BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Kinerja Keuangan
Salah satu cara untuk menilai keberhasilan akuisisi adalah dengan
melihat kinerja perusahaan pasca akuisisi terutama kinerja keuangan. Untuk
menentukan keberhasilan akuisisi, harus dipastikan apakah ada keuntungan
finansial dari aktivitas akuisisi tersebut (Azhagiah and Kumar, 2011). Kinerja
keuangan merupakan cerminan dari prestasi manajemen keuangan dalam
mencapai tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan
nilai perusahaan. Analisis kinerja keuangan dalam penelitian ini bertujuan untuk
menilai implementasi dari strategi akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional.
Pengukuran kinerja didefinisikan sebagai kualifikasi dan efisiensi
perusahaan atau keefektifan perusahaan
dalam pengoperasian bisnis selama
periode akuntansi tertentu. Dengan demikian pengertian kinerja adalah suatu
usaha yang dilakukan perusahaan untuk mengevaluasi tingkat efisiensi dan
efektivitas dari aktivitas perusahaan yang telah dilaksanakan pada periode waktu
tertentu.
Menurut Kumar and Bansal (2008) kinerja dapat diukur atas dasar
jangka panjang dan jangka waktu jangka pendek. Kinerja jangka panjang dapat
dihitung atas dasar profitabilitas perusahaan. Untuk melihat sinergi dan
kapitalisasi akuisisi dalam jangka panjang dapat menggunakan analisis
fundamental dengan bantuan analisis rasio. Menurut Harvey (2015) dengan
menggunakan langkah-langkah akuntansi untuk menghitung perspektif jangka
panjang dari kinerja akuisisi dapat memperlihatkan kinerja akuntansi yang
sebenarnya, yaitu terdiri dari perbandingan ukuran kinerja akuntansi pra-akuisisi
dan pasca-akuisisi.
Posisi perusahaan pada beberapa periode lalu tercermin dalam laporan
keuangan. Laporan tersebut dapat digunakan untuk membantu meramalkan laba
dimasa depan. Pihak yang memerlukan informasi keuangan perusahaan bukan
hanya manajer keuangan (pihak intern perusahaan) saja, tetapi beberapa pihak luar
perusahaan juga perlu informasi keuangan tersebut. Pihak-pihak tersebut
diantaranya adalah para calon pemodal (pembeli saham) dan kreditur (Husnan dan
Pudjiastuti, 2012:61). Calon pemodal biasanya akan lebih berkepentingan dengan
aspek profitabilitas perusahaan, ketika suatu perusahaan memiliki profitabilitas
yang tinggi maka calon pemodal akan bersedia untuk menanamkan modalnya di
perusahaan tersebut. Sedangkan bagi para kreditur disamping memperhatikan
faktor keuntungan perusahaan, mereka juga akan berkepentingan dengan
kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban finansialnya dan proporsi hutang
perusahaan tersebut, ketika suatu perusahaan dinilai mampu memenuhi kewajiban
finansialnya maka kreditur akan percaya pada perusahaan tersebut untuk
meminjamkan dananya. Oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk menilai
kinerja keuangan perusahaan dari berbagai aspek.
Jika ingin mengevaluasi kondisi dan kinerja keuangan suatu perusahaan
perlu dilakukan pemeriksaan atas berbagai aspek kesehatan keuangan perusahaan,
alat yang sering digunakan adalah rasio keuangan (VanHorne and Wachowicz,
2012:163). Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan
sebelum dan sesudah akuisisi dapat dilakukan dengan membandingkan rasio-rasio
keuangan sebelum dan sesudah akuisisi. Analisis rasio keuangan merupakan
metode yang umum digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dibidang
keuangan. Menurut Wiagustini (2014:84), rasio keuangan merupakan analisis
kinerja keuangan yang menghubungkan antara satu pos dengan pos lainnya baik
dalam neraca atau rugi laba maupun kombinasi dari kedua laporan tersebut.
Dengan menggunakan analisis rasio yang berdasarkan data dari laporan keuangan,
maka akan dapat diketahui hasil yang telah di capai perusahaan, dapat mengetahui
kelemahan-kelemahan yang dimiliki perusahaan dari segi keuangan, serta hasilhasil yang di anggap cukup baik. Pimpinan perusahaan atau manajemen sangat
berkepentingan terhadap hasil analisis laporan keuangan tersebut, karena hasil
analisis tersebut akan dapat dijadikan sebagai alat dalam pengambilan keputusan
lebih lanjut. Kelemahan-kelemahan yang dimiliki perusahaan harus diperbaiki
untuk menyusun rencana tahun berikutnya, dan untuk hasil yang dianggap sudah
cukup baik harus dipertahankan dan ditingkatkan lagi untuk waktu mendatang.
Wiagustini (2014:85) menyatakan bahwa kondisi keuangan dapat dilihat
melalui berbagai aspek, yaitu aspek likuiditas, aspek solvabilitas/leverage, aspek
profitabilitas/reantibilitas, aspek aktivitas usaha, dan aspek penilaian pasar.
2.1.1.1 Rasio Likuiditas
Menurut Wiagustini (2014:85) likuiditas merupakan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya dalam jangka pendek dengan
aktiva lancar yang tersedia. Agar perusahaan selalu likuid, maka sebaiknya posisi
dana lancar lebih besar dibandingkan utang lancar. Perusahaan yang tidak likuid
mencerminkan bahwa perusahaan tersebut tidak sehat, sehingga perlu mengatur,
menjaga, dan memelihara likuiditas untuk menjaga kredibilitas pada kreditur agar
tetap dipercaya oleh kreditur.
Rasio likuiditas mengukur kemampuan suatu perusahaan untuk melunasi
hutang-hutang jangka pendek yang segara jatuh tempo. Hamidah dan Noviani
(2013) menyatakan bahwa rasio likuiditas memberikan informasi yang sangat
berguna bagi perusahaan pengakuisisi ketika menilai perusahaan target akuisisi,
yaitu seberapa besar tingkat likuiditas pasca akuisisi. Jika sesudah akusisi
perusahaan memerlukan dana yang likuid, maka perusahaan akan relatif lebih
aman jika memiliki rasio likuiditas yang tinggi. Dengan akuisisi maka semestinya
kemampuan perusahaan untuk memenuhi hutang jangka pendek (current ratio)
akan meningkat.
Menurut Wiagustini (2014:87) aspek likuiditas dapat diukur dengan
Current Ratio, Quick Ratio, Cash Ratio, Net Working Capital to Sales dan
Current Assets to Sales. Penelitian ini menggunakan Current Ratio (CR) untuk
membandingkan kondisi likuiditas perusahaan sebelum dan sesudah akuisisi,
karena
perbandingan
aktiva
lancar
dengan
hutang
lancarnya
(CR)
mengindikasikan likuiditas perusahaan. Menurut Adipratama (2012) dengan
melakukan akuisisi maka semestinya kemampuan perusahaan untuk memenuhi
hutang jangka pendek akan meningkat.
2.1.1.2 Rasio Profitabilitas/Rentabilitas
Menurut Wiagustini (2014:86) rasio profitabilitas/rentabilitas merupakan
rasio yang menunjukan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba atau
ukuran seberapa efektif perusahaan dalam mengelola manajemen perusahaan.
Hamidah dan Noviani (2013) menyatakan rasio profitabilitas adalah kemampuan
perusahaan untuk memperoleh laba dari penjualannya. Jika terjadi sinergi yang
baik maka secara umum tingkat profitabilitas perusahaan akan lebih baik dari
sebelum melakukan akuisisi. Dimana return atas aset (return on assets) juga akan
meningkat.
Menurut Wiagustini (2014:90) aspek profitabilitas dapat diukur dengan
Net Profit Margin, Return on Investment/Return on Total Assets/Earning Power
dan Return on Equity atau Return on Net Worth. Penelitian ini menggunakan Net
Profit Margin (NPM), Return on Investment (ROI), dan Return on Equity (ROE)
untuk membandingkan tingkat profitabilitas perusahaan sebelum dan sesudah
akuisisi. Menurut Adipratama (2012) secara umum tingkat profitabilitas
perusahaan semestinya akan lebih baik pasca akuisisi, maka margin pendapat
bersih (NPM), penghasilan laba dari total aktiva yang digunakan (ROI), serta
ekuitas (ROE) juga akan meningkat.
2.1.1.3 Rasio Solvabilitas / Leverage
Rasio solvabilitas/leverage merupakan rasio yang yang mengukur
seberapa besar perusahaan dibiayai dengan hutang. Menurut Wiagustini (2014:85)
leverage/solvabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
finansial jangka pendek maupun jangka panjangnya atau mengukur sejauh mana
perusahaan dibiayai oleh hutang. Perusahaan yang memiliki rasio leverage yang
rendah menghadapi risiko kerugian yang lebih kecil tetapi memiliki return yang
rendah
saat
perekonomian
yang tinggi
karena
kehilangan
kesempatan
mendapatkan keuntungan, begitu sebaliknya perusahaan yang memiliki rasio
leverage yang tinggi menghadapi risiko kerugian yang lebih besar tetapi
kesempatan dalam mendapatkan keuntungan juga tinggi.
Rasio manajemen hutang merupakan tingkat jumlah hutang terhadap
seluruh kekayaan perusahaan. Jika aktifitas akuisisi menghasilkan sinergi maka
secara umum kesertaan modal mereka akan cukup baik sehingga meminimalisir
penggunaan hutang dan mengurangi beban aset untuk menjamin hutang tersebut
(debt ratio) (Hamidah dan Noviani, 2013).
Menurut Wiagustini (2014:88) aspek solvabilitas dapat diukur dengan
Total Debt to Total Assets, Long Term Debt to Equity, Times Interest Earned dan
Fixed Charged Coverage. Penelitian ini menggunakan Debt to Equity Ratio
(DER) dan Debt to Total Assets (DAR) untuk membandingkan tingkat solvabilitas
perusahaan sebelum dan sesudah akuisisi. Menurut Adipratama (2012) secara
umum pasca akuisisi kesertaan modal perusahaan akan cukup baik untuk
melakukan usahanya sehingga tingkat penggunaan hutang atas ekuitas perusahaan
(DER) dan penggunaan hutang untuk mendanai aktiva perusahaan (DAR) dapat
diminimalisir.
2.1.1.4 Rasio Aktivitas Usaha
Wiagustini (2014:86) menyatakan bahwa aktivitas usaha adalah
kemampuan perusahaan dalam menjaga stabilitas usahanya agar bisa bertahan dan
berkembang, atau mengukur seberapa efektif perusahaan memanfaatkan
sumberdayanya. Menurut Adipratama (2012) rasio aktivitas usaha mengukur
seberapa efisien dan efektif manajemen perusahaan dalam mengelola aktivanya.
Hamidah dan Noviani (2013) menyatakan bahwa dengan strategi akuisisi maka
perusahaan dapat meningkatkan efektifitas perusahaan sehingga aset yang dimiliki
oleh perusahaan dapat digunakan secara efisien untuk meningkatkan penjualan
perusahaan (total assets turnover).
Menurut Wiagustini (2014:89) aspek aktivitas usaha dapat diukur
dengan Inventory Turnover atau Day’s Inventory, Receivable Turn Over, Fixed
Assets Turnover dan Total Assets Turnover. Penelitian ini menggunakan Total
Asset Turnover Ratio (TATO) dan Fixed Asset Turnover Ratio (FATO) untuk
membandingkan tingkat aktivitas perusahaan sebelum dan sesudah akuisisi.
Menurut Adipratama (2012) TATO adalah salah satu rasio yang dapat digunakan
untuk mengukur sejauh mana kemampuan dana yang tertanam dalam seluruh
aktiva perusahaan yang berputar dalam suatu periode tertentu. FATO juga dapat
digunakan untuk mengukur seberapa efektif penjualan yang dilakukan
berdasarkan aktiva tetap perusahaan.
2.1.2 Pengertian Akuisisi
Pada umumnya, akuisisi dapat diartikan sebagai pengambilalihan suatu
perusahaan yang mengakibatkan perusahaan yang diakuisisi dikendalikan oleh
perusahaan pengakuisisi dengan catatan perusahaan yang dibeli tersebut tetap
berdiri dan beroperasi. Berbeda dengan merger yaitu penggabungan dua
perusahaan menjadi perusahaan baru, yang artinya perusahaan yang diambilalih
tidak beroperasi dan berdiri lagi secara hukum.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 mengenai
Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, mendefinisikan akuisisi sebagai perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengambil alih saham badan usaha yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian atas badan usaha tersebut. Dalam pasal 1
ayat 11 UUPT pengambilalihan didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang
dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih
saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseeroan
tersebut.
Menurut Harvey (2015) Akuisisi terjadi ketika satu entitas membeli
entitas lain. Akuisisi menurut Foster (dalam Novaliza dan Djajanti, 2013) adalah
pembelian seluruh atau sebagian besar kepemilikan baik dalam bentuk saham
ataupun aktiva oleh perusahaan lain. Akuisisi saham dilakukan dengan cara
mengambilalih atau membeli seluruh atau sebagian besar saham yang telah
dikeluarkan oleh perusahaan yang diakuisisi dengan menggunakan kas, saham
atau sekuritas lain. Sartono (2014:366) menyatakan bahwa melalui akuisisi
perusahaan mengambil alih perusahaan lain yang kemudian dijadikan anak
perusahaan atau digabungkan menjadi satu. Akuisisi dapat dilakukan terhadap
anak perusahaan yang semula sudah go public dan disebut dengan akuisisi
internal, atau akuisisi terhadap perusahaan lain dan disebut dengan akuisisi
eksternal.
2.1.3 Manfaat Akuisisi
Hariyani dan Yustisia (2011:9) menyatakan bahwa akuisisi memiliki
manfaat sebagai berikut :
1) Mendapatkan cashflow dengan cepat, karena produk dan pasar sudah jelas.
2) Mendapatkan kemudahan pembiayaan, karena kreditur lebih percaya dengan
perusahaan yang telah mapan.
3) Memperoleh karyawan yang sudah berpengalaman.
4) Memperoleh pelanggan tanpa harus merintis dari awal untuk mendapatkan
pelanggan.
5) Memperoleh sistem operasional dan administratif yang sudah mapan.
6) Mengurangi risiko kegagalan bisnis, karena tidak harus mencari konsumen
baru.
7) Menghemat waktu untuk memasuki bisnis baru.
8) Mendapatkan
infrastruktur
yang
mapan
sehingga
pertumbuhan yang lebih cepat.
9) Akuisisi merupakan investasi yang menguntungkan.
10) Memperoleh kendali atas perusahaan lain.
dapat
mencapai
11) Menguasai pasokan bahan baku dan bahan penolong.
12) Melakukan diversivikasi usaha.
13) Memperbesar ukuran perusahaan.
14) Memperkecil tingkat persaingan usaha.
15) Memperoleh teknologi baru milik perusahaan lain.
2.1.4 Kelemahan Akuisisi
Hariyani dan Yustisia (2011:10) menyatakan bahwa akuisisi memiliki
kelemahan sebagai berikut :
1) Proses integrasi yang tidak mudah
2) Kesulitan dalam menentukan nilai perusahaan target secara akurat
3) Biaya konsultan yang mahal
4) Meningkatnya kompleksitas birokrasi
5) Biaya koordinasi yang mahal
6) Tidak menjamin peningkatan nilai perusahaan
7) Tidak menjamin kemakmuran pemegang saham
2.1.5 Jenis-jenis Akuisisi
Menurut Wiagustini (2014:319) berdasarkan atas cara perluasan yang
dilakukan merger dan akuisisi meliputi empat jenis, yaitu :
1) Horisontal : penggabungan perusahaan lain dalam jenis bisnis yang sama.
Misalnya, ketika dua bank komersial terlibat dalam akuisisi, bank dapat
memperoleh
keuntungan dari memiliki cabang yang lebih besar dan
Automatic Teller Machine system (ATM) (Dao, 2010).
2) Vertikal : penggabungan perusahaan yang memiliki kaitan antara input dan
output. Menurut Dao (2010) perusahaan dapat terlibat dalam akuisisi vertikal
jika perusahaan target akuisisi dengan perusahaan pengakuisisi menyediakan
barang dan jasa pada berbagai tahap rantai nilai tunggal, sehingga kegiatan
berturut-turut dalam rantai nilai yang dilakukan oleh perusahaan yang berbeda
tersebut dapat memberikan keuntungan operasional.
3) Congeneric : penggabungan perusahaan yang masih dalam industri yang sama
tetapi memproduksi produk yang berbeda dan tidak memiliki keterkaitan
supplier.
4) Conglemerate : penggabungan perusahaan dari industri yang berbeda.
Wiagustini (2014:319) juga membagi merger dan akuisisi berdasarkan
jenis penggabungannya, yaitu meliputi:
1) Akuisisi saham.
Akuisisi ini terjadi apabila perusahaan pengakuisisi membeli sebagian
besar saham perusahaan yang menjadi target akuisisi. Akusisisi saham dapat
dilakukan dengan cara bersahabat (friendly) dan tidak bersahabat (hostile).
Friendly Merger terjadi apabila manajemen kedua perusahaan berunding
bersama dan hasil perundingan tersebut diusulkan ke pemilik perusahaan.
Perundingan yang dilakukan menyangkut harga wajar dari saham tersebut,
pembayaran akuisisi dan sebagainya. Hostile Takeover terjadi apabila manajemen
perusahaan target
akuisisi
(acquired company) tidak dilibatkan dalam
perundingan, tetapi perusahaan pengakuisisi (acquiring company) langsung
menawarkan persyaratan-persyaratan yang menarik kepada pemegang saham
acquired company.
Berikut adalah gambar yang menunjukan perubahan kepemilikan saham
perusahaan jika perusahaan melakukan akuisisi saham :
Gambar 2.1 Bagan Akuisisi Saham
Sebelum Akuisisi
Perusahaan A
Setelah Perusahaan A Akuisisi
Perusahaan B
Perusahaan A
Pemegang Saham:
-
Pemegang Saham:
Edi
Elsi
Erna
- Edi
- Elsi
- Erna
Pemegang Saham:
-
Pemegang Saham:
Rosa
Rosi
Romi
- Perusahaan A
Perusahaan B
Perusahaan B
Sumber : www.sahamok.com
2) Akuisisi aset.
Akuisisi aset terjadi apabila perusahaan pengakuisisi membeli sebagian
atau seluruh aset perusahaan target akuisisi. Diperlukan persetujuan formal dari
pemegang saham perusahaan target akuisisi. Bentuk ini akan menghindarkan
kemungkinan perusahaan menjadi pemegang saham minoritas.
2.1.6 Motif Akuisisi
Alasan perusahaan melakukan akuisisi biasanya adalah karena
perusahaan mampu mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan harus
membangun unit usaha sendiri. Tetapi disamping itu, alasan yang paling
mendasari adalah motif ekonomi. Transaksi akuisisi akan terjadi apabila transaksi
tersebut akan menguntungkan pihak pengakuisisi dan pihak target akuisisi.
Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2012:395) alasan utama perusahaan
melakukan akuisisi yaitu adanya motif ekonomi. Jika perusahaan akan membeli
perusahaan lain, maka pembelian tersebut hanya dapat dibenarkan apabila
pembelian tersebut menguntungkan. Menurut Wiagustini (2014:317) kondisi
saling menguntungkan tersebut akan terjadi apabila peristiwa akuisisi tersebut
memperoleh synergy. Synergy berarti bahwa nilai gabungan dari kedua
perusahaan tersebut lebih besar dibandingkan penjumlahan nilai perusahaan pada
saat belum digabungkan.
Menurut Branco and Dusan (2013) semua akuisisi didorong oleh motif
sinergi. Sinergi dapat dicapai melalui operasi dan sinergi keuangan. Sinergi
operasi bertujuan mengurangi biaya operasional dan peningkatan pendapatan, dan
sinergi keuangan bertujuan biaya pengurangan modal. Wiagustini (2010:282)
menyatakan bahwa synergy dapat berwujud operating maupun financial synergy.
Operating synergy muncul karena kombinasi dari beberapa operasi sehingga dapat
menekan biaya dan menaikan penghasilan. Operating synergy muncul dari
perusahaan yang melakukan akuisisi horizontal sehingga dapat menekan biaya
rata-rata karena biaya tetap persatuan menurun, atau melakukan diversivikasi ke
sektor yang masih berkaitan. Sedangkan financial synergy berasal dari
penghematan sumber pendanaan. Ketika perusahaan memiliki ukuran yang
semakin besar maka kemungkinan akan semakin mudah mengakses sumbersumber dana. Perusahaan yang memliki struktur permodalan kuat dan size yang
besar akan diberi kepercayaan oleh publik. Kondisi tersebut akan memberikan
dampak positif bagi perusahaan karena semakin meningkatnya kepercayaan pihak
lain seperti lembaga-lembaga keuangan, akan membuat mereka bersedia
meminjamkan dana. Perusahaan yang memiliki kepercayaan publik seperti itu
akan memiliki risiko kebangkrutan yang lebih kecil dibandingkan dengan
perusahaan yang tidak memiliki kepercayaan publik.
Selain alasan-alasan yang diharapkan dapat menimbulkan synergy,
kadang-kadang akuisisi juga dilakukan dengan alasan diversifikasi, meningkatkan
pertumbuhan dan meningkatkan jumlah earning per share (EPS) (Wiagustini,
2014:318). Menurut Putri (2013) alasan perusahaan memilih strategi akuisisi
selain karena akuisisi dipandang sebagai cara tercepat dalam memperluass usaha
dan faktor sinergi, akuisisi juga memberikan lebih banyak keuntungan seperti
meningkatnya kemampuan pemasaran, penelitian, keterampilan manajerial,
transfer teknologi, dan efisiensi biaya produksi. Sedangkan Habib and Liu (2014)
mengatakan bahwa perusahaan saat ini akan melakukan akuisisi atau merger
dengan perusahaan lain untuk meningkatkan teknologi dan aset tidak berwujud
mereka.
2.1.7 Faktor Pemicu Keberhasilan Akuisisi
Hariyani dan Yustisia (2011:11) menyatakan bahwa terdapat faktorfaktor yang dapat memberi kontribusi terhadap keberhasilan akuisisi, yaitu
sebagai berikut :
1) Perusahaan target dalam keadaan baik.
2) Perusahaan target relatif kecil.
3) Melakukan audit sebelum akuisisi.
4) Memiliki pengalaman akuisisi.
5) Melakukan akuisisi yang bersahabat.
2.1.8 Faktor Pemicu Kegagalan Akuisisi
Hariyani dan Yustisia (2011:10) menyatakan bahwa terdapat faktorfaktor yang dapat memicu kegagalan akuisisi, yaitu sebagai berikut :
1) Perusahaan target dengan perusahaan pengambilalih memiliki kesesuaian
strategi yang rendah.
2) Tidak adanya kejelasan mengenai nilai yang tercipta dari setiap program
akuisisi.
3) Pendekatan-pendekatan integrasi yang tidak disesuaikan dengan perusahaan
target.
4) Hanya mengandalkan strategi yang baik tidaklah cukup untuk mencapai
keberhasilan akuisisi.
5) Rencana integrasi yang tidak disesuaikan dengan kondisi lapangan.
6) Tim negoisasi berbeda dengan tim implementasi, sehingga akan menyulitkan
proses integrasi.
7) Ketakutan, ketidakpastian dan kegelisahan antara staf perusahaan yang tidak
ditangani.
8) Perusahaan pengambilalih tidak mengkomunikasikan pengharapan dan
perencanaan mereka terhadap karyawan perusahaan target sehingga terjadi
kegelisahaan diantara karyawan.
2.2 Hipotesis Penelitian
Secara logika jika ukuran atau skala perusahaan bertambah besar dan
ditambah dengan sinergi yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas yang simultan,
maka laba perusahaan juga akan semakin meningkat. Oleh karena itu, kinerja
pasca akuisisi seharusnya berbeda dibandingkan dengan sebelum akuisisi.
Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2012:395) alasan utama perusahaan melakukan
akuisisi yaitu adanya motif ekonomi. Jika perusahaan akan membeli perusahaan
lain, maka pembelian tersebut hanya dapat dibenarkan apabila pembelian tersebut
menguntungkan. Menurut Wiagustini (2014:317) kondisi saling menguntungkan
tersebut akan terjadi apabila peristiwa akuisisi tersebut memperoleh synergy.
Synergy berarti bahwa nilai gabungan dari kedua perusahaan tersebut lebih besar
dibandingkan penjumlahan nilai perusahaan pada saat belum digabungkan.
Hamidah dan Noviani (2013) menyatakan bahwa rasio likuiditas yang
diukur dengan current ratio (CR) menunjukkan adanya perbedaan pada periode
satu tahun sebelum akuisisi dengan dua, empat, dan lima tahun sesudah merger
dan akuisisi. Rasio profitabilitas yang diukur dengan return on assets (ROA)
menunjukkan adanya perbedaan pada periode satu tahun sebelum akuisisi dengan
empat tahun sesudah merger dan akuisisi. Menurut Widyaputra (2006) secara
parsial rasio keuangan NPM, ROE, dan ROA menunjukan adanya perbedaan yang
signifikan untuk pengujian satu tahun sebelum dan satu tahun setelah merger dan
akuisisi. Hal yang serupa juga ditemukan dalam penelitian Aisa (2012)
menyebutkan bahwa terdapat perbedaan Net Profit Margin, Total Asset Turn Over
yang signifikan antara sebelum dengan sesudah merger dan akuisisi.
Hasil Penelitian Naziah (2014) menyebutkan bahwa secara keseluruhan
terdapat perbedaan kinerja perusahaan manufaktur sebelum dengan sesudah
merger dan akuisisi, yaitu mengalami kenaikan yang signifikan. Menurut
Fransiscus, Hidayat dan Iqbal (2015) dari lima perusahaan yang diteliti ada empat
perusahaan yang memiliki nilai rata-rata ROE lebih besar setelah melakukan
akuisisi. Putri (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa TATO, NPM,
ROA, ROE mengalami peningkatan setelah 1 tahun akuisisi dan Debt to Equity
Ratio (DER) setelah 1 tahun akuisisi lebih baik dari sebelumnya. Hasil penelitian
Azizah (2015) menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan sesudah
aktivitas akuisisi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang terlihat pada
rasio CR, ROA, ROE, dan Pertumbuhan Penjualan. Hal serupa juga ditemukan
dalam penelitian Lesmana dan Gunardi (2012) pada perusahaan pengakuisisi,
kinerja keuangan yang diukur dengan total asset turn over, net profit margin,
return on investment, return on equity mengalami peningkatan sesudah akuisisi.
Bjornson and Sykuta (2002) juga melakukan penelitian dan menunjukan
kinerja perusahaan mengalami kenaikan pasca akuisisi dengan diantaranya
Safeway Inc yang secara signifikan meningkatkan ROI pasca akuisisi. Hasil
penelitian Kumar and Bansal (2008) dalam kasus 52 penawaran akuisisi, lebih
dari 60 persen dari kasus menunjukkan peningkatan kinerja keuangan dalam
jangka waktu pasca-akuisisi. Untuk sekitar 15 persen kasus merger dan akuisisi
menunjukan kinerja keuangan telah membaik, pada saat yang sama baik modal
kerja dan Debt to Equity Ratio juga meningkat. Rani, Yadav, and Jain (2013)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kinerja perusahaan pengakuisisi di India
membaik setelah M & A dibandingkan dengan kinerja mereka sebelum M & A,
Menurut penelitian Azhagiah and Kumar (2011), diantara 12 perusahaan sampel
terdapat 7 perusahaan yang menunjukan posisi likuiditas yang diukur dengan CR
telah membaik dan posisi profitabilitas yang diukur dengan NPM telah
meningkat. Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Heron and Lie (2002),
dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa setelah akuisisi, perusahaan
pengakuisisi terus menunjukkan tingkat kinerja operasi perusahaan lebih besar.
Berdasarkan kajian teori dan kajian empiris tersebut dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H1 : Kinerja keuangan perusahaan multinasional yang diukur dengan Current
Ratio (CR), Return on Equity (ROE), Return on Investment (ROI), Net Profit
Margin (NPM), Debt to Equity Ratio (DER), Debt to Total Assets Ratio (DAR),
Total Assets Turnover Ratio (TATO), Fixed Assets Turnover Ratio (FATO)
berbeda secara signifikan antara sebelum dan setelah melakukan akuisisi.
Download