EKOSISTEM SAWAH

advertisement
1
EKOSISTEM SAWAH
(diabstraksikan oleh:
Prof Dr Ir Soemarno MS, pslp-ppsub-2010)
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh
hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara
utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling
mempengaruhi.
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang
melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik
sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan
terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari
sebagai sumber dari semua energi yang ada. Dalam ekosistem, organisme
dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik
sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik,
sebaliknya organisme juga mempengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan
hidup. Pengertian ini didasarkan pada hipotesis Gaia, yaitu: "organisme,
khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan lingkungan fisik
menghasilkan sutu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi cocok
untuk kehidupan". Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa kandungan kimia
atmosfer dan bumi sangat terkendali dan sangat berbeda dengan planet lain
di tata surya.
Hukum Toleransi
Hukum toleransi berbunyi: Kehadiran, kelimpahan dan penyebaran
suatu spesies dalam ekosistem ditentukan oleh tingkat ketersediaan sumber
daya serta kondisi faktor kimiawi dan fisis yang harus berada dalam kisaran
yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut. Misalnya: Panda memiliki
toleransi yang luas terhadap suhu, namun memiliki toleransi yang sempit
terhadap makanannya (bambu). Berbeda dengan makhluk hidup yang lain,
manusia dapat memperlebar kisaran toleransinya karena kemampuannya
untuk berpikir, mengembangkan teknologi dan memanipulasi alam.
Komponen Pembentuk Ekosistem
Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah:
Komponen tak hidup (abiotik)
Komponen abiotik yaitu komponen fisik dan kimia yang merupakan
medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan
tempat hidup. Sebagian besar komponen abiotik bervariasi dalam ruang dan
waktunya. Komponen abiotik dapat berupa bahan organik, senyawa
anorganik, dan faktor yang mempengaruhi distribusi organisme, yaitu:
1. Suhu. Proses biologi dipengaruhi suhu. Mamalia dan unggas
membutuhkan energi untuk meregulasi temperatur dalam
tubuhnya.
2
2. Air. Ketrsediaan air mempengaruhi distribusi organisme.
Organisme di gurun beradaptasi terhadap ketersediaan air di
gurun.
3. Garam. konsentrasi garam mempengaruhi kesetimbangan air
dalam organisme melalui osmosis. Beberapa organisme terestrial
beradaptasi dengan lingkungan dengan kandungan garam tinggi.
4. Cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya mempengaruhi
proses fotosintesis. Air dapat menyerap cahaya sehingga pada
lingkungan air, fotosintesis terjadi di sekitar permukaan yang
terjangkau cahaya matahari. Di gurun, intensitas cahaya yang
besar membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan
tertekan.
5. Tanah dan batu. Beberapa karakteristik tanah yang meliputi
struktur fisik, pH, dan komposisi mineral membatasi penyebaran
organisme berdasarkan pada kandungan sumber makanannya di
tanah.
6. Iklim. Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam
suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional dan lokal.
Iklim mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni
komunitas tertentu.
Komponen autotrof
Terdiri dari organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dari
bahan anorganik dengan bantuan energi seperti sinar matahari (fotoautotrof)
dan bahan kimia (khemo-autotrof). Komponen autotrof berperan sebagai
produsen. Organisme autotrof adalah tumbuhan berklorofil, seperti padi
sawah.
3
Sumber: http://www.annualreviews.org/na101/home/literatu/ publisher/ar/
journals/content/arplant/2010/arplant.2010.61.issue-1/annurev-arplant-042809112152/production/images/medium/pp610535.f1.gif
Komponen heterotrof
Terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik
yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya. Komponen
heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena makanan yang
dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong heterotrof adalah manusia,
hewan, jamur, dan mikroba.
Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang
berasal dari organisme mati.[4] Pengurai disebut juga konsumen makro
(sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme
pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan
bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen.
Yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula detritivor yaitu
hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah
kutu kayu. Tipe dkomposisi ada tiga, yaitu:
1. secara aerobik : oksigen adalah penerima elektron / oksidan
2. secara anaerobik : oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai
penerima elektron /oksidan
4
3. Fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi
juga sebagai penerima elektron.
Semua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan
berinteraksi membentuk suatu kesatuan ekosistem yang teratur. Misalnya,
pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan sebagai
komponen heterotrof, tumbuhan air sebagai komponen autotrof, plankton
yang terapung di air sebagai komponen pengurai, sedangkan yang termasuk
komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut
dalam air.
Konsep Produktivitas
Energi bersifat kekal, namun pada setiap pertukaran energi dari satu
bentuk ke bentuk lainnya akan mengalami kehilangan energi. Produktivitas
primer suatu ekosistem adalah laju penyimpanan energi melalui proses
fotosintesa oleh produsen dalam bentuk senyawa organik yang dapat dipakai
sebagai bahan makanan. Produktifitas sekunder adalah laju penyimpanan
energi pada tingkat konsumen.
Produktivitas primer kotor adalah hasil seluruh fotosintesa, termasuk
yang terpakai untuk respirasi. Produktivitas primer bersih adalah hasil bersih
fotosintesa. Produktivitas komunitas bersih adalah laju penyimpanan bahan
organik yang tidak digunakan oleh heterotrof per satuan waktu. Produktivitas
setiap jenis ekosistem berbeda-beda.
Kebergantungan
Kebergantungan pada ekosistem dapat terjadi antar komponen biotik
atau antara komponen biotik dan abiotik.
Kebergantungan antar komponen biotik dapat terjadi melalui:
1. Rantai makanan, yaitu perpindahan materi dan energi melalui
proses makan dan dimakan dengan urutan tertentu. Tiap tingkat
dari rantai makanan disebut tingkat trofi atau taraf trofi. Karena
organisme pertama yang mampu menghasilkan zat makanan
adalah tumbuhan maka tingkat trofi pertama selalu diduduki
tumbuhan hijau atau produsen. Tingkat selanjutnya adalah tingkat
trofi kedua, terdiri atas hewan pemakan tumbuhan yang biasa
disebut konsumen primer. Hewan pemakan konsumen primer
merupakan tingkat trofi ketiga, terdiri atas hewan-hewan karnivora.
2. Jaring- jaring makanan, yaitu rantai-rantai makanan yang saling
berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga
membentuk seperi jaring-jaring. Jaring-jaring makanan terjadi
karena setiap jenis makhluk hidup tidak hanya memakan satu
jenis makhluk hidup lainnya.
Kebergantungan antara komponen biotik dan abiotik dapat terjadi melalui
siklus materi, seperti:
1.
siklus karbon
2.
siklus air
5
3.
4.
siklus nitrogen
siklus sulfur
Siklus ini berfungsi untuk mencegah suatu bentuk materi menumpuk
pada suatu tempat. Kegiatan manusia telah membuat suatu sistem yang
awalnya siklik menjadi nonsiklik, kegiatan pembangunan yang dilakukan
oleh manusia cenderung mengganggu keseimbangan lingkungan alam.
Diagram of Environments and N2 Fixing Components in a rice field Ecosystem
N2 fixing bacteria.
1.
Asscoiated with the roots
2.
In the Soil
3.
Epiphytic on Rice
4.
Epiphytic on weeds. Blue-gree algae
5.
at soil-water interface
6.
free floating
7.
at air water interface
8.
epihytic on rice
9.
epiphytic on weeds
10
Azolla
Komponen ekosistem sawah (Sumber:
http://www.microbiologyprocedure.com/rhizosphere-phyllosphere/nitrogenfixation-in-the-rhizosphere.html)
In low land flooded rice cultivation, two major subenvironments have come to
be recognized-submerged plant parts and the rhizosphere. Epiphytic bacteria
6
and algae colonize the surface of aquatic weeds. The rhizosphere is a
nonphotic environment where redox, conditions are determined by the
balance of oxidizing and reducing capacities of rice roots and characterized by
exuded carbon compounds from roots providing energy sources for microbial
growth. Nitrogen fixing microorganisms in the waterlogged rice fields
contribute about 40-50 kg N / ha. This fixation is a cumulative effect of
Rhodopseudomonas, blue-gree algae, both free living as well as symbiotic
(photoautotrophs) and Azotobacter, Beijerinckia, Methylomonas, Clostridium,
Desulfovibrio, Klebsiella, Enterobacter, Flavobacterium, Pseudomonas,
Azospirillum and Rhizobium (Heterotrophs).
The bulk of symbiotic nitrogen fixation in rice rhizosphere of flooded soil
comes from root and stem nodules of leguminous green manure species when
they are ploughed into the soil. It is also now known that nitrogen fixing
bacteria occur in the rhizosphere, stalks and phyllosphere of sugarcane plants
and such bacteria have also been reported inside the root cells.
Can Rice-Fish Farming Provide Food Security in Bangladesh?
(http://www.thefishsite.com/articles/641/can-ricefish-farming-provide-foodsecurity-in-bangladesh)
Bangladeshi people are popularly referred to as "Macche-Bhate Bangali"
or "fish and rice makes a Bengali." Rice and fish have been an essential part of the
life of Bangladeshi people from time immemorial. Rice farming is the single most
important livelihood for a vast majority of the rural poor. The annual rice
production is estimated to be 26.53 million tons1, while fish production is 2.32
million tons. The demand for rice and fish is const antly rising, with the population
increasing by more than three million people each year.
The total area of rice fields in Bangladesh is about 10.14 million ha and there
are a further 2.83 million ha of seasonal rice fields where water remains for
four to six months of the year. These inundated rice fields can play an
important role in increasing fish production through integration of
aquaculture. There are several positive effects of fish farming in rice yields.
Integrated rice-fish production can optimise resource use through the
complementary utilisation of land and water. Integration of fish with rice
farming improves diversification, intensification, productivity and
sustainability. Rice-fish farming is also being regarded as an important
approach to integrated pest management (IPM).
The adoption of rice-fish farming in Bangladesh remains rather marginal
to date due to socioeconomic, environmental, technological and institutional
constraints9. Traditionally wild fish have been harvested from rice fields. The
green revolution of agriculture has become a constraint for the development of
rice-fish farming. With the introduction of high yielding varieties (HYV) of rice,
the pest control strategy has preferred chemical pesticides. Nevertheless, reducing
pesticide has taken place through IP M. The introduction of IPM with fish farming
in rice fields becoming popularity in many Asian countries, such as China,
Philippines, Thailand and Vietnam.
7
Satuan dalam Ekosistem
Antara makhluk hidup satu dengan yang lain akan selalu terjadi
interaksi. Ekosistem tersusun atas komponen-komponen yang saling
berinteraksi satu dengan yang lainnya. Komponenitu membentuk satuansatuan organisme kehidupan. Antara individu yang satu dengan lainnya
dalam satu daerah akan membentuk populasi. Selanjutnya, antara populasi
yang satu dengan yang lainnya dalam satu daerah akan terjadi interaksi
membentuk komunitas. Selanjutnya, komunitas ini juga akan selalu
beriteraksi dengan tempat hidupnya. Misalnya, rumput hidup di tanah,
belalang hidup di rerumputan, dan ikanikan hidup di air.
Hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya akan
membentuk ekosistem. Kumpulan ekosistem di dunia akan membentuk
biosfer. Urutan satuan-satuan makhluk hidup dalam ekosistem dari yang kecil
sampai yang besar adalah sebagai berikut:
Individu
Populasi
Komunitas
Ekosistem
Biosfer.
1. Individu Tanaman Padi
Istilah individu berasal dari bahasa Latin individum yang berarti tidak
dapat dibagi. Di dalam ekologi, individu dapat diartikan sebagai sebutan
untuk makhluk tunggal. Beberapa pengertian individu antara lain:
a. Suatu individu selalu menggambarkan sifat tunggal
b. Dalam diri yang tunggal terjadi proses hidup sendiri
c. Proses hidup yang satu dengan lainnya berbeda.
Berikut ini deskripsi individu tanaman padi.
Rice is a semi-aquatic plant. In true aquatic plants air spaces (aerenchyma
tissue) help to support the leaves near to the surface of the water. Locate the
air spaces on the picture of the pond weed below. There are many varieties of
rice and they differ in height, in the amount of time they take to mature and in
their water requirements. In various parts of its range, rice is grown in
different ways but most of the rice in south-cast Asia is grown in unusual
conditions for a cereal plant. It is grown partly submerged in water in paddy
fields. The fields are flooded and then ploughed. Young rice plants are
planted in the rich mud formed in these paddy fields. The oxygen
concentration of this mud fails rapidly after the paddy field has been flooded.
The top ten centimetres or so retains some oxygen because it is able to diffuse
in but below this depth anaerobic conditions exist and there is little or no
oxygen present. Rice stems contain a large number of air spaces. These spaces
allow oxygen to penetrate through to the cells of roots growing in the absence
of oxygen. These cells continue to get oxygen and are able to respire
aerobically. Another adaptation shown by rice plants is that many of their
8
roots are very shallow. These roots are able to make use of the oxygen which
diffuses into the surface layer.
When fields in which a cereal such as wheat is growing are flooded for any
length of time, the plants die. The oxygen concentration of the waterlogged
soil falls rapidly. The root cells are unable to get the oxygen they need in
order to respire. In these conditions they can carry on respiring without
oxygen. This is called anaerobic respiration and results in ethanol being
formed as a waste product. Unfortunately, this substance is poisonous so a
plant can only respire in this way for a short time before the ethanol
concentration builds up and kills it. Cells in the roots of rice plants have been
shown to be extremely tolerant of ethanol, much more so than cells from the
roots of other cereals. They can therefore respire anaerobically for longer
periods. There are two advantages of growing rice in paddy fields. Flooding
brings about chemical changes in the soil which increases the supply of soil
nutrients required by the rice plants. It also reduces weeds. Rice does not
grow well when it has to compete with weeds for the resources that it needs.
Individu tanaman padi (Sumber:
http://www.compulink.co.uk/~argus/Dreambio/fertilisers%20and%20crops/rice.htm)
2. Populasi Padi
Populasi adalah semua individu sejenis yang menempati suatu
daerah tertentu. Suatu organisme disebut sejenis bila memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Menempati daerah atau habitat yang sama
b. Mempunyai persamaan bentuk, susunan tubuh, dan aktifitas
9
c. Mampu menghasilkan keturunan yang subur, yaitu yang mampu
berkembang biak.
Sebagai contoh, pada suatu lahan seluas 200 m² terdapat 500 batang
tanaman padi, 100 ekor belalang, 50 ekor jangkrik, 10 batang tanaman
sengon, dan 30 batang tanaman kelapa. Berdasarkan data tersebut maka di
dalam lahan atau daerah tersebut terdapat beberapa populasi, yaitu populasi
padi, populasi belalang, populasi jangkrik, populasi sengon dan populasi
kelapa.
Komunitas padi sawah agroforestry (Sumber:
http://www.indonesiaseoul.org/pictures/RiceField2.jpg)
3. Komunitas
Komunitas dapat diartikan sebagai seluruh populasi yang menempati
daerah yang sama. Di daerah tersebut, antar jenis makhluk hidup yang satu
dengan yang lainnya akan terjadi interaksi. Kemudian interaksi itu
membentuk suatu kumpulan, dimana di dalamnya setiap individu menemukan
lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Di dalam kumpulan
tersebut terdapat suatu kerukunan untuk hidup bersama, toleransi
kebersamaan, dan hubungan timbal balik yang menguntungkan dan ada pula
yang merugikan.
10
Interaksi populasi padi dengan populasi belalang (Sumber:
http://www.knowledgebank.irri.org/ricedoctor/)
4. Ekosistem Sawah
Ekosistem merupakan tatanan secara utuh dari seluruh unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem juga dapat diartikan
sebagai hubungan timbal balik yang kompleks antara organisme dengan
lingkungannya. Berdasarkan sejarah terbentuknya, ekosistem dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Ekosistem Alami, yaitu ekosistem yang terbentuk secara alami,
tanpa adanya pengaruh atau campur tangan manusia. Misalnya,
ekosistem gurun pasir, ekosistem hutan tropis, dan ekosistem
hutan gugur. Setiap ekosistem mempunyai ciri khas. Ciri itu sangat
ditentukan oleh faktor suhu, curah hujan, iklim, dan lain-lain.
b. Ekosistem Buatan, yaitu ekosistem yang sengaja dibuat oleh
manusia. Misalnya, kolam, waduk, sawah, ladang, dan tanam.
Pada umumnya, ekosistem buatan mempunyai komponen biotik
sesuai dengan yang diinginkan pembuatnya. Pada ekosistem
sawah, komponen biotik yang banyak, yaitu padi dan kacang.
c. Ekosistem Suksesi, yaitu ekosistem yang merupakan hasil suksesi
lingkungan yang sebelumnya didahului oleh kerusakan. Pada
11
lingkungan demikian, jenis tumbuhan yang berkembang
ditentukan oleh jenis organisme yang hidup di sekitarnya.
Ekosistem sawah irigasi (Sumber:
http://wwwdelivery.superstock.com/WI/223/1566/200701/PreviewComp/SuperSt
ock_1566-328983.jpg)
An ecosystem is a biological environment consisting of all the organisms
living in a particular area, as well as all the nonliving, physical components of the
environment with which the organisms interact, such as air, soil, water, and
sunlight. It is all the organisms in a given area, along with the nonliving (abiotic)
factors with which they interact; a biological community and its physical
environment. The entire array of organisms inhabiting a particular ecosystem is
called a community.[1] In a typical ecosystem, plants and other photosynthetic
organisms are the producers that provide the food.[1] Ecosystems can be
permanent or temporary. Ecosystems usually form a number of food webs.
Ecosystems are functional units consisting of living things in a given area, nonliving chemical and physical fact ors of their environment, linked together through
nutrient cycle and energy flow.
Jasa-jasa Ekosistem
Humankind benefits from a multitude of resources and processes that are
supplied by natural ecosystems. Collectively, these benefits are known as
ecosystem services and include products like clean drinking water and processes
such as the decomposition of wastes. While scientists and environmentalists have
discussed ecosystem services for decades, these services were popularized and their
definitions formalized by the United Nations 2004 Millennium Ecosystem
Assessment (MA), a four-year study involving more than 1,300 scientists
worldwide.[1] This grouped ecosystem services into four broad categories:
provisioning, such as the production of food and water; regulating, such as the
12
cont rol of climat e and disease; supporting, such as nutrient cycles and crop
pollination; and cultural, such as spiritual and recreational benefits.
As human populations grow, so do the resource demands imposed on
ecosystems and the impacts of our global footprint. Natural resources are not
invulnerable and infinitely available. The environmental impacts of
anthropogenic actions, which are processes or materials derived from human
activities, are becoming more apparent air and water quality are increasingly
compromised, oceans are being overfished, pests and diseases are extending
beyond their historical boundaries, and deforestation is exacerbating flooding
downstream. It has been reported that approximately 40-50% of Earth s ice-free
land surface has been heavily transformed or degraded by anthropogenic
activities, 66% of marine fisheries are either overexploited or at their limit,
atmospheric CO2 has increased more than 30% since the advent of
industrialization, and nearly 25% of Earth s bird species have gone extinct in the
last two thousand years.[2] Society is increasingly becoming aware that ecosystem
services are not only limited, but also that they are threatened by human
activities. The need to better consider long-term ecosystem health and its role in
enabling human habitat ion and economic activity is urgent . To help inform
decision-makers, many ecosystem services are being assigned economic values,
often based on the cost of replacement with anthropogenic alternatives. The
ongoing challenge of prescribing economic value t o nature, for example through
biodiversity banking, is prompting transdisciplinary shifts in how we recognize
and manage the environment, social responsibility, business opportunities, and
our future as a species.
Experts currently recognize four categories of ecosystem services.[1] The
following lists represent samples of each:
Provisioning services
food (including seafood and game), crops, wild foods, and spices
water
pharmaceuticals, biochemicals, and industrial products
energy (hydropower, biomass fuels)
Regulating services
carbon sequestration and climate regulation
waste decomposition and detoxification
purification of water and air
crop pollination
pest and disease control
Supporting services
nutrient dispersal and cycling
seed dispersal
P rimary production
Cultural services
cultural, intellectual and spiritual inspiration
recreational experiences (including ecotourism)
scientific discovery
13
5. Biosfer
Biosfer adalah kumpulan dari semua ekosistem yang terdapat di
permukaan bumi ini. Ada pula ahli yang menyatakan bahwa biosfer adalah
tempat beroperasinya ekosistem. Bagian bumi yang dihuni organisme hanya
beberapa meter di bawah permukaan tanah hingga 9.000 meter di atas
permukaan bumi, serta beberapa meter di bawah permukaan laut. Jadi, tidak
di seluruh bagian bumi ini terdapat ekosistem sebab hanya daerah yang
terdapat kehidupanlah yang dapat disebut ekosistem.
Our biosphere is the global sum of all ecosystems. It can also be called the zone
of life on Earth, a closed (apart from solar and cosmic radiation) and selfregulating system.[1] From the broadest biophysiological point of view, the
biosphere is the global ecological system integrating all living beings and their
relationships, including their interaction with the elements of the lithosphere,
hydrosphere and atmosphere. The biosphere is postulated to have evolved,
beginning through a process of biogenesis or biopoesis, at least some 3.5 billion
years ago. In a broader sense; biospheres are any closed, self-regulating systems
containing ecosystems; including artificial ones
Our biosphere is divided into a number of biomes, inhabited by broadly similar
flora and fauna. On land, biomes are separated primarily by latitude. Terrestrial
biomes lying within the Arctic and Antarctic Circles are relatively barren of plant
and animal life, while most of the more populous biomes lie near the equator.
Terrestrial organisms in temperate and Arctic biomes have relatively small
amounts of total biomass, smaller energy budgets, and display prominent
adaptations to cold, including world-spanning migrations, social adaptations,
homeothermy, estivation and multiple layers of insulation.
Specific biospheres
When the word is followed by a number, it is usually referring to a specific
system or number. Thus:
1. Biosphere 1, the planet Earth
2. Biosphere 2, a laboratory in Arizona which contains 3.15 acres
(13,000 m²) of closed ecosystem.
3. BIOS-3, a closed ecosystem at the Institute of Biophysics in
Krasnoyarsk, Siberia, in what was then the Soviet Union.
4. Biosphere J (CEEF, Closed Ecology Experiment Facilities), a
experiment in Japan.
The economic valuation of ecosyst em services also involves social
communication and information, areas that remain particularly
challenging and are the focus of many researchers. In general, the idea is
that although individuals make decisions for any variety of reasons, trends
reveal the aggregative preferences of a society, from which the economic
value of services can be inferred and assigned.
14
Biosfer lahan sawah dengan segenap kelengkapannya (Sumber:
http://gurumia.com/wp-content/uploads/2010/05/paddy-in-floodBangladesh.jpg).
The six major methods for valuing ecosystem services in monetary terms are:
Avoided cost
Services allow society to avoid costs that would have been incurred in the
absence of those services (e.g. waste treatment by wetland habitats avoids
health costs)
Replacement cost
Services could be replaced with man-made systems (e.g. restoration of the
Catskill Watershed cost less than the construction of a water purification
plant)
Factor income
Services provide for the enhancement of incomes (e.g. improved water
quality increases the commercial take of a fishery and improves the
income of fishers)
Travel cost
Service demand may require travel, whose costs can reflect the implied
value of the service (e.g. value of ecotourism experience is at least what a
visitor is willing to pay to get there)
Hedonic pricing
Service demand may be reflected in the prices people will pay for
associated goods (e.g. coastal housing prices exceed that of inland homes)
Contingent valuation
Service demand may be elicited by posing hypothetical scenarios that
involve some valuation of alternatives (e.g. visitors willing t o pay for
increased access to national parks)
15
Rantai Makanan
Rantai makanan adalah perjalanan makan dan dimakan dengan
urutan tertentu antar makhluk hidup. Di lautan, yang menjadi produsen
adalah fitoplankton, yaitu sekumpulan tumbuhan hijau yang sangat kecil
ukurannya dan melayang-layang dalam air. Konsumen I adalah zooplankton
(hewan pemakan fitoplankton), sedangkan konsumen II-nya adalah ikan-ikan
kecil, konsumen III-nya adalah ikan-ikan sedang, konsumen IV-nya adalah
ikan-ikan besar.
Rantai makanan pada ekosistem sawah (Sumber:
http://3.bp.blogspot.com/_ha4-W2rqPQ0/TDiTH8ix9OI/)
Skema Rantai Makanan
Urutan peristiwa makan dan dimakan di atas dapat berjalan seimbang
dan lancar bila seluruh komponen tersebut ada. Bila salah satu komponen
tidak ada, maka terjadi ketimpangan dalam urutan makan dan dimakan
tersebut. Agar rantai makanan dapat terus berjalan, maka jumlah produsen
harus lebih banyak daripada jumlah konsumen kesatu, konsumen kesatu
lebih banyak daripada konsumen kedua, dan begitulah seterusnya.
Ada satu lagi komponen yang berperan besar dalam rantai makanan,
yaitu pengurai. Pengurai adalah makhluk hidup yang menguraikan kembali
zat-zat yang semula terdapat dalam tubuh hewan dan tumbuhan yang telah
mati. Hasil kerja pengurai dapat membantu proses penyuburan tanah. Contoh
pengurai adalah bakteri dan jamur.
Ekosistem merupakan tempat berlangsungnya hubungan antara
makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem dibedakan menjadi dua,
yaitu : ekosistem alam dan ekosistem buatan. Contoh ekosistem alam
16
adalah hutan, danau, laut, dan padang pasir. Contoh ekosistem buatan
adalah sawah, waduk, kolam, dan akuarium.
Bagan Jaring-jaring Makanan pada Ekosistem Sawah
Pada sebuah ekosistem terdapat banyak komponen. Komponen-komponen
ekosistem, antara lain, produsen, konsumen, pengurai, dan komponen
abiotik.
Produsen.
Semua tumbuhan hijau adalah produsen dalam sebuah ekosistem.
Produsen artinya penghasil, yaitu menghasilkan bahan-bahan organik
bagi makhluk hidup lainnya. Contoh produsen adalah padi, ubi, sagu,
dan tomat.
Konsumen.
Konsumen adalah pemakai bahan organik yang dihasilkan oleh
produsen. Berikut ini beberapa tingkatan konsumen menurut apa yang
dimakan.
1. Konsumen Tingkat I. Konsumen tingkat I adalah makhluk hidup
yang memperoleh energi langsung dari produsen.
2. Konsumen Tingkat II. Konsumen tingkat II adalah makhluk hidup
yang memperoleh makanan dari konsumen tingkat I.
3. Konsumen Tingkat III. Konsumen tingkat III adalah makhluk hidup
yang memperoleh makanan dari konsumen tingkat II.
Pengurai.
Pengurai adalah makhluk hidup yang menguraikan kembali zat-zat
yang semula terdapat dalam tubuh hewan dan tumbuhan yang telah
mati. Pengurai membantu proses penyuburan tanah. Misalnya, bakteri
dan jamur.
17
Komponen Abiotik. Komponen abiotik adalah tempat tumbuhan hijau
(produsen) tumbuh. Kesuburan lingkungan abiotik ditentukan oleh
kerja pengurai.
Ekosistem Buatan
Ekosistem buatan adalah ekosistem yang diciptakan manusia untuk
memenuhi kebutuhannya. Ekosistem buatan mendapatkan subsidi energi dari
luar, tanaman atau hewan peliharaan didominasi pengaruh manusia, dan
memiliki keanekaragaman rendah. Contoh ekosistem buatan adalah:
Bendungan
Hutan tanaman produksi seperti jati dan pinus
Agroekosistem berupa sawah tadah hujan
Sawah irigasi
Perkebunan sawit
Ekosistem pemukiman seperti kota dan desa
Ekosistem ruang angkasa.
Ekosistem kota memiliki metabolisme tinggi sehingga butuh energi yang
banyak. Kebutuhan materi juga tinggi dan tergantung dari luar, serta memiliki
pengeluaran yang eksesif seperti polusi dan panas.
Ekosistem ruang angkasa bukan merupakan suatu sistem tertutup yang
dapat memenuhi sendiri kebutuhannya tanpa tergantung input dari luar.
Ekosistem Sawah
Sawah adalah lahan usaha pertanian yang secara fisik berpermukaan
rata, dibatasi oleh pematang, serta dapat ditanami padi, palawija atau
tanaman budidaya lainnya. Kebanyakan sawah digunakan untuk bercocok
tanam padi. Untuk keperluan ini, sawah harus mampu menyangga genangan
air karena padi memerlukan penggenangan pada periode tertentu dalam
pertumbuhannya. Untuk mengairi sawah digunakan sistem irigasi dari mata
air, sungai atau air hujan. Sawah yang terakhir dikenal sebagai sawah tadah
hujan, sementara yang lainnya adalah sawah irigasi. Padi yang ditanam di
sawah dikenal sebagai padi lahan basah (lowland rice).
Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam
peradaban. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi
juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang
sama, yang biasa disebut sebagai padi liar.
Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia,
setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber
karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan
padi dinamakan beras.
18
Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun
yang lalu. Sejumlah sistem budidaya diterapkan untuk padi.
1. Budidaya padi sawah (Ing. paddy atau paddy field), diduga dimulai
dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok.
2. Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu
daripada budidaya padi sawah.
3. Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau
Kalimantan.
4. Budidaya gogo rancah atau disingkat gora, yang merupakan
modifikasi dari budidaya lahan kering. Sistem ini sukses
diterapkan di Pulau Lombok, yang hanya memiliki musim hujan
singkat.
Setiap sistem budidaya memerlukan kultivar yang adaptif untuk
masing-masing sistem. Kelompok kultivar padi yang cocok untuk lahan kering
dikenal dengan nama padi gogo. Secara ringkas, bercocok tanam padi
mencakup pengolahan tanah, persemaian, pemindahan atau penanaman,
pemeliharaan (termasuk pengairan, penyiangan, perlindungan tanaman,
serta pemupukan), dan panen. Aspek lain yang penting namun bukan
termasuk dalam rangkaian bercocok tanam padi adalah pemilihan kultivar,
pemrosesan biji dan penyimpanan biji.
Pengolahan tanah sawah menandai dimulainya aktivitas bioekonomi
pada ekosistem sawah (Sumber:
http://ayobertani.files.wordpress.com/2009/04/membajak-sawah)
19
Hama dan penyakit
Hama-hama penting
1. Penggerek batang padi putih ("sundep", Scirpophaga innotata)
2. Penggerek batang padi kuning (S. incertulas)
3. Wereng batang punggung putih (Sogatella furcifera)
4. Wereng coklat (Nilaparvata lugens)
5. Wereng hijau (Nephotettix impicticeps)
6. Lembing hijau (Nezara viridula)
7. Walang sangit (Leptocorisa oratorius)
8. Ganjur (Pachydiplosis oryzae)
9. Lalat bibit (Arterigona exigua)
10. Ulat tentara/Ulat grayak (Spodoptera litura dan S. exigua)
11. Tikus sawah (Rattus argentiventer)
Penyakit-penyakit penting
1. blas (Pyricularia oryzae, P. grisea)
2. hawar daun bakteri ("kresek", Xanthomonas oryzae pv. oryzae)
20
Biodiversity and Ecosystem Services in rice environments
The term biodiversity is being used to describe the richness and variety of
life on earth. It includes diversity at the genetic level, such as that between
individuals in a population, diversity of species and the diversity at the habitat
and ecosystem levels. The general assumption is that the biodiversity of
monocultures, such as rice, is decreased and therefore unstable and prone to
pest attacks and need to be protected . This thinking, not necessarily true
(Way and Heong 1994), has persisted for decades and is still dominant among
agricultural scientists and policy makers, has been the key driver of pesticide
use in many agricultural systems.
Arthropod biodiversity and abundance are fundamental components of rice
ecosystems that have resistance and resilience to pest attacks. They provide
farms with ecosystem services, such as resistance to pest invasions and
regulation of pest populations that prevent pest species from increasing to
levels that can cause economic loss to farmers. Pest species at levels below
the economic threshold have no yield consequences because of plant
compensation abilities of the rice crop. In fact, they contribute toward the
maintenance of a stable food web structure. At least 200 species of
parasitoids and 150 species of predators in and around the rice ecosystems
constantly provide the services that keep pest species at low levels. In
addition, the aquatic fauna, often referred to as neutrals, play a significant
role as food resources for predators (Settle et al 1996). Being an island, there
is great potential of discovering new species of spiders, parasitoids and less
mobile predators that are inherent in Hainan.
Key components, trophic levels and linkages in rice ecosystems ( Sumber:
http://hainanproject.org/wp-content/uploads/2010
21
Rice production systems are ephemeral habitats in which rice is sowed and
harvested over a period of 3 to 4 months. Many of the important rice pests are
monophagous and r-strategists or opportunistic species and under normal
circumstances cause little yield loss on rice farms with adequate biodiversity and
ecosystem services. However, when r species, such as planthoppers, invade rice
fields that are vulnerable with low biodiversity and ecosystem services, they tend to
increase exponentially into outbreak proportions and destroy crops. In mainland
China every year, planthoppers destroy at least a million hectares of rice (Cheng
2009) and, in years like 2005, when summer temperatures were elevated, 7.5
million hectares were destroyed.
In Hainan Island, about 30,000 hectares are affected annually by
planthoppers, but records of losses are not available. In the 1960s and 70s, when
rice sufficiency was the primary national objective, policies and farmers adopted
high pesticide routines. Today, such practices are still rampant in China and on
Hainan Island as well. Research at IRRI and by Chinese scientists at Zhejiang
University has now shown that routine insecticide sprays have very little economic
gains but huge negative impacts on arthropod biodiversity, the food chain, and
ecosystem services, which bring about planthopper outbreaks and rapid
development of insecticide resistance. The important functions of biodiversity and
ecosystem services had not been recognized or researched or taught in universities
and had certainly not been factored into agricultural policies. It has been shown that
when insecticide load is reduced arthropod biodiversity and ecosystem services can
be restored (Heong et al. 2007).
Lahan sawah = Wetlands
Atmospheric methane (CH4) is an important greenhouse gas. On a scale of
100 years, it is approximately 20 times more effective than carbon dioxide (CO2). The
total annual CH4 emission both from natural and anthropogenic terrestrial sources
to the atmosphere is about 580 Tg (CH4) yr-1. The contribution of natural and manmade wetlands (e.g. rice paddy) to this global total varies between 20 and 40%.
Thereby, natural wetlands are the major non-anthropogenic source of methane at
present and rice agriculture accounts for some 17% of the anthropogenic CH4
emissions. This is because of the prevailing anaerobic conditions in these
ecosystems, their high organic matter contents and their global distribution.
Northern wetlands (>30° N) for example constitute about 60% of the global wetland
area and emit a quarter to a third of the total CH4 originating from wet soils.
In our research we focus on the understanding and quantification of key-processes
involved in the formation, consumption and transport of methane in wetlands. This
is crucial for reliable estimations on the impact of wetlands on the earth climate
system
Current and recently completed projects:
1. In-situ quantification of soil microbial processes controlling methane
emissions from rice paddy soils
2. Methane production and consumption in polygonal tundra
environments of the Lena Delta, Siberia
3. Methane turnover and fluxes in alpine wetlands.
22
Microbial turnover of methane and transport pathways of gases in wetlands.
(Sumber: http://www.ibp.ethz.ch/research/environmentalmicrobiology/research/Wetlands)
In-situ quantification of soil microbial processes controlling methane emissions
from rice paddy soils.
Rice paddy soil is among the most important anthropogenic sources of methane.
Methane is produced anaerobically after the flooding of rice fields, either from
acetate or hydrogen/carbon dioxide as substrate. In contrast, methanotrophic
microorganisms oxidize methane to carbon dioxide in the presence of molecular
oxygen in the root zone or at the air/water interface, thus reducing the overall
methane emissions to the atmosphere. Quantification of methane turnover in soil
slurry incubation under laboratory conditions is potentially biased. Therefore, the
main aim of this project is to design a novel tool for the quantification of methane
production and consumption in the rice root zone. Specifically, we aim at the
development of an in situ quantification method which allows us to assess the effect
of methane turnover in the root zone on net methane emissions. The quantification
concept includes the combination of push-pull tests (PPT), specific inhibitors, stable
isotope fractionation and flux measurements. In a further step, we will apply this
technique to assess methane turnover and emissions over a whole growth period of
rice plants, and to investigate if changes are also reflected in the abundance of
methanogenic/ methanotrophic organisms.
23
Ekosistem Pertanian: Sawah
Musuh Alami
Ekosistem pertanian adalah ekosistem yang sederhana dan
monokultur jika dilihat dari komunitas, pemilihan vegetasi, diversitas spesies,
serta resiko terjadi ledakan hama dan penyakit. Musuh alami berperan
dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak
merugikan. Hal ini terbukti dari setiap pengamatan dilahan pertanian,
khususnya padi, beberapa jenis musuh alami selalu hadir dipertanaman.
Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak
stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya ditentukan oleh
diversitas struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat komponen, interaksi
antar komponen ekosistem. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para
peneliti mengenai kajian habitat menunjukkan bahwa tidak kurang dari 700
serangga termasuk parasitoid
dan predator ditemukan di ekosistem
persawahan dalam kondisi tanaman tidak ada hama khususnya wereng
batang coklat (WBC). Predator WBC umumnya polifag, akan memangsa
berbagai jenis serangga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
komunitas persawahan merupakan komunitas yang beranekaragam. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa pada ekosistem pertanian dapat dijumpai
keadaan yang stabil. Apabila interaksi antar komponen dapat dikelola secara
tepat maka kestabilan ekosistem pertanian dapat diusahakan. Untuk
mempertahankan ekosistem persawahan yang stabil maka konsep
pengendalian hama terpadu (PHT) dapat diterapkan. PHT mendapatkan
efisiensi pengendalian yaitu mengurangi insektisida dan memanfaatkan
metoda non kimia. Di persawahan, musuh alami jelas berfungsi, sehingga
akan terjadi keseimbangan biologis. Keseimbangan biologis ini kadangkadang tercapai, tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena
faktor lain yang mempengaruhi, yaitu perlakuan agronomis dan penggunaan
insektisida.
Salah satu pendorong meningkatnya serangga pengganggu adalah
tersedianya makanan terus menerus sepanjang waktu dan disetiap tempat.
Budidaya tanaman monokultur dapat mendorong ekosistem pertanian rentan
terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT). Untuk mewujudkan
pertanian berkelanjutan maka tindakan mengurangi serangan OPT melalui
pemanfaatan serangga khususnya musuh alami dan meningkatkan
diversitas tanaman seperti penerapan tanaman tumpang sari, rotasi
tanaman dan penanaman lahan-lahan terbuka dapat dilakukan karena
meningkatkan stabilitas ekosistem serta mengurangi resiko gangguan OPT.
Mekanisme alami seperti predatisme, parasitisme, patogenisitas, persaingan
intraspesies dan interspesies, suksesi, produktivitas, stabilitas dan
keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan untuk mencapai pertanian
berkelanjutan.
Salah satu komponen PHT adalah pengendalian dengan
menggunakan musuh alami. Teori mendasar dalam pengelolaan hama
adalah mempertimbangkan komponen musuh alami dalam strategi
pemanfaatan dan pengembangannya. Taktik pengelolaan hama melibatkan
musuh alami untuk mendapatkan penurunan status hama disebut
pengendalian hayati.
Pemanfaatan musuh alami tidak menimbulkan
24
pencemaran, dari segi ekologi tetap lestari dan untuk jangka panjang relatif
murah. Pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami atau secara
biologis adalah kerja dari faktor biotis seperti parasitoid, predator dan
patogen terhadap mangsa atau inang, sehingga menghasilkan suatu
keseimbangan umum yang lebih rendah daripada keadaan yang ditunjukkan
apabila faktor tersebut tidak ada atau tidak bekerja.
Pengendalian HAYATI merupakan salah satu pengendalian yang
dinilai cukup aman karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu :
1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru,
2) organisme yang digunakan sudah tersedia dialam,
3) organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan
inangnya,
4) dapat berkembang biak dan menyebar,
5) hama tidak menjadi resisten atau kalau terjadi sangat lambat, dan
6) pengendalian berjalan dengan sendirinya.
Pengendalian biologi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
1) pengendalian biologi alami yaitu pengendalian hama dengan
musuh alami, tanpa campur tangan manusia,
2) pengendalian biologi terapan yaitu pengendalian hayati dengan
campur tangan manusia.
Telah diketahui berbagai jenis musuh alami yang dibagi menjadi 3
kelompok yaitu : parasitoid, predator dan patogen. Terdapat 79 jenis musuh
alami WBC diantaranya adalah parasitoid, predator dan patogen. Musuh
alami yang potensial untuk penggerek batang padi (PBP) adalah parasitoid.
Ada 3 jenis parasitoid PBP yaitu : Tetrastichus schenobii Ferr., Telenomus
rowani Gah., dan Trichogramma japonicum Ashm (Jepson, 1954;
Soehardjan, 1976). Sampai saat ini telah diketahui banyak spesies jamur
patogen serangga (JPS) pada tanaman padi. Di antara patogen tersebut
Hirsutella citriformis, Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana
mempunyai potensi untuk mengendalikan WBC. Keberadaan musuh alami
hama khususnya hama padi sangat penting dalam menentukan populasi
hama tersebut. Parasitoid dan predator mampu menurunkan padat populasi
hama, sedangkan infeksi JPS dapat mematikan dan mempengaruhi
perkembangan hama, menurunkan kemampuan reproduksi, serta
menurunkan ketahanan hama terhadap predator, parasitoid dan patogen
lainnya.
Berbagai jenis artropoda terdapat dalam ekosistem padi sawah dan
turut berperan dalam keseimbangan hayati untuk mencapai pengendalian
hama yang ramah lingkungan dan menuju pertanian berkelanjutan. Potensi
berbagai jenis musuh alami khususnya parasitoid dan predator hama wereng
coklat dan penggerek batang padi serta pelestariannya yang dapat dijadikan
agen hayati untuk pengendalian hama utama tanaman padi. Konsep PHT
adalah cara pengendalian yang cocok untuk mewujudkan sistem
pengendalian yang ramah lingkungan. Hal ini terbukti dari keanekaragaman
hayati serangga sesudah PHT lebih komplek dibandingkan sebelum PHT.
25
Ekosistem sawah: Irigasi
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi
lahan pertaniannya. Dalam dunia modern saat ini sudah banyak model irigasi
yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu jika persediaan air
melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air,
maka irigasi dilakukan dengan mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian.
Namun demikian irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan
menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu.
Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram.
Irigasi Permukaan
Irigasi Permukaan merupakan sistem irigasi yang menyadap air
langsung di sungai melalui bangunan bendung maupun melalui
bangunan pengambilan bebas (free intake) kemudian air irigasi
dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian.
Di sini dikenal saluran primer, sekunder dan tersier. Pengaturan air ini
dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang
tinggi akan mendapat air lebih dulu.
Pengairan padi sawah dengan sistem penggenangan petakan lahan
sawah (Sumber:
http://www.mypulau.com/uploads_user/200912/13/766911.jpg)
Irigasi Lokal
Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku
gravitasi, di mana lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu.
Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau secara lokal.
26
Irigasi dengan Penyemprotan
Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air
yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air
dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar.
Irigasi Tradisional dengan Ember
Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali.
Di samping itu juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng
ember.
Irigasi Pompa Air
Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia
dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada
musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah.
Irigasi sistem pompa (sumber:
http://atusi.edublogs.org/files/2007/11/268263346_993bd72895.jpg
Irigasi Pasang-Surut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
Dengan memanfaatkan pasang-surut air di wilayah Sumatera,
Kalimantan, dan Papua dikenal apa yang dinamakan Irigasi Pasang-Surat
(Tidal Irrigation). Teknologi yang diterapkan di sini adalah: pemanfaatan
lahan pertanian di dataran rendah dan daerah rawa-rawa, di mana air
diperoleh dari sungai pasang-surut di mana pada waktu pasang air
dimanfaatkan. Di sini dalam dua minggu diperoleh 4 sampai 5 waktu pada air
pasang. Teknologi ini telah dikenal sejak Abad XIX. Pada waktu itu
pendatang di Pulau Sumatera memanfaatkan rawa sebagai kebun kelapa. Di
Indonesia terdapat 5,6 juta Ha dari 34 Ha yang ada cocok untuk
dikembangkan. Hal ini bisa dihubungkan dengan pengalaman Jepang di
27
Wilayah Sungai Chikugo untuk wilayah Kyushu, di mana di sana dikenal
dengan sistem irigasi Ao-Shunsui yang mirip.
Irigasi Lahan Kering dan Irigasi Tetes
Di lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien.
Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman,
kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang tersedia. Ada
beberapa sistem irigasi untuk pertanian lahan kering, yaitu:
(1) irigasi tetes (drip irrigation),
(2) irigasi curah (sprinkler irrigation),
(3) irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), dan
(4) irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation).
Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes merupakan salah satu
alternatif. Misal sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai.
Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya
mencari potensi sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air
bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan karakteristik air bawah
tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan
kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen.
Pengalaman Sistem Irigasi Pertanian di Niigata Jepang
Sistem Irigasi Pertanian milik Mr. Nobutoshi Ikezu di Niigata Prefecture. Di
sini terlihat adanya manajemen persediaan air yang cukup pada pengelolaan
pertaniannya. Sekitar 3 km dari tempat tersebut tedapat sungai besar yang
debit airnya cukup dan tidak berlebih. Air sungai dinaikan ke tempat
penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar. Air dari tempat
penampungan dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah
berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya. Pada setiap pemilik sawah
terdapat tempat pembukaan air irigasi tersebut. Pembagian air ini bergilir
berselang sehari, yang berarti sehari keluar, sehari tutup. Penggunaannya
sesuai dengan kebutuhan sawah setempat yang dapat diatur menggunakan
tuas yang dapat dibuka tutup secara manual. Dari pintu pengeluaran air
tersebut dialirkan ke sawahnya melalui pipa yang berada di bawah
permukaan sawahnya. Kalau di tanah air kita pada umumnya air dialirkan
melalui permukaan sawah. Sedangkan untuk mengatur ketinggian air
dilakukan dengan cara menaikan dan menurunkan penutup pintu
pembuangan air secara manual. Pembuangan air dari sawah masuk saluran
irigasi yang terbuat dari beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai
kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah tanah. Pencegahan perembesan
air dilakukan dengan sangat efisien.
28
Multifungsi Lahan Sawah
Perubahan paradigma pembangunan yang mengemuka sejak periode
1980-an telah melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, dimana
aspek distribusi dan keles-tarian lingkungan maupun sosial-budaya
memperoleh perhatian yang proporsional seiring dengan upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi (Munasinghe, 1993). Kaitannya dengan hal itu,
berbagai klasifikasi mengenai nilai ekonomi lahan pertanian telah
dikemukakan, di antaranya oleh Munasinghe (1992), Callaghan (1992), dan
Sogo Kenkyu (1998). Meski-pun terdapat beberapa perbedaan mengenai
klasifikasi manfaat lahan pertanian yang dikemukakan oleh narasumber
tersebut, tetapi secara garis besar penilaian ekonomi lahan pertanian harus
dilihat berdasarkan manfaat penggunaan (use values) dan manfaat bawaannya (intrinsic values). Dalam Diagram 1 dijelaskan aspek-aspek yang
terkait dengan kedua manfaat tersebut, yang meliputi aspek ekonomi,
lingkungan, dan sosial-budaya.
29
Klasifikasi manfaat lahan pertanian
Selaras dengan gambaran multifungsi lahan pertanian pada Diagram
1, manfaat langsung lahan sawah dapat dikaitkan dengan sepuluh unsur
berikut (Mayrowani, dkk., 2003):
(1) penghasil bahan pangan,
(2) penyedia kesempatan kerja pertanian,
(3) sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan,
(4) sumber PAD melalui pajak lainnya,
(5) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan,
(6) sebagai sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional,
(7) sebagai
sarana
tumbuhnya
rasa
kebersamaan
atau
gotongroyong,
(8) sebagai sumber pendapatan masyarakat,
(9) sebagai sarana refreshing, dan
(10) sebagai sarana pariwisata.
Sedangkan manfaat tidak langsung mencakup fungsi-fungsi
pelestarian lingkungan yang terdiri dari unsur-unsur berikut (Yoshida, 2001;
Setiyanto dkk ., 2003; Tala ohu, dkk., 2003):
(1) mengurangi peluang banjir,
(2) mengurangi peluang erosi,
(3) mengurangi peluang tanah longsor,
(4) menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim kemarau,
(5) mengurangi pencemaran udara akibat polusi industri, dan
(6) mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian
pupuk organik pada lahan sawah.
Sementara itu, manfaat bawaan terdiri dari dua unsur berikut:
(1) sebagai sarana pendidikan, dan
(2) sebagai sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.
Selain fungsi positif, pengelolaan lahan sawah yang kurang
memperhatikan kaidah konservasi dan pelestarian ekologi lingkungan
berpotensi menimbulkan dampak atau fungsi negatif (Wihardjaka dan
Makarim, 2001), yaitu dapat menyebabkan:
(1) pemanasan global melalui efek rumah kaca,
(2) pencemaran air dan tanah melalui penggunaan bahan kimia
(pupuk dan pestisida), dan
(3) pendangkalan sungai dan saluran irigasi akibat pelumpuran saat
aktivitas pengolahan tanah.
30
Daftar Pustaka
Andrewartha, H.G. and L.C. Birch. 1984. The ecological. The University of
Chicago. 505 pp.
Anwar, A., and A. Pakpahan. 1990. The Problem of Sawah-Land Conversion
to Non-Agricultural Uses in Indonesia. Indonesian Journal of Tropical
Agriculture 1(2):101-108.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas
artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa
Tengah. Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2): 5-12.
Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng coklat.
Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian
Universitas Jenderal Sudirman. hlm. 1-9.
Balvanera, P. C. Kremen, and M. Martinez. 2005. Applying community
structure analysis to ecosystem function: examples from pollination
and carbon storage. Ecological Applications 15: 360-375.
Balvanera, P., G.C. Daily, P.R. Ehrlich, T.H. Ricketts, S.Bailey, S. Kark, C.
Kremen and H. Pereira. 2001. Conserving biodiversity and ecosystem
services. Science 291: 2047.
Berg, H. (2002). Rice monoculture and integrated rice-fish farming in the
Mekong delta, Vietnam - economic and ecological considerations.
Ecological Economics 41:95-107.
Callaghan, J.R. 1992. Land use: The interaction of economics, ecology and
hydrology. Chapman & Hall. London.
Campbell, Neil A.; Brad Williamson; Robin J. Heyden (2006). Biology:
Exploring Life. Boston, Massachusetts: Pearson Prentice Hall.
ISBN 0-13-250882-6. http://www.phschool.com/el_marketing.html.
Chan, K.M.A., M.R. Shaw, D.R. Cameron, E.C. Underwood and G.C. Daily.
2006. Conservation planning for ecosystem services. PLoS Biology 4:
2138-2152.
Cheng, J.A. 2009. Rice planthopper problems and relevant causes in China.
Pp 157-178. In Heong KL, Hardy B, editors. 2009. Planthoppers: new
threats to the sustainability of intensive rice production systems in
Asia. Los Baños (Philippines): International Rice Research Institute.
Chichilnisky, G. and G. Heal. 1998. Economic returns from the biosphere.
Nature 391: 629-630.
Chiu, S.C. 1979. Biological control of the brown planthopper, Nilaparvata
lugens Stal. In brown planthopper Threat to Rice Production in Asia.
IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 335-356.
Cicerone, R.J. and J.D. Shetter. 1983. Sources of atmospheric methane:
measurement in rice paddies and a discussion. J. Gheophys. Res.86:
7203-7209.
Daily, G.C. 1997. Nature s Services: Societal Dependence on Natural
Ecosystems. Island Press, Washington. 392pp.
Daily, G.C. 2000. Management objectives for the protection of ecosystem
services. Environmental Science & Policy 3: 333-339.
Daily, G.C., T. Söderqvist, S. Aniyar, K. Arrow, P. Dasgupta, P.R. Ehrlich, C.
Folke, A. Jansson, B. Jansson, N. Kautsky, S. Levin, J. Lubchenco, K.
31
Mäler, D. Simpson, D. Starrett, D. Tilman, and B. Walker. 2000. The
value of nature and the nature of value. Science 289: 395-396.
De Bach, Paul. 1979. Biological control by natural enemies. Cambridge
University Press, London. 323 pp.
DeFries, R.S., J.A. Foley, and G.P. Asner. 2004. Land-use choices: balancing
human needs and ecosystem function. Frontiers in Ecology and the
Environment 2: 249-257.
Dewan, S. (1992). Rice-fish farming systems in Bangladesh: past, present
and future. In: Rice-Fish Research and Development in Asia (eds.
C.R. dela Cruz, C. Lightfoot, B.A. Costa-Pierce, V.R. Carangal and
M.P. Bimbao), ICLARM Conference Proceedings 24:11-17.
Ehrlich, P.R. and A. Ehrlich. 1970. Population, Resources, Environment:
Issues in Human Ecology. W.H. Freeman, San Francisco. 383pp. see p.157
Elmqvist, T., C. Folke, M. Nyström, G. Peterson, J. Bengtsson, B. Walker and
J. Norberg. 2003. Response diversity, ecosystem change and
resilience. Frontiers in Ecology and the Environment 1: 488-494.
Farber, S.C., R. Costanza and M.A. Wilson. 2002. Economic and ecological
concepts for valuing ecosystem services. Ecological Economics 41:
375-392.
Frei, M. and Becker, K. (2005). Integrated rice-fish culture: coupled
production saves resources. Natural Resources Forum 29:135-143.
Frost, T.M., S.R. Carpenter, A.R. Ives, and T.K. Kratz. 1995. Species
compensation and complementarity in ecosystem function. In: C.
Jones and J. Lawton, editors. Linking species and ecosystems.
Chapman and Hall, London. 387pp.
Grime, J.P. 1997. Biodiversity and ecosystem function: The debate
deepened. Science 277
Guo, Z.W., X.M. Xio and D.M. Li. 2000. An assessment of ecosystem
services: water flow regulation and hydroelectric power production.
Ecological Applications 10: 925-936.
Gupta, M.V., Sollows, J.D., Mazid, M.A., Rahman, A., Hussain, M.G. and
Dey, M.M. (2002). Economics and adoption patterns of integrated ricefish farming in Bangladesh. In: Rural Aquaculture (eds. P. Edwards,
D.C. Little and H. Demaine), CABI Publishing, Oxford, UK, pp. 41-53.
Halwart, M. and Gupta, M.V. (2004). Culture of fish in rice fields. FAO and the
WorldFish Center, 83 p.
Hanson, C, J Ranganathan, C Iceland, and J Finisdore. (2008) The Corporate
Ecosystem Services Review (Version 1.0). World Resources Institute.
Harun, A.K.Y and Pittman, K.A. (1997). Rice-fish culture: feeding, growth and
yield of two size classes of Puntius gonionotus Bleeker and
Oreochromis spp. in Bangladesh. Aquaculture 154:261-281.
Heong K.L. 2010. Biodiversity and Ecosystem Services in rice environments.
Insect
Ecologist.
International
Rice
Research
Institute
Los Baños, Philippines.
Heong, K. L. , Manza,A., Catindig, J., Villareal, S. and Jacobsen, T. 2007.
Changes in pesticide use and arthropod biodiversity in the IRRI
research farm. Outlooks in Pest ManagementOctober 2007.
32
Holzapfel-Pschorn, A.R., R. Conrad, and W. Seiler. 1986. Effect of vegetation
on the emission of methane from submerged paddy soil. Plant Soil 92:
223 -233.
IPCC. 1992. Climate change. In: J.T. Houghton et al (eds). The
supplementary report the IPCC scientific assessment. Cambridge
University Press, U.K. 29
Irawan, Bambang. 2002. Analisis nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian.
Laporan Hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian.
Iriadi, M. 1990. Analisis konversi lahan sawah ke indutri dengan metode sewa
ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di Kecamatan Cibitung,
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,
IPB.
Jakobsen, P., W.H. Patrick, Jr., and B.G. Williams. 1981. Sulfide and
mathane formation in soils and sediments. Soil Sci 132: 279-287.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The pest of crops in Indonesia (Revised and
translated by P.A. Van der Laan). PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
1981.
Kartika, I. P. 1990. Analisis konversi lahan dari penggunaan pertanian ke
penggunaan nonpertanian dengan pendekatan sewa ekonomi lahan
(land rent): Studi Kasus di Desa Cimacan, Kecamatan Pacet,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,
IPB.
Kartohardjono, A. 1988.
Kemampuan beberapa predator (laba-laba,
Paederus sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus sp., dan Coccinella sp.)
dalam mengurangi kepadatan wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.)
pada tanaman padi. Penelitian Pertanian 8(1): 25-31.
Kilin, D., I.W. Laba dan P. Panudju. 1993. Dampak negatif penggunaan
insektisida. Laporan Penelitian 1992/1993 Balittan Bogor.
Kimura , M.D., H. Murakami, and H. Wada. 1991. CO2, H2, and CH4
production in rice rhizosphere. Soil Sci. Techno. 25: 979-981.
Kludze, H.K., R.D. DeLaune, and W.H. Patrisc, Jr. 1993. Aerenchyma
formation and methane and oxygen exchange in rice. Soil Sci. Soc.
Am. J. 57: 386-391
Kremen, C. 2005. Managing ecosystem services: what do we need to know
about their ecology? Ecology Letters 8: 468-479.
Kunda, M., Azim, M.E., Wahab, M.A., Dewan, S., Roos, N. and Thilsted, S.H.
(2008). Potential of mixed culture of freshwater prawn
(Macrobrachium rosenbergii) and self recruiting small species mola
(Amblypharyngodon mola) in rotational rice-fish/prawn culture systems
in Bangladesh. Aquaculture Research 39:506-517.
Lawton, J.H. 1994. What do species do in ecosystems? Oikos 71: 367-374.
Lightfoot C., dela Cruz, C.R. and Carangal, V.R. (1990). International
research collaboration in rice-fish research. NAGA, the ICLARM
Quarterly 13:12-13.
Lu, J. and Li, X. (2006). Review of rice-fish-farming systems in China - one of
the globally important ingenious agricultural heritage systems
(GIAHS). Aquaculture 260:106-113.
33
Marsudiyono. 1989. Pengaruh residu insektisida terhadap Anagrus sp.
parasit telur wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Skripsi Fakultas
Biologi, Universitas Nasional, Jakarta 56 hlm.
Mayrowani, H., S.K. Dermoredjo, A.R. Nurmanaf, Y. Soeleman., dan A.
Setyanto. 2003. Nilai riil dari sistem pertanian di DAS Citarum.
Makalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat.
Mohanty, R.K., Verma, H.N. and Brahmanand, P.S. (2004). Performance
evaluation of rice-fish integration system in rainfed medium and
ecosystem. Aquaculture 23:125-135.
Munasinghe, M. 1993. . Environmental economics and sustainable
development. World Bank Environmental Paper No. 3.
Mustow, S.E. (2002). The effects of shading on phytoplankton photosynthesis
in rice-fish fields in Bangladesh. Agriculture, Ecosystems and
Environment 90:89-96.
Nabi, R. (2008). Constraints to the adoption of rice-fish farming by
smallholders in Bangladesh: a farming systems analysis. Aquaculture
Economics and Management 12:145-153.
Naeem S. 1998. "Species redundancy and ecosystem reliability"
Conservation Biology 12: 39 45.
Nakano et al.(1998)"Dynamic Simulation of Pressure Control System for the
Closed Ecology Experiment Facility", Transactions of the Japan
Society of Mechanical Engineers. 64:107-114.
Nasoetion, L.I. 2003. Konversi lahan pertanian: Aspek hukum dan
implementasinya. Dalam:Undang Kurnia, dkk (eds). Prosiding
Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Nasoetion, L.I. dan E. Rustiadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah ke
penggunaan non-sawah fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan
Ilmiah Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan, 13-15
Februari 1990; PAU Studi Sosial-UGM.
Nasoetion, L.I. dan Winoto, J. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan
dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. dalam:
Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation.
Nhan, D.K., Phong, L.T., Verdegem, M.J.C., Duong, L.T., Bosma, R.H. and
Little, D.C. (2007). Integrated freshwater aquaculture, crop and
livestock production in the Mekong delta, Vietnam: determinants and
the role of the pond. Agricultural Systems 94:445-458.
Nishio, M. 1999. Multifungtional character of paddy farming. Annex 7 in:
Proceedings The Second Group Meeting on Inter Change of
Agricultural Technology Information between Asean Member
Countries and Japan. Jakarta, 16-17 February 1999. ASEAN
Secretariat, Jakarta.
Nurbaeti, B., E. Soenarjo dan Waluyo. 1992. Studi peranan musuh alami
penggerek batang padi Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera;
34
Pyralidae). Seminar Tahunan Balai Penelitian Tanaman Pangan.
Bogor, 6 hlm.
Nursyamsi, D., Sulaeman, M. E. Suryadi, dan F.G. Bereleka. 2001.
Kandungan beberapa ion di dalam sumber air di Sub DAS Citarik dan
DAS Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding
Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan
Pengem-bangan Tanah dan Agroklimat.
Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di
Indonesia. Gadjah Mada University Press. 255 hlm.
Pathak, M.D. 1968. Ecology of common insect pest of rice. Ann. Rev.
Entomol. 13 pp.
Pedigo, L.P. 1999. Entomology and pest management. Lowa University.
Prentice Hall, Upper Sadlle River. NJ. 07458. Third Edition. P. 307.
Perrot-Maître, D. (2006) The Vittel payments for ecosystem services: a
"perfect" PES case? International Institute for Environment and
Development, London , UK.
Pramono, J., A. Bakri, dan I. Soelaiman. 1996. Persaingan dalam
pemanfaatan lahan antara sector pertanian dan industri. dalam:
Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation.
Riyani, W. 1992. Analisis konversi lahan dari pertanian ke lahan perumahan
dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di
wilayah Dati II Kodya Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Schutz, H., A. Holzapfel-Pschorn, A.R., R. Conrad, H. Rennenberg, and W.
Seiler. 1989. A three year continous record on influence of daytime
season and fertilizer treatment on methane emission rate from an
Italian rice paddy field. J. Geophysical Res. 94: 16405-16416.
Sears, P.B. 1956. The processes of environmental change by man. In: W.L.
Thomas, editor. Man s Role in Changing the Face of the Earth
(Volume 2). University of Chicago Press, Chicago. 1193pp.
Setiyanto, A., R. Nurmanaf, Y. Soeleman, H. Mayrowani, dan S.K.
Dermoredjo. 2003. Nilai ekonomi fungsi lahan sawah untuk
pengendalian pencemaran udara (air purification): Studi kasus DAS
Citarum, Jawa Barat. Makalah Seminar. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Settle,W.H., Ariawan, H., Astuti, E.T., Cahyana,W., Hakim, A.L., Hindayana,
D., Lestari, A.S. & Pajarningsih (1996) Managing tropical rice pests
through conservation of generalist natural enemies and alternate
prey. Ecology, 77, 1975 1988.
Shepard, B.M., H.R. Rapusas and D.B. Estano, 1989. Using rice straw
bundles to conserve beneficial arthropod communities in rice fields.
Int. Rice. Res. Newl. 14(5): 30-31.
Sogo Henkyu. 1998. An economic evaluation of external economies from
agriculture by replacement cost method. National Research Institute of
agricultural economics, MAFF, Japan.
35
Stern, V.M., R.F. Smith, R Van den Bosch and K.S. Hagen. 1959. The
integration of chemical and biological control of spotted alfalfa aphid.
Hilgardia 29 (2); 81-101.
Suharsih, P. Setyanto, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1998. Emisi gas
metan dari berbagai sistem pengaturan air pada lahan sawah.
Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan.
Suharsih, P. Setyanto, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1999. Pengaruh
rejim air tanah terhadap besarnya emisi gas metan pada lahan sawah.
Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan.
Sumaryanto dan R.T. Suhaeti. 1999. Assessment of losses related to
irrigated low land conversion. dalam: I.W. Rusastra, dkk (eds).
Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku
I. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak alih fungsi lahan
sawah terhadap pelestarian swasembada beras dan sosial ekonomi
petani. dalam: Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan
Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation.
Supriyadi, S. Mangundihardjo dan E. Mahrub. 1992. Kajian Ekologi laba-laba
srigala, Lycosa pseudoannulata Boes. et. Str. pada lahan padi.
Kumpulan Abstrak Kongres Entomologi IV, Yogyakarta, 28-30
Januari. hlm 91.
Sutono, S., H. Kusnadi, dan M.S. Djunaedi. 2001. Pendugaan erosi pada
lahan sawah dan lahan kering Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang.
Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional
Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat.
Tala ohu, S.H., F. Agus, dan G. Irianto. 2001. Hubungan perubahan
penggunaan lahan dengan daya sangga air Sub DAS Citarik dan DAS
Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar
Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Tala ohu, S.H., S. Sutono, dan F. Agus. 2003. Daya sangga air lahan
pertanian terhadap banjir dan nilai replacement cost di DAS Citarum.
Makalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat.
Tarigan, S.M. dan N. Sinukaban. 2001. Peran sawah sebagai filter sedimen:
studi kasus di DAS Way Besai, Lampung. Dalam: Fahmuddin Agus,
dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Tilman, D., C.L. Lehman, and C.E. Bristow. 1998. Diversity-stability
relationships: statistical inevitability or ecological consequence? The
American Naturalist 151: 277-282.
Untung, K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Makalah
Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4
September 1992. 17 hlm.
Van Emden, H.P. 1976. Pest control and its ecology. Edward Arnold. 59 p.
36
Vitousek, P.M., J. Lubchenco, H.A. Mooney, J. Melillo. 1997. Human
domination of Earth s ecosystems. Science 277: 494-499.
Wahab, M.A., Kunda, M., Azim, M.E., Dewan, S. and Thilsted, S.H. (2008).
Evaluation of freshwater prawn-small fish culture concurrently with rice
in Bangladesh. Aquaculture Research 39:1524-1532.
Walker, B.H. 1992. "Biodiversity and ecological redundancy." Conservation
Biology 6: 18-23.
Way, M.J. and Heong, K.L. 1994. The role of biodiversity in the dynamics
and management of insect pests of tropical irrigated rice
A
review. Bulletin of Entomological Research, 84, 567-587.
Wihardjaka, A., dan A.K. Makarim. 2001. Emisi gas metan melalui bebrapa
varietas padi pada tanah Incepticol yang disawahkan. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol. 20:1. p 10-15. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1997a. Pengaruh
penggunaan bahan organic terhadap hasil padi dan emisi gas metan
pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman
Pangan Jakenan.
Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1997. Pengaruh varietas padi
terhadap besarnya emisi gas metan pada lahan sawah. Laporan
Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan.
Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1999. Emisi gas metan dari
berbagai varietas padi. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman
Pangan Jakenan.
Winoto, J. 1985. Dampak ketinggian permukaan lahan terhadap proses
pembentukan lahan-lahan sawah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Wu, R.S., W.R. Suc, and J.S. Chang., 1997. A simulation model for
investigating the effects of rice paddy fields on run off system. p.422427. In: Mc Donald et al (eds). Proceeding of MODSIM 97. MSSA
Canberra, Australia.
Yoshida, K., 2001. An economic evaluation of multifunctional roles of
agricultural and rural areas in Japan. Ministry of Agricultural Forestry
and Fisheries. Japan.
Download