Bias Penggunaan Indikator Pdb Secara Tunggal Dr Bambang Heru

advertisement
Mengerti Proses Perhitungan Statistik Indonesia:
Bias Penggunaan Indikator Pdb Secara Tunggal
Dr Bambang Heru Santosa
Direktur Statistik Peternakan, Perikanan dan Kehutanan
Badan Pusat Statistik
Disampaikan pada
Kelompok Diskusi Sore Hari, Selasa 15 Juni 2010
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM)
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI)
Mengerti Proses Perhitungan Statistik Indonesia:
Bias Penggunaan Indikator PDB Secara Tunggal
Bambang Heru Santosa1
Banyak orang – dari kalangan akademis, pengambil keputusan, maupun
masyarakat umum – yang seolah menganggap bahwa PDB (Produk Domestik Bruto)
merupakan indikator tunggal yang dapat digunakan untuk banyak keperluan dalam
menilai kinerja ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diukur melalui peningkatan besaran
PDB. APBN, tax ratio, hutang luar negeri dan cicilan pembayarannya, investasi, dan
banyak lagi, selalu dikaitkan dengan data PDB. Namun dalam kondisi tertentu,
penggunaan indikator tersebut, tanpa dibarengi dengan data lain dapat menghasilkan
kesimpulan yang bias.
Banyak pihak sering dengan bangga menyebutkan bahwa daerahnya
menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Mereka percaya bahwa dengan
pertumbuhan ekonomi tinggi, banyak kesempatan untuk membangun sekaligus
mensejahterakan masyarakat. Pertumbuhan seperti apa yang diamksud?
Pertumbuhan ekonomi dihitung menggunakan data PDB (GDP=Gross
Domestic Product atau di tingkat provinsi atau kabupaten/kota dikenal dengan istilah
PDRB. Sedangkan dari sisi harga yang digunakan adalah PDB atas dasar harga
konstan, sehingga pertumbuhan yang dihitung merupakan pertumbuhan ‘riil”. Karena
metode penyusunan PDB -- secara internasional baku -- dan didasarkan kepada data
empiris, analisis menggunakan indikator PDB secara tunggal bisa bias. Dengan
demikian, ketika pembuat keputusan menggunakan PDB (secara tunggal) untuk
perencanaan strategis pembangunan, mereka mungkin akan menemukan arah yang
kurang sesuai, sehingga apa yang dirasakan masyarakat dengan apa yang disimpulkan
pengambil kebijakan bisa berbeda.
Mereka dengan mudah tahu, berdasarkan data official, bahwa terjadi
pertumbuhan ekonomi yang signifikan, katakanlah 6%, tetapi pada waktu yang sama
sebagian besar masyarakat menemui kenyataan bahwa secara ekonomis mereka malah
menjadi lebih buruk dibanding sebelumnya.
Teoritis, indikator yang lebih bersih adalah PNB (GNP=Gross National
Product), di mana mencakup nilai tambah bersih dari luar negeri (daerah) yang bisa
negatif ataupun positif. Namun demikian indikator ini jarang digunakan untuk
analisis. Lagipula indikator ini juga masih tetap mengandung arah yang bias.
Harus ada penjelasan untuk menerangkan kenapa PDB atau PNB selayaknya
tidak digunakan sebagai indikator tunggal untuk membuat perencanaan strategis
pembangunan ekonomi. Indikator PDB atau PNB harus dikombinasikan dengan
indikator-indikator lain, misalnya Gini rasio.
Penjelasan yang lebih sederhana harus diberikan melalui cara yang lebih
praktis: dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data, diakhiri dengan
interpretasinya. Dalam hal ini perlu dijelaskan kembali metodologi penyusunannya,
seperti berikut ini.
1. Pendekatan Penyusunan PDB
Menuju interpretasi, dimulai dengan bagaimana metodologi menyusun PDB.
Tanpa penjelasan tersebut, seseorang dalam mengambil kesimpulan akan kurang
tepat. Seperti sudah diketahui banyak orang, ada tiga pendekatan untuk menyusun
1
Direktur Statistik Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan, BPS
PDB. Dengan mengingat kembali tiga pendekatan tersebut, kita akan tahu di mana
penyebab kemungkinan bias interpretasi.
1.1. Pendekatan Produksi
Penyusunan PDB dari pendekatan produksi mempunyai makna bahwa kita
harus menghitung nilai tambah (value added) dari seluruh sektor atau kegiatan
ekonomi. Untuk lebih jelasnya, diberikan contoh sederhana berikut ini.
Nilai tambah yang tercipta dari produksi barang/jasa “i”
Output
Input Antara (Intermediate-input)
Nilai tambah (Value-added)
Kuantitas
10
10
Harga
100
75
Nilai
1,000
750
250
Dari tabel di atas, nilai tambah yang “tercipta” dari memproduksi barang/jasa “i”
adalah sebesar 250 (satuan uang). PDB merupakan penjumlahan nilai tambah seluruh
proses produksi barang/jasa (seperti pada komoditi “i”, di suatu selang waktu tertentu
di wilayah tertentu (Indonesia), atau merupakan penjumlahan dari 250 + Xi + …Xn +
Yi …+ Yn. Secara kompak, formulasi untuk menghitung PDB dapat dilihat berikut
ini.
n
PDB = GDP = ∑ VAi
i =1
PDB = GDP = Gross Domestic Product;
VA
= value-added (nilai tambah);
i
= bergerak dari 1, 2, …, n
n
= jumlah dan ragam barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah.
1.2. Pendekatan Pendapatan
Dalam perekonomian, faktor produksi -- tanah, tenaga kerja, modal, dan
kewiraswastaan -- mempunyai peran yang sangat penting. Kompensasi atau balas jada
dari keikutsertaan faktor produksi tersebut juga dikenal dengan istilah nilai tambah.
Kemudian, penjumlahan dari seluruh nilai tambah merupakan PDB. Oleh karenanya,
PDB dapat didisagregasikan sesuai peran keikutsertaan faktor produksi seperti berikut
ini.
sewa tanah
tanah
tenaga kerja
upah/gaji
bunga modal
modal
kewiraswastaan
keuntungan
---------------------- +
nilai tambah
Dengan kata lain, penjumlahan dari 4 komponen tersebut, secara agregat, juga sama
dengan PDB.
1.3. Pendekatan Pengeluaran
PDB juga dapat didisagregasikan menurut pengeluaran, dengan formula
berikut.
PDB (Y) = C + I + G + X – M
C = konsumsi rumahtangga;
I = investasi (pembentukan modal tetap bruto);
G = konsumsi pemerintah;
X = ekspor; and M = impor.
Semua pendekatan untuk menyusun PDB relevan untuk menjelaskan topik makalah
ini. Pendekatan pertama (PDB menurut sektor) dapat digunakan, misalnya untuk
mengindikasi sektor mana sebagai sektor kontributor terbesar (leading sector) atau
sektor mana yang terkecil sumbangannya terhadap keseluruhan PDB. Pendekatan
kedua dapat digunakan untuk mengindikasikan “penguasa faktor produksi apa”
sebagai penerima manfaat terbesar dari terciptanya nilai tambah dalam perekonomian.
Sedangkan pendekatan terakhir, paling tidak dapat mengindikasikan siapa saja yang
berperan dalam membelanjakan nilai tambah yang tercipta. Misalnya, seberapa besar
pemeritah berperan dalam membelanjakan anggarannya, atau seberapa besar terjadi
pembentukan modal tetap bruto. Paling tidak, dapat mendikasikan bahwa pemerintah
mempunyai peran yang kuat untuk memasok infrastruktur produksi untuk masyarakat,
seperti: jalan, jembatan, telekomunikasi, dan lainnya.
2. Pengumpulan Data
Dalam hal data yang dibutuhkan untuk menyusun PDB, semua jenis data
kuantitatif maupun kualitatif data ekonomi diperlukan, dan harus dikumpulkan. Data
tidak hanya berasal dari usaha maupun institusi besar, namun juga dari yang kecilkecil. Penulis memberi perumpamaan bahwa: “PDB adalah seekor binatang pemakan
segala data”.
Mengumpulkan data dari yang “besar-besar” biasanya lebih mudah, karena
sifat institusi/usahanya biasanya formal. Namun, pengumpulan data dari yang “kecilkecil”, jumlahnya sangat banyak. Paling tidak ada 3 (tiga) kendala dalam
pengumpulan data, yaitu: a) bisnis kecil sering muncul secara tiba-tiba, namun juga
dapat “mati” secara tiba-tiba sehingga menyulitkan pegumpulan datanya; b) bisnis
kecil banyak yang bersifat informal (bahkan mungkin saja illegal), sehingga ada aspek
kesulitan dalam pengumpulan datanya; dan c) lokasi bisnis juga mudah berpindahpindah sehingga sulit dilacak.
Namun, usaha besar juga tidak berarti pasti mudah, sehingga secara umum
mengumpulkan data untuk menyusun PDB memerlukan kesabaran di semua sisi,
“binatang pemakan segala data”.
Secara umum, sumber data yang dibutuhkan untuk penyusunan PDB juga
masih perlu ditingkatkan kesadarannya. Sampai saat ini masih ada anggapan bahwa
kalau usaha didata, pasti ada dugaan akan dihubung-hubungkan dengan pajak,
padahal tidak.
Walaupun jumlah usaha besar jauh lebih sedikit dibanding usaha kecil, namun
tak terbantahkan bahwa sumbangan terhadap PDB merupakan bagian terbesar.
Sebaliknya, usaha kecil yang jumlahnya (amat) banyak, kontribusinya terhadap PDB
sangat kecil. Data inilah yang membuat analis sering “tersesat” ketika mengambil
kesimpulan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi
tinggi, belum tentu mensejahterakan seluruh masyarakat. Secara matematik,
pertumbuhan lebih mengindikasikan pertumbuhan yang “besar-besar”. Bahkan, bisa
terjadi, dari PDB dapat dikatakan terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tetapi
pada sisi lain justru banyak (sekali) usaha kecil “berguguran”.
Penjelasan dari pernyataan tersebut secara matematis diberikan berikut ini.
Usaha besar, misal kontribusinya 80% dan tumbuh 8%, sedangkan usaha kecil
terkontraksi sebesar 2,5% (terjadi pertumbuhan negatif sebesar 2,5%). Secara
matematis rata-rata tertimbang (weighted average) pertumbuhan seluruh usaha adalah
{(0,8 x 8) + (- 0,2 x 2,5)}% = (6,4 – 0,5) = 5,9%. Dari data ini, sangat mungkin
pejabat publik pengambil keputusan atau akademisi masih bisa berbangga bahwa
ekonomi tumbuh 5,9%, sehingga menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Padahal, usaha kecil tersebut melibatkan sebagian besar masyarakat, dan usaha besar
hanya dikuasai sedikit orang saja. Di sinilah jelas bahwa pertumbuhan tersebut tidak
ada manfaatnya untuk masyarakat banyak. Perencanaan pembangunan yang
didasarkan interpretasi data tersebut dapat membahayakan.
Contoh tersebut kasus mudah ditemukan. Supermarket besar yang dilengkapi
piranti canggih dan banyak menyedot pelanggan “didampingkan” dengan toko
kelontong kecil yang “kumuh” dan kurang menarik pembeli. Oleh karenanya, jujur
saja, semua orang akan pilih belanja di supermarket besar.
Ada fenomena baru yang mungkin dapat lebih “membunuh” yang kecil-kecil.
Ada retail besar, tetapi perusahaan besar tersebut di-split menjadi kecil-kecil, dan
diberi kemudahan untuk beroperasi ke “gang-gang sempit”. Walaupun kecil, tetapi
formal dan berpiranti canggih dibanding toko peracangan di sebelahnya. Karena
inilah, kemungkinan besar toko peracangan “milik emak saya” mati kaku.
Fenomena yang lain adalah usaha yang kelihatannya kecil-kecil (tetapi
sebetulnya satu) tersebut lalu sahamnya dibeli retail besar yang merupakan usaha
afiliasi bisnis asing, maka berdasarkan logika pendekatan PDB berdasarkan
pendapatan, akhirnya asinglah yang menikmati bisnis tersebut dengan ongkos
kematian bisnis yang ditanggung oleh masyarakat.
Biasanya, bisnis besar hanya dimiliki oleh beberapa orang saja, sedangkan
bisnis kecil pelakunya banyak sekali. Dari pengalaman empiris, jumlah nilai tambah
yang diciptakan usaha besar biasanya juga relatif besar persentasenya, karena
efisiensinya lebih baik. Sebaliknya bisnis kecil dilakukan oleh banyak sekali orang
dengan tingkat efisiensi yang mungkin lebih buruk. Dari kalimat ini jelaslah, nilai
tambah besar dibagi pelaku usaha yang jumlahnya hanya beberapa disandingkan
dengan usaha kecil-kecil yang nilai tambahnya juga sedikit tetapi pelakunya banyak
sekali. Maka jelaslah bahwa pengusaha besar lebih melaju sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi (atau bahkan lebih cepat, sesuai contoh di atas), dan usaha
kecil berguguran. Pertumbuhan ekonomi lebih menggambarkan pertumbuhan yang
besar. Usaha kecil-kecil menderita kemuduran, bahkan mudah mati. Secara logika
usaha kecil “membayar” pertumbuhan ekonomi lebih tinggi untuk kepentingan yang
besar.
3. Siapa Mendapat Nilai Tambah Terbesar?
Misalkan fungsi penciptaan nilai tambah adalah Y = a f(X) dan a adalah
konstanta; kemudian fungsi matematik tersebut diderivasikan menjadi 2 (dua) fungsi,
dan mereka adalah:
Y1 = a1 f(X1);
Y1 untuk usaha kecil
Y2 = a2 f(X2).
Y2 untuk usaha besar a2 > a1 and X2 > X1 > 0
Dengan demikian, Y2 > Y1 dan ketika PDB tumbuh, usaha besar memperoleh sebagian
besar nilai tambah.
Penjelasan untuk PDB yang didasarkan kepada pendekatan pendapatan juga
dapat digunakan untuk menjelaskan siapa yang menikmati nilai tambah yang paling
besar. Penjelasan akan lebih mudah dengan menggunakan skema di bawah ini.
Masyarakat
Faktor
Produksi
Nilai Tambah
PDB
Sebagian
besar
masyarakat
hanya
mempunyai
akses
terhadap
faktor
produksi
yang sedikit.
Tanah
Sewa Tanah
Tenaga Kerja
Upah/Gaji
Modal
Bunga Modal
Penjumlahan dari
sewa, upah, bunga,
dan keuntungan
sama dengan nilai
tambah, sedangkan
penjumlahan dari
nilai tambah adalah
PDB
Kewira
swastaan
Keuntungan
Karena hanya
mempunyai
minimum akses
terhadap faktor
produksi, maka
juga hanya
menikmati
minimum nilai
tambah
Pemerintah (G) diuntungkan dengan besaran
PDB. Deangan rasio tetap, semakin tinggi
PDB semakin besar penerimaan pajak.
Penjelasan dapat dimulai dari masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Masyarakat
dan perusahaan menikmati pertumbuhan sejalan dengan besarnya penguasaan faktor
produksi, namun pemerintah hanya mendapat manfaat sejalan dengan besaran PDB.
Celakanya, pemerintah mungkin akan tidak menghiraukan pihak mana yang
menguasai faktor produksi. Kepentingan pemerintah adalah PDB besar, sehingga
pajak yang dikumpulkan juga besar.
3.1. Masyarakat
Ketika masyarakat cenderung hanya menguasai faktor tenaga kerja, maka mereka
lebih mendapat manfaat dari besaran upah/gaji. Ketika mereka juga mempunyai akses
(mengontrol) faktor tanah, maka mereka juga merasakan manfaat dari sewa tanah.
Demikian andaikata ada penguasaan modal dan kewiraswastaa, maka masyarakat
akan menikmati nilai tambah lebih besar.
Kepemilikan tanah mungkin masih berada pada masyarakat, tetapi apabila
penguasaannya sudah tidak lagi pada mereka, maka manfaatnya juga sudah
berpindah. Lokasi perusahaan tambang besar yang berada di Indonesia, apabila
penguasaannya tidak lagi di negara tersebut, maka manfaat yang dirasakan
masyarakat dan negara juga sedikit. Pemerintah hanya mendapatkan pajak.
3.2 Perusahaan
Secara nyata, mungkin perusahaan merasakan manfaat yang lebih besar, dari
hasil penciptaan nilai tambah. Perusahaan mampu mengontrol faktor produksi -tenaga kerja, tanah, modal, dan entrepreneurship. Oleh karena pihak tersebut
merasakan manfaat yang lebih besar dibanding masyarakat, maka pada tahap
selanjutnya perusahaan juga akan lebih bisa mengontrol tambahan faktor produksi.
Dalam banyak kasus, perusahaan cenderung meminimkan upah dan gaji untuk
memaksimalkan keuntungan. Keadaan akan lebih buruk, andaikata perusahaan
mengekploitasi sumber daya alam dalam negeri.
3.3 Pemerintah
Dalam hal nilai tambah, pemerintah lebih berkepentingan terhadap besaran
PDB (total value added domestik), karena besaran pajak sejalan dengan besaran PDB.
Andaikata tidak dibarengi dengan kebijakan untuk mengalokasikan PDB secara lebih
adil, maka pertumbuhan setinggi apapun, akan kurang bermanfaat untuk
memakmurkan masyarakat.
4 Ekspor dari Perusahaan Multinasional
Teoritis, ekspor akan selalu berdampak positif terhadap perekonomian dalam
negeri. Namun, tidak semua ekspor betul-betul berdampak siginifikan terhadap
perekonomian domestik.
Katakanlah, sebuah perusahaan MNC (multinational corporations) beroperasi
di domestik dengan basis input antara yang diimpor (imported intermediate input).
Secara normal, perusahaan jenis itu hanya memberi tingkat upah cenderung lebih
rendah kepada pekerja domestik, dan memberikannya secara lebih baik kepada tenaga
ekspatriat, tanpa perhitungan yang sepenuhnya rasional. Sebagai akibatnya, walaupun
perusahaan tersebut mendongkrak pertumbuhan ekonomi, ekspor, dan penerimaan
pajak, namun perusahaan tersebut kurang memberikan nilai tambah secara baik
kepada masyarakat domestik, dan bahkan memproduksi polutan yang akhirnya juga
membutuhkan biaya untuk menanggulangi.
Demonstrasi anarkis karyawan Drydock World Graha di Batam adalah sebuah
contoh yang tepat. Walaupun produknya diekspor, namun hampir seluruh input
antaranya diimpor, sehingga seolah meningkatkan ekspor, tetapi kurang memberikan
surplus neraca perdagangan.
5. Kesimpulan
5.1. Perusahaan besar yang lebih efisien, mungkin dapat menghambat pertumbuhan
perusahaan kecil dan rumahtangga, sehingga tanpa dibarengi kebijakan yang lebih
adil, perencanaan yang hanya melihat pertumbuhan PDB akan menghambat
perekonomian rakyat kecil.
5.2. Penguasaan faktor produksi oleh asing yang cenderung porsinya lebih besar
dibanding penguasaan dalam negeri di perushaan yang beroperasi di dalam negeri,
jelas merugikan perekonomian masyarakat dan negara.
5.3. PDB yang tercipta dan dicatat dalam perekonomian dalam negeri belum tentu
dinikmati masyarakat banyak, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi tinggi --dihitung dari PDB—tidak secara otomatis dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak.
5.4. Data ekspor yang terus meningkat tidak berarti peningkatannya sejalan dengan
surplus perdagangan.
5.5. Sangat mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi (dari PDB) yang tinggi, tetapi
ekonomi masyarakat malah merosot.
5.6 Hati-hati menganalisis menggunakan data makro.
Download