Tugas Review Mata Kuliah Dinamika Kawasan Eropa Oleh : Hani

advertisement
Tugas Review Mata Kuliah Dinamika Kawasan Eropa
Oleh
: Hani Sulastri
NPM
: 0706291294
Sumber Bacaan : Grahan Pollock, Civil Society Theory and Euro-Nationalism, diakses dari
http://www.sussex.ac.uk/cspt/documents/issue4-3.pdf, pada tanggal 16
November 2009, pk. 11.34 WIB.
Relevansi Teori Civil Society dan Nasionalisme di Eropa
Dalam artikel Civil Society Theory and Euro-nationalism yang di tulis oleh Graham Pollock,
teorinisasi dan perdebatan mengenai civil society telah berlangsung cukup lama di mana
menggunakan civil society theory sebagai payung dalam pembentukan teoriniasi tersebut. Dalam
artikel ini dikatakan bahwa diskurs mengenai ideologi yang berasal dari teori akademis didaur ulang
dengan retorika politik dalam nasionalisme suatu negara. Sehingga pada akhirnya para pemikir
beragumentasi bahwa selama konsep mengenai civil society dihubungkan dengan permasalahan
demokrasi dan representasi, maka akan terdapat hubungan dengan ide kebangsaaan dan
nasionalisme. Terminologi mengenai debat civil society menjadi sesuatu yang universal dalam
politik Eropa dalam dekade ini. Terminologi ini menjadi suatu yang dibahas dalam legitimasi posisi
politik, praktek, dan proyek untuk menciptakan sebuah organisasi sosial dan politik. Debat tersebut
terutama mengenai konstruksi atas bersatunya politik dalam Eropa yaitu Uni Eropa. Dalam
artikelnya, Graham Pollock lebih menjelaskan perdebatan para pemikir atau akademisi mengenai
teori civil society dan hubungannya terhadap nasionalisme, sehingga dalam review ini penulis pun
akan menjelaskan mengenai perdebatan tersebut dan bagaimana perkembangannya dalam
masyarakat Eropa.
Perdebatan mengenai terminologi civil society telah menjadi hal yang universal dalam
politik Eropa selama dasawarsa abad kedua puluh. Baik masuknya pemikiran Catalaan, Marxisme
maupun akademis Anglophone yang merupakan reduktif dari pemikiran Marxisme. Perdebatan
mengenai pembangunan persatuan politik di Eropa merupakan contoh utama dalam permasalahan
ini. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18. Istilah civil society pada dasarnya merujuk kepada
negara (state), yaitu sebagai suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok
masyarakat lain. Namun, pada paruh abad ke-18, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan
perubahan struktur politik di Eropa sebagai akibat era Pencerahan (Enlightment) dan meodernisasi,
negara dan civil society merupakan dua entitas yang berbeda. Adam Ferguson dan Tom Paine
adalah sedikit filsuf Pencerahan saat itu yang ada dibalik pemisahan ini berlanjut menjadi berhadaphadapannya civil society dengan aspek kemandiriannya versus kekuasaan negara. Pada titik ini, ada
baiknya dikutip apa yang menjadi pemikirian Hegel dan Marx mengenai civil society. Hegel bisa
1
dibilang filsuf Jerman yang mulai melakukan pembedaan antara negara dan civil society.
Menurutnya, civil society adalah wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan kesatuan
keluarga dan masuk kedalam kehidupan ekonomi yang kompetitif. Ia adalah burgerliche
Gesellschaft atau masyarakat Borjuis yang berada diantara keluarga dan negara yang terssun dari
unsur-unsur keluarga, korporasi atau asosiasi, dan aparat administrasi atau legal. Ia adalah (political
order) secara keseluruhan. Sementara itu tatanan politik yang lain adalah negara (state) atau
masyarakat politik (political society).
Munculnya kuasi hegemonik mengenai perubahan sosial dan politik dalam sistem negara
menimbulkan pertanyaan mengenai prosedur sistem demokrasi. Transparasi hubungan antara policy
maker dan masyarakat yang diwakili, menjadi hal yang penting dalam wacana pelaksaan demokrasi
didalam pembentukan bersatunya Eropa. Hal ini menjadikan akademisi cenderung menjadi
penasehat bagi pemerintah di Eropa sehingga jarak antara wacana akademisi dan praktek politik
telah menjadi wilayah sekunder dalam teorinisasi. Dalam perjalanannya, teori civil society mulai
dihubungkan dengan nasionalisme. Dahulu teori civil society menjadi sebuah dokrtin non-interfensi
dengan partai politik dan membenarkan secara diam-diam keadaan status quo. Namun, pascanasionalisme, terdapat gerakan-gerakan nasionalisme di mana masyarakat sipil mulai berbicara
dalam perpolitikan Eropa, hal ini terlihat pada saat Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Sikap
kritis gerakan nasionalis untuk mendirikan sebuah negara menjadi retorika dari sebuah negara yang
nasionalismenya dangkal. Praktik politik ini adalah sebuah nasionalisme dangkal suatu negara yang
ditutupi oleh retorika munafik anti nasionalis yang digunakan oleh negara terhadap kaum minoritas
yang kemudian dicap sebagai kaum nasionalis, sementara pada tingkat teoritis, hal tersebut
dikaburkan oleh teori masyarakat sipil yang implisit merupakan metodologis individualisme dengan
asumsi bahwa bangsa-bangsa diciptakan oleh nasionalisme.
Anderson menawarkan pandangan yang lebih positif tentang nasionalisme, ia menyatakan
bahwa bangsa atau nation adalah komunitas politis dan dibayangkan (imagined) sebagai sesuatu
yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.1 Lebih jauh dia memaparkan bahwa
bangsa disebut komunitas karena ia sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masukmendalam dan melebar-mendatar, sekalipun ketidakadilan dan penghisapan hampir selalu ada
dalam setiap bangsa. Bangsa disebut sebagai komunitas terbayang (imagined community) karena
para anggota bangsa terkecil tidak mengenal sebagian besar anggota lain, bahkan mungkin tidak
pernah mendengar tentang mereka. Ia dibayangkan sebagai sesuatu yang terbatas karena bangsabangsa yang paling besar sekalipun memiliki garis-garis batas yang pasti dan jelas meski terkadang
1
Benedict Anderson, Imagined Community: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, (London: Verso,
1991), hal. 56-64.
2
bersifat elastis. Di luar garis batas itu adalah bangsa lain yang berbeda dengan mereka. 2 Dalam
sejarah, nasionalisme bermula dari benua Eropa sekitar abad pertengahan. Kesadaran berbangsa —
dalam pengertian nation-state— dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh
Martin Luther di Jerman.3 Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan
Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan
kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas penafsiran pribadi
yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin, seperti para
pastor, uskup, dan kardinal. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang
bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther
untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin
yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang
ditemukan oleh Johann Gothenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan
kebangsaan.
Namun demikian, nasionalisme Eropa yang pada akhirnya menghasilkan deklarasi hak-hak
manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas
kemanusiaan. Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan
fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri
yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan
Amerika Latin.4 Fakta ini merujuk pada dua hal: (1) ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang
berakibat pada melimpahnya hasil produksi dan (2) pandangan pemikir Italia, Nicolo Machiaveli,
yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi
kekuasaannya. Dia menulis:
“Bila ini merupakan masalah yang mutlak mengenai kesejahteraan bangsa kita,maka janganlah kita
menghiraukan keadilan atau ketidakadilan, kerahiman dan ketidakrahiman, pujian atau penghinaan,
akan tetapi dengan menyisihkan semuanya menggunakan siasat apa saja yang menyelamatkan dan
memelihara hidup negara kita itu”.5
Nasionalisme yang pada awalnya mementingkan hak-hak asasi manusia pada tahap
selanjutnya menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara lebih penting daripada
kemerdekaan individual. Pandangan yang menjadikan negara sebagai pusat merupakan pandangan
beberapa beberapa pemikir Eropa saat itu, diantaranya Hegel. Dia berpendapat bahwa kepentingan
negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan obyektif
sementara kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subyektif. Negara adalah ideal
2
Ibid. hal 74-76
Michael Edwards, Civil Society. (Cambridge: Polity Press, 2004 ), hal 43-45.
4
Hans Kohn, The Idea of Nationalism: A Study in Its Origins andBbackground, (New York: Macmillan, 1971), hal.
123.
5
Ibid. hal. 126.
3
3
(geist) yang diobyektifikasi, dan karenanya, individu hanya dapat menjadi sesuatu yang obyektif
melalui keanggotaannya dalam negara. Lebih jauh dia menyatakan bahwa negara memegang
monopoli untuk menentukan apa yang benar dan salah mengenai hakikat negara, menentukan apa
yang moral dan yang bukan moral, serta apa yang baik dan apa yang destruktif.6 Hal ini melahirkan
kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air (patriotisme yang mengarah pada
chauvinisme), yang mendorong masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia
lain. Absolutisme negara dihadapan rakyat memungkinkan adanya pemimpin totaliter, yang
merupakan bentuk ideal negara yang dicitakan Hegel, sebuah monarki.7 Totaliterianisme yang
dianjurkan oleh filsafat negara Hegel dapat menggiring sebuah pemerintahan menjadi pemerintahan
yang fasis. Fasisme adalah doktrin yang mengajarkan kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam
semua aspek kehidupan nasional. Dalam sejarahnya, fasisme terkait erat dengan rasisme yang
mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain. Menurut Hugh Purcell nasionalisme
dan rasisme merupakan gambaran paling terkenal dari fasisme pada tahun 1930-an.8 Rasisme
memiliki kaitan erat dengan nasionalisme. Keduanya berbeda pada penekanan. Rasisme
menekankan superioritas suku dan nasionalisme menekankan keunggulan bangsa (komunitas
terbayang yang lebih besar dari suku). Manusia nasionalis adalah seseorang dengan kebanggaan
terhadap bangsanya yang kadang diungkapkan dengan cara berlebihan. Nasionalisme dan rasisme
memiliki keserupaan dalam hal pengunggulan dan kebanggaan terhadap sesuatu yang secara
alamiah melekat pada setiap manusia. Yang pertama kebanggaan terhadap bangsa—sistem
pemerintahan, suku, dan budaya. Yang kedua kebanggaan terhadap suku.
Dalam tulisan ini penulis melihat terdapa dua sebab mengapa dari waktu ke waktu masalah
nasionalisme selalu timbul ke permukaan, yaitu obyektif-historis dan subyektif historis di mana
kedua sisi historis ini tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Nasionalisme adalah tipikal gejala
zaman modern, yakni ketika dinamika Revolusi Industri pada pertengahan abad ke-19 mulai
merentangkan lilitannya ke seantreo benua, membagi wilayah-wilayah politik dan ekonomi.
Pembagian wilayah-wilayah ini antara lain dipermudah oleh sejumlah penaklukan militer oleh
bangsa-bangsa Eropa sejak beberapa abad sebelumnya berkat revolusi di bisang navigasi serta
temuan-temuan rute pintas dunia. Inilah yang disebut sebagai obyektif historis. Revolusi Industri
bukan hanya mengubah batas-batas negara di senatreo dunia. Jauh lebih penting, ia telah mengubah
tempo dari berlangsungnya perubahan batas-batas negara dan menetaskan berbagai dimensi baru
dalam kehidupan politik. Sebagaimana ia meningkatkan tempo dalam pertarungan ekonomi antarbangsa, ia pun meningkatkan tempo dalam pertarungan politik antar-bangsa dan di dalam masing6
Marsillam Simandjuntak, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya Dalam Persiapan UUD
1945, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), hal. 166.
7
Ibid., hal. 224.
8
Hugh Purcell, Fascism, (Melbourne : Nelson, 1981), hal. 11.
4
masing bangsa. Hal inilah yang menjawab pertanyaan mengapa negara-negara Eropa disaat
nasionalismenya bangkit pada saat revolusi, ia menjajah bangsa-bangsa di luar Eropa. Atas nama
natie, bangsa-bangsa Eropa menjajah Asia dan Afrika untuk pertarungan ekonomi dan pertarungan
politik antar-bangsa Eropa.
Sebab kedua mengapa kita tidak mungkin mengelak dari masalah nasionalisme bersifat
subyektif historis adalah kerangka ini kita harus menyimak kembali gagasan Ernest Renan dalam
karyanya yaitu “What is a Nation” di mana Renan mengatakan:
“Bangsa adalah suatu solidaritas luhur, yang terbina dari penghayatan akan pengorbanan yang telah
diberikan oleh para warganya, dan kesiapan mereka untuk tetap melakukan pengorbananpengorbanan.”9
Karena itu, dalam tinjauan Renan, bangsa tidak terutama ditentukan oleh ras, agama, bahasa,
ataupun tanah air, meskipun keempat-empatnya penting. Penulis merumuskan kembali pandangan
Renan yaitu bangsa bertumpu pada rangkuman pengalaman-pengalaman bermakna yang telah
dialami bersama untuk menghadapi segenap tantangan di masa depan. Dari sinilah lahirnya katakata Renan yang tetap bergema hingga sekarang ‘Bangsa adalah suatu nafas yang hidup, suatu
prinsip spiritual’. Internalisasi dari pengalaman-pengalaman bermakna dari masa lampu dan
kesiapan untuk mengulanginya itulah yang disebut sebagai sisi subyektif historis nasionalisme.
Pada akhirnya penulis melihat bahwa teori civil society yang mulai melakukan pendekatan
terhadap politik dalam hal ini negara maka akan semakin berhubungan terhadap nasionalisme suatu
bangsa. Dalam artikel ini nasionalisme dianggap suatu hal yang negatif karena menekankan kepada
perbedaan budaya dan memiliki kecenderungan ke arah rasisme, sedangkan patriotisme menjadi
kekuatan kohesif di mana patriotisme konstitusional membela gagasan kewarganegaraan
kosmopolitan yang mengacu pada pendapat minimum bahwa budaya adalah unsur-unsur opsional
ekstra yang tidak terdapat dalam pemilihan terakhir di parlemen Eropa. Patriotisme konstitusional
sebenarnya merupakan pendekatan idealis nasionalisme tanpa bangsa. Ini adalah bagian dari
retorika ideologi teori masyarakat sipil yang digunakan untuk melegitimasi suatu bentuk
homogenisasi kewarganegaraan dan absolutisme hukum dari didrikannya suatu negara. Pendukung
‘negara-negara Eropa’ berpendapat bahwa European Union merupakan sebuah pertemuan negaranegara Eropa bukanlah penyatuan warga dan bangsa yang sebagai sebuah mosail yang penuh warna
dan mensyaratkan masing-masing potongan sama-sama dihormati. Pilihan yang mudah untuk
menciptakan European Unioun lebih baik menggunakan jalan secara politis yang bersifat top down
seperti yang diutarakan dalam artikel Civil Society Theory and Euro-Nationalism, karena penyatuan
ini berdasarkan pada gerakan-gerakan politik yang terjadi di masyarakat Eropa.
Ernst Renan, What’s a nation, diakses dari http://ig.cs.tuberlin.de/oldstatic/w2001/eu1/dokumente/Basistexte/Renan1882EN-Nation.pdf, pada tanggal 20 November 2009, pk.
11.27 WIB.
9
5
Download