Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung Angiotensin

advertisement
Mia Trihasna Asrizal dan Anggraeni Janar Wulan | Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung
Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung
Mia Trihasna Asrizal1, Anggraeni Janar Wulan2
1Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
2Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak
Gagal jantung menjadi penyakit yang umum diderita di dunia. Sekitar lima juta orang di Amerika Serikat (AS) menderita
gagal jantung kronik, dimana jumlah tersebut didominasi oleh pasien di atas usia 65 tahun. Jumlah angka kematian yang
disebabkan oleh gagal jantung kronik mendekati angka kematian yang disebabkan oleh penyakit keganasan sebesar 4550%. Pemberian Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) menghambat sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA),
menurunkan beban akhir, dan menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian
mendadak tidak menimbulkan rebound hypertension dan pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi profil lipid dan
glukosa darah. Karena itu pemberian ARB dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti ACE-Inhibitor pada pasien
yang tidak dapat menerima ACE-Inhibitor. Angiotensin Reseptor Blocker tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEInhibitor. Tetapi sama hal nya dengan ACE-Inhibitor, ARB memiliki efek samping insufisiensi renal, hiperkalemi, dan
hipotensi ortostatik. Simpulan: pemberian ARB dapat memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan angka kematian pada
penderita gagal jantung.
Kata kunci: angiotensin reseptor blocker, anti hipertensi, CHF, gagal jantung
Angiotensin Receptor Blocker In Heart Failure
Abstract
Heart failure is a common disease afflicting the world. About five million people in the United States (US) suffer from
chronic heart failure, which amount was dominated by patients over the age of 65 years. The number of deaths caused by
chronic heart failure approaching the number of deaths caused by malignant disease by 45-50%. Granting of Angiotensin
Receptor Blocker (ARB) can hamper Renin-Angiotensin-Aldosteron system (RAAS), lower afterload, and lower blood
pressure without affecting heart rate. The abrupt termination does not cause rebound hypertension and long-term
administration does not affect lipid and blood glucose. Therefore granting of ARB can be considered as an alternative to
ACE-Inhibitor in patients who can not tolerate ACE-Inhibitor. Angiotensin Receptor Blocker does not cause a dry cough like
ACE-Inhibitor. But the same thing with ACE-Inhibitor, ARB can cause renal insufficiency, hiperkalemi, and orthostatic
hypotension. Angiotensin Receptor Blocker can reduce mortality in patients with heart failure but should not be given to
pregnant women. Conclusion: utilization of ARB can give a positive impact on patients with heart failure.
Keywords: angiotensin receptor blockers, antihypertensive, CHF, heart failure
Korespondensi: Mia Trihasna Asrizal, Alamat Jl. Sisingamangaraja No.4 Gedung Air, No. HP 081271111713, e-mail
[email protected]
Pendahuluan
Penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab utama kematian secara global. Pada
tahun 2010, diperkirakan 17,3 juta penduduk
dunia
meninggal
akibat
penyakit
kardiovaskular. Lebih dari 80% kematian akibat
penyakit kardiovaskular terjadi di negara
pendapatan rendah dan menengah.1 Menurut
Centre for Disease Control (CDC) sekitar 5,7
juta penduduk di Amerika Serikat memiliki
penyakit gagal jantung. Penyakit gagal jantung
merupakan penyebab utama dari 55.000
kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat.2
Dari data kunjungan pasien rawat inap di
bangsal perawatan penyakit jantung di RSUD
Raden Mattaher Jambi pada tahun 2012
disebutkan bahwa gagal jantung merupakan
penyakit ke-1 terbanyak. Data ini didasarkan
Majority | Volume 5 | Nomor 2 | April 2016 |136
pada kunjungan pasien rawat inap di bangsal
perawatan penyakit jantung pada tahun 2012.3
Gagal
jantung
menjadi
masalah
kesehatan masyarakat yang utama pada
beberapa negara industri, maju, dan negara
berkembang seperti Indonesia. Congestive
Heart Failure (CHF) adalah penyakit kronis yang
menimbulkan beban yang signifikan bagi klien
dan keluarga penderita rawat jalan maupun
bila dirawat di rumah sakit karena kondisinya
yang kompleks.4
Masalah kesehatan dengan gangguan
sistem kardiovaskuler termasuk didalammya
CHF masih menduduki peringkat yang tinggi.
World Health Organization (WHO) melaporkan
bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika
menderita CHF. American Heart Association
(AHA) tahun 2004 melaporkan 5,2 juta
Mia Trihasna Asrizal dan Anggraeni Janar Wulan | Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung
penduduk Amerika menderita gagal
jantung. Asuransi kesehatan Medicare USA
paling banyak mengeluarkan biaya untuk
diagnosis dan pengobatan gagal jantung dan
diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal
jantung setiap tahunnya di seluruh dunia.5
Dari hasil pencatatan dan pelaporan
rumah sakit (SIRS, Sistem Informasi Rumah
Sakit) menunjukkan Case Fatality Rate (CFR)
tertinggi terjadi pada gagal jantung yaitu
sebesar 13,42%.6 Menurut ahli jantung Lukman
Hakim Makmun dari Divisi Kardiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto
Mangunkusumo (FKUI-RSCM), di Indonesia
data prevalensi gagal jantung secara nasional
memang belum ada. Namun, sebagai gambaran, di ruang rawat jalan dan inap RSCM pada
2006 lalu didapati 3,23 % kasus gagal jantung
dari total 11.711 pasien.6 Sedangkan pada
tahun 2005 di Jawa Tengah terdapat 520
penderita CHF yang pada umumnya adalah
lansia. Sebagian besar lansia yang didiagnosis
CHF ini tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun.6
Gagal jantung menjadi penyakit yang
umum diderita di dunia. Sekitar lima juta orang
di Amerika Serikat menderita gagal jantung
kronik, dimana jumlah tersebut didominasi
oleh orang tua, dengan hampir 80% kasus
terjadi pada pasien di atas usia 65 tahun.
Namun demikian, beberapa studi telah
menemukan bahwa gagal jantung kronik
dikaitkan dengan angka kematian sekitar 4550% selama kurun waktu dua tahun terakhir,
jumlah ini mendekati angka kematian yang
disebabkan oleh penyakit keganasan.7
Penyebab CHF secara pasti belum
diketahui, meskipun demikian secara umum
dikenal berbagai faktor yang berperan penting
terhadap timbulnya gagal jantung. Kajian
Tahap
A
B
C
epidemiologi menunjukkan bahwa ada
berbagai kondisi yang mendahului dan
menyertai
gagal
jantung.
Berdasarkan
penelitian epidemiologis prospektif, misalnya
penelitian Framingham memberikan gambaran
yang jelas tentang gagal jantung. Pada studinya
disebutkan bahwa kejadian gagal jantung per
tahun pada orang berusia lebih dari 45 tahun
adalah 7,2 kasus setiap 1000 orang laki-laki dan
4,7 kasus setiap 1000 orang perempuan, dan
ditemukan mortalitas pada gagal jantung
selama lima tahun sebesar 62% pada laki-laki
dan 42% pada perempuan.8
Gagal jantung adalah keadaan pada saat
darah yang dipompakan dari jantung tidak
mencukupi kebutuhan tubuh. Gagal jantung
juga dapat dikatakan sebagai gangguan proses
biokimiawi dan biofisika jantung yang
mengakibatkan rusaknya kontraktibilitas dan
relaksasi miokard.9 Gagal jantung kronik
didefinisikan sebagai sindroma klinik komplek
yang disertai keluhan gagal jantung berupa
sesak, kelelahan, baik dalam keadaan istirahat
atau latihan, edema, dan tanda obyektif
adanya disfungsi jantung dalam keadaan
istirahat.10
Isi
Gejala terpenting dari gagal jantung
berupa sesak napas (dyspnoe), yang semula
pada waktu mengeluarkan tenaga, tetapi juga
pada saat istirahat (berbaring) dalam kasus
yang lebih berat. Gejala lain yang ditemukan
antara lain edema yang disebabkan karena
terlambatnya aliran darah kembali ke
jantung.11
Klasifikasi gagal jantung menurut
ACC/AHA dan NYHA dijelaskan pada tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Klasifikasi Gagal Jantung Menurut AHA dan NYHA.12
Tahap ACC/AHA
Kelas Fungsional NYHA
Deskripsi
Kelas
Deskripsi
Pasien mempunyai resiko tinggi
terhadap perkembangan gagal jantung
tetapi tidak menunjukkan struktur
abnormal dari jantung
Pasien yang telah mengalami penyakit
Tidak ada batasan aktivitas fisik. Aktivitas
jantung struktural, yang menyebabkan
fisik biasa tidak menyebabkan rasa lelah,
gangguan jantung tapi belum pernah I (Ringan) palpitasi atau sesak nafas yang tidak
menunjukkan tanda-tanda atau gejala
semestinya
gagal jantung
Pasien yang memiliki atau sebelumnya
Ditandai keterbatasan aktivitas fisik.
II dan III
pernah memiliki gejala-gejala gagal
Nyaman saat beristirahat, tapi aktivitas
(Sedang)
jantung yang disebabkan penyakit
yang lebih sedikit dari biasanya
Majority | Volume 5 | Nomor 2 | April 2016 |137
Mia Trihasna Asrizal dan Anggraeni Janar Wulan | Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung
struktural
D
Pasien dengan penyakit jantung
struktural tingkat lanjut dan gejalagejala jantung pada istirahat, walaupun
telah diberi terapi medis maksimal dan
membutuhkan intervensi khusus
Penyembuhan
beberapa
penyakit
kardiovaskuler
adalah
dengan
cara
pembedahan (surgery), sedangkan untuk
penyakit jantung koroner dilakukan dengan
cara melebarkan jantung dengan balon atau
bedah pintas koroner.12
Pada
umumnya
tindakan
dan
pengobatan gagal jantung ditujukan pada
aspek pengurangan beban kerja, memperkuat
kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan
cairan dan garam, serta tindakan/pengobatan
khusus terhadap penyebab dan kelainan yang
mendasari. Beban awal atau preload dapat
dikurangi
dengan
pembatasan
cairan,
pemberian diuretika, atau vasodilator lain.
Beban akhir atau afterload dapat dikurangi
dengan vasodilator seperti AngiotensinConverting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau
Angiotensin II Receptor Blocker (ARB), prazosin,
hidralazin, dan lain-lain. Kontraktilitas miokard
dapat ditingkatkan dengan inotropik seperti
digitalis, dopamin, dan dobutamin.13
Angiotensin receptor blocker merupakan
pendekatan lain untuk menghambat sistem
Renin
Angiotensin
Aldosteron
(RAA).
Penggunaan obat ini akan menghambat atau
menurunkan sebagian besar efek kerja pada
sistem tersebut. Namun demikian agen ini
tidak menunjukkan efek penghambatan ACE
pada jalur potensial lain yang memproduksi
peningkatan bradikinin, prostaglandin, dan
nitrit oksida (NO) dalam jantung, pembuluh
darah, dan jaringan lain. Karena itu, ARB dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti
ACE-Inhibitor pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi kerja dari ACE-Inhibitor.14
Golongan ARB yang digunakan dalam terapi
gagal jantung adalah losartan, valsartan, dan
kandesartan. Ketiga obat tersebut tidak
memiliki interaksi yang berarti dengan obatobat lain.15 Terdapat beberapa obat yang
termasuk golongan antagonis reseptor
angiotensinogen II (AT II) antara lain
kandesartan, eprosartan, irbesartan, losartan,
olmesartan, telmisartan, dan valsartan.16
Majority | Volume 5 | Nomor 2 | April 2016 |138
IV
(Parah)
mengakibatkan rasa lelah, palpitasi, atau
sesak nafas
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
dengan nyaman. Gejala insufisiensi
kardiak pada istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan ketidaknyamanan bertambah
Pemberian ARB menurunkan tekanan
darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut
jantung.
Penghentian mendadak
tidak
menimbulkan
rebound
hypertension.
Pemberian
jangka
panjang
tidak
mempengaruhi lipid dan glukosa darah.17
Angitensinogen II dihasilkan dengan
melibatkan dua jalur enzim: RAAS (Renin
Angiotensin Aldosterone
System) yang
melibatkan ACE-inhibitor, dan jalan alternatif
yang menggunakan enzim lain seperti
chymase. ACE-inhibitor hanya menghambat
efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui
RAAS,
dimana
ARB
menghambat
angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh
karena perbedaan ini, ACE-inhibitor hanya
menghambat
sebagian
dari
efek
angiotensinogen II.
Angiotensin
receptor
blocker
menghambat
secara langsung reseptor
angiotensinogen II tipe I (AT I) yang memediasi
efek angiotensinogen II yang sudah diketahui
pada manusia antara lain vasokonstriksi,
pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik,
pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi
arteriol efferen dari glomerulus. Obat ini tidak
memblok reseptor AT II. Jadi efek yang
menguntungkan dari stimulasi AT II (seperti
vasodilatasi,
perbaikan
jaringan,
dan
penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh
dengan penggunaan ARB. Efek samping pada
ARB juga paling rendah dibandingkan dengan
obat antihipertensi lainnya. Karena tidak
mempengaruhi bradikinin, obat ini tidak
menyebabkan batuk kering seperti ACEinhibitor. Sama halnya dengan ACE-inhibitor,
ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal,
hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal
yang harus diperhatikan lainnya sama dengan
pada penggunaan ACE-inhibitor. Kejadian batuk
sangat jarang, demikian juga angiedema; tetapi
cross-reactivity telah dilaporkan. Angiotensin
receptor blocker tidak boleh digunakan pada
perempuan hamil.18 Karena berpotensi untuk
menimbulkan cacat fetus (intrauterine growth
retardation) dan harus dihindari pada
Mia Trihasna Asrizal dan Anggraeni Janar Wulan | Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung
perempuan yang diduga hamil atau berencana
hamil.19
Data untuk metaanalisis ini didapatkan
dari pencarian artikel pada MEDLINE (19662012), EMBASE (1988-2013), the Cochrane
central register of controlled trials, bahan
simposium, dan literatur lain. Data yang
dimasukkan dalam metaanalisis ini adalah data
uji klinik efek ACEI dan ARB pada pasien DM
dan hubungannya dengan semua penyebab
kematian,
kematian
akibat
masalah
kardiovaskuler, kejadian kardiovaskuler mayor
dengan periode observasi minimal selama 12
bulan. Studi dengan desain crossover
dieksklusi. Dari hasil penelitian ini didapatkan
hasil bahwa dari 35 penelitian yang ada, 23
penelitian membandingkan ACEI dengan
plasebo atau obat aktif, 13 penelitian sisanya
membandingkan ARB dengan tanpa terapi
pada 23.867 pasien. Ketika dibandingkan
dengan kontrol, ACEI secara signifikan
menurunkan risiko semua penyebab kemarian
(risk of all-cause mortality) sebanyak 13% (RR,
0,87;
95%
CI,
0,78-0,98),
kematian
kardiovaskuler sebesar 17% (0,83; 0,70-0,99),
dan kejadian kardiovaskuler mayor sebesar
14% (0,86; 0,77-0,95), termasuk infark
miokardium sebesar 21% (0,79; 0,65-0,95) dan
gagal jantung sebesar 19% (0,81; 0,71-0,93).
Sedangkan terapi ARB tidak mampu secara
signifikan mempengaruhi penyebab seluruh
kematian (all-cause mortality) (RR, 0,94; 95%
CI, 0,82-1,08), angka kematian kardiovaskuler
(1,21; 0,81-1,80), dan kejadian kardiovaskuler
mayor (0,94; 0,85-1,01) kecuali pada gagal
jantung (0,70; 0,59-0,82). Baik ACEI dan ARB
tidak menurunkan risiko stroke pada pasien
DM.20
Menurut
PERKI,
direkomendasikan
untuk menurunkan risiko hospitalisasi gagal
jantung dan kematian prematur pada pasien
dengan fraksi ejeksi (EF) ≤ 40% dan pada
pasien yang intoleran terhadap ACEI (pasien
tetap harus mendapat penyekat beta dan
Magnetic resonance angiography (MRA)). ARB
direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang
tetap simtomatik walaupun sudah diberikan
ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali
juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung.
Golongan ini direkomedasikan sebagai
alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada
pasien ini, ARB mengurangi angka kematian
karena penyebab kardiovaskular.21
Indikasi pemberian ARB antara lain:
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, sebagai
pilihan alternatif pada pasien dengan gejala
ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV
NYHA) yang intoleran ACEI, ARB dapat
menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama
seperti ACEI, namun tidak menyebabkan batuk.
Sedangkan kontraindikasinya antara lain: sama
seperti ACEI kecuali angioedema, pasien yang
diterapi ACEI dan antagonis aldosteron
bersamaan, monitor fungsi ginjal dan serum
elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama
ACEI.21
Inisiasi pemberian angiotensin receptor
blocker pada gagal jantung adalah sebagai
berikut.
1. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
2. Dosis awal ( Candesartan 4/8 mg (1
x/hari), Valsartan (40 mg (2 x/hari) ).
Naikan dosis secara titrasi
3. Pertimbangkan menaikan dosis secara
titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi
ginjal atau hiperkalemia
4. Jika tidak ada masalah diatas, dosis
dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat ditoleransi (
dosis target: Candesartan 32 mg (1 x/hari),
Valsartan 160 mg (2 x/hari) )
5. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan
selanjutnya tiap 6 bulan sekali.21
Ringkasan
Pemberian ARB dapat memberikan
dampak positif pada pasien gagal jantung. Obat
ini akan bekerja pada jantung antara lain
sebagai berikut: ARB dapat menurunkan
afterload, menghambat sistem RAA yang tidak
dapat dilakukan dengan pemberian ACEI, dan
menurunkan
tekanan
darah
tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut
jantung.
Angiotensin
Receptor
Blocker
dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti
ACEI
pada
pasien yang tidak
dapat
mentoleransi kerja dari ACEI. Contoh obat
pada golongan ARB yang digunakan dalam
terapi gagal jantung adalah losartan, valsartan,
dan kandesartan. Ketiga obat tersebut tidak
Majority | Volume 5 | Nomor 2 | April 2016 |139
Mia Trihasna Asrizal dan Anggraeni Janar Wulan | Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung
memiliki interaksi yang berarti dengan obatobat lain.
Terapi ARB tidak mampu secara
signifikan mempengaruhi penyebab seluruh
kematian (all-cause mortality), angka kematian
kardiovaskuler, dan kejadian kardiovaskuler
mayor kecuali pada gagal jantung. Baik ACEI
dan ARB tidak menurunkan risiko stroke pada
pasien DM.
9.
10.
Simpulan
Pemberian ARB dapat memperbaiki
kualitas hidup dan menurunkan angka
kematian pada penderita.
Daftar Pustaka
1. WHO. The world health report 2012.
Ganeva:
Mental
Health
New
Understanding; 2012.
2. Centre for Disease Control (CDC). Heart
failure fact sheet; 2012. [diakses tanggal:
27 Januari 2016]. Tersedia dari:
http://www.cdc.gov/dhdsp/data_statistics
/fact_sheets/ fs_heart_failure.htm.
3. Desrina, Siska S. Karakteristik gambaran
rontgen toraks konvensional pada pasien
gagal jantung di rsud raden mattaher
[tesis]. Jambi: Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Jambi; 2013.
4. Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL,
Jameson JL, Karper DL, Longo DL. et al.
Harrison’s principles of internal medicine.
Ed. 17. USA : McGrawHill; 2008.
5. American Heart Association. International
cardiovascular disease statistics ; 2004.
[diakses tanggal: 29 januari 2016].
Tersedia
dari:
http://www.americanheart.org
6. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
Departemen
Kesehatan
Republik Indonesia. laporan nasional riset
kesehatan dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta:
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia; 2008.
7. Allen LA, O’Connor CM. Management of
acute decompensated heart failure.
Canadian Medical Association or its
licensors. 2007; 176(6): 797-805.
8. Ihdaniyati, Atina I & Nur A. Hubungan
tingkat kecemasan dengan mekanisme
koping pada pasien gagal jantung
kongestif di rsu pandan arang boyolali.
Berita Ilmu Keperawatan. 2008; 4(1): 1638.
Majority | Volume 5 | Nomor 2 | April 2016 |140
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M SS, ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Pusat
penerbitan ilmu penyakit dalam; 2010.
Hlm. 1583-1584.
McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD.
ESC guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart
failure 2012: The task force for the
diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012 of the european
society of cardiology. developed in
collaboration with the heart. Eur Heart J
[Internet]. 2013 [diakses tanggal: 29
januari 2016]; 32:641-61. Tersedia dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22
611136
Tjay TH, Raharja K. Obat-obat penting.
Obat jantung. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo; 2007. Hlm. 585-606.
Siswanto, Bambang B. Accurate diagnoses,
evidence based drugs, and new devices (3
ds) in heart failure. Med J Indonesia. 2012;
1(21):1-5.
Rilantono, Lily Ismudiati. Buku ajar
kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
Maggioni, AP. Review of the new esc
guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure.
European Heart Journal Supplement.
2005; (Supplement J):J15-J20.
Muchid A, Umar F, Chusun, Masrul,
Wurjati
R,
Purnama
NR,
dkk.
Pharmaceutical care untuk penyakit
hipertensi. Jakarta: Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian
dan
Alat
Kesehatan
Departemen Kesehatan; 2006.
Departemen
kesehatan
RI.
Profil
kesehatan Indonesia 2006. Jakarta:
Depkes RI; 2006.
Nafrialdi, Setawati A. Farmakologi dan
terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
Lonn E, McKelvie R. Drug treatment in
heart failure. BMJ. 2009; 320:1188-92.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan
Departemen
Kesehatan.
Pharmaceutical care untuk penyakit
Mia Trihasna Asrizal dan Anggraeni Janar Wulan | Angiotensin Receptor Blocker Pada Gagal Jantung
hipertensi. Jakarta: Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan; 2006.
20. Majid, Abdul. Analisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian rawat inap
ulang pasien gagal jantung kongestif di
rumah sakit yogyakarta [tesis]. Jakarta: FIK
Universitas Indonesia; 2010.
21. Karo-Karo S, Rahajoe AU, Sulistyo S,
Kosasih A. Buku panduan kursus bantuan
hidup jantung lanjut indonesia. Jakarta:
Perhimpunan
Dokter
Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI); 2012.
Majority | Volume 5 | Nomor 2 | April 2016 |141
Download