pengaruh corporate governance terhadap praktek

advertisement
PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PRAKTEK REAL
EARNINGS MANAGEMENT PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR
YANG TERDAFTAR DI BEI
Disusun oleh:
Fransisca Irena Mulyani
090417987
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2012
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Di era sekarang ini, istilah Good Corporate Governance (GCG) menjadi topik yang kian
populer. Penerapan corporate governance secara efektif dapat menjadi salah satu elemen
kunci dalam meningkatkan pengelolaan dan pengendalian dalam suatu perusahaaan namun
kenyataannya penerapan corporate governance belum sepenuhnya berjalan secara efektif.
Beberapa fakta menunjukkan lemahnya prinsip corporate governance. Daniri (2005)
menjelaskan krisis di kawasan Asia dan Amerika diyakini muncul karena kegagalan
penerapan corporate governance. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
juga menjelaskan bahwa krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat juga disebabkan
oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip corporate governance. Beberapa kasus terbukanya
skandal keuangan seperti Enron Corp., Worldcom, Xerox dan lainnya melibatkan top
eksekutif perusahaan tersebut menggambarkan tidak diterapkannya prinsip-prinsip corporate
governance. Krisis finansial di Asia pada pertengahan tahun 1997 juga dipandang sebagai
salah satu fakta lemahnya penerapan corporate governance. Lemahnya penerapan ini
diyakini sebagai sumber utama kerawanan ekonomi yang menyebabkan memburuknya
perekonomian pada beberapa negara di Asia.
Di Indonesia, krisis yang melanda pada tahun 1997-1998 dipandang sebagai salah satu
dampak dari buruknya penerapan corporate governance. Oleh karena beberapa
permasalahan tersebut, maka corporate governance bukan hanya dipandang sekedar teori
bagi perusahaan publik maupun perusahaan swasta. corporate governance menjadi penting
untuk diimplementasikan karena perusahaan –perusahaan baik publik maupun swasta
merupakan fondasi bagi perekonomian di Indonesia.
Nasution et al. (2007) menjelaskan corporate governance merupakan konsep yang
diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja
manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan
mendasarkan pada kerangka peraturan. Mereka juga menyebutkan bahwa konsep corporate
governance diajukan demi tercapainya pengelolaan perusahaan yang lebih transparan bagi
semua pengguna laporan keuangan. Corporate governance berhubungan dengan agency
theory yang merupakan konsep pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan.
Pemisahan ini akan menimbulkan masalah karena adanya perbedaan kepentingan antara
pemegang saham (sebagai prinsipal) dengan pihak manajemen (sebagai agen) (Jensen dan
Meckling, 1976).
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan
prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham).
Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai
kondisi perusahaan kepada pemilik. Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang
diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai
informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi (information asymmetric) (Haris, 2004
dalam Ujiyantho 2007). Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal)
dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings
management) (Richardson, 1998 dalam Ujiyantho 2007).
Beberapa contoh kasus seperti skandal keuangan Enron di Amerika Serikat yang telah
dijelaskan di atas, mencerminkan tindakan manajemen laba yang salah satunya karena
lemahnya penerapan GCG. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk
dan PT. Kimia Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang
berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Gideon, 2005 dalam Ujiyantho 2007).
Hashemi dan Rabiee (2011) menyatakan bahwa saat ini praktek manajemen laba tidak
hanya berfokus pada manajemen laba tipe akrual seperti pengakuan pendapatan secara
agresif, salah saji persediaan, piutang dan sebagainya. Cara lain dalam melakukan
manajemen laba adalah dengan manipulasi aktivitas rill atau real earnings management
(REM). Pada umumnya, REM dilakukan dengan menunda produksi atau aktivitas operasi
yang menyesuaikan laba dengan target yang diinginkan. Graham et al. (2005)
mendokumentasikan bahwa manajer cenderung beralih ke praktek manajemen laba
manipulasi aktivitas rill ini karena banyak media dan perhatian analis berfokus pada
manajemen laba tipe akrual. Peralihan ini dilakukan karena REM dianggap lebih sulit untuk
terdeteksi karena relatif langka dan baru. Roychowdury (2006) menggambarkan REM
berawal dari praktek operasi normal yang termotivasi oleh keinginan manajer untuk
menyesatkan setidaknya beberapa pemangku kepentingan agar percaya bahwa tujuan
laporan keuangan tertentu telah terpenuhi dalam kegiatan usaha normal. Roychowdury
(2006) jua menyelidiki bahwa REM terjadi pada tiga komponen yaitu pola arus kas operasi,
biaya diskresioner, dan biaya produksi. Pada pola arus kas operasi, REM dilakukan dengan
penjualan yang tinggi dengan diskon. Pada biaya diskresioner, REM dilakukan dengan
mereduksi biaya R&D, advertising, dan biaya pemeliharaan. Pada biaya produksi, REM
dilakukan melalui overproduction.
Dari contoh-contoh yang dikemukakan mengenai praktek manajemen laba, maka
diperlukan suatu mekanisme untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan dengan menerapkan
GCG. FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) menyatakan GCG akan
mendorong perusahaan untuk terkelola secara transparan, bertanggung jawab, dan adil bagi
pihak-pihak yang berkepentingan.
1.2. Rumusan Masalah
Penerapan GCG sangatlah penting bagi perusahaan. GCG dengan mekanisme yang baik
dapat meningkatkan pengendalian perusahaan sehingga mampu menciptakan nilai tambah
bagi perusahaan serta mengurangi atau membatasi peluang untuk melakukan praktek
manajemen laba. Oleh karena itu, peneliti ingin menguji apakah karakteristik tertentu dari
tata kelola perusahaan dapat membatasi praktek REM.
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.
Apakah ukuran dewan direksi berpengaruh terhadap REM?
2.
Apakah dewan komisaris indepeden berpengaruh terhadap REM
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa ukuran dewan direksi berpengaruh terhadap
praktek REM
2. Untuk memberikan bukti empiris bahwa dewan komisaris independen berpengaruh
terhadap praktek REM
1.4. Manfaat Penelitian
1. Kontribusi Teori
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang teori keagenan, teori
akuntansi positif, dan adanya pengaruh corporate governance yang diukur berdasarkan
ukuran dewan direksi dan dewan komisaris independen terhadap praktek REM. Dengan
demikian diharapkan bahwa penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan sebagai bahan
referensi untuk penelitian di masa yang akan datang.
2. Kontribusi Praktek
Penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak internal dalam meningkatkan
pengendalian perusahaan dengan sistem tata kelola perusahaan yang baik sehingga dapat
memperkecil kemungkinan praktek REM.
II.
KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Teori Keagenan
Menurut Elqorni (2009), teori keagenan (Agency Theory) merupakan basis teori yang
mendasari praktik bisnis perusahaan yang selama ini digunakan. Dalam teori keagenan,
hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain
(agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang
pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Manajer sebagai
pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di
masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai
pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik.
Elqorni (2009) juga menyatakan perbedaan kepentingan ekonomis menyebabkan
timbulnya
informasi
asimetri
(kesenjangan
informasi)
antara
pemegang
saham
(stakeholders) dan organisasi. Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak
atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham selaku prinsipal diasumsikan hanya
tertarik pada hasil keuangan yang dapat menambah hasil investasi mereka di perusahaan.
Para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat
yang menyertai dalam hubungan tersebut. Perbedaan kepentingan ini menjadikan masingmasing pihak berusaha untuk memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Prinsipal
menginginkan pengembalian yang sebesar-besarnya atas investasi yang salah satunya
dicerminkan oleh kenaikan porsi dividen dari setiap saham yang dimiliki.
Agen menginginkan adanya pemberian kompensasi/bonus/insentif/renumerasi yang
baginya memadai dan sebesar-besarnya atas kinerjanya. Prinsipal menilai prestasi agen
berdasarkan kemampuannya memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian dividen.
Semakin tinggi laba, harga saham dan dividen, maka agen dianggap berhasil dalam
kinerjanya sehingga layak mendapat insentif yang tinggi. Sebaliknya, agenpun memenuhi
tuntutan prinsipal agar mendapat kompensasi atau insentif yang tinggi sehingga apabila
tidak ada pengawasan yang memadai maka agen akan dapat lebih mudah memainkan
beberapa kondisi perusahaan agar seolah-olah targetnya bisa tercapai. Permainan tersebut
dapat berasal dari prakarsa prinsipal maupun inisiatif agen sendiri. Oleh karena alasan
tersebut maka terjadilah creative accounting.
Ujiyantho (2007) juga menyatakan dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak
untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang
dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak
diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agent dapat mempengaruhi
angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan
manajemen laba.
Berdasarkan teori ini, manajemen dalam mengelola perusahaan cenderung lebih
mementingkan kepentingan pribadinya daripada meningkatkan nilai perusahaan. Misalnya
saja, contoh dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan karena pihak agensi memiliki
keunggulan informasi keuangan daripada pihak prinsipal, sedangkan dari pihak prinsipal
kemungkinan memanfaatkan kepentingan pribadinya sendiri karena memiliki keunggulan
kekuasaan. Dalam teori agensi, terdapat tiga masalah utama dalam hubungan agensi yaitu
kontrol pemegang saham kepada manajer, biaya yang menyertai hubungan agensi, serta
menghindari dan meminimalisasi biaya agensi.
Menurut Daniri (2005), berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang
dengan bertumpu pada teori keagenan dimana pengelolaan perusahaan harus diawasi dan
dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan
kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Upaya ini menimbulkan apa yang
dimaksud dengan agency costs yang menurut teori ini harus dikeluarkan sehingga biaya
untuk mengurangi kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan setara dengan peningkatan
biaya enforcement-nya. Agency costs ini mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang
saham, biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang
transparan,termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal, serta biaya
yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk
“bonding expenditure” yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai
manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham.
2.2 Teori Akuntansi Positif
Teori akuntansi positif berupaya menjelaskan sebuah proses, yang menggunakan
kemampuan, pemahaman, dan pengetahuan akuntansi serta penggunaan kebijakan akuntansi
yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu dimasa mendatang. Teori akuntansi
positif pada prinsipnya beranggapan bahwa tujuan dari teori akuntansi adalah untuk
menjelasakan dan memprediksi praktik-praktik akuntansi.
Scott (2007) menyatakan bahwa Positive Accounting Theory (PAT) berkaitan dengan
memprediksi tindakan seperti pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan dan
bagaimana manajer akan menanggapi untuk mengusulkan standar akuntansi baru. Ada tiga
hipotesis yang dijadikan sebagai dasar pengembangan manajemen laba yang meliputi:
1. The Bonus Plan Hypothesis
Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin untuk memilih prosedur
akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode mendatang ke periode
berjalan.
2. The Debt Covenant Hypothesis
Semakin dekat perusahaan adalah pelanggaran akuntansi berbasis perjanjian utang,
semakin besar kemungkinan para manajer perusahaan adalah untuk memilih prosedur
akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode mendatang ke periode
berjalan
3. The Political Cost Hypothesis
Semakin besar biaya politik yang dihadapi oleh perusahaan, semakin besar kemungkinan
manajer adalah memilih prosedur akuntansi yang menunda laba yang dilaporkan dari
cuurent untuk masa mendatang
2.3 Good Corporate Governance
2.3.1 Pengertian Good Corporate Governance
Menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia), GCG
merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan. Di samping itu, FCGI juga menjelaskan bahwa tujuan
dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak
yang berkepentingan (stakeholders). GCG didefinisikan sebagai suatu pola hubungan,
sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (Direksi, dewan komisaris,
dan RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara
berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan
stakeholder lainnya berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku
(Daniri, 2005). Dari definisi diatas dapat disimpulkam bahwa GCG merupakan:
1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan
komisaris, Direksi, RUPS, dan para stakeholder lainnya.
2. Suatu sistem check and balance mencakup perimbangan kewenangan atas
pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang yaitu
pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, dan
pengukuran kinerja.
2.3.2 Prinsip-prinsip Dasar Pengertian Good Corporate Governance
Daniri (2005) juga menyatakan bahwa secara umum ada lima prinsip dasar GCG
yaitu transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness.
Prinsip-prinsip ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Transparency (Keterbukaan Informasi)
Transparansi dapat diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan
relevan mengenai perusahaan. Menurut peraturan di pasar modal Indonesia, yang
dimaksud informasi material dan relevan adalah informasi yang dapat
mempengaruhi naik turunnya harga saham perusahaan atau yang memperngaruhi
secara signifikan risiko serta prospek udsaha perusahaan yang bersangkutan.
Dalam mewujudkan transparansi, perusahaan harus menyediakan informasi yang
cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan
dengan perusahaan tersebut. Setiap perusahaan diharapkan pula dapat
mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material dan
berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu.
Selain itu, para investor juga harus dapat mengakses informasi penrting
perusahaan secara mudah pada saat diperlukan.
2. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban
organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
Masalah yang biasanya ditemukan di Indonesia adalah kurangnya fungsi
pengawasan Dewan Komisaris atau mungkin sebaliknya, komisaris utama
mengambil peran berikut wewenang yang seharusnya dijalankan Direksi padahal
diperlukan kejelasan tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta suatu
mekanisme check and balances kewenangan dan peran dalam mengelola
perusahaan. Salah satu penerapan prinsip ini adalah kewajiban untuk memiliki
komisaris independen dan komite audit sebagaimana yang ditetapkan oleh Bursa
Efek Jakarta (BEJ). Apabila prinsip ini dapat diterapkan secara efektif, maka ada
kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara
pemegang saham, dewan komisaris, serta Direksi. Dengan demikian maka
perusahaan akan terhindar dari kondisi agency problem (benturan kepentingan
peran).
3. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
yang berlaku. Peraturan yang berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan
masalah
pajak,
hubungan
industrial,
perlindungan
lingkungan
hidup,
kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat.
Penerapan prinsip ini diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa dalam
kegiatan
operasionalnya
seringkali
ia
menghasilkan
eksternalitas
(dampak luar kegiatan perusahaan) negatif yang harus ditanggung oleh
masyarakat. Di luar hal itu, lewat prinsip ini juga diharapkan membantu peran
pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja
pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dari mekanisme
pasar.
4. Independency (Kemandirian)
Independensi merupakan suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Independensi terutama penting dalam
proses
pengambilan
keputusan.
Hilangnya
independensi
dalam
proses
pengambilan keputusan akan menghilangkan objektivitas dalam pengambilan
keputusan tersebut. Independensi bagi para anggota Direksi mewujud dalam
keputusan-keputusan transaksi yang seharusnya tidak mengandung benturan
kepentingan atau tidak mengambil keputusan pribadi dari kegiatan perusahaan
yang dikelolanya. Untuk meningkatkan independensi dalam pengambilan
keputusan bisnis, perusahaan hendaknya mengembangkan beberapa aturan di
tingkat corporate board terutama tingkat dewan komisaris dan Direksi yang oleh
Undang-undang didaulat untuk mengurus perusahaan dengan sebaik-baiknya.
5. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran)
Kesetaraan dan kewajaran dapat didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan
setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan
perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Prinsip ini diharapkan
membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent sehingga
muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair. Prinsip ini juga
diharapkan dapat menjadi jiwa untuk mrmonitor dan menjamin perlakuan yang
adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Ada enam aspek yang dijabarkan oleh OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development) sebagai pedoman pengembangan kerangka kerja
legal, institusional, dan regulatori untuk GCG di suatu negara. Aspek-aspek tersebut
meliputi:
1. Memastikan adanya basis yang efektif untuk kerangka kerja corporate
governance. Kerangka kerja corporate governance mendukung terciptanya pasar
yang transparan dan efisien sejalan dengan ketentuan perundangan dan
mengartikulasi dengan jelas pembagian tanggung jawab di antara para pihak
seperti pengawas, instansi pembuat regulasi, dan instansi penegakannya.
2. Hak-hak pemegang saham dan funngsi kepemilikan. Hak-hak pemegang saham
harus dilindungi dan difasilitasi.
3. Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham. Seluruh pemegang saham
minoritas dan pemegang saham asing harus diperlakukan setara. Seluruh
pemegang saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan
perhatian bila hk-haknya dilanggar.
4. Peran stakeholder dalam corporate governance. Hak-hak para pemangku
kepentingan harus diakui sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan
kontrak kerjasama aktif antara perusahaan dan para stakeholder harus
dikembangkan dalam upaya bersama menciptakan aset, pekerjaan, dan
kelangsungan perusahaan.
5. Disclosure dan transparansi. Pengungkapan yang tepat waktu dan akurat
mengenai segala aspek material perusahaan termasuk situasi keuangan, kinerja,
kepemilikan, dan governance perusahaan.
6. Tanggung jawab perusahaan (corporate boards). Pengawasan dewan komisaris
terhadap pengelolaan perusahaan oleh Direksi harus berjalan efektif disertai
adanya tuntutan strategik terhadap manajemen serta akuntabilitas dan loyalitas
Direksi dan dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.
2.3.3 Manfaat Good Corporate Governance
Esensi dari corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui
supervisi atau pemantauan kinerja manajemen danm adanya akuntabilitas manajemen
terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan
yang berlaku (Gunarsih, 2003).
GCG memberikan kerangka acuan yang
memungkinkan pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme check and
balances di perusahaan.
Daniri (2005:14) menjabarkan beberapa manfaat GCG. Manfaat GCG antara lain
(1) mengurangi biaya agensi, (2) mengurangi biaya modal, (3) meningkatkan nilai
saham perusahaan sekaligus meningkatkan citra perusahaan di mata publik dalam
jangka panjang, dan (4) menciptakan dukungan para stakeholder terhadap keberadaan
perusahaan serta berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan.
2.3.4 Struktur Pengurus Perusahaan
Secara umum, struktur kepengurusan perusahaan di Indonesia menggunakan two
tier sistem yang terdiri dari dewan pengawas perusahaan (Dewan Komisaris) dan
Direksi yang memiliki fungsi dan wewenang mengelola perusahaan. Menurut Bacon
and Brown dari Coference Board, ada tiga karakteristik utama two tier board, yaitu:
1. Struktur sistem ini memisahkan antara fungsi, tugas dan wewenang dewan
pengelola dengan dewan pengawas perusahaan
2. Pemisahan secara fisik antara tugas dan wewenang kedua dewan ini dapat
menghindari campur tangan dan tugas ganda.
3. Dalam sistem ini, dewan pengawas sama sekali tidak diberi wewenang unutk
campur tangan dalam pengelolaan perusahaan. Dewan pengawas berfokus pada
tugas memberikan pengawasan.
Pada sistem ini, RUPS memiliki tugas dan wewenang untuk memilih,
mengangkat, mengawasi, dan memberhentikan anggota Dewan Komisaris dan
Direksi. Anggota Dewan Komisaris terpilih memiliki tugas dan wewenang untuk
mengawasi dan dan memberikan nasihat pada Direksi yang akan memimpin jalannya
roda perusahaan (Daniri, 2005). Beberapa fungsi, wewenang, dan tanggung jawab
Dewan Komisaris :
1. Mengawasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab para Direksi untuk
menjalankan perusahaan untuk mencapai target yang telah ditentukan RUPS.
2. Memastikan bahwa perusahaan telah berjalan pada jalur yang benar dan dengan
cara yang efisien dan efektif serta menghindari seminimal mungkin risiko
3. Memastikan diterapkannya GCG.
2.4 Manajemen Laba melalui Manipulasi Aktivitas Rill
Informasi laba merupakan indikator untuk mengukur kinerja atas pertanggungjawaban
manajemen dalam mencapai tujuan operasi serta membantu earnings power perusahaan di
masa yang akan datang. Informasi laba ini sering menjadi target rekayasa melalui tindakan
oportunis manajemen agar seolah-olah kinerjanya baik. Manajemen biasanya melakukan
rekayasa terhadap laba dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu sehingga laba
dapat dimanipulasi sesuai dengan keinginannya. Tindakan atau perilaku ini biasa dikenal
dengan istilah earnings management atau manajemen laba. Dalam bukunya, Scott
menyatakan bahwa,
“Earnings management is the choice by a manager of accounting policies so as to
achieve some specific objective”
Manajemen laba memiliki memiliki dua mekanisme yaitu accrual earnings management
dan real earning management (REM). Menurut penelitian Hashemi dan Rabiee (2011),
sebagian besar perusahaan berfokus pada manajemen laba tipe akrual misal pengakuan laba
secara agresif. Scott (2007) juga menjelaskan bahwa strategi yang digunakan untuk
melakukan manajemen laba yaitu meningkatkan pendapatan dengan cara mempercepat
pencatatan pendapatan dan menunda biaya atau mengalihkan biaya ke periode yang lain.
Manipulasi laba yang ada dalam perusahaan nyatanya tidak selalu menggunakan tipe
akrual tetapi juga dengan menunda produksi atau aktivitas operasi yang disesuaikan dengan
target laba. Tindakan ini disebut manajemen laba melalui menipulasi aktivitas rill atau REM.
REM cenderung mengarah ke penurunan nilai dengan misalokasi kegiatan perusahaan.
Roychowdury (2006) menggambarkan REM berawal dari praktek operasi normal yang
termotivasi oleh keinginan manajer untuk menyesatkan setidaknya beberapa pemangku
kepentingan agar percaya bahwa tujuan laporan keuangan tertentu telah terpenuhi dalam
kegiatan usaha normal. Berdasarkan penelitian Roychowdury (2006), manajemen laba
melalui aktivitas riil terjadi pada :
1. Sales Manipulation
Didefinisikan oleh Roychowdury (2006) sebagai usaha manajer dalam periode waktu
tertentu untuk meningkatkan penjualan dalam satu tahun dengan menawarkan potongan
harga atau perjanjian utang yang lebih lunak. Usaha manajer tersebut dapat meningkatkan
volume penjualan sementara waktu, namun volume penjualan akan kembali pada kondisi
normal ketika perusahaan kembali kepada tingkat harga yang lama. Volume penjualan
pada periode perusahaan melakukan manipulasi penjualan akan meningkat, namun di sisi
lain arus kas yang dilaporkan menjadi lebih rendah. Dari sisi arus kas, teknik ini
menyebabkan arus kas dari kegiatan operasi pada periode berjalan lebih rendah
dibandingkan level penjualan normal
2. Over Production
Didefinisikan oleh Roychowdury (2006) sebagai usaha manajer untuk meningkatkan
penerimaan dengan memproduksi barang dalam jumlah lebih dari yang dibutuhkan untuk
memenuhi permintaan kebutuhan sesuai ekspektasi. Saat manajer memproduksi barang
lebih banyak, maka manajer dapat menyebarkan fixed cost kepada unit produksi yang
besar. Hal ini akan menyebabkan biaya tetap per masing-masing unit menjadi lebih kecil
sepanjang biaya tersebut tidak ditambah lagi oleh biaya marginal lain. Konsekuensi dari
teknik ini adalah munculnya production cost dan holding cost dari produksi yang
berlebihan sehingga arus kas menjadi lebih rendah daripada tingkat penjualan pada
kondisi normal
3. Reduction of Discretionary Expenditures
Didefinisikan
oleh
Roychowdury
(2006)
sebagai
perilaku
akuntansi
dengan
membebankan pengeluaran diskresioner seperti biaya penelitian dan pengembangan,
iklan, perawatan, biaya umum, dan administrasi dalam periode yang sama ketika
terjadinya biaya. Hal ini umumnya terjadi ketika biaya diskresioner tidak secara langsung
menghasilkan penerimaan. Penurunan biaya diskresioner akan menyebabkan penurunan
aliran kas keluar sehingga memiliki dampak positif terhadap arus kas dari operasi
abnormal pada periode sekarang namun dapat menyebabkan risiko arus kas lebih rendah
di periode selanjutnya.
2.5 Hipotesis Penelitian
2.5.1 Board Size dan REM
Board Size atau ukuran dewan direksi merupakan faktor penting dari efisiensi
struktur dewan perusahaan. Namun, belum ada persetujuan tentang ukuran struktur
dewan direksi yang optimal. Beberapa peneliti menyatakan bahwa dewan yang
berukuran besar dapat memperluas informasi manajemen dan meningkatkan sumber
informasi. Dalam konteks ini, Charreaux dan Pitol-Berlin (1997) dalam Hashemi dan
Rabiee (2011) menganggap bahwa ukuran dewan direksi mencerminkan seberapa
besar praktek pengendalian pengurus perusahaan. Dengan demikian, ukuran dewan
direksi yang besar mengindikasikan adanya pendapat yang beragam dan
pengendalian yang lebih baik. Sebaliknya, struktur komposisi dewan yang lemah
akan lebih mudah untuk didominasi manajer. Dechow et al. (1998) menunjukkan
bahwa perusahaan yang memanipulasi laba lebih suka memiliki board of director
atau direksi yang didominasi oleh manajemen. Probabilitas atau kemunginan
manipulasi laba lebih rendah untuk perusahaan yang struktur kepengurusannya
melibatkan komite audit yang mempunyai dewan komisaris independen yang ahli
dalam bidang keuangan (Agrawal dan Chadha, 2005). Souid dan Stepanewiski
(2010) telah menunjukkan bahwa pengurus dengan proporsi yang tinggi dalam
dewan direksi dapat membatasi keputusan manajer untuk melakukan praktek
manajemen laba. Mekanisme pengendalian ini dapat mengurangi prilaku oportunistik
manajer. Dengan penjabaran di atas, maka hipotesis yang dibuat adalah:
H1 : Ukuran dewan direksi berhubungan negatif dengan REM
H1a : Ukuran dewan direksi berhubungan negatif dengan abnormal cash flow
(ACFO)
H1b : Ukuran dewan direksi berhubungan negatif dengan abnormal
discretionary expenses (ADISEXP)
H1c : Ukuran dewan direksi berhubungan negatif dengan abnormal production
(APROD)
2.5.2 Dewan Komisaris Independen dan REM
Fungsi dewan komisaris adalah sebagai pengawas dan pemberi nasehat kepada
manajer (direksi) atas nama para pemegang saham. Dewan komisaris sebagai puncak
dari sistem pengendalian internal perusahaan memiliki peranan terhadap terhadap
aktivitas pengawasan. (Siallagan dan Machfoedz, 2006 dalam Fatma 2010).
Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak terafiliasi
dengan Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan Pemegang Saham
Pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat
mempengaruhi
kemampuannya
untuk
bertindak
independen
atau bertindak
semata-mata demi kepentingan Perusahaan. (KNKG, 2006). Fama dan Jensen (1983)
dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa non-executive director
(komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang
terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta
memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi
terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang GCG.
Chen et al. (2006) menemukan bahwa proporsi dewan komisaris independen
dalam struktur dewan perusahaan berhubungan positif dengan kelengkapan
pengungkapan finansial. Klein (2002) menemukan hubungan negatif antara dewan
komisaris independen dan abnormal accruals, sebagai ukuran manajemen laba.
Beasley (1996) dan Dechow (1998) menemukan bahwa dewan komisaris independen
berhubungan negatif dengan peristiwa penipuan laporan keuangan. Temuan tersebut
menunjukkan bahwa dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan
REM. Dari penjabaran di atas, maka hipotesis yang dibuat adalah:
H2 : Porporsi dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan REM
H2a : Proporsi dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan
abnormal cash flow (ACFO)
H2b : Proporsi dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan
abnormal discretionary expenses (ADISEXP)
H2c : Proporsi dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan
abnormal production (APROD)
III.
METODE PENELITIAN
3.1 Sampel dan Data Penelitian
3.1.1 Sampel
3.1.1.1 Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang
ada di Indonesia. Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3.1.1.2 Metode Proses Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling yaitu dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang
sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Adapun kriteria yang digunakan
dalam pengambilan sampel ini adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan manufaktur.
2. Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007-2011
3. Perusahaan yang memiliki periode pelaporan laporan keuangan yang
berakhir pada 31 Desember
4. Perusahaan tersebut telah menerbitkan laporan keuangan tahunan (annual
report) untuk periode 2007-2011
5. Perusahaan yang menggunakan mata uang pelaporan dalam bentuk Rupiah
3.1.2 Data
3.1.2.1 Strategi Pengumpulan Data
Strategi pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
strategi arsip, yaitu data dikumpulkan dari catatan atau basis data yang sudah
ada.
3.1.2.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan adalah data sekunder berupa laporan
keuangan perusahaan yang diperoleh melalui Pojok Bursa & Galeri Valbury
Asian Securities (VAST) Universitas Atma Jaya Yogyakarta, situs keuangan
di internet seperti www.idx.co.id, serta dari situs masing–masing perusahaan
sampel.
3.1.2.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan
strategi arsip. Oleh karena data yang digunakan adalah data sekunder, maka
teknik pengumpulan data yang dapat digunakan adalah teknik pengumpulan
data dari basis data.
3.2 Definisi Operasional Variabel dan Pengukurannya
3.2.1
Variabel Independen
3.2.1.1 Ukuran Dewan Direksi
Direksi sebagai organ Perusahaan bertugas dan bertanggung-jawab secara
kolegial. Masing-masing anggota direksi dapat melaksanakan tugas dan
mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya
Namun pelaksanaan tugas dari masing-masing anggota direksi tetap
merupakan tanggung-jawab bersama. (KNKG, 2006). Pengukuran dewan
direksi (BSIZE) dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menghitung
jumlah anggota dewan direksi dalam perusahaan.
3.2.1.2 Proporsi Dewan Komisaris Independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi
dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham
pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang
dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau
bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (KNKG, 2006).
Proporsi dewan komisaris independen (BIND) diukur dengan menggunakan
indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar
perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan.
3.2.2
Variabel Dependen
3.2.2.1 Abnormal Cash Flow from Operations
Model Abnormal Cash Flow from Operations dituliskan sebagai berikut:
𝐢𝐹𝑂𝑖𝑑
1
π‘†π‘Žπ‘™π‘’π‘ π‘–π‘‘
βˆ†π‘†π‘Žπ‘™π‘’π‘ π‘–π‘‘
= 𝛼0 (
) + 𝛼1 (
) + 𝛼2 (
) + πœ€π‘–π‘‘
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
CFOit
= Arus kas operasional perusahaan i pada tahun t
TAit-1
= Total aset untuk perusahaan i pada tahun t-1
Salesit
= Penjualan untuk perusahaan i selama periode tahun t
Kemungkinan perusahaan melakukan REM dengan manipulasi penjualan jika
nilai residu abnormal CFO negatif.
3.2.2.2 Abnormal Discretionary Expenses
Model Abnormal Discretionary Expenses dituliskan sebagai berikut:
𝐷𝐼𝑆𝐸𝑋𝑃𝑖𝑑
1
π‘†π‘Žπ‘™π‘’π‘ π‘–π‘‘
= 𝛼0 (
) + 𝛼1 (
) + πœ€π‘–π‘‘
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
DISEXP merupakan beban penelitian dan pengembangan ditambah beban
iklan dan beban penjualan, administrasi, dan umum. Kemungkinan
perusahaan melakukan REM melalui manipulasi biaya diskresioner jika nilai
residu abnormal discretionary expenses negatif.
3.2.2.3 Abnormal production-operating costs
Model Abnormal production-operating costs dituliskan sebagai berikut:
𝑃𝑅𝑂𝐷𝑖𝑑
1
π‘†π‘Žπ‘™π‘’π‘ π‘–π‘‘
βˆ†π‘†π‘Žπ‘™π‘’π‘ π‘–π‘‘
βˆ†π‘†π‘Žπ‘™π‘’π‘ π‘–π‘‘−1
= 𝛼0 (
) + 𝛼1 (
) + 𝛼2 (
) + 𝛼3 (
) + πœ€π‘–π‘‘
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
𝑇𝐴𝑖𝑑−1
PROD merupakan beban pokok penjualan ditambah perubahan persediaan.
Kemungkinan perusahaan melakukan REM dengan manipulasi biaya
produksi jika nilai residu abnormal production cost positif.
3.2.3
Variabel Kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel Kontrol
Keterangan
SIZEI
Logaritma dari market value of equity
MTBI
Rasio dari market value of equity
dengan book value of equity
INVRECI
Persentase jumlah piutang dan
persediaan dari keseluruhan total
aset
NODUAL
Dummy variabel (1 jika CEO tidak
sekaligus sebagai Chairman dan 0
jika selain itu.)
3.3 Model Empiris
Pengujian hipotesis tentang pengaruh GCG terhadap REM
menggunakan alat analisis
regresi berganda dengan tiga model sebagai berikut:
𝐴𝐢𝐹𝑂𝑖𝑑 = 𝛼0 + 𝛼1 𝐡𝑆𝐼𝑍𝐸𝑖𝑑 + 𝛼2 π‘π‘‚π·π‘ˆπ΄πΏπ‘–π‘‘ + 𝛼3 𝐡𝐼𝑁𝐷𝑖𝑑 + 𝛼4 𝑆𝐼𝑍𝐸𝑖𝑑
+ 𝛼4 𝑀𝑇𝐡𝐼𝑖𝑑 +𝛼5 𝐼𝑁𝑉𝑅𝐸𝐢𝐼𝑖𝑑 + πœ€π‘–π‘‘
𝐴𝐷𝐼𝑆𝐸𝑋𝑃𝑖𝑑 = 𝛼0 + 𝛼1 𝐡𝑆𝐼𝑍𝐸𝑖𝑑 + 𝛼2 π‘π‘‚π·π‘ˆπ΄πΏπ‘–π‘‘ + 𝛼3 𝐡𝐼𝑁𝐷𝑖𝑑 + 𝛼4 𝑆𝐼𝑍𝐸𝑖𝑑 + 𝛼4 𝑀𝑇𝐡𝐼𝑖𝑑 +𝛼5 𝐼𝑁𝑉𝑅𝐸𝐢𝐼𝑖𝑑
+ πœ€π‘–π‘‘
𝐴𝑃𝑅𝑂𝐷𝑖𝑑 = 𝛼0 + 𝛼1 𝐡𝑆𝐼𝑍𝐸𝑖𝑑 + 𝛼2 π‘π‘‚π·π‘ˆπ΄πΏπ‘–π‘‘ + 𝛼3 𝐡𝐼𝑁𝐷𝑖𝑑 + 𝛼4 𝑆𝐼𝑍𝐸𝑖𝑑
+ 𝛼4 𝑀𝑇𝐡𝐼𝑖𝑑 +𝛼5 𝐼𝑁𝑉𝑅𝐸𝐢𝐼𝑖𝑑 + πœ€π‘–π‘‘
Keterangan:
BSIZE
= jumlah anggota dewan direksi
NODUAL
= dummy variable
BIND
= proporsi dewan komisaris independen
SIZE
= logaritma dari market value of equity
MTBI
= market to book ratio
INVRECI
= Persentase jumlah piutang dan persediaan dari keseluruhan total aset
3.4 Analisis Data
3.4.1
Analisis Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui nilai rata-rata, minimum,
maksimum, dan standar deviasi dari variabel-variabel yang diteliti.
3.4.2
Uji Asumsi Klasik
3.4.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
variabel terikat dan variabel bebas, keduanya mempunyai distribusi normal
atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau
mendekati normal. Uji ini dilakukan dengan cara melihat penyebaran data
(titik) pada sumbu diagonal atau grafik. Apabila data menyebar di sekitar
garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi
memenuhi asumsi normalitas. Apabila data menyebar jauh dari garis
diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal maka model regresi
tidak memenuhi asumsi normalitas. (Ghozali, 2006)
3.4.2.2 Uji Multikolinearitas
Ghozali (2006) menyatakan bahwa uji ini bertujuan untuk menguji
apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel
independen. Pada model regresi yang baik seharusnya antar variabel
independen tidak terjadi korelasi. Untuk mendeteksi ada tidaknya
multikolinearitas dalam model regresi dapat dilihat dari tolerance value atau
variance inflation factor (VIF). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya
multikolinearitas didalam model ini adalah sebagai berikut:
1.
Menganalisa matrik korelasi antar variabel bebas jika terdapat korelasi
antar variabel bebas yang cukup tinggi (> 0,9) hal ini merupakan
indikasi adanya multikolinearitas.
2.
Dilihat dari nilai VIF dan Tolerance. Nilai cut off Tolerance < 0.10 dan
VIF > 10 (berarti terdapat multikolinearitas)
3.4.2.3 Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan
lain.
Model
regresi
yang
baik
adalah
yang
terjadi
homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. Untuk mendeteksi
adanya heterokedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser.
Dasar pengambilan keputusan uji heterokedastisitas melalui uji Glejser
dilakukan sebagai berikut:
1.
Apabila koefisien parameter beta dari persamaan regresi signifikan
statistik,
yang berarti
data empiris
yang diestimasi
terdapat
heterokedastisitas.
2.
Apabila probabilitas nilai test tidak signifikan statistik, maka berarti
data empiris yang diestimasi tidak terdapat heterokedastisitas.
3.4.2.4 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model
regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode ke–t
dengan kesalahan periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi maka
dinamakan ada problem autokorelasi. Model regresi yang baik adalah yang
bebas autokorelasi. Untuk mendeteksi autokorelasi, dapat dilakukan uji
statistik melalui uji Durbin Watson (DW test) (Ghozali, 2006).
Dasar pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah sebagai
berikut:
1.
Bila nilai DW terletak diantara batas atas atau upper bound (du) dan (4du) maka koefisien autokorelasi = 0, berarti tidak ada autokorelasi.
2.
Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl)
maka koefisien autokorelasi > 0, berarti ada autokorelasi positif.
3.
Bila nilai DW lebih besar dari (4-dl) maka koefisien autokorelasi < 0,
berarti ada autokorelasi negatif.
Bila nilai DW terletak antara du dan dl atau DW terletak antara (4-du) dan
(4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Daniri, Mas Achmad, 2005, Good Corporate Gocernance: Konsep dan Penerapannya Dalam
Konteks Indonesia, (Gloria Printing, Jakarta).
FCGI. 2002. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) The Essence Of Good Corporate
Governance; Konsep dan Implementasi Perusahaan Publik dan Korporasi Indonesia.
Yayasan Pendidikan Pasar Modal Indonesia & Sinergy Communication, Jakarta.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivarite dengan SPSS, Cetakan Keempat, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Hartono, Jogiyanto. 2010.Metodologi Penelitian Bisnis. BPFE UGM, Yogyakarta.
Hashemi, S and Rabiee,H. 2011. The role of Corporate Governance in Real Earnings
Management. Interdiciplinary Journal of Contemporary Research in Business Vol. 3, No.
6, pp. 848-857.
Jensen, M. C. & Meckling, W. H. 1976. Theory of the firm: managerial behavior, agency costs
and ownership structure, Journal of Financial of Economics, 3 (4): pp. 305-360.
Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. Pedoman umum GCG Indonesia, Jakarta.
Nasution, Marihot dan Doddy Setiawan. 2007. “Pengaruh Corporate Governance Terhadap
Manajemen Laba Di Industri Perbankan”. Simposium Nasional Akuntansi X, IAI, Makasar
2007
Scott, William R. 2007. Financial Accounting Theory. 4th edition. Prentice Hall : Canada.
Ujiyantho dan Pamuka. 2007. Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba
Kinerja Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar.
dan
Download