5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Hewan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Hewan
Teripang adalah hewan tidak bertulang belakang dengan tubuh berbentuk
silinder. Bentuk tersebut menyerupai mentimun sehingga teripang dikenal dengan
nama mentimun laut (sea cucumber). Mulut dan anus terletak di ujung poros
berlawanan, yaitu mulut di anterior dan anus di posterior, disekitar mulut teripang
terdapat tentakel yang dapat dijulurkan dan ditarik dengan cepat (Karnila, 2011).
Tentakel berfungsi untuk mengumpulkan makanan. Pada kelompok teripang
dikenal dua cara makan, yaitu menangkap plankton dengan tentakel (pada
Dendrochirotida) dan dengan menelan pasir kemudian mengambil detritus yang
terkandung (pada Aspidochirotida). Pasir tersebut kemudian akan dikeluarkan
kembali melalui anus. Jenis makanan adalah partikel-partikel pasir ataupun
hancuran-hancuran karang, dan cangkang-cangkang hewan lainnya (Darsono,
1998).
Klasifikasi termasuk salah satu hewan berkulit duri atau Echinodermata,
namun demikian tidak semua jenis teripang mempunyai duri pada kulitnya karena
ada beberapa jenis teripang yang tidak berduri (Widodo, 2013). Teripang
mempunyai endoskeleton kalkarius berukuran mikroskopis sebagai “spikula”.
Bentuk spikula bervariasi dan karateristik untuk setiap jenis (species), sehingga
spikula sangat penting dan menentukan dalam klasifikasi maupun identifikasi
(Darsono, 1998). Teripang mengandung bahan aktif yang bermanfaat sebagai
antibakteri, antifungi (antijamur), antitumor dan antikoagulan (Roihanah, 2012).
5
2.1.1 Teripang Pasir
Variasi warna di Samudera Pasifik dan Asia Tenggara, teripang pasir
berwarna hitam, abu-abu atau hijau kecoklat-coklatan, terkadang disertai dengan
garis hitam keabu-abuan. Di samudera Hindia, teripang selalu berwarna abu gelap
dengan garis putih atau kuning. Bagian perut berwarna putih atau abu terang
dengan bintik-bintik gelap. Badan berbentuk oval; bagian punggung melengkung
dan bagian perut rata. Permukaan dorsal memiliki kerutan kedalam (3 mm) dan
papila yang pendek (1,5 mm). Badan terkadang ditutupi oleh pasir berlumpur.
Mulut dibagian depan dengan 20 tentakel-tentakel kecil, keabu-abuan. Anus
dibagian belakang tanpa adanya gigi. Pada permukaan tubuh ditemukan spikula
yang sedikit berbentuk rod, sedikit berbentuk tables, tetapi banyak yang
berbentuk button(Purcell, dkk., 2012).
2.1.2 Sistematika Hewan
Determinasi/identifikasi sampel teripang di Pusat Penelitian Oseanografi
LIPI, dengan hasil sebagai berikut:
Filum
: Echinodermata
Kelas
: Holothuroidea
Ordo
: Aspidochirotida Grube, 1840
Famili
: Holothuriidae Ludwig, 1894
Genus
: Holothuria Linnaeus, 1767
Spesies
: Holothuria scabra Jaeger, 1833
2.1.3 Habitat
Habitat reripang dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai di
Indonesia, mulai dari daerah pasang-surut yang dangkal sampai perairan yang
6
lebih dalam. Teripang lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif
tenang. Umumnya, masing-masing jenis teripang mempunyai habitat yang
spesifik, ada jenis teripang yang hidup berkelompok dan ada pula yang hidup
soliter (sendiri). Makanan utama teripang adalah organisme-organisme kecil,
detritus (hasil dari penguraian binatang laut yang telah mati) dan rumput laut.
(Widodo, 2013).
Penyebaran teripang di Indonesia sangat luas. Beberapa daerah
penyebarannya antara lain meliputi perairan pantai Madura, Bali, Lombok, Aceh,
Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya, Belitung, Kalimantan (bagian barat,
timur dan selatan), Sulawesi, Maluku, Timor dan Kepulauan Seribu (Widodo,
2013).
Habitat teripang pasir ditemukan di perairan dangkal, tetapi terkadang
ditemukan pada kedalaman 20 m. Umumnya ditemukan di dalam terumbu karang
dan di pesisir pantai serta daerah padang rumput laut disertai pasir berlumpur.
Teripang dewasa dan teripang muda, kedua-duanya menguburkan diri di dalam
pasir ataupun pasir berlumpur (Purcell, dkk., 2012).
2.1.4 Morfologi
Badan teripang berbentuk memanjang (longitudinal). Mulut pada bagian
depan, memiliki tentakel (Gambar 2.1) yang digunakan hewan untuk mengambil
makanan (terutama materi organik). Anus pada bagian ujung posterior dan
tentakel terdiri juga dari perpanjangan sistem vaskular, Jumlah tentakel bervariasi
antara 10 dan 30, secara umumnya meruakan keliatan 5. Aspidochirotida memiliki
ukuran tentakel yang sama, tetai Dendrochirotida daat memiliki ukuran tentakel
yang berbeda (Purcell, dkk., 2012).
7
Gambar 2.1 Anatomi luar dari hewan teripang
2.1.5 Kandungan Kimia dan Manfaat
Ratusan tahun teripang sudah digunakan sebagai obat-obatan di Cina yang
diyakini mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Efek penyembuhan
tersebut mungkin disebabkan senyawa bioaktif yang terdapat pada tubuh teripang
seperti saponin (triterpen glikosida) (Albuntana, 2011). Teripang secara spesifik
mengandung sapogenin steroid, triterpen glikosida dan holostan yang berfungsi
sebagai antibakteri, antimikroba dan antijamur (Bordbar, dkk., 2011).
Nilai gizi teripang cukup tinggi dan rasanya sangat lezat. Teripang kering
mempunyai kadar protein tinggi, yaitu 82%. Kandungan protein teripang yang
cukup tinggi ini menunjukkan bahwa teripang memiliki nilai gizi yang baik
sebagai makanan. Protein pada teripang mempunyai asam amino yang lengkap,
baik asam amino esensial maupun asam amino non esensial. Asam amino sangat
berguna dalam sintesa protein dalam pembentukan otot dan dalam pembentukan
hormon (Karnila, 2011). Kandungan gizi teripang secara lengkap dapat dilihat
pada Tabel 2.1 (Widodo, 2013).
8
Tabel 2.1 Komposisi Kandungan Gizi Teripang
Komposisi
Air
Protein
Lemak
Abu
Karbohidrat
Kalsium
Fosfor
Zat besi
Natrium
Kalium
Vitamin A
Vitamin B
Tiamin
Ribloflavin
Niasin
Total Kalori
Persentase (%)
8,90
82,00
1,70
8,60
4,80
0,308
0,023
0,0417
0,770
0,091
0,455
0,00004
0,0007
0,0004
385,00 kal/100 g
2.2 Uraian Kimia
2.2.1 Saponin
Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida
steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun
serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan
menghemolisa sel darah merah. Pola glikosida saponin yang mempunyai satuan
gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne,
1987).
Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin.
Keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukkan larutan
koloidal dengan air yang apabila digojog sangat mudah menimbulkan buih yang
stabil. Saponin merupakan senyawa yang berasa pahit menusuk dan menyebabkan
bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin juga
bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolisis, bersifat
9
racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak di antaranya digunakan sebagai
racun ikan. Saponin bila terhidrolisis akan menghasilkan aglikon yang disebut
sapogenin. Ini merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi
sehingga dapat dimurnikan dan dipelajari lebih lanjut. Saponin yang berpotensi
keras atau beracun seringkali disebut sapotoksin (Gunawan dan Mulyani, 2010).
Saponin memiliki berat molekul tinggi sehingga upaya isolasi untuk
mendapatkan saponin yang murni menemui banyak kesulitan. Berdasarkan
struktur aglikonnya (sapogeninnya), saponin dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu tipe steroid dan tipe triterpenoida. Kedua senyawa ini memiliki
hubungan glikosodik pada atom C-3 dan memiliki asal usul biogenetika yang
sama lewat asam mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid.
H3C
CH3
CH3
H
H
Kerangka steroid
Kerangka triterpenoid
Gambar 2.2 Struktur saponin steroid dan saponin triterpenoid
2.2.1.1 Reaksi Identifikasi Saponin
Reaksi identifikasi saponin dijelaskan sebagai berikut: penentuan
kuantitatif, indeks buih, indeks ikan dan indeks hemolisis.
Penentuan Kuantitatif
Saponin relatif merupakan senyawa stabil, tetapi lama-lama sebagian
saponin akan diubah menjadi senyawa tidak aktif. Kemampuan hemolitik dari
10
segena akan menurun pada penyimpanan, tetapi sarsaparilla tidak menurun.
Ternyata sarsaparilla yang disimpan selama 50 tahun masih tetap memiliki
aktivitas penuh seperti aktivitas awalnya.
Indeks Buih
Indeks buih menunjukkan angka pengenceran dari bahan yang diperiksa.
Reaksi identifikasi ini yang akan memberikan lapisan buih setinggi 1 cm bila
larutan sampel ditambah air digojog dalam gelas ukur selama 15 detik dan
selanjutnya dibiarkan selama 15 menit sebelum dilakukan pengamatan.
Indeks Ikan
Ikan kecil dimasukkan ke dalam larutan obat dengan berbagai kadar.
Angka kebalikan pengenceran yang diperlukan untuk membunuh 60% ikan dalam
waktu satu jam disebut indeks ikan.
Indeks Hemolisis
Suatu seri pengenceran dekokta air dari simplisia ditambahkan ke dalam
larutan garam fisiologis yang mengandung 2,5% darah bebas fibrin. Hemolisis
akan terjadi bila ditambahkan saponin yang cukup, yaitu suspensi darah kemudian
menjadi bening. Pengenceran tersebar terjadi dari saponin yang mengakibatkan
hemolisis total disebut sebagai indeks hemolisis (Gunawan dan Mulyani, 2010).
2.2.2 Steroid
Steroid adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu steroida dianggap sebagai senyawa
satwa tetapi makin banyak senyawa steroida yang ditemukan dalam jaringan
tumbuhan (fitosterol). Tiga senyawa yang disebut fitosterol yaitu: sitosterol,
stigmasterol dan kampesterol (Harborne, 1987).
11
2.2.3 Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik
yaitu skualena. Triterpenoid dapat dibagi atas empat golongan yaitu triterpenoid
sebenarnya, steroid, saponin dan gikosida jantung. Triterpenoid merupakan
senyawa yang tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan optik
aktif, yang umumnya sukar dicirikan karena tidak mempunyai kereaktifan kimia.
Kebanyakan senyawa ini memberikan warna hijau-biru dengan pereaksi
Liebermann-Burchard (asam asetat anhidrid-asam sulfat) (Harbone, 1897).
2.2.4 Alkaloid
Kebanyakan alkaloid bersifat basa. Sifat tersebut tergantung pada adanya
pasangan elektron pada nitrogen dan sebagian besar atom nitrogen ini meruakan
bagian dari cincin heterosiklisnya, jika gugus fungsional yang berdekatan dengan
nitrogen bersifat melepaskan elektron, sebagai gugus alkil, maka ketersediaan
elektron pada nitrogen naik dan senyawa lebih bersifat basa (Sastrohamidjojo,
1996).
Kebanyakan alkaloid yang telah diisolasi berupa padatan kristal dengan
titik lebur yang tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Sedikit alkaloid
yang bebentuk amorf, dan beberapa seperti nikotin dan koniin berupa cairan.
Kebanyakan alkaloid tidak berwarna, tetapi beberapa senyawa yang kompleks,
spesies aromatik berwarna (contoh, berberin berwarna kuning dan betanin merah).
Pada umumnya basa bebas alkaloid hanya larut dalam pelarut organik, meskipun
beberapa pseudo dan protoalkaloid larut dalam air. Garam alkaloid dan alkaloid
quartener sangat larut dalam air (Sastrohamidjojo, 1996).
12
2.2.4.1 Klasifikasi Alkaloid
Banyak usaha untuk mengklasifikasikan alkaloid. Sistem klasifikasi yang
paling banyak diterima, menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokkan sebagai
alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid dan pseudoalkaloid, meskipun demikian
terdapat beberapa perkecualian.
Akaloid Sesungguhnya
Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan
aktivitas fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa; lazim
mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis; diturunkan asam amino; biasanya
terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Beberapa perkecualian
terhadap “aturan” tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat
bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan alkaloid quartener, yang
bersifat agak asam daripada bersifat basa.
Protoalkaloid
Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen
asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloid diperoleh
berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian “amin
biologis” sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh adalah meskalin, ephedin,
dan N,N-dimetiltriptamin.
Pseudoalkaloid
Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa
biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam kelas ini, yaitu
alkaloid stereoidal (contoh, konessin) dan purin (contoh kafein) (Sastrohamidjojo,
1996).
13
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia
yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang
tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Senyawa aktif yang dikandung
simplisia, jika diketahui akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi
yang tepat (Ditjen POM, 2000).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstrak zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Ditjen POM, 1995).
2.3.1 Metode Ekstraksi
Menurut Ditjen POM (2000), ada beberapa metode ekstraksi: cara dingin
dan cara panas.
2.3.1.1 Cara dingin
Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari: maserasi dan perkolasi.
Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
14
Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
2.3.1.2 Cara Panas
Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50⁰C.
Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98⁰C) selama
waktu tertentu (15-20 menit).
15
Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih≥30
lama (
menit) dan
temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.4 Bakteri
2.4.1 Tinjauan Mengenai Bakteri
Bakteri merupakan mikroba uniseluler yang pada umumnya tidak
mempunyai klorofil. Bakteri tersebar luas di alam, di dalam tanah, di dalam air,
pada sumber air panas, dalam tubuh hewan, manusia, dan tumbuhan. Bakteri
umumnya berukuran kecil dengan karateristik dimensi 1 µm. Beberapa kelompok
memiliki flagella dan dapat bergerak aktif. Bakteri memiliki berat jenis 1,05-1,1 g
cm-3 dan berat sekitar 10-12 g. Ukuran aktual tergantung dari laju pertumbuhan,
media tumbuh dan sebagainya (Hidayat, dkk., 2006).
Dinding sel bakteri yang kaku dapat mempertahankan bentuknya dan
melindungi sel dari perubahan tekanan osmotik antara sel dengan lingkungannya.
Dinding sel Gram-positif memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal dan membran
sel, sementara dinding sel Gram-negatif memiliki tiga lapisan: membran dalam,
membran luar, dan lapisan peptidoglikan yang lebih tipis (Gillespie dan Bamford,
2008).
Bakteri merupakan organisme prokariot, yaitu memiliki kromosom tunggal
di dalam sel, DNA menggulung (coil dan supercoil); suatu proses yang diperantai
oleh sistem enzim DNA girase. Ribosom bakteri berbeda dengan ribosom
eukariot, menjadikannya target untuk terapi antibakteri. Bakteri juga mengandung
DNA tambahan dalam bentuk plasmid (Gillespie dan Bamford, 2008).
16
2.4.2 Ukuran Bakteri
Ukuran tubuh bakteri sangat kecil, umumnya bentuk tubuh bakteri dapat
dilihat menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000 kali atau lebih. Satuan
ukuran tubuh bakteri umumnya mikrometer atau mikron. Lebar tubuhnya antara
1-2 mikron sedangkan panjangnya antara 2-5 mikron (Waluyo, 2004).
2.4.3 Bentuk Bakteri
Bentuk-bentuk bakteri, yaitu bulat (tunggal: coccus, jamak: cocci), batang
atau silinder (tunggal: bacillus, jamak: bacilli), dan spiral yaitu berbentuk batang
melengkung atau melingkar-lingkar (Pratiwi, 2008).
Bentuk cocci umumnya bulat atau oval. Cocci yang tetap berpasangan
setelah membelah disebut diplococci. Cocci yang membelah namun tetap melekat
dalam dua bidang dan tetap melekat membentuk kelompok 4 coccus disebut
tetrad, Cocci yang membelah tiga bidang dan tetap melekat membentuk kubus
dengan 8 coccus disebut sacrina, sedangkan cocci yang membelah pada banyak
bidang dan membentuk kumpulan yang menyerupai buah anggur disebut
staphylococci (Gillespie dan Bamford, 2008).
Bacilli membelah hanya melalui sumbu pendeknya. Sebagian besar bacilli
tampak sebagai batang tunggal. Diplobacilli muncul dari pasangan bacilli setelah
pembelahan dan streptobacilli muncul dalam bentuk rantai. Beberapa bacilli
tampak menyerupai cocci dan disebut coccobacilli (Pratiwi, 2008).
Bentuk spiral bakteri memiliki satu atau lebih lekukan dan tidak lama
bentuk lurus. Bakteri berbentuk spiral ini dibedakan menjadi beberapa jenis.
Bakteri yang berpilin kaku disebut spirilla, sedangkan bakteri yang berpilin
fleksibel disebut spirochaeta (Pratiwi, 2008).
17
2.4.4 Pertumbuhan Bakteri
2.4.4.1 Pertumbuhan Secara Individu dan Secara Populasi
Ada 2 segi tinjauan pertumbuhan yaitu: pertumbuhan secara individu dan
pertumbuhan secara populasi.
Pertumbuhan Secara Individu
Pertumbuhan secara individu, sebagai pertambahan bagian-bagian sel,
dapat diamati dari pertambahan ukuran sel, dan adanya pembelahan sel.
Pertumbuhan Secara Populasi
Pertumbuhan secara populasi, sebagai akibat pertumbuhan individu, dapat
diamati dari pertambahan jumlah (kuantitas) sel atau masa sel.
2.4.4.2 Reproduksi Sel Bakteri
Reproduksi sel bakteri terjadi secara aseksual melalui pembelahan biner
(binari fission) yaitu dari 1 sel dihasilkan 2 sel (rumus 2n).
Tahap dalam reproduksi sel :
1.
Perluasan dinding sel dan membran sel
2.
Pembentukan sekat atau invaginasi dinding sel dan distribusi materi
genetik ke sel anakan
3.
Pemisahan menjadi 2 sel anakan baru (Harti, 2015).
2.4.4.3 Kurva Pertumbuhan Bakteri
Kurva pertumbuhan, merupakan hubungan antara jumlah sel dengan
waktu pertumbuhan sel. Jumlah sel bakteri biasanya dalam skala logaritma untuk
memudahkan analisis daripada skala logaritma. Kurva pertumbuhan bakteri
terbagi 4 fase, yaitu: fase lag, fase logaritama, fase tetap maksimum dan fase
kematian.
18
Fase Lag = The Lag Phase = Fase Pertumbuhan
Kecepatan pertumbuhan nol atau > 0 (tidak maksimum), disebut juga fase
adaptasi. Tidak ada pertambahan populasi, tetapi pertambahan substansi
intraseluler sehingga ukuran sel bertambah.
Fase Logaritma (Log) = The Log Phase = Fase Eksponensial
Kecepatan pertumbuhan mencapai maksimum. Massa dan jumlah sel
bertambah secara eksponensial dengan waktu generasi sebagai konstanta,
sehingga pertumbuhan akan seimbang, yaitu sel membelah dengan kecepatan
konstan serta aktivitas metabolisme konstan. Biakan dalam keadaan homogen
dengan pertumbuhan sel pada kecepatan dan interval sama.
Fase Tetap Maksimum = The Stationary Phase = Fase Statis
Kecepatan pertumbuhan mulai menurun, terjadi akumulasi metabolit. Jumlah sel
hidup tetap, namun terjadi pengurangan nutrien maka jumlah total sel mati dan
hidup tetap secara akumulasi metabolit.
Fase Kematian = The Death Phase = Fase Penurunan
Laju kematian secara eksponensial dan terjadi penurunan populasi sel-sel
hidup hingga mencapai 0.
2.4.4.4 Kebutuhan Pertumbuhan Bakteri
Kebutuhan pertumbuhan ada 2 kategori, yaitu: kebutuhan fisika dan
kebutuhan kimiawi.
Kebutuhan Fisika
Temperatur
Mikroorganisme dibagi 3 grup berdasarkan suhu pertumbuhannya, yaitu
psikrofil (suhu rendah), mesofil (suhu sedang atau moderate) dan termofil (suhu
19
tinggi). Setiap mikroorganisme mempunyai interval suhu pertumbuhan tertentu
yang terbagi dalam 3 kisaran suhu minimum, optimum dan maksimum.
Mikroorganisme yang mempunyai interval suhu pertumbuhan sempit disebut
stenotermal dan mikroorganisme yang punya interval suhu pertumbuhan luas
disebut euritermal. Ada beberapa sifat khusus mikroorganisme terkait dengan
suhu pertumbuhan yaitu psychrotrophs, sebagai kelompok mikroorganisme yang
mampu tumbuh pada suhu rendah dan hyperthermophile sebagai kelompok
mikroorganisme yang tumbuh pada suhu tinggi.
pH
Mikroorganisme dibagi 3 grup berdasarkan pH pertumbuhan, yaitu:
asidofil, netrofil dan alkalofil.
a.
Asidofil, tumbuh pada pH asam yaitu pH 2,0-5,0
b.
Netrofil atau mesofil, tumbuh pada pH netral yaitu 5,5-8,0
c.
Alkalofil, tumbuh pada pH alkali yaitu 8,4-10,0
Bakteri umumnhya bersifat mesofil sedangkan jamur bersifat asidofil
Tekanan Osmosis (Osmotic Pressure)
Mikroorganisme membutuhkan kadar air (Aw = available water) 80-90%.
Tekanan osmosis mempengaruhi pertukaran air dari dan ke dalam sel. Ada 3
macam konsentrasi larutan, yaitu hipotonis, hipertonis, dan isotonis. Jika
konsentrasi substrat hipertonis dari isi sel, maka akan terjadi plasmolisis. Sifat
mikroorganisme yang tumbuh pada media hipertonis disebut osmofil.
Kebutuhan Kimiawi
Kebutuhan kimiawi meliputi sumber C, N, S, P, O, mineral dan faktor
pertumbuhan organik (Harti, 2015).
20
2.5
Penyakit Infeksi
2.5.1 Tinjauan Mengenai Infeksi
Penyakit infeksi adalah suatu penyakit yang disebabkan karena masuknya
bibit penyakit. Salah satu penyebab penyakit infeksi yang paling utama
diantaranya adalah bakteri dan jasad hidup (organisme). Penyakit infeksi ini
merupakan penyakit menular. Penularan penyakit infeksi dapat terjadi ketika di
rumah sakit, infeksi ini disebut dengan infeksi nosokomial. Penyebab infeksi
nosokomial terutama adalah lingkungan disekitar kamar pasien, penyediaan
makanan dan suplai udara (Gillespie dan Bamford, 2008).
2.5.2 Infeksi Luka Bakar
Luka bakar sangat rentan terhadap kolonisasi bakteri; Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes, dan kadangkadang koliform dapat terlibat. Kolonisasi oleh organime yang resisten makin
menjadi masalah. Kolonisasi bakteri dapat menyebabkan hilangnya cangkokan
kulit dan menyebabkan bakterimia sekunder (Gillespie dan Bamford, 2008).
2.5.3 Bakteri Staphylococcus aureus
2.5.3.1 Sistematika Bakteri Staphylococcus aureus
Sistematika Staphylococcus aureus (Breed, dkk., 1957) adalah :
Divisi
: Eukariota
Kelas
: Schzomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Micrococcaceae
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: Staphylococcus aureus
21
2.5.3.2 Uraian BakteriStaphylococcus aureus
Spesies ini pernah dianggap sebagai satu-satunya patogen dari genusnya.
Pembawa Staphylococcus aureus yang asimtomatik sering ditemukan, dan
organisme ini ditemukan pada 40% orang sehat, di bagian hidung, kulit, ketiak
atau perineum (Gillespie dan Bamford, 2008).
Staphylococcus aureus memproduksi koagulase yang mengkatalisis
perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan dapat membantu organisme ini untuk
membentuk barisan perlindungan. Bakteri ini juga memiliki reseptor terhadap
permukaan sel pejamu dan protein matriks (misalnya fibronektin, kolagen) yang
membantu organisme ini untuk melekat. Bakteri ini memproduksi enzim litim
ektraseluler (misalnya lipase), yang memecah jaringan pejamu dan membantu
invasi. Staphylococcus aureus menyebabkan rentang sindrom infeksi yang luas.
Infeksi kulit dapat terjadi pada kondisi hangat yang lembap atau saat kulit terbuka
akibat penyakit seperti eksim, luka pembedahan, atau akibat alat intravena
(Gillespie dan Bamford, 2008).
2.5.4 Bakteri Psedomonas aeruginosa
2.5.4.1 Sistematika Bakteri Pseudomonas aeruginosa
Sistematika bakteri Pseudomonas aeruginosa (Breed, dkk., 1957) adalah :
Divisi
: Eukariota
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Pseudomonadales
Suku
: Pseudomonodaceae
Marga
: Pseudomonas
Jenis
: Pseudomonas aeruginosa
22
2.5.4.2 Uraian Bakteri Pseudomonas aeruginosa
Organisme ini merupakan basilus Gram-negatif yang motil dan hidup
dalam suasana aerob. Bakteri ini terdapat dimana-mana pada lingkungan, tetapi
jarang terdapat pada flora orang yang sehat. Jumlah pembawa meningkat dengan
perawatan inap rumah sakit. lingkungan yang lembap merupakan tempat hidup
Pseudomonas aeruginosa, seperti bak cuci, keran air dan disinfektan yang
digunakan lebih dari 24 jam (Gillespie dan Bamford, 2008).
Pseudomonas aeruginosa memproduksi sitotoksin dan protease (misalnya
eksotoksin A dan S, hemolisis, dan elastase). Luka bakar dapat terkoloni
menyebabkan septikemia sekunder akibat Pseudomonas aeruginosa. Septikemia
dengan mortalitas tinggi merupakan ancaman tersendiri bagi pasien neutropenia
(Gillespie dan Bamford, 2008).
2.6
Media Pertumbuhan Bakteri
Pembiakan bakteri dalam laboratorium memerlukan media yang berisi zat
hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bakteri. Zat harus diperlukan
untuk pertumbuhan, sintesis sel, keperluan energi dalam metabolisme dan
pergerakan. Lazimnya, media biakan mengandung air, sumber energi, zat hara
sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen dan hidrogen. Dalam
bahan dasar media dapat pula ditambahkan faktor pertumbuhan berupa asam
amino dan vitamin. Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori,
yaitu: berdasarkan asalnya, kegunaan dan konsistensi.
2.6.1 Berdasarkan Asalnya
Berdasarkan asalnya, dibagi atas: media sintetik dan media non-sintetik.
23
2.6.1.1 Media Sintetik
Media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara
terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat.
2.6.1.2 Media Non-Sintetik
Media yang kandungan tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan
bahan yang terdapat di alam. Contoh: ekstrak daging, pepton (Lay, 1994).
2.6.2 Berdasarkan Kegunaannya
Berdasarkan kegunaanya, dibedakan menjadi: media selektif, media
diferensial dan media diperkaya.
2.6.2.1 Media Selektif
Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit
bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak
diinginkan dan memperbolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu
yang ingin diisolasi.
2.6.2.2 Media Diferensial
Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari
berbagai jenis dalam suatu lempengan agar.
2.6.2.3 Media Diperkaya
Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh
dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada jumlahnya sedikit
(Irianto, 2006).
2.6.3 Berdasarkan Konsistensinya
Berdasarkan konsistensinya, dibagi atas: media padat/solid, media semi
solid dan media cair (Irianto, 2006).
24
2.7 Pengukuran Aktivitas Bakteri
Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode dilusi
(pengenceran) atau dengan metode difusi.
2.7.1 Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan konsentrasi yang berbedabeda dimasukkan pada media cair. Media tersebut langsung diinokulasikan
dengan bakteri dan diinkubasi. Tujuan dari percobaan ini adalah menentukan
konsentrasi terkecil suatu zat antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri uji. Metode dilusi agar membutuhkan waktu lama dalam
pengerjaanya sehingga jarang digunakan (Jawetz, dkk., 2001).
2.7.2 Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan
menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini
adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi
zat yang bersifat sebagai antibakteri di dalam media padat melalui pencadang.
Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah jernih disekitar cakram. Luas
daerah hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin kuat daya
aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode ini
dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia (Jawetz, dkk., 2001).
25
Download