petunjuk nonverbal:
a.
Eksperi wajah, ekspresi wajah seseorang memegang peranan penting
dalam interaksi dengan sesama. Petunjuk wajah di anggap merupakan sumber
persepsi yang dapat di andalkan.
b.
Kontak mata, menunjukan seberapa intim kita dengan lawan bicara.
Saat interaksi dengan orang yang tidak kita kenal biasanya kita akan
menghindari kontak mata yang terlalu sering dengan mereka. Sebaliknya, kalau
sedang berinteraksi dengan orang yang amat kita senangi kontak mata akan
dilakukan sesering mungkin.
c.
Gerakan tubuh (gesture), yang kita lakukan memiliki makna atau arti
tersendiri. Gerakan di sini bisa berupa gerakan tangan, lengan, maupun kepala.
Beberapa gerakan memiliki arti tertentu. Misalnya, jari tangan( telunjuk dan
jari tengah) yang memiliki huruf V menunjukan tanda damai atau kemenangan
(victory).
d.
Suara, yang kita keluarkan bisa memberikan pengaruh besar dalam
menunjukan emosi dan perasaan.
e.
Tindakan, dalam membentuk persepsi interpersonal, manusia sering kali
memfokuskan diri atau memberi perhatian pada bagaimana cara seseorang
bertindak terhadap orang lain.
4)
implikasi tindakan – tindakan orang lain
Impression integration
Bagaimanakah mengintegerasikan berbagai kesan dan makna yang berbeda terhadap
seseorang? Ada beberapa strategi untuk mengintegrasikan kesan – kesan itu:
1.) Evaluasi
Keputusan yang paling penting yang kita buat tentang orang lain adalah apakah kita
menyukai atau tidak menyukainya. Melalui kebaikan dan keburukan seseorang ini
berarti suatu evaluasi yang kita berikan kepada orang lain.
2.) Averaging
Saat kesan terhadap seseorang itu bercampur (misalnya ada yang kita senangi, kita
benci, ada yang kita ragukan, dan lainnya), apakah satu sama lain bisa saling mengisi?
Penelitian menyebutkan bahwa kesan yangberlawanan bisa saling bersatu melalui proses
pukul rata (process of averaging). Secara spesifik, kualitas yang berbeda pada setiap
individu tidak hanya dievaluasi (dinilai mana yang baik dan mana yang buruk, positif
atau negatif), tetapi juga memberi bobot (mana yang lebih penting, dan mana yang
kurang penting).
3.) Consistency
Konsistensi berarti suatu kesan yang kita miliki tentang seseorang, menentukan kesan
lain yang kita peroleh tentang orang itu. Misalnya, apabila informasi awal yang kita
peroleh tentang seseorang kita nilai positif atau baik maka kesan berikutnya tentang
orang itu juga akan dinilai dengan baik secara konsisten. Halo effect adalah salah satu
kencenderungan prinsip konsistensi dalam pembentukan kesan.
4.) Positivity
Beberapa penilitian menunjukkan, manusia cenderung untuk melihat orang lain dalam
hal yang positif. Bias positif ini merupakan perpanjangan dari keinginan manusia untuk
memperoleh pengalaman yang selalu baik.
Atribusi
Untuk mempermudah penjelasan tentang atribusi, marilah kita simak contoh kasus
berikut: Bayangkan diri anda suatu waktu baru saja pulang dari berbelanja kebutuhan sehari –
hari di supermarket dekat rumah. Saat itu, anda sedang berjalan sendirian menuju rumah
dengan tangan yang penuh dengan kantong belanjaan. Tiba – tiba saja dari arah berlawanan,
anda di kejutkan dengan sepeda motor yang datang dengan kecepatan tinggi. Sepeda motor itu
semakin mendekati anda dan hampir menabrak anda. Dengan kedua tangan yang penuh, anda
tidak bisa menjaga keseimbangan dan akhirnya terjatuh. Bahkan salah satu kantong belanja
anda terjatuh dan isinya berhamburan dijalan. Saat itu, secara reflex, anda bisa saja marah lalu
mengejar sepeda motor itu. Tetapi hal itu tidak mungkin karena anda sedang berjalan kaki dan
anda juga harus membereskan barang – barang belanjaan anda. Hal yang mungkin anda
lakukan adalah menggerutu. Andapun berfikir kenapa pengendara itu melakukan hal tersebut.
Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain
dengan melihat pada perilaku yang tampak (Baron dan Byrne, 1979)
Mengapa manusia melakukan atribusi?
Menurut Myers (1996) kecenderungan memberikan atribusi disebabkan oleh
kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (ada sifat ilmuan dalam manusia),
temasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain.
Fritz Heider yang terkenal sebagai tokoh psikologi atribusi, dasar untuk mencari
penjelasan mengenai perilaku orang adalah akal sehat.
TEORI-TEORI ATRIBUSI
1. Correspondent infrence theory (teori penyimpulan terkait)
Teori ini difokuskan pada orang yang dipersepsikan. Teori ini sendiri dikembangkan
oleh Edwards E. Jones dan Keith Davis (1965).Menurut teori ini, perilaku
merupakan sumber informasi yang kaya. Dengan demikian, apabila kita mengamati
perilaku orang lain dengan cermat, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan.
2. Casual analysis theory (Teori Analisis Kasual)
Teori ini merupakan teori atribusi yang lebih terkenal. Dasarnya adalah tetap
commonsense (akal sehat) dan berfokus pada atribusi internal dan eksternal. Teori ini
dikembangkan oleh Harold H. Kelley.
Teori Analisis Kasual menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan
apakah suatu perilaku beratribusi internal atau eksternal.
BIAS – BIAS DALAM ATRIBUSI (ATTRUTIONAL BIASES)
Dalam menganalisis suatu perilaku tertentu, kita tentunya menemukan beberapa bias
atau kesalahan sebagai bentuk lain dari kognisi social. Ada dua jenis bias dalam atribusi:
1. Bias Kognitif (Cognitive Biases)
Disini disebutkan bahwa atribusi merupakan suatu proses yang rasional dan logis. Teori
atribusi menjelaskan bahwa manusia mengolah informasi dengan cara yang rasional.
a. Salience
Hal ini membuat kita melihat stimuli sebagai hal yang paling berpengaruh dalam membentuk
persepsi. Sesuatu yang bergerak, berwarna atau baru atau apapun yang sering bergerak akan
mendapatkan perhatian yang lebih dari pada yang diam atau stabil.
b. Memberikan atribusi lebih pada disposisi (overattributing to dispositions)
Salah satu konsekuensi dari bias ini adalah kita lebih sering menjelaskan perilaku seseorang
melalui disposisinya. Disposisi itu kemudian dianggap sebagai kepribadian dan perilakunya
secara umum, sementara situasi disekitarnya tidak bisa kita perhatikan.
c. Pelaku vs Pengamat
Salah saut hal yang menarik dalam kesalahan atribusi yang mendasar adalah hal itu biasanya
terletak pada pengamat dan bukan pelakunya. Para pelaku biasanya justru sering terlalu
menekankan pada peran factor eksternal.
2. Bias Motivasi (Motivational Biases)
Bias ini muncul dari usaha yang dilakukan manusia untuk memenuhi kepentingan dan
motivasi mereka. Seperti dijelaskan sebelumnya, bias kognitif timbul dari anggapan bahwa
seolah – olah manusia hanya memiliki satu kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk memperoleh
pemahaman yang jelas dan menyeluruh tentang lingkungannya. Sementara dalam
kenyataannya, manusia memiliki kebutuhan lain, seperti kasih saying, percaya diri, harga diri,
kebutuhan materi, yang sering kali tidak diindahkan.
ATRIBUSI TENTANG DIRI (SELF)
Banyak pembahasan mengenai atribusi adalah atribusi tentang orang lain. Padahal,
manusia juga melakukan atribusi terhadap diri sendiri.
Salah satu hal yang menarik dalam teori atribusi adalah orang memiliki persepsi
berdasarkan kondisi internalnya sendiri, sama seperti saat mereka memiliki persepsi tentang
kondisi orang lain. Sama seperti atribusi tentang orang lain, dalam atribusi tentang diri sendiri
kita juga mencari sebab – akibat suatu tindakan yang kita lakukan.
Pendekatan ini memberikan pemahaman tentang persepsi diri mengenai sikap,
motivasi, dan emosi.
1. Sikap
Telah banyak penelitian yang menunjukan bahwa seseorang memiliki sikap sendiri melalui
introspeksi, dengan melihat kembali berbagai pemikiran dan perasaannya secara sadar.
2. Motivasi
Dalam elemen ini, manusia cenderung mau melakukan sesuatu untuk ganjaran atau imbalan
yang tinggi. Ini berarti manusia memiliki atribusi eksternal dalam melakukan suatu hal “saya
mau melakukannya karena saya dibayar tinggi untuk itu” sementara melakukan hal yang sama
dengan imbalan yang sedikit atau lebih rendah akan membuat manusia memiliki atribusi
internal.
3. Emosi
Para peneliti mengatakan bahwa pada dasarnya manusia mengenal apa yang didasarkan
dengan cara mempertimbangkan atau memahami keadaan psikologi, mental, dan berbagai
dorongan eksternal yang menyebabkan hal itu terjadi. Stanly Schacter (1962) pernah
melakukan penelitian tentang persepsi diri dengan pendekatan emosional.
2.2 Pandangan masyarakat terhadap “Cina”
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, dikatakan bahwa istilah Cina berasal dari
nama dinasti Chin (abad ketiga sebelum Masehi) yang berkuasa di Cina selama lebih dari dua
ribu tahun sampai pada tahun 1913.
Bencana banjir, kelaparan, dan peperangan memaksa orang-orang bangsa Chin ini
merantau ke seluruh dunia. Kira-kira pada abad ke tujuh orang-orang ini mulai masuk ke
Indonesia. Pada abad ke sebelas, ratusan ribu bangsa Chin mulai berdiam di kawasan
Indonesia, terutama di pesisir timur Sumatra dan di Kalimantan Barat. Bangsa Chin yang
merantau dari Cina ini di Indonesia lalu disebut dengan Cina perantauan. Orang-orang Cina
perantauan ini mudah bergaul dengan penduduk lokal sehingga mereka bisa diterima dengan
baik.
Para perantau yang membawa keluarga mereka kemudian membentuk perkampungan
yang disebut dengan "Kampung Cina." Di kota-kota dimana terdapat banyak orang Cina
bertempat tinggal, kampung ini lalu disebut dengan Pecinan. Orang-orang yang tinggal di
Pecinan ini banyak yang menjadi pedagang.
Ketika bangsa barat, terutama Belanda dengan perusahaan dagangnya (VOC)
memasuki Indonesia dan memonopoli perdagangan di Indonesia, para pedagang dari negeri
Chin yang sudah menguasai perdagangan selama beratus-ratus tahun ini bentrok dengan
mereka. Akibatnya, VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi
berupa hak-hak istimewa kepada bangsa perantau dari Cina ini. Salah satunya adalah mereka
dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap mempunyai kedudukan setingkat
lebih tinggi daripada warga penduduk asli.
Status istimewa ini mengakibatkan warga asli atau penduduk pribumi menjadi tidak
suka kepada Cina perantauan ini. Bukan hanya itu, tetapi kolaborasi mereka dengan penjajah
Belanda dan praktek dagang yang bercorak koneksi dan kolusi yang merugikan masyarakat
pribumi serta perilaku mereka sebagai pemadat dan penjudi membuat orang-orang Cina
perantauan ini semakin tidak disukai. Akibatnya, istilah "Cina" menjadi stigma yang
berkonotasi jelek yang berpengaruh terhadap semua orang Cina perantauan.
Akibat dari stigmatisasi istilah "Cina" itu, banyak orang Cina di Indonesia
menggunakan nama lain yaitu Tiongkok yang berasal dari kata "Chung Kuo." Pada tahun
1901 mereka mendirikan sebuah organisasi yang bernama Tiong Hoa Hwee Kwan. Lalu pada
tahun 1939 mereka mendirikan Partai Tionghoa Indonesia. Sejak itulah istilah Tionghoa
digunakan sebagai padanan dari Cina.
Pada jaman Orde Lama, banyak warga keturunan Cina yang dikatakan sebagai
pendukung aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada waktu itu pula hubungan antara
Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros JakartaPeking. Setelah meletusnya Gerakan 30 September/PKI, rezim Orde Baru melarang segala
sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina
tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14
tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang
kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia
diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat
keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping Inpres No.14
tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang
perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus
mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong
menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan
ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak
hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi
Intelijen (Bakin).
Setelah rezim Orde Baru tumbang, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres
No.14 tahun 1967. Setelah itu masyarakat keturunan Cina bisa menikmati udara bebas untuk
merayakan tahun baru Imlek, melakukan atraksi barongsai, liong-liong, dan melakukan
berbagai upacara dan perayaan lainnya. Tetapi, surat-surat keputusan lainnya belum dicabut
sehingga masyarakat keturunan Cina masih merasakan belenggu diskriminasi. Dalam
kehidupan sehari-hari mereka masih mendapatkan perlakuan khusus, misalnya kalau melamar
untuk mendapatkan paspor mereka harus menyertakan surat kewarganegaraan.
2.3 Dampak persepsi masyarakat terhadap pemilhan Ahok
19 Juli 2012, KPUD Jakarta mengumumkan hasil Pemilukada tanggal 11 Juli 2012
yang lalu. Hasilnya sebagai berikut:
Jokowi – Ahok 42,6 %
Foke – Nara 34,05 %
Hidayat – Didik 11,7 %
Faisal – Biem 4,9 %
Alex – Nono 4,67 %
Herdardji – Riza 1,97
Tampilnya pasangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama atau Jokowi – Ahok
sebagai peraih suara paling tinggi cukup mengejutkan bagi penduduk jakarta, karena surveisurvei yang dilakukan sebelum hari pemilihan hanya menempatkan pasangan kotak-kotak itu
pada posisi kedua.
Padahal, Calon Wakil Gubernur yang diusung PDI Perjuangan dan Gerinda itu
beragama Kristen Protestan. Hasil ini menunjukkan, agama Calon Gubernur dan Wakil
Gubernur tidak terlalu menjadi persoalan bagi warga Jakarta yang mayoritas Muslim. Mereka
sama sekali tak menghiraukan fatwa atau pendapat yang mengharamkan memilih Non-Muslim
sebagai pemimpin.
Memang sudah seharusnya pemilih Jakarta menunjukkan kelasnya sebagai warga
Ibukota yang cerdas, rasional dan tidak emosional, yang menyadari isu agama itu
dimunculkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, untuk kepentingan politik
sesaat.
Menurut kami, memilih pemimpin harus didasarkan kepada kemampuan calon, bukan
apa agama calon dan rasnya. Sebab, soal agama adalah urusan pribadi antara seorang hamba
dengan Tuhannya. Apakah Calon rajin sembahyang atau tidak, tekun puasa Ramadhan atau
tidak, dan selalu membayar zakat atau tidak, itu semua bukan urusan rakyat untuk
mengetahuinya. Ras seorang manusia juga tidaklah bisa manusia yang tentukan. Jadi ras
adalah sesuatu yang harus kita terima tanpa seharusnya menjadi masalah.
Yang perlu dipertimbangkan saat memilih pemimpin adalah sejauh mana kemampuan
pemimpin untuk menghadirkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena itu, yang harus
dipilih adalah pemimpin yang adil sehingga kepemimpinannya membawa kemaslahatan
(kemanfaatan) bagi rakyat yang dipimpinnya.
Sosok Ahok di mata masyarakat
Ada seorang ulama di Belitung Timur, kampung halaman Ahok, yang mengatakan,
“Pada diri Ahok ditemukan sifat-sifat kenabian, yaitu Shidiq (jujur), Amanah (dapat
dipercaya), Tabligh (mampu berkomunikasi) dan Fathonah (cerdas).”
Berdasarkan rekam jejak yang dipublikasikan, selama memimpin Belitung Timur,
Ahok terkenal sebagai sosok pemimpin yang profesional, jujur, bersih, transparan dan
merakyat. Sifat-sifat itu sesuai dengan ajaran Islam.
Ahok tak menjaga jarak antara dirinya dengan rakyat. Ia biasa keliling kampung untuk
mengetahui persoalan rakyatnya. Ahok juga tidak pernah memanfaatkan fasilitas publik untuk
kepentingan pribadi. Justru yang terjadi, Ahok memotong uang perjalanan dinasnya untuk
membantu rakyatnya yang miskin.
Perilaku Ahok itu jarang ditemukan pada pemimpin-pemimpin saat ini. Tidak sedikit
Gubernur dan Bupati/Walikota yang mendekam di penjara karena terlibat kasus korupsi
penggunaan APBD. Tapi tidak termasuk Ahok. Ia sadar bahwa APBD adalah uang rakyat
yang harus dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Maka, uang itu haram dimanfaatkan untuk
urusan pribadi, seperti untuk memperkaya diri sendiri atau untuk mendanai kampanye
pemenangan dalam Pemilukada.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Ras dan agama seseorang tidak cukup membuat kita untuk dapat membuat persepsi
ataupun atribusi kita terhadap sesorang. Ini dapat kita pelajari dari Wakil Gubernur
Jakarta, Ahok.
3.2 Saran
Don’t judge a book by its cover. Kita sering sekali mendengar kalimat tersebut sampai
kita lupa kalau sebenarnya itu yang sering kita lakukan terhadap orang lain. Saran dari penulis
adalah mari kita sama-sama belajar untuk tidak menilai seseorang hanya dari penampilan atau
dari apa yang kita pikirkan karena mungkin saja orang tersebut tidak sesuai dengan persepsi
yang telah kita ciptakan.
Download