IDENTIFIKASI JENIS-JENIS REPTILIA DARI AWETAN BASAH

advertisement
IDENTIFIKASI JENIS-JENIS REPTILIA DARI AWETAN BASAH
KOLEKSI JURUSAN BIOLOGI UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Fury Fauziah, Ibrohim, Masjhudi
Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Malang
Email korespondensi: [email protected]
ABSTRAK: Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang memiliki koleksi
awetan basah Reptilia, yang kebanyakan belum teridentifikasi. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui informasi ciri morfologi dan kedudukan
taksonomi spesies Reptilia yang dijadikan koleksi awetan basah di Jurusan
Biologi Universitas Negeri Malang. Penelitian dilaksanakan pada Maret-Mei
2013 dengan cara pengamatan meristik dan morfometrik. Hasilnya adalah
terdapat ordo Testudinata dan ordo Squamata. Testudinata (satu family), Ordo
Squamata terdapat dua subordo, subordo Ophidia (tiga family) serta subordo
Lacertilia (tiga family).
Kata kunci: Identifikasi, Reptilia, Koleksi Awetan Basah
Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang (UM) memiliki koleksi awetan
Reptilia yang belum teridentifikasi spesiesnya. Koleksi tersebut dimanfaatkan
sebagai media asli dalam pembelajaran Vertebrata bidang Reptilia. Media asli
digunakan untuk memudahkan proses pembelajaran. Riandi (Tanpa tahun)
mengemukakan media asli dapat memberikan pengalaman langsung saat
pembelajaran dan pengamatan dari media asli akan lebih memperjelas gambaran
tentang bagaimana bentuk asli dari obyek atau spesies tertentu yang sedang
dipelajari. Apabila memungkinkan para siswa atau mahasiswa dapat menyentuh,
membaui, memegang atau memanipulasi obyek tersebut.
Anggota Reptilia sebagian besar merupakan hewan yang sulit ditangkap
atau sulit ditemui karena sifatnya yang gesit. Reptilia seringkali dianggap hewan
yang berbahaya bagi manusi, seperti Crocodylia (buaya), tidak ada satupun dari
anggota jenis ini yang benar-benar dapat bersahabat dengan manusia. Walaupun
dipelihara biasanya pemilik melakukan perlindungan yang ketat, karena dianggap
berbahaya(Iskandar dan Syah, 2008).
Pada dasarnya Reptilia merupakan hewan liar yang jika merasa terganggu
akan bersifat agresif, misalnya menggigit dan beberapa anggotanya merupakan
hewan berbisa. Salah satu contoh dari Reptilia yang berbisa adalah adalah ular
yang termasuk dalam familia Elapidae. Sidik (2009) menjelaskan pada rahang atas
bagian depan dari familia Elapidae terdapat taring yang dapat mengeluarkan bisa.
Pengetahuan cara penanganan diperlukan jika akan menangkap Reptilia.
Mahasiswa yang belum memiliki pengetahuan penanganan Reptilia akan
dimudahkan dengan adanya awetan Reptilia.
Pengawetan Reptilia juga dapat membantu melestarikan keberadaan Reptilia
karena setiap diadakan praktikum tentang Reptilia tidak harus menangkap lagi.
Pada prinsipnya pengawetan hewan bertujuan untuk menghilangkan atau
menghambat proses penghancuran (dekomposisi) oleh mikroorganisme.
Pengawetan basah dilakukan dengan mengawetkan obyek biologi dalam suatu
cairan pengawet. Pengawetan kering dilakukan dengan mengeringkan obyek
biologi hingga kadar air yang sangat rendah, sehingga organisme
1
2
perusak/penghancur tidak bekerja. Koleksi awetan Reptilia di Jurusan Biologi UM
terdapat awetan basah dan awetan kering. Jumlah awetan basah Reptilia
jumlahnya lebih banyak dibanding awetan keringnya. Awetan kering Reptilia
banyak yang tidak lengkap bagian tubuhnya sehingga akan mempersulit jika
dilakukan pengidentifikasian.
Metode
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret-Mei 2013. Pengambilan data dilakukan di lemari
asam dalam Ruang 101 Gedung Biologi, Universitas Negeri Malang. Spesimen
dipilih dan digolongkan berdasarkan Ordo (Testudinata, dan Squamata) terlebih
dahulu untuk kemudian diidentifikasi satu persatu. Spesimen diamati ciri
morfologinya, agar spesimen tidak kering dan agar sisiknya tidak rusak setiap
spesimen yang diamati ditutupi dengan kain atau lap yang dibasahi air. Bagian
tubuh yang diamati didokumentasikan dengan cara difoto.
Kura-kura diamati permukaan dari karapaknya, keras (terlapisi zat tanduk)
atau lunak (tidak terlapisi zat tanduk), terhubung atau tidaknya sisik pectoral pada
plastron dengan sisik marginal, diukur panjang dari karapak (Straight Carapace
Length/SCL), yaitu bagian tengah karapak yang dimulai dari sisik nuchal hingga
sisik supracaudal dengan menggunakan benang, dan dilihat susunan sisik pada
karapak.
Lizard diamati bagian sisik permukaannya (halus/kasar/ berlunas/berbintil bintil); jari dan kuku; pengukuran tubuh yang dimulai dari dari moncong sampai
anal (Snout Vent Length / SVL) dan panjang anal sampai ekor (Tail Length / TL);
dan pengamatan susunan sisik pada bagian kepala. Ular diamati susunan sisiknya
terutama bagian kepala dan sisi ventral bagian ekor, sisik dorsal dihitung bagian
pertengahan moncong dan anal dengan menggunakan jarum pentul. SVL dan TL
diukur panjangnya menggunakan benang yang kemudian diukur menggunakan
meteran.
Spesimen yang telah diamati ciri morfologinya diidentifikasi menggunakan
buku Reptiles of South-east Asia (Das, 2010), The Reptiles of The Indo-Australian
Archipelago I (Rooij,1915) dan The Reptiles of The Indo-Australian Archipelago
II (Rooij,1917).
Hasil
Berdasarkan pengamatan morfologi pada spesimen Reptilia untuk
menentukan spesies, didapat 1 jenis kura-kura (Ordo Testudinata), 7 jenis ular
(Sub-ordo Ophidia), dan 4 jenis lizard (Sub-ordo Lacertilia). Spesimen yang
diamati dapat dilihat pada Gambar 1.
Jenis kura-kura yang teridentifikasi adalah Coura amboinensis, memiliki
Straight Length Carapac 170 mm. Karapak keras dan permukaannya halus, sisik
pectoral pada plastron terhubung dengan sisik marginal pada karapak. Sisik
marginal berjumlah 11, costal ada 4, sisik vertebral ada 5 berbentuk hexagonal.
Terdapat bercak atau spot hitam pada daerah plastron dan juga pada daerah sisik
marginal bagian bawah. Iskandar dan Syah (2008) menjelaskan pada Coura
amboinensis terdapat garis kuning melingkar di kepala pada tepi bagian atas,
bagian pipi terdapat garis kuning lainnya, bibir kuning, dan hitam pada bagian tepi
kepala.
3
Gambar 1. Spesimen Reptilia yang Diamati. 1. Cuora amboinensis (a. karapak dan b. plastron);
2. Ahaetulla prasina; 3. Cryptelytrops albolabris; 4. Naja sputatrix; 5. Ptyas carinata; 6. Ptyas
korros; 7. Xenochrophis melanzostus; 8. Xenochrophis pisciator; 9. Bronchocela jubata;
10. Draco volans; 11. Gekko gecko; 13. Varanus salvator (a. kepala dan b. seluruh tubuh)
4
Anggota subordo Ophidia yang teridentifikasi ada 7, yaitu Ahaetulla
prasina yang memiliki SVL 950 mm, TL 479 mm. Sisik nasal ada 2, sisik loreal
ada 3, sisik supraocular ada 1, sisik preocular ada 1, sisik postocular ada 2, sisik
supralabial ada 9, sisik infralabial ada 10 dan sisik tengah dorsal ada 15,
permukaannya halus, sisik ventral ada 166, sisik anal devide. Kepala dan tubuh
ramping memanjang. Das (2010) menyatakan panjang total Ahaetulla prasina
mencapai 1970 mm. Ahaetulla prasina berwarna hijau terang atau hijau
kekuningan dan ada juga yang abu-abu kecoklatan dengan strip kuning di sisi
tubuhnya.
Cryptelytrops albolabris yang memiliki SVL 850 mm, TL 133 mm. Sisik
nasal ada 2, sisik loreal tidak ada, sisik supraocular ada 1, sisik preocular ada 3,
sisik postocular ada 4, sisik supralabial ada 12, sisik infralabial ada 13 dan sisik
tengah dorsal ada 21, sisik ventral ada 161, sisik anal devide, subcaudal 52.
Kepala besar, dengan rahang besar dan dapat dibedakan dengan leher. Tubuh
gemuk, dengan ekor yang relatif pendek. Cryptelytrops albolabris menurut Rooij
(1917), Sidik (2009), dan Das (2010) memiliki warna hijau pupus, kekuningan,
atau agak putih pada bagian bibir atas, dagu, dan leher. Dorsal kehijauan, perut
hijau hijau atau putih kekuningan, ekor merah..
Naja sputatrix yang memiliki SVL 1189 mm, TL 155 mm. Sisik nasal ada
2, sisik loreal tidak ada, sisik supraocular ada 1, sisik preocular ada 1, sisik
postocular ada 3, sisik supralabial ada 7, sisik infralabial ada 9 dan sisik tengah
dorsal ada 19, permukaan halus, sisik ventral ada 180, sisik anal devide. Kepala
relatif besar, dengan moncong yang membulat. warna kepala lebih cerah
dibandingkan dengan tubuhnya. Naja sputatrix dalam Das (2010) dijelaskan
bahwa corak warna yang dimiliki bervariasi tergantung dari daerah asalnya.
Seperti pada daerah Jawa barat ular ini memiliki warna abu-abu kehitaman dan
silver atau coklat pada daerah Jawa timur.
Ptyas carinata yang memiliki SVL 1890 mm dan TL 560 mm. Sisik nasal
ada 2, sisik internasal ada 1, sisik loreal ada 3, sisik supraocular ada 1, sisik
subocular ada 1, sisik preocular ada 1, sisik supralabial ada 8, sisik infralabial ada
11, sisik dorsal ada 17, permukaanya halus, sisik ventral ada 192, sisik anal
devide. Kepala lonjong dapat dibedakan dengan leher, mata besar dengan pupil
bulat. Seluruh tubuh kecoklatan, dan pada bagian anterior lebih coklat dengan
corak garis gelap tak beraturan. Rooij (1915), Sidik (2009), dan Das (2010)
menyatakan warna Ptyas carinata memiliki warna coklat kekuningan atau coklat
kehijauan yang terkadang terdapat garis-gris kuning pada bagian anterior dan pada
posterior memiliki corak hitam serta pada ekor bagian dorsal terdapat bintik
kuning.
Ptyas korros yang memiliki SVL 1020 mm dan TL 430 mm. Sisik nasal ada
2, sisik loreal ada 2, sisik preocular ada 1, sisik postocular ada 2, sisik supraocular
ada 1, sisik supralabial ada 8, sisik infralabial ada 9, sisik tengah dorsal ada 14,
sisik ventral 169, sisik anal devide. Kepala lonjong dan dapat dibedakan dengan
leher, mata besar dengan pupil bulat. Tubuh abu-abu kecoklatan pada bagian
posterior dan lebih cerah pada bagian anterior. Das (2010) menyatakan kepala dan
bagian dorsal pada daerah anterior Ptyas korros memiliki warna abu-abu, atau
coklat kemerahan, atau coklat kehijauan. Pada bagian posterior gelap mendekati
hitam, dan pada bagian dagu dan bagian ventral serta mulut krem kecoklatan.
5
Xenochrophis melanzostus yang memiliki SVL 340 mm dan TL 120 mm.
Sisik nasal ada 2, sisik loreal ada 1, sisik supraocular ada 1, sisik subocular ada 1,
sisik preocular ada 1, sisik postocular ada 3, sisik supralabial ada 9, sisik
infralabial ada 11, sisik tengah dorsal ada 19, permukaanya berlunas, sisik ventral
ada 139, sisik anal single. Memiliki garis memanjang mulai dari daerah leher
hingga ekor. Xenochrophis melanzostus menurut Sidik (2009) pada badannya
terdapat garis-garis strip atau juga bintik-bintik, dan ada beberapa yang memiliki
warna merah menyala.
Xenochrophis piscator yang memiliki SVL 540 mm dan TL 200 mm. Sisik
nasal ada 2, sisik loreal ada 1, sisik supraocular ada 1, sisik subocular ada 1, sisik
preocular ada 1, sisik postocular ada 3, sisik supralabial ada 9, sisik infralabial ada
10, sisik tengah dorsal ada 19, permukaanya berlunas, sisik ventral ada 123, sisik
anal devide. Memiliki garis hitam pada daerah bawah mata, dan terdapat spot-spot
hitam di tubuhnya. Das (2010) menyatakan bahwa Xenochrophis piscator
memiliki warna coklat kehijauan pada daerah dorsal dengan spot hitam yang
teratur.
Anggota subordo Lacertilia yang teridentifikasi ada 4, yaitu Bronchocela
jubata yang memiliki SVL 114 cm, ekor lebih panjang dari panjang tubuh
mencapai 373 mm. Sisik berlunas, surai daerah leher lebih besar dan lebih
panjang dibanding surai bagian dorsal, terdapat 10 sisik supralabial , dan ada 9
sisik pada infralabial, timpanium besar.
Draco volans yang memiliki SVL 70 mm, dan TL 93 mm, sisik
supralabial ada 11, nostril terdapat di sisi lateral, rusuk patagial ada 6. Terdapat
spot-spot gelap pada patagial. Pada Draco volans menurut McGuire (2001)
patagialnya memiliki pola dikromatik secara seksual, pada jantan ada bintik coklat
pucat atau oranye pucat di dasarnya ditindih dengan pita hitam yang teratur.
Betina tidak memiliki pita hitam, tetapi terdapat bercak hitam kecil yang berliku
tidak teratur yang relative menyebar.
Gekko gecko yang memiliki SVL 135 mm, TL 127 mm. Kepala besar,
mata besar dengan pupil vertikal, tubuh gempal. Sisik kecil dan pada bagian
dorsal terdapat bintil-bintil. Memiliki 13 sisik supralabial dan 11 sisik infralabial.
Das (2010) dan Nugrahani (2011) menjelaskan bahwa Gekko gecko memiliki
warna abu-abu kebiruan pada bagian dorsal dengan bintik-bintik oranye atau
kemerahan dan pada bagian ventral berwarna krem.
Varanus salvator yang teridentifikasi masih tergolong juvenil, karena
hanya memiliki ukuran SVL 141 mm dan TL 127 mm. Varanus salvator dewasa
dapat mencapai panjang total 800 mm (Das, 2010). Dorsal hitam dengan spot-spot
kuning berjejer secara vertikal pada dorsal dan spot atau bintik kuning juga
menyebar pada kaki. Pada bagian moncong terdapat pita hitam melintang. Pada
ekor terdapat pita atau garis kuning. Mata relative kecil, nostril membulat, dan
ekor pipih.
Spesimen yang ada di jurusan Biologi Universitas Negeri Malang yang
telah diidentifikasi terdiri dari dua Ordo, yaitu Testudinata dan Squamata yang
semuanya ada dua belas spesies. Kedudukan taksonomi dari kedua belas spesies
berdasarkan Das (2010) tersaji dalam Tabel di bawah ini.
6
Tabel Kedudukan Taksonomi Reptilia Koleksi Awetan Basah Jurusan Biologi Universitas
Negeri Malang
Kingdom
Philum
Class
Ordo
Testudinata
Squamata
Animalia
Chordata
Reptilia
(Subordo
Ophidia)
Squamata
(Subordo
Lacertilia)
Family
Geomydidae
Genus
Cuora
Spesies
Cuora amboinensis
Ahaetulla
Ptyas
Gekkonidae
Ahaetulla prasina
Ptyas carinata
Ptyas korros
Xenochropis X. melanzostus
X. piscator
Naja
Naja sputatrix
Cryptelitrops C.albolabris
Bronchocela B. jubata
Draco
Draco volans
Gekko
Gekko gecko
Varanidae
Varanus
Colubridae
Elapidae
Viperidae
Agamidae
V. salvator
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan dari hasil penelitian yaitu sebagai berikut.
Reptilia koleksi awetan basah Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang
terdapat dua Ordo, yaitu Testudinata yang ciri khasnya memiliki cangkang dan
Squamata yang tubuhnya ditutupi sisik tumpang tindih berukuran relatif kecil.
Ordo Testudinata terdiri dari satu familia Geomydidae. Ordo Squamata terdiri
dari 2 subordo, meliputi 1). Ophidia yang terdapat tiga familia. Colubridae,
Elapidae, dan Viperidae., 2). Lacertilia yang juga terdiri dari tiga familia, yaitu
Agamidae, Gekkonidae, dan Varanidae.
Saran yang disampaikan adalah sebagai berikut.
Sebaiknya spesimen yang hendak diawetkan, semua bagian tubuhnya dibiarkan
tetap utuh untuk memudahkan identifikasi, serta dilakukan pendataan lengkap
berupa ciri morfologinya dan nama spesies.
Daftar Rujukan
Das, I. 2010. Reptiles of South-East Asia. United Kingdom: New Holland
Publishers Ltd
Iskandar, D. & Syah, F. 2008. Panduan Lapangan Amfibi & Reptil di Areal
Mawas Propinsi Kalimantan Tengah (Catatan di Hutan Lindung Beratus).
Palangkaraya: BOSF
McGuire & Jimmy, A. 2001. Phylogenetic systematics of Southeast Asian flying
lizards (Iguania: Agamidae: Draco) as inferred from mitochondrial DNA
sequence data. Biological Journal of the Linnean Society, 72: 203–229
Nugrahani, Andina. 2011. Karakteristik Morfologis dan Teknik Pemeliharaan
Tokek dan Cicak di Penangkaran PT Mega Citrindo. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Bogor : IPB
7
Riandi. Tanpa tahun. Media pembelajaran biologi. (online). (http://file.upi.edu
/Direktori/FPMIPA/JUR.PEND.BIOLOGI/196305011988031RIANDI/Bah
an_Kuliah/Media_pembelajaran_biologi, diakses tanggal 4 Pebruari 2013)
Rooij, N. 1915. The Reptiles of The Indo-Australian ArchipelagoI. Amsterdam :
E.J. Brill Ltd.
Rooij, N. 1917. The Reptiles of The Indo-Australian Archipelago II. Amsterdam :
E.J. Brill Ltd.
Sidik, I. 2009. Jenis Ular yang Diperdagangkan kategori Non-Apendiks Cites.
Cibinong: Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi –LIPI
Download